pengadilan (Alternative Dispute Resolutions/ADR) dinilai perlu dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Kepala Divisi Bina Hukum Polri Inspektur
Jenderal Teguh Soenarso, pola ini sudah banyak diterapkan di berbagai undang-undang dan telah mendunia.
ADR juga adalah upaya menyelesaikan masalah namun tidak
menghukum. “Mekanisme tersebut dilakukan dengan pendekatan win-win solution yang bersifat tuntas,” paparnya pada sebuah diskusi yang diadakan Komnas Perempuan tentang RUU KUHAP.
Teguh menyatakan beberapa hal yang membuat ADR perlu
ada dalam KUHAP baru nanti. Namun, sistem itu bukan tindakan mengindahkan perkara oleh pihak tertentu. Kemungkinan kerugian materil dan imateril serta dampak negatif bila dilimpahkan ke pengadilan dapat dihindarkan.
“Hasil dari ADR bahkan dapat dilanjutkan ke proses
peradilan,” kata Teguh. Mekanisme ADR, menurut Teguh, dapat dilakukan melalui proses mediasi, arbitrase, konsiliasi, serta negosiasi yang harus ditata dalam norma aturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, penegak hukum ditempatkan sebagai pihak netral, lanjut Teguh. Dia menambahkan mekanisme ini tidak akan mengurangi penghormatan terhadap hak asasi korban maupun tersangka, bahkan dimungkinkan bagi korban untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelesaian perkara. “Proses dan putusan penyelesaian perkara menjadi subsistem dari sistem peradilan pidana,” paparnya. Ia meyakini mekanisme ini dapat dilakukan tatkala kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum berada pada tren yang menurun. Sementara itu, dalam RUU KUHP, kewenangan Mahkamah Agung (MA) dalam memutuskan perkara Peninjauan Kembali (PK) akan beralih ke Pengadilan Negeri. Nantinya, MA menurut Ketua Tim Perumus RUU KUHP Andi Hamzah, hanya memutuskan PK diterima untuk disidangkan di PN.