Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Banyak
orang mengabaikan kesehatan untuk dirinya sendiri, hal ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya adalah pola hidup yang kurang baik yang
menyebabkan orang memiliki suatu penyakit yang seharusnya dapat dicegah
apabila ada kesadaran dari individu tersebut. Terutama berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan nutrisi sebagai sarana hidup manusia untuk tumbuh
tetapi individu cenderung untuk mengikuti zaman dimana saat ini konsumsi
makanan sangat beragam, contohnya makan makanan yang kurang
mengandung serat. Ini dapat menjadi pencetus penyakit radang appendiks
atau sering disebut appendicitis sehingga dapat mengganggu fungsi optimal
dari sistem gastrointestinal terutama di usus halus.
Di Amerika diperkirakan 7%-8% penduduk menderita appendicitis
dengan 1,1 kasus per 1000 orang per tahun. Appendicitis terjadi sebagian
besar akibat meningkatnya konsumsi makanan rendah serat, adanya
peradangan pada lumen. Angka mortalitas 0,2-0,8% yang menghubungkan
komplikasi terhadap penyakit lebih baik daripada tindakan pembedahan.
Angka mortalitas meningkat 20% pada pasien usia 70 tahun, terutama karena
keterlambatan diagnostik dan terapi. Perforasi dapat terjadi pada usia 18
tahun dan 50 tahun. Kemungkinan karena keterlambatan diagnosis.
Appendiks perforasi gabungan dengan meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas. Dalam perkembangannya appendicitis sering menyerang orang
antara usia 10-30 tahun. Salah satunya lebih beralasan untuk pembedahan
darurat abdomen pada anak-anak. (http://wwe.emedicine.com/EME
RE/topic41.html).
Berdasarkan hal di ataslah yang melatarbelakangi penulis menyusun
penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan appendicitis. Karena
sebagai perawat kita memegang peranan penting dalam upaya pencegahan
komplikasi yang akan berakibat lebih lanjut, dengan memberikan pendidikan
kesehatan tentang gaya hidup yang sehat seperti: menganjurkan untuk
mengkonsumsi makanan tinggi serat, banyak minum air putih, jangan
menahan keinginan defekasi (buang air besar). Hal ini dapat memperkecil
terjadinya penyakit appendicitis.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami latar belakang penyakit, definisi, dan
patofisiologi dari appendicitis.
2. Menambah pengalaman nyata dalam merawat dan memberikan asuhan
keperawatan pada penderita appendicitis.
3. Membandingkan antara teori dan kasus yang ada di lapangan.
4. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan
keperawatan di lapangan.
C. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah
ini:
1. Studi pustaka
Mempelajari dan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan
penyakit appendicitis.
2. Studi kasus
Pengamatan langsung pada pasien Tn. D di unit Fransiskus PKSC dengan
appendicitis meliputi wawancara langsung dan melakukan penerapan
asuhan keperawatan.
D. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengawali dengan kata
pengantar, dan daftar isi, dilanjutkan dengan Bab I Pendahuluan yang berisi
latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan,
kemudian Bab II Tinjauan teoritis yang berisi konsep dasar medik dan
konsep asuhan keperawatan serta patoflowdiagram, Bab III Pengamatan
kasus dan Bab IV berisi pembahasan kasus, diakhiri dengan Bab V
kesimpulan dan terlampir daftar pustaka.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2. Klasifikasi
Appendicitis dibagi atas 2 yaitu:
a. Appendicitis akut
1) Appendicitis akut focalis atau segmentalis
Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh anggota
appendiks 1/3 distal berisi nanah. Untuk diagnosis yang penting ialah
ditemukannya nanah dalam lumen bagian itu. Kalau radangnya
menjalar maka dapat terjadi appendiks purulenta.
2) Appendicitis akut purulenta (suppurativa) diffusa
Disertai pembentukan nanah yang berlebihan. Jika radangnya lebih
mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan disebut appendicitis
gangrenosa atau pheegmonosa. Pada appendicitis gangrenosa dapat
terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam rongga perut dengan akibat
peritonitis.
b. Appendicitis kronik
1) Appendicitis kronik focalis
Secara mikroskopi tampak fibrosis setempat yang melingkar sehingga
dapat menyebabkan stenosis.
2) Appendicitis kronik obliterativa
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendik pada jaringan
submukosa dan subserosa, hingga terjadi obliterasi (hilangnya lumen),
terutama di bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir pada
bagian itu.
3. Anatomi Fisiologi
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung yang buntu,
panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-15 cm) atau berukuran sekitar jari
kelingking dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Tonjolan appendiks pada
neonatus berbentuk kerucut yang menonjol dari apeks sekum sepanjang
4,5 cm. Pada masa kanak-kanak, batas appendiks dari sekum semakin
jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa panjang
appendiks rata-rata 9-10 cm, terletak posteriomedial sekum kira-kira 3 cm
inferior dari valvula ileosekalis. Posisi appendiks bisa retrosekal,
retroileal, subileal atau di pelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak
sama. Pada posisi normalnya appendiks terletak pada dinding abdomen,
di bawah titik Mc. Burney, dicari dengan menarik garis dari spina iliaka
superior kanan ke umbilikalis, titik tengah garis itu merupakan pangkal
appendiks.
Fungsi appendiks tidak diketahui, kadang-kadang appendik
disebut “tonsil abdomen” karena ditemukan banyak jaringan limfoid sejak
intra uterin akhir kehamilan dan mencapai puncaknya pada kira-kira umur
15 tahun, yang kemudian mengalami atrofi serta praktis menghilang pada
usia 60 tahun. Dengan berkurangnya jaringan limfoid, terjadi fibrosis dan
pada kebanyakan kasus timbul konstriksi lumen atau obliterasi.
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir ini secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Diperkirakan appendiks mempunyai peranan dalam mekanisme
imunologik, yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks
ialah Ig A Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Appendiks mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung
amilase, erepsin, dan musin.
4. Etiologi
Penyebab utamanya adalah obstruksi atau penyumbatan yang
disebabkan oleh:
- Fekalit (massa faeses yang padat) akibat konsumsi makanan rendah
serat.
- Cacing/parasit
- Infeksi virus: E. coli, streptococcus
- Sebab lain: misal: tumor, batu
- Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya
- Hiperplasia limfoid.
5. Patofisiologi
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
appendiks oleh fekalit, benda asing, tumor, infeksi virus, hiperplasia
limfoid dan striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.
Appendik mengeluarkan cairan yang berupa sekret mukus, akibat
obstruksi/penyumbatan lumen tersebut menyebabkan mukus akan
terhambat. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga mengakibatkan
pelebaran appendiks, resistensi selaput lendir berkurang sehingga
mengakibatkan mudah infeksi dan dari penyumbatan ini lama kelamaan
akan menyebabkan terjadinya peradangan pada appendik dengan tanda
dan gejala nyeri pada titik Mc. Burney, spasme otot, mual, muntah dan
menyebabkan nafsu makan menurun, hipertermi dan leukositosis. Bila
sekresi mukus terus berlanjut, akan menyebabkan peningkatan tekanan
intraluminal, tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran
limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi appendicitis akut focalis yang ditandai
oleh nyeri epigastrik. Hal ini juga bila berlangsung terus akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan
menembus dinding.
Peningkatan tekanan intraluminal akan mengakibatkan oklusi end
arteri appendikularis sehingga aliran darah tidak dapat mencapai appendik
menjadi hipoksia lama kelamaan menjadi iskemia akibat trombosis vena
intramural, lama kelamaan menjadi nekrosis yang akhirnya menjadi
gangren dimana mukosa edema dan terlepas sehingga berbentuk tukak.
Dinding appendik ini akan menipis, rapuh dan pecah akan terjadi
appendicitis perforasi. Bila semua proses di atas hingga timbul masa lokal
yang disebut infiltrat appendikularis.
Peradangan appendiks tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang menurun memudahkan terjadinya perforasi. Seringkali perforasi ini
terjadi dalam 24-36 jam. Bila proses ini berjalan lambat organ-organ di
sekitar ileum terminalis, sekum dan omentum akan membentuk dinding
mengitari appendiks sehingga berbentuk abses yang terlokalisasi.
7. Test Diagnostik
a. Hematologi: leukositosis di atas 10.000 /ul, peningkatan neutrofil
sampai 75%.
b. CT scan abdomen: dapat menunjukkan terjadinya abses appendikal
atau appendicitis akut.
c. Foto abdomen: gambaran fekalit, jika perforasi terjadi, gambaran
udara, bebas dapat dilihat dari hasil foto.
d. USG: ditemukan gambaran appendicitis.
e. Urinalisis: normal, tetap leukosit dan eritrosit mungkin ada dalam
jumlah sedikit.
8. Komplikasi
a. Perforasi
Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama tetapi meningkat
sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui pre operatif dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,5oC tampak toksik, nyeri tekan di seluruh perut dan
leukositosis akibat perforasi dan pembentukan abses.
b. Peritonitis
Merupakan peradangan peritoneum yang berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen misalnya
appendicitis. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup di dalam kolon yaitu pada kasus ruptura appendiks. Reaksi
awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
c. Obstruksi usus
Dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal isi usus
sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut atau kronik, parsial
atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon sebagai
akibat dari karsinoma. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan
gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan
darurat bila penderita ingin tetap hidup.
9. Terapi dan Pengelolaan Medik
a. Pre-operasi
- Bedrest: untuk observasi dalam 8-12 jam setelah keluhan.
- Puasa: cairan parenteral jika pembedahan langsung
dilakukan
- Therapi farmakologik: narkotik dihindari karena dapat
menghilangkan tanda dan gejala.
- Antibiotik: untuk menanggulangi infeksi.
- Transqualizer: untuk sedasi.
- NGT: untuk mengeluarkan cairan lambung jika diperlukan.
Catatan: enema dan laxantia tidak boleh diberikan karena dapat
meningkatkan peristaltik usus dan menyebabkan perforasi.
- Pembedahan: Appendictomie: secepatnya dilakukan bila
didiagnosanya tepat dan tentunya cara dan reaksi sistemik harus
diperhatikan.
b. Post-operasi
- Observasi TTV terjadinya perdarahan, syok, hipertermia
atau gangguan pernafasan.
- Pasien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal.
- Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam
lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan
makanan saring dan hari berikutnya lunak.
- Aktivitas: satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk
duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua
pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
- Antibiotik dan analgesik setelah post op diberikan.
- Jahitan diangkat hari ke tujuh.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya sistem
pertahanan tubuh sebagai akibat dari proses inflamasi/peradangan.
2) Nyeri abdomen berhubungan dengan proses peradangan pada
appendik.
3) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
hipermetabolik (demam, muntah).
4) Ketidakefektifan manajemen terapeutik berhubungan dengan
kurang pengetahuan tentang proses penyakit, dan pengobatan.
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
2) Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pembatasan pasca operasi (puasa), intake kurang.
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan
pembedahan.
3. Rencana Keperawatan
a. Pre Operasi
DP.1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
sistem pertahanan tubuh sebagai akibat dari proses
inflamasi/peradangan.
HYD: Tidak terjadi infeksi ditandai dengan suhu dalam batas normal
36-37oC, integritas kulit utuh, leukosit < 10.000 u/L.
Intervensi:
1) Monitor TTV terutama suhu tiap 4 jam.
R/ Suhu meningkat menandakan adanya infeksi.
2) Kaji tanda-tanda peritonitis dan laporkan segera bila perlu.
R/ Mengetahui adanya komplikasi seperti peritonitis.
3) Hindari pemberian huknah/enema sebelum operasi.
R/ Penggunaan enema/pemberian huknah dapat meningkatkan
peristaltik usus dan meningkatkan risiko perforasi.
4) Berikan diit lunak dan bila perlu beri infus.
R/ Peningkatan nutrisi dapat membantu meningkatkan daya tahan
tubuh.
5) Kolaborasi dengan medik pemberian antibiotik.
R/ Mencegah infeksi lebih luas.
b. Post Operasi
DP.1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah.
HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah tampak rileks.
Intervensi:
1) Kaji nyeri, intensitas, lokasi dan lamanya.
R/ Berguna dalam pengawasan keefektifan pengobatan.
2) Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
R/ Gravitasi melokalisasi eksudat ke dalam abdomen bawah untuk
mengurangi ketegangan abdomen yang bertambah jika posisi
terlentang.
3) Dorong ambulasi dini.
R/ Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh: merangsang
peristaltik dan kelancaran flatus.
4) Kaji ketidaknyamanan yang disebabkan post prosedur operasi.
R/ Ketidaknyamanan mungkin oleh insisi akibat operasi.
5) Dorong penggunaan teknik relaksasi.
R/ Melepaskan tegangan emosional dan otot, tingkatkan perasaan
kontrol.
6) Kolaborasi dengan medik untuk mempertahankan puasa.
R/ Menurunkan ketidaknyamanan pasien pada peristaltik usus dini
dan irigasi gaster.
7) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.
R/ Menghilangkan rasa nyeri.
4. Perencanaan Pulang
a. Mobilisasi bertahap sesuai kemampuan.
b. Jaga luka operasi tetap bersih dan kering.
c. Perhatikan pola makan sehari-hari, makan tinggi serat sangat baik
dikonsumsi, kurangi makanan pedas, diit ditingkatkan bertahap: bubur
saring, bubur biasa, nasi tim/lunak.
d. Minum obat sesuai instruksi, kontrol ke dokter.
e. Segera ke RS bila ada tanda-tanda infeksi: panas, merah, nyeri
C. PATOFLOWDIAGRAM
Fekalit, cacing, infeksi (E.Coli, Streptococcus)
DP.4 Ketidakefektifan manajemen terapeutik
Obstruksi lumen
Pelebaran appendiks
Mudah infeksi
Pembatasan
Mual, muntah
cairan
Mual, muntah Appendictomie Suhu ↑
Peradangan dinding Nyeri tekan titik Mc.
Nyeri DP.1 Nyeri
appendiks Burney
DP.2 Resti < vol cairan
DP.3 Kerusakan Leukositosis
integritas kulit
Pembentukan mukus >>> DP.1 Resti infeksi
DP2. Nyeri
DP3. Resti < vol cairan
Peningkatan tekanan intra luminal
Hipoksia jaringan
Nekrosis
Mual, muntah
TD↓, N↓, S↑ > 38,5oC
Perforasi Distensi abdomen
Nyeri tekan seluruh abdomen
DP1 Resiko tinggi infeksi
Peritonitis
BAB III
PENGAMATAN KASUS
1. Pengkajian
Setelah dilakukan pengkajian mengenai teori dikatakan bahwa
penyebab dari appendicitis adalah fekalit, yaitu masa feses yang padat yang
disebabkan karena kurang makan makanan yang mengandung serat.
Penyebab ini sesuai pada kasus dimana pada pola persepsi kesehatan pasien
tidak suka makan makanan yang mengandung serat seperti sayuran dan
ditambahkan jarang minum air putih. Tanda dan gejala yang dialami pasien
sejak 6 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri di bagian abdomen kanan
bawah dan perut terasa tegang, ada mual, tetapi pada saat melakukan
pengkajian nyeri di abdomen kanan bawah berkurang intensitas 1-2, mual
tidak ada, tanda dan gejala ini sama dengan teori. Banyaknya sel darah putih
dalam darah dibuktikan dengan hasil laboratorium tanggal 2 Agustus 2005
didapat Leukosit: 13.100 /ul, dan dikatakan adanya appendicitis dari hasil
USG tanggal 2 Agustus 2005. Kesan: permulaan appendicitis karena
appendix membesar, peristaltik normal. Gejala cepat lelah didapat pada kasus
karena pasien ada riwayat sakit jantung sejak 1 tahun yang lalu, tetapi
keluhan sesak dan nyeri dada sudah tidak ada. Pada EKG tanggal 2/8/05
didapat hasil mitral stenosis Atrial fibrilasi pada V1 dan V3 yaitu disritmia
yang disebabkan oleh gangguan pembentukan impuls. Hasil foto thorax
tanggal 2/8/05 kesan: Severe cardiomegaly dengan efusi pleura bilateral kiri
lebih banyak dibandingkan kanan corakan vaskuler kasar di kedua perihiler.
Hal ini kemungkinan akibat pembesaran atrium akibat lesi katup jantung
yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam
ventrikel. Pasien mendapat batasan cairan 1500 cc/24 jam kemungkinan agar
memperingan kerja jantung. Pasien juga mengalami cemas karena berkaitan
dengan perawatan dan pengobatan yang seharusnya akan dilakukan operasi
appendiks tetapi karena biaya tidak ada dan kemungkinan ditunda karena
resiko terhadap penyakit jantungnya.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang penulis temukan pada pasien adalah
resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan
konduksi jantung, diagnosa ini diangkat karena adanya hasil EKG dengan
Mitral stenosis, atrial fibrilasi pada V1 dan V3. Diagnosa ke-2 adalah nyeri
berhubungan dengan proses peradangan pada appendiks, diagnosa ini
diangkat karena pasien mengatakan nyeri tekan mulai berkurang intensitas 1-
2 dan hasil USG adanya permulaan appendicitis. Diagnosa ke-3 adalah
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen
miokard dengan kebutuhan karena pasien mengatakan cepat lelah, N/HR: 80
x/nt, P: 26 x/mnt, hasil thorax foto: severe cardiomegali dengan efusi pleura
bilateral kiri lebih banyak dibandingkan kanan, corakan vaskuler kasar di
kedua perihiler. Diagnosa ke-4 adalah cemas berhubungan dengan proses
perawatan dan pengobatan karena pasien mengatakan merasa beban karena
biaya tidak ada untuk operasi, ingin cepat pulang. Diagnosa lain yang
berhubungan dengan appendicitis pada teori tidak diangkat karena sesuai
dengan kondisi pasien.
3. Perencanaan
Perencanaan yang dilakukan pada DP1 difokuskan pada pemantauan
tanda-tanda vital terutama nadi/HR, suara irama jantung, obat-obatan dengan
batasan cairan. DP2 difokuskan pada cara mengatasi nyeri dengan teknik
relaksasi dan mengkaji nyeri (intensitas). DP3 difokuskan pada penyuluhan
tentang pentingnya istirahat dan tanda-tanda vital setelah melakukan
aktivitas. DP4 difokuskan pada pendampingan terhadap koping yang
digunakan pasien.
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah dibuat
yaitu: pada DP1 memantau tanda-tanda vital terutama N, HR (irama,
frekuensi), mengkaji keluhan pasien seperti nyeri dada, memberikan terapi
obat-obatan sesuai instruksi serta memantau cairan. Pada DP2 Mengkaji dan
mencatat intensitas, lokasi nyeri, mengobservasi TTV (TD, N, HR, P, S),
mengajarkan teknik relaksasi dan memberikan therapy. Pada DP3 Memberi
penjelasan mengenai aktivitas yang boleh dilakukan, mengkaji tanda-tanda
tidak toleransi terhadap aktivitas. DP4 Mengajak pasien berdiskusi agar
mengurangi rasa cemas dan mengkaji keefektifan koping pasien.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan sesuai diagnosa yang ada, namun semua masalah
yang ada pada pasien belum dapat teratasi. Pada Dp1 keluhan lelah, hasil
dari EKG dan tanda-tanda vital memungkinkan resiko penurunan curah
jantung, DP2 Hasil USG dan laboratorium serta keluhan nyeri akibat proses
peradangan pada appendix, DP3 untuk aktivitas masih dibatasi agar tidak
memperberat kerja jantung, DP4 kecemasan masih ada sehingga masih
dibutuhkan dukungan keluarga untuk pasien.
BAB V
KESIMPULAN
Barbara C. Long, 1989. Medical Surgical Nursing . St. Louis. CV. Mosby
Company.
Brunner and Suddarth. 1999. Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 2, Alih bahasa:
Monica Ester, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Donna D. Ignatavicius, 1991. Medical Surgical Nursing, WB. Saunders
Company, Philadelphia.
Joyce M. Black, 1997. Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Continuity of Care. Fifth Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia.
Lewis, Sharon Mantik, 2000, Medical Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clinical Problems. Missouri: Mosby Inc.
Luckmann and Sorensen’s, 1993. Medical Surgical Nursing A
Psychophysiologic Approach. Fourth edition.
Marilynn E. Doengoes, 1993. Nursing Care Plan . Edition 3, Philadelphia: F.A.
Davis Company.
Soeparman, Sarwono Waspadji, 1990. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Jilid II.
Penerbit FKUI. Jakarta.