Professional Documents
Culture Documents
“Cita-cita untuk menciptakan wahana terbang secara vertikal dan mengambang tanpa
bergerak di udara (hover), mungkin telah ada sejak manusia bermimpi untuk terbang”
"I think, if this screw instrument is well made, that means from linen starched (to
block its pores) and is turned rapidly, then this said screw will find its female in the
air and climb upwards."
Leonardo da Vinci
terbang vertikal dengan tenaga uap yang disemburkan dari boiler mini ke ujung blade
(bilah rotor). Memang model tersebut tidak mungkin dibuat dengan skala penuh,
namun wahana buatan Philips merupakan wahana terbang vertikal pertama yang
digerakkan mesin sebagai pengganti tenaga gulungan pegas yang banyak digunakan
sebelumnya. Pada tahun 1860-an Ponton d’Amecourt berkewarganegaraan Perancis,
menerbangkan beberapa model wahana terbang vertikal mini bertenaga uap. Sejak
saat itu wahana terbang vertikal lebih dikenal dengan nama “helikopter”. Helikopter
berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dari kata sifat “elikoeioas”
yang berarti “spiral” atau “winding” (berputar) dan kata benda “pteron” yang berarti
“feather” (bulu) atau “wing” (sayap). Sekitar tahun 1878 Enrico warga Italia juga
membuat model helikopter yang terbang dengan tenaga uap. Model ini dilengkapi
dengan dua rotor yang saling berputar berlawanan, dan tercatat mampu terbang pada
ketinggian lebih dari 40 kaki selama 20 detik.
Pada awal abad 20 hampir semua percobaan terbang vertikal dapat dianggap
sebagai karya cipta yang menantang, mengingat betapa tinggi kompleksitas aspek
aerodimanika maupun mekanika struktur wahana terbang vertikal tersebut.
Disamping itu hasil penelitian aerodinamika oleh para ilmiawan saat itu, masih sangat
sedikit untuk digunakan sebagai acuan. Berdasarkan dokumen sejarah penerbangan
terungkap bahwa kegagalan ratusan percobaan helikopter disebabkan masalah tenaga
penggerak, keterbatasan kendali terbang, dan getaran mesin yang merusak struktur.
Pada tanggal 13 Nopember 1907 seorang pembuat sepeda berwarganegara
Perancis bernama Paul Cornu, menciptakan helikopter dan tercatat sebagai
keberhasilan terbang helikopter berawak pertama kali. Peristiwa ini terjadi setelah 4
tahun keberhasilan penerbangan pesawat sayap tetap legendaris pertama di dunia,
yang dilakukan oleh Wright bersaudara di Kitty Hawk Amerika Serikat. Struktur
helikopter Paul Cornu dibuat sangat sederhana, dengan dilengkapi dua rotor yang
terpasang pada keliling roda sepeda yang terletak pada ujung-ujung badan helikopter.
Helikopter Paul Cornu dengan dua rotor yang ditambatkan pada roda sepeda
dan dipasang pada ujung-ujung badan helikopter
menghilangkan reaksi torsi. Helikopter Paul Cornu mampu terbang setinggi 1 kaki di
atas tanah dalam waktu 20 detik.
Keberhasilan Paul Cornu dalam menerbangkan helikopter berpenumpang, menambah
semangat para pemerhati dan perancang wahana terbang vertikal. Pada tahun 1909
dengan diilhami keberhasilan Paul Cornu, Igor Ivanovitch Sikorsky dan Boris Yur’ev
secara terpisah membangun prototype dengan rotor ganda tanpa awak.
Namun mesin terbang yang diciptakan tidak bisa diterbangkan, karena masalah
getaran dan belum tersedianya mesin penghasil tenaga penggerak yang cukup. Dalam
otobiografinya, Sikorsky menyatakan bahwa dia harus menunggu sampai
ditemukannya mesin penghasil gaya penggerak yang lebih baik, ditemukannya bahan
pembuat pesawat yang ringan serta pengalaman mekanik yang cukup. Mesin terbang
vertikal ciptaannya yang pertama yaitu S-1 bahkan tidak mampu terbang untuk
mengangkat beratnya sendiri, sedangkan mesin ciptaan kedua yaitu S2 tanpa awak
hanya bisa mengudara sebentar meski sudah dilengkapi tenaga penggerak yang
cukup. Kekecewaan Sikorsky terhadap kegagalannya menciptakan mesin terbang
vertikal, membuat dia menghentikan usahanya dalam menciptakan helikopter.
Selanjutnya dia beralih untuk mencurahkan kepiawaiannya dalam penciptaan pesawat
sayap tetap (pesawat konvensional), yang ternyata lebih berhasil. Meskipun Sikorsky
kurang perhatian terhadap penciptaan helikopter, namun setelah berimigrasi ke
Amerika Serika, ia kembali melanjutkan cita -citanya dalam penciptaan mesin terbang
vertikal.
Boris Yur’ev dari Rusia, menciptakan helikopter dengan konfigurasi tail rotor
yang pertama kali sebagai alat untuk menghilangkan reaksi torsi rotor utama (main
rotor) pada tahun 1912. Selain memperkenalkan rancangan penggunaaan tail rotor,
Boris Yur’ev juga memperkenalkan konsep “cyclic pitch control” yang pertama kali.
Dari Rusia juga dikenal nama Profesor Zhukovski (Joukowski) dengan ketekunannya
meneliti teori aerodinamika, serta banyak mempublikasikan hasil penelitiannya
tentang pesawat sayap putar (helikopter).
De la Cierva berhasil membuat model helikopter yang dilengkapi mekanisme
“flapping” guna mengatasi tidak simetrisnya gaya angkat pada saat gerakan rotor
blade berputar maju dan ke belakang. Kemudian Rauf Hafner pada tahun 1935,
memperkenalkan sistem kendali “collective-control” dan “cyclic -pitch control”
Semangat pengembangan dan penyempurnaan penciptaan helikopter semakin
meningkat, tercatat nama -nama seperti Stephan Petroczy dari Austria, Bapak dan
anak yaitu Emile dan Henry Berliner dari Amerika Serikat, Louis Breman dari
Inggris, Raul Pescara dari Argentina, dan para inventor lainnya.
Jika dirunut sejak usaha penciptaan wahana terbang vertikal dimulai, ada
beberapa kendala yang memperlambat laju keberhasilan penciptaan helikopter
tersebut. Kendala tersebut adalah :
Pertama adalah minimnya pengetahuan dasar tentang aerodinamika khususnya
untuk terbang vertikal. Pada saat awal penciptaan model helikopter, besarnya daya
penggerak hanya dihitung berdasarkan perkiraan saja. Baru setelah berakhirnya abad
19, teori tentang gaya rotor diperkenalkan oleh William Rankine dan W. Proude,
sedangkan teori aerodinamika helikopter baru diperkenalkan secara intensif pada awal
tahun 1920-an.
Kedua karena belum tersedianya mesin penghasil daya penggerak secara
memadai. Pada awal eksperimen wahana terbang vertikal, mesin konversi energi
yang dikenal baru mesin uap. Mesin uap merupakan external combustion engine,
yang sistemnya cukup komplek dan relatif berat sehingga tidak cocok sebagai mesin
5
penghasil daya penggerak wahana terbang. Baru setelah mesin bensin (gasoline
engine) ditemukan pada tahun 1920-an, maka permasalahan mesin penghasil daya
penggerak bisa diatasi. Motor bensin merupakan mesin pembakaran dalam (internal
combustion engine), selain konstruksinya lebih sederhana juga mempunyai power to
weight ratio yang tinggi. Bahkan setelah mesin turbin gas (gas turbine engine)
ditemukan pada tahun 1940-an, dan dipergunakan sebagai daya penggerak pesawat
pertama kali pada tanggal 15 Mei 1941 oleh Sir Frank Whittle, maka teknologi
pengembangan pesawat terbang termasuk helikopter meningkat pesat. Helikopter
pertama kali uji terbang dengan menggunakan mesin gas turbin terjadi pada tanggal
15 Mei 1951.
Ketiga karena struktur dan mesin penggerak yang cukup berat. Pada awal
penciptaan wahana terbang, bahan pembuat mesin ataupun struktur yang dikenal
adalah besi tempa (cast iron) yang relatif berat. Persoalan berat tersebut baru teratasi
pada awal tahun 1920-an, setelah alumunium beserta paduannya digunakan secara
luas.
Keempat karena adanya pengaruh anti torsi. Perputaran main rotor akan
berakibat berputarnya badan helikopter ke arah kebalikan putaran main rotor. Pada
saat awal penciptaan wahana terbang vertikal, pengaruh ini diatasi dengan pembuatan
rotor ganda yang titik pusat putarannya sama (coaxial rotor). Rotor ganda dibuat
berputar berlawanan, atau menggunakan konfigurasi 2 rotor yang saling
berdampinga n dengan posisi lateral. Namun pembuatan konstruksi tersebut cukup
komplek dibanding dengan hanya menggunakan sebuah rotor. Igor Sikorsky adalah
orang pertama yang berhasil menggunakan tail rotor, untuk menghasilkan anti torsi
guna mengatasi pengaruh torsi putaran main rotor.
Kelima karena kesulitan dalam sistem kendali. Kesulitan kendali tersebut
antara lain adanya gaya angkat yang tidak simetris antara bilah rotor saat berputar ke
depan dan saat berputar ke belakang. Kesulitan tersebut mulai dapa t diatasi setelah
De la Cierva merancang system “flapping” pada engsel pangkal rotor pada tahun
1923. Rancangan “flapping” tersebut menyebabkan bilah rotor pada saat berputar ke
depan (kecepatan udara relatif membesar), akan menghasilkan sudut serang (angle of
attack) mengecil yang berarti mengurangi gaya angkat. Sebaliknya pada saat berputar
ke belakang (kecepatan udara relatif mengecil), sudut serang membesar yang berarti
meningkatkan gaya angkat.
Keenam karena masalah getaran. Getaran yang berlebiha n sebagai sumber
kerusakan struktur. Permasalahan tersebut dapat diatasi setelah pengetahuan tentang
sifat vibrasi dan aerodinamika helikopter diketahui dan ditrapkan.
Usaha para pioner penemu helikopter sampai saat ini telah menghasilkan
teknologi wahana terbang vertikal demikian canggih, yaitu pesawat helikopter yang
berguna sebagai wahana tranportasi, bahkan sebagai mesin tempur.
Helikopter Tempur
Helikopter digunakan sebagai mesin perang mulai Perang Dunia II. Namun
untuk beberapa tahun masih terbatas sebagai misi pencari dan penyelamat (search and
rescue), evakuasi medis, observasi dan penghubung atau komunikasi antar dua lokasi
yang berjauhan. Baru pada pertengahan tahun 1950-an, helikopter betul-betul
digunakan sebagai wahana yang dipersenjatai untuk misi perang. Kolonel Jay
Vanderpool sebagai penerbang helikopter U.S. Army, melengkapi persenjataan pada
sejumlah helikopter sehingga mampu digunakan untuk operasi penyerangan.
Helikopter yang dipersenjatai antara lain jenis H-34, H-19 dan Piasecki H-21 “si
6
pisang terbang”, dengan senjata mesin dan roket-roket kecil yang dicoba dalam
penyerangan berbagai jenis sasaran. Namun kendala pada saat itu adalah kecepatan
terbang helikopter yang terlalu lambat, sehingga rentan terhadap serangan darat.
Helikopter pertama yang terlibat pertempuran adalah Bell UH-1A Hueys yang
dipersenjatai 2 buah senapan mesin kaliber 0,30 dan 16 peluncur roket kaliber 2,75.
Helikopter tersebut dikirim ke Vietnam pada tahun 1962, guna mengawal helikopter
pengangkut pasukan. Namun beberapa helikopter jatuh tertembak, karena memang
dengan kecepatan yang rendah sangat rentan terhadap serangan darat. Selanjutnya
industri helikopter Bell melanjutkan pengembangan helikopter tempur, guna
memenuhi tuntutan kebutuhan U.S. Army. Helikopter tempur yang dibangun,
dipersenjatai senapan mesin, peluncur granat, roket, dan peluru anti tank. Helikopter
tersebut adalah AH-1G HueyCobra, yang kemudian digunakan sebagai helikopter
tempur yang sangat efektif oleh U.S. Army dan Marine Corps.
Menyadari kelemahan helikopter saat Perang Vietnam yang rawan terhadap tembakan
darat, maka pimpinan U.S. Army meminta pengembangan helikopter tempur yang
mampu terbang cepat dan dilengkapi persenjataan berat guna meningkatkan
kehandalannya. Pada tahun 1966, U.S. Army membuat kontrak dengan Lockheed
dalam pengadaan 10 prototipe AH-56 Cheyenne. Cheyenne merupakan helikopter
tempur dengan persenjataan lengkap dan kecepatan 253 mil perjam atau 407 km
perjam (dua kali lebih cepat dari helikopter tercepat yang ada pada saat tersebut).
Pada Januari 1968, U.S. Army menandatangani kontrak pengadaan 375 Cheyenne.
Namun demikian proyek Cheyenne mengalami masalah teknis, bahkan merangsang
Uni Sovyet untuk mengembangkan senjata anti pesawat terbang. Terbukti bahwa
peluru pencari panas (heat-seeking missile) buatan Sovyet, membuat helikopter
Cheyenne menjadi sasaran empuk yang sekaligus menandai berhentinya proyek
Cheyenne.
Pada tahun 1972, U.S. Army kembali mengajukan proposal kebutuhan
helikopter tempur dengan persenjataan berat dan berkemampuan manuver tinggi.
Kebutuhan ini akibat ancaman tank Sovyet di Eropa maupun di Vietnam. Helikopter
7
yang dibutuhkan harus mampu beroperasi di malam hari, mobilitas tinggi, dilengkapi
alat sensor serta alat navigasi canggih. Pada saat itu dua perusahaan helikopter
ternama yaitu Hughes Aircraft dan Bell, masing-masing mengajukan prototipe. Baru
pada tahun 1981, U.S. Army mengadakan kontrak pengadaan helikopter generasi baru
AH-64 Apache. Produksi pertama Apache diterima U.S. Army pada tahun 1984.
Helikopter AH-64 Apache dilengkapi Hellfire missile sebagai penghancur tank,
kendaraan militer dan sasaran-sasaran keras lainnya. Persenjataan lain yang dipunyai
Apache adalah senapan mesin kaliber 30 mm dan roket Hydra 70 kaliber 2,75 inci.
AH-64 Apache mampu terbang “hover” di balik-balik pepohonan atau bangunan lain,
sehingga mampu menghindari ancaman tembakan kendali laser. AH-64 Apache
terlibat operasi tempur pertama kali pada saat Perang Teluk I tahun 1991. Dengan
Hellfireh, Apache berhasil melumpuhkan radar lawan sehingga pesawat-pesawat
multinasional dapat menembus pusat-pusat pertahanan Irak. Pada Perang Teluk,
Apache sangat berhasil dengan perannya sebagai penghancur tank dan kendaraan
pengangkut personel. Pada kesempatan berpatroli di lembah Euphrata, beberapa
Apache memergoki beberapa elemen pengawal Republik Irak, dan berhail
menghancurkan sekitar 32 tank dan 100 kendaraan militer. Mulai saat itu seakan
terjadi pergeseran teknologi perang, yaitu bahwa helikopter diperhitungkan sebagai
mesin perang handal yang antara lain sebagai penghancur tank. Karena terbukti
kesuksesannya dalam perang, Apache menjadi dagangan yang laris ibarat pisang
goreng.
AH-64 Apache kehandalannya sebagai mesin perang terbukti saat Perang Teluk I
Pada pasca Perang Teluk, banyak negara membeli Apache yang terkenal
mahal namun handal. Negara-negara tersebut antara lain Inggris, Israel, Saudi
Arabia, Uni Emirat Arab, Mesir, Swiss dan Belanda. Versi terakhir Apache yaitu
Longbow Apache, yang dilengkapi radar pada posisi di atas rotor, sehingga sambil
menyelinap di balik-balik pepohonan, Apache dapat mengamati medan perang dengan
menggunakan sensornya.
8
AH-1Z Cobra meski tidak sehandal Apache, namun cukup populer karena harga lebih
murah, teknologi tidak terlalu komplek, mudah dirawat dan dioperasikan
eksport dari Mi-24 Hind E. Helikopter Mi-35P yang baru saja masuk kekuatan
tempur TNI AD, merupakan versi eksport dari Mi-24 Hind seri F.
Beberapa helikoper Sovyet dikembangkan dengan meniru Apache, misalnya
Mi-28 Havoc dan Ka-50 Werewolf. Pabrik pesawat Italia yaitu Agusta
mengembangkan A-109 Mangusta sebagai helikopter tempur anti tank. Eurocopter,
sebagai konsorsium pabrik-pabrik pesawat Eropa, mengembangkan helikopter tempur
untuk keperluan mereka sendiri yang disebut Tiger pada tahun 1988.
Perkembangan teknologi helikopter saat ini telah menjadikan helikopter
sebagai wahana yang multi guna, baik untuk kepentingan militer maupun sipil,
misalnya sebagai mesin perang, alat angkut personel/barang, SAR, evakuasi medis
dan lain-lain.
Mi-28 Havoc dan Ka-50 Werewolf dikembangkan Sovyet dengan meniru Apache
Helikopter angkut yang tercatat sebagai yang terbesar saa t ini adalah Mi-26
“Halo” buatan Rusia, yang berkapasitas 4 awak pesawat dan 70 pasukan.
Bandingkan dengan helikopter angkut militer AS yaitu CH-47 Chinook, yang berdaya
angkut lebih kecil yaitu 4 awak pesawat dan 33 pasukan.