You are on page 1of 3

APRESIASI SASTRA

APRESIASI sastra hakikatnya sikap menghargai sastra secara proporsional (pada


tempatnya). Menghargai sastra artinya memberikan harga pada sastra sehingga sastra memiliki
”kapling” dalam hati kita, dalam batin kita. Dengan menyediakan ”kapling” dalam hati untuk
sastra, kita secara spontan menyediakan waktu dan perhatian untuk membaca karya sastra. Lama
kelamaan dari ”kapling” itu dapat bertumbuhan buah cipta sastra itu dalam berbagai bentuk dan
wujudnya sebagai sikap apresiatif terhadap sastra.

Pada tataran pertama, wujud sikap apresiatif adalah gandrung dengan kata-kata ”nan
indah” dalam arti yang luas. Kita menjadi peka akan nilai-nilai yang terkandung dalam teks
sastra itu (yang memang bermutu; kalau teks sastra itu tidak bermutu, jelas tidak dapat dihargai).
Kita seolah-olah mampu memberikan harga kepada teks sastra itu dalam arti kita memperoleh
sesuatu yang berharga darinya. Setelah membaca teks sastra dengan penuh perhatian, kita dapat
membayangkan kehidupan di luar kita yang sebelumnya tak terbayangkan. Kita cermati teks
sajak sederhana berikut ini.

PEMANDANGAN DI DAPUR

Di dapur
Ikan-ikan tergeletak
Terpotong-potong
Daging sapi atau ayam
Tergelatak
Dan terpotong-potong

Dan di meja
Pisau tajam
Darah beku dari ikan
Dan daging yang terpotong-potong

Alangkah buas manusia

Kemudian periuk mendidih


Api mengepulkan asap
Kuali panas berkobar-kobar
Dan minyak goreng berbunyi

Kita masukkan telor


Berisi calon anak bebek dan ayam
Kita goreng jadi makanan

Anak-anak, bayangkan
Berapa ribu nyawa
Sebelum kita makan
Berapa ribu nyawa hewan
Kita cabut dari badannya
Tiap kali kita makan

Anak-anak, bayangkan
Kalau tiap hari kita bunuh mahluk Tuhan
Masihkan kita harus berperang
Bunuh-membunuh sesama kita?
Anak-anak, bayangkan!

(Abdul Hadi W.M.1983. Mereka Menunggu Ibunya. Jakarta: Balai Pustaka)

Teks sajak di atas mengingatkan kita akan perilaku ”kejam” kita terhadap binatang
walaupun hal itu sebagai mengikuti sunatullah. Pikiran yang terungkap dalam sajak itu adalah
pikiran yang semata-mata disemangati oleh kehendak mencintai sesama makhluk hidup. Cinta
sesama manusia saja kini semakin berkurang, apalagi sesama mahluk hidup. Kenyataan hidup
sehari-hari yang disajikan oleh televisi melalui tayangan Brutal, Tikam, misalnya, menunjukkan
semakin menipisnya rasa cinta sesama manusia itu.

Kita disebut memiliki daya apresiasi dalam tataran yang lebih tinggi kalau kita
menemukan ”harga” pikiran sang penyair dan menempatkan sajak itu pada kedudukan sebagai
pengontrol dan pengendali laku batin kita sebagai manusia. Dengan begitu, teks sastra itu
menjadi berharga bagi pengayaan batin kita dalam menghadapi kehidupan. Tentulah, sajak itu
buah penghayatan penyair atas sebuah kenyataan dan buah penghayatan itu menyadarkan kita
akan semakin berkurangnya perasaan cinta sesama dalam kehidupan batin kita sebagai manusia.
Dapat dikatakan bahwa apresiasi itu dapat menumbuhkan penghargaan terhadap sesuatu yang
bersahaja yang seperti sia-sia tetapi sarat makna. Dalam kata-kata Goenawan, kita baca
potongan sajak tentang poci yang sayang judulnya terlupa, yang isinya mengungkapkan ihwal
kebermaknaan sesuatu yang sederhana, keramik tanpa makna, dalam sebuah pertanyaan yang
sedikit menggugat,” apa yang berharga dari tanah liat ini, selain ilusi, sesuatu yang kelak retak,
dan kita membikinnya abadi”. Prof. Teeuw menyebutnya sebagai upaya memberikan harga
kepada sesuatu yang sia-sia.

You might also like