Professional Documents
Culture Documents
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Nama :
An. MRR
Umur :
9 bulan (09-07-2015)
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Nama Ayah :
J (38 tahun)
Nama Ibu
:
SN (40 tahun)
Bangsa
:
Sumatera Selatan
Agama
:
Islam
Alamat:
Talang Bandung
Dikirim oleh :
pasien datang sendiri
MRS Tanggal:
25 April 2016
penderita dibawa berobat ke bidan, diberi obat penurun panas sanmol namun demam
tidak turun.
Sejak 1 hari SMRS penderita masih demam, kejang (-), batuk (+), dahak (+),
nyeri saat menelan (-), pilek (+). Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (-).
BAK seperti biasa, BAB cair (+), cair lebih banyak dari pada ampas, frekuensi
4x/hari sebanyak - gelas belimbing.. Penderita dibawa berobat ke puskesmas
Tanjung Agung, diberi obat paracetamol dan obat racikan. Setelah minum obat
penurun panas, demam turun.
Sejak 2 jam SMRS anak kembali demam dan disertai kejang seluruh tubuh,
lama kejang 10 menit, frekuensi 1 kali dalam 24 jam, kejang seluruh badan dan
1
mata mendelik keatas, kaki tangan kelonjotan. Penderita kemudian dibawa ke RSUD
Ibnu Sutowo Baturaja.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat kejang demam saat anak berusia 5 hari, kejang bersifat tonik klonik, mata
mendelik keatas, frekuensi 1 kali dalam 24 jam, lama kejang 10 menit.
Riwayat kejang demam berulang pada usia 8 bulan, kejang bersifat tonik klonik,
mata mendelik keatas, frekuensi 1 kali dalam 24 jam, lama kejang 10 menit.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal
Riwayat sosial ekonomi
Penderita adalah anak keempat dari empat bersaudara. Ayah penderita bekerja
sebagai buruh dan ibu penderita adalah ibu rumah tangga. Pendapatan perbulan
keluarga adalah Rp 800.000,00
Kesan: sosial ekonomi menengah kebawah
Riwayat Higienitas
Anak tinggal bersama ayah, ibu, dan tiga kakaknya dalam satu rumah. Rumah
berukuran 3x15m. Rumah memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi yang
dipakai bersama. Sumber air yang digunakan adalah air sumur.
Kesan: higienitas kurang
2. Riwayat Makanan
ASI
: tidak mendapat ASI sejak lahir
Susu formula
: sejak lahir hingga sekarang
Bubur susu
: 6 bulan 8 bulan
Nasi tim
: 8 bulan sekarang
Frekunsi makan : 3x/hari, @ 8-10 sendok makan bayi, makanan bersisa
Ikan
: 2x / mingggu
Hati ayam
: 3x/ minggu
Sayur
: 4x/minggu (bayam dan wortel)
Susu
: 12x/ hari
Buah
: 1x/ hari (pisang)
Biskuit
: 1x/ hari
Kesan
3. Riwayat Imunisasi
BCG
= 1x, scar (+)
Hepatitis B
= 3x
DPT
= 3x
Polio
= 4x
Campak
= 1x
Kesan
4. Riwayat Keluarga
Penyakit yang sama dalam keluarga disangkal
Saudara
:3
Pedigree
:
Keterangan:
: laki-laki
: perempuan
: pasien
5. Riwayat Perkembangan
Gigi pertama : 3 bulan
Berbalik
: 4 bulan
Tengkurap
: 4 bulan
Merangkak : 5 bulan
Duduk
: 7 bulan
Berdiri
: 9 bulan
Kesan
: riwayat perkembangan normal
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
3
Kesadaran
: compos mentis
Suhu
: 37,9C
Respirasi
: 42 kali permenit
Nadi
BB
: 8500 g
TB
: 79 cm
Status gizi
BB/U
PB/U
BB/PB
: 0 (-2) SD normal
: 0 2 SD normal
: -2 (-3) SD gizi kurang
Lingkar kepala
: 46 cm 0 (+2) SD normosefali
Kulit
Pemeriksaan Khusus
Kepala
Bentuk
Rambut
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, diameter
3mm/3mm, refleks cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung
: napas cuping hidung (-), mukosa hiperemis (-), septum deviasi (-)
Telinga
: deformitas (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan
mastoid (-/-), sekret (-/-)
Mulut
Leher
Thorax
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: vesikuler (+) normal pada kedua lapangan paru, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: HR: 129 x/menit, reguler, bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi
: cembung
Palpasi
: lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), cubitan kulit perut <2 detik
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Ekstremitas
STATUS NEUROLOGIS
Fungsi motorik
Pemeriksaan
Tungkai
Lengan
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek fisiologis
Reflek patologis
Kanan
Luas
5
Eutoni
Normal
Refleks
Luas
5
Eutoni
Normal
Refleks
Kanan
luas
5
eutoni
normal
-
Kiri
Luas
5
Eutoni
Normal
-
Babinski
Babinski (+)
Fungsi sensorik
(+)
: Dalam batas normal
RESUME
Sejak 2 hari SMRS anak mengalami demam, terus menerus disertai kejang.
Kejang berlangsung selama 10 menit, kejang seluruh badan dan mata mendelik keatas,
bersifat tonik klonik, frekuensi 1 kali dalam 24 jam. Penderita juga mengeluh batuk (+),
dahak (+), nyeri saat menelan (-), pilek (+). Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun
(-). BAK seperti biasa (warna kuning, frekuensi 4-5 kali/hari), tidak ada nyeri saat BAK,
BAB cair (+), darah (-), cair lebih banyak dari pada ampas, frekuensi 4x/hari sebanyak
5
DIAGNOSIS KERJA
Kejang demam sederhana + diare akut tanpa dehidrasi
VII.
TATALAKSANA
a. Pemeriksaan Anjuran
Darah tepi lengkap
Elektrolit dan glukosa darah
Lumbal pungsi
Pemeriksaan EEG
b. Terapi
IVFD KAEN I B gtt VIII x/menit
Inj. Ampisilin 3 x 300 mg
Inj. Sagestam 3 x 20 mg
Inj. Diazepam 3 x 1 mg
Paracetamol 4 x 90 mg (3/4 cth)
c. Diet
Nasi tim 3x sehari
Susu formula 8x sehari
Snack (berupa biskuit atau buah) sebagai makanan selingan
d. Monitoring
Tanda vital
Kejang berulang
e. Edukasi
- Memberitahukan cara penanganan kejang
- Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang berulang
- Menjelaskan tentang pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif
tetapi harus diingat adanya efek samping obat
VIII. PROGNOSIS
Qua ad vitam
Qua ad functionam
Qua ad sanationam
IX.
: dubia ad bonam
: dubia
: dubia
FOLLOW UP
Tanggal
Keterangan
28-04-2016 S : demam (-), batuk (+), pilek (+)
Pkl 07.00
O:
Status Generalis
KU: tampak sakit sedang
Sens : kompos mentis
N : 125 x/m
RR : 38 x/m
T : 36,9oC
Status Klinis
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), pupil bulat isokor 3mm, reflek
cahaya+/+
Leher : pembesaran KGB (-), tonsil T2-T2 hiperemis (+)
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
7
Lenga
Kanan
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek
Luas
5
Eutoni
Normal
Kiri
n Kiri
Luas
5
Eutoni
Normal
Kanan
luas
5
eutoni
normal
Luas
5
Eutoni
Norma
l
-
fisiologis
Reflek
Refleks
patologis
Babinsk Babinsk
Refleks
i (+)
i (+)
Fungsi sensorik
T : 37,1oC
Status Klinis
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), pupil bulat isokor 3mm, reflek
cahaya+/+
Leher : pembesaran KGB (-), tonsil T2-T2 hiperemis (+)
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : cembung, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
BU (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3
Fungsi motorik
Pemeriksaan
Tungkai
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek fisiologis
Reflek patologis
Kanan
Luas
5
Eutoni
Normal
Refleks
Luas
5
Eutoni
Normal
Refleks
Kanan
luas
5
eutoni
normal
-
Babinski (+)
Babinski (+)
Fungsi sensorik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KEJANG DEMAM
2.1
Definisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial.
Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 38 derajat
celcius di atas suhu rektal atau lebih. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
2.2
Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4
tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki.
10
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada
tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden
kejadian sebesar 37%. Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 4% dari
jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan
penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam
kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang
demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki.
2.3
Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi
umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor
hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam
mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya.
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam
dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam
adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media
akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak
akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi
saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat
menyebabkan kejang demam.
2.4
Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO 2
dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
11
keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
Klasifikasi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua
2.5.1
2.5.2
2.6
Berlangsung singkat
Kejan fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang parsial
Manifestasi Klinis
12
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit
tanpa adanya kelainan neurologik.
Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami
demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba),
kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai
dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya
terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat
kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :
1.
2.
3.
Sulit bernapas
4.
Busa di mulut
5.
6.
2.7
Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit
lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan
akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi structural pada
system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
2.7.1 Anamnesis
13
meningoensefalitis)
Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
diagnosis
atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala
2.7.2 Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindahpindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
-
Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun ubun besar yang tegang dan membenjol
menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh
pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran
menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior
yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
OMA, GE)
Pemeriksaan refleks patologis
Pemeriksaan
tanda
rangsang
meningeal
meningoensefalitis)
2.7.3 Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap
14
(menyingkirkan
diagnosis
Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dapat mengganggu
2.7.4
Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari 12 bulan sangat
-
beberapa ahli berpendapat EEG tidak sensitif pada anak < 3 tahun.
CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya: kelainan neurologi
fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
2.8
Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan
apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak
biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain.oleh sebab
itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.
Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan anak yang
masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan gangguan
neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal
dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui pungsi
lumbal.
Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.
Tabel Diagnosa Banding
No
Kriteri Banding
Kejang Demam
Epilepsi
Meningitis
Ensefalitis
1.
2.
3.
4.
Kejang
Kelainan Otak
Kejang berulang
Penurunan kesadaran
Pencetusnya
Tidak berkaitan
Salah satu
demam
dengan demam
(+)
(+)
(-)
gejalanya demam
(+)
(+)
(+)
(-)
(+)
(+)
15
2.9
Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
2.9.1
berhenti. Apabila pasien datang dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mm/kgBB
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering digunakan di rumah
sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun
atau 7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
Jika kejang masih berlanjut :
1.
Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang selang
infus, 0,5 mg/kg per rektal
2.
2.
3.
intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
2.9.2
Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas, pernafasan,
sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya semua pakaian ketat dibuka,
posisi kepala dimiringkan untuk mencegah aspirasi lambung. Penting sekali mengusahakan
jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau
trakeostomi. Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah dengan
pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan dan dimonitor sekiranya terdapat
16
kelainan metabolik atau elektrolit. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernafasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat.
Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi, manakala pembuluh
darah perifer akan mengalami vasokontrisksi. Kompres es dan alkohol tidak lagi digunakan
karena pembuluh darah perifer bisa mengalami vasokontriksi yang berlebihan sehingga
menyebabkan proses penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih terganggu. Kompres
hangat juga tidak digunakan karena walaupun bisa menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh
darah perifer, tetapi sepanjang waktu anak dikompres, tubuh anak menjadi semakin panas,
anak menjadi semakin rewel dan gelisah. Menurut penelitian, apabila suhu penderita
mengalami demam tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres air biasa. Dengan ini, proses
penguapan bisa terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan-lahan. Tidak ditemukan bukti
bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli
di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Dosis ibuprofen 5 10 mg/kgBB/kali, 3 4 kali sehari.
2.9.3
penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Kejang demam kompleks
merupakan salah satu indikasi seorang pasien untuk dirawat di rumah sakit selain adanya
hiperpireksia, pasien <6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan terdapat kelainan
neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:
Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam
diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada
anak selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan
dosis 10-15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 510mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak dipergunakan
untuk mencegah terulangnya kejang demam ialah diazepam, baik diberikan secara rectal
dengan dosis 5 mg pada anak dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan
berat di atas 10kg, maupun oral dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat tubuh
38,50C. Profilaksis intermitten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk
menderita kejang demam sedehana sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
17
Fenobarbital, karbamazepin dan fenition pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam.
2. 10 Prognosis
1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS
0,46% s/d 0,74%.
2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50
% pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang
demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami
serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau
tidak sama sekali faktor di atas.
4. Hemiparesis. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun
kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental. Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami
kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan
perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila
kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan
menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.
19
Definisi
Penyakit diare merupakan satu dari penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak
di bawah usia lima tahun di negara berkembang. Diare adalah bertambahnya frekuensi
defekasi lebih dari biasanya, >3 kali per hari disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi
cair) dengan atau tanpa darah dan atau lendir. Bila diare berlangsung kurang dari 14 hari
dinamakan diare akut.
3.2
Epidemiologi
Berdasarkan data World Health Organization(WHO) ada sekitar 2 miliar kasus diare
diseluruh dunia setiap tahunnya dan 1,9 juta balita mengalami diare per tahun, terbanyak
pada negara berkembang. Diare merupakan penyakit urutan pertama yang menyebabkan
pasien rawat inap di rumah sakit berdasarkan data kementrian kesehatan republik Indonesia.
Bila dilihat per kelompok umur, diare tersebar di semua kelompok umur dengan prevalensi
tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%. Pada survey yang dilakukan
kemenkes tahun 2010 diketahui bahwa proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah
kelompok umur 6 11 bulan yaitu sebesar 21,65%. Cara penularan diare umumnya melalui
cara fekal oral yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen,
atau kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yeng telah tercemar tinja
penderita atau tidak langsung melalui lalat.
3.3
Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh proses infeksi maupun non infeksi. Proses infeksi dapat
disebabkan oleh bakteri, virus dan parasit. Bakteri yang dapat menyebabkan diare seperti
Campylobacter jejuni; salmonella; shigella; vibrio cholera; dan escherichia coli, virus
misalnya rotavirus; calcivirus; atau astovirus dan parasit yang menjadi penyebab diare seperti
giardia lamblia; entamoeba hystolytica; atau blastocystis homonis. Di negara berkembang
kuman patogen penyebab penting diare akut pada anak-anak yaitu rotavirus, eschericia coli
enterotoksigenik, shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. Sedangkan proses
non infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya diare antara lain defek anatomis,
malabsorbsi, endokrinopati, keracunan makanan, infeksi non gastrointestinal, alergi susu sapi,
defisiensi imun dan lain-lain.
20
3.4
Mekanisme
Secara garis besar terdapat 2 mekanisme terjadinya diare yaitu diare osmotik dan diare
sekretorik. Diare osmotik terjadi karena adanya bahan yang tidak diserap sehingga
menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat
hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas akibatnya terjadi perbedaan tekanan osmosis
antara lumen usus yang menyebabkan tekanan osmotik di rongga usus meningkat yang akan
menarik air dan elektrolit ke dalam lumen usus, sehingga air dan elektrolit terbuang bersama
feses dan
misalnya toksin pada dinding usus yang akan merangsang peningkatan sekresi air dan
elektrolit ke dalam rongga usus, sekresi air dan elektrolit ini menyebabkan air dan elektrolit
terbuang bersama feses dan timbul diare. Dikenal 2 bahan yang menstimulasi seksresi lumen
yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia seperti laksansia serta asam lemak. Toksin
penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP,
cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase sehingga menyebabkan
fosforilasi membran protein yang mengakibatkan perubahan saluran ion sehingga terjadi
diare.
Diare yang tidak segera diatasi dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit dan
keseimbangan asam basa akibat dari kehilangan air dan elektrolit. Derajat dehidrasi dapat
dinilai berdasarkan kriteria gabungan dari WHO , Maurice King dan MMWR antara lain:
Tabel 3.1 Derajat dehidrasi
Gejala
Tanpa dehidrasi,
Kehilangan BB < 3%
sedang,
berat,
kehilangan BB > 9%
kehilangan BB 3% Kesadaran
Baik
9%
Normal,
Denyut jantung
Normal
gelisah, irritable
Normal meningkat
Tidak Sadar
Takikardi, bradikardi
lelah, Apatis,
Letargi,
Kualitas nadi
Normal
Normal melemah
Pernapasan
Mata
Normal
Normal
Normal cepat
Sedikit cekung
teraba
Dalam
Sangat cekung
Ubun-ubun besar
Air mata
Normal
Ada
Sedikit cekung
Berkurang
Sangat cekung
Tidak ada
21
Mukosa mulut
Turgor kulit
CRT
Ekstremitas
Kencing
Basah
Segera kembali
Normal
Hangat
Normal
Kering
Kembali < 2
Memanjang
Dingin
Berkurang
Sangat kering
kembali > 2
Memanjang, minimal
Dingin, sianotik
Minimal
mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus
yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare. Pemberian Zinc
selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi
frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian
diare pada 3 bulan berikutnya.
3.6
Komplikasi
Kegagalan upaya rehidrasi oral misalnya pengeluaran tinja cair yang sering dengan
volume banyak, muntah yang menetap, tidak dapat minum, kembung dan ileus paralitik serta
malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut mungkin penderita harus diberikan
cairan intravena, beberapa masalah yang mungkin terjadi selama rehidrasi antara lain:
3.6.1 Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma >150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala
yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan
kadar natrium plasma yang cepat dapat menimbulkan edema otak.
3.6.2 Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung
sedikit garam, dapat terjadi hiponatremia (Na< 130 mmol/L). Hiponatremi sering terjadi pada
anak malnutrisi berat dengan oedema.
3.6.3 Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia bila K >5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium
glukonas 10% 05-1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5-10 menit dengan monitor detak
jantung.
3.6.4 Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia jika K<3,5 mEq/L, hipokalemia dapat menyebabkan kelemahan
otot, paralitik usus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat dicegah
dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan
makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.
3.7
Edukasi
Setelah penderita dipulangkan, harus diberikan penjelasan kepada orang tua penderita
b. Cuci tangan pakai sabun dan air bersih sebelum makan dan buang air besar.
c. Rebus air minum terlebih dahulu .
d. Gunakan air bersih untuk memasak.
e. Buang air besar di jamban.
3.8
Prognosis
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, prognosis diare
TONSILO FARINGITIS
4.1
Definisi
Tonsilofaringitis merupakan peradangan pada tonsil atau faring ataupun keduanya yang
disebabkan oleh bakteri (seperti str. Beta hemolyticus, str. Viridans, dan str. Pyogenes) dan
juga oleh virus. Penyakit ini dapat menyerang semua umur.
4.2
Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak berusia 3
tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus, rhinovirus, dan virus
parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah
bakteri terbanyak penyebab penyakit faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut
mencakup
15-30%
pada
anak
sedangkan
pada
dewasa
hanya
sekitar
5-10%
24
4.3
Tonsilitis Kronik
lama, beberapa bulan
hingga
streptokokus piogenes.
Tonsil hiperemis & edema
Kripte tidak melebar
Detritus + / -
Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan
mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi,
serta melalui makanan merupakan cara penularan yang kurang berperan.Penyebaran SBGA
memerlukan penjamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian
menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring,
uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di
faring yang menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan eritem faring, tonsil, atau
keduanya. Infeksi streptococcus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin
ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus dan SBHGA lebih banyak terjadi akibat
kontak tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan kontak oral. Gejala akan
tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam.
4.4
Manifestasi Klinik
25
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokan
dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh
anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga
didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok. Gejala seperti rhinorrea, suara serak, batuk,
konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rhinitis dapat
ditemukan pada anamnesa.
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut streptococcus
menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem pada tonsil dan faring yang disrtai
pembesaran tonsil.
Faringitis streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala seperti awitan akut
disertai mual muntah, faring hiperemis, demam, nyeri tenggorokan, tonsil bengkak dengan
eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak dannyeri, uvula bengkak dan merah,
ekskoriasi hidung disertai impetigo sekunder, ruam skarlatina, petekie palatum mole.Tanda
khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah, dan berwarna kelabu pada
faring. Pada faringitis akibat virus dapat ditemukan ulkus di palatum mole, dan didnding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24
jam berlangsung 4-10 hari dengan prognosis baik.
4.5
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui
pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pada saat ini terdapat metode cepat mendeteksi
antigen streptococcus grup A dengan sensitivitas dan spesivitas yang cukup tinggi.
4.6
Tata laksana
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah
dapat digunakan sebagai pengganti pilihan pengganti penisislin pada anak yang lebih kecil
karena selain efeknya sama amoksisilin memiliki rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis
50 mg/kgBB/ hari dibagi 2 selama 6 hari. Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari,
Klindamisin 30 mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat
digunakan untuk pengobatan faringitis streptococcus pada penderita yang alergi terhadap
penisilin.
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk mengurangi
frekuensi tonsillitis rekuren. Indikator klinis yang digunakan adalah Childrens Hospital of
Pittsburgh Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi
antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih episode infeksi
tenggorok
sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis media kronis dan berulang.
Indikasi tonsiloadenektomi yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apneu akibat
pembesaran adenotonsil.
4.7
Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi biasanya
BAB III
ANALISIS MASALAH
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa MRR, anak laki-laki berusia 9 bulan memiliki
keluhan utama kejang disertai demam, batuk berdahak, pilek, dan BAB cair. Kejang
27
berlangsung selama 10 menit, kejang seluruh badan dan mata mendelik keatas, kaki tangan
kelonjotan, frekuensi 1 kali dalam 24 jam. Dari anamnesis tersebut dapat kita tegakkan
bahwa anak mengalami kejang demam sederhana, karena memenuhi kriteria kejang demam
sederhana yaitu berlangsung singkat, serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit,
bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal, dan tidak berulang dalam waktu 24
jam.
Anak juga mengeluh batuk (+), dahak (+), nyeri saat menelan (-), pilek (+), mual (-),
muntah (-), nafsu makan menurun (-). BAK seperti biasa (warna kuning, frekuensi 4-5
kali/hari), tidak ada nyeri saat BAK, BAB cair (+), darah (-), cair lebih banyak dari pada
ampas, frekuensi 4x/hari sebanyak - gelas belimbing. Dari anamnesis tersebut dapat
ditegakkan bahwa anak juga mengalami diare akut karena memenuhi kriteria yaitu
bertambahnya frekuensi defekasi anak lebih dari biasanya (>3 kali per hari) disertai
perubahan konsistensi tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah dan atau lendir dan
berlangsung kurang dari 14 hari. Anak didiagnosis mengalami diare akut tanpa dehidrasi
karena anak tidak letargi, mata tidak cekung, masih mau menyusu, dan cubitan kulit kembali
<2 detik.
Keluhan lain yang dialami anak yaitu batuk, pilek, dan dari pemeriksaan fisik
didapatkan tonsil membesar T2-T2 hiperemis, faring hiperemis sehingga ditegakkan
diagnosis anak juga menderita tonsilofaringitis akut.
DAFTAR PUSTAKA
Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi 15.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 2060
Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran
No. 27. 1982 : 6 8.
Berhman, R. E., R. M. Kliegman, H. B. Jenson. 2011. Nelson Textbook of Paediatrics
dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC, 2000. Hal 2059-2067.
28
Pusponegoro HD, Widodo DP, Sofyan I. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit
Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 14.
Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta
2006.
Febrile Seizures: Causes, Symptoms, Diagnosis and Treatment. Diunduh pada tanggal 9
Februari 2013. Didapatkan dari: www.medicinenet.com/febrile_seizures/article.htm
Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2. Blackwell
pulblishing; 2006. Hal 72-90.
Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan Lange, 2002
Pudjaji AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedoman
pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia; Jakarta. 2010. h. 150-2.
Ministry of health service. Guidelines and protocols febrile seizure. British columbia medical
association. 2010.
Febrile Seizures Fact Sheets: National Institutes of Neurology and Stroke Diunduh pada
tanggal
Februari
2013.
Didapatkan
dari:
www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.htm
Simon
H,
Pediatrics,
Pharyngitis.
http://emedicine.medscape.com/article/803258-
overview2010.
Roni Naning dkk. Faringitis, Tonsillitis, Tonsilofaringitis Akut dalam RespirologiAnak.
Jakarta : IDAI. 2008
Rusmarjono dkk. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta : FKUI.2007
29