You are on page 1of 34

0

TUGAS ILMU PENYAKIT DALAM


CASE REPORT

Perceptor:
dr. Cecep, Sp.PD

Oleh:
Diano Ramadhan
Apga Repindo
Indah Prambono
Bangkit Hasrulsah

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2015

1
I.

STATUS PASIEN
A. Identifikasi Pasien
Nama lengkap
: Tn. SK
Umur
: 50 Tahun
Status perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Sri Pundowo
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Suku bangsa
: Indonesia
Agama
: Islam
Pendidikan
: SLTP
MRS
: 28 juni 2015
No. MR
:
B. Anamnesis
Diambil dari autoanamnesis tanggal 01 Juli 2015 pada pukul 14.00 WIB.
Keluhan Utama
BAB berwarna Hitam sejak 1 minggu yang lalu .
Keluhan Tambahan
Muntah Hitam (+) sejak 3 hari yang lalu SMRS. lemas (+) sejak 1 minggu yang lalu.
nyeri pada ulu hati (+) sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan BAB berwarna kehitaman sejak 1 minggu yang lalu.
BAB berbentuk kecil-kecil . BAB berwarna hitam seperti aspal terus menerus . dalam
1 hari pasien dapat >3x BAB dan tetap berwarna hitam . keluhan BAB memberat
sejak 3 hari yang lalu SMRS, BAB kehitaman dan disertai mencret (+) dalam 1 hari
3x BAB dengan volume 1 gelas setiap 1 kali BAB .pasien juga mengeluhkan Muntah
kehitaman 3 hari yang lalu . muntah 1 kali dengan voulume gelas belimbing .
2 hari yang lalu pasien tidak dapat BAB . keluhan ini petama kalinya dirasakan oleh
pasien
Pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati sejak 1 minggu yang lalu dan memberat
sejak 3 hari SMRS . nyeri pada ulu hati seperti di tusuk-tusuk . dan keluhan ini sudah
berlangsung selama 6 bulan dan hilang timbul . pasien juga mengeluhkan mual
muntah (+) sejak 1 minggu yang lalu .
Pasien juga mengeluhkan lemas (+) sejak 1 minggu yang lalu sehingga pasien tidak
lagi bekerja, lemas memberat sejak 3 hari SMRS . anoreksia (-) . pasien juga
mengeluhkan pusing sejak 3 hari yang lalu namun tanpa disertai demam .

2
Riwayat DM (-) , riwayat Hipertensi (-) , riwayat dyspepsia (+) sejak 6 bulan yang
lalu dan keluhan ini hilang timbul., riwayat hepatitis (-)
C. Riwayat Penyakit Dahulu
(-)
(-)
(-)
()
(-)
()
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Cacar
Cacar Air
Difteri
Batuk Rejan
Campak
Influenza
Tonsilitis
Kholera
Demam Rematik Akut
Pneumonia
Pleuritis
Tuberkulosis

(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
()
(-)
(-)
(+)
(-)

Malaria
Disentri
Hepatitis
Tifus Abdominalis
Skirofula
Sifilis
Gonore
Hipertensi
Ulkus Ventrikuli
Ulkus Duodeni
Gastritis
Batu Empedu

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Batu Ginjal /Sal. Kemih


Burut (Hernia)
Penyakit Prostat
Wasir
Diabetes
Alergi
Tumor
Penyakit Pembuluh Darah
CRF
Operasi
Kecelakaan

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Hubungan
Kakek
Nenek
Ayah
Ibu
Saudara
Anak

Umur

Jenis

Keadaan kesehatan

(th)
-

Kelamin

: 1 :2
=2

Meninggal
Meninggal
Meninggal
Sehat
Sehat
Sehat

Penyebab
Meninggal
Tidak tahu
Tidak tahu
Tidak tahu

Adakah Kerabat yang Menderita


Penyakit
Alergi
Asma
Tuberkulosa
Artritis
Rematisme
Hipertensi
Jantung
Ginjal
Lambung

Ya

Tidak

Hubungan

E. Anamnesis Sistem
Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan.
Kulit
(-)
(-)

Bisul
Kuku

(-)
(-)

Rambut
Kuning / Ikterus

(-)
(-)
(-)

Keringat malam
Sianosis
Lain-lain

3
Kepala
(-)
(-)

Trauma
Sinkop

(-)
(-)

Sakit kepala
Nyeri pada sinus

Nyeri
Sekret
Kuning / Ikterus

(-)
(-)
(-)

Radang keringat malam


Gangguan penglihatan
Ketajaman penglihatan

(-)
(-)
(-)

Tinitus
Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran

(-)
(-)
(-)

Gejala penyumbatan
Gangguan penciuman
Pilek

(-)
(-)
(-)

Lidah
Gangguan pengecap
Stomatitis

Mata
(-)
(-)
(-)

Telinga
(-)
(-)

Nyeri
Sekret

Hidung
(-)
(-)
(-)
(-)

Trauma
Nyeri
Sekret
Epistaksis

Mulut
(-)
(-)
(-)

Bibir
Gusi
Selaput

Tenggorokan
(-)

Nyeri tenggorokan

(-)

Perubahan suara

(-)

Nyeri leher

(-)
(-)
(-)

Sesak nafas
Batuk darah
Batuk

(-)
(-)
(-)
()
(-)
()
(-)

Perut membesar
Wasir
Mencret
Tinja berdarah
Tinja berwarna dempul
Tinja berwarna kehitaman
Benjolan

Leher
(-)

Benjolan

Jantung / Paru-Paru
(-)
(-)
(-)

Nyeri dada
Berdebar
Ortopnoe

Abdomen (Lambung / Usus)


(-)
()
()
()
(-)
(-)

Rasa kembung
Mual
Muntah
Muntah darah
Sukar menelan
Nyeri perut, kolik

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Disuria
Stranguri
Poliuria
Polakisuria
Hematuria
Kencing batu
Ngompol (tidak disadari)

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
()
(-)

Kencing nanah
Kolik
Oliguria
Anuria
Retensi urin
Kencing menetes
Penyakit prostat

(-)
()

Perdarahan

Katamenis
(-)
()

Leukore
Lain-lain

Haid
(-)
(-)
(-)

Haid terakhir
Teratur
Gangguan haid

(-)
(-)
(-)

Jumlah dan lamanya


Nyeri
Pasca menopause

(-)
(-)

Menarche
Gejala klimakterium

Saraf dan Otot


(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Anestesi
Parestesi
Otot lemah
Kejang
Afasia
Amnesis
Lain-lain

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Sukar menggigit
Ataksia
Hipo/hiper-estesi
Pingsan
Kedutan (tick)
Pusing (Vertigo)
Gangguan bicara (disartri)

(-)
(-)

Deformitas
Sianosis

Ekstremitas
(-)
(-)

Bengkak
Nyeri sendi

Berat Badan
Berat badan rata-rata (Kg) : 54 Kg
Berat badan tertinggi (Kg) : 54 Kg
Berat badan sekarang (Kg) : 54 Kg
(Bila pasien tidak tahu dengan pasti)
Tetap ()
Turun ( )
Naik ( )
F. Riwayat Hidup

5
Tempat lahir : ( ) di rumah ( ) rumah bersalin
Ditolong oleh : () dokter
( ) bidan
Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis (-) BCG
(-) campak
Riwayat Imunisasi tidak diketahui pasien

(-) DPT

Riwayat Makanan
Frekwensi/hari
Jumlah/hari
Variasi/hari
Nafsu makan

: 3 kali dalam sehari


: 1 porsi/ makan
: bervariasi
: normal

Pendidikan
( ) SD
() SLTP

( ) SLTA

Kesulitan
Keuangan
Pekerjaan
Keluarga
Lain-lain

() RS Bersalin
() dukun
(-) polio

G. Pemeriksaan Fisik
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

165 cm
54 kg
120/80 mmHg
80x/menit
36,4oC
24x/menit
19,8 IMT : Normal
Compos mentis
Tidak ada
Tidak ada
Astenikus
Normal
Aktif
50 tahun

Aspek Kejiwaan
Tingkah laku wajar, alam perasan wajar dan proses fikir wajar.
H. Status Generalis
Kulit
Warna
: Sawo matang
Jaringan parut
: Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Normal

(-) tetanus

( ) Sekolah Kejuruan ( ) Akademi


( ) Kursus
( ) Tidak Sekolah

: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
:-

Pemeriksaan Umum
Tinggi badan
Berat Badan
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernafasan
Keadaan gizi
Kesadaran
Sianosis
Edema umum
Habitus
Cara berjalan
Mobilitas
Umur taksiran pemeriksa

( ) Lain-lain
( ) Lain-lain

6
Suhu Raba
Keringat
Lapisan lemak
Efloresensi
Pigmentasi
Pembuluh darah
Lembab/ Kering
Turgor
Ikterus
Edema

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Afebris
Tidak ada
cukup
Tidak ada
Tidak ada
Dalam batas normal
Lembab
Normal
Tidak ditemukan
tidak ditemukan

Kelenjar Getah Bening


Submandibula
: Tidak teraba pembesaran
Supra klavikula
: Tidak teraba pembesaran
Lipat paha
: Tidak teraba pembesaran
Leher
: Tidak teraba pembesaran
Ketiak
: Tidak teraba pembesaran
Kepala
Ekspresi wajah
Rambut
Simetris muka
Pembuluh darah temporal
Mata
Exopthalmus
:
Kelopak
:
Konjungtiva
:
Sklera
:
Lapang penglihatan :
Deviatio konjungtiva :
Enopthalmus
:
Lensa
:
Visus
:
Gerak mata
:
Tekanan bola mata :
Nistagmus
:

:
:
:
:

Normal, wajar
Hitam, lurus, tidak mudah dicabut, menyebar merata
Simetris
Tidak terlihat

Tidak ada
Normal
Pucat +/+
Ikterik -/Normal
Tidak ada
Tidak ada
Jernih
tidak dilakukan pemeriksaan
Normal
Normal
Tidak ada

Leher
Tekanan JVP
Kelenjar Tiroid
Kelenjar Limfe

: 5 -2 cmH2O
: Tidak membesar
: Tidak teraba pembesaran

Dada
Bentuk
Pembuluh darah
Buah dada

: Simetris, normochest
: Normal
: Normal

Paru-Paru
Depan

Belakang

7
Inspeksi

Hemithoraks simetris kiri dan

Hemithoraks simetris kiri dan

Palpasi

kanan; Retraksi (-)


Nyeri tekan (-) , fremitus vocal

kanan; Retraksi (-)


Nyeri tekan (-), fremitus vokal

Perkusi

Kiri

simetris
sonor pada seluruh

simetris
Sonor pada seluruh lapang paru.

lapang paru
Kanan
Auskultasi

Sonor pada seluruh

lapang paru
Kiri Vesikuler (+) , Ronkhi (-),
Wheezing(-)

Ronkhi (-), Wheezing(-)

Auskultasi

Vesikuler (+) , Wheezing (-),


Ronkhi (-).

Kanan Vesikuler (+) normal,

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Sonor pada seluruh lapang paru

Vesikuler (+) normal, Wheezing


(-), Ronkhi (-)

: Ictus cordis tidak terlihat


: Ictus cordis tidak teraba
: Batas jantung kanan
: Parastrernal ICS IV
Batas jantung kiri
: Midclavicula ICS V
Batas atas
: Parasternal ICS II
: BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh Darah
Arteri temporalis, karotis, brakhialis, radialis, femoralis poplitea, tibialis posterior
teraba.
Abdomen
Inspeksi
Palpasi

Perkusi
Auskultasi
Refleks dinding perut

:
:

datar
Dinding perut :

:
:
:

epigastrium
Hati
: Tidak teraba
Limpa
: Tidak teraba
Ginjal
: Ballotement (-)
Timpani seluruh lapang abdomen
Bising usus (+), 6x/menit
Normal

Nyeri

tekan

Anggota Gerak
Lengan
Kanan

Kiri

Normotonus

Normotonus

Otot
Tonus

(+)

regio

8
Massa
Sendi
Gerakan
Kekuatan

Tungkai dan Kaki


Luka
Varises
Otot (tonus, massa)
Sendi
Gerakan
Kekuatan
Edema

Eutrofi
Normal
Aktif
5

:
:
:
:
:
:
:

Eutrofi
Normal
Aktif
5

Tidak
Tidak
Normotonus,eutrofi
Normal
Aktif
5
-/-

Refleks
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Kremaster
Refleks kulit
Refleks patologis

Kanan
N (Refleks lengan bawah)
N (Kontraksi trisep)
N
N (Plantar fleksi )
N
Tidak ada

I. Pemeriksaan Penunjang
29 juni 2015
Darah Lengkap
Hb
: 4,8 gr/dl
Leukosit
: 15.000/UL
Trombosit
: 439.000
MCV : 82,5 fL
MCH : 30,6 pg
MCHC : 36,9 G/dL
Hitung jenis :
Limfosit : 16,7
Monosit ; 18,7
Granulosit : 9,7
Fungsi Ginjal
Ureum : 61 mg/dL
Creatinin : 1,28 mg/dL
30 Juni 2015
Darah Lengkap
Hitung Jenis
Basofil : 0
Eosinofil : 0
Batang : 0
Segmen : 64
Limfosit: 36

Kiri
N (Refleks lengan bawah)
N (Kontraksi trisep)
N
N (Plantar fleksi)
N
Tidak ada

9
Monosit: 6
Gambaran Darah Tepi
Eritrosit : Normositik normokrom
Leukosit : leukositosis sedang
Trombosit : kesan jumlah trombosit cukup
Kesimpulan : Anemia normositik normokrom ec ? dengan infeksi / inflamasi akut
J. Ringkasan
Pasien datang dengan keluhan BAB berwarna kehitaman sejak 1 minggu yang lalu.
BAB berbentuk kecil-kecil. BAB berwarna hitam seperti aspal terus menerus. Dalam
1 hari pasien dapat >3x BAB dan berwarna hitam. Keluhan BAB memberat sejak 3
hari yang lalu SMRS, BAB kehitaman dan disertai mencret (+) dalam 1 hari 3x BAB
dengan volume 1 gelas setiap 1 kali BAB. Pasien juga mengeluhkan Muntah
kehitaman 3 hari yang lalu. Muntah 1 kali dengan voulume gelas belimbing .
Pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati sejak 1 minggu yang lalu dan memberat
sejak 3 hari SMRS. Nyeri pada ulu hati seperti di tusuk-tusuk dan keluhan ini sudah
berlangsung selama 6 bulan dan hilang timbul. Nyeri timbul bila pasien telat makan
dan mengilang bila pasien segera makan. Pasien juga mengeluhkan mual muntah (+)
sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan lemas (+) sejak 1 minggu yang lalu sehingga pasien tidak
lagi bekerja, lemas memberat sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan pusing
sejak 3 hari yang lalu namun tanpa disertai demam.
Riwayat DM (-) , riwayat Hipertensi (-) , riwayat dyspepsia (+) sejak 6 bulan yang
lalu.
Berdasarkan Pemeriksaan fisik didapatkan
Keadaan Umum
: Tampak sakit Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Suhu
: 36,4oC
Pernafasan
: 24x/menit
Keadaan gizi
: 19,8 IMT : Normal
Kesadaran
: Compos mentis
Sianosis
: Tidak ada
Edema umum
: Tidak ada
Habitus
: Astenikus
Cara berjalan
: Normal
Mobilitas
: Aktif

10
Umur taksiran pemeriksa
Pemeriksaan Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: 50 tahun
:
: hemithoraks kiri dan kanan simetris, retraksi (-)
: Nyeri tekan (-), Fremitus vokal kiri dan kanan simetris
: Sonor pada selutuh lapang pulmo sinistra dan dextra
: Vesikuler +/+ , Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Pemeriksaan Cor
:
Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis tidak teraba
Perkusi
: Batas jantung kanan
: Parastrernal ICS IV
Batas jantung kiri
: Midclavicula ICS V
Batas atas
: Parasternal ICS II
Auskultasi : BJ I dan II normal, irama reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
Palpasi

:
:

datar
Dinding perut :

Perkusi

epigastrium
Hati
: Tidak teraba
Limpa
: Tidak teraba
Ginjal
: Ballotement (-)
Timpani seluruh lapang abdomen

Auskultasi
Refleks dinding perut

:
:

Bising usus (+), 6x/menit


Normal

Ekstremitas edema

: -/-

K. Diagnosis Kerja dan Dasar Diagnosis


Diagnosis Kerja
Melena Ec suspek ulkus peptikum + anemia
Dasar Diagnosis

L. Diagnosis Diferensial dan Dasar Diagnosis Diferensial


Diagnosis Diferensial
Dasar Diagnosis Diferensial
M. Pemeriksaan yang Dianjurkan
1. Pemeriksaan Endoskopi
N. Rencana Pengelola
O. Pencegahan

Nyeri

tekan

(+)

regio

11
Primer
1. Jaga pola makan
2. Menjaga kebersihan diri
Sekunder
1. Minum obat sesuai aturan
2. Istirahat
Tersier
1. Menjaga imunitas tubuh
2. Minum air dengan cukup
P. Prognosis
Quo at vitam
Quo at functionam
Quo at sanationam

: Dubia ad malam
: Dubia ad malam
: Dubia ad malam

12

Lembar Follow Up
Tanggal
30 juni 2015

Keluhan
Pasien mengeluhkan

Pemeriksaan
Ku : TSS

lemas,lesu,lunglai cepat

Sens : CM

lelah bila melakukan

CA (+/+) SI (-/-)

aktivitas disertai pucat

Td : 90/70mmHg

pada lidah dan ujung jari

Nadi: 88x/menit

tangan dan kaki. Mual

Rr: 24x/menit

muntah (-) , nyeri

T: 36,3 C

tenggorokan (-) , batuk

Thoraks :

(-), pusing (+), demam

I: simetris ka=ki

(-), anoreksia (-), BAB

P: nyeri tekan (-)

cair (-), transfuse darah 1

P:frem taktil ka=ki

kolf sejak tadi pagi pukul

A:vesikuler +/+

06.00 wib.

Abdomen
I: datar
A: BU +normal
P: timpani
P: nyeri tekan (+)
regio epigastrium

01 juni 2015

S: post transfuse 2 kolf

Eks, edema -/Ku : TSS

sejak kemarin pagi dan

Sens : CM

kemarin malam

CA (+/+) SI (-/-)
Td : 120/80mmHg
Nadi: 80x/menit
Rr: 24x/menit
T: 36,4oC

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tatalaksana
-

13
DIABETES TIPE 2
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan
produksi glukosa hepatik) dan jaringan di jaringan perrifer (otot dan lemak), sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, atau keduanya.
Klasifikasi Diabetes
Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori klinis:
1. Diabetes Mellitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut)
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resitensi insulin)
3. Diabetes Mellitus tipe lain
a. Defek genetic fungsi sel beta
1) Kromosom 12, HNF- (dahulu MODY 3)
2) Kromosom 7, glukosinase (dahulu MODY 2)
3) Kromosom 20, HNF (dahulu MODY 1)
4) Kromosom 13, insulin promoter factor ( IPF dahulu MODY 4)
5) Kromosom 17, HNF-1 (dahulu MODY 5)
6) Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria
7) Lainnya
b. Defek genetic kerja insulin: resistensi tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson
Mendenhall diabetes lipoatrofik, lainnya
c. Penyakit Eksokrin Pankreas: pancreatitis, trauma/pankreaktomi, neoplasma,
fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati, fibro kalkulus, lainnya
d. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromsitoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
e. Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya
f. Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya
g. Imunologi (jarang): sindrom Stiffman, antibodi antireseptor insulin, lainnya
h. Sindroma genetic lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
sindrom Wolframs, ataksia Friedreichs, chorea Huntington, sindrom Laurence
Moon Biedl distrofi miotonil, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya.
4. Diabetes Kehamilan
Beberapa pasien tidak dapat secara jelas diklasifikasikan sebagai DM tipe 1 atau DM
tipe 2. Manifestasi klinis dan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi pada kedua

14
tipe diabetes tersebut. Pasien yang didiagnosa dengan DM tipe 2 dapat disertai
ketoacidosis, meskipun jarang. Anak-anak dengan diabetes tipe 1 biasanya
menunjukkan gejala khas, yaitu poliuria atau polidipsia dan kadang disertao
ketoasidosis (DKA). Kesulitan alam mendiagnosis mungkin terjadi pada anak anak,
remaja, dan dewasa muda, namun diagnosis yang tepat akan semakin jelas seiring
berjalannya waktu.
Epidemiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi Diabetes
Mellitus sebesar 2,1%. Berdasarkan data tersebut prevalensinya meningkat seiring
bertambahnya umur namun menurun setelah usia di atas 65 tahun. Prevalensi DM
cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikkan tinggi dan dengan
kuintil indeks kepemilikan tinggi. Dari tahun 2007

hingga tahun 2013 terjadi

peningkatan prevalensi, pada tahun 2007 prevalensinya dari 1,1%.


Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai dengan
resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik dan berakhir
dengan kerusakan sel beta. Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan
jaringan target seperti otot dan jaringan adiposa untuk merespon sekresi insulin endogen
dalam tubuh. Lipotoksisitas dapat berkontribusi terhadap resistensi insulin. Lipotoksisitas
mengacu kepada tingginya konsentrasi asam lemak bebas yang terjadi sebagai akibat
tekanan hambatan hormone sensitive lipase (HSL). Normalnya insulin menghambat
lipolisis dengan menghambat HSL, namun pada resistensi insulin tidak terjadi secara
efisien. Hasil dari peningkatan lipolisis adalah peningkatan asam lemak bebas, dan inilah
yang menyebabkan obesitas dan peningkatan adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan
resistensi insulin dengan mempromosikan fosforilasi serin pada reseptor insulin yang
dapat mengurangi aktivitas insulin signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada
asam amino tirosin penting untuk mengaktifkan insulin signalling pathway, jika tidak,
maka GLUT-4 akan gagal untuk translocate, dan penyerapan glukosa ke jaringan akan
berkurang, menyebabkan hiperglikemia. Pada individu non-diabetik sel beta mampu
menangkal resistensi insulin dengan meningkatkan produksi dan sekresi insulin. Pada
penderita DM apabila keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai tingginya
glukosa yang terus terjadi, sel beta pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak

15
mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk menurunkan kadar gula darah,
disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh
otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan postpandrial. Akhirnya
sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia berat.
Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM-2 menyebabkan resistensi
adiponektin melalui penurunan regulasi ekspresi reseptor AdipoR1. Hal ini menyebabkan
C-terminal globular domain (gAd), produk gen adiponektin yang memilik efek metabolik
yang poten terutama pada otot skeletal, mengalami resistensi sehingga kemampuan gAd
untuk meningkatkan translokasi GLUT-4, penyerapan glukosa, penyerapan asam lemak
dan oksidasi, serta fosforilasi AMP-activated protein kinase (AMPK) dan asetil-CoA
karboksilase (ACC) mengalami penurunan. Menariknya, hiperinsulinemia menyebabkan
peningkatan sensitivitas full-length adiponectin (fAd) melalui peningkatan eskpresi
reseptor AdipoR2. Hiperinsulinemia menginduksi kemampuan fAd untuk meningkatkan
penyerapan asam lemak dan meningkatkan oksidasi 11 asam lemak sebagai respon dari
fAd sehingga meningkatkan resiko komplikasi vaskular pada DM-2.

Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam
menentukkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan darah seyogyanya dilakukan di laboratorium
klinik yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur. Walaupun
demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole
blood), vena atau kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostic yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat
diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai risiko DM. (Serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada

16
mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis
definitive.)
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan
berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM
diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita).
Menurut Standar of Medical Care In Diabetes 2014 oleh ADA, Diabetes didiagnosis
berdasarkan kriteria kadar glukosa plasma, yaitu glukosa plasma puasa atau kadar
glukosa 2 jam pasca pembebanan (tes toloeransi glukosa oral). Kriteria A1C ( 6,5%)
juga dimasukkan sebagai pilihan ketiga untuk mendiagnosis diabetes.

EFFUSI PLEURA
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang
melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. Efusi pleura
adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah suatu keadaan
dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura,
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan
pleura. Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara
lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi.
A. Hidrothoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini
penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab lain
yang mungkin adalah seperti kegagalan jantung kanan dan sirosis hati dengan asites.
B. Hemothoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena
trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau trauma
tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25%
kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku
beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan
fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka

17
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada. Penyebab lainnya
hemotoraks adalah:
1. Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke
dalam rongga pleura.
2. Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang
kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
3. Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak
membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui
sebuah jarum atau selang.

C. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis iniakan
berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada setiap
kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai salah satu
komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
1. Pneumonia
2. Infeksi pada cedera di dada
3. Pembedahan dada
D. Chylothoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening pada
rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain:
1. Kongental, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi terdapat
fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
2. Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan
pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi daerah
torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi
kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arkus aorta.
3. Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum,
granuloma mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis).
Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus
torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit trombosis vena
subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan duktus torasikus dan menyebabkan
kilotoraks.
Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary, dapat
bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi
pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia, keganasan, atau

18
emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan peran dalam pembentukan efusi
pleura:
1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan, emboli
paru)
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah (misalnya, trauma,
keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia,
pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau paru-paru
(misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh (misalnya,
atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk obstruksi duktus
toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui limfatik atau
cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura visceral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten menyebabkan adanaya
akumulasi cairan di pleura
10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis, pneumonia, virus,

bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura), karena


tumor dan trauma.
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan
kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari
ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan
eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam
beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan
eksudat.
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui
kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe,
sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk
reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya
tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul
efusi pleura.
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara

19
lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena
perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian
melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat
melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura
visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid
osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil
yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan
pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.
Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses
radang

oleh

kuman

piogenik

akan

terbentuk

pus/nanah,

sehingga

terjadi

empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks. Penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan cairan
pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ini dapat terjadi pada
gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena
obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan
masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi
cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena
untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat
pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar
getah bening.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi pengembangannya.
Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya
perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan
yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas.
Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa
O2) 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) 50 mmHg melalui
pemeriksaan analisa gas darah.
CHRONIC KIDNEY DISEASE

20
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti
sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal
sebagian atau sepenuhnya kehilangan kemampuan mereka untuk menyaring air dan
limbah dari darah.
1. Membangun dari zat beracun yang biasanya dikeluarkan dari tubuh oleh ginjal dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang berbahaya.
2. Akut gagal ginjal (juga disebut sebagai ginjal kegagalan) terjadi dengan cepat.
3. Disfungsi ginjal ringan sering disebut insufisiensi ginjal.
Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah kondisi yang ditandai oleh hilangnya fungsi ginjal
secara bertahap dari waktu ke waktu atau penurunan lambat dan progresif fungsi ginjal.
Ini biasanya akibat komplikasi dari yang lain kondisi medis yang serius. Tidak seperti
gagal ginjal akut, yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal kronis terjadi
secara bertahap - selama minggu, bulan, atau tahun - sebagai ginjal perlahan berhenti
bekerja, yang mengarah ke stadium akhir penyakit ginjal (ESRD).
Di Amerika Serikat, ada meningkatnya insiden dan prevalensi gagal ginjal, dengan hasil
yang buruk dan biaya tinggi. Penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian
kesembilan di Amerika Serikat. Nasional Ketiga Kesehatan dan Survey (NHANES III)
memperkirakan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di Amerika
Serikat adalah 11% (19,2 juta): 3,3% (5,9 juta) memiliki tahap 1, 3% (5,3 juta) harus
tahap 2, 4,3% (7,6 juta) memiliki stadium 3, 0,2% (400.000) memiliki stadium 4, dan
0,2% (300.000) memiliki tahap 5.
Tingkat kejadian End Stage Renal Disease (ESRD) telah terus meningkat secara
internasional sejak tahun 1989. Amerika Serikat memiliki tingkat kejadian tertinggi
ESRD, diikuti oleh Jepang. Jepang memiliki prevalensi tertinggi per juta penduduk,
dengan Amerika Serikat menempati posisi kedua.
Chronic Kidney Disease dapat dikategorikan sebagai cadangan ginjal berkurang,
insufisiensi ginjal, atau gagal ginjal (stadium akhir penyakit ginjal). Awalnya, sebagai
jaringan ginjal kehilangan fungsinya, ada kelainan sedikit karena jaringan yang tersisa
dapat meningkatkan kinerja (adaptasi fungsional ginjal); kehilangan 75% dari jaringan
ginjal menyebabkan penurunan GFR hanya 50% dari normal.

21
Fungsi ginjal menurun mengganggu kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit. Perubahan melanjutkan ditebak, tetapi tumpang tindih
dan variasi individu ada. Kemampuan untuk berkonsentrasi penurunan urin awal dan
diikuti dengan penurunan kemampuan untuk mengekskresikan fosfat, asam, dan K.
Ketika gagal ginjal lanjut (GFR 10 mL/min/1.73 m 2), kemampuan untuk
mengencerkan urin hilang, dengan demikian osmolalitas urin biasanya tetap dekat
dengan plasma (300-320 mOsm / kg), dan volume urin tidak merespon cepat terhadap
variasi dalam asupan air.
Plasma konsentrasi kreatinin dan urea (yang sangat tergantung pada filtrasi glomerular)
mulai naik nonlinier sebagai GFR berkurang. Perubahan-perubahan yang minimal sejak
dini. Ketika GFR turun di bawah 10 mL/min/1.73 m 2 (normal = 100 mL/min/1.73 m 2),
tingkat mereka meningkat dengan cepat dan biasanya berhubungan dengan manifestasi
sistemik (uremia). Urea dan kreatinin tidak kontributor utama dengan gejala uremik,
mereka adalah penanda untuk zat lain (sebagian belum didefinisikan dengan baik) yang
menyebabkan gejala.
Meskipun keseimbangan GFR, Na dan air berkurang tetap terjaga dengan ekskresi
fraksional peningkatan Na dan respon normal terhadap rasa haus. Dengan demikian,
konsentrasi plasma Na biasanya normal, dan hipervolemia jarang terjadi kecuali asupan
Na atau air sangat dibatasi atau berlebihan. Gagal jantung dapat terjadi dari Na dan
kelebihan air, terutama pada pasien dengan cadangan jantung menurun.
Kelainan Ca, fosfat, hormon paratiroid (PTH), vitamin metabolisme D, dan osteodistrofi
ginjal dapat terjadi. Produksi ginjal penurunan calcitriol kontribusi untuk hipokalsemia.
Penurunan ekskresi ginjal hasil fosfat dalam hiperfosfatemia. Hiperparatiroidisme
sekunder adalah umum dan dapat mengembangkan pada gagal ginjal sebelum kelainan
pada Ca atau konsentrasi fosfat terjadi. Untuk alasan ini, pemantauan PTH pada pasien
dengan

CKD

moderat,

bahkan

sebelum

hyperphosphatemia

terjadi,

telah

direkomendasikan.
Osteodistrofi ginjal (mineralisasi tulang abnormal akibat hiperparatiroidisme, defisiensi
calcitriol, fosfat serum, atau rendah atau normal serum Ca) biasanya mengambil bentuk
meningkatnya turnover tulang karena penyakit hyperparathyroid tulang (osteitis fibrosa)
tetapi juga dapat melibatkan pergantian tulang menurun karena tulang adinamik penyakit

22
(dengan penekanan paratiroid meningkat) atau osteomalacia. Kekurangan calcitriol dapat
menyebabkan osteopenia atau osteomalacia.
Asidosis sedang (plasma HCO 3 isi 15 sampai 20 mmol / L) dan anemia merupakan
karakteristik. Anemia CKD adalah normokromik normositik-, dengan Ht 20 sampai 30%
(35 hingga 50% pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik). Hal ini biasanya
disebabkan oleh produksi eritropoietin kekurangan karena penurunan massa ginjal
fungsional.
Faktor-faktor selain proses penyakit yang mendasari dan hipertensi glomerulus yang
dapat menyebabkan cedera ginjal progresif meliputi:
1. Sistemik hipertensi
2. Penghinaan akut dari nephrotoxins atau penurunan perfusi
3. Proteinuria
4. Peningkatan ginjal ammoniagenesis dengan cedera interstisial
5. Hiperlipidemia
6. Hyperphosphatemia dengan deposisi kalsium fosfat
7. Penurunan kadar oksida nitrat
8. Merokok
9. Tidak terkontrol diabetes

Mekanisme Nefropati Diabetik Menjadi Chronic Kidney Disease


Klasifikasi tahap penyakit ginjal kronis adakah sebagai berikut:
1. Tahap 1: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (> 90 mL/min/1.73
m2)
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai
dengan hiperfiltrasi dan hipertropi ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan
darah biasanya normal. Tahap ini masib reversible dan berlangsung 0-5 tahun sejak
awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang
ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
2. Tahap 2: penurunan ringan pada GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)

23
Pada Tahap ini terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan
morfologik ginjal dan faal ginjal berlanjut, dengan LFG masih tetap meningkat.
Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau
kendali metabolic yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya saja
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait
dengan memburuknya kendali metabolic. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi
(Silent Stage) atau disebut juga tahap asimptomatik.
3. Tahap 3: penurunan moderat GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG meningkat
atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi albumin dalam urin adalah
20-200 ig/menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara
histologis didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume
mesangium fraksional dalam glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah
masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahun0tahun dan
progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah
yang kuat.
4. Tahap 4: Penurunan berat pada GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Tahap ini merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih
jelas, seperti yang ditunjukkan Gambar 1, dan juga timbul hipertensi pada sebagian
besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. LFG menurun,
sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan
tingginya tekanan darah.

24

Gambar 1. Gambaran Histologis Nefropati Diabetik


Sumber: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378874112000888

5. Tahap 5: Kegagalan ginjal (GFR <15 mL/min/1.73 m2 atau dialisis)


Ini adalah tahap gagal ginjal atau End Stage Renal Failure, saat LFG sudah
sedemikian rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik,
dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialysis maupun cangkok
ginjal.

25
Gambar 2. Progresi Kerusakan Ginjal Kronik

Hingga saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat
laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan LFG pada nefropati diabetik masih belum jelas,
tetapi diduga disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino
dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi
ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai
dengan tahap-tahap menurut Mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan
bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM.
diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen
intrarenal atau intraglomerulus.

Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti:


1. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada penderita DM tipe 1
dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati diabetik. Perbaikan kontrol
glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah kejadian mikroalbuminuria.
Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat kejadian nefropati diabetik. Dengan
bukti-bukti ini menunjukan bahwa hubungan antara hiperglikemia dengan nefropati
tidak ada yang meragukan, ini tampak pada kenyataan bahwa nefropati dan
komplikasi mikroangiopati dapat kembali normal bila kadar glukosa darah terkontrol.
2. Glikolisasi Non Enzimatik

26
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam
amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan
menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products). Penimbunan AGEs
dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka panjang akan merusak
membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan merusak seluruh glomerulus.
3. Polyolpathyway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose
reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran utama dalam
merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat maka sorbitol
akan meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan kurangnya kadar
mioinositol, yang akan mengganggu osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang
disolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah
penimbunan matriks ekstraselular. Menurut Lorensi, sehingga dapat terjadi nefropati
diabetik.
5. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan paling dalam patogenesis nefropati diabetik
disamping hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan
hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita diabetes tanpa
hipertensi. Hemodinamik dan hipertropi mendukung adanya hipertensi sebagai
penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dari neuron
yang sehat lambat lain akan menyebabkan sclerosis dari nefron tersebut. Jika
dilakukan penurunan tekanan darah, maka penyakit ini akan reversible.
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan predictor independent dan kuat dari penurunan fungsi ginjal
baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya
hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein,
dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang berlangsung lama dan
berlebihan akan menyebabkan kerusakan tubulo-intertisiel dan progresifitas penyakit.

27
Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi
protein dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti
endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor
factor ini akan merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan
infiltrasi sel mononuclear, menyebabkan kerusakan dari tubulointertisiel dan
akhirnya terjadi renal scarring dan insufisiensi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan
pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik, dan hemodinamik berpengaruh
terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai bagian dasar
terjadinya nefropati diabetik adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran
basal glomerulus. Gambaran histologi jaringan pada nefropati diabetik memperlihatkan
adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang
akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta
fibrosis tubulo intertitial. Berbagai fakto berperan dalam terjadinya kelainan tersebut.
Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitasi) pada penderita yang mempunya
predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat
menimbulkan nefropati diabetik.

28

Gambar 3. Patogenesis Nefropati Diabetik

Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur:


1. Alur metabolik (metabolik pathway)
Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses
non enzimatik dengan asam amino bebsa menghasilkan AGEs (Advance
Glycosilation End-products) peningkatan AGEs akan menimbulkan kerusakan pada
glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C.
Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivasi enzim aldose reduktase. Peningkatan
sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan
gangguan osmolaritas membran basal.

29

Gambar 4. Mekanisme Polyol Pathyway

Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan
sitosolik

monomerik

oxidoreduktase

yang

mengkatalisa

NADPH-dependent

reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase mereduksi


aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif
alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH
sebagai kofaktor. Pada sel, aktivasi aldose reduktase cukup untuk mengurangi
glutachione

(GSH)

dehydrogenase

yang

berfungsi

merupakan
untuk

tambahan

mengoksidasi

stress

oksidatif.

Sorbitol

sorbitol

menjadi

fruktosa

menggunakan NAD-sebagai kofaktor.


2. Alur Hemodinamik

Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat


glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor
hemodinamik diawali dengan peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II.
Angiotensin II juga berperan dalam perjalanan nefropati diabetik. Angiotensin II
berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut
antara lain merangsang vasokonstriksi sistemik, meningkatnya tahanan kapiler
arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks
ekstraselular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini
didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor non Willebrand dan
trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endoteol kapiler. Hal ini juga
yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita denga mikroalbuminuria persisten,

30
terutama pada DM tipe2, lebih banyak terjadi kematian akbiat kardiovaskular dari
pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabettik kidney disease masih
kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana ada penderita ini hipertensi
dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis
mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya
nefropati tetapi mempercepat progresive ke arah GGT pada penderita yang sudah
mengalami diabetik kidney disease.
Dari kedua faktor di atas maka akan terjadinya peningkatan TGF beta yang akan
menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga
akan meningkatkan akumulasi ektraselular matriks yang berperan dalam terjadinya
nefropati diabetik.

31

III. ANALISIS KASUS


Pada pasien, diberikan terapi sebagai berikut.
1. Diet DM + rendah garam
Terapi berupa diet DM sudah tepat diberikan kepada pasien. Pasien dengan diabetes
perlu mengatur pola makannya. Diet yang tidak teratur dapat menyebabkan
kekambuhan atau bahkan memperburuk keadaan pasien.
2. Oksigenasi
Penatalaksanaan berupa oksigenasi diindikasikan untuk pasien dengan sesak nafas
yang berat. Penatalaksanaan ini sudah tepat untuk pasien ini yang memiliki efusi
pleura yang dapat menyebabkan sesak nafas yang berat.
3. IVFD meylon + D5
Meylon merupakan cairan yang berisi natrium bikarbonat, digunakan untuk
menangani asidosis metabolik berat. D5 merupakan cairan yang berisi dextrose 5%,
digunakan untuk pasien dengan hipoglikemia untuk memenuhi kebutuhan kadar gula
dalam darah. Terapi ini sebaiknya digunakan saat pasien mengalami hipoglikemik.
4. Novorapid 3x10 IU
Novorapid merupakan obat yang berisi insulin. Sebaiknya digunakan pada pasien
yang tidak dapat menggunakan obat hipoglikemik oral.
5. Furosemid 4xII ampul
Furosemide merupakan obat yang digunakan untuk membuang cairan berlebih di
dalam tubuh. Cairan berlebih yang menumpuk di dalam tubuh dapat menyebabkan
sesak napas, lelah, kaki dan pergelangan kaki membengkak. Cairan tersebut akan
dikeluarkan melalui urine.
6. Bicnat 1xIII tablet
Natrium bikarbonat termasuk jenis antasida reaksi cepat dan sebaiknya tidak
digunakan secara terus-menerus atau untuk jangka panjang.
7. Asam Folat 1xIII tablet
Asam folat merupakan suplemen yang membantu dalam pembentukan darah.
Digunakan sebagai antianemi.
8. CaCO3 3xI tablet
CaCO3 atau kalisium karbonat adalah obat golongan antasida yang mengandung
kalsium. Kalsium karbonat larut perlahan di lambung dan bereaksi dengan asam

32
klorida menghailkan kalsium klorida, karbon dioksida dan air (efek menetralkan
asam lambung). Sekitar 90% kalsium klorida dikonversi menjadi bentuk garam
kalsium yang tidak larut (terutama kalsium karbonat dan sedikit kalsium fosfat) dan
sabun kalsium di usus halus (small intestine) dan tidak diabsorpsi. Ketika kalsium
karbonat diberikan secara oral, sejumlah terbatas kalsium dan bikarbonat intestinal
diabsorpsi dan dapat menimbulkan hiperkalsemia. Pada kasus ini, pasien diberikan
furosemide yang dapat menyebabkan pasien mengalami hipokalsemia sehingga
penambahan kalsium karbonat untuk mengganti kalsium yang hilang sudah tepat.
9. Micardis 1x8 tablet 80 mg
Micardis merupakan obat antihipertensi yang berisi telmisartan. Obat antihipertensi
ini bersifat long-acting sehingga digunakan sebagai obat antihipertensi essensial.
Terapi ini sudah tepat mengingat tekanan darah pasien yang tinggi hingga mencapai
200/100 mmHg.

33

DAFTAR PUSTAKA

Huang Y, Zhou Q, Haaijer-Ruskamp FM, Postma MJ. Economic evaluations of angiotensinconverting enzyme inhibitors and angiotensin II receptor blockers in type 2 diabetic
nephropathy: a systematic review. BMC Nephrol. 2014; 15(15): 1-17.
Kanasaki K, Taduri G, Koya. Diabetic nephropathy: the role of inflammation in fibroblast
activation and kidney fibrosis. Front Endocrinol (Lausanne). 2013; 4(7): 1-15.
Li B, Liu S, Miao L, Cai L. Prevention of Diabetic Complications by Activation of Nrf2:
Diabetic Cardiomyopathy and Nephropathy. Exp Diabetes Res. 2012; 2012(216512): 17.
Lim AKH dan Tesch GH. Inflammation in Diabetic Nephropathy. Mediators Inflamm. 2012;
2012(146154): 1-12.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison's Principles
of Internal Medicine 18th Edition. New York: McGraw-Hill Company. 2012.
Suarez MLG, Thomas DB, Barisoni L, Fornoni A. Diabetic nephropathy: Is it time yet for
routine kidney biopsy. World J Diabetes. 2013; 4(6): 245-55.
Tramonti G dan Kanwar YS. Review and Discussion of Tubular Biomarkers in the Diagnosis
and Management of Diabetic Nephropathy. Endocrine. 2013; 43(3): 494-503.

You might also like