You are on page 1of 44

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU PERAWAT TERHADAP TINDAKAN

PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG PERAWATAN BEDAH RSUD


PROPINSI SULAWESI TENGGARA

DI SUSUN OLEH

NAMA : APRIANSAH
TINGKAT

: IVA S1 KEPERAWATAN

NIM

: 12010069

STIKES YAYASAN HUSADA MANDIRI POSO


TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayananan
medis dan asuhan keperawatan untuk semua jenis penyakit termasuk penyakit infeksi.
Menghadapi era globalisasi kualitas sumber daya manusia dan mutu pelayanan di rumah
sakit perlu ditingkatkan agar maju, mandiri dan sejahtera sehingga dapat memacu
peningkatkan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang lebih baik
(Darmadi, 2008).
Asuhan keperawatan professional, dibutuhkan adanya tenaga perawat yang memiliki
pengetahuan, kemampuan teknis dan non teknis yang memadai, klasifikasi serta jumlahnya.
Tenaga keperawatan merupakan pelaksana terdepan dalam peningkatan mutu serta kualitas
pelayanan kesehatan jasa di rumah sakit.
Setiap pasien di rumah sakit dalam menerima perawatan, dari beberapa individu
dimana salah satu diantaranya mungkin akan berperan sebagai pengangkut kuman antar
penderita atau mungkin antar perawat dengan pasien sehingga sangat sulit mencegah
terjadi infeksi silang (cross infection). Disamping itu, pasien yang dirawat dirumah sakit
mengalami kepekaan terhadap berbagai jenis infeksi karena keadaan penyakit yang
dideritanya, maupun karena pengobatan dan perawatan yang didapatkan, mengalami
keterpaparan terhadap sumber darah, jarum, kateter serta berbagai alat, sekalipun alat-alat
tersebut telah dibebas kumankan tetapi dalam penggunaannya dapat menyebabkan
timbulnya infeksi nosokomial.
Saat ini, angka kejadian infeksi nosokomial telah menjadi tolak ukur mutu pelayanan
rumah sakit. Izin operasinal rumah sakit bisa dicabut kerena tingginya angka kejadian infeksi
nosokomial (Darmadi, 2008).
2

Infeksi nosokomial saat ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit sehingga menjadi
masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Kejadian infeksi nosokomial berakibat mutu pelayanan asuhan keperawatan tidak
optimal. Untuk mencegah atau mengurangi angka kejadian infeksi nosokomial diperlukan
tindakan yang tepat. Beberapa tindakan pencegahan tersebut antara lain mencuci tangan
untuk mencegah infeksi silang, dan pemakaian alat pelindung untuk mencegah kontak
darah dan cairan lainnya.
Cara untuk menekan resiko infeksi nosokomial adalah kembali kepada tehnik sepsis
dan antisepsis serta perbaikan sikap termasuk pengetahuan personil rumah sakit,
diantaranya adalah perawat yang merupakan tenaga paling lama kontak dengan pasien.
Upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit melibatkan berbagai unsur,
mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri khususnya tenaga
keperawatan sebagai pelaksana langsung dalam pencegahan infeksi. Salah satu strategi
yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah
peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Kewaspadaan Universal
(Universal Precautions) yaitu suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan
darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status infeksi
(infeksi.com.RSPI-SS,2007).
Perawat harus memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang cukup, hal tersebut
penting dalam membentuk tindakan perawat dalam memberikan pelayanan pada
pasien,terutama dalam hal tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Penelitian terbukti
bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari pengetahuan, hal tersebut

akan mempengaruhi perilaku perawat dalam upaya

pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Notoatmojo, 2007).


Peningkatan pendidikan dan pengetahuan serta pengalaman kerja melalui pelatihan
kesehatan bagi tenaga perawat dan tenaga kesehatan lain, merupakan salah satu bukti
3

upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial

di rumah sakit. Pencegahan

penularan infeksi silang cross infection baik dari pasien ke petugas atau sebaliknya, maka
perlu mencuci tangan, pemakaian sarung tangan, dan alat pelindung lain serta
menggunakan alat steril pada saat melakukan tindakan pada pasien.
RSUD Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu rumah sakit yang
memberian pelayanan kesehatan. Berdasarkan

data yang diperoleh dari rumah sakit

pasien yang mengalami phlebitis yaitu 31,08% dan infeksi luka operasi 3,22% untuk periode
Januari Desember 2008.
Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti pada saat pengumpulan data awal
tanggal 22 23 September 2009 bahwa selama periode Januari Desember 2008 jumlah
kunjungan pasien rawat inap bedah sebanyak 1.516 orang, jumlah tempat tidur 38 buah.
Sedangkan jumlah tenaga perawat yang bertugas diruang perawatan bedah sebanyak 32
orang. Pengamatan peneliti selama pengumpulan data di ruangan perawatan bedah dengan
melihat status penderita secara acak temukan ada 10 status insiden plebitis yang di
dokumentasikan, plebitis merupakan salah satu kejadian infeksi nosokomial. Kondisi
tersebut menjelaskan diperlukan upaya perawat dalam hal pencegahan infeksi insokomial.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan
infeksi nosokomial diruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakag tersebut diatas memberikan dasar bagi
peneliti untuk merumuskan masalah penelitian sebagai berikut Apakah ada hubungan
pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi
nosokomial di ruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara?

C. Tujuan Penelitian.

1. Tujuan Umum.
Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap pencegaan
infeksi nosokomial diruang perawatan bedah.

2. Tujuan Khusus.
a. Diketahuinya tingkat pengetahuan perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi
nosokomial.
b. Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku perawat terhadap
tindakan pencegahan infeksi nosokomial.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber masukan dan informasi bagi rumah
sakit untuk tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.
2. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan diharapkan menjadi salah satu bahan bacaan
bagi peneliti berikutnya.
3. Bagi Peneliti sendiri merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang dapat dilakukan dalam tindakan
pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Infeksi Nosokomial


5

1.

Pengertian.

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani dari kata nosos yang artinya
penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk
merawat atau rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi
yang diperoleh atau yang terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).
Infeksi di rumah sakit atau di kenal dengan infeksi Nosokomial adalah infeksi
yang didapat oleh penderita ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di
rumah sakit, pada waktu penderita mulai dirawat tidak didapatkan tanda-tanda klinik
dari infeksi tersebut, tidak dalam masa inkubasi suatu penyakit infeksi dan infeksi timbul
sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak pasien mulai perawatan di rumah sakit.
Infeksi nosokomial tidak saja mengenai penderita yang di rawat, tetapi juga dapat
mengenai setiap petugas rumah sakit (Darmadi, 2008). Definisi

menurut

WHO,

infeksi nosokomial adalah semua kasus kelainan klinik yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang menyerang pasien rawat inap maupun rawat jalan, petugas
rumah sakit, dan mungkin juga pengunjung pasien.
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang didapat di rumah sakit apabila: pada
saat masuk rumah sakit tidak ada tanda / gejala atau
tidak dalam masa inkubasi infeksi tersebut, terjadi 3 kali 24 jam setelah pasien dirawat
di rumah sakit atau dapat terjadi infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh
mikroorganisme yang berbeda dari mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau
mikroorganisme penyebabnya sama tetapi lokasi infeksi yang berbeda. (Depkes RI,
2001).
Menurut Sjamsuhidajat infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi pada
masa keperawatan pasien di rumah sakit.Infeksi dapat di tegakkan apabila infeksi terjadi
ketika pasien lebih dari 3 hari di rumah sakit.

Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang


terjadi melalui kode transmisi kuman tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat
terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun airborne, dan dengan kontak
langsung.(http//www infeksi.com).
Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
juga dapat terjadi pada para petugas rumah sakit tersebut. Berbagai prosedur
penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari
pasien.
Infeksi pada petugas juga berpengaruh pada waktu pelayanan rumah sakit
karena petugas menjadi sakit dan mempengaruhi produktivitas kerjanya sehingga tidak
dapat melayani pasien. Mengingat halhal tersebut diatas maka sudah waktunya untuk
melakukan tindakan-tindakan
tempat

penanggulangan

infeksi

nosokomial

di

pelayanan kesehatan pada umumnya dan di rumah sakit pada

khususnya (Bonang, 2003 ).

2.

Etiologi
Penyebab mikroba patogen yang beraneka ragam, baik dalam bentuk bakteri,
virus, jamur, atau protozoa. Mikroba patogen sebagai penyebab terbanyak adalah jenis
bakteri (62 %) dimana gram negatif 41 %, gram positif 15 % dan gram negatif bersama
positif 6 %. Sedangkan karena jamur 9 %, virus 8 % dan mikrobakterium 4 % (Struelens
1999).

3.

Rantai Penularan
Rantai penularan infeksi nosokomial dipengaruhi oleh 3 faktor

a.

penting, yaitu :

Mikroba
Mikroba penyebab yang terbanyak adalah bakteri dan virus, sedang fungi dan parasit
jarang menyebabkan infeksi nosokomial. Faktor dari pihak mikroba penyebab yang
7

mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah patogenisiti, dosis infektif dari


mikroba, sifat spesifik dari mikroba, hasil metabolisme mikroba, reservoir dan sumber
infeksi.
b.

Penularan
Penularan infeksi nosokomial terjadi melalui satu atau lebih rute penularan, yaitu
lewat kontak, common vehicle, udara (airborne), atau melalui vector. Dalam garis
besarnya, mekanisme transmisi mikroba pathogen ke penjamu yang rentan melalui
dua cara:

1) Transmisi Langsung (direct transminssion).


Penuaran langsung oleh mikroba pathogen kepintu masuk yang sesuai dari
penjamu, seperti sentuhan, gigitan, ciuman atau adanya droplet nuclei saat
bersin, batuk, berbicara, atau saat transfuse darah dengan darah yang
terkontaminasi mikroba pathogen.
2) Transmisi tidak langsung (indirect transmission)
Penularan mikroba pathogen yang memerlukan adanya media perantara, baik
berupa benda/bahan, air, udara, makanan/minuman, maupun vector.
3) Vehicle- borne
Sebagai

media

terkontaminasi

perantara

penularan

adalah

benda/bahan

yang

seperti instrument bedah/kebidanan, peralatan makan dan

minum,peralatan infus/transfusi darah, peralatan laboratorium, dan lain-lain.


4) Vektor-borne
Sebagai

media

perantara

penularan

adalah

vector

(serangga)

yang

memindahkan mikroba pathogen ke penjamu baik secara mekanis dan biologis.


5) Food-borne
Makanan dan minuman adalah media yang cukup efektif untuk menyebarnya
mikroba pathogen ke penjamu, yaitu melalui pintu masuk saluran pencernaan
6) Water-borne
8

Tersedianya air bersih baik secara kualitatif maupun kuantitatif, diharapkan


bebas dari mikroba pathogen sehingga aman untuk dikonsumsi, jika tidak
akan menjadi media perantara menyebarkan mikroba pathogen ke penjamu,
melalui pintu masuk saluran cerna maupun melalui pintu masuk yang lain.
7) Air-Borne
Udara sangat mutlak diperlukan oleh setiap orang, namun udara yang
terkontaminasi oleh mikroba pathogen sangat sulit untuk dideteksi. Mikroba
pathogen dalam udara masuk ke saluran pernapasan penjamu dalam bentuk
droplet nuclei yang dikeluarkan penderita (reservoir) saat batuk atau bersih,
bicara atau bernapas melalui hidung dan mulut. Sedangkan dust merupakan
partikel yang dapat terbang bersama debu tanah.
c.

Penjamu/calon penderita
Terjadinya infeksi pada penjamu (korban) setelah tertular, juga

ditentukan oleh

tempat masuknya mikroba patogen ke dalam tubuh penjamu (portd entry) dan
pertahanan tubuh (kekebalan) penjamu. Portd entry antara lain kulit dan selaput
mukosa, misalnya mukosa mata, saluran nafas, saluran gastrointestinal, saluran
kelamin, dan saluran kemih.
d.

Lingkungan
Berupa lingkungan internal seperti ruangan/bangsal perawatan, kamar badah
dan kamar bersalin. Sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit,
dan tempat pembuangan sampah/pengolahan limbah rumah sakit.
Lingkungan tempat pelayanan kesehatan juga merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi mata rantai infeksi. Untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial
maka lingkungan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan
mikroba untuk dapat hidup dan berkembang biak di tempat tersebut.

4.

Faktor Resiko.

Semua jenis tindakan medis yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan
terapi serta prosedur dan tindakan keperawatan tidak akan terlepas dari resiko terjadi
infeksi dari yang ringan sampai yang berat. Beberapa prosedur tindakan yang beresiko
antara lain; pemberian suntikkan IM/IV, infus atau transfusi darah, kateterisasi urine,
pemasangan nasogstric tube, kuretase, pertolongan persalinan normal, dan tindakan
operatif.

5.

Pencegahan.
Pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan tanggung jawab
seluruh petugas kesehatan di rumah sakit. Inti dari tindakan pencegahan infeksi
nosokomial adalah pada masalah perkembangbiakan mikroba patogen pada reservoir
serta penyebarannya dari reservoir ke penjamu (pasien yang sedang dalam proses
asuhan keperawatan). Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan perawat/petugas
ruangan perawatan antara lain:
a.

Menjaga

agar

ruangan/bangsal

perawatan

terjaga

kebersihannya,

serta

memperhatikan ventilasi dan pencahayaannya.


b.
c.

Peralatan medis dan non medis harus siap pakai dalam keadaan bersih dan steriil.
Mencegah perilaku atau cara kerja petugas/perawat yang tidak meperhatikan
kebesihan atau tindakan tidak aseptik.

d. Mengenal diagnosis penyakit pasien terutama pasien yang rawan terjangkit infeksi
nosokomial.
e. Mengenal tindak-tindakan invasif

yang berpotensi dapat menimbulkan infeksi

nosokomial.
f.

Mencegah terjadinya infeksi silang (cross infection) diantara pasien dengan pasien,
serta antara pertugas/perawat dengan pasien.

6.

Prosedur tetap pencegahan infeksi nosokomial.


10

a.

Mencuci tangan
Mencuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam
mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk
menyentuh pasien, memegang alat perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan
pribadi seperti untuk makan (Perry, 2005).
Larutan antiseptik atau juga disebut antimikroba topikal adalah produk yang
dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainya untuk menghambat aktivitas
mikroorganisme atau membunuhnya sehingga menurunkan jumlah total bakteri
pada kulit. Sementara desinfektan adalah bahan kimia yang ditujukan untuk
membunuh mikroorganisme pada benda-benda mati seperti peralatan, instrumen
meja atau lantai (Perry, 2005).
Jenis bahan pencuci tangan ada dua yaitu :
1)

Sabun, cleanser dan deterjen


Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat pertumbuhan dan
mengurangi jumlah mikroorganisme.

2)

Larutan antispetik
Jenis ini di gunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat :
a)

Sebelum dan diantara merawat pasien yang beresiko


tinggi seperti dalam unit perawatan khusus dan ruang gawat darurat.

b)

Sebelum

tindakan/kontak

dengan

pasien

yang

mengenakan peralatan seperti kateter.


c)

Sebelum memasang peralatan seperti NGT.

d)

Cuci tangan bedah.

e)

Sebelum memegang bayi.

f)

Personal ruang operasi sebelum merawat pasien.

g)

Sebelum

dan

selama

perawatan

pasien

immunocompromised.
11

Cuci tangan medis dibagi menjadi tiga jenis (Depkes RI,2001) :


1)

Cuci tangan sosial : untuk menghilangkan kotoran dan mkikroorganisme


transien dari tangan, dilakukan dengan sabun atau detergen paling tidak selama
10-15 detik.

2)

Cuci tangan prosedural : untuk menghilangkan atau mematikan


mikroorganisme transien, disebut juga antiseptik tangan dilakukan dengan sabun
antiseptik atau alkohol selama 10-15 detik.

3)

Cuci

tangan

bedah

proses

menghilangkan

atau

mematikan

mikroorganisme transien dan mengurangi mikroorganisme residen, dilakukan


dengan larutan antiseptik dan diawali dengan menyikat paling tidak selama 120
detik.
Hal-hal pokok yang perlu diperhatikan saat mencuci tangan medis :
1)

Membersihkan jari, kuku, telapak tangan hingga pergelengan tangan ,


untuk cuci tangan bedah harus dilakaukan hingga siku.

2)

Idealnya menggunakan air yang mengalir,air hangat, air yang tidak


tercemar, sabun yang bersih, kikir kuku dan handuk/tissue tebal bersih dan
kering.

3)

Menghilangkan kotoran dan mikroorganisme dengan friksi, larutan


antiseptik dan pengeringan.

4)

Menggunakan

larutan

antiseptik

atau

subtitusinya

untuk

membersihkan dan menghilangkan kontaminasi.


Mencuci tangan yang benar :
1)

Lepaskan cincin dan tidak memakai cat kuku.

2)

Menggunakan air bersih dan mengalir..

3)

Pakai sabun atau desinfektan.

4)

Gosok di seluruh tangan, jari-jari dan kuku.


12

5)

Keringkan dengan lap bersih dan kering karena tangan yang basah
dapat menumbuhkan dan memindahkan kuman.

b.

Penggunaan sarung tangan


Sarung tangan telah menjadi barier pelindung yang penting dalam perawatan
kesehatan sejak lama. Sejak pengenalan secara umum maka sarung tangan
merupakan

barier

palindung

yang

efektif

terhadap

mikroflora

kulit

yang

berhubungan dengan perawatan pasien (Smeltzer.S, 2002).


Ada dua jenis sarung tangan yaitu (Depkes, 2001):
1)

Sarung tangan steril yaitu dipakai pada prosedur-prosedur tertentu yang


dianggap asepsis bedah.

2)

Sarung tanagan non steril yaitu dipakai pada prosedur-prosedur medis


lainnya.

Pemakaian sarung tangan non steril :


1)

Sarung tangan harus dipakai apabila ada kemungkinan terjadi kontak


dengan darah, cairan tubuh, lapisan mukosa kulit atau pasien yang luka dan juga
memegang benda-benda atau permukaan yang terkontaminasi dengan darah
atau cairan tubuh.

2)

Sarung tangan juga harus dipakai bila seseorang tenaga medis memiliki
luka terbuka pada tangannya.

3)

Sarung tangan dipakai bila merawat pasien yang berbeda dan setelah
bersentuhan dengan eksresi dan sekresi pasien.

4)

Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung
tangan bukan pengganti cuci tangan.

Pemakaian sarung tangan steril :


1)

Dipakai dalam prosedur pembedahan besar maupun kecil.

2)

Dipakai

sebelum melaksanakan tindakan seperti pemasangan kateter,

penggantian pembalut dan lain-lain.


13

3)

Dipakai

dalam

melakukan

perawatan

terhadap

pasien

yang

immunosuppressed atau dirawat di ruang isolasi ketat.


c.

Penggunaan masker
Masker dipakai untuk melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang
dapat di tularkan melalui udara, droplet atau pada saat kemungkinan terkena
cipratan cairaan tubuh. Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang
bekerja merawat luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar atau
merawat pasien yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
udara atau droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang
penularannya melalui udara terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar bersalin
dan bayi.
Masker yang baik menutupi hidung dan mulut dengan baik. Masker sekali pakai
jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam menjaga transmisi
mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet. Seharunya masker diganti bila
akan merawat pasien lain atau bila lembab dan tidak boleh digantung dileher lalu
dipakai kembali (Depkes RI, 2001).

d.

Pemakaian gaun.
Pada prinsipnya ada dua macam gaun yaitu yang steril dan non steril. Gaun
steril biasaanya dipakai oleh ahli bedah dan para asistennya di kamar bedah saat
melakukan pembedahan, sedangan gaun non steril dipakai di berbagai unit beresiko
tinggi misalnya oleh pengunjung kamar bersalin, ICU, kamar operasi, rawat darurat
dan kamar bayi (Depkes RI, 2001).

e.

Penanganan instrumen medis


Adapun penanganan instrumen medis adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2001) :
1)

Dekontaminansi
14

Tahapan ini sangat penting dilakukan untuk tujuan mencegah penyebaran infeksi
dari instrumen yang terkontaminasi (darah/mukosa) dan juga bertujuan
melindungi tenaga medis yang akan melakukan pembersihan instrumen. Pada
tahapan ini diperlukan sistem pembunuhan kuman yang

cepat dan sesuai

kebutuhan. Bahan kimia yang mengandung Chlorine bebas (seperti NaDCC atau
NaOCL) cepat membunuh kuman yang berbahaya seperti virus Hepatitis B atau HIV
dengan perendaman sekitar 15 menit.
2)

Membersihkan peralatan (Pre Cleaning)


Sebelum dilakukan sterilisasi atau desinfeksi, perlu dilakukan pembersihan (pre
cleaning) untuk membuang semua kotoran benda asing yang menempel pada
instrumen. Tanpa pembersihan yang benar, keefektifan desinfeksi atau sterilisasi
akan berkurang.

Pre cleaning dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mekanis

atau kimiawi. Secara mekanis dapat digunakan sikat, air dan mungkin sedikit
sabun yang tidak banyak mengandung busa. Sedangkan secara kimiawi dengan
bahan enzimatis seperti enzym protease untuk merontokkan darah atau mukosa
juga menjadi pilihan.
3)

Desinfeksi
Desinfeksi adalah menghilangkan jumlah mikroorganisme sampai jumlah
tertentu. Berdasar kekuatan desinfektan membunuh kuman, desinfeksi dapat
dibagi tiga yaitu desinfeksi tingkat tinggi (Glutaraldehyde 2 %), tingkat menengah
(chlorine bebas) dan tingkat rendah (air panas).

4)

Sterilisasi
Sterilisasi adalah menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk spora.
Secara umum sterilisasi ada dua cara yaitu :
a)

Sterilisasi uap panas (otoklaf).

b)

Sterilisasi panas (oven).

B. Tinjauan Tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Perawat.


15

1. Pendidikan
Pendidikan menurut ensklopedia (1982) secara umum dapat diartikan sebagai
perbuatan. Teori Gibson (1994) yang menyatakan bahwa, tingkat pendidikan yang lebih
tinggi pada umumnya menyebabkan seseorang lebih mampu menganalisa. Menurut Piaget (J.
W. Luhulima, 2001) bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik,
artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologi yaitu perkembangan sistem
saraf. Dengan makin bertambahnya usia seseorang maka makin komplekslah susunan
sel sarafnya dan makin meningkat pula pengetahuannya.
Pendidikan

adalah

suatu

usaha

untuk

mengembangkan

kepribadian

dan

kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo,
2007).
Pendidikan mempengaruhi proses belajar menurut I.B Mantra (1994) makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi dengan
pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik
dari orang lain maupun media massa, makin banyak informasi yang masuk semakin
banyak pula pengetahuan yang didapat tentang ilmu kesehatan atau ilmu keperawatan.
2. Pengetahuan
Pengertian pengetahuan adalah sebagai ingatan atas berbagai bahan yang telah
dipelajari dan ini mungkin menyangkut mengingat kembali sekumpulan bahan yang luas
dari hal-hal yang terpenuhi dari teori.

Tetapi apa yang diberikan ialah menggunakan

ingatan akan keterangan yang sesuai, akibatnya dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan pengetahuan adalah apa yang telah diketahui dan mampu diingat
oleh setiap orang setelah mengalami, menyaksikan, mengamati atau belajar sejak ia
lahir hingga dewasa ( Ngatimin, 2000).
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
16

Karena

dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoadmodjo 2007).
Menurut Rogers, (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007)

mengungkapkan

bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru terjadi proses yang berurutan yakni :
a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
lebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interst (merasa tertarik) terhadap stimulus (objek).
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya.
d. Trial yakni objek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan prilaku baru/adopsi prilaku melalui proses seperti ini yaitu
didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif maka prilaku tersebut akan
bersifat langgeng. Sebaliknya apabila prilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
Menurut Bloom pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan yaitu:
a. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat kembali dan ini merupakan tingkatan
pengetahuan yang paling rendah dengan cara menyebutkan, mendefinisikan dan
menyatukan.
b. Memahami (comprehention) yaitu suatu kemampuan untum menjelaskan secara
benar tentang obyek yang diketahui secara benar tentang obyek yang diketahui dan
menginterpretasikan.

17

c. Aplikasi (aplication) yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan dan menggunakan


materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
obyek ke dalam komponen-komponennya.
e. Sintesis yaitu kemampuan untuk menghubungkan atau menyusun formulasi-formulasi
yang telah ada.
f.

Evaluasi (evaluation) yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi penilaian terhadap


obyek (Notoadmodjo, 2007).
Pengetahuan adalah hasil konstruksi (bentukan) atau hasil seseorang yang

belajar. Belajar adalah mencari dan membentuk pengetahuan yang didasarkan atas
sense (indera), kekuatan rasio,intuitif dan otoritatif ( Ediyono,2005).
Pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang perawat dalam tindakan
pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit meliputi; definisi, penyebab, cara
penyebaran, sterilisasi dan teknik antiseptik dan desinfektan, serta aspek pencegahan
infeksi nosokomial.

3. Lama Bekerja
Semakin lama seorang berkarya dalam suatu organisasi maka semakin tinggi
pula produktivitasnya. Juga dijelaskan bahwa ada dua perbedaan antara tenaga kerja
yang masih baru dengan tenaga kerja yang masa kerjanya lama atau berpengalaman
dalam menghasilkan produk, makin lama masa kerja seseorang maka makin
berpengalaman dan makin tinggi produktifitasnya ( Siagian ,1999).
Infeksi pada petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan rumah sakit
karena petugas menjadi sakit dan mempengaruhi produktivitas kerjanya sehingga
tidak dapat melayani pasien. Mengingat hal-hal tersebut diatas maka sudah
waktunya untuk melakukan tindakan-tindakan penanggulangan infeksi nosokomial

18

ditempat-tempat pelaynan kesehatan pada umumnya dan di rumah sakit pada


khususnya.(http://www.infeksi.com /data/new sin.yml).

4. Perilaku
Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme, baik yang dapat diamati secara
langsung maupun tidak langsung. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas
dari pada manusia itu sendiri, oleh karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang
sangat luas. Perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Herediter
merupakan konsep dasar atau untuk perkembangan perilaku mahluk hidup itu. Sedangkan
lingkungan merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut
(Notoatmodjo, 2007).
Selain itu ada beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan faktor
penentu yang dapat mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan, antara lain :
1.

Teori Lawrence Green.


Green mencoba mengenalisa parilaku manusia, berangkat dari tingkat kesehatan
bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu
faktor didalam perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior
causes). Faktor perilaku tersebut dipengaruhi oleh :
a)

Faktor

predisposisi

(predisposing

fakctor),

yang

terwujud

dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.


b)

Faktor pendukung (Enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik,


tersedianya atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan misalnya
Puskesmas, obat-obatan, alat-alat kesehatan, steril dan sebagainya.

c)

Faktor pendorong (Reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas yang lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
19

2.

Teori Snehandu B. Kar.


Kar mencoba menganalisa perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku itu
merupakan fungsi dari :
a)

Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan


kesehatan (behavior intention).

b)

Dukungan sosial dari masyarakat sekitaraya (social support).

c)

Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas

kesehatan

(accessebility of information).
d)

Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau
keputusan (personal autonomy).

e)

Situasi yang memungkinkan

untuk

bertindak atau tidak bertindak (action

situation).
3.

Teori WHO ( World Health Organization)


WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu
adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan (throughts and
feeling) yaitu dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaianpanilaian seseorang terhadap obyek (obyek kesehatan) :
a)

Pengetahuan dipengaruhi dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang


lain.

b)

Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, nenek. Seorang
menarik kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian
terlebih dahulu.

c)

Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap obyek.


Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling
dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau obyek
lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu
tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain : sikap akan
20

terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu, sikap akan diikuti
atau tidak diikuti oleh tindakan mengacu pada pengalaman orang lain. Sikap diikuti
atau tidak diikuti suatu tindakan berdasarkan pada banyaknya atau sedikitnya
pengalaman seseorang.
d)

Orang penting sebagai reverensi, apabila seseorang itu penting untuknya


maka apa yang ia katakan atau perbuat cendrung untuk dicontoh.

Kemudian Katz (1960) yang dikutip oleh Notoatmodjo S, (2007). Juga mengatakan
bahwa perilaku di latar belakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan, maka ia
berasumsi bahwa:
1. Perilaku mempunyai instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberi pelayanan
terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap obyek
demi pemenuhan kebutuhan., sebaliknya bila obyek tidak memenuhi kebutuhan maka ia
akan berperilaku negatif
2. Perilaku berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahanan diri dalam
menghadapi lingkungan, artinya dengan perilakunya, manusia dapat melindungi
ancaman-ancaman yang dapat datang dari luar.
3. Perilaku berfungsi sebagai penerima obyek dan pemberi arti. Dalam perannya dengan
tindakan itu seorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan menurut
kebutuhan.
4. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seorang dalam menjawab suatu
situasi. Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia perilaku itu tampak terus-menerus
dan berubah secara relatif.
Sedangkan menurut WHO perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1. Perubahan alamiah (natural change) bahwa perilaku manusia selalu berubah dimana
sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam
masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan
ekonomi, maka anggota manyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.
21

2. Perubahan terencana (planned change), bahwa perubahan ini terjadi karena


direncanakan sendiri oleh subyek.
3. Kesediaan untuk berubah (Readiness to change), hal ini karena pada setiap orang
mempunyai kesediaan untuk berubah (Readiness to change) yang berbeda-beda
meskipun kondisinya sama.
Strategi yang digunakan untuk merubah perilaku tersebut, juga dikelompokkan
menjadi tiga yaitu (Notoatmojo.S, 2007):
1.

Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan dalam hal ini perubahan perilaku


dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga mau melakukan/berperilaku
seperti yang diharapkan. Cara ini dapat ditempuh misalnya dengan adanya peraturanperaturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini akan menghasilkan
perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu dapat berlangsung
lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum disadari oleh
kesadaran sendiri.

2.

Dengan memberikan informasi-infomasi sehingga akan meningkatkan pengetahuan


seseorang/masyarakat. Selanjutnya dengan pengetahuan itu akan menimbulkan
kesadaran, dan akhirnya akan merubah perilaku orang sesuai dengan pengetahuan
yang dimiliki. Hasil dari perbuatan perilaku dengan cara ini memakan waktu cukup
lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langsung karena dasar pada
kesadaran mereka sendiri (bukan paksaan).

3.

Dengan diskusi dan partisipasi. Cara ini sebagai peningkatan cara yang kedua diatas
dimana didalam memberikan informasi-informasi tentang kesehatan tidak bersifat
searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti masyarakat tidak hanya pasif menerima
informasi tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi
yang diterimanya.

5. Ketersediaan Sarana.
22

Ketersedian sarana merupakan

hal yang penting dalam meningkatkan

pelayanan kesehatan khususnya keperawatan. Peralatan kesehatan untuk pelayanan


keperawatan merupakan semua bentuk alat kesehatan atau peralatan lain yang
dipergunakan untuk melaksanakan asuhan keperawatan dalam rangka menunjang
pelaksanaan tugas-tugas pelayanan.
Dalam pengadaan peralatan kesehatan maka perlu di pertimbangan faktor-faktor
sebagai berikut (Depkes, 2001):
1.

Kebijakan rumah sakit yang menyangkut pengadaan


peralatan

keperawatan

serta

prioritas

yang

menjadi

pertimbangan

dalam

pengambilan keputusan.
2.

Tingkat hunian Bed Occupation

Rate (BOR) dan Turn

Over Interval (TIO) yang tertinggi.


3.

Pola penyakit dan jenis pelayanan.

4.

Sistem pemeliharaan peralatan keperawatan.

5.

Adanya

sumber

daya

manusia

yang

mempeunyai

pengetahuan dalam pengelolaan peralatan keperawatan.


6.

Pemilihan

jenis

peralatan

keperawatan

yang

mempertimbangkan klien, petugas dan institusi.


Adapun contoh jenis peralatan dalam keperawatan untuk ruangan kapasitas 30
tempat tidur sebagai berikut (Depkes, 2001) :

a.Alat-alat kesehatan
Ratio
Nama Barang

Pasien : Alat

23

- Tensi meter

2 / ruangan

- Stetoskop

2 / ruangan

- Sterilisator

1 / ruangan

- Gunting verband

2 / ruangan

- Korentang

2 / runagan

- Masker O2

2 / ruangan

- Termometer

2 / rungan

- Sarung tangan

1 : 1-2

- Bahan-bahan desinfektan

Sesuai kebutuhan

b.

Alat-alat tenun :
Nama Barang

Ratiao
Pasien : Alat

- Gaun pelindung

Sesuai kebutuhan.

- Masker O 2

1 : 1/2

- Handuk

1:3

- Waslap

1:5

- Mitella

1:3

- Seprei

1:5

- Selimut besar

1:5

24

- Selimut anak

1:6

c. Alat-alat rumah tangga


Nama Barang

Rasio
Pasien : Alat

- Wasatafel lengkap dengan kran

1 / ruangan

air
- Kursi roda

2-3 ruangan

- Meja pasien

1:1

- Tempat tidur pasien

1:1

- Troly

1:1

- Waskom mandi

8 12 / ruangan

- Tempat sampah

1: 1

25

BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Variabel Penelitian
1.

Identifikasi variabel
a. Variabel independen
Variabel independen pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan perawat tentang
infeksi nosokomial.
b. Variabel dependen
Variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku perawat terhadap tindakan
pencegahan infeksi nosokomial.
c. Variabel moderator pada penelitian ini adalah tingkat pendidikan dan lama kerja
perawat.

2.

Definisi Operasional :
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang di maksud peneliti dalam penelitian ini adalah segala sesuatu
yang diketahui perawat tentang infeksi nosokomial di ukur dengan kuesioner yang
terdiri dari 20 pertanyaan yang menggunakan skala Guttman, apabila benar nilai 1
dan salah nilai 0 mencakup : pengertian infeksi nosokomial, cara penularan infeksi
nosokomial, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial,
penyebab infeksi nosokomial, prosedur tetap pencegahan infeksi nosokomial dan
manfaat pencegahan infeksi nosokomial.
Tingkat pengetahuan dinyatakan dalam presentase skor pada skor total
Kriteria objektif :
Pengetahuan baik

: skor 11
26

Pengetahuan kurang : skor < 11


b. Perilaku
Perilaku yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah usaha atau tindakan
perawat terhadap pencegahan infeksi nosokomial yang diukur dengan lembaran
observasi yang terdiri dari 10 langkah item pelaksanaan
sehari-hari yang akan diobservasi

tindakan keperawatan

sebanyak 3 kali dengan menggunakan skala

Guttman yang apabila melakukan nilai 1 dan tidak melakukan nilai 0 yang mencakup:
mencuci tangan sesuai dengan prosedur, menggunakan sarung tangan sesuai
dengan

prosedur,

tindakan

invasif

keperawatan,

penempatan

sampah

dan

penanganan instrumen medis.


Perilaku dinyatakan dalam presentase skor pada skor total :
Kriteria Objektif:
Perilaku baik

: skor 15

Perilaku kurang : skor < 15


c. Variabel Moderator
Tingkat pendidikan yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah pendidikan
formal yang dimiliki perawat yaitu mulai dari tingkat sekolah menengah (SPK) sampai
tingkat sarjana keperawatan/Ners. Sedangkan lama kerja adalah rentang waktu yang
telah dilalui oleh perawat selama bekerja di ruang perawatan rumah sakit.

B. Kerangka Konsep Penelitian


Dalam penelitian ini, akan mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku
perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Variabel independen meliputi :
pengetahuan, variabel dependen : perilaku pencegahan infeksi nosokomial dan variable
kendali

sarana/peralatan

dan

lingkungan.

Keseluruhan

variabel

tersebut

dapat

digambarkan dalam suatu bagan seperti yang ada dibawah ini :


27

Variabel Independen :

Variabel Dependen :

Variabel Moderator

Keterangan:
Variabel yang diteliti

28

BAB IV
METODE PENELITIAN

B. Rancangan Penelitian
Berdasarkan ruang lingkup permasalahan dan tujuan penelitian maka penelitian ini
menggunakan desain penelitian 0bsevasional dengan pendekatan cross sectional study
yaitu jenis penelitian yang menekankan pengukuran/observasi variabel independen dan
dependen dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Rancangan ini melihat atau
mengungkapkan hubungan (korelatif) antara pengetahuan dengan perilaku perawat
terhadap tindakan

pencegahan infeksi nosokomial di ruang perawatan bedah RSUD.

Propinsi Sulawesi Tenggara.

C. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat

: Penelitian ini dilaksanakan di ruang perawatan bedah

RSUD. Propinsi

Sulawesi Tenggara.
2. Waktu : Penelitian ini dilakukan tanggal 11 november - 24 november 2009.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana
yang bertugas di ruang perawatan/bangsal bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara
sebanyak 32 orang.

2. Sampel

29

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu semua
perawat yang bertugas di ruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara
yang bersedia menjadi respondan.
Kriteria Inklusi:
a. Semua perawat di ruang perawatan bedah RSUD Propinsi Sulawesi Tenggara.
b. Perawat yang bersedia menjadi responden.
Kriteria Eksklusi:
a. Perawat yang sedang cuti.
b. Perawat yang tidak melakukan tindakan keperawatan.
c. Perawat yang tidak bersediah menjadi respoden.

E. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang diperoleh diolah melalui program SPSS 17,0. Sebelum dilakukan analisis
statistika, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.

Editing
Dilakukan setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan kelengkapan
data menurut karakteristiknya masing-masing, kesinambungan data dan keragaman
data.

2. Koding
Untuk memudahkan pengolahan data maka semua jawaban atau diberi kode menurut
jawaban responden. Pengkodean ini dilakukan dengan pemberian halaman, daftar
pertanyaan, nomor pertanyaan, nomor variabel dan nama variabel.
Setelah data terkumpul dilakukan uji analisis statistik sebagai berikut :
a. Analisis Univariat
30

Untuk mengetahui dan memperlihatkan distribusi frekuensi serta

presentase dari

tiap variabel yang diteliti.


b. Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan dari tiap variabel independen dan variabel dependen yang
diuji dengan uji Chi-Square test dengan tingkat kemaknaan = 0,05.

F. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak
institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat
penelitian. Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan
masalah etika penelitian yang meliputi :
Informed consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi
kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak
maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.
Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi
lembar tersebut diberikan kode.
3.

Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

31

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara
mulai tanggal 11 November sampai 24 November 2009. Jenis penelitian yang digunakan
adalah observasional dengan pendekatan cross sectional study untuk melihat hubungan
tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan infeksi nosokomial di ruang perawatan
bedah.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang diisi oleh
responden untuk variabel tingkat pengetahuan sedangkan variabel perilaku perawat
didapatkan dari hasil observasi setiap responden.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada uraian berikut:
1. Deskripsi karakteristik responden
Karakteristik responden merupakan ciri khas yang dimiliki responden meliputi umur,
jenis kelamin, pendidikan dan lama kerja. Perawat yang bertugas diruang perawatan
bedah yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari 30 responden,
sebagian besar berumur 26-30 tahun yaitu sebanyak 13 orang atau 43,3 %, berdasarkan
jenis kelamin sebagian besar responden adalah perempuan yaitu 23 orang atau 76,7 %,
berdasarkan pendidikan sebagian besar responden berpendidikan D III Keperawatan
yaitu sebanyak 19 orang atau 63,3 % dan berdasarkan lama kerja sebagian besar
responden dengan masa kerja 1 - 5 tahun yaitu 13 orang atau 43,3 %. Distribusi
frekuensi karakteristik demografi responden dapat dilihat pada tabel 5.1 sebagai berikut:

32

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden
di Ruang Perawatan Bedah RSUD Propinsi SULTRA Tahun 2009

PERSEN

KARAKTERISTIK
(%)
Umur

21 - 25 tahun

16,7

26 - 30 tahun

13

43,3

31 - 35 tahun

23,3

36 - 40 tahun

10,0

41 - 45 tahun

6,7

Laki-laki

23,3

Perempuan

23

76,7

SPK

20,0

D III Keperawatan

19

63,3

S1 Keperawatan /Ners

6,7

S1 Kesmas

10,0

Jenis Kelamin

Pendidikan

33

Lama Kerja

1 - 5 tahun

13

43,3

6 - 10 tahun

23,3

11-15 tahun

26,7

16-20 tahun

3,3

21-25 tahun

3,3

30

100,0

Jumlah
Sumber : Data Primer, 2009

2. Analisa Univariat.
Analisis objek dalam penelitian yaitu tingkat pendidikan dan perilaku perawat terhadap
pencegahan infeksi nosokomial.
a. Tingkat pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial
Tingkat pengetahuan perawat yang bertugas di ruang perawatan bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi sampel dalam penelitian ini
sebanyak 30 orang , yang terdiri 27 orang mempunyai tingkat pengetahuan baik dan 3
orang pengetahuan kurang. Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pengetahuan
perawat tentang infeksi nosokomial dapat dilihat pada tabel 5.1 sebagai berikut:

Tabel 5.2

34

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Perawat


Tentang Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Bedah RSUD. Prop. SULTRA
Tahun 2009.

TINGKAT PENGETAHUAN

JUMLAH (n)

PERSEN (%)

Baik

27

90,0

Kurang

10,0

Jumlah

30

100,0

Suber : Data Primer

b. Perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi nosokomial


Perilaku perawat tentang pencegahan infeksi nosokomial di ruang perawatan bedah
RSUD Propinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari 18 orang mempunyai perilaku baik dan
12 orang mempunyai perilaku kurang. Distribusi frekuensi perilaku perawat terhadap
tindakan pencegahan infeksi nosokomial dapat dilihat pada tabel 5.3 sebagai berikut:

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Terhadap Tindakan
Pencegahan Infeksi Nosokpmial di Ruangan Perawatan Bedah RSUD. Prop.
SULTRA Tahun 2009

PERILAKU

JUMLAH (n)

PERSEN (%)

Baik

18

60,0

Kurang

12

40,0
35

Jumlah

30

100,0

3. Analisa Bivariat.
Analisis hubungan dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan
variabel dependen. Uji

statistk yang digunakan adalah Chi-Square dengan tingkat

kemaknaan = 0,05, tetapi tidak memenuhi syarat maka digunakan uji alternatif fishers
exact test.
Berdasarkan hasil uji fishers exact test bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi
nosokomial hal ini ditunjukkan dengan nilai p = 0,054 lebih besar dari nilai = 0,05 yaitu
dari 27 (90%) responden yang berpengetahuan baik terdapat 9 (75,0 %) responden
yang berperilaku kurang sedangkan 3 (10%) responden yang memiliki pengetahuan
kurang juga memiliki 3 (25%) berperilaku kurang. Distribusi hubungan tingkat
pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi
nosokomial dapat dilihat pada tabel 5.4 sebagai berikut:
Tabel 5.4
Distribusi Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Perawat Terhadap
Tindakan Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Bedah
RSUD. Prop. SULTRATahun 2009

TINGKAT PENGETAHUAN

PERILAKU PENCEGAHAN

TOTAL

INFEKSI NOSOKOMIAL
36

BAIK
n

KURANG
n

75,0%

27

90,0%

100,0
Baik

18
%

Kurang

0,0%

25,0%

10,0%

Jumlah

18

100%

12

100%

30

100%

Sumber : Data Primer 2009

p = 0,054

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dengan membandingkan teori yang ada, maka dapat
dikemukakan bahwa :
1.

Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Infeksi Nosokomial


Dari 30 responden terdapat 27 atau 90 % yang berpengetahuan baik dan 3
responden atau 10 % berpengetahuan kurang. Sesuai dengan data demografi bahwa
dari 30 responden 19 (63,3%) berpendidikan D III Keperawatan, 3 (10 %) memiliki
pendidikan tinggi S1 Kesehatan Masyarakat (Kesmas) dan 2 (6,7%) memiliki pendidikan
tinggi S1 Keperawatan (Ners). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sangat
mempengaruhi pengetahuan seseorang.
Menurut Notoatmojo.S, (2007), salah satu faktor yang berperan dalam
pengetahuan adalah tingkat pendidikan baik itu pendidikan formal maupun non formal,
pengetahuan banyak dipengaruhi pendidikan formal sehingga pengetahuan erat
hubungannya dengan pendidikan, untuk itu diharapkan dengan meningkatnya
pendidikan seseorang maka pengetahuan yang dimiliki menjadi meningkat pula.
Pengetahuan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan yang berlangsung seumur hidup. Tanpa pengetahuan seseorang tidak
mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap
37

masalah yang dihadapai termasuk masalah kesehatan. Sebab pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt
behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoadmodjo 2007).

2.

Perilaku Perawat Terhadap Tindakan Pencegahan Infeksi Nosokomial


Dari 30 responden terdapat 18(100 %) menunjukkan perilaku baik dan 9 orang
atau 75 % perilaku kurang dalam pencegahan infeksi nosokomial, hal ini di karenakan
bahwa pembentukan perilaku seseorang harus didukung oleh beberapa faktor
diantaranya ketersediaan sarana dan prasarana. Sesuai dengan hasil observasi peneliti
di lokasi penelitian menunjukkan sarana yang kurang lengkap, hal ini bisa
mempengaruhi seseorang untuk tidak berperilaku baik.
Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmojo. S (2007) mengatakan bahwa
perilaku dibentuk oleh beberapa faktor : (1) faktor predisposisi yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap dan keyakinan, (2) faktor pendukung terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedianya fasilitas atau sarana prasarana, (3) faktor penguat yang diwujudkan
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan lain.
Sejalan dengan teori tersebut diatas dari hasil pengamatan peneliti pada saat
melakukan penelitian ada beberapa hal yang membuat perawat berperilaku kurang
antara lain disebabkan karena kurangnya sarana yang mendukung pelayanan
keperawatan seperti wastafel ada tetapi airnya tidak mengalir dengan baik, tidak ada alat
pengering tangan, lap tangan hanya menggunakan kain kassa, dan sterilisator hanya
satu untuk dua ruangan perawatan bedah. Faktor lain selain karena keterbatasan sarana
adalah kebiasaan-kebiasan jelak dari perawat saat kontak dengan pasien atau
38

benda/alat infeksius lain sering tidak menggunakan alat proteksi diri seperti sarung
tangan dan masker.
Perilaku kurang baik yang dilihat saat observasi yaitu sebagian besar perawat
tidak mencuci tangan sebelum melakukan tindakan atau kontak dengan pasien, masih
ada perawat tidak menggunakan sarung tangan saat kontak dengan pasien,
penggunaan alat instrument yang berulang sebelum disterilkan pada pasien yang
berbeda dan masih ada perawat yang membuang sampah tidak sesuai tempatnya
antara lain spoit dan botol ampul bekas ditampung di dos bekas hal ini dapat
membahayakan petugas pelayan perawatan yang ada di ruangan.

3.

Hubungan Tingkat Pengetahuan

Dengan Perilaku Perawat Dalam Pencegahan

Infeksi Nosokomial.

Berdasarkan hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji Fishers test tidak
ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat dengan perilaku pencegahan infeksi
nosokomial yaitu dari 27 (90%) responden yang berpengetahuan baik terdapat 18 (60 %)
responden menunjukkan perilaku yang baik terhadap pencegahan infeksi nosokomial.
Sesuai dengan observasi peneliti bahwa pada umumnya perawat yang berpengetahuan
baik selalu menunjukkan perilaku yang baik pula. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan (Notoadmodjo 2007). Penelitiannya mengemukakan bahwa betapa
pentingnya pengetahuan seseorang untuk mengubah perilaku, makin tahu sesuatu maka
seseorang akan lebih termotivasi untuk melakukan hal-hal yang positif untuk dirinya.
Tingkat pengetahuan yang baik dimiliki oleh perawat maka makin besar kesadaran dan
39

motivasinya untuk melakukan hal-hal yang positif terutama dalam bekerja baik untuk
dirinya, pasien, petugas kesehatan lain maupun semua orang yang berada di rumah
sakit termasuk dalam usaha untuk melakukan pencegahan infeksi nosokomial.
Sedangkan dari 27 orang yang mempunyai pengetahuan baik terdapat 12 (40%)
responden yang berperilaku kurang. Hal ini menandakan bahwa tidak selamanya
pengetahuan baik bisa membuat seseorang berperilaku baik. Sesuai dengan hasil
observasi peneliti di lokasi penelitian bahwa hal ini disebabkan kurangnya sarana
memadai yang mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien sehingga
memerlukan kesiapan serta kesadaran dalam diri perawat untuk berperilaku baik. Dari
hasil wawancara meraka mengatakan bahwa sebenarnya kami tahu hal itu dapat
menyebabkan infeksi baik pada pasien maupun pada diri sendiri, tetapi karena
keadaannya sudah begini terpaksa kadang kami tidak mencuci tangan, menggunakan
sarung tangan dan masker. Di samping itu pihak rumah sakit belum melakukan
pelatihan-pelatihan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial bagi
perawat yang ada di ruang perawatan serta kurangnya kesadaran dalam diri perawat
untuk melakukan tindakan proteksi diri serta tindakan pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial. Hasil observasi didapatkan masih ada yang membuang sampah
infeksius ke tempat sampah non infeksi walaupun sudah disediakan temapt sampah
berlabel Hal ini sesuai dengan teori yang di kemukkan oleh Green bahwa salah satu
yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah sikap dan keyakinan serta ketersediaan
sarana .
Menurut WHO perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
4. Perubahan alamiah (natural change) bahwa perilaku manusia selalu berubah dimana
sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam
masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan
ekonomi, maka anggota manyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.
40

5. Perubahan terencana (planned change), bahwa perubahan ini terjadi karena


direncanakan sendiri oleh subyek.
6. Kesediaan untuk berubah (Readiness to change), hal ini karena pada setiap orang
mempunyai kesediaan untuk berubah (Readiness to change) yang berbeda-beda
meskipun kondisinya sama.
Kemudian dari 3(10%) responden

yang berpengetahuan kurang berperilaku

kurang 3(25%) respoden. Hal ini menandakan bahwa seseorang yang mempunyai
pengetahuan kurang akan cenderung menunjukan perilaku yang kurang. Sesuai dengan
hasil observasi peneliti di lokasi penelitian bahwa dari 3 responden tersebut mempunyai
lingkungan kerja yang kurang baik antara lain keterbatasan sarana atau fasilisitas yang
menunjang dalam memberikan pelayanan keperawatan

serta kebiasaan-kebiasaan

kurang baik yang dilakukan perawat lain dalam melakukan tindakan sehingga ada
kecenderungan mengadobsi perilaku tersebut, hal ini menunjukan bahwa pentingnya
lingkungan kerja dan sumber daya manusia yang ada di sekitar kita untuk merubah
perilaku seseorang. Merubah perilaku tidaklah mudah, membutuhkan proses yang lama,
harus ada niat, dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Sesuai teori yang di
kemukakan oleh Green bahwa salah satu faktor pendukung dalam perubahan perilaku
adalah lingkungan. Menurut teori Snehandu B. Kar mengatakan bahwa perilaku
merupakan fungsi dari (1) Niat seseorang untuk bertindak, (2) Dukungan sosial dari
masyarakat sekitarnya, (3) Ada tidaknya informasi kesehatan atau fasilitas kesehatan, (4)
Otonomi seseorang yang bersangkutan dalam mengambil tindakan atau keputusan, (5)
Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak.

C.

Keterbatasan Penelitian

41

1. Sarana dan prasana masih kurang sehingga perawat dalam melaksanakan tindakan
keperawatan tidak mencerminkan perilaku yang sebenarnya, hal ini berdampak pada
peneliti sehingga tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.
2. Ketebatasan waktu penelitian sehingga observasi perialku tidak maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Azis.H.2007. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan

Ilmiah.

Salemba

Medika.Jakarta.
Awangga, Suryaputra N. 2007. Desain Proposal Penelitian. Pyramid Publisher. Yogyakarta
Aru. W, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Pusat Penerbit Ilmu penyakit Dalam FKUI.
Jakarta.
Budiarto, E. 2003. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. EGC. Jakarta.
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Salemba Medika.
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakait dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya. JHPIEGO dan PERDALIN. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2001. Penanggulangan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 2001. Standar Peralatan Keperawatan Dan Kebidanan di Sarana
Kesehatan. Jakarta.
42

Ediyono, Suryo. 2005. Filsafat Ilmu. Lintang Pustaka. Yogyakarta Martono,N. 2007.
MRSA Infeksi Nosokomial. Jurnal Keperawatan, (Online). (http://inna-ppni.or.id/html, diakses 25
September 2009).
Nursalam.2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba
Medika. Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta
Perry, dkk. 2005. Buku Saku Ketrampilan dan Prosedur Dasar. Ed.5. EGC. Jakarta.
RSPI SS. 2007. Menkes Tetapkan 100 RS Rujukan Flu Burung. Pusat Informasi Penyakit
Infeksi. ( Online). ( http://www.infeksi.com/data/new sin. xml, diakses 24/9/2009).
Schaffer. 2000. Pencegahan Infeksi Dan Praktik Yang Aman. Penerbit Buku

Kedokteran .

EGC. Jakarta.
Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Smeltzer Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. EGC. Jakarta.
WHO. Nike Budhi Subekti, S.Kp. (Editor). 2005. Pedoman Perawatan Pasien (Nursing Care of
the Sick: A Guide for Nurses Working in Small Rural Hospitals). EGC Jakarta.

43

44

You might also like