You are on page 1of 50

1

SKENARIO 3
Video : Abdominal Pain
STEP 1
a. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
b. Akut abdomen adalah menunjukkan adanya keadaan darurat dalam abdomen
yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan
pembedahan.
STEP 2
1.
Apa saja jenis-jenis nyeri akut abdomen ?
2.
Apa saja sifat-sifat nyeri abdomen ?
3.
Apa penyebab dari akut abdomen ?
4.
Bagaimana patofisiologi appendisitis?
5.
Bagaimana penegakan diagnostik akut abdomen ?
6.
Bagaimana penatalaksanaan akut abdomen ?
STEP 3
1. Jenis-jenis nyeri akut abdomen
a. Nyeri somatik
b. Nyeri visceral
2. Sifat-sifat nyeri abdomen
a. Nyeri alih
b. Nyeri kolik
c. Nyeri kontinue
d. Nyeri proyeksi
e. Nyeri iskemik
f. Nyeri pindah
3. Penyebab dari akut abdomen
a. Perdarahan
b. Perforasi
c. Penyumbatan
d. Peradangan
e. Pankreatitis
4. Patofisiologi appendisitis
Apendisitis adalah peradangan dari

apendiks

vermiformis,

dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun

5. Penegakan diagnostik akut abdomen


a. Anamesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksan penunjang
6. Penatalaksanaan akut abdomen
a. Tindakan penanggulangan darurat
b. Tindakan penanggulangan definitive
STEP 4
1. Jenis-jenis nyeri akut abdomen
a. Nyeri somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi
saraf tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada
dinding perut. Nyeri dirasakan seperti disayat atau ditusuk, dan pasien dapat
menunjuk dengan tepat dengan jari lokasi nyeri. Rangsang yang
menimbulkan nyeri dapat berupa tekanan, rangsang kimiawi atau proses
radang.
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang
peritoneum dan dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun

gesekan antara kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas


nyeri. Gesekan inilah yang menjelaskan nyeri kontralateral pada
appendisitis akut. Setiap gerakan penderita, baik gerakan tubuh maupun
gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga akan menambah intensitas nyeri
sehingga penderita pada akut abdomen berusaha untuk tidak bergerak,
bernafas dangkal dan menahan batuk.
b. Nyeri visceral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur
dalam rongga perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale yang
menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak
peka terhadap perabaan, atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau
penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada pasien. Akan
tetapi bila dilakukan penarikan atau peregangan organ atau terjadi kontraksi
yang berlebihan pada otot sehingga menimbulkan iskemik, misalnya pada
kolik atau radang pada appendisitis maka akan timbul nyeri. Pasien yang
mengalami nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjukkan secara tepat
letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya
untuk menunjuk daerah yang nyeri. Nyeri viseral kadang disebut juga nyeri
sentral.
Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan
embrional organ yang terlibat. Saluran cerna berasal dari foregut yaitu
lambung, duodenum, sistem hepatobilier dan pankreas yang menyebabkan
nyeri di ulu hati atau epigastrium. Bagian saluran cerna yang berasal dari
midgut yaitu usus halus usus besar sampai pertengahan kolon transversum
yang menyebabkan nyeri di sekitar umbilikus. Bagian saluran cerna yang
lainnya adalah hindgut yaitu pertengahan kolon transversum sampai dengan
kolon sigmoid yang menimbulkan nyeri pada bagian perut bawah. Jika tidak
disertai dengan rangsangan peritoneum nyeri tidak dipengaruhi oleh gerakan
sehingga penderita biasanya dapat aktif bergerak.
2. Sifat-sifat nyeri abdomen
a. Nyeri alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari
satu daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah
ke bawah pada masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh

perdarahan atau peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada


kolestitis akut, nyeri dirasakan pada daerah ujung belikat. Abses dibawah
diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada permukaan
limpa atau hati juga dapat menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau
kolik pielum ginjal, biasanya dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti
labia mayora pada wanita atau testis pada pria
b. Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ
berongga dan biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ
tersebut (obstruksi usus, batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan
intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia yang dialami oleh jaringan
dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka kolik dirasakan hilang
timbul. Kolik biasanya disertai dengan gejala mual sampai muntah. Dalam
serangan, penderita sangat gelisah. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri
dari serangan nyeri perut yang hilang timbul mual atau muntah dan gerak
paksa.
c. Nyeri kontinue
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan
terus menerus karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi
radang. Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskuler secara refleks
untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat
d. Nyeri proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf
sensoris akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal adalah
nyeri phantom setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat herpes
zooster. Radang saraf pada herpes zooster dapat menyebabkan nyeri yang
hebat di dinding perut sebelum gejala tau tanda herpes menjadi jelas
e. Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat,
menetap, dan tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang
terancam nekrosis. Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti
takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari
jaringan nekrosis.

3. Penyebab dari akut abdomen


a. Perdarahan
b. Perforasi
c. Penyumbatan
d. Peradangan
e. Pankreatitis
4. Patofisiologi appendisitis
Apendisitis adalah peradangan dari

apendiks

vermiformis,

dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun

Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat
pada massa atau abses appendiculer

b) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
1) Nyeri tekan di Mc. Burney (+) Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
Mc Burney kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini
merupakan tanda kunci diagnosis
2) Nyeri lepas (+) Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa
nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen
kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik.
3) Defans muscular (+) lokal. Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal. Pada appendix letak retroperitoneal,
defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang .
4) Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah,
apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah,
hal ini diakibatkan oleh adanya tekanan yang merangsang peristaltik
dan udara usus, sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendix
yang meradang sehingga nyeri dijalarkan karena iritasi peritoneal pada
sisi yang berlawanan (somatik pain)
5) Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks Ada 2 cara memeriksa :
I. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulatio coxae kanan maka akan terjadi nyeri
perut kanan bawah.
II. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, nyeri perut kanan bawah
6) Obturator Sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar (endorotasi
articulatio coxae) secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan
apendiks terletak pada daerah hypogastrium
c) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendicitis perforata
5. Penegakan diagnostik akut abdomen
A. Anamesis
a) Lokasi nyeri

b) Radiasi perasaan nyeri Kadang-kadang informasi mengenai cara


penyebaran rasa nyeri (radiasi perasaan nyeri) dapat memberikan
petunjuk mengenai asal-usul atau lokasi penyebab nyeri itu. Nyeri
yang berasal dari saluran empedu menjalar ke sam ping sampai
bagian bawah scapula kanan. Nyeri karena appendicitis dapat mulai
dari daerah epigastrium untuk ketnudian berpindah ke kwadran
kanan bawah. Nyeri dari daerah rektum dapat menetap di daerah
punggung bawah.
c) Bentuk rasa nyeri Nyeri pada akut abdomen dapat berbentuk nyeri
terusmenerus atau berupa kolik
d) Perubahan fisiologi alat pencernaan seperti Nafsu makan, mual,
muntah, defekasi teratur, mencret, obstipasi, perut kembung,
serangan kolik, sudah berapa lama semua perubahan ini berlangsung
e) Perubahan anatomi seperti adanya benjolan neoplasma, adanya luka
akibat trauma, adanya bekas operasi
B. Pemeriksaan fisik
Dilaksanakan dengan memeriksa dulu keadaan umum penderita
(status generalis) untuk evaluasi keadaan sistim pemafasan, sistim
kardiovaskuler dan sistim saraf yang merupakan sistim vital untuk
kelangsungan kehidupan. Pemeriksaan keadaan lokal (status lokalis
abdomen) pada penderita dilaksapakan secara sistematis dengan
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Tanda-tanda khusus pada akut
abdomen tergantung pada penyebabnya seperti trauma, peradangan,
perforasi atau obstruksi.
a. Inspeksi
Tanda-tanda khusus pada trauma daerah abdomen adalah : Penderita
kesakitan. Pernafasan dangkal karena nyeri didaerah abdomen.
Penderita pucat, keringat dingin. Bekas-bekas trauma pads dinding
abdomen, memar, luka,prolaps omentum atau usus. Kadang-kadang
pada trauma tumpul abdomen sukar ditemukan tanda-tanda khusus,
maka harus dilakukan pemeriksaan berulang oleh dokter yang sama
untuk

mendeteksi

kemungkinan

terjadinya

perubahan

pada

pemeriksaan fisik. Pada ileus obstruksi terlihat distensi abdomen bila


obstruksinya letak rendah, dan bila orangnya kurus kadang-kadang
terlihat peristalsis usus (Darm-steifung). Keadaan nutrisi penderita.

b. Palpasi
I. Akut abdomen memberikan rangsangan pads peritoneum melalui
peradangan atau iritasi peritoneum secara lokal atau umum
tergantung dari luasnya daerah yang terkena iritasi.
II. Palpasi akan menunjukkan 2 gejala : Perasaan nyeri dan Kejang otot
(muscular rigidity, defense musculaire)
c. Perkusi
Perkusi pada akut abdomen dapat menunjukkan 2 hal:
1) Perasaan nyeri oleh ketokan pads jari. Ini disebut sebagai nyeri
ketok.
2) Bunyi timpani karena meteorismus disebabkan distensi usus yang
berisikan gas pads ileus obstruksi rendah.
d. Auskultasi
Auskultasi tidak memberikan gejala karena pada akut abdomen terjadi
perangsangan peritoneum yang secara refleks akan mengakibatkan
ileus paralitik.
e. Pemeriksaan rectal toucher atau perabaan rektum dengan jari telunjuk

juga merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi adanya trauma


pads rektum atau keadaan ampulla recti apakah berisi faeces atau
teraba tumor.
C. Pemeriksan penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin
Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus
menerus.

Demikian

pula

dengan

pemeriksaan

hematokrit.

Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya


infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama
pada kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi
menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi
usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan
trauma pads hepar.
b. Pemeriksaan urine rutin Menunjukkan adanya trauma pads saluran
kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat
menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
c. Pemeriksaan radiologi. Foto thoraks Selalu harus diusahakan
pembuatan foto thoraks dalam posisi tegak untuk menyingkirkan
adanya kelainan pada thoraks atau trauma pads thoraks. Harus juga

diperhatikan adanya udara bebas di bawah diafragma atau adanya


gambaran usus dalam rongga thoraks pada hernia diafragmatika.
d. Plain abdomen foto tegak Akan memperlihatkan udara bebas dalam
rongga peritoneum, udara bebas retroperitoneal dekat duodenum,
corpus alienum, perubahan gambaran usus.
e. IIVP (Intravenous Pyelogram) Karena alasan biaya biasanya hanya
dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.
f. Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan Bereuna

sebagai

pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan


disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
6. Penatalaksanaan akut abdomen
a. Tindakan penanggulangan darurat
a) Berupa tindakan resusitasi untuk memperbaiki sistim pernafasan
dan kardiovaskuler yang merupakan tindakan penyelamatan jiwa
penderita. Bila sistim vital penderita sudah stabil dilakukan
tindakan lanjutan berupa (B) dan (C).
b) Restorasi keseimbangan cairan dan elektrolit.

c) Pencegahan infeksi dengan pemberian antibiotika.


b. Tindakan penanggulangan definitive
Tujuan pengobatan di sini adalah :
a) Penyelamatan jiwa penderita dengan menghentikan sumber
perdarahan.
b) Meminimalisasi cacat yang mungkin terjadi dengan cara :
Menghilangkan sumber kontaminasi, meminimalisasi kontaminasi
yang telah terjadi dengan membersihkan rongga peritoneum,
mengembalikan kontinuitaspassage usus dan menyelamatkan
sebanyak mungkin usus yang sehat untuk meminimalisasi cacat
fisiologis. Tindakan untuk mencapai tujuan ini berupa operasi
dengan membuka rongga abdomen yang dinamakan laparotomi.
Bagan:

10

STEP 5
1. Etiologi, patofisiologi, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
a. Gastrointestinal bleeding
b. Ulkus peptikum
c. Peritonitis
d. Pankreatitis
e. Aorta abdominal aneurisma
f. Appendisitis

STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
1. Etiologi, patofisiologi, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
1) Gastrointestinal bleeding
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapi.
Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam
jiwa hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien
dengan perdarahan saluran cerna adalah dengan menentukan beratnya
perdarahan dan lokasi perdarahan. Hematemesis (muntah darah segar atau

11

hitam) menunjukkan perdarahan dari saluran cerna bagian atas, proksimal dari
ligamentum Treitz. (Sudoyo, 2009).
Melena (tinja hitam, bau khas) biasanya akibat perdarahan saluran cerna
bagian atas, meskipun demikian perdarahan dari usus halus atau kolon
bagian kanan, juga dapat menimbulkan melena. Hematokezia (perdarahan
merah segar) lazimnya menandakan sumber perdarahan dari kolon,
meskipun perdarahan dari saluran cerna bagian atas yang banyak juga dapat
menimbulkan hematokezia atau feses warna marun. Dalam kurun waktu
dekade terakhir tampaknya pasien akibat perdarahan saluran cerna
meningkat secara signifikan. Mortalitas akibat perdarahan saluran cerna
bagian atas adalah 3,5-7%, sementara akibat perdarahan saluran cerna
bagian bawah adalah 3,6%. (Sudoyo, 2009).
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
A. Pemeriksaan Awal
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan
adalah menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada
status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi di bawah ini, yaitu:
1) Tekanan darah dan nadi posisi baring
2) Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3) Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4) Kelayakan napas
5) Tingkat kesadaran. (Sudoyo, 2009).
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume
intravaskular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil,
dengan tanda-tanda sebagai berikut:
1) Hipotensi (< 90/60 mm Hg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi

nadi > 100/menit


2) Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mm Hg atau sistolik turun > 20

mm Hg
3) Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/ menit
4) Akral dingin
5) Kesadaran menurun

12

6) Anuria atau oliguria (produksi urin < 30 ml/jam). (Sudoyo, 2009).

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai


kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan hematemesis,
hematokesia (berak darah segar), darah segar pada aspirasi pipa
nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih, hipotensi persisten,
dalam 24 jam menghabiskan tranfusi darah melebihi 800-1000 ml.
(Sudoyo, 2009).
B. Stabilisasi Hemodinamika Pada perdarahan Saluran Cerna
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
(misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat menggunakan dua
jarum berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (Central
Venous Pressure), tujuannya memulihkan tanda - tanda vital dan
mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan
cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia
berat. Secepatnya kirim pemeriksaan
golongan

darah,

darah

untuk

menentukan

kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, lekosit.

Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu ditindaklanjuti dengan


melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu
pembekuan, retraksi bekuan darah, PPT, dan aPTT. (Sudoyo, 2009).
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual,
tergantung jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah
berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan
tersebut. Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna
dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:
1) Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
2) Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya
1 liter atau lebih
3) Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin < 10 g%
atau hematokrit < 30%. (Sudoyo, 2009).
Terdapat tanda - tanda oksigenasi jaringan yang menurun. Perlu
dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah
perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru

13

berlangsung. Proses hemodilusi dan cairan ekstravaskular selesai 24 72 jam setelah onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah
tranfusi darah tergantung kasus yang dihadapi, untuk usia muda dengan
kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut 30%, sedangkan pada hipertensi
portal jangan melebihi 27-28%. (Sudoyo, 2009).
C. Pemeriksaan Lanjutan
Sambil

melakukan

upaya

mempertahankan

stabilitas

hemodinamik lengkapi anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan pemeriksaan lain yang diperlukan. Dalam anamnesis yang perlu
ditekankan adalah:
1) Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang
keluar
2) Riwayat perdarahan sebelumnya
3) Riwayat perdarahan dalam keluarga
4) Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
5) Penggunaan obat - obatan terutama anti inflammasi non steroid dan
anti koagulan
6) Kebiasaan minum alkohol
7) Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah,
demam tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi, alergi
obat - obatan
8) Riwayat transfusi sebelumnya. (Sudoyo, 2009).
Adapun pemeriksaan fisis yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut:
1) Stigmata penyakit hati kronik
2) Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
3) Tanda - tanda kulit dan mukosa penyakit sistematik yang bisa disertai
perdarahan saluran makanan, misalnya pigmentasi mukokutaneus
pada sindrom Peutz-Jegher. (Sudoyo, 2009).
Table 1. Perbedaan perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)
dan perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB). (Sudoyo,
2009).

14

Perdarahan SCBA
Manifestasi

klinis Hematemesis

pada umumnya

melena

Aspirasi

Berdarah

Perdarahan SCBB

atau Hematokesia
Jernih

nasogastrik
Rasio

(BUN/ Meningkat > 35

< 35

kreatinin)
Auskultasi usus

Hiperaktif

Normal

Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan adalah sebagai


berikut:
1) Elektro kardiogram, terutama pasien berusia > 40 tahun
2) BUN, kreatinin serum pada perdarahan SCBA pemecahan darah
oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan
kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat
3) Elektrolit (Na, K, Cl), perubahan elektrolit bisa terjadi karena
perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung
4) Pemeriksaan lainnya tergantung macam kasus yang dihadapi.
(Sudoyo, 2009).
D. Penatalaksanaan
a) Non-Endoskopis
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama
dilakukan adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan
air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi
lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian
manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Kumbah
lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan
endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah
perdarahan. Berdasarkan percobaan hewan, kumbah lambung
dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan jadi

15

memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa timbul


ulserasi pada mukosa lambung. (Sudoyo, 2009).
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang
mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan
pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah. Vasopressin
dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi
pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta

menurun. Digunakan di klinik untuk

perdarahan akut varises esofagus sejak tahun 1953. Pernah dicobakan


pada perdarahan nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak
berbeda dengan plasebo. (Sudoyo, 2009).
Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung
vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung
vasopressin dan oxcytocin. Pemberian vasopressin dilakukan
dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml
dekstrose 5%, diberikan 0.5-1 mg/menit/ iv selama 20-60 menit dan
dapat diulang tiap 3 - 6 jam atau setelah pemberian pertama
dilanjutkan

per

infus

0,1-O.5

U/menit.

Vasopressin

dapat

menimbulkan efek samping serius berapa insufiensi koroner


mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan
preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40
meg/ menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400
meg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90
mm Hg. (Sudoyo, 2009).
Somatostatin dan analognya

(octreotide) diketahui dapat

menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding


vasopressin. Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises
esofagus

dimulai

sekitar

tahun

1978.

Somastostatin

dapat

menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70-80% kasus,


dan dapat pula digunakan pada pada perdarahan nonvarises. Dosis
pemberian somastatin, diawali dengan bolus 250 meg/iv, dilanjutkan
per infus 250 meg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan

16

berhenti, oktreotide dosis bolus 100 meg/iv dilanjutkan per infus 25


meg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti. (Sudoyo,
2009).
Obat - obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan
bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak
peptik ialah inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus
omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam
selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20%
sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4,2%. Suntikan omeprazol
yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa
digunakan per infus ialah persediaan esomeprazol dan pantoprazol
dengan dosis sama seperti omeprazol. Pada perdarahan SCBA ini
antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan
untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan.
Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA
karena tukak peptik kurang bermanfaat. (Sudoyo, 2009).
Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan
varises esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah
Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai tiga pipa
serta dua balon masing - masing untuk esofagus dan lambung.
Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah
pnemoni aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon
sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya
dilakukan

oleh

tenaga

medik

yang

berpengalaman

dan

ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat. (Sudoyo, 2009).


b) Endoskopi
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih
aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode
terapinya meliputi:
1) Contact thermal (monopoiar atau bipolar elektrokoaguiasi, heater
probe)
2) Noncontact thermal (laser)

17

3) Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol,


cyanoacrylate, atau pemakaian klip). (Sudoyo, 2009).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman
apabila dilakukan ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman.
Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus
perdarahan SCBA, sedangkan 10% sisanya tidak dapat dikerjakan
karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga
pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara
keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan,
namun pada kasus perdarahan arterial yang bisa berhenti spontan hanya
30%. Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak
peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik
perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap
kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak
melebihi 1 ml. (Sudoyo, 2009).
Penyuntikan bahan sklerosan seperti alcohol absolute atau
polidokanol umumnya tidak dianjurkan karena bahaya tirnbulnya tukak
dan perforasi akibat nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan.
Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan
bisa mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya
perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20%. Hemostasis endoskopi
merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises esofagus.
(Sudoyo, 2009).
Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi
perdarahan varises esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari
efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi
terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal mendekati
cardia bergerak spiral setiap 1 - 2 cm. Dilakukan pada varises yang
sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami
perdarahan seperti bekuan darah yang melekat, bilur-bilur merah,
noda hematokistik, vena pada vena. (Sudoyo, 2009).

18

Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif bila ligasi endoskopik


sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus berlangsung, atau
teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan
antara lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl 0,9%, dan
alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi
dikerjakan. Penyuntikan

dimulai dari

bagian paling distal

mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai


sejauh 5 cm. Pada perdarahan varises lambung dilakukan
penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises lambung
hasilnya kurang baik. (Sudoyo, 2009).
c) Terapi Radiologi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap
berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila
terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko.
Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan
vasopressin

atau

embolisasi

arterial.

Bila

dinilai

tidak

ada

kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises


dapat

dipertimbangkan

TIPS

(Transjugular

Intrahepatic

Portosystemic Shunt). (Sudoyo, 2009).


d) Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik,
endoskopi dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya
dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multidisipliner pada
pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang
tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan. (Sudoyo, 2009).
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
A. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah umumnya didefinisikan
sebagai perdarahan yang berasal dari usus di sebelah bawah
ligamentum Treitz. Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian
bawah datang dengan keluhan darah segar sewaktu buang air besar.
Hampir 80% dalam keadaan akut berhenti dengan sendirinya dan tidak

19

berpengaruh pada tekanan darah, seperti pada perdarahan hemoroid, polip


kolon, kanker kolon atau kolitis. Hanya 15% pasien dengan perdarahan
berat dan berkelanjutan berdampak pada tekanan darah. Perdarahan berat
biasanya berasal dari bagian proksimal dan terminal ileum. Sebelas
persen pasien - pasien dengan hematokezia sebenarnya berasal dari
perdarahan saluran cerna bagian atas dan 9% berasal dari usus halus.
(Sudoyo, 2009).
B. Karakteristik Klinik
1) Hematokezia
Hematokezia diartikan darah segar yang keluar melalui anus dan
merupakan manifestasi tersering dari perdarahan saluran cerna bagian
bawah. Hematokezia lazimnya menunjukkan perdarahan kolon
sebelah kiri, namun demikian perdarahan seperti ini juga dapat berasal
dari saluran cerna bagian atas, usus halus, transit darah yang cepat.
(Sudoyo, 2009).
2) Melena
Melena diartikan sebagai tinja yang berwarna hitam dengan bau
yang khas. Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi
hematin atau hemokrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam.
Umumnya melena menunjukkan perdarahan di saluran cerna bagian
atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga
berasal dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan
mobilitas. Tidak semua kotoran hitam ini melena karena bismuth,
sarcol. Lycorice, obat - obat yang mengandung besi (obat tambah
darah) dapat menyebabkan feces menjadi hitam. Oleh karena itu
dibutuhkan test guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin.
(Sudoyo, 2009).
3) Darah samar
Darah samartimbul bilamana ada perdarahan ringan namun tidak
sampai merubah warna tinja/feses. Perdarahan jenis ini dapat
diketahui dengan tes guaiak. (Sudoyo, 2009).

20

C. Penyebab Perdarahan
Perdarahan divertikel kolon, angiodisplasia dan kolitis iskemik
merupakan penyebab tersering dari saluran cerna bagian bawah.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang kronik dan berulang
biasanya berasal dari hemoroid dan neoplasia kolon. Tidak seperti
halnya perdarahan saluran cerna bagian atas, kebanyakan perdarahan
saluran cerna bagian bawah bersifat lambat, intermiten, dan tidak
memerlukan perawatan rumah sakit. (Sudoyo, 2009).
1) Divertikulum
Perdarahan dari divertikulum biasanya tidak nyeri dan terjadi
pada 3% pasien diverkulosis. Tinja biasanya berwarna merah marun,
kadang - kadang bias juga menjadi merah. Meskipun divertikel
kebanyakan ditemukan di kolon sigmoid namun perdarahan divertikel
biasanya terletak di sebelah kanan. Umumnya terhenti secara spontan
dan tidak berulang, oleh karena itu tidak ada pengobatan khusus yang
dibutuhkan oleh para pasien. (Sudoyo, 2009).
2) Angiodisplasia
Angiodisplasia merupakan penyebab 10 - 40% perdarahan
saluran cerna bagian bawah. Angiodiplasia merupakan salah satu
penyebab kehilangan darah yang kronik. Angiodisplasia kolon biasanya
multipel, ukuran kecil kurang dari diemeter < 5mm dan biasa
terlokalisir di daerah caecum dan kolon sebelah kanan. Sebagaimana
halnya dengan vaskular ekstasia di saluran cerna, jejas di kolon
umumnya berhubungan degah usia lanjut, insufisiensi ginjal, dan
riwayat radiasi. (Sudoyo, 2009).
3) Kolitis iskemia
Kebanyakan kasus kolitis iskemia ditandai dengan penurunan
aliran darah viseral dan tidak ada kaitannya dengan penyempitan
pembuluh darah mesenterik. Umumnya pasien kolisis iskemia berusia
tua. Dan kadang - kadang dipengaruhi juga oleh sepsis, perdarahan
akibat lain, dan dehidrasi. (Sudoyo, 2009).
4) Penyakit perianal

21

Penyakit perianal contohnya hemoroid dan fisura ani biasanya


menimbulkan perdarahan dengan warna merah segar tetapi tidak
bercampur dengan feces. Berbeda dengan perdarahan dari varises
rectum pada pasien dengan hipertensi portal kadang - kadang bisa
mengancam nyawa. Polip dan karsinoma

kadang - kadang

menimbulkan perdarahan yang mirip dengan yang disebabkan oleh


hemoroid oleh karena itu pada perdarahan yang diduga dari hemoroid
perlu dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan polip
dan karsinoma kolon. (Sudoyo, 2009).
5) Neoplasia kolon
Tumor kolon yang jinak maupun ganas yang biasanya terdapat
pada pasien usia lanjut dan

biasanya berhubungan dengan

ditemukannya perdarahan berulang atau darah samar. Kelainan


neoplasma di usus halus relatif jarang namun meningkat pada pasien
IBD seperti Crohn s Disease atau celiac sprue. (Sudoyo, 2009).
6) Penyebab Lain
Kolitis yang merupakan bagian dari IBD, infeksi (Campilobacter
jejuni spp, Salmonella spp. Shigella spp, E. coli) dan terapi radiasi, baik
akut maupun kronik. Kolitis dapat menimbulkan perdarahan namun
biasanya sedikit sampai sedang. Divertikular Meckel merupakan
kelainan kongenital di ileum dapat berdarah dalam jumlah yang
banyak akibat dari mukosa yang menghasilkan asam. Pasien
biasanya anak - anak dengan perdarahan segar maupun hitam yang
tidak nyeri. Intususepsi menyebabkan kotoran berwarna marun disertai
rasa nyeri di tempat polip atau tumor ganas pada orang dewasa.
(Sudoyo, 2009).
Hipertensi portal dapat menimbulkan varises di ileukolon dan di
anorektal yang dapat menimbulkan perdarahan dalam jumlah yang
besar. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah yang lebih
jarang seperti fistula autoenterik, ulkus rektal soliter, dan ulkus di
caecum. (Sudoyo, 2009).
D. Pendekatan Klinis

22

Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan jasmani yang akurat


merupakan data penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat.
Riwayat hemoroid atau IBD sangat penting untuk dicatat. Nyeri
abdomen atau diare merupakan petunjuk kepada kolitis atau
neoplasma. Keganasan kadang ditandai dengan penurunan berat
badan, anoreksia, limfadenopati atau massa yang teraba. (Sudoyo, 2009).
E. Pemeriksaan Penunjang
Bilamana perdarahan saluran cerna berlangsung perlahan atau
sudah berhenti maka pemeriksaan kolonoskopi merupakan prosedur
diagnostik yang terpilih sebab akurasinya tinggi dalam menentukan
sumber

perdarahan

sekaligus

dapat

menghentikan

tindakan

terapeutik. Kolonoskopi dapat menunjukkan adanya divertikel namun


demikian sering tidak dapat mengidentifikasi sumber perdarahan yang
sebenarnya. (Sudoyo, 2009).
Pada perdarahan yang hebat pemeriksaan kolonoskopi yang
dilaksanakan setelah pembersihan kolon singkat merupakan alat
diagnostik yang baik dengan akurasi yang menyamai bahkan melebihi
angiograpi. Sebaliknya enema barium tidak mampu mendeteksi sampai
20% lesi yang ditemukan secara endoskopi khususnya jejas angioplasia.
Pada perdarahan saluran cerna yang diduga berasal dari distal
ligamentum Treitz dan dengan pemeriksaan kolonoskopi memberikan
hasil yang negatif maka dapat dilakukan pemeriksaan enteroskopi atau
endoskopi kapsul yang dapat mendeteksi jejas angiodisplasia di usus
halus. (Sudoyo, 2009).
Kasus dengan perdarahan yang berat tidak memungkinkan
pemeriksaan dengan kolonoskopi maka dapat dilakukan pemeriksaan
angiografi dengan perdarahan lebih dari ml per menit. Sebelum
pemeriksaan angiograpi dilakukan sebaiknya periksa terlebih dahulu
dengan scintigraphy bilamana lokasi perdarahan tidak dapat
ditemukan. Sebagian ahli menganjurkan pendekatan angiografi
dengan pemberian heparin atau streptokinase untuk merangsang

23

perdarahan sehingga mempermudah deteksi lokasi perdarahan.


(Sudoyo, 2009).
Helical CT-angiography juga dapat mendeteksi angiodisplasia.
Divertikulum Meckel dapat didiagnosis dengan scanning Meckel
menggunakan radio label technetium yang akan berakumulasi pada
mukosa yang memproduksi asam di dalam divertikulum. Enema barium
dapat

bermanfaat

untuk

mendiagnosis

sekaligus

mengobati

intususepsi. Pemeriksaan usus halus dengan barium yang teliti juga dapat
menunjukkan divertikulum Meckel. Deteksi sumber perdarahan yang
tidak lazim di usus halus membutuhkan enteroclysis yaitu pemeriksaan
usus halus dengan barium yang melibatkan difusi barium, Air, methyl
selulosa melalui tabung fluoroskopi yang melewati ligamentum Treitz
untuk

menciptakan

gambaran

kontras

ganda.

Bila

enteroskopi,

kolonoskopi, radio barium tidak dapat mengidentifikasi sumber


perdarahan dan suplementasi besi dapat mengatasi dampak kehilangan
darah maka pemeriksaan lebih lanjut tidak dapat dilanjutkan.
(Sudoyo, 2009).
F. Penatalaksanaan
Resusitasi pada perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut
mengikuti protokol yang juga dianjurkan pada perdarahan saluran cerna
bagian atas. Dengan langkah awal menstabilkan hemodinamik. Oleh
karena perdarahan saluran cerna bagian atas yang hebat

juga

menimbulkan darah segar di anus maka pemasangan NGT (nasogastric


tube) dilakukan pada kasus - kasus yang perdarahannya kemungkinan dari
saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan laboratorium memberikan informasi
serupa dengan perdarahan saluran cerna bagian atas meskipun azotemia
jarang ditemukan

pada perdarahan

saluran cerna bagian atas.

Pemeriksaan segera diperlukan pada kasus - kasus yang membutuhkan


transfusi lebih 3 unit pack red cell. (Sudoyo, 2009).
Beberapa perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat diobati
secara medikamentosa Hemoroid fisura ani dan ulkus rektum soliter
dapat diobati dengan bulk-forming agent, sitz baths, dan menghindari

24

mengedan. Salep yang mengandung steroid dan obat supositoria


sering digunakan namun manfaatnya masih dipertanyakan. Kombinasi
estrogen dan progesteron dapat mengurangi perdarahan yang timbul
pada pasien yang menderita angiodisplasia. IED biasanya memberi
respons terhadap obat - obatan anti inflamasi. pemberian formalin
intrarekta) dapat memperbalki perdarahan yang timbul pada proktitis radiasi.
Respon serupa juga terjadi pada pemberian oksigen hiperbarik. (Sudoyo,
2009).
Colonoscopic bipolar cautery, moncpolar cautery, heater probe
application, argon plasma caogulation, and Nd:YAG laser bermanfaat
untuk mengobati angiodisplasia dan perubahan vaskular pada kolitis
radiasi. Kolonoskopi juga dapat digunakan untuk melakukan ablasi dan
reseksi polip yang berdarah atau mengendalikan perdarahan yang timbul
pada kanker kolon. Sigmoidoskopi dapat mengatasi perdarahan
hemoroid internal dengan ligasi maupun teknik termal. Bilamana
kolonoskopi gagal atau tidak dapat dikerjakan maka angiografi dapat
digunakan untuk melakukan tindakan terapeutik.

Embolisasi arteri

secara selektif dengan polyvinyl alcohol atau mikrokoil telah


menggantikan vasopressin intraartery untuk mengatasi perdarahan
saluran cerna bagian bawah. (Sudoyo, 2009).
Embolisasi angiografi merupakan pilihan terakhir karena dapat
menimbulkan infark kolon sebesar 13-18%. Pada beberapa diagnostik
(seperti divertikel Meckel atau keganasan) bedah merupakan pendekatan
utama setelah keadaan pasien stabil. Bedah emergensi menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan dapat memperburuk keadaan
klinis. Pada kasus - kasus dengan perdarahan berulang tanpa diketahui
sumber

perdarahannya

maka

hemikolektomi

kanan

atau

hemikolektomi subtotal dapat dipertimbangkan dan memberikan hasil


yang baik. (Sudoyo, 2009).
G. Komplikasi
Sebagaimana halnya perdarahan saluran cerna bagian atas, perdarahan
saluran cema bagian bawah yang masif dapat menimbulkan sequele yang

25

nyata. Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang berulang atau kronik
berhubungan dengan morbiditas dan dapat menyebabkan

kebutuhan

transfuse yang lebih sering dan juga dapat


menguras sumber pembiayaan kesehatan. Perdarahan yang persisten
biasanya berasal dari usus halus dan tidak dapat dijangkau dengan
tindakan terapi endoskopi, hanya dapat dilakukan diagnosis saja.
(Sudoyo, 2009).
2) Ulkus peptikum
Ulkus gaster adalah suatu gambaran bulat atau semi bulat/ oval,
ukuran 5 mm kedalaman sub mukosal pada mukosa lambung akibat
terputusnya kontinuitas atau integritas mukosa lambung. Ulkus gaster
merupakan lukanterbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan
tukak ditutupi debris. (Stratemeier, 2012)
A. Etiologi
Faktor asam lambung (difusi balik ion H+), bahan iritan akan
menimbulkan defek mukosa barier dan terjadi difusi balik ion H +.
Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung,
timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler,
kerusakan mukosa lambung, gastritis akut / kronis, dan ulkus gaster.
(Stratemeier, 2012)
1) Disfungsi pilorik (refluks empedu dan motilitas antrum)
Bila mekanisme penutupan sfingter pilorus tidak baik, artinya
tidak

cukup

berespon

terhadap

rangsangan

sekretin

atau

kolesistokinin, akan terjadi refluks empedu dari duodenum ke antrum


lambung,

sehingga terjadi defek pada mukosa

barier yang

menimbulkan difusi balik ion H+. Ulkus gaster yang letaknya dekat
dengan

pilorus

biasanya

memperlambat

gerakan

antrum,

memperlambat pengosongan lambung melalui gerakan propulsif


antrum. (Isselbacher, 2000)
2) Helycobacter pylori
Infeksi kuman ini akan menimbulkan gastritis kronik atrofi sel
mukosa korpus dan kelenjar, metaplasia intestinal dan hipoasiditas.
Tingkat komplikasi pada usia lanjut cukup tinggi,

26

pada saat ini 50 % perforasi terjadi pada mereka yang berusia di


atas 70 tahun. Pada beberapa penderita, perforasi yang terjadi tidak
memberikan gejala khas (silent). (Stratemeier, 2012)
B. Gejala klinis
Secara umum pasien tukak gaster biasanya mengeluh dispepsia.
Dispepsi adalah suatu sindrom kilinik atau kumpulan keluhan beberapa
penyakit saluran cerna, seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati,
sendawa, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang.
Rasa sakit tukak gaster timbul setelah makan, dirasakan sebelah kiri.
(Isselbacher, 2000)
C. Diagnosis
a) Endoskopi, gambaran radiologi untuk tukak berupa crater atau kawah
dengan batas jelas disertai dengan lipatas mukosa yang teratur keluar
kepinggiran bagian tukak. (Mansjoer, 2008)
b) Radiografi gambaran endoskopi untuk suatu tukak

berupa luka

terbuka dengan pinggiran teratur mukosa licin dan normal disertai


lipatan yang teratur keluar dari pinggiran tukak. (Mansjoer, 2008)
D. Penatalaksanaan
Adapun tujuan terapi pada tukak gaster adalah sebagai berikut,
yaitu:
a) Menghilangkan keluhan / gejala.
b) Menyembuhkan ulkus
c) Mencegah relaps / kekambuhan
d) Mencegah komplikasi. (Mansjoer, 2008)
Walaupun tukak gaster atau tukak duodeni sedikit berbeda dalam
patofisiologi tetapi respon terhadap terapi sama. Tukak gaster biasanya
ukurannya lebih besar, akibatnya memerlukan waktu terapi yang lebih
lama. Untuk pengobatan tukak gaster sebaiknya dilakukan biopsi untuk
menyingkirkan adanya keganasan atau kanker lambung. Terapi terdiri
dari non medikamentosa, medikamentosa, dan tindakan operasi.
(Isselbacher, 2000)
a. Non-medikamentosa
1) Istirahat
2) Diet lunak, tidak merangsang pengeluaran asam lambung.
3) Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) sebaiknya dihindari.
AINS yang kurang iritan adalah golongan ibuprofen. (Mansjoer,
2008)

27

b. Medikamentosa
1) Antasida untuk menghilangkan keluhan sakit dan obat dispepsia.
2) Proton pump inhibitor (PPI) Omeprazol
3) Obat penangkal kerusakan mukus :
a) Koloid bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan
bersama protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap
rangsangan pepsin dan asam. Obat ini mempunyai efek
penyembuhan hampir sama dengan ARH2, serta adanya efek
bakterisidal terhadap H. pylori, sehingga kemungkinan relaps
berkurang. Dosis : 2 x 120 mg / hari. Efek samping : tinja
berwarna

kehitaman,

sehingga

timbul

keraguan

dengan

perdarahan. (Katzung, 2014).


b) Sukralfat
Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan melalui
pelapisan permukaan ulkus dimana anion sukralfat berikatan
dengan kutub positif molekul protein pada dasar ulkus. Dosis 4
x 1 g sebelum makan. Efek samping konstipasi, mual, perasaan
tidak enak di perut. Kombinasi dengan obat ulkus lain, seperti
ARH2, PPI, antasida tidak dianjurkan. (Katzung, 2014).
c) Prostaglandin / PG
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung,
menambah

sekresi

mukus,

sekresi

bikarbonat,

dan

meningkatkan aliran darah mukosa. Efek penekanan asam


lambung kurang kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya
digunakan

sebagai

penangkal

ulkus

pada

pasien

yang

menggunakan OAINS. Dosis 4 x 400 mg pagi dan malam hari.


Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi
otot uterus, sehingga tidak dianjurkan pada wanita hamil.
(Katzung, 2014).
c. Tindakan operasi
Indikasi operasi ulkus peptikum :
1) Gagal pengobatan
2) Adanya komplikasi perforasi, perdarahan, dan stenosis pilori
3) Ulkus gaster dengan sangkaan keganasan. (Mansjoer, 2008)
3) Peritonitis

28

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membran serosa


rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis atau kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans
muskular, dan tanda - tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis
dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit
berat dan sistemik dengan syok sepsis. (Sjamsuhidajat, 2010).
A. Etiologi
Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab primer (peritonitis
spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ
visceral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah
terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen dikelompokkan
menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local infeksi
peritonitis) relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit
yang mendasarinya. (Sjamsuhidajat, 2010).
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial
Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena
infeksi intraabdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites
terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi
translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi
bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan
abses. (Sjamsuhidajat, 2010).
Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul
komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi
adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%,
spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram
positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain
15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob
dan infeksi campur bakteri. (Sjamsuhidajat, 2010).

29

Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh


perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ - organ dalam dengan
inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram
positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier
terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi
SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan
organ. Pada pasien peritonitis tersier biasanya timbul abses dengan atau
tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril
atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan - bahan kimia, misalnya cairan
empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi
transmural dari organ - organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).
(Sjamsuhidajat, 2010).
Penyebab lain peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis,
perforasi

ulkus

peptikum,

duodenum,

perforasi

kolon

akibat

diverdikulitis, volvulus, kanker, strangulasi, dan kolon asendens.


Penyebab iatrogenik umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian
atas termasuk pankreas, saluran empedu dan kolon kadang juga dapat
terjadi dari trauma endoskopi. Jahitan operasi yang bocor (dehisensi)
merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis. (Sjamsuhidajat,
2010).
Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi,
insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya
kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya
apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang
dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko
terjadinya peritonitis sekunder dan abses makin tinggi dengan adanya
keterlibatan

duodenum,

pankreas

perforasi

kolon,

kontaminasi

peritoneal, syok perioperatif, dan transfuse yang pasif. (Sjamsuhidajat,


2010).
B. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah
keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk

30

di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan


permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pitapita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus (Silvia,
2012).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi
secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat
memulai

respon

hiperinflamatorius,

sehingga

membawa

ke

perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh


mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia (Silvia, 2012).
C. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Peritonitis Bakterial Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus
infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis
bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
Spesifik : misalnya Tuberculosis.
Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya
malnutrisi, keganasan intra abdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik,
gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis
dengan asites (Sjamsuhidajat, 2010)..
b. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)

31

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi


tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya
organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya
infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi
(Sjamsuhidajat, 2010)..
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat
memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
a) Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam cavum peritoneal.
b) Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang
disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces
keluar dari usus.
c) Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal,
misalnya appendicitis (Sjamsuhidajat, 2010).
c. Peritonitis tersier, misalnya:
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur. Peritonitis yang
sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis
yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine Sjamsuhidajat, 2004).
d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
a) Aseptik/steril peritonitis
b) Granulomatous peritonitis
c) Hiperlipidemik peritonitis
d) Talkum peritonitis
D. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu
demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia,
tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang

32

hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai


sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya
yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum (Silvia, 2012).
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk
membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaanpemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pasca transplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau
penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita
geriatric (Silvia, 2012).
E. Penatalaksanaan
Penggantian cairan koloid dan elektrolit adalah fokus utama.
Analegesik diberikan untuk mengatasi nyeri antiemetik dapat diberikan
sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula
nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi
kadang - kadang inkubasi jalan napas dan ventilasi diperlukan. Tetapi
medikamentosa

nonoperatif

dengan

terapi

antibiotik,

terapi

hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolik dan
terapi modulasi respon peradangan. (Sjamsuhidajat, 2010).
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik
stabil di dada bagian bawah atau abdomen berbeda - beda namun semua
ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia
harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien
tanpa - tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di
dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka
menembus

peritoneum

maka

tindakan

laparotomi

diperlukan.

(Sjamsuhidajat, 2010).
Prolaps visera, tanda - tanda peritonitis, syok, hilangnya bising
usus, terdapat darah dalam lambung, buli-buli dan rektum, adanya
udara bebas intraperitoneal dan lavase peritoneal yang positif juga

33

merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus


diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak
dianjurkan agar dilakukan laparotomi. (Sjamsuhidajat, 2010).
4) Pankreatitis
Pankreatitis adalah radang pankreas yang disertai manifestasi
lokal dan sistemik dan kebanyakan bukan disebabkan oleh infeksi bakteria
atau virus, namun akibat autodigesti oleh enzim pankreas yang keluar dari
saluran pankreas. Faktor sumbatan saluran pankreas yang menyebabkan
refluks diduga kuat sebagai penyebabnya. Di negara yang banyak peminum
alkohol, umumnya banyak pula ditemukan pankreatitis akut dan kronik.
(Sjamsuhidajat, 2013)
Di Asia Tenggara, sebagian kasus pankreatitis akut dicurigai
berhubungan dengan kolelitiasis, tetapi sebagian besar tidak diketahui
penyebabnya. Pankreatitis

dapat

berupa pankreatitis

akut atau

pankreatitis kronik. Keduanya dapat dibedakan melalui presentasi klinis


dan temuan radiologis. Melalui suatu simposium internasional di
Atlanta pada tahun 1992, konsensus tentang terminologi berbagai
keadaan patologis pankreatitis berhasil disepakati. (Sjamsuhidajat, 2013)
1. Pankreatitis Akut
A. Definisi
Pankreatitis akut adalah inflamasi akut pada pankreas yang
disertai oleh gangguan pada berbagai organ jauh lainnya, seperti paru
- paru, ginjal, dan jantung. Terdapat dua bentuk patologis pada
pankreatitis akut, yaitu pankreatitis ringan atau interstisial atau
edematus, yang ditandai oleh adanya edema interstisial dan
infiltrasi sel - sel polimorfonuklear, dan pankreatitis berat, yang
ditandai oleh nekrosis fokal atau difus, baik pada parenkim
pankreas, maupun jaringan lunak di sekitarnya. Pankreatitis
ringan dapat sembuh sendiri tanpa komplikasi pada organ jauh,
sedangkan pankreatitis berat sering disertai oleh infeksi, dan
gangguan sistemik, seperti kegagalan faal paru, ginjal, dan
jantung, bahkan berakhir dengan kematian. (Sjamsuhidajat, 2013)

34

B. Etiologi
Pada sepertiga sampai dua pertiga pasien, pankreatitis
disertai dengan adanya batu empedu (kolelitiasis) yang diduga
menyebabkan trauma sewaktu pasase batu, atau menyebabkan
sumbatan di daerah papila Vater. Pengobatan bedah terhadap batu
empedu sering kali menghilangkan gejala pankreatitis berulang, ini
mendukung peranan kausal batu di duktus tadi. (Sjamsuhidajat, 2013)
Garam empedu yang mengalami konjugasi dan lisolesitin juga
merupakan faktor kausal pankreatitis akibat refluks cairan
empedu ke dalam saluran pankreas yang dapat merusak dinding
saluran. Kerusakan dinding ini dapat merupakan awal terjadinya
autodigesti. Batu di dalam papila Vater dapat Juga menyebabkan
sumbatan dan spasme yang juga dianggap sebagai salah satu
faktor penyebab pankreatitis. (Sjamsuhidajat, 2013)
Faktor lain adalah penggunaan alkohol berlebihan, trauma
operasi tanpa atau dengan pipa penyalir T di duktus koledokus,
hiperparatiroidi, berbagai racun dan obat, virus tertentu, dan cedera
darl luar. Alkohol menambah konsentrasi protein dalam cairan
pancreas dan mengakibatkan endapan yang merupakan inti untuk
terjadinya kalsifikasi yang selanjutnya menyebabkan tekanan
intraduktal leblh tinggi. Selain itu, defisiensi protein pada peminum
alkohol menyebabkan degenerasi, atrofi, dan fibrosis pankreas
yang sering berakhir dengan pankreatitis kronik. (Sjamsuhidajat,
2013)
Pankreatitis pascabedah dapat disebabkan oleh Iengan
lintang pipa penyalir T yang terlalu panjang melewati sfingter
Oddi, operasi gastrektomi, dan cedera saluran pankreas atau
pembuluh darah sewaktu operasi. Kadang ditemukan hubungan
antara

penyakit

hiperparatiroidi dengan pankreatitis. Dalam

keadaan ini, gejala pankreatitis dapat merupakan tanda pertama dari


hiperparatiroidi. (Sjamsuhidajat, 2013)

35

Spasme dan sumbatan pembuluh darah daerah arteriol juga


dapat menjadi faktor pencetus terjadinya pankreatitis. Bermacam macam racun, seperti metilalkohol, seng oksida, kobal klorida, dan
klorotiazid dapat menyebabkan kerusakan pankreas sehingga timbul
pankreatitis. Penyakit parotitis epidemik akibat virus kadang
disertai amilase yang meninggi dan gejala pankreatitis. Demikian
juga virus Coxsackie dapat menyebabkan pankreatitis. Trauma
kadang dapat mencetuskan terjadinya pankreatitis. Tindakan
diagnostik secara endoskopi atau pungsi juga dapat menyebabkan
pankreatitis. (Sjamsuhidajat, 2013)
C. Gambaran Klinik
Tabel

2. Derajat pankreatiti dan manifestasi klinisnya

(Sjamsuhidajat, 2013).
Derajat Serangan
Ringan

Manifestasi Klinik
Nyeri perut akut
Tanda Perut
- Ringan
- Selama beberapa hari
Gejala dan tanda Sistemik

Sedang

- Kurang dan minimal


Nyeri perut
- Akut
- Hebat
Tanda perut
- Kembung/ distensi
- Nyeri tekan
- Defans muskuler ringan/ sedang
- Peristaltik tidak ada/ ileus paralitik
Gejala dan tanda sistemik

Berat

- Takikardia
Nyeri perut
- Akut

36

- Berat sekali
Tanda perut
Peritonitis umum: kembung perut, nyeri
tekan umum, defans muskuler umum,
peristalsis tidak ada/ ileus paralitik berat
Gejala dan tanda sistemik
- Syok dalam
- Toksemia berat
- Sindrom distress paru akut (ARDS)
Biasanya serangan pankreatitis timbul setelah makan
kenyang atau setelah minum alkohol. Rasa nyeri perut timbul tiba
- tiba atau mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di daerah
pertengahan epigastrium dan biasanya menjalar menembus ke
belakang. Rasa nyeri berkurang bila pasien duduk mbungkuk dan
bertambah bila telentang. Muntah tanpa mual dulu sering
dikeluhkan dan muntah tersebut sering terjadi sewaktu lambung
sudah kosong. Gambaran klinik bergantung pada berat dan tingkat
radang. Kadang terjadi serangan untuk satu dua hari saja dengan
udem dan infiltrasi ringan. Kadang terdapat serangan berat dengan
infiltrasi difus yang hebat. Dapat pula terjadi perdarahan difus di
pankreas,

nekrosis

terbatas

atau

luas,

sampai

gangren.

(Sjamsuhidajat, 2013)
D. Diagnosis
1) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan perut tegang dan sakit,
terutama bila ditekan. Kira - kira 90% disertai demam,
takikardia, dan leukositosis. Syok dapat terjadi bila banyak
cairan dan darah hilang di daerah retroperitoneum atau
intraperitoneum, apalagi bila disertai muntah. Rangsangan cairan
pankreas dapat menyebar ke perut bawah atau ke rongga dada
kiri sehingga terjadi efusi pleura kiri. Umumnya tampak tanda

37

ileus paralitik, gangguan fungsi ginjal akut dapat pula


ditemukan. (Sjamsuhidajat, 2013)
Mungkin pula ditemukan ikterus akibat pembengkakan
hulu pankreas atau hemolisis sel darah merah yang sering
rapuh pada pankreatitis akut. Tetani dapat timbul bila terjadi
hipokalsemia. Tanda Gray-Turner, yaitu perubahan warna di
daerah perut samping berupa bercak darah, atau tanda Cullen yang
berupa bercak darah di daerah pusar, jarang terjadi. Tanda ini
menunjukkan luasnya perdarahan retroperitoneal dan subkutis.
Nyeri perut, gejala dan tanda perut lainnya, serta gejala dan
tanda sistemik dinilai dan dibedakan menurut berat ringannya
serangan pankreatitis. Gejala klinis di atas harus dibedakan dari
gejala penyakit saluran empedu, ulkus peptikum, atau obstruksi
usus. (Sjamsuhidajat, 2013)
2) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu menegakkan
diagnosis pankreatitis akut. Kadar amilase darah yang meninggi
dan juga amilase urin dalam dua jam yang meninggi menyokong
diagnosis pankreatitis akut. Kadar amilase di cairan peritoneum
mencapai

puncak

tertinggi

sekitar

hari

ketiga

sejak

ditemukannya gejala. Kadar amilase serum paling tinggi antara


hari kedua dan keempat. Kadar amilase urin naik bersama
dengan amilase serum, tetapi penurunannya lebih lambat.
(Sjamsuhidajat, 2013)
Kolesistitis akut, perforasi ulkus peptikum, obstruksi
strangulasi usus halus, kehamilan ektopik, parotitis epidemika,
dan demam dengue, mungkin juga disertai kadar amilase tinggi.
Yang lebih menentukan diagnosis ialah rasio amilase dan
bersihan kreatinin, yaitu dapat dipastikan tidak ada pankreatitis
bila lebih dari 5. Apabila kalsium serum turun menjadi lebih
kecil dari 7,5 mg/ dl, umumnya prognosis pankreatitis akut

38

buruk. Kadar gula darah dapat meninggi atau normal.


(Sjamsuhidajat, 2013)
Kadar lipase serum dapat pula dijadikan sebagai uji
diagnostik karena akan meninggi lebih lama dan lebih spesifik
daripada amilase karena hanya dihasilkan oleh pankreas,
sedangkan peningkatan serum alanin transaminase >150 UI/1
memiliki spesifitas 96% untuk mendiagnosis pankreatitis karena
batu empedu. (Sjamsuhidajat, 2013)
3) Pencitraan
Pada pemeriksaan foto polos abdomen dapat ditemukan
distensi yeyunum karena paralisis segmen, distensi duodenum
seperti huruf C, gambaran kolon transversum yang gembung
tiba - tiba menyempit karena spasme setempat walaupun tidak
spesifik, dan juga hilangnya gambaran m. ilipsoas karena adanya
cairan retroperitoneum. (Sjamsuhidajat, 2013)
Pada

pemeriksaan

ultrasonik

ekografi

ditemukan

pembengkakan karena udem pankreas jelas, pelebaran duktus,


cairan

sekitar

pankreas,

dan

mungkin

batu

empedu.

Pemeriksaan CT scan adalah pemeriksaan yang terbaik karena


dapat

membedakan

adanya

nekrosis,

abses,

maupun

pankreatitis tanpa nekrosis. Dengan zat kontras, daerah


yang mengalami nekrosis dapat diidentifikasi karena tidak akan
berisi kontras. (Sjamsuhidajat, 2013)
Kelebihan lainnya adalah jika daerah nekrosis dapat
diidentifikasi, dapat dilakukan aspirasi dengan jarum suntik
untuk mengambil spesimen pemeriksaan kultur dan pewarnaan
gram yang berguna untuk menentukan ada atau tidaknya
infeksi. Pemeriksaan kolangiopankreatigrafi melalui endoskopi
berguna untuk mengidentifikasi adanya pankreas divisum,
striktura duktus, tumor, dan untuk melakukan pengangkatan
batu saluran empedu pada pasien yang disertai dengan
kolangitis akibat batu empedu. (Sjamsuhidajat, 2013)

39

Tabel 3. Criteria pancreatitis akut (Sjamsuhidajat, 2013).


Pemeriksaan Pertama
Umur >55 tahun

Pemeriksaan Setelah 48 Jam


Hematokrit turun >10%

Sel

Ureum darah >5 mg/dl

leukosit

>15.000/mm 3
Kadar

Kalsium <8 mg/dl

Glukosa

>200

mg/dl

Saturasi O 2 darah arteri turun


Defisit basa >4 meq/l

LDH

Sekuestrasi cairan >6 liter

(laktodehidrogenase)
>35 U/l
E. Pentalaksanaan
Kebanyakan

penderita

pankreatitis

pankreatitis ringan atau sedang, dapat

akut,

yaitu

dikelola secara

konservatif. Yang sangat penting pada pengobatan pankreatitis


akut ialah pemberian cairan dan elektrolit yang memadai yang
diawasi melalui pemantauan diuresis, hematokrit, volume darah,
dan tekanan vena sentral. Transfusi darah diperlukan pada
pankreatitis

hemoragik.

Pasien

mengistirahatkan

pankreas

gastropankreatik

yang

dan

harus

dipuasakan

menghindarkan

menyebabkan

unjtuk
refleks

pelepasan

gastrin.

penting

untuk

(Sjamsuhidajat, 2013)
Pemasangan

pipa

nasogastrik

mengeluarkan cairan lambung, mencegah distensinya, dan


dekompresi ileus paralitik usus. Pemberian insulin dosis rendah
diperlukan bila ada hiperglikemia, demikian juga kalsium glukonat
bila kadar kalsium serum menurun, sedangkan manfaat obat
seperti glukagon, atropin, dan inhibitor tripsin seperti trasilol
diragukan. Antibiotik diberikan karena ada kemungkinan terjadi
sepsis atau abses pankreas, terutama pada pankreatitis yang
berat. Untuk menghilangkan nyeri dapat digunakan analgesik
golongan meperidin karena morfin atau opium menyebabkan

40

spasme sfingter Oddi yang dapat memperberat pankreatitis.


(Sjamsuhidajat, 2013)
Pengambilan

batu

pada

saluran

empedu

melalui

koledokotomi atau papilotomi endoskopik sangat berguna pada


pankreatitis yang disebabkan oleh batu empedu. Pembedahan
juga diperlukan kalau ada indikasi, yaitu apabila terdapat
pankreatitis berat yang disertai dengan disfungsi organ ganda,
abses pankreas, atau nekrosis pankreas yang terinfeksi. Tindak
bedah yang diperlukan sering cukup berupa debrideman terbatas
di jaringan pankreas dan sekitarnya yang nekrotik serta
membuka semua kantong atau rongga di sekitar pankreas, mencuci
dan membilas sebersih murigkin rongga peritoneum dari cairan
pankreas,

disertai

pemasangan

beberapa buah penyalir.

(Sjamsuhidajat, 2013)
F. Komplikasi
Komplikasi pankreatitis akut ini sangat bergantung pada
perjalanan klinisnya. Yang paling sering terjadi ialah syok dan
kegagalan fungsi ginjal. Hal ini terjadi selain karena
pengeluaran enzim proteolitik yang bersifat vasoaktif dan
menyebabkan perubahan kardiovaskuler disertai perubahan
sirkulasi ginjal, juga disebabkan oleh adanya sekuestrasi cairan
dalam rongga retroperitoneum dan intraperitoneum, terutama
pada pankreatitis hemoragika dan nekrotikan. (Sjamsuhidajat,
2013)
Kegagalan fungsi paru akibat pankreatitis akut kadang terjadi
dan menyebabkan prognosis yang buruk. Hal ini terjadi akibat
adanya toksin yang merusak jaringan paru yang secara klinis
dicurigai bila ada tanda hipoksia ringan sampai udem paru
yang berat berupa sindrom distres paru akut (adult respiratory
distress syndrome, ARDS). Fungsi paru juga menurun akibat
efusi pleura yang biasanya terjadi di sebelah kiri. Pergerakan

41

diafragma sering terbatas akibat proses di dalam rongga perut.


(Sjamsuhidajat, 2013)
Nekrosis yang kemudian menjadi abses dapat terjadi dalam
perjalanan pankreatitis akut. Proses lipolitik dan proteolitik
menyebabkan trombosis dan nekrosis iskemik sekunder sehingga
mula - mula timbul massa radang atau flegmon atau abses yang
steril. Infeksi sekunder akan menimbulkan abses bakterial yang
dapat

menyebabkan

syok

septik.

Komplikasi

berupa

perdarahan, terutama pada pankreatitis nekrotikans, dapat


menyebabkan kematian. Perdarahan dapat berasal dari tukak
peptik dan erosi pembuluh darah sekitar pankreas disertai
trombosis v. lienalis dan v. porta. (Sjamsuhidajat, 2013)
Pseudokista pankreas dapat timbul setelah lebih dari dua
minggu perjalanan pankreatitis akut yang gejala pankreatitisnya
sempat mereda dulu. Kista semu ini terjadi karena adanya
pengumpulan cairan pankreas yang dikelilingi membran
jaringan ikat. Walaupun kista dapat hilang spontan, dengan.
pemeriksaan ultrasonografi, pseudokista ini lebih sering
ditemukan.

Serangan

pankreatitis

yang

berulang

dapat

menyebabkan kalsifikasi pankreas, diabetes melitus sekunder,


dan

steatorea

terutama

pada

pankreatitis

alkohol.

(Sjamsuhidajat, 2013)
G. Prognosis
Prognosis pankreatitis akut dapat diramalkan berdasarkan
tanda pada waktu pemeriksaan pertama dan 48 jam kemudian
menurut kriteria Ranson. Dengan tabel kriteria Ranson dapat
dipastikan

derajat

kegawatan

pankreatitis

akut.

Mortalitas

pankreatitis akut sangat bergantung pada gambaran klinis dan


berkisar antara 1 sampai 75%. Pada setiap kriteria Ranson
diberikan angka 1. Angka kematian untuk pasien yang negatif
pada tiga kriteria kira - kira 5%, sedangkan pasien dengan lima
atau lebih kriteria positif adalah di atas 50%. Dengan mengenal

42

stadium awal perjalanan serangan pankreatitis berat, dapat


dilakukan pengelolaan yang rasional dalam pengobatan
pankreatitis tersebut. (Sjamsuhidajat, 2013)
2. Pankreatitis Kronik
A. Diagnosis
Pada pankreatitis kronik terjadi kerusakan parenkim dan
sistem duktus pankreas yang tak berpulih dan disertai fibrosis.
Patogenesisnya tidak jelas walaupun ketagihan alkohol sering
berperan kausal. Komponen obstruksi disertai dengan naiknya
tekanan intraduktus juga sering ditemukan. Yang khas ialah nyeri
hebat terus - menerus atau berkala. Nyeri dirasakan di perut bagian
atas dan pinggang. Umumnya, penderita duduk membungkuk dengan
kedua lengan memeluk lutut. (Sjamsuhidajat, 2013)
Kadang ada tanda ikterus, obstruksi duodenum, kista semu,
dan mungkin disertai insufisiensi ekskresi endokrin maupun
eksokrin dan hipertensi portal. Pada pemeriksaan pencitraan dan
endoskopi biasanya ditemukan saluran pankreas lebar yang kadang
mengandung batu dan pengapuran parenkim. Penyakit ini biasanya
akan menyurut dan hilang setelah delapan sampai sepuluh tahun
disertai insufisiensi pankreas total. (Sjamsuhidajat, 2013)
B. Penatalaksanaan
Pankreatitis kronik ditangani secara konservatif, tindak
endoskopik, atau tindak bedah. Terapi konservatif ditujukan untuk
mengatasi nyeri dan mengistirahatkan pankreas dengan pemberian
analgesik, anjuran diet, dan pantang alkohol mutlak. Jika dengan
terapi konservatif nyeri tidak dapat dihilangkan dan mengganggu
aktivitas pasien, sedangkan penyebab lain telah disingkirkan,
pembedahan harus dilakukan. Dengan terapi endoskopik dilakukan
sfingterotomi

muara

duktus

pankreas,

ekstraksi

batu,

dan

pemasangan pipa prostesis. Batu, bila ada, juga dapat dihancurkan


secara litotripsi (shock wave lithotripsy). Endoprostesis dipasang
bila ditemukan striktur duktus setempat. (Sjamsuhidajat, 2013)

43

Tindak bedah terdiri atas pankreatektomi parsial atau total,


bergantung pada letak kelainannya. Beberapa yang

menjadi

pertimbangan jenis. tindak bedah yang dipilih adalah ukuran dan


anatomi saluran pankreas, distribusi pankreatitis pada pankreas,
ada atau tidaknya pseudokista atau striktura saluran empedu, dan
keadaan umum pasien. Jika dilatasi saluran >6 cm, tindak bedah
berupa penyaliran interna adalah yang terbaik. Namun, jika
saluran pankreas <6 cm, bedah reseksilah yang
Hipertensi

portal,

ketagihan

alkohol

atau

terpilih.

ketagihan

opiat

merupakan kontraindikasi tindak bedah. (Sjamsuhidajat, 2013)


Melalui foto Rontgen dengan kontras yang diberikan melalui
endoskop, diperoleh gambar kelainan seluruh duktus. Jika
kelainan terutama terletak di hulu pankreas, dapat dilakukan
pankreatiko-duodenektomi

menurut

Whipple.

Untuk

mempertahankan pilorus, dapat dilakukan operasi Beger, yang


merupakan ekstirpasi hulu pankreas tanpa mengganggu lambung dan
duodenum. Keuntungan operasi ini ialah jalan cerna tetap utuh
sehingga keadaan gizi penderita lebih baik. Tambahan lagi ekskresi
endokrin dan eksokrin pankreas umumnya dapat dijamin.
(Sjamsuhidajat, 2013)
Bila seluruh pankreas menunjukkan kelainan dan duktus
pankreas

tampak

melebar,

biasanya

dilakukan

yeyunopankreatikostomi menurut Partington dan Rochelle.


Pada operasi ini, duktus pankreas dibuka sepanjang pankreas
sejajar sumbu pankreas dan diadakan anastomosis dengan yeyunum
secara Roux-en-Y sehingga penyaliran ekskresi eksokrin bebas dan
terjamin. Bila kelainan hanya terletak di ekor pankreas, dapat
dipertimbangkan tindak pankreatektomi parsial. Bila hulu pankreas
rusak dan mengalami fibrosis, dapat dikerjakan autotransplantasi
korpus dan ekor pankreas. Cangkokan ini ditempatkan di fosa
iliaka melalui anastomosis a.lienalis pada a.iliaka komunis atau
pada a.ilika eksterna. (Sjamsuhidajat, 2013)

44

5) Aorta abdominal aneurisma


Aorta abdominalis merupakan bagian dari aorta yang sering
mengalami aneurisma. Sebagian besar (95%) aneurisma aorta abdominalis
terjadi infrarenal, hanya sebagian kecil (5%) yang di suprarenal. Pada
keadaan tertentu bagian proksimal aneurisma aorta abdominalis meluas ke
atas diafragma sampai ke aorta torakalis desendens dan untuk keadaan ini
disebut aneurisma torako-abdominal. (Sjamsuhidajat, 2010)
A. Etiologi
Penyebab

utama

aneurisma

aorta

abdominalis

adalah

ateriosklerosis sehingga secara lengkap disebut aneurisma aorta


abdominalis arteriosklerotikum. Arteriosklerosis merusak tunika intima
dan tunika media dinding aorta, yang kemudian menyebabkan dilatasi
bentuk fusiform. Penyebab lainnya, seperti sifilis, peradangan, atau
trauma sangat jarang ditemukan. (Sjamsuhidajat, 2010)
B. Gambaran klinis.
Kelainan ini biasanya tanpa keluhan, kecuali adanya massa di
abdomen yang ditemukan secara kebetulan. Kalaupun ada keluhan,
paling sering berupa nyeri pinggang intermiten dan terasanya denyutan
di abdomen. Nyeri ini sering disebabkan oleh ruptur kecil atau
kebocoran

aneurisma

di

retroperitoneum

yang

menyebabkan

perdarahan sedikit sedikit atau berangsur. Bila demikian, aneurisma


dikelilingi oleh hematom besar yang mengandung banyak bekuan
darah. Nyeri dapat juga timbul di perut, di epigastrium, atau di bagian
dalam abdomen. Bila nyeri bersifat kolik dan hebat, sering diduga
berasal dari batu saluran kencing, batu kandung empedu, atau
pancreatitis akut. (Sjamsuhidajat, 2010)
Nyeri sekoyong koyong yang hebat dan disertai dengan syok
mendadak merupakan pertanda

adanya ruptur aneurisma bebas di

rongga perut yang menyebabkan mati mendadak . Selanjutnya, terdapat


pula keluhan yang berhubungan dengan sistem pencernaan, seperti
konstipasi kronik, nausea, muntah, nafsu makan berkurang, malaise
atau melena. Tanda obstruksi arteri perifer dapat terjadi karena

45

tromboemboli. Emboli arteri perifer dapat terjadi karena tromboemboli.


Emboli arteri perifer tidak selalu disebabkan oleh kelainan pada
jantung, tetapi harus dipertimbangkan bahwa adanya aneurisma arteri,
misalnya di sebelah proksimal aorta. (Sjamsuhidajat, 2010)
C. Diagnosis
Diagnosis aneurisma aorta abdominalis ditegakkan berdasarkan
keluhan, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan perut
ditemukan massa yang berdenyut dan letaknya di tengah abdomen.
Terdengar bising yang selaras dengan denyut jantung di atas massa
tersebut. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu
membuat diagnosis, kecuali untuk melihat klasifikasi pada dinding
aneurisma. Pemeriksaan penunjang yang perlu adalah ultrasonografi
karena ketepatannya tinggi, aman, noninvansif, cepat, dan tidak terlalu
mahal. (Sjamsuhidajat, 2010)
D. Diagnosis Banding
Sebagai

diagnosis

banding

perlu

dipikirkan

tumor

di

retroperitoneal seperti lipoma, limfoma, dan limfosarkoma yang


melekat pada aorta. Kelainan ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan
fisik yang teliti. Aneurisma ini menimbulkan denyut yang terasa di
setiap bagian massa, sedangkan tumor tidak demikian. Bila terjadi
ruptur aneurisma aorta abdominalis, diagnosis ditegakkan berdasarkan
nyeri abdomen yang persisten akut atau subakut di bagian tengah
abdomen. Nyeri juga mungkin terasa di kiri daerah ginjal dan seringkali
mulai di pinggang. Tampak atau teraba denyutan pada massa di tengah
abdomen, menjalar ke lateral karena terjadi hematom sekunder pada
retroperitoneal. Perdarahan intraabdomen ditandai dengan syok
hemoragik dengan anemia. (Sjamsuhidajat, 2010)
E. Tatalaksana
Tindakan terpilih adalah reseksi aneurisma dan rekonstruksi
bagian tersebut dengan prosthesis secara interposisi atau bedah pintas.
Kemungkinan lain adalah melakukan pintas dalam aneurisma yang
dipasang transluminal melalui arteri femoralis. (Sjamsuhidajat, 2010)

46

6). Appendisitis
Peradangan dari dari appendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering.
A. Patofisiologi
Apendisitis

biasanya

disebabkan oleh penyumbatan

lumen

apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur


karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi
mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum
dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul
suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan
apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak,
karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada
orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah ( sudoyo, 2009 )
B. Manifestasi klinik

47

Apeendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas yang terdiri


dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bawah. Nyeri
bisa secara mendadak dimulai perut sebelah atas atau disekitar pusar, lalu
timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam rasa mual hilang dan
nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan
daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini
dilepaskan nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8 C.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh disemua bagian
perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan
di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah,
nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa
menyebabkan syok. Sakit, kram di peri umbilikus menjalar ke kuadran
kanan bawah.
a. Anorexia
b. Mual
c. Muntah (tanda yang umum, kurang umum pada anak yang lebih
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

besar)
Demam ringan di awal penyakit, dapat naik tajam pada peritonitis
Nyeri lepas
Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali
Konstipasi
Diare
Disuria
Iritabilitas
Gejala berkembang cepat, kondisi dapat di diagnosis dalam 4 sampai
6 jam setelah munculnya gejala pertama ( sudoyo, 2009 )
Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah

umbilicus/periumbilicus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12


jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan/batuk. Terdapat juga keluhan anorexia, malaise,
dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi,
tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, muntah. Pada permulaan
timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progesif dan
dengan pemeriksaan sesama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan

48

nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat


membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya
juga muncul. Bila tanda rousing, psoas dan obturatorpositif, akan
semakin menyakinkan diagnosa klinis ( sudoyo, 2009)

C. Pemetiksaan penunjang
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP
adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 46 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses
elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP
yaitu 80% dan 90% ( sudoyo, 2009)
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian
yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi
USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan
92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 9697% (sudoyo, 2009 )
c. Analisa urin
bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah ( sudoyo,
2009)
D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

49

a. Penanggulangan konservatif Penanggulangan konservatif terutama


diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan
bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna
untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik (sudoyo, 2009)
b. Operasi Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis
maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks
(appendektomi).

Penundaan

appendektomi

dengan

pemberian

antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses


appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). ( sudoyo, 2009 )
c. Pencegahan Tersier Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi
intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses
intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi
diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen ( sudoyo,
2009 )

Daftar Pustaka

50

Anand, BS. 2011. Gastrointestinal Disease: A Review. Peptic Ulcer Disease.


Medscape. 1:1
Isselbacher, Kurt. 2000. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Jilid 5. EGC,
Jakarta.
Katzung, Bertram G. 2014. Farmakologi dasar dan klinik. Salemba Medika,
Jakarta.
Mansjoer, Arief. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Media
Aesculapius FKUI, Jakarta. 329-332
Price, Sylvia Anderson dan Lorraine McCarty Wilson. 2012. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 volume 2. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta. 181-192
Sudoyo, Setiyohadi, Bambang, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 513-531

You might also like