Professional Documents
Culture Documents
Luqmanul Hakim sangat terkenal dengan nasehat-nasehat kepada anaknya. Ia sangat istimewa, karena nasehat-nasehatnya itu diabadikan dalam
Al-Qur’an. Padahal ia bukan nabi, bukan pula bangsawan. Salah satu nasehatnya yang terkenal dalam QS Luqman [31]: 16, “ Hai anakku,
sesungguhnya jika ada [sesuatu perbuatan] seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya [membalasnya]. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Dalam kisah yang lain ia berkata pada anaknya, “Anakku, aku sudah pernah memikul batu-batu besar, aku juga sudah mengangkat besi-besi
berat. Tapi tidak pernah kurasakan sesuatu yang lebih berat daripada tangan yang buruk perangainya.”
Tapi siapa sebenarnya Luqman itu? Ada yang mengatakan, dia bernama Luqman bin ‘Anqa bin Sa’dun, ada yang menyebut Luqman bin Tsaran,
ada juga yang bilang ia adalah Ibnu Ba’ur bin Nahir bin Aazir. Umar bin Qais berkata, “Ia adalah seorang berkulit hitam, berbibir tebal,
bertelapak kaki retak-retak.”
Kemudian para ulama berselisih pendapat mengenai pekerjaannya. Ada yang menerangkan ia adalah penjahit. Ada yang mengatakan ia pencari
kayu bakar. Ada yang menyebutnya tukang kayu. Sebagian ulama pernah melihat ia sedang menggembala domba. Dan ada juga yang
mengatakan ia adalah seorang hakim di kalangan Bani Israil pada jaman Nabi Dawud as.
Abu Darda berkata tentang Luqman, “Ia tidak diberi anugerah harta dan pangkat. Namun ia adalah seorang yang tegas, sering diam karena
berpikir, dalam serta luas wawasannya. Ia tak pernah mengulang suatu ucapan yang pernah diucapkannya, kecuali hikmah yang diminta untuk
diulang oleh seseorang.”
Suatu kali tuannya pernah menyuruhnya, “Sembelihlah seekor domba, kemudian berikan kepada saya dua bagian tubuh domba itu yang paling
baik.” Maka Luqman melaksanakannya dan memberikan lidah dan hati domba itu. Di lain waktu, tuannya kembali memintanya menyembelih
domba seraya mengatakan, “Buanglah dua bagian dari domba ini yang paling buruk.” Maka Luqman pun membuang lidah dan hati domba itu.
Mendapati hal tersebut tuannya berkata kepada Luqman, “Aku memerintahmu untuk memberikan kepadaku dua bagian yang paling baik dari
tubuh domba, kemudian engkau memberi aku lidah dan hatinya! Lalu aku memerintahmu untuk membuang dua bagian yang paling buruk,
engkau pun membuang lidah dan hatinya! Mengapa begitu?”
Luqman menjawab, “Karena tak ada bagian tubuhnya yang lebih baik dari keduanya jika keduanya baik, dan tak ada bagian tubuhnya yang
paling buruk dari keduanya jika keduanya buruk.”
Tak ada perbedaan pendapat menyangkut kewajiban belajar bagi setiap anak. Tetapi, bagaimanakah dengan bermain? Bukankah bermain
merupakan salah satu kebutuhan pokok mereka? Sejak dulu kala, anak-anak – manusia dan binatang – senantiasa bermain.
Pada dinding-dinding kuil dan kuburan orang-orang Mesir kuno ditemukan relief-relief yang menggambarkan anak-anak sedang bermain.
Menurut sebagian ahli, bola yang terbuat dari kain atau kulit-kulit binatang merupakan salah satu alat bermain yang tertua. Demikian juga
‘gasing’ yang disebut oleh filosof Plato dalam bukunya, Republic, dan dijadikan simbol kehidupan oleh salah seorang penyair Romawi. “Hidup
kita ini,” katanya, “bagaikan gasing. Ia ditarik dengan tali namun tetap berputar dan menari.”
Dengan bermain, anak-anak mengekspresikan diri dan gejolak jiwanya. Karena itu, dengan permainan dan alat-alatnya, seseorang dapat
mengetahui gejolak serta kecenderungan jiwa anak dan sekaligus dapat mengarahkannya. Dalam ajaran agama, ibu dan bapak dianjurkan untuk
sering-sering bermain dengan anak. Nabi Muhammad Saw. pernah berlama-lama sujud dalam shalat karena ketika itu salah seorang cucunya
sedang ‘menunggangi’ punggungnya, dan tidak jarang pula beliau bergegas menyelesaikan shalat hanya karena mendengar suara tangis anak.
Bermain atau mengantar anak bermain harus dibarengi dengan bimbingan dan pengarahan. Seringkali orangtua yang mengajak anaknya bermain
justru mengarahkannya secara tidak sadar kepada hal-hal yang negatif. Kebiasaan semacam ini sejak dahulu hingga sekarangmasih sering terjadi.
Diogene Le Cynique, seorang filosof Yunani Kuno [413-323 SM] yang dikenal sangat gandrung mengecam adat, kebiasaan masyarakatnya yang
buruk, konon, suatu ketika mencambuk seorang ayah sambil berkata, “Aku melihat dan mendengar anakmu culas dan berbohong ketika sedang
bermain. Ini diperolehnya darimu atau orang lain, tetapi kamu diam tidak menegurnya.”
Cukup banyak hambatan yang dihadapi orangtua dalam mengarahkan anak melalui permainan. Tidak hanya menyangkut waktu yang hampir
habis untuk kesibukan di tempat kerja dan di jalan, tetapi juga ‘kemampuan’ dalam memilih mainan yang sesuai dengan usia dan arah yang
dikehendaki untuk anak. Belum kemampuan dalam daya beli.
Benar bahwa tempat rekreasi dan bermain sudah cukup banyak, khususnya di kota-kota besar negara kita. Tetapi, biaya untuk menikmatinya
masih belum terjangkau oleh masyarakat luas, sehingga ada saja yang berusaha menjangkaunya dengan cara yang bertentangan dengan arah yang
seharusnya dicapai. Ada saja orangtua yang menyulap usia anaknya atau mengajarnya berbohong menyangkut usianya demi mendapat
keringanan biaya. Baru-baru ini bahkan ada negara yang disinyalir menyulap usia-usia pemainnya demi meraih reputasi dalam cabang olahraga.
Rupanya, dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk menganggulangi banyaknya hambatan ini. Salah satu di antara yang terpenting adalah
menyadarkan para orangtua bahwa bermain bukan sekadar bermain, tetapi merupakan kebutuhan pokok. Permainan merupakan ilmu,
seni, dan pendidikan, baik untuk orang dewasa maupun – lebih-lebih lagi – untuk anak-anak.
“Ilmu itu cahaya”, demikian pernyataan yang sering kita dengar. Kini kita dapat mengumandangkan, “bermain itu belajar” dan “permainan itu
ilmu”.
Dan kalau ada ilmu yang dapat menjerumuskan manusia bila digunakan secara keliru, maka demikian pula dengan permainan. Ada permainan
yang dapat menjerumuskan manusia, membahayakan fisik dan jiwa mereka, bahkan dapat membahayakan masyarakat dan masa depan bangsa.
Jika Diogene masih hidup, entah berapa banyak cemeti yang dihabiskannya untuk mencambuk para orangtua.
Integritas - diambil dari bahasa Inggris: integrity - diartikan sebagai the state of being honest, up
right and sincere. Atau orang yang memiliki integritas dapat diartikan sebagai orang yang memiliki
ketulusan hati atau orang yang memiliki dasar etika moral yang baik sehingga tercermin dalam
perilakunya.
Bagaimana menanamkan integritas pada anak sehingga mereka dapat menjadi pribadi yang tulus dan memiliki etika moral yang baik?
Sebetulnya kuncinya ada di tangan orangtua. Dengan memberikan si kecil cinta dan perhatian serta menumbuhkan kemampuan anak
untuk memiliki kepedulian yang sama terhadap orang lain. Karena etika moral seseorang dasarnya berasal dari hubungan seseorang
dengan orang lain, dan ketulusan hati akan tumbuh lewat kepedulian yang didapat dalam suatu hubungan.
Umar lahir tahun 63 H [682 M] di Halwan, sebuah desa di Mesir. Ayahnya, Abdul-Aziz bin Marwan adalah gubernur Mesir, adik
Khalifah Abdul-Malik. Ibunya, Ummu Asim adalah cicit Khalifah Umar bin Khaththab. Semasa kecil, ia tinggal di Madinah dan
dibesarkan di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang perawi hadits terbanyak. Setelah ayahnya meninggal, ia dipanggil ke
Damaskus oleh pamannya, Khalifah Abdul-Malik, dan dinikahkan dengan putrinya, Fatimah.
Kemudian, pada 706 M, Umar ditunjuk oleh Khalifah Al-Walid I menjadi Gubernur Madinah. Di masa menjadi gubernur
Madinah inilah tersiar kisah yang amat mahsyur. Dalam sebuah versi dikisahkan, saat Umar berada di ruang kerjanya, sang istri meminta
waktu untuk membicarakan masalah di luar urusan pemerintahan. Tentu saja, istrinya dipersilakan masuk, tetapi ia meminta istrinya
untuk mengganti lampu yang digunakannya dengan lampu miliknya sendiri. “Kita tak boleh menggunakan lampu yang dibiayai dari
baitul mal untuk kepentingan pribadi kita,” katanya kepada istrinya.
Setelah Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik [Al-Walid II] wafat, ia ditunjuk sebagai khalifah. Meski Umar enggan
menerimanya, semua rakyat sepakat dan berbai’at kepadanya. Pada hari kedua setelah dilantik dan setelah menyampaikan khotbah
umum, ia pulang sambil menangis dan ditegur istrinya, “Apa yang engkau tangiskan?” Ia menjawab, “Wahai istriku, aku sedang diuji
dengan jabatan ini. Aku teringat pada orang-orang yang miskin, janda, anak-anak, yang rezekinya sedikit. Aku tahu, di akhirat kelak
mereka akan menuntutku, dan aku takut tak bisa menjawab tuntutan mereka, karena yang menjadi pembelanya adalah Rasulullah Saw.”
Mendengar jawaban itu, istrinya pun ikut menangis. Sebuah hikayat yang patut diteladani para pemimpin dan kita semua.