You are on page 1of 25

Budidaya Kerapu

di Kepulauan Seribu
1

Budidaya Kerapu di Kepulauan Seribu


Pengantar
Pertambahan penduduk setiap tahun membutuhkan pangan termasuk ikan yang terus
bertambah disamping lapangan kerja. Sub sektor perikanan laut berpeluang besar untuk
dapat memenuhi kebutuhan ikan di samping membuka lapangan kerja.

Ikan kerapu (Epinephelus sp), merupakan ikan laut yang belakangan ini dihargai cukup tinggi
khususnya untuk konsumsi restoran-restoran besar di dalam maupun di luar negeri. . Ikan
kerapu biasa diekspor dalam keadaan hidup ke beberapa negara seperti Singapura, Jepang,
Hongkong, Taiwan, Malaysia dan Amerika Serikat. Harga ikan kerapu di tingkat nelayan saat
ini Rp 80.000 per kg hidup, bahkan untuk spesies tertentu yang lebih langka bisa dihargai
jauh lebih mahal.

Menurut catatan para ahli terdapat sekitar 91 jenis kerapu di Indonesia. Dari kelompok itu
terdapat beberapa jenis yang permintaannya tinggi seperti kerapu tikus Cromileptes altivelis,
kerapu sunu Plectropomus maculatus, kerapu lodi Plectropomus leopardus, kerapu macan
Epinephelus fuscoguttatus dan kerapu lumpur Epinephelus suillus. Dari statistik perikanan,
terlihat bahwa produksi kerapu hasil tangkapan nasional mengalami peningkatan dari sekitar
15.000 ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 49.000 ton pada tahun 2000.

Permintaan pasar yang cukup tinggi dan nilai ekonomis kerapu yang baik mendorong
perburuan kerapu di alam (penangkapan) semakin meningkat. Namun karena sifatnya
berburu maka tingkat kepastian produksi sulit diprediksi disamping itu kerap sekali terjadi
perburuan yang menjurus pada usaha penangkapan ikan ilegal yang merusak terumbu
karang dan lingkungan laut.

Sebagai suatu alternatif produksi, usaha budidaya kerapu ternyata memberikan harapan
yang cerah dan menjanjikan. Berbagai penelitian dan percobaan budidaya kerapu sudah
banyak dilakukan yang dapat mengatasi berbagai masalah dalam budidaya kerapu. Berbagai
usaha komersial budidaya kerapu sudah dilakukan dan memberikan hasil yang baik. Lahan
untuk pembudidayaan cukup tersedia di berbagai wilayah Indonesia dan masih terbuka
ruang dan peluang untuk mengembangkannya.

Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan kepulauan di Indonesia yang letaknya
kurang lebih 45 km sebelah Utara Jakarta. Gugusan pulau yang berada di dalam kawasan
seluas 108.000 ha ini berjumlah 78 pulau, yang secara geografis berada di antara 5°
24' - 5° 45' LS dan 106° 25' - 106° 40' BT.
Kawasan ini mempunyai nilai konservasi yang tinggi karena keanekaragaman jenis dan
ekosistemnya yang unik dan khas. Selain itu, fenomena dan keindahan alamnya merupakan
obyek wisata yang potensial, sumber rekruitmen perikanan serta menyimpan sejuta rahasia
alam yang merangsang untuk digali sebagai sumber pemanfaatan kekayaan alam yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat Kepulauan Seribu.
2

Masyarakat Nelayan Kepulauan Seribu


Geografi
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mempunyai wilayah seluas 1.180,80 Ha, yang
berdasarkan PP No. 55 tahun 2001, terdiri dari 2 (dua) kecamatan yaitu; Kecamatan Seribu
Utara, dengan 3 (tiga) kelurahan; Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Kelapa,
Kelurahan Pulau Panggang, dan Kecamatan Seribu Selatan, dengan 3(tiga) kelurahan;
Kelurahan Pulau Pari, Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Untung Jawa, terletak
di sebelah utara DKI dengan koordinat titik batas 06” 04” 55” LS 106” 43” 10” BT dan
06” 05” 33” LS 106” 57” 40” BT. Mempunyai jumlah penduduk total 17.419 jiwa (2000).
Saat ini, seluruh jumlah kepulauan yang ada di Kepulauan Seribu tercatat 106 buah. Di
antara pulau-pulau itu, 28 pulau merupakan milik pribadi, 34 pulau milik swasta dan sisanya
sebanyak 46 pulau termasuk 11 pulau yang berpenduduk tetap, dikelola pemerintah (43%).

Sosial budaya
Menurut sejarahnya, Kepulauan Seribu merupakan tempat persinggahan padagang dari
Sulawesi pada abad 18. Mereka adalah para pedagang muslim di jaman Sultan Hasanudin
dari Sulawesi yang ketika itu punya hubungan baik dengan kerajaan Islam Banten. Orang-
orang Sulawesi itu lalu menikah dengan perempuan-perempuan Banten dan menetap di
pulau tersebut. Dari tinjauan historis ini tidaklah mengherankan bila hampir 100 % penduduk
Kepulauan Seribu adalah muslim.

Kehidupan para nelayan di Kepulauan Seribu bukanlah bersifat individual, tetapi berkelompok.
Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan pola relasi kerja, baik antara juragan
perahu dengan antar anggota nelayan sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan
kerja antara "atasan" dan "bawahan" yang bersifat "hubungan pengabdian", tetapi lebih
bersifat "kolegialisme" dan "kekeluargaan", sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka
sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan di antara mereka pun sangat
longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas "kesertaan secara sukarela", tetapi dalam
kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut anggota
nelayannya dengan "cara membeli". Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan
budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.

Perekonomian
Kepulauan Seribu yang secara geografis sebagian besar merupakan perairan, memiliki
kondisi sumberdaya alam yang menyimpan banyak potensi, terutama di sektor perikanan
dan sektor pariwisata. Penangkapan ikan di Kepulauan Seribu merupakan salah satu mata
pencarian utama nelayan setempat. Daerah penangkapan ikan (fishing ground) nelayan
meliputi perairan Teluk Jakarta, Sumatera Selatan, Bangka, Belitung, Kalimantan, Masalembo,
Bawean dan Perairan Karimun.
3

Kondisi Ekonomi di Kepulauan Seribu masih memerlukan Sarana dan Prasarana untuk
menunjang kegiatan ekonomi dan sosial. Serperti Sarana Transportasi yang masih didominasi
oleh transportasi laut yang secara kuantitas dirasakan masih kurang, fasilitas listrik yang
menggunakan tenaga diesel dan pelayanannya yang masih terbatas dan belum merata
( tidak 24 jam), tidak adanya pasar atau kios yang menyediakan kebutuhan untuk kegiatan
usaha (antara lain ; pakan, jaring dll) sehingga harus membeli ke Jakarta dan Tangerang
dengan harga yang relatif mahal, serta tidak adanya lembaga Keuangan (Bank) yang
keberadaannya dapat berfungsi sebagai penyalur kredit bagi masyarakat yang membutuhkan
modal usaha.
4

P. Harapan

Merupakan salah satu pulau di


Kecamatan Seribu Utara, dan menjadi
lokasi pusat pemerintahan Kelurahan
P. Harapan yang terdiri dari P. Harapan
dan P. Sebira, sebagai pulau
berpenduduk dan beberapa pulau,
yang merupakan pulau-pulau di
kawasan Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu, yaitu P. Belanda,
P.Bulat, P.Buton, P.Dua Timur,
P.Gosong Rengat, P.Jagung, P.Laga,
P.Opak Besar, P.Peteloran, P.Penjaliran, P.Putri Timur Kecil, P. Rengat, P. Sebaru , termasuk
didalamnya P. Bira, P.Kayu Angin Bira, P.Pamegaran, P.Perak, P.Semut dan P.Tondan
yang digunakan sebagai pulau pariwisata.

Flora yang terdapat di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu secara umum
didominasi tumbuhan pantai, seperti pohon Kelapa (Cocos nucifera), Pandan Laut (Pandanus
sp), Cemara Laut (Casuarina equisetifolia), Cangkudu (Morinda citrifolia), Butun (Baringtonic
asiatica), Bakau (Bruguiera sp), Sukun (Artocarpus atilis), Ketapang (Terminalia cattapa),
dan Kecundang (Cerbena adollam).
Selain itu juga banyak ditemui vegetasi laut dari kelas ganggang laut seperti Rhodophyta,
Chlorophyta dan Phaeophyta serta dari kelas rumput laut seperti Halimeda Padina, Thalasia,
Sargasum dan Caulerpa.
5

Fauna yang khas dan dominan di kawasan ini adalah jenis-jenis biota yang merupakan
satu kesatuan ekosistem terumbu karang. Jenis binatang karang yang teridentifikasi 257
jenis, ikan 113 jenis, burung pantai 17 jenis.
Selain itu terdapat beberapa jenis molusca yang dilindungi seperti jenis-jenis kima, kerang
kepala kambing, batu laga, akar bahar dan kerang susu bundar.

Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dibagi beberapa zonasi, agar berbagai
kepentingan pemanfaatannya dapat berjalan selaras dan serasi.
Pembagian zonasinya adalah sebagai berikut :
Zona Inti, diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan perlindungan proses
ekologi. Di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu terdapat tiga zona inti, Zona Inti I
meliputi P. Gosong Rengat dan perairan sekitarnya diperuntukkan bagi perlindungan Penyu
Sisik (Eretmochelys imbricata). Zona Inti II yang meliputi P. Penjaliran Barat dan Timur,
Peteloran Barat dan Timur, serta perairan sekitarnya merupakan perlindungan ekosistem
Mangrove.Khususnya P. Peteloran Barat dan Timur juga merupakan habitat penyu sisik.
Kemudian Zona Inti III yang meliputi P. Kayu Angin Bira dan P. Belanda dan perairan
sekitarnya merupakan perlindungan ekosistem terumbu karang.
Zona Lindung, untuk melindungi zona inti I dan II karena merupakan satu kesatuan
ekosistem dengan zona Inti I dan II, yaitu tempat mencari makan, pembesaran dan
perkembangbiakan penyu sisik.
Zona Pemanfaatan, diperuntukan bagi pengembangan rekreasi dan pariwisata.
Zona Pemanfaatan Tradisional, zona ini untuk mendukung sosial ekonomi dan budaya
masyarkat di dalam kawasan, seperti perikanan tangkap tradisional dan budidaya perikanan.

Sedangkan Pulau Harapan sendiri mempunyai luas sebesar 6,50 Ha. Dengan jumlah
penduduk ± 1300 jiwa. Jarak dari Jakarta (M.Angke) ± 50 mil laut (90 km).
Penduduk P.Harapan sebagian besar merupakan nelayan jaring dan nelayan bubu. Sarana
Infra Struktur yang telah ada di P.Harapan adalah; Listrik berasal dari Generator Diesel
Dinas Pertambangan,aktif mulai pukul 10.00 sampai pukul 07.00. Terdapat sambungan
telpon, sinyal GSM cukup kuat, pada beberapa lokasi, dan terdapat sekolah dasar dan
Sekolah Menengah Pertama.
6

Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Kerapu


Beberapa jenis ikan laut yang bernilai ekonomis telah banyak dibudidayakan dalam
kurungan apung. Salah satu jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan kerapu (Epinephelus
sp). Ikan Kerapu umumnya dikenal dengan istilah "groupers" dan merupakan salah satu
komoditas perikanan yang mempunyai peluang baik dipasarkan domestik maupun pasar
internasional dan selain itu nilai jualnya cukup tinggi.
Ikan kerapu merupakan ikan ekonomis penting yang berpeluang baik dan populer dipasarkan
domestik dan luar negeri. Jenis-jenis ikan kerapu tersebut diantaranya adalah kerapu
lumpur, kerapu macan, kerapu malabar, kerapu sunu, kerapu totol.. Habitat kerapu adalah
perairan yang memiliki terumbu karang yang masih hidup. Kedalaman perairan yang disukai
kerapu biasanya berkisar antara 3 - 30 m.

Dengan semakin banyaknya permintaan ikan kerapu untuk pasaran domestik dan
internasional, maka benih yang selama ini berasal dari alam akan sulit dipenuhi sehingga
perlu mulai dialihkan ke usaha budidaya.
Ikan Kerapu mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan untuk dibudidayakan karena
pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi massal untuk melayani permintaan pasar
ikan kerapu dalam keadaan hidup. Diantara jenis-jenis kerapu tersebut diatas, yang sudah
umum dan banyak dibudidayakan antara lain kerapu macan (Epinephelus fuscoguftus).
Berkembangnya pasaran ikan kerapu hidup karena adanya perubahan selera konsumen
dari ikan mati atau beku kepada ikan dalam keadaan hidup, telah mendorong masyarakat
untuk memenuhi permintaan pasar ikan kerapu melalui usaha budidaya.
Budidaya ikan kerapu telah dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, namun dalam proses
pengembangannya masih menemui kendala, karena keterbatasan benih. Selama ini para
petani nelayan masih mengandalkan benih alam yang sifatnya musiman. Namun sejak
pertengahan tahun 1990-an ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sudah dapat
dibenihkan oleh beberapa Balai Budidaya Laut sebagai unit Pelaksana Teknis Direktorat
Jenderal Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, melalui pembenihan buatan,
manipulasi lingkungan dan penggunaan hormon.

Usaha budidaya kerapu pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pembenihan
dan pembesaran. Kegiatan pembenihan adalah biasanya merupakan kegiatan produksi
yang menghasilkan benih ikan sampai dengan ukuran 5 - 7 cm yang biasa disebut dengan
finger-ling. Kegiatan pembesaran adalah kegiatan pemeliharaan fingerling sampai dengan
kerapu tersebut berukuran ikan konsumsi.
7

Budidaya Pembesaran Kerapu

Pembesaran jenis kerapu sampai dengan berukuran konsumsi berkisar antara 7-10 bulan,
tergantung dari jenis kerapu yang dibesarkan (untuk kerapu macan dibutuhkan waktu
sekitar 7 bulan dan untuk kerapu tikus sekitar 10 bulan). Pembesaran kerapu biasanya
dilaksanakan dengan menggunakan keramba jaring apung atau didalam tangki pembesaran
dengan sistem air mengalir, dan yang terakhir pembesaran dengan menggunakan keramba
jaring tancap.

Usaha pembesaran kerapu di lapangan (yang dilakukan masyarakat) cukup bervariasi.


Ada yang membesarkan dari fingerling sampai menjadi ukuran konsumsi dan ada juga
yang membesarkan dari fingerling sampai ukuran 100g/ekor (kerapu muda) dan dari kerapu
muda sampai ukuran konsumsi (sekitar 500-1200g/ekor).

Dalam pergaulan internasional kerapu dikenal dengan nama grouper atau trout, mempunyai
sekitar 46 spesies yang tersebar di berbagai jenis habitat. Dari semua spesies tersebut,
bisa dikelompokkan ke dalam 7 genus meskipun hanya 3 genus yang sudah dibudidayakan
dan menjadi jenis komersial yaitu genus Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus.
Spesies kerapu komersial Chromileptes altivelis termasuk jenis Serranidae, ordo Perciformes.
Jenis kerapu ini disebut juga polka dot grouper atau hump backed rocked atau dalam
bahasa lokal sering disebut ikan Kerapu Bebek. Ciri-ciri tubuh adalah berwarna dasar abu-
abu dengan bintik hitam. Daerah habitatnya meliputi Kep. Seribu, Kep. Riau, Bangka,
Lampung dan kawasan perairan terumbu karang. Kerapu Sunuk (coral trout) sering
ditemukan hidup di perairan berkarang. Warna tubuh merah atau kecoklatan sehingga
disebut juga kerapu merah, yang warnanya bisa berubah apabila dalam kondisi stres.
Mempunyai bintik-bintik biru bertepi warna lebih gelap. Daerah habitat tersebar di perairan
Kep. Karimanjawa, Kep. Seribu, Lampung Selatan, Kep. Riau, Bangka Selatan, dan perairan
terumbu karang. Kerapu Lumpur atau estuary grouper (Epinephelus spp) mempunyai
warna dasar hitam berbintik-bintik sehingga disebut juga kerapu hitam. Spesies ini paling
banyak dibudidayakan karena laju pertumbuhannya yang cepat dan benih relatif lebih
banyak ditemukan. Daerah habitat banyak ditemukan di Teluk Banten, Segara Anakan,
Kep. Seribu, Lampung, dan daerah muara sungai.

Untuk budidaya pembesaran kerapu ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu;
Pemilihan Lokasi, Lokasi budidaya harus terlindung dari gelombang besar dari laut dan
angin kencang. Kerapu di dalam jaring biasa berada pada dasar jaring kecuali pada saat
pemberian pakan. Oleh karena itu, bila jaring selalu tergantung oleh gelombang besar,
maka ikan akan mengalami stres berat. Selain itu perubahan salinitas dan air kotor juga
akan memberikan efek yang membahayakan pada ikan kerapu. Air tawar dari sungai atau
air hujan dan air limbah budidaya tambak udang atau pabrik juga harus dihindari agar tidak
8

mengalir ke lokasi budidaya.

Pengadaan Benih, Benih yang berasal dari hatcheri harus dilakukan seleksi sebelum di
tebar untuk budidaya pembesaran. Benih yang mengalami deformiti (tidak normal) relatif
lebih lemah dan mudah terserang penyakit, selain itu juga cenderung menunjukan
pertumbuhan yang lambat.

Pemberian Pakan, Ikan rucah memang umum dipergunakan untuk makanan ikan kerapu.
Namun ada beberapa kekurangan dalam penggunaanya seperti ketersediaan ikan rucah
yang tidak kontinyu, kualitas ikan rucah yang tidak stabil, investasi yang besar (perlu freezer
dll) dan mudah menimbulkan cemaran pada lingkungan budidaya. Oleh karena itu pemberian
pakan sebaiknya menggunakan pelet. Selain banyak di jual di pasaran harganya juga tidak
terlalu mahal. Untuk melakukan budidaya kerapu dengan pelet, sebaiknya dilakukan sejak
kerapu berada di pendederan. Sedangkan untuk memperbaiki imunitas dan mengurangi
stres, disarankan untuk sesekali menambahkan vitamin C ke dalam pelet.

Kontrol Penyakit, Ciri-ciri adanya serangan penyakit ikan kehilangan nafsu makan.
Pengamatan kondisi pakan sangat penting untuk mendeteksi secara dini adanya penyakit
pada ikan. Juga, pada saat kondisi ikan kerapu berubah menjadi jelek, biasanya sering
berenang dipermukaan air karena gelembung renang membengkak. Bila terdapat ikan
semacam ini, pengamatan untuk mengetahui penyebabnya harus segera dilakukan.

Berat pasar untuk ikan kerapu adalah sekitar 500 gram yang cukup berbeda menurut
spesies (ikan kerapu lumpur mempunyai ukuran konsumsi antara 400 - 1200 g, sementara
kerapu bebek antara 500 - 2000 g). Laju pertumbuhan harian berbeda menurut spesies
dan berat tubuh. Kerapu berbobot awal 50 - 100 g akan bertumbuh 2 - 3 % per hari
sedangkan berat 200 - 300 g tumbuh 0,7 - 1,5 % per hari. Dibutuhkan waktu pemeliharaan
selama 4 bulan untuk mencapai berat komersial 700 - 1000 g .

Pemeliharaan kerapu bisa dilakukan di tambak maupun jala terapung. Pemeliharaan


menggunakan jala apung lebih mudah sewaktu memanen hasil, dengan hanya mengangkat
jala. Karamba jaring apung dipasang pada rakit, karamba berukuran 3 x 3 x 3 m diikatkan
dalam 1 rakit. Karamba menggunakan jaring polietilen (no 380 D/9 dan 380 D/13, ukuran
mata jaring 1 atau 2 ". Beberapa rakit bisa digabungkan menjadi satu dilengkapi dengan
rumah jaga dan lantai kerja

Tingkat keberhasilan usaha budi daya ikan selain ditentukan oleh pemberian pakan yang
tepat juga sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan tempat hidupnya. Dinamika kondisi
lingkungan sangat mudah terpengaruh oleh bahan kimia terlarut, iklim mikro dan perlakuan
yang dilakukan. Oleh karena itu kita harus memahami kualitas air dan interaksinya.
9

Pada saat monitoring telah dilakukan pengukuran in-situ parameter kualitas air dan
pengambilan sampel air dan ikan untuk dianalisis lebih lanjut meliputi;
a. Pengukuran parameter kualitas air, meliputi
Parameter kualitas air yang diukur adalah seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Parameter Kualitas Air dan Metode Pengamatan

No Parameter Metode Pengamatan


1 Oksigen Terlarut DO meter
2 Salinitas Refraktometer
3 Suhu Termometer
4 pH air pH meter
5 Nitrit Spektrofotometer
6 Total Amoniak Spektrofotometer
7 Asam Sulfida Titrasi
8 Bahan Organik Titrasi
9 Cianida Kolorimetri
10 Alkalinitas Titrasi

b. Diagnosis penyakit
i. Pemeriksaan parasit
ii. Deteksi penyakit bakterial
Jenis Pengamatan;
§ Penghitungan total bakteri
§ Penghitungan presumtive bakteri Vibrio
§ Identifikasi bakteri vibrio
§ Penghitungan bakteri Aeromonas sp
iii. Deteksi penyakit virus dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk
deteksi virus yaitu White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV),
Infectious Hypodermal and Haemotophoetic Necrosis Virus (IHHNV) dan Viral Nervous
Necrotic (VNN) serta Koi Herpes Virus (KHV) untuk ikan air tawar.

Hasil Pengamatan pada budi daya Kerapu di KJA


Permasalahan yang dijumpai di KJA budi daya kerapu adalah banyaknya parasit, serangan
vibriosis dan danya serangan Viral Necrosis Nervous (VNN).
Pengamatan Pasitologi
Parasit yang sering dijumpai adalah parasit jenis Crustacea yaitu Caligus sp, dari jenis
protozoa yaitu Cryptocaryon irritans dan jenis cacing yaitu Benedenia sp.
10

Pengamatan Mikrobiologi
Vibriosis penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio. Jenis Vibrio yang dijumpai yang
diisolasi dari luka ikan yang sakit ada Vibrio mimicus, V. parahaemolitycus, V. algynoliticus
dan V. anguillarum.

Kesimpulan
Kualitas Air dan Hasil penghitungan bakteri pada media pemeliharaan yang dianggap
masih layak dan mendukung pemeliharaan ikan kerapu:
§ Nilai rata-rata hasil analisa kualitas air
Tabel 2. Parameter untuk Ambang Nilai Kualitas Air
No Parameter Nilai Rata-rata Ambang Nilai
1 Oksigen Terlarut 8,9 7,4 - 10,4
2 Salinitas 35 24 - 36
3 Suhu 29,1 28,2 - 30
4 pH air 8,15 7,9 - 8,4
5 Nitrit 0,035 0,01 - 0,06
6 Total Amoniak 0,02 0,2
7 Asam Sulfida - -
8 Bahan Organik - -
9 Cianida - -
10 Alkalinitas 145 110 -180

§ Jumlah Penghitungan Bakteri pada Air Pemeliharaan kerapu di KJA


Total Bakateri; antara 3,6 x 10 sampai 5 x 10 (koloni/ml)
Presumtive Vibrio; antara 1,2 x 10 sampai 3,1 x 10 (koloni/ml)
(Pengamatan dilakukan oleh PROYEK PEMBANGUNAN MASYARAKAT PANTAI DAN P
SUMBER DAYA PERIKANAN (PMP2SP) )
11

Lokasi
Penentuan kelayakan lokasi untuk pemeliharaan ikan kerapu dengan sistem karamba
jaring apung menggunakan tabel bobot angka berdasarkan pengamatan atas parameter-
parameter kunci. Lokasi dinyatakan baik apabila nilai 55 - 75, layak untuk kisaran 45 - 54,
masih layak asalkan parameter yang tidak memenuhi syarat diperbaiki dengan pendekatan
teknologi, dan kategori terakhir bernilai lebih kecil 40 untuk tidak dapat dipertimbangkan.

Tabel. 3 (Location Rating System for Floating Net Karamba)


Parameter Rating Value Credit Value
Ecological Factor
> 1.0 = 5 10
High Tide (meter) 0.5 - 1.0 = 3 2 6
Tinggi Air Pasang (meter) < 0.5 = 1 2
0.2 -0.4 = 5 10
Marine Current (meter/second) 0.005 - 0.2 = 3 2 6
Arus (meter/detik) 0.004 - 0.005 = 1 2
> 10 = 5 10
Water Depth from Net Bottom (meter) 4 - 10 = 3 2 6
Kedalaman Air dari dasar Jaring(meter) <4=1 2
5=5 10
Soluble Oxygen (ppm) 3-5=3 2 6
Oksigen Terlarut (ppm) <3 = 1 2
Rare =5 10
Weather Change Moderate = 3 2 6
Perubahan Cuaca Frequent = 1 2
Endorsing Factor
Good =5 5
Electricity Supply 1 3
Sumber Listrik Adequate= 3
Poor =1 1

Feed Supply Good =5 5


Adequate= 3 1 3
Sumber pakan
Poor =1 1
Good =5 5
Manpower Adequate= 3 1 3
Tenaga Kerja Poor =1 1
Good =5 5
Fry Supply Adequate= 3 1 3
Ketersediaan Benih Poor =1 1
Good =5 5
Pollution Adequate= 3 1 3
Pencemaran Poor =1 1
12

Budidaya Pembesaran Kerapu di Pulau Harapan


Pemilihan Lokasi
Sebagai bagian dari gugus Kepulauan Seribu, Pulau Harapan mempunyai potensi untuk
d a pa t m e l a k s a n a k a n b u d i d a y a p e r i k a n a n , k h u s u s n y a b u d i d a y a k e r a p u .
Tidak semua wilayah pantai cocok untuk budi daya kerapu, oleh karena itu penentuan
lokasi harus memperhitungkan beberapa faktor penting, yang secara umum dimiliki oleh
Pulau Harapan, diantaranya adalah;
§ Terlindung dari gelombang besar dan badai, sebab ikan mudah menjadi stres dan
menurunkan selera makan apabila terus menerus dihantam gelombang,
§ Terlindung dari ancaman predator , dan
§ Terlindung dari ancaman pencemaran buangan limbah industri, limbah pertanian
dan limbah rumah tangga,
Lokasi Pulau Harapan, yang relatif berada di tengah-tengah gugusan Kepulauan Seribu,
melindungi pulau Harapan dari hempasan gelombang besar dan badai, berada lebih kurang
90 km dari lepas pantai Jakarta, membuat buangan pencemaran dari daratan tidak dapat
mencapai Pulau Harapan, dan berdasarkan data dari LIPI, Departemen Kelautan dan
Perikanan, serta BPPT, kepulauan Seribu bukan merupakan habitat bagi predator ikan
laut.

Pulau Harapan juga terletak di dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu,
dimana kawasan ini mempunyai nilai konservasi yang tinggi karena keanekaragaman jenis
dan ekosistemnya yang unik dan khas. Selain itu, fenomena dan keindahan alamnya
merupakan obyek wisata yang potensial, sumber rekruitmen perikanan serta menyimpan
sejuta rahasia alam yang merangsang untuk digali sebagai sumber penelitian dan pendidikan.

Selain itu pula, beberapa jenis kerapu seperti Kerapu Bebek, Kerapu Sunuk, Kerapu
Lumpur, Kerapu Macan dan Kerapu Lodi mempunyai habitat asli di kawasan sekitar Pulau
Harapan. Adanya Terumbu karang yang masih cukup baik, ketersediaan pakan alam yang
cukup melimpah, serta kualitas air yang mendukung menyebabkan beberapa jenis kerapu
dapat hidup di kawasan tersebut.

Dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan, yang dilakukan oleh Dinas Perikanan
DKI Jakarta dan BPPT pada bulan Juli 2005, dapat diketahui secara umum perairan
Kepulauan Seribu, khususnya kawasan sebelah Utara, termasuk di dalamnya kawasan
Pulau Harapan, memiliki kualitas perairan yang cukup baik untuk kegiatan budidaya laut
berdasarkan baku mutu kualitas air untuk biota laut. Akan tetapi semakin ke arah selatan
atau mendekati pesisir Jakarta, kondisi kualitas perairannya semakin berkurang, hal ini
dikarenakan tingkat pencemaran yang tinggi yang berasal dari daratan.
13

Data berikut merupakan data yang berasal dari kawasan Pulau Harapan, data diambil
pada tanggal 13 – 18 Juli 2005.

Tabel 4. Data Parameter Biofisik Perairan


Barat Daya P. Harapan
Lokasi Timur P. Harapan antara P.Kaliage &
P.Opak Besar
Suhu 30.5 30.0
Salinitas 33 32
pH 8 8
Kecerahan 8.5 7
Kedalaman 34.8 17.3
Oksigen Terlarut 7.02 6.63
BOD 2.34 1.98
MPT 16.6 14.8
Klorofil - a 0.536 0.442
Kecepatan Arus 0.35 0.21
Arah Arus Barat Barat
Gelombang Agak Tinggi Tenang
Keterlindungan Agak Terbuka Terlindung
Warna Biru Biru

Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan Biofisik perairan di dua
lokasi seputar Pulau Harapan masih memenuhi parameter ambang nilai kualitas air
yang disyaratkan untuk usaha budidaya kerapu.(tabel 2)
14

Ketersediaan Benih & Pakan

Sebagai habitat alamiah ikan kerapu, tentu saja ketersediaan benih dan pakan alamiah
kerapu dalam keadaan cukup. Tetapi hal ini tidak menjadi usaha budi daya hanya tergantung
pada ketersediaan benih dan pakan dari alam. Selain dari usaha untuk melestarikan benih
alam, di Pulau Jukung, Balai Perikanan Pulau Seribu telah mendirikan hatcheri, yang dapat
menghasilkan benih beberapa jenis ikan kerapu.
Untuk pakan alami, penggunaan ikan rucah (ikan ekor kuning, ikan betok laut dan ikan
kecil lain yang disayat kecil-kecil), hanya digunakan pada pemberian pakan menjelang
panen, ini berkaitan dengan kebiasaan ikan yang berasal dari hatcheri, yang terbiasa
dengan pakan buatan (pelet). Selain itu, pelet cukup ringan dari sisi harga, ketersediaannya
di pasar cukup melimpah, sehingga bila dibandingkan dengan ikan rucah, yang harus
melakukan proses tangkap, dan proses penyimpanan, maka pelet mempunyai sisi ekonomis
yang jauh lebih baik.

Dari observasi yang telah dilakukan, disesuaikan dengan parameter kelayakan Ecological
Factor dan Endorsing Factor (tabel 3), maka nilai yang diperoleh adalah 67, untuk kedua
lokasi di Pulau Harapan. Nilai 67 merupakan kondisi yang dianggap baik untuk kelayakan
budi daya Kerapu.
15

Pemilihan jenis budi daya kerapu

Berdasarkan analisa penerapan paket teknologi budidaya ikan kerapu, yang dilakukan
oleh Pusat Audit Teknologi-BPPT, penerapan paket teknologi budidaya ikan kerapu pada
kegiatan usaha yang berkembang saat masih sarat dengan risiko karena memerlukan
waktu panjang (± 16 bulan) dan modal yang besar.
Pola paket sepenggal yang terdiri dari paket pendederan (4 bulan), penggelondongan
(6 bulan), dan pembesaran (4-6 bulan) dinilai mampu memberikan alternatif yang lebih
baik, sepanjang dikelola dengan manajemen kemitraan inti-plasma. Paket sepenggal ini
secara teknis dapat dioperasionalkan, dan secara bisnis menguntungkan.

Budidaya pembesaran kerapu dipilih untuk dikembangkan di Pulau Harapan, selain


berdasarkan analisa tersebut diatas, juga berdasarkan kondisi budaya masyarakat nelayan
Pulau Harapan, masyarakat yang sejak dulu bergantung pada ketersediaan alam melalui
perikanan tangkap, menghasilkan suatu pola yang cukup aneh bila dilihat dari kacamata
orang awam. Bila memerlukan uang atau makanan, baru masyarakat nelayan Pulau
Harapan berangkat mencari ikan, walaupun memang kadang membutuhkan waktu sampai
2 – 3 hari dalam proses menangkap ikan, khususnya bagi nelayan bubu. Pola menangkap
ikantidak dengan suatu bentuk rutinitas sehari-hari sudah berlangsung lama, dilakukan
oleh masyarakat secara turun temurun. Hanya sedikit saja yang mempunyai kebiasaan
“melaut” atau menangkap ikan setiap hari. Dalam satu minggu dapat dihitung berapa kali
masyarakat nelayan Pulau Harapan berangkat “melaut”. Apabila budidaya kerapu
dilaksanakan dari tahap pendederan, waktu yang cukup lama untuk dapat dipanen atau
dinikmati hasilnya, akan membuat masyarakat nelayan Pulau Harapan menjadi kurang
tekun menjalankan usaha budidaya.
Usaha budidaya yang dilakukan oleh beberapa nelayan di Pulau Harapan dengan
pembesaran kerapu yang berasal dari bibit alam, dapat dikatakan tidak mencapai hasil
yang diharapkan, selain dari sisi budaya, kebuthan sehari-hari nelayan tidak dapat terpenuhi,
apabila aktifitas hariannya hanya untuk mengawasi usaha budidaya. Selain itu juga
keterbatasan modal yang dimiliki membuat usaha budidaya tidak berkembang.
16

Dari observasi dan analisa yang dilakukan pada budidaya kerapu dengan Karamba Jaring
Apung (KJA) milik nelayan Kelompok Gerbang Pulau Panggang, yang melakukan
pembesaran dari umur benih 6 bulan dengan ukuran panjang 10 cm, dan berat 0,5 ons,
dibutuhkan waktu selama 8 bulan untuk mencapai berat 5 ons. Pembesaran dilakukan
pada karamba ukuran 3 x 3 m, kedalaman jaring 3 m, sedangkan kedalaman perairan di
lokasi KJA sekitar 10 m dengan lumpur berpasir sebagai substrat dasar perairan.

Pakan yang digunakan adalah ikan rucah.


Didapatkan kesimpulan bahwa model pembesaran
dengan jaring apung, membuat pertumbuhan kerapu
menjadi kurang maksimal, karena kerapu hidup tidak
dalam habitat alaminya. Kerapu tidak dapat berenang
ke dasar perairan dan “bermain” di daerah terumbu
karang, ditambah lagi dengan kendala pakan yang
menggunakan ikan rucah.

Untuk itulah, usaha budidaya pembesaran kerapu


yang akan dilakukan di Pulau Harapan, menggunakan
model Karamba Jaring Tancap (KJT), suatu modifikasi dari KJA, dimana jaring yang ada
ditebarkan sampai ke dasar perairan, dan lokasi yang dipilih adalah lokasi yang masih
memiliki terumbu karang. Ujicoba yang telah dilakukan oleh beberapa nelayan di Pulau
Harapan, dengan skala kecil, telah memperlihatkan hasil yang cukup memuaskan, dari
benih ukuran 15 cm, hanya dibutuhkan waktu maksimal 4 bulan untuk mencapai ukuran
21 -22 cm, dengan berat 8 ons – 1 kg. Pakan yang digunakan adalah pelet, ikan rucah
diberikan kira-kira 1 bulan sebelum panen.

Karamba Jaring Tancap

Satu unit Karamba Jaring Tancap (KJT) terdiri dari;


§ 10 karamba ukuran 4 x 4 m, dari papan dengan rangka kayu, dengan tiang pancang
paralon yang diisi semen, ditancapkan sampai dasar lokasi KJT.
§ Tiap karamba dikelilingi oleh jaring D12 x 1 inci, dan dijuntaikan sampai ke dasar.
Pada dasar, jaring ditanam sebagian, ditunjang dengan pasak dari wiring besi yang
ditancapkan ke dasar lokasi KJT.
§ Dibangun pula Gardu Monitor, dari papan dengan atap asbes, sebagi tempat
pengawasan dan penyimpanan pakan mingguan.
17

Dalam satu unit KJT disebarkan 4 ukuran benih kerapu, yaitu ukuran 5 cm, 8 cm, 10 cm
dan 15 cm pada tiap-tiap karamba. Tiap ukuran berjumlah 400 ekor. Sisa karamba yang
belum diisi benih, akan digunakan untuk area sortir pertumbuhan dan perkembangan
kerapu. Sebagai ilustrasi dapat dipaparkan; pada bulan ke dua setelah penyebaran benih,
kerapu ukuran 10 cm tidak tumbuh secara seragam, ada yang 12 cm, bahkan ada yang
sudah mencapai 15 cm, maka karamba kosong tersebut digunakan untuk memilah-milah
kerapu. Hal ini harus dilakukan karena kerapu pada dasarnya adalah hewan karnivora,
yang akan memangsa ikan dengan ukuran yang lebih kecil dari ukurannya.

Dalam satu hari kerja, diperlukan 3 shift tenaga kerja, yang pertama untuk pemberian
pakan pagi hari dan pengawasan, baik pertumbuhan kerapu, kondisi jaring serta gangguan
lainnya. Shift kedua melakukan pemberian pakan dan pengawasn sore hari sedangkan
shift ketiga menjaga KJT pada malam hari.

Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari, dengan menggunakan pelet. Ikan runcah diberikan
sebagai selingan dan diutamakan pada ikan menjelang ukuran konsumsi (7 ons – 1 kg).
Pelet secara umum diberikan 4 kg per hari, tiap 400 ekor ikan.

Pemeriksaan KJT, yang meliputi pemeriksaan biofisik perairan, pemeriksaan kesehatan


& kualitas ikan, serta kondisi karamba dilakukan rutin 6 bulan sekali. Biasanya disertai
dengan pemberian vitamin dan makanan tambahan untuk ikan.
Penerangan dan tenaga listrik berasal dari listrik yang dialirkan dari Pulau Harapan.
Dalam satu unit KJT disediakan 1 (satu) unit perahu dan kompresor udara.

Penyebaran benih ukuran 5 cm kembali dilakukan setelah bulan keempat penyebaran


benih pertama, dengan asumsi benih pertama telah berkembang dan dilakukan setelah
panen. Jadi dalam satu tahun penyebaran benih 5 cm dilakukan sebanyak 3 kali, setelah
penyebaran benih pertama.

Panen dilakukan apabila ikan sudah dalam ukuran konsumsi, asumsi 4 bulan sesudah
penyebaran benih 15 cm pertama kali. Ikan ukuran konsumsi dipasarkan dalam keadaan
hidup, kondisi ini yang diminta oleh pasar, dan dengan harga rata-rata Rp. 90.000,- per
Kg (untuk kerapu macan) di Jakarta.
Dengan Survival Rate (SR), daya hidup ikan, 80%, dalam satu siklus panen dapat diperoleh
lebih kurang 300 kg kerapu hidup.
Ikan dibawa ke konsumen dengan kemasan khusus, yang tetap membuat ikan dalam
kondisi hidup dan segar.
18

Anggaran Pembuatan 1 (satu) unit Karamba Jaring Tancap

ITEM Vol. satuan. harga frekwensi Jumlah


Karamba
Paralon 4 inci 45 batang Rp. 12.500,- 1 Rp. 562.500,-
Kayu 6 x 12 m 1 kubik Rp. 2.500.000,- 1 Rp. 2.500.000,-
Kaso 5 x 6 m 1 kubik Rp. 2.500.000,- 1 Rp. 2.500.000,-
Papan 3 x 20 x 4 1 kubik Rp. 2.500.000,- 1 Rp. 2.500.000,-
Semen 25 zaak Rp. 45.000,- 1 Rp. 1.125.000,-
Behel 10 mm 20 batang Rp. 35.000,- 1 Rp. 700.000,-
Paku 10 kg Rp. 15.000,- 1 Rp. 150.000,-
Jaring D12 x 1 inch 5 pcs Rp. 1.500.000,- 1 Rp. 7.500.000,-
Tali 6 mm 10 kg Rp. 25.000,- 1 Rp. 250.000,-
Waring 160 meter Rp. 7.500,- 1 Rp. 1.200.000,-
Pasir 2 gerobak Rp. 75.000,- 1 Rp. 150.000,-
Tong Plastik 20 buah Rp. 125.000,- 1 Rp. 2.500.000,-
Tambang Plastik 10 meter Rp. 41.250,- 1 Rp. 412.500,-
Gardu Monitor
Kayu 6 x 12 m 1 kubik Rp. 2.500.000,- 1 Rp. 2.500.000,-
Papan Lantai 1 kubik Rp. 2.500.000,- 1 Rp. 2.500.000,-
Triplek 12 lembar Rp. 75.000,- 1 Rp. 900.000,-
Asbes 30 lembar Rp. 30.000,- 1 Rp. 900.000,-
Paku Campur 10 kg Rp. 15.000,- 1 Rp. 150.000,-
Peralatan Pelengkap
Perahu 1 unit Rp. 7.500.000,- 1 Rp. 7.500.000,-
Kompresor Udara 1 unit Rp. 2.500.000,- 1 Rp. 2.500.000,-
Jaringan listrik 1 unit Rp. 1.000.000,- 1 Rp. 1.000.000,-
Ongkos Kerja
Persiapan Lokasi 4 orang Rp. 50.000,- 5 hari kerja Rp. 1.000.000,-
Pembangunan 8 orang Rp. 50.000,- 10 hari kerja Rp. 4.000.000,-
TOTAL Rp. 45.000.000,-
19

Anggaran KJT selama satu tahun

ITEM vol. nilai Jumlah


Biaya Investasi / Persiapan
Pembuatan 1(satu) unit KJT 1 kali 45,000 45,000
Pembelian Bibit Kerapu
Ukuran 5 cm 400 ekor 5.5 2,200
Ukuran 8 cm 400 ekor 8.5 3,400
Ukuran 10 cm 400 ekor 12.5 5,000
Ukuran 15 cm 400 ekor 15.5 6,200
Pembelian Alat kantor 1 kali 5,000 5,000
Biaya Operasional
Gaji Karyawan 12 bulan 1,000 12,000
Listrik 12 bulan 200 2,400
Alat Tulis Kantor & Telekomunikasi 10 bulan 150 1,500
Transportasi 12 bulan 200 2,400
Pembelian Bibit Tambahan (5cm) 3 kali 2,200 6,600
Pembelian Pakan 12 bulan 1,080 12,960
Kemasan Ikan 3 kali 200 600
Pemeriksaan Media & Ikan 2 kali 1,500 3,000
Kas/Cadangan 12 bulan 500 6,000

TOTAL 114,260
(satuan dalam ribu rupiah)

Anggaran KJT diatas merupakan anggaran awal, yang termasuk didalamnya adalah
anggaran pembuatan satu unit Keramba Jaring Tancap lengkap, berikut dengan
pembelian bibit kerapu dengan berbagai ukuran, dan disertai dengan anggaran biaya
operasional selama satu tahun.
20

Berdasarkan perhitungan dan pengalaman beberapa nelayan Pulau Harapan, yang telah
mengelola budidaya Kerapu secara sederhana, pembuatan satu unit KJT saja akan
membutuhkan waktu kurang lebih 3 tahun untuk BEP, dan pada tahun ke-4 dan selanjutnya,
keuntungan rata-rata mencapai 40 juta per tahun. Dengan SR (Survival Rate) 80%, akan
didapatkan rata-rata 400 kg tiap panen.
Perhitungan ini didapatkan dari pengalaman sekelompok nelayan Pulau Harapan yang sejak
2 tahun terakhir melakukan usaha budi daya Kerapu.

Melihat besarnya modal awal, tidak banyak nelayan Pulau Harapan yang dapat melakukan
usaha budi daya Kerapu. Melihat masih banyak tersedianya sumber daya untuk melakukan
usaha ini maka kelompok Nelayan Pulau Harapan mengajak berbagai pihak untuk dapat
bekerja sama melakukan usaha budi daya Kerapu.

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, dibuatlah suatu analisa pengembangan budi daya
Kerapu dengan Karamba Jaring Tancap yang tidak hanya terdiri dari satu unit saja.
Dengan investasi awal sebesar Rp. 150.000.000,-, akan dilakukan usaha budi daya Kerapu
KJT dengan sistem bagi hasil .
Dalam lima tahun, dilakukan pengembangan KJT, sehingga pada akhir tahun ke-lima, telah
memiliki 5 unit KJT, yang berarti tiap tahun dibangun satu unit KJT. Sistem bagi hasil yang
dilakukan hanya sampai tahun ke-5, mulai tahun ke-6 dan seterusnya, tidak ada bagi hasil
dari setiap panen, karena dari 5 unit KJT yang ada, 4 unit menjadi milik pemberi dana,
dan 1 unit menjadi milik kelompok nelayan, pengelolaan tetap dilakukan oleh kelompok
nelayan dengan sistem gaji/sebagai karyawan. Mulai tahun ke-6, usaha budi daya akan
memiliki 10 orang karyawan, yang bekerja baik untuk operasional maupun untuk pemasaran
hasil usaha budi daya.
Sistem seperti ini dipilih oleh nelayan, karena nelayan ingin memiliki usaha budi daya tetapi
tidak mempunyai modal, dan tidak ingin hanya menjadi pengelola usaha budi daya milik
orang lain. Dengan sistem ini, pemberi modal dapat menikmati hasil usaha budi daya
secara terus menerus, sama seperti nelayan, dan pengelolaan dapat terus dilakukan
dengan baik oleh nelayan, karena rasa memiliki yang ada pada nelayan pengelola.

Dengan pengembangan KJT, pada akkhir tahun ke-5, hasil tiap hampir mencapai 2000 kg,
dengan Survival Rate (SR) 80%. Selama satu tahun secara umum, KJT dapat dipanen 3
kali, walaupun kelak pada kenyataannya tiap bulan dapat dipanen sesuai dengan permintaan.
21

Proyeksi Tahunan Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI

Pemasukan
Modal Usaha 150,000 90,800 89,064 131,434 134,705 68,402
Panen , SR 80% 86,400 185,760 299,538 429,338 576,923 620,192
TOTAL 236,400 276,560 388,602 560,771 711,627 688,594
Pengeluaran
Investasi / pengembangan 66,800 58,958 61,905 65,001 68,251 0
Pengeluaran Biaya Operasional 47,460 87,696 132,451 183,428 243,674 255,858
Pengeluaran Bagi Hasil 8,460 18,576 29,954 42,934 57,692 0
TOTAL 122,900 165,230 224,310 291,362 369,617 255,858

SALDO 113,500 111,331 164,292 269,409 342,010 432,602

Keuntungan Hasil Usaha 22,700 22,266 32,858 134,705 273,608 276,951

(satuan dalam ribu rupiah)

Dari Tabel diatas, dapat didapatkan detail pengembangan KJT, sebagai berikut;

Tahun I

Modal awal sebesar 150 juta rupiah, akan dipergunakan untuk pembuatan 1 unit KJT, pembelian
bibit awal, biaya operasional setahun, termasuk didalamnya pembelian bibit lanjutan dan juga
untuk biaya bagi hasil.
Pengelolaan akan dilakukan oleh 2 orang karyawan, dan pada bulan ke -2 menjelang panen
pertama akan dilakukan rencana pemasaran secara langsung ke restaurant-restaurant yang
menyajikan ikan Kerapu dan toko-toko penjual ikan segar, selain tentu saja ke Tempat Pelelangan
Ikan, kesemuanya di Jakarta.
Dengan perkiraan SR (Survival Rate) 80%, dari 400 bibit ukuran 15 cm pertama, akan dapat
dipanen pada bulan ke-4, dengan hasil lebih kurang 320 kg. Bila harga kerapu per kg rata-rata
adalah Rp. 90.000,-, dan bila secara umum dalam satu tahun bisa dilakukan 3 kali panen, maka
total hasil panen satu tahun akan mendapatkan hasil sebesar Rp. 86.400.000,-
Setelah diambil untuk biaya bagi hasil sebesar 10% dari total panen, yaitu sebesar Rp. 8.640.000,-
, yang akan diberikan pada 2 orang karyawan pengelola, maka pada akhir tahun pertama, akan
diperoleh saldo sebesar Rp. 113.500.000,-. Dari saldo yang didapatkan, 80% akan digunakan
untuk modal usaha tahun ke-2, dan 20% akan menjadi keuntungan hasil usaha bagi pemberi
modal, yaitu sebesar Rp. 22.700.000,- .
22

Tahun II
Modal usaha tahun kedua berasal dari 80% saldo tahun pertama, yaitu sebesar Rp. 90.800.000,-
, akan dipergunakan untuk penambahan 1 unit KJT baru, pembelian bibit awal untuk unit baru,
biaya operasional setahun, termasuk didalamnya pembelian bibit lanjutan. Biaya pembangunan
unit baru tidak sama dengan pembangunan pertama, yang membedakan adalah, pada unit
lanjutan, tidak diperlukan pembuatan perahu dan pembelian kompresor udara. Dengan
bertambahnya unit baru, penambahan tenaga karyawan mutlak diperlukan, pada tahun ke-2,
karyawan menjadi 4 orang, biaya operasional pun bertambah.Penambahan biaya operasional
juga dianggarkan dengan asumsi adanya kenaikan harga sebesar 5 % tiap tahunnya.
Pada akhir tahun ke-2, dari 2 unit KJT, didapatkan hasil panen sebesar Rp. 185.760.000,-,
dengan perkiraan tiap panen mencapai 640 kg. Asumsi kenaikan harga jual ikan juga digunakan,
kenaikan harga 7,5% per tahun menjadi acuan.
Setelah diambil untuk biaya bagi hasil sebesar 10% dari total panen, yaitu sebesar Rp. 18.576.000,-
, yang akan diberikan pada 4 orang karyawan pengelola, maka pada akhir tahun ke-2, akan
diperoleh saldo sebesar Rp. 111.331.000,-. Dari saldo yang didapatkan, sama seperti tahun
pertama, 80% akan digunakan untuk modal usaha tahun ke-3, dan 20% akan menjadi keuntungan
hasil usaha bagi pemberi modal, yaitu sebesar Rp. 22.266.000,-
Tahun III
Modal usaha tahun ke-3, sebesar Rp. 89.064.000,- juga akan digunakan untuk membangun 1
unit KJT baru,sedangkan karyawan pengelola bertambah menjadi 6 orang. Dengan asumsi
kenaikan biaya yang sama seperti tahun ke-2, panen pada akhir tahun ke-3 akan mendapatkan
hasil sebesar Rp. 299.538.000,-, dengan perkiraan tiap panen menghasilkan 960 kg.
Saldo akhir tahun ke-3, didapatkan sebesar Rp. 164.292.000,-, dengan keuntungan hasil usaha
sebesar Rp.32.858.000,-
Tahun IV
Modal usaha tahun ke-4, sebesar Rp. 131.343.000,- juga akan digunakan untuk membangun
1 unit KJT baru,sedangkan karyawan pengelola bertambah menjadi 8 orang. Dengan asumsi
kenaikan biaya yang sama seperti tahun sebelumnya, panen pada akhir tahun ke-4 akan
mendapatkan hasil sebesar Rp. 429.338.000,-, dengan perkiraan tiap panen menghasilkan 1180
kg.
Tidak seperti tahun sebelumnya, dari saldo akhir tahun ke-4, sebesar Rp. 269.409.000,-, 50%
akan digunakan untuk modal usaha tahun ke-5, dan 50% lainnya akan menjadi keuntungan
hasil usaha bagi pemberi modal yaitu sebesar Rp. 134.705.000,-
23

Tahun V
Pada tahun ke-5, penambahan unit baru KJT terakhir kali dilakukan. Pengelolaan akan melibatkan
10 orang karyawan.
Panen akan menghasilkan sebesar Rp. 576.923.000,- di akhir tahun, bagi hasil untuk 10 orang
karyawan pengelola, sebesar Rp. 57.692.000,-, dan ini merupakan bagi hasil terakhir yang
dilakukan.
Di akhir tahun ke-5, modal usaha untuk tahun berikutnya diambil hanya 20 % dari saldo, sehingga
keuntungan hasil usaha yang diperoleh pemberi modal menjadi 80% dari saldo, yaitu sebesar
Rp. 273.608.000,-
Tahun VI

Mulai tahun ke-6, dan seterusnya, tidak dilakukan penambahan unit baru KJT. Pengelolaan
akan tetap melibatkan 10 orang karyawan.
Dengan panen yang akan menghasilkan sebesar Rp. 620.193.000,- di akhir tahun, maka saldo
yang akan diperoleh setelah dikurangi biaya operasional sebesar Rp. 432.736.000,-. Dari saldo
yang didapatkan, 80% akan menjadi hak pemberi modal, dan sisa 20% menjadi hak nelayan
pengelola. Dari masing-masing bagian tersebut, akan sama-sama diambil 20% sebagai modal
usaha untuk tahun berikutnya.
Sehingga keuntungan hasil usaha yang didapatkan pemberi modal sebesar Rp. 276.951.000,-
, untuk nelayan pengelola sebesar Rp. 69.238.000,-. Untuk modal usaha tahun berikutnya,
pemberi modal akan menyerahkan sebesar Rp. 69.238.000,- dan nelayan pengelola sebesar
Rp. 17.309.000,-.
Hal ini akan berlaku untuk tahun-tahun berikutnya.

Total aset yang dimiliki bersama pada akkhir tahun ke-6, lebih kurang senilai 650 juta rupiah, yang
terdiri dari; 5 unit KJT, bibit ikan berbagai ukuran dan saldo di akhir tahun ke-6.
24

Apa yang telah dipaparkan berasal dari hasil analisa dan pengalaman di lapangan, yang kemudian
dituangkan dalam proyeksi suatu usaha budi daya.
Dan analisa usaha budi daya kerapu ini juga menampilkan gambaran yang sedikit banyak
menunjukkan kemungkinan yang akan terjadi, seperti misalnya penggunaan Survival Rate (SR)
80%, walaupun ada nelayan budi daya yang berhasil dengan SR 90%, ataupun penggunaan
harga rata-rata per kg Kerapu siap panen senilai Rp. 90.000,-, yang sebenarnya dapat mencapai
Rp. 120.000,- per kg. Kesemuanya ini semata-mata hanya tidak ingin memberikan suatu
gambaran maya akan hasil dari suatu usaha budi daya, sebelum menjalankan usaha tersebut.

Pengelolaan usaha budi daya ini akan dilakukan oleh Kelompok Nelayan Bina Harapan, suatu
kelompok nelayan dari Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, yang selama ini mencoba
mengaplikasikan hasil-hasil analisa, penelitian dan uji coba yang dilakukan oleh berbagai pihak
yang berkaitan dengan perikanan dan hasil laut. Aplikasi yang dilakukan disesuaikan dengan
budaya lokal masyarakat nelayan Kepulauan Seribu dan kondisi alam Kepulauan Seribu.
Budi daya memang bukan budaya asli nelayan, tetapi dengan melakukan budi daya, apa yang
menjadi kegiatan sehari-hari nelayan masih dapat dilakukan, yang tentu saja disesuaikan dengan
waktu kerja di usaha budi daya. Dan dengan budi daya, populasi kerapu alam tetap terjaga,
tidak mengalami ancaman kepunahan, sehingga ekosistem laut masih dapat berjalan dengan
baik.

Usaha budi daya kerapu KJT ini, tidak hanya memberikan keuntungan secara finansial pada
pihak yang bekerja sama, tetapi juga dapat membantu masyarakat nelayan untuk dapat
meningkatkan taraf hidupnya.

You might also like