Professional Documents
Culture Documents
Perceptor:
dr. Cecep, Sp.PD
Oleh:
Diano Ramadhan
Apga Repindo
Indah Prambono
Bangkit Hasrulsah
1
I.
STATUS PASIEN
A. Identifikasi Pasien
Nama lengkap
: Tn. SK
Umur
: 50 Tahun
Status perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Sri Pundowo
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Suku bangsa
: Indonesia
Agama
: Islam
Pendidikan
: SLTP
MRS
: 28 juni 2015
No. MR
:
B. Anamnesis
Diambil dari autoanamnesis tanggal 01 Juli 2015 pada pukul 14.00 WIB.
Keluhan Utama
BAB berwarna Hitam sejak 1 minggu yang lalu .
Keluhan Tambahan
Muntah Hitam (+) sejak 3 hari yang lalu SMRS. lemas (+) sejak 1 minggu yang lalu.
nyeri pada ulu hati (+) sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan BAB berwarna kehitaman sejak 1 minggu yang lalu.
BAB berbentuk kecil-kecil . BAB berwarna hitam seperti aspal terus menerus . dalam
1 hari pasien dapat >3x BAB dan tetap berwarna hitam . keluhan BAB memberat
sejak 3 hari yang lalu SMRS, BAB kehitaman dan disertai mencret (+) dalam 1 hari
3x BAB dengan volume 1 gelas setiap 1 kali BAB .pasien juga mengeluhkan Muntah
kehitaman 3 hari yang lalu . muntah 1 kali dengan voulume gelas belimbing .
2 hari yang lalu pasien tidak dapat BAB . keluhan ini petama kalinya dirasakan oleh
pasien
Pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati sejak 1 minggu yang lalu dan memberat
sejak 3 hari SMRS . nyeri pada ulu hati seperti di tusuk-tusuk . dan keluhan ini sudah
berlangsung selama 6 bulan dan hilang timbul . pasien juga mengeluhkan mual
muntah (+) sejak 1 minggu yang lalu .
Pasien juga mengeluhkan lemas (+) sejak 1 minggu yang lalu sehingga pasien tidak
lagi bekerja, lemas memberat sejak 3 hari SMRS . anoreksia (-) . pasien juga
mengeluhkan pusing sejak 3 hari yang lalu namun tanpa disertai demam .
2
Riwayat DM (-) , riwayat Hipertensi (-) , riwayat dyspepsia (+) sejak 6 bulan yang
lalu dan keluhan ini hilang timbul., riwayat hepatitis (-)
C. Riwayat Penyakit Dahulu
(-)
(-)
(-)
()
(-)
()
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Cacar
Cacar Air
Difteri
Batuk Rejan
Campak
Influenza
Tonsilitis
Kholera
Demam Rematik Akut
Pneumonia
Pleuritis
Tuberkulosis
(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
()
(-)
(-)
(+)
(-)
Malaria
Disentri
Hepatitis
Tifus Abdominalis
Skirofula
Sifilis
Gonore
Hipertensi
Ulkus Ventrikuli
Ulkus Duodeni
Gastritis
Batu Empedu
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Umur
Jenis
Keadaan kesehatan
(th)
-
Kelamin
: 1 :2
=2
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Sehat
Sehat
Sehat
Penyebab
Meninggal
Tidak tahu
Tidak tahu
Tidak tahu
Ya
Tidak
Hubungan
E. Anamnesis Sistem
Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan.
Kulit
(-)
(-)
Bisul
Kuku
(-)
(-)
Rambut
Kuning / Ikterus
(-)
(-)
(-)
Keringat malam
Sianosis
Lain-lain
3
Kepala
(-)
(-)
Trauma
Sinkop
(-)
(-)
Sakit kepala
Nyeri pada sinus
Nyeri
Sekret
Kuning / Ikterus
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Tinitus
Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran
(-)
(-)
(-)
Gejala penyumbatan
Gangguan penciuman
Pilek
(-)
(-)
(-)
Lidah
Gangguan pengecap
Stomatitis
Mata
(-)
(-)
(-)
Telinga
(-)
(-)
Nyeri
Sekret
Hidung
(-)
(-)
(-)
(-)
Trauma
Nyeri
Sekret
Epistaksis
Mulut
(-)
(-)
(-)
Bibir
Gusi
Selaput
Tenggorokan
(-)
Nyeri tenggorokan
(-)
Perubahan suara
(-)
Nyeri leher
(-)
(-)
(-)
Sesak nafas
Batuk darah
Batuk
(-)
(-)
(-)
()
(-)
()
(-)
Perut membesar
Wasir
Mencret
Tinja berdarah
Tinja berwarna dempul
Tinja berwarna kehitaman
Benjolan
Leher
(-)
Benjolan
Jantung / Paru-Paru
(-)
(-)
(-)
Nyeri dada
Berdebar
Ortopnoe
Rasa kembung
Mual
Muntah
Muntah darah
Sukar menelan
Nyeri perut, kolik
Disuria
Stranguri
Poliuria
Polakisuria
Hematuria
Kencing batu
Ngompol (tidak disadari)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
()
(-)
Kencing nanah
Kolik
Oliguria
Anuria
Retensi urin
Kencing menetes
Penyakit prostat
(-)
()
Perdarahan
Katamenis
(-)
()
Leukore
Lain-lain
Haid
(-)
(-)
(-)
Haid terakhir
Teratur
Gangguan haid
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Menarche
Gejala klimakterium
Anestesi
Parestesi
Otot lemah
Kejang
Afasia
Amnesis
Lain-lain
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Sukar menggigit
Ataksia
Hipo/hiper-estesi
Pingsan
Kedutan (tick)
Pusing (Vertigo)
Gangguan bicara (disartri)
(-)
(-)
Deformitas
Sianosis
Ekstremitas
(-)
(-)
Bengkak
Nyeri sendi
Berat Badan
Berat badan rata-rata (Kg) : 54 Kg
Berat badan tertinggi (Kg) : 54 Kg
Berat badan sekarang (Kg) : 54 Kg
(Bila pasien tidak tahu dengan pasti)
Tetap ()
Turun ( )
Naik ( )
F. Riwayat Hidup
5
Tempat lahir : ( ) di rumah ( ) rumah bersalin
Ditolong oleh : () dokter
( ) bidan
Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis (-) BCG
(-) campak
Riwayat Imunisasi tidak diketahui pasien
(-) DPT
Riwayat Makanan
Frekwensi/hari
Jumlah/hari
Variasi/hari
Nafsu makan
Pendidikan
( ) SD
() SLTP
( ) SLTA
Kesulitan
Keuangan
Pekerjaan
Keluarga
Lain-lain
() RS Bersalin
() dukun
(-) polio
G. Pemeriksaan Fisik
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
165 cm
54 kg
120/80 mmHg
80x/menit
36,4oC
24x/menit
19,8 IMT : Normal
Compos mentis
Tidak ada
Tidak ada
Astenikus
Normal
Aktif
50 tahun
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku wajar, alam perasan wajar dan proses fikir wajar.
H. Status Generalis
Kulit
Warna
: Sawo matang
Jaringan parut
: Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Normal
(-) tetanus
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
:-
Pemeriksaan Umum
Tinggi badan
Berat Badan
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernafasan
Keadaan gizi
Kesadaran
Sianosis
Edema umum
Habitus
Cara berjalan
Mobilitas
Umur taksiran pemeriksa
( ) Lain-lain
( ) Lain-lain
6
Suhu Raba
Keringat
Lapisan lemak
Efloresensi
Pigmentasi
Pembuluh darah
Lembab/ Kering
Turgor
Ikterus
Edema
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Afebris
Tidak ada
cukup
Tidak ada
Tidak ada
Dalam batas normal
Lembab
Normal
Tidak ditemukan
tidak ditemukan
:
:
:
:
Normal, wajar
Hitam, lurus, tidak mudah dicabut, menyebar merata
Simetris
Tidak terlihat
Tidak ada
Normal
Pucat +/+
Ikterik -/Normal
Tidak ada
Tidak ada
Jernih
tidak dilakukan pemeriksaan
Normal
Normal
Tidak ada
Leher
Tekanan JVP
Kelenjar Tiroid
Kelenjar Limfe
: 5 -2 cmH2O
: Tidak membesar
: Tidak teraba pembesaran
Dada
Bentuk
Pembuluh darah
Buah dada
: Simetris, normochest
: Normal
: Normal
Paru-Paru
Depan
Belakang
7
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Kiri
simetris
sonor pada seluruh
simetris
Sonor pada seluruh lapang paru.
lapang paru
Kanan
Auskultasi
lapang paru
Kiri Vesikuler (+) , Ronkhi (-),
Wheezing(-)
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Pembuluh Darah
Arteri temporalis, karotis, brakhialis, radialis, femoralis poplitea, tibialis posterior
teraba.
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Refleks dinding perut
:
:
datar
Dinding perut :
:
:
:
epigastrium
Hati
: Tidak teraba
Limpa
: Tidak teraba
Ginjal
: Ballotement (-)
Timpani seluruh lapang abdomen
Bising usus (+), 6x/menit
Normal
Nyeri
tekan
Anggota Gerak
Lengan
Kanan
Kiri
Normotonus
Normotonus
Otot
Tonus
(+)
regio
8
Massa
Sendi
Gerakan
Kekuatan
Eutrofi
Normal
Aktif
5
:
:
:
:
:
:
:
Eutrofi
Normal
Aktif
5
Tidak
Tidak
Normotonus,eutrofi
Normal
Aktif
5
-/-
Refleks
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Kremaster
Refleks kulit
Refleks patologis
Kanan
N (Refleks lengan bawah)
N (Kontraksi trisep)
N
N (Plantar fleksi )
N
Tidak ada
I. Pemeriksaan Penunjang
29 juni 2015
Darah Lengkap
Hb
: 4,8 gr/dl
Leukosit
: 15.000/UL
Trombosit
: 439.000
MCV : 82,5 fL
MCH : 30,6 pg
MCHC : 36,9 G/dL
Hitung jenis :
Limfosit : 16,7
Monosit ; 18,7
Granulosit : 9,7
Fungsi Ginjal
Ureum : 61 mg/dL
Creatinin : 1,28 mg/dL
30 Juni 2015
Darah Lengkap
Hitung Jenis
Basofil : 0
Eosinofil : 0
Batang : 0
Segmen : 64
Limfosit: 36
Kiri
N (Refleks lengan bawah)
N (Kontraksi trisep)
N
N (Plantar fleksi)
N
Tidak ada
9
Monosit: 6
Gambaran Darah Tepi
Eritrosit : Normositik normokrom
Leukosit : leukositosis sedang
Trombosit : kesan jumlah trombosit cukup
Kesimpulan : Anemia normositik normokrom ec ? dengan infeksi / inflamasi akut
J. Ringkasan
Pasien datang dengan keluhan BAB berwarna kehitaman sejak 1 minggu yang lalu.
BAB berbentuk kecil-kecil. BAB berwarna hitam seperti aspal terus menerus. Dalam
1 hari pasien dapat >3x BAB dan berwarna hitam. Keluhan BAB memberat sejak 3
hari yang lalu SMRS, BAB kehitaman dan disertai mencret (+) dalam 1 hari 3x BAB
dengan volume 1 gelas setiap 1 kali BAB. Pasien juga mengeluhkan Muntah
kehitaman 3 hari yang lalu. Muntah 1 kali dengan voulume gelas belimbing .
Pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati sejak 1 minggu yang lalu dan memberat
sejak 3 hari SMRS. Nyeri pada ulu hati seperti di tusuk-tusuk dan keluhan ini sudah
berlangsung selama 6 bulan dan hilang timbul. Nyeri timbul bila pasien telat makan
dan mengilang bila pasien segera makan. Pasien juga mengeluhkan mual muntah (+)
sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan lemas (+) sejak 1 minggu yang lalu sehingga pasien tidak
lagi bekerja, lemas memberat sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan pusing
sejak 3 hari yang lalu namun tanpa disertai demam.
Riwayat DM (-) , riwayat Hipertensi (-) , riwayat dyspepsia (+) sejak 6 bulan yang
lalu.
Berdasarkan Pemeriksaan fisik didapatkan
Keadaan Umum
: Tampak sakit Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Suhu
: 36,4oC
Pernafasan
: 24x/menit
Keadaan gizi
: 19,8 IMT : Normal
Kesadaran
: Compos mentis
Sianosis
: Tidak ada
Edema umum
: Tidak ada
Habitus
: Astenikus
Cara berjalan
: Normal
Mobilitas
: Aktif
10
Umur taksiran pemeriksa
Pemeriksaan Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: 50 tahun
:
: hemithoraks kiri dan kanan simetris, retraksi (-)
: Nyeri tekan (-), Fremitus vokal kiri dan kanan simetris
: Sonor pada selutuh lapang pulmo sinistra dan dextra
: Vesikuler +/+ , Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Pemeriksaan Cor
:
Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis tidak teraba
Perkusi
: Batas jantung kanan
: Parastrernal ICS IV
Batas jantung kiri
: Midclavicula ICS V
Batas atas
: Parasternal ICS II
Auskultasi : BJ I dan II normal, irama reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
:
:
datar
Dinding perut :
Perkusi
epigastrium
Hati
: Tidak teraba
Limpa
: Tidak teraba
Ginjal
: Ballotement (-)
Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi
Refleks dinding perut
:
:
Ekstremitas edema
: -/-
Nyeri
tekan
(+)
regio
11
Primer
1. Jaga pola makan
2. Menjaga kebersihan diri
Sekunder
1. Minum obat sesuai aturan
2. Istirahat
Tersier
1. Menjaga imunitas tubuh
2. Minum air dengan cukup
P. Prognosis
Quo at vitam
Quo at functionam
Quo at sanationam
: Dubia ad malam
: Dubia ad malam
: Dubia ad malam
12
Lembar Follow Up
Tanggal
30 juni 2015
Keluhan
Pasien mengeluhkan
Pemeriksaan
Ku : TSS
lemas,lesu,lunglai cepat
Sens : CM
CA (+/+) SI (-/-)
Td : 90/70mmHg
Nadi: 88x/menit
Rr: 24x/menit
T: 36,3 C
Thoraks :
I: simetris ka=ki
A:vesikuler +/+
06.00 wib.
Abdomen
I: datar
A: BU +normal
P: timpani
P: nyeri tekan (+)
regio epigastrium
01 juni 2015
Sens : CM
kemarin malam
CA (+/+) SI (-/-)
Td : 120/80mmHg
Nadi: 80x/menit
Rr: 24x/menit
T: 36,4oC
Tatalaksana
-
13
DIABETES TIPE 2
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan
produksi glukosa hepatik) dan jaringan di jaringan perrifer (otot dan lemak), sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, atau keduanya.
Klasifikasi Diabetes
Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori klinis:
1. Diabetes Mellitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut)
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resitensi insulin)
3. Diabetes Mellitus tipe lain
a. Defek genetic fungsi sel beta
1) Kromosom 12, HNF- (dahulu MODY 3)
2) Kromosom 7, glukosinase (dahulu MODY 2)
3) Kromosom 20, HNF (dahulu MODY 1)
4) Kromosom 13, insulin promoter factor ( IPF dahulu MODY 4)
5) Kromosom 17, HNF-1 (dahulu MODY 5)
6) Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria
7) Lainnya
b. Defek genetic kerja insulin: resistensi tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson
Mendenhall diabetes lipoatrofik, lainnya
c. Penyakit Eksokrin Pankreas: pancreatitis, trauma/pankreaktomi, neoplasma,
fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati, fibro kalkulus, lainnya
d. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromsitoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
e. Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya
f. Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya
g. Imunologi (jarang): sindrom Stiffman, antibodi antireseptor insulin, lainnya
h. Sindroma genetic lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
sindrom Wolframs, ataksia Friedreichs, chorea Huntington, sindrom Laurence
Moon Biedl distrofi miotonil, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya.
4. Diabetes Kehamilan
Beberapa pasien tidak dapat secara jelas diklasifikasikan sebagai DM tipe 1 atau DM
tipe 2. Manifestasi klinis dan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi pada kedua
14
tipe diabetes tersebut. Pasien yang didiagnosa dengan DM tipe 2 dapat disertai
ketoacidosis, meskipun jarang. Anak-anak dengan diabetes tipe 1 biasanya
menunjukkan gejala khas, yaitu poliuria atau polidipsia dan kadang disertao
ketoasidosis (DKA). Kesulitan alam mendiagnosis mungkin terjadi pada anak anak,
remaja, dan dewasa muda, namun diagnosis yang tepat akan semakin jelas seiring
berjalannya waktu.
Epidemiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi Diabetes
Mellitus sebesar 2,1%. Berdasarkan data tersebut prevalensinya meningkat seiring
bertambahnya umur namun menurun setelah usia di atas 65 tahun. Prevalensi DM
cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikkan tinggi dan dengan
kuintil indeks kepemilikan tinggi. Dari tahun 2007
15
mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk menurunkan kadar gula darah,
disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh
otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan postpandrial. Akhirnya
sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia berat.
Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM-2 menyebabkan resistensi
adiponektin melalui penurunan regulasi ekspresi reseptor AdipoR1. Hal ini menyebabkan
C-terminal globular domain (gAd), produk gen adiponektin yang memilik efek metabolik
yang poten terutama pada otot skeletal, mengalami resistensi sehingga kemampuan gAd
untuk meningkatkan translokasi GLUT-4, penyerapan glukosa, penyerapan asam lemak
dan oksidasi, serta fosforilasi AMP-activated protein kinase (AMPK) dan asetil-CoA
karboksilase (ACC) mengalami penurunan. Menariknya, hiperinsulinemia menyebabkan
peningkatan sensitivitas full-length adiponectin (fAd) melalui peningkatan eskpresi
reseptor AdipoR2. Hiperinsulinemia menginduksi kemampuan fAd untuk meningkatkan
penyerapan asam lemak dan meningkatkan oksidasi 11 asam lemak sebagai respon dari
fAd sehingga meningkatkan resiko komplikasi vaskular pada DM-2.
16
mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis
definitive.)
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan
berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM
diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita).
Menurut Standar of Medical Care In Diabetes 2014 oleh ADA, Diabetes didiagnosis
berdasarkan kriteria kadar glukosa plasma, yaitu glukosa plasma puasa atau kadar
glukosa 2 jam pasca pembebanan (tes toloeransi glukosa oral). Kriteria A1C ( 6,5%)
juga dimasukkan sebagai pilihan ketiga untuk mendiagnosis diabetes.
EFFUSI PLEURA
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang
melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. Efusi pleura
adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah suatu keadaan
dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura,
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan
pleura. Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara
lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi.
A. Hidrothoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini
penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab lain
yang mungkin adalah seperti kegagalan jantung kanan dan sirosis hati dengan asites.
B. Hemothoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena
trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau trauma
tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25%
kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku
beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan
fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
17
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada. Penyebab lainnya
hemotoraks adalah:
1. Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke
dalam rongga pleura.
2. Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang
kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
3. Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak
membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui
sebuah jarum atau selang.
C. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis iniakan
berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada setiap
kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai salah satu
komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
1. Pneumonia
2. Infeksi pada cedera di dada
3. Pembedahan dada
D. Chylothoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening pada
rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain:
1. Kongental, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi terdapat
fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
2. Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan
pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi daerah
torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi
kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arkus aorta.
3. Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum,
granuloma mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis).
Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus
torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit trombosis vena
subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan duktus torasikus dan menyebabkan
kilotoraks.
Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary, dapat
bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi
pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia, keganasan, atau
18
emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan peran dalam pembentukan efusi
pleura:
1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan, emboli
paru)
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah (misalnya, trauma,
keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia,
pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau paru-paru
(misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh (misalnya,
atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk obstruksi duktus
toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui limfatik atau
cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura visceral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten menyebabkan adanaya
akumulasi cairan di pleura
10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis, pneumonia, virus,
19
lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena
perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian
melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat
melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura
visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid
osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil
yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan
pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.
Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses
radang
oleh
kuman
piogenik
akan
terbentuk
pus/nanah,
sehingga
terjadi
empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks. Penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan cairan
pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ini dapat terjadi pada
gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena
obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan
masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi
cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena
untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat
pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar
getah bening.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi pengembangannya.
Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya
perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan
yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas.
Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa
O2) 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) 50 mmHg melalui
pemeriksaan analisa gas darah.
CHRONIC KIDNEY DISEASE
20
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti
sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal
sebagian atau sepenuhnya kehilangan kemampuan mereka untuk menyaring air dan
limbah dari darah.
1. Membangun dari zat beracun yang biasanya dikeluarkan dari tubuh oleh ginjal dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang berbahaya.
2. Akut gagal ginjal (juga disebut sebagai ginjal kegagalan) terjadi dengan cepat.
3. Disfungsi ginjal ringan sering disebut insufisiensi ginjal.
Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah kondisi yang ditandai oleh hilangnya fungsi ginjal
secara bertahap dari waktu ke waktu atau penurunan lambat dan progresif fungsi ginjal.
Ini biasanya akibat komplikasi dari yang lain kondisi medis yang serius. Tidak seperti
gagal ginjal akut, yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal kronis terjadi
secara bertahap - selama minggu, bulan, atau tahun - sebagai ginjal perlahan berhenti
bekerja, yang mengarah ke stadium akhir penyakit ginjal (ESRD).
Di Amerika Serikat, ada meningkatnya insiden dan prevalensi gagal ginjal, dengan hasil
yang buruk dan biaya tinggi. Penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian
kesembilan di Amerika Serikat. Nasional Ketiga Kesehatan dan Survey (NHANES III)
memperkirakan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di Amerika
Serikat adalah 11% (19,2 juta): 3,3% (5,9 juta) memiliki tahap 1, 3% (5,3 juta) harus
tahap 2, 4,3% (7,6 juta) memiliki stadium 3, 0,2% (400.000) memiliki stadium 4, dan
0,2% (300.000) memiliki tahap 5.
Tingkat kejadian End Stage Renal Disease (ESRD) telah terus meningkat secara
internasional sejak tahun 1989. Amerika Serikat memiliki tingkat kejadian tertinggi
ESRD, diikuti oleh Jepang. Jepang memiliki prevalensi tertinggi per juta penduduk,
dengan Amerika Serikat menempati posisi kedua.
Chronic Kidney Disease dapat dikategorikan sebagai cadangan ginjal berkurang,
insufisiensi ginjal, atau gagal ginjal (stadium akhir penyakit ginjal). Awalnya, sebagai
jaringan ginjal kehilangan fungsinya, ada kelainan sedikit karena jaringan yang tersisa
dapat meningkatkan kinerja (adaptasi fungsional ginjal); kehilangan 75% dari jaringan
ginjal menyebabkan penurunan GFR hanya 50% dari normal.
21
Fungsi ginjal menurun mengganggu kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit. Perubahan melanjutkan ditebak, tetapi tumpang tindih
dan variasi individu ada. Kemampuan untuk berkonsentrasi penurunan urin awal dan
diikuti dengan penurunan kemampuan untuk mengekskresikan fosfat, asam, dan K.
Ketika gagal ginjal lanjut (GFR 10 mL/min/1.73 m 2), kemampuan untuk
mengencerkan urin hilang, dengan demikian osmolalitas urin biasanya tetap dekat
dengan plasma (300-320 mOsm / kg), dan volume urin tidak merespon cepat terhadap
variasi dalam asupan air.
Plasma konsentrasi kreatinin dan urea (yang sangat tergantung pada filtrasi glomerular)
mulai naik nonlinier sebagai GFR berkurang. Perubahan-perubahan yang minimal sejak
dini. Ketika GFR turun di bawah 10 mL/min/1.73 m 2 (normal = 100 mL/min/1.73 m 2),
tingkat mereka meningkat dengan cepat dan biasanya berhubungan dengan manifestasi
sistemik (uremia). Urea dan kreatinin tidak kontributor utama dengan gejala uremik,
mereka adalah penanda untuk zat lain (sebagian belum didefinisikan dengan baik) yang
menyebabkan gejala.
Meskipun keseimbangan GFR, Na dan air berkurang tetap terjaga dengan ekskresi
fraksional peningkatan Na dan respon normal terhadap rasa haus. Dengan demikian,
konsentrasi plasma Na biasanya normal, dan hipervolemia jarang terjadi kecuali asupan
Na atau air sangat dibatasi atau berlebihan. Gagal jantung dapat terjadi dari Na dan
kelebihan air, terutama pada pasien dengan cadangan jantung menurun.
Kelainan Ca, fosfat, hormon paratiroid (PTH), vitamin metabolisme D, dan osteodistrofi
ginjal dapat terjadi. Produksi ginjal penurunan calcitriol kontribusi untuk hipokalsemia.
Penurunan ekskresi ginjal hasil fosfat dalam hiperfosfatemia. Hiperparatiroidisme
sekunder adalah umum dan dapat mengembangkan pada gagal ginjal sebelum kelainan
pada Ca atau konsentrasi fosfat terjadi. Untuk alasan ini, pemantauan PTH pada pasien
dengan
CKD
moderat,
bahkan
sebelum
hyperphosphatemia
terjadi,
telah
direkomendasikan.
Osteodistrofi ginjal (mineralisasi tulang abnormal akibat hiperparatiroidisme, defisiensi
calcitriol, fosfat serum, atau rendah atau normal serum Ca) biasanya mengambil bentuk
meningkatnya turnover tulang karena penyakit hyperparathyroid tulang (osteitis fibrosa)
tetapi juga dapat melibatkan pergantian tulang menurun karena tulang adinamik penyakit
22
(dengan penekanan paratiroid meningkat) atau osteomalacia. Kekurangan calcitriol dapat
menyebabkan osteopenia atau osteomalacia.
Asidosis sedang (plasma HCO 3 isi 15 sampai 20 mmol / L) dan anemia merupakan
karakteristik. Anemia CKD adalah normokromik normositik-, dengan Ht 20 sampai 30%
(35 hingga 50% pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik). Hal ini biasanya
disebabkan oleh produksi eritropoietin kekurangan karena penurunan massa ginjal
fungsional.
Faktor-faktor selain proses penyakit yang mendasari dan hipertensi glomerulus yang
dapat menyebabkan cedera ginjal progresif meliputi:
1. Sistemik hipertensi
2. Penghinaan akut dari nephrotoxins atau penurunan perfusi
3. Proteinuria
4. Peningkatan ginjal ammoniagenesis dengan cedera interstisial
5. Hiperlipidemia
6. Hyperphosphatemia dengan deposisi kalsium fosfat
7. Penurunan kadar oksida nitrat
8. Merokok
9. Tidak terkontrol diabetes
23
Pada Tahap ini terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan
morfologik ginjal dan faal ginjal berlanjut, dengan LFG masih tetap meningkat.
Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau
kendali metabolic yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya saja
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait
dengan memburuknya kendali metabolic. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi
(Silent Stage) atau disebut juga tahap asimptomatik.
3. Tahap 3: penurunan moderat GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG meningkat
atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi albumin dalam urin adalah
20-200 ig/menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara
histologis didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume
mesangium fraksional dalam glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah
masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahun0tahun dan
progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah
yang kuat.
4. Tahap 4: Penurunan berat pada GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Tahap ini merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih
jelas, seperti yang ditunjukkan Gambar 1, dan juga timbul hipertensi pada sebagian
besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. LFG menurun,
sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan
tingginya tekanan darah.
24
25
Gambar 2. Progresi Kerusakan Ginjal Kronik
Hingga saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat
laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan LFG pada nefropati diabetik masih belum jelas,
tetapi diduga disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino
dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi
ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai
dengan tahap-tahap menurut Mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan
bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM.
diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen
intrarenal atau intraglomerulus.
26
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam
amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan
menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products). Penimbunan AGEs
dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka panjang akan merusak
membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan merusak seluruh glomerulus.
3. Polyolpathyway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose
reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran utama dalam
merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat maka sorbitol
akan meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan kurangnya kadar
mioinositol, yang akan mengganggu osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang
disolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah
penimbunan matriks ekstraselular. Menurut Lorensi, sehingga dapat terjadi nefropati
diabetik.
5. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan paling dalam patogenesis nefropati diabetik
disamping hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan
hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita diabetes tanpa
hipertensi. Hemodinamik dan hipertropi mendukung adanya hipertensi sebagai
penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dari neuron
yang sehat lambat lain akan menyebabkan sclerosis dari nefron tersebut. Jika
dilakukan penurunan tekanan darah, maka penyakit ini akan reversible.
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan predictor independent dan kuat dari penurunan fungsi ginjal
baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya
hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein,
dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang berlangsung lama dan
berlebihan akan menyebabkan kerusakan tubulo-intertisiel dan progresifitas penyakit.
27
Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi
protein dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti
endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor
factor ini akan merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan
infiltrasi sel mononuclear, menyebabkan kerusakan dari tubulointertisiel dan
akhirnya terjadi renal scarring dan insufisiensi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan
pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik, dan hemodinamik berpengaruh
terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai bagian dasar
terjadinya nefropati diabetik adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran
basal glomerulus. Gambaran histologi jaringan pada nefropati diabetik memperlihatkan
adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang
akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta
fibrosis tubulo intertitial. Berbagai fakto berperan dalam terjadinya kelainan tersebut.
Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitasi) pada penderita yang mempunya
predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat
menimbulkan nefropati diabetik.
28
29
Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan
sitosolik
monomerik
oxidoreduktase
yang
mengkatalisa
NADPH-dependent
(GSH)
dehydrogenase
yang
berfungsi
merupakan
untuk
tambahan
mengoksidasi
stress
oksidatif.
Sorbitol
sorbitol
menjadi
fruktosa
30
terutama pada DM tipe2, lebih banyak terjadi kematian akbiat kardiovaskular dari
pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabettik kidney disease masih
kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana ada penderita ini hipertensi
dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis
mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya
nefropati tetapi mempercepat progresive ke arah GGT pada penderita yang sudah
mengalami diabetik kidney disease.
Dari kedua faktor di atas maka akan terjadinya peningkatan TGF beta yang akan
menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga
akan meningkatkan akumulasi ektraselular matriks yang berperan dalam terjadinya
nefropati diabetik.
31
32
klorida menghailkan kalsium klorida, karbon dioksida dan air (efek menetralkan
asam lambung). Sekitar 90% kalsium klorida dikonversi menjadi bentuk garam
kalsium yang tidak larut (terutama kalsium karbonat dan sedikit kalsium fosfat) dan
sabun kalsium di usus halus (small intestine) dan tidak diabsorpsi. Ketika kalsium
karbonat diberikan secara oral, sejumlah terbatas kalsium dan bikarbonat intestinal
diabsorpsi dan dapat menimbulkan hiperkalsemia. Pada kasus ini, pasien diberikan
furosemide yang dapat menyebabkan pasien mengalami hipokalsemia sehingga
penambahan kalsium karbonat untuk mengganti kalsium yang hilang sudah tepat.
9. Micardis 1x8 tablet 80 mg
Micardis merupakan obat antihipertensi yang berisi telmisartan. Obat antihipertensi
ini bersifat long-acting sehingga digunakan sebagai obat antihipertensi essensial.
Terapi ini sudah tepat mengingat tekanan darah pasien yang tinggi hingga mencapai
200/100 mmHg.
33
DAFTAR PUSTAKA
Huang Y, Zhou Q, Haaijer-Ruskamp FM, Postma MJ. Economic evaluations of angiotensinconverting enzyme inhibitors and angiotensin II receptor blockers in type 2 diabetic
nephropathy: a systematic review. BMC Nephrol. 2014; 15(15): 1-17.
Kanasaki K, Taduri G, Koya. Diabetic nephropathy: the role of inflammation in fibroblast
activation and kidney fibrosis. Front Endocrinol (Lausanne). 2013; 4(7): 1-15.
Li B, Liu S, Miao L, Cai L. Prevention of Diabetic Complications by Activation of Nrf2:
Diabetic Cardiomyopathy and Nephropathy. Exp Diabetes Res. 2012; 2012(216512): 17.
Lim AKH dan Tesch GH. Inflammation in Diabetic Nephropathy. Mediators Inflamm. 2012;
2012(146154): 1-12.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison's Principles
of Internal Medicine 18th Edition. New York: McGraw-Hill Company. 2012.
Suarez MLG, Thomas DB, Barisoni L, Fornoni A. Diabetic nephropathy: Is it time yet for
routine kidney biopsy. World J Diabetes. 2013; 4(6): 245-55.
Tramonti G dan Kanwar YS. Review and Discussion of Tubular Biomarkers in the Diagnosis
and Management of Diabetic Nephropathy. Endocrine. 2013; 43(3): 494-503.