Professional Documents
Culture Documents
APENDISITIS AKUT
Disusun Oleh :
Nyoman Aditya Sindunata
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................................1
Bab I Status Pasien................................................................................................3
I.
Identitas Pasien............................................................................................3
II.
Anamnesis...................................................................................................3
III.
IV.
Pemeriksaan Penunjang..........................................................................6
V.
Resume........................................................................................................8
VI.
Diagnosis....................................................................................................9
VII.
Penatalaksanaan.....................................................................................9
VIII.
Prognosis..............................................................................................10
IX.
Laporan Operasi.....................................................................................10
Anatomi......................................................................................................12
II.
Fisiologi.....................................................................................................13
III.
Epidemiologi...........................................................................................14
IV.
V.
Mikrobiologi.............................................................................................15
VI.
Manifestasi Klinis...................................................................................16
VII.
Diagnosa Banding.................................................................................20
VIII.
Penatalaksanaan..................................................................................23
IX.
X.
Prognosis...................................................................................................34
BAB I
STATUS PASIEN
I.
Identitas Pasien
II.
Nama Pasien
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir / Usia
Pekerjaan
Alamat
Status Pernikahan
Suku
Agama
Pendidikan Terakhir
Tanggal Masuk Perawatan
: Ny. IM
: Perempuan
: 11 November 1963 / 51 tahun
: Ibu rumah tangga
: Atsiri Permai, Raga Jaya
: Menikah
: Batak
: Kristen Protestan
: D3
: 9 November 2015
Anamnesis
A. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke
perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang
timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari
tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat.
Pasien merasakan nyeri dengan skala 3 dari 10. Pasien juga mengeluhkan adanya
mual dan muntah setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, nafsu
makan pasien berkurang. 2 hari SMRS pasien mengalami demam. Pasien
menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan pola BAB.
Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir.
C. Riwayat Haid
a. Menarche
: 13 tahun
d. Banyaknya
e. Nyeri haid
: tidak ada
f. HPHT
: tahun 2014
: Disangkal
g. Diabetes Mellitus
: Disangkal
h. Penyakit Jantung
: Disangkal
i. Asma
: Disangkal
j. Riwayat Alergi
: Tidak ada
k. Riwayat Operasi
G. Kesadaran
H. Tanda Vital
a Tekanan Darah
: 110/80 mmHg
m. Pernafasan
: 20x/menit
n. Nadi
: 88x/menit
o. Suhu
: 37oC
p. VAS
: 3/10
I.
Status Generalis
a Kepala
: Normocephal
q. Mata
r. Hidung
: Septum deviasi (-), mukosa normal, hipertrofi konka (-), sekret (-)
v. Thoraks
Jantung
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
w. Abdomen
Inspeksi
: Datar
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
x. Genitalia
Inspeksi
Inspekulo
: Portio licin, OUE tertutup, massa (-), fluor (-), fluxux (-)
Periksa Dalam : CUT sebesar telur ayam, antefleksim portio licin, kenyal,
OUE tertutup, massa (-), adneksa massa (-), parametrium
lemas
y. Ekstremitas
IV.
Pemeriksaan Penunjang
A Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
KOAGULASI
Protombin Time (PT)
- Kontrol
- Pasien
APTT
- Kontrol
- Pasien
KIMIA KLINIK
Ureum
Kreatinin
Glukosa Darah Sewaktu
Natrium
Kalium
Klorida
URINALISIS
Warna
Nilai Rujukan
12
37
4.3
14.170
271.000
86
29
33
12-16 g/dl
4.3-6.0 juta/pl
4.3 6.0 juta/L
4.800-10.800 /L
150.000-400.000 /L
80-96 fL
27-32 pg
32-36 g/dL
11,3
10,9
detik
10,2 12,2 detik
33,7
40,2
detik
29,0-40,2 detik
24
0,9
102
147
4,8
105
20 50 mg/dL
0,5 1,5 mg/dL
<140 mg/dL
135 147 mmol/L
3,5 5,0 mmol/L
95 105 mmol/L
Kuning
Kuning
Kejernihan
PH
Berat Jenis
Protein
Glukosa
Bilirubin
Nitrit
Keton
Urobilinogen
Eritrosit
Leukosit
Silinder
Kristal
Epitel
Lain - lain
J.
Jernih
6,5
1.020
-/Negatif
-/Negatif
-/Negatif
-/Negatif
-/Negatif
-/Negatif
1-1-1
2-2-2
-/Negatif
-/Negatif
+/Positif 1
-/Negatif
Jernih
4,6 8,0
1,010 1,030
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif Positif 1
< 2 /LPB
< 5 /LPB
Negatif /LPK
Negatif
Positif
Negatif
Alvarado Score
Temuan
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra
Anoreksia
Mual atau muntah
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra
Demam 36,3oC
Leukositosis 10 x 109 /L
Shift to the left of neutrophils
Total
Poin
1
1
1
2
1
1
2
1
10
Pasien
1
1
1
2
1
1
2
0
9
K. Ultrasonografi (USG)
Hasil Pemeriksaan :
Nyeri tekan probe +/-, tampak edematous pada apendiks dengan gambaran
doughnut sign dengan tebal 14,9 mm.
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
Resume
Pasien Ny. IM, perempuan berusia 51 tahun datang ke IGD dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya pada ulu hati lalu
berpindah ke kanan bawah. Nyeri dirasa tajam seperti ditusuk jarum dan hilang
timbul. Bertambah parah ketika hendak bangun dari tidur atau batuk dan membaik
ketika diam dan beristirahat. Skala nyeri 3 dari 10. Terdapat mual, muntah dan
penurunan nafsu makan. 2 hari SMRS mengalami demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, compos
mentis dan GCS 15. Tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 20x/menit, nadi
88x/menit, suhu 37oC, dan VAS 3/10. Pada status generalis tidak ditemukan
kelainan, kecuali abdomen. Dari inspeksi didapatkan abdomen datar. Dari
auskultasi didapatkan bising usus (+) 8x/menit. Dari palpasi didapatkan nyeri
tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri
lepas indirek (+), dan defans muskular lokal(+). Dari perkusi didapatkan timpani
di seluruh lapang abdomen.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (14.170/L).
Selain itu pemeriksaan hematologi, koagulasi, kimia klinik, dan urinalisi masih
dalam batas normal. Didapatkan skor 9 pada
Diagnosis
Apendisitis akut
Diagnosa Banding : pelvic inflammatory disease, keganasan
VII. Penatalaksanaan
A Non-medikamentosa
Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan rencana tatalaksana.
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
IX.
Ad vitam
: ad bonam
Ad functionam
: ad bonam
Ad sanationam
: ad bonam
Laporan Operasi
Operasi apendektomi (9 November 2015).
Apendiks
Luka Operasi
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I
Anatomi
Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm;
namun, dapat bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara
3 dan 8 mm, sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm.
11
Fisiologi
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ
vestigial tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ
imunologik yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin,
khususnya imunoglobulin A.
Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya
penyakit manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi
dan timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi.
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
12
Namun, asosiasi ini hanya ditemukan pada pasien yang diterapi apendektomi
untuk apendisitis sebelum usia 20.
Asosiasi antara Crohns disease dan apendektomi lebih kurang jelas.
Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa apendektomi meningkatkan
resiko timbulnya Crohns disease, penelitian lebih baru dengan teliti menilai
waktu apendektomi berhubungan dengan onset Crohns disease membuktikan
tidak adanya hubungan. Sebuah meta-analisis baru menunjukkan resiko signifikan
Crohns disease tidak lama setelah apendisitis. Resiko ini selanjutnya memudar,
menunjukkan adanya hubungan diagnostik (salah mengidentifikasi Crohns
disease sebagai apendisitis) daripada hubungan fisiologis antara apendektomi dan
Crohns disease.
Apendiks dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi
kolon dengan bakteri sehat. Satu penelitian retrospektif membuktikan bahwa
apendektomi sebelumnya mungkin memiliki hubungan terbalik dengan infeksi
Clostridium difficile berulang. Namun, pada penelitian retrospektif lain,
apendektomi sebelumnya tidak mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile.
Peran apendiks dalam merekolonisasi kolon tetap dicari kejelasannya.
XI.
Epidemiologi
Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki
dan 6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan
ketiga. Jumlah apendektomi untuk apendisitis telah menurun sejak 1950an pada
sebagian besar negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah menjadi 15
per 10.000 penduduk pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi
apendisitis non-perforasi. Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahwa
peningkatan penggunaan pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih
tinggi dari apendisitis ringan yang mungkin tidak terdeteksi.
13
apendiks
rentan
terhadap
gangguan
perfusi,
sehingga
14
dinding apendiks yang meradang (bukan aspirat luminal) secara visual semua
menumbuhkan
spesies
Escherichia
coli
dan
Bacteroides
pada
kultur.
normal
atau
sedikit
meningkat.
Perubahan
yang
lebih
besar
15
karena iritasi peritoneum. Pada palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal
pada atau sekitar titik McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya
resisten muskular (guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan
dengan sisi sinistra. Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara
mendadak, pasien merasakan nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas
(rebound tenderness). Nyeri tekan tidak langsung (Rovsings sign) dan nyeri lepas
tidak langsung (nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah
dipalpasi) adalah bukti kuat terjadinya iritasi peritoneum. Nyeri lepas dirasa
sangat tajam dan tidak nyaman bagi pasien. Sehingga disarankan untuk memulai
memeriksa nyeri lepas tidak langsung dan nyeri ketok langsung terlebih dahulu.
Variasi anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada deviasi
penemuan fisik yang umum. Dengan apendiks retrocecal, penemuan pada
abdomen bisa menjadi kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang
(flank). Saat apendiks tergantung di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa
sama sekali tidak ditemukan, dan diagnosa apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri
rektal sisi kanan dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi nilai
diagnostiknya rendah. Nyeri pada ekstensi dari kaki kanan (psoas sign)
mengindikasikan adanya fokus iritasi pada bagian proksimal dari muskulus psoas
(menunjukkan apendiks retrosekal). Peregangan muskulus obturator internus
melalui rotasi internal dari paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi
di dekat otot (menunjukkan apendiks pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan
saat batuk disebu Dunphy sign.
O. Pemeriksaan Laboratorium
Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang berhubungan erat
dengan keparahan penyakitnya. Sehingga pemeriksaan laboratorium adalah
bagian penting dari diagnosa. Leukositosis ringan sering timbul pada pasien
dengan apendisitis akut tanpa komplikasi dan biasanya dibarengi dengan
polymorphonuclear prominence. Jarang ditemukan leukosit >18.000 sel/mm3 pada
apendisitis tanpa komplikasi. Jumlah melebihi level ini meningkatkan
kemungkinan dari apendiks yang perforasi dengan atau tanpa abses. Peningkatan
konsentrasi C-reactive protein (CRP) adalah indikator kuat apendisitis, terutama
apendisitis dengan komplikasi.
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
16
Leukosit bisa rendah karena lymphophenia atau reaksi septik, tetapi dalam
situasi ini, proporsi neutrofil umumnya sangat tinggi. Maka seluruh variabel
inflamasi harus dilihat secara bersamaan. Kemungkinan kecil adalah apendiks jika
leukosit, proporsi neutrofil dan CRP dalam batas normal. Respon inflamasi pada
apendisitis akut adalah proses dinamis. Awalnya, respon inflamasi bisa lemah.
Elevasi CRP, pada umumnya, dapat terjadi penundaan hingga 12 jam. Respon
inflamasi yang berkurang dapat mengindikasikan resolusi spontan.
Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kencing sebagai
sumber infeksi; namun, leukosit atau eritrosit dapat ditemukan dari iritasi ureter
atau buli. Bakteriuria umumya tidak tampak.
P. Skoring Klinis
Diagnosis klinis apendisitis akut merupakan estimasi subjektif dari
kemungkian apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual
diskriminator lemah; namun, digunakan secara bersamaan, memiliki nilai prediksi
yang tinggi. Proses ini dapat dibuat menjadi lebih objektif dengan penggunaan
sistem skoring klinis, berdasarkan variabel yang terbukti dapat membedakan dan
diberi bobot yang sesuai. Skor Alvarado merupakan sistem penilaian yang paling
tersebar luas. Khususnya berguna untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis dan
memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.
17
Q. Pemeriksaan Pencitraan
Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fecalith dan feses di
dalam cecum berhubungan dengan apendisitis tetapi jarang membantu
mendiagnosa apendisitis akut, namun dapat berguna dalam menyingkirkan
patologi lain. Radiografi thoraks dapat membantu menyingkirkan nyeri alih dari
lobus kanan bawah paru. Jika apendiks terisi barium enema, kecil kemungkinan
apendisitis; namun pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada keadaan akut.
Ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT) scan adalah
pencitraan yang paling sering digunakan pada pasien dengan nyeri abdomen,
terutama pada evaluasi kemungkinan apendisitis. Meta-analisis multipel telah
dilakukan untuk membandingkan kedua modalitas. Rata-rata, CT-scan lebih
sensitif dan spesifik dibandingkan dengan USG dalam mendiagnosa apendisitis.
Graded compression USG tidak mahal, dapat dapat dilakukan dengan
cepat, tidak membutuhkan medium kontras dan dapat digunakan pada pasien
hamil. Apendiks diidentifikasi sebagai bowel loop buntu non-peristaltik berasal
dari cecum. Dengan kompresi maksimal, diameter apendiks diukur dengan arah
anterior-posterior. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan periappendiceal
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
18
19
20
S. Pasien Perempuan
Penyakit organ reproduksi internal perempuan yang dapat disalahartikan
sebagai apendisitis (dalam urutan frekuensi menurun) adalah PID, ruptur folikel
graaf, kista atau tumor ovarium terpuntir, endometriosis, dan kehamilan ektopik
terganggu (KET). Alhasil, peluang salah diagnosa tetap lebih tinggi pada
perempuan.
Pada PID, infeksi biasanya bilateral, tetapi jika hanya pada tuba kanan
maka dapat menyerupai apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada pasien
apendisitis tetapi hanya sekitar 50% pada PID. Nyeri dan nyeri tekan biasanya
lebih rendah dan terdapat nyeri goyang serviks. Diplokokus intraselular dapat
tampak pada apusan sekret purulen vagina. Perbandingan kasus apendisitis
dengan PID rendah pada perempuan di awal fase menstruasi dan tinggi pada fase
luteal. Penggunaan hal ini secara teliti menurunkan insidensi penemuan negatif
dalam laparoskopi pada perempuan muda hingga 15%.
Ovulasi biasanya menyebabkan tumpahnya sejumlah darah dan cairan
folikuler yang cukup untuk menghasilkan nyeri perut bawah yang singkat dan
ringan. Jika jumlah cairan cukup banyak dan berasal dari ovarium kanan, maka
dapat menstimulasi apendisitis. Nyeri dan nyeri tekan biasanya menyebar, dan
leukositosis dan demam biasa ringan atau tidak ada. Karena nyeri ini terjadi pada
titik tengah siklus menstruasi, sering dinamakan mittelschmerz.
Kista serosa ovarium umum terjadi dan biasanya tidak menimbulkan
gejala. Ketika kista sisi kanan mengalami ruptur atau torsio, manifestasinya
serupa dengan apendisitis. Pasien mengalami nyeri perut kuadran kanan bawah,
nyeri tekan, nyeri lepas, demam, dan leukositosis. Baik USG transvaginal dan CTscan bisa membantu diagnosa.
Torsio memerlukan tatalaksana operatif darurat. Jika torsio yang terjadi
komplit atau lama, pedicle mengalami trombosis, dan ovarium serta tuba menjadi
gangren dan memerlukan reseksi. Namun, simple detorsion, fenestrasi kista dan
fiksasi ovarium sebagai intervensi utama, diikuti dengan laparoskopi beberapa
hari setelahnya, dapat dianjurkan karena sering kali sulit untuk menentukan secara
pre-operatif viabilitas ovarium.
21
Adanya
darah
dan
khususnya
jaringan
desidua
adalah
22
menjalani apendektomi, dan 13% pasien yang awalnya berhasil ditatalaksana nonoperatif mengalami apendisitis berulang, 18% peluang mengalami apendisitis
dengan komplikasi. Tindak lanjut dilakukan tidak lebih dari 1 tahun pada semua
penelitian. Sebagai tambahan sepertiga pasien menolak atau mundur dari
tatalaksana non-operatif.
Sebagai
perbandingan,
apendektomi
operatif
menunjukkan
angka
23
statistik berarti pada grup segera dibanding grup darurat. Begitu pula halnya
dengan peluang terjadinya infeksi pada lokasi operasi, abses intra-abdomen,
konversi menjadi luka terbuka, atau waktu operasi tidak menunjukan perbedaan
antara kedua grup. Walau lama opname lebih lama pada grup segera, secara
statistik dan klinis tidak berbeda pada grup darurat. Hal yang dapat menjadi
pertimbangan untuk perawatan operatif segera dibanding darurat termasuk
pemeriksaan klinis, waktu datang dari onset gejala dan durasi penundaan
pembedahan. Pasien dengan tanda klinis perforasi, waktu datang lebih dari 48 jam
setelah onset gejala dan penundaan tatalaksana definitif leih dari 12 jam berada di
luar ruang lingkup penelitian ini.
Operasi darurat dibanding segera untuk apendisitis tanpa komplikasi
bergantung pada institusi dan ahli bedah. Institusi tanpa kamar operasi dan staf
yang langsung tersedia dapat mempertimbangkan apendektomi segera dibanding
darurat.
b Apendisitis dengan Komplikasi
Apendisitis dengan komplikasi secara tipikal merujuk pada apendisitis
dengan perforasi yang biasanya berkaitan dengan abses atau phlegmon. Angka
insidensi tahunan apendisitis dengan perforasi sekitar 2 dalam 10.000 orang dan
memiliki variasi rendah terhadap waktu, letak geografis dan usia. Proporsi
apendisitis dengan perforasi, umumnya sekitar 25%, sering digunakan sebagai
indikator kualitas perawatan. Perbedaan dalam proporsi hampir seutuhnya
berkaitan dengan perbedaan insidensi apendisitis dengan perforasi. Proporsi
rendah perforasi dapat menjadi konsekuensi dari angka deteksi yang lebih tinggi
dan tatalaksana apendisitis awal atau mereda.
Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun dan pasien dengan usia di atas
65 tahun memiliki angka perforasi tertinggi (45% dan 51%). Proporsi perforasi
meningkat dengan bertambahnya durasi gejala. Namun, tidak ada hubungan antara
penundaan di dalam RS dengan perforasi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar
perforasi terjadi di awal, sebelum pasien sampai di RS.
Ruptur harus dicurigai dengan adanya peritonitis generalisata dan respon
inflamasi kuat. Pada banyak kasus, ruptur tertampung dan pasien memperlihatkan
peritonitis lokal. Pada 2-6% kasus, terdapat massa yang dapat dipalpasi pada
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
24
Pilihannya
termasuk
tatalaksana
operatif
dibanding
tatalaksana
ada
prospective
randomized
controlled
studies
yang
25
setelah tatalaksana non-operatif awal berhasil pada pasien yang sudah tanpa
gejala. Argumen utama melawan apendektomi interval adalah banyak pasien
ditatalaksana konservatif tidak pernah mengalami gejala apendisitis, dan bagi
yang umumnya mengalami gejala dapat ditatalaksana tanpa morbiditas tambahan.
Argumen utama yang mendukung apendisitis interval adalah untuk mencegah
timbulnya apendisitis di kemudian hari atau mengidentifikasi penyakit lain,
seperti keganasan apendiks.
Hanya ada satu prospective randomized controlled trial kecil (n=40) yang
menginvestigasi subjek ini. Pada literaturnya banyak terdapat small case series
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
26
27
28
juga telah dideskripsikan. Jika patologi abdomen atas ditemukan, insisi garis
tengah harus dilakukan.
aa.Apendektomi Laparoskopik
Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan dilakukan pada
tahun 1983 oleh Semm; namun, pendekatan laparoskopik tidak digunakan secara
luas hingga nanti, setelah keberhasilan kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin
karena inisisi kecil sudah umum digunakan dengan open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi umum. Oro- atau
nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam posisi terlentang
dengan lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi. Baik ahli bedah dan
asisten harus berdiri di sisi kiri pasien menghadap ke apendiks. Layar laparoskopi
diposisikan pada sisi kanan pasien atau pada kaki kasur. Apendektomi
laparoskopik standar umumnya menggunakan tiga saluran. Umumnya, saluran 10
atau 12 mm dipasang pada umbilikus, sedangkan saluran 5 mm dipasang pada
supra-pubik dan kuadran kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi
Trendelenburg dan dimiringkan ke kiri.
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
29
membandingkan hasil laparoskopik dan open appendectomy. Beberapa metaanalisis telah dilakukan untuk mengevaluasi hasil kumulatifnya.
Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan infeksi lokasi pembedahan
yang lebih sedikit dibanding open appendectomy. Tetapi apendektomi
laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya resiko abses intra-abdomen
dibanding open appendectomy. Dengan apendektomi laparoskopik lebih tidak
nyeri, lama opname lebih singkat dan lebih cepat kembali ke aktivitas normal
LAPORAN KASUS NYOMAN ADITYA SINDUNATA (FKUPH
20110710072)
30
31
lebih
memungkinkan
untuk
mengalami
apendisitis
dengan
32
XVIII.
Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
33
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosa apendisistus akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis,
didapatkan keluhan utama berupa nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati menggambarkan gejala akibat distensi
apendiks yang menstimulasi ujung saraf dari afferent stretch fiber. Lalu nyeri
berpindah ke kuadran kanan bawah menggambarkan peradangan yang telah
menyebar ke peritoneum parietalis. Nyeri yang dialami pasien berupa nyeri akibat
iritasi peritoneum sehingga memburuk saat bergerak atau batuk (Dunphy sign)
dan membaik saat diam. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal
berupa mual dan muntah setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada
apendisitis akibat multiplikasi bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu
pasien juga mengeluhkan adanya demam yang menggambarkan adanya infeksi
yang terjadi. Untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap keganasan karena usia
pasien yang tergolong lanjut (51 tahun), pada anamnesis dipastikan pasien tidak
mengeluhkan adanya pola BAB yang berubah ataupun adanya penurunan berat
badan drastis dalam beberapa bulan terakhir. Riwayat haid juga perlu digali untuk
memastikan tidak adanya riwayat kelainan obsterik ataupun ginekologik, pada
pasien ini tidak didapatkan masalah sehingga diagnosa banding PID dapat
dikesampingkan. Selain itu pasien juga menyangkal adanya riwayat penyakit
lainnya yg diidap pasien ataupun keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dan hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37oC dan VAS
3/10. Suhu tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke
dalam Alvarado Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut
pasien. Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada
abdomen melalui palpasi berupa : nyeri tekan dan nyeri lepas titik McBurney,
Rovsing sign, nyeri lepas indirek, dan defans muskular lokal. Penemuan ini
mendukung adanya iritasi peritoneum parietalis lokal yang diduga akibat
peradangan apendiks. Pada pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan kelainan,
pemeriksaan
penunjang
yang
dilakukan,
didapatkan
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi F, Schwartz S. Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New York:
McGraw-Hill, Health Pub. Division; 2010.
2. Wibisono E, Jeo W. Apendisitis. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta E, ed.
by Kapita selekta kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.