Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Erwin Imawan, S.Ked
Ricky Ferdian, S.Ked
Anggi Setyawan, S.Ked
(J510155047)
(J510155090)
(J510155089)
Pembimbing :
dr. H. Bambang Sutanto, Sp.An
dr. Richa Lesmana, Sp.An
dr. Febrian , Sp.An
LAPORAN KASUS
GENERAL ANASTESI PADA PASIEN TOTAL ABDOMINAL
HISTEREKTOMI DAN BILATERAL SALPINGO OOFOREKTOMI
Yang diajukan oleh :
Erwin Imawan, S.Ked
Ricky ferdian, S.Ked
Anggi Setyawan, S.Ked
(J510155047)
(J510155090)
(J510155089)
, tanggal
April 2016
Pembimbing:
dr. H. Bambang Sutanto, Sp.An
(............................)
(............................)
(............................)
(............................)
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun.Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat kenyal,
batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel. Tumor ini juga
dikenal dengan istilah fibromioma uteri, leiomioma uteri, atau uterine fibroid. 3
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga merupakan
penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang
dihasilkan dari mutasi somatik dan sebuah sel neoplastik tunggal. 3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan status lokalis dengan palpasi
abdomen. Mioma uteri dapat diduga dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang keras,
bentuk yang tidak teratur, gerakan bebas, tidak sakit.3
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya merupakan tindakan
terpilih. Histerektomi dikerjakan pada pasien dengan gejala dan keluhan yang jelas
mengganggu. Histerektomi bisa dilakukan pervaginam pada ukuran tumor yang kecil. Tetapi
pada umumnya histerektomi dilakukan perabdomial karena lebih mudah.3
Pemilihan jenis anestesi untuk histerektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi.3
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.RB
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 48 tahun
Berat Badan
: 52 kg
Agama
: Islam
Alamat
: Karanganyar
No. RM
: Diagnosis
: Menometroraghia, P2 A0 Mioma Uteri.
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 23 April
2016, pukul 07.30 WIB di ruang OK RSU PKU Muhammadiyah Surakarta.
a. Keluhan utama
Pasien datang ke rumah sakit perdarahan dari jalan lahir tidak berhenti berhenti sejak
1 bulan terakhir, darah yang keluar berbentuk gumpalan dan berwarna merah. Nyeri di daerah
perut bagian bawah juga dirasakan pasien. Dalam sebulan siklus menstruasi tidak teratur,
darah banyak (3-4 pembalut/ hari) selama 3 hari, nyeri haid 2-3 hari pada awal menstruasi.
Gangguan BAK berupa BAK sering,atau BAK sedikit-sedikit tidak dirasakan pasien. Sulit
buang air besar dan nyeri saat BAB tidak dirasakan pasien. Pasien tidak mengeluhkan nafsu
makan menurun atau penurunan berat badan.
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma disangkal.
2) Riwayat penyakit jantung disangkal
3) Riwayat diabetes melitus disangkal
4) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.
5) riwayat penyakit yang sama disangkal
Kajian sistem
goyang maupun gigi palsu, tidak ada masalah dalam mobilisasi leher dan tidak ada
nyeri dada.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 24 April 2013
GCS
: E4V5M6 = 15
Vital Sign
: Tekanan darah
: 119/ 70 mmHg
Nadi
: 82 x/menit
Suhu
: 36,8C
Pernafasan
: 20 x/menit
Status Generalis
a. Kulit :
ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi
2) Palpasi
e. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a)Inspeksi
b)
c)
d)
:Tampak
mamaesinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba kuat
Perkusi:
i.
Batas atas kiri
:
ii. Batas atas kanan
iii.
Batas bawah kiri
iv. Batas bawah kanan :
Paru
5
a) Inspeksi
Perut
datar,
simetris,
tidak
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
CT
BT
Gol. Darah
Kimia Klinik
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinin
GDS
Seroimmunologi
HbsAg
22 April 2016
Nilai normal
9,9
3,90
30.9
3,76
243
82,3
26,3
32,0
14.5
7.4
4.00
2.00
O
11,5-15,5 g/dL
4800-10800/L
35-45%
4,0-5,2x106/
150000-450000/L
80,0-99,0 fl
27,0-31,0 pg
33,0-37,0 %
11,5-14,5 %
7,2-14,1 fl
1-3 menit
1-6 menit
17
8
16,9
0,63
85
<31 U/L
<32 U/L
10-50 mg/dL
0,60-0,90 mg/dL
200 mg/dL
Negatif
Negatif
6
EKG
I. TINDAK LANJUT
7
Ceftriaxone 2x1 gr iv
Ketorolac 3x30 mg iv
Ondancentron 2x4 mg iv
Asam Traneksamat 3x 500 mg iv
Transfusi PRC 1 kolf
Monitoring hemodinamik tiap 15 menit selama 1 jam pertama, selanjutnya tiap 1/2
jam sampai dengan hemodinamik stabil.
J. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis pre operatif : Menometroraghia, P2 A0 Mioma uteri
Status Operatif
: ASA 2, Mallampati I
Jenis Operasi
:
- Total abdominal histerektomi dan bilateral salpingo ooforektomi
Jenis Anastesi
: General Anastesi
K. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Menometroraghia, P2 A0 Mioma uteri
2. Diagnosis Pasca Bedah
Menometroraghia, P2 A0 Mioma uteri
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a. Infus RL 500 cc
b. Asam Traneksamat 1 gr
c. Tramadol 100 mg
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan
: Laparatomi
b. Jenis Anestesi
: General Anestesi
c. Teknik Anestesi
: General Anastesi dengan intubasi dengan ET
kinking no 7,5 dimasukkan oral
d. Mulai Anestesi
: 23 April 2016, pukul 07.28WIB
e. Mulai Operasi
: 23 April 2016, pukul 07. 35 WIB
f. Respirasi
: Pernapasan dengan kendali / bagging dan ventilator
g.
h.
i.
j.
( TV 364/ 12 x/ mnt)
Posisi
: Supine / terlentang
Cairan Durante Operasi : RL 500 ml
Pemantauan Tekanan Darah dan HR
Terlampir
Selesai operasi
: 08.30 WIB
Pasien, Ny. RB, 48 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi Total
abdominal histerektomi dan bilateral salpingo ooforektomi pada tanggal 23 April 2016
dengan diagnosis pre operatif Menometroraghia, P2A0 Mioma uteri. Persiapan operasi
dilakukan pada tanggal 22 April 2016. Dari anamnesis pasien mengeluh perdarahan dari jalan
8
lahir tidak berhenti berhenti sejak 1 bulan terakhir, darah yang keluar berbentuk gumpalan
dan berwarna merah. Nyeri di daerah perut bagian bawah juga dirasakan pasien. Dalam
sebulan siklus menstruasi tidak teratur, darah banyak (3-4 pembalut/ hari) selama 3 hari, nyeri
haid 2-3 hari pada awal menstruasi. Gangguan BAK berupa BAK sering, atau BAK sedikitsedikit tidak dirasakan pasien. Sulit buang air besar dan nyeri saat BAB tidak dirasakan
pasien. Pasien tidak mengeluhkan nafsu makan menurun atau penurunan berat
badan. .Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 119/70 mmHg; nadi 82
x/menit; respirasi 20 x/menit; suhu 36,8OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang
dilakukan tanggal 22 April 2016 dengan hasil: Hb 9,9 g/dl; golongan darah O ; Leukosit 3.90
L; ureum 16,9 mg/dl; kreatinin 0,63 mg/dl; SGOT 17 U/L; SGPT 8 U/L; GDS 85 mg/dL dan
HBsAg(-). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan
bahwa pasien masuk dalam ASA II akibat anemia ringan.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2cc/kgBB/jam,
sehingga kebutuhan perjam dari penderita adalah 104 cc/jam. Sebelum dilakukan operasi
pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi
lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek
samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan
selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi sekitar 624cc.
Operasi total abdominal histerektomi dan bilateral salpingo ooforektomi dilakukan
pada tanggal 23 April 2016. Pasien dikirim dari bangsal Multazam. Pasien masuk ke ruang
OK 3 pada pukul 07.15 dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 119/63 mmHg;
Nadi 83 x/menit, dan SpO2 99 %. Dilakukan injeksi Ondansentron 4 mg dan fentanyl 104
microgram dilanjutkan propofol 182 mg dan atracurium 41 mg. Pemberian fentanyl yang
merupakan obat opioid yang bersifat analgesic dan bisa bersifat induksi. Penggunaan
premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan
pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.
Karena dilakukan operasi laparatomi dan membutuhkan waktu yang lama, maka dokter
anestesi memilih untuk melakukan genaral anastesi dengan teknik intubasi oral.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi
yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 2vol% dengan oksigen dari mesin ke
jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan
pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah
dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
9
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas
lain, dan baunya pun lebih manis dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil
dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka dialirkan
sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan
dengan bagging kemudian diikuti ventilator dengan laju napas 12 x/ menit, TV 364. Sesaat
sebelum operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahanlahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan menjelang operasi hampir selesai.
Operasi selesai tepat jam 08:30 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevoflurane dihentikan karena pasien sudah nafas
spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk
menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 850 cc Ringer Laktat. Perdarahan
pada operasi ini kurang lebih 100 cc.Pada pukul 08.15 WIB, sebelum selesai pembedahan
dilakukan pemberian analgetik.,injeksi ketorolac 30 mg tramadol 100 mg, injeksi Asam
traneksamat 1 gr, diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat dan mengatasi perdarahan setelah prosedur pembedahan dengan
pertimbangan transfusi.
Pada pukul 08.30 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD
120/80 mmHg; Nadi 75x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 1 jam 5 menit
dengan perdarahan 100 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room)
dan dinilai aldrette score yaitu 9 dan dilakuakan tranfusi PRC 1 kolf setelah selesai pasien
kembali ke ruangan. Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama
pasca operasi stabil yaitu 115/75 mmHg.
10
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot2.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis1,2.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal.Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan5,6.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
yang luas.5
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
Muscle relaxant: relaksasi otot rangka.2,3
1. Macam-macam Teknik Anestesi6,7
Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas
yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak
12
status
fisik
dengan
klasifikasi
ASA
(American
Society
Anesthesiology):
ASA I
13
ASA II
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
a.
I.
Anamnesis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
14
8.
II.
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
4.
5.
ii.
iii.
iv.
6.
7.
8.
9.
III.
Lab rutin :
15
1.
2.
3.
4.
EKG
2.
3.
4.
5.
AGD, elektrolit.
b. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :1,2
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,
dan rencana anestesi yang akan digunakan2.
c. Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi1,2,3 :
16
a. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB).Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil,
suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk
meminimalkan depresi pernapasan residual.Opioid dosis tinggi yang deberikan selama
operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian
dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid
potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut.Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk
memberikan efek analgesi perioperatif3.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.Lamanya efek
depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik
fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan
yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi
dopaminergik di striatum.Efek ini di antagonis oleh nalokson.Fentanyl biasanya
digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi.Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam
bentuk kombinasi tetap dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu
butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida
memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia1,2.
d. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol
17
induksi
anestesi
karena
menurunnya
resitensi
arteri
perifer
dan
venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obatobat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
18
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik1, 10.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.
e. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.2.3,10
o Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain
4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi
19
golongan
ini
menghambat
transmisi
neuromuscular
sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini
dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal
kurarin.5,6,7
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali1,2.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
20
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu
antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama
kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit3,8.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja
obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.
Nampaknya
atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan
penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu
dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv
g. RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.2
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.1,2,5
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 1050 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena
dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse
propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
21
= 8 ml/kgBB/jam.
22
Aktivitas
motorik
Respirasi
Sirkulasi
Kesadaran
Warna kulit
Kriteria
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas
perintah atau secara sadar.
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah
atau secara sadar.
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas
perintah atau secara sadar.
Nafas adekuat dan dapat batuk
Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi
Apneu/tidak bernafas
Tekanan darah berbeda 20% dari semula
Tekanan darah berbeda 20-50% dari semula
Tekanan darah berbeda >50% dari semula
Sadar penuh
Bangun jika dipanggil
Tidak ada respon atau belum sadar
Kemerahan atau seperti semula
Pucat
Sianosis
Skor
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
23
Kriteria
Kesadaran
Jalan napas
Bangun
Respon terhadap stimuli
Tak ada respon
Batuk atas perintah atau menangis
Mempertahankan jalan nafas dengan baik
Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan nafas
Gerakan
Skor
2
1
0
2
1
0
2
1
0
Kesadaran
Jalan napas
Aktifitas
Kriteria
Sadar penuh, membuka mata, berbicara
Tidur ringan
Tidak bergerak
Skor
4
3
2
1
3
2
1
0
2
1
0
24
Kriteria
Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Mampu menela, batuk, dan muntah
Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
Muntah
Pernafasan
perkembangan
Muntah, mual pusing minimal
Tidak ada sesak nafas, stridor, dan
Kesadaran
mendengkur
Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang
BAB IV
PEMBAHASAN
25
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas
masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK
Menurunnya jumlah hemoglobin pada tubuh akan mempengaruhi proses metabolisme
jaringan karena gangguan transportasi oksigen ke jaringan. Sehingga pada pasien yang
mengalami penurunan angka hemoglobin pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap harus
segera mengatasi penyebabnya dan memberikan cairan pengganti ataupun komponen eritrosit
sendiri. Pada pasien ini terdapat penurunan angka hemoglobin ringan akibat perdarahan diluar
menstruasi yang terjadi berulang (menometroraghia) yang merupakan manifestasi klinis dari
mioma uterii.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik anestesi
yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi
perdarahan.
Pada pasien ini menggunakan teknik pembedahan Total Abdominal Histerektomi
ditambah bilateral salfingo-ooforektomi yang memakai alat bantu pembedahan berupa cauter
yang memungkinkan perdarahan yang terjadi selama operasi dikoagulasikan secepat mungkin
sehingga resiko perdarahan dapat dikurangi karena prinsip kerjanya memotongan jaringan
maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
1.
26
Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini
diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai
puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling tidak 6 jam untuk
mengosongkan lambung, sehingga
Persiapan kantung darah sebagai persiapan bila terjadi perdarahan durante atau
post operasi
Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada kasus ini
memerlukan waktu yang diperkirakan lama dan mempunyai efek amnesia.
Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal
tube.
Selama operasi dipasang ET teknik cepat.
2. Premedikasi
b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah maka diberikan fentanyl
104mcg I.V.
3. Induksi
a.
Digunakan Propofol 182 mg karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan
distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi
neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan
dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
b.
muscle relaxan non depolarization sehingga tidak menimbulkan fasikulasi dan nyeri otot pada
pasien. Selain itu atracurium juga mempunyai waktu kerja menengah sehingga diharapkan
sesuai dengan permulaan induksi hingga lama pembedahan.
4. Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2 : 2, serta sevofluran 2 vol %.
5. Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 52 kg )
a. Jam I
(104cc + 312cc + 208cc) = 624 cc
b.
DAFTAR PUSTAKA
28
&
reanimasi.2010.
Panduan
Kepaniteraan
Klinik
Anestesiologi.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi
ke- 4. Jakarta:Gaya baru.
7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran
FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta:Media Aesculapius
Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Ilmu Anestesi dan
Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta. 2010. p.49-65.
9. Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A,; Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. p.48-53.
10. Aitkenhead, Alan R.; Rowbotham, David J.; Smith, Graham. Textbook of Anesthesia
4th edition. London : Churchill Livingstone. 2001. p.152-63.
29