Professional Documents
Culture Documents
Nur Rizkha M
Klast : 1 Tp.A
No:28
Rabu, 15Juli 2010 - Ini merupakan terjemahan laporan penelitian ilmiah di bidang
biologi.
Sumber : Evolution and Development, Vol. 5, No. 1, January–February 2003
halaman 25 – 33
Sifat yang dipelajari kemudian dapat diukur dalam tiap lingkungan untuk mencirikan
pola respon fenotipik (di istilahkan sebagai norma reaksi) untuk tiap individu genetik.
Studi plastisitas bermakna secara ekologis dirancang untuk menguji genotipe dalam
sebuah jangkauan lingkungan berdasarkan variasi yang terjadi secara alami dan
berfokus pada ciri fenotipik yang berfungsi penting dan karenanya kebugaran dalam
lingkungan tersebut. Kekayaan terbesar data plastisitas demikian tersedia pada
tanaman, yang secara umum dipandang ideal untuk studi demikian karena mereka
siap menghasilkan replikat genotipik dan dapat ditumbuhkan dalam beragam
lingkungan eksperimental. Walau begitu, semua organisme menunjukkan derajat
respon fenotipe terhadap lingkungan. Studi terbaru telah mendokumentasikan
plastisitas perkembangan dan juga plastisitas fisiologis maupun perilaku pada amfibi,
reptil, burung, invertebrata laut dan air tawar, serangga, mamalia dan bahkan lumut
kerak (referensi dalam Sultan 2000; Gilbert 2001; lihat juga Barata et al. 2001;
Griffith-Simon dan Sheldon 2001; Hammond et al. 2001; Negovetic dan Jokela 2001;
Jordan dan Snell 2002; Relyea 2002).
Walau ahli biologi selalu sadar kalau perkembangan organisme berbeda dalam
kondisi yang berbeda ppula, efek lingkungan pada fenotipe sebelumnya dipandang
sebagai “derau” tanpa informasi yang mengaburkan ekspresi “Sejati” dari genotipe
(Allen 1979; Sultan 1992; Schlichting dan Pigliucci 1998). Pada tanaman, misalnya,
individu yang menghadapi tingkat sumber daya rendah tidak dapat dihindari akan
tumbuh lebih sedikit – faktanya, efek ketersediaan sumber daya pada fenotipe
tanaman begitu luas sehingga ahli botani neo-Darwinian sering frustasi dalam usaha
mereka memahami adaptasi lokal berbasis genetik lewat “Derau lingkungan” ini
(Stebbins 1980; Pianka 1988). Hal ini membuat mereka melihat pada aspek yang jauh
lebih menarik dari respon plastis pada variasi lingkungan : Fakta kalau respon
fenotipik pada lingkungan berbeda dapat juga memuat penyetelan perkembangan,
fisiologis dan reproduktif berbeda yang memperkaya fungsi dalam lingkungan
tersebut (Bradshaw 1965; Travis 1994; Schmitt et al. 1999; Sultan 2000; dan
referensinya). Kapasitas untuk respon lingkungan yang pantas secara fungsional dan
spesifik ini disebut plastisitas adaptif, dan berbeda dari efek yang tidak dapat
dihindari dari keterbatasan sumber daya dan lingkungan sub optimal lainnya pada
ekspresi fenotipik (Sultan 1995).
Baik aspek yang tak terhindari maupun yang adaptif dari plastisitas perkembangan
adalah mendasar bagi perkembangan ekologis, karena mereka mempengaruhi
keberhasilan organisme dalam konteks alami. Walau begitu, plastisitas adaptif
fungsional adalah khusus karena ia mengizinkan genotipe individual untuk berhasil
tumbuh dan bereproduksi dalam beberapa lingkungan yang berbeda. Akibatnya,
plastisitas demikian dapat berperan penting baik dalam distribusi ekologis organisme
maupun pola keanekaragaman evolusi mereka. Taksa yang memuat genotipe plastis
secara adaptif dapat menghuni beragam kondisi lingkungan; banyak spesies generalis
yang tersebar luas menunjukkan sifat ini (Baker 1974; Oliva et al. 1993). Plastisitas
adaptif dapat pula menyumbang secara khusus pada invasifitas spesies dengan
memungkinkan kolonisasi cepat beragam habitat baru tanpa perlu melakukan seleksi
lokal (Williams et al. 1995). Akhirnya, plastisitas individual dapat mempengaruhi
pola keanekaragaman evolusi pada tahap populasi (dan puncaknya pada spesies)
dengan mencegah divergensi selektif dalam lokasi yang berbeda secara lingkungan
(Sultan dan Spencer 2002).
Seperti produk evolusi lainnya, norma reaksi genotipik dibentuk oleh sejarah
filogenetik dan kendala genetik (Scheiner 1993; DeWitt et al. 1998; Schlichting and
Pigliucci 1998). Akibatnya, spesies dan bahkan populasi dapat menunjukkan pola
plastisitas individu yang berbeda dan kapasitas yang berbeda pula dalam respon
lingkungan adaptif. Kita baru saja mulai belajar bagaimana respon plastis dapat
berbeda pada individual dari taksa terkait dan memahami konsekuensi ekologis dan
berarti evolusioner dari perbedaan ini. Disini saya menyajikan sebuah studi kasus
plastisitas fenotipik dalam sekelompok spesies tanaman tahunan kon-generik sebagai
contoh pendekatan perkembangan ekologis dan pandangan yang diberikannya pada
organisme di “dunia nyata”. Keempat spesies dalam sistem ini, anggota dari sebuah
bagian monofiletik dalam genus Polygonum, diperkenalkan di Amerika Utara dimana
mereka memiliki jangkauan geografis bersama selama banyak generasi (Sultan 2001
dan referensinya). Dalam daerah bersama ini, Polygonum persicaria ditemukan
dalam beraneka ragam habitat, sementara P. lapathifolium, P. cespitosum, dan P.
hydropiper menghuni jangkauan yang terbatas oleh kondisi cahaya, kelembaban
tanah dan/atau nutrisi makro di lapangan (lihat Sultan et al. 1998 untuk data distribusi
lengkap). Saya menarik hasil dari sederetan percobaan pertumbuhan terkendali pada
genotipe klon dan anakan dari spesies ini, dirancang untuk menemukan pola
plastisitas individual untuk aspek penting secara ekologis dari perkembangan pada
faktor lingkungan kunci ini. Ada dua pandangan dari studi kasus ini. pertama, data
plastisitas menawarkan pandangan yang lebih lengkap dan kompleks dari
perkembangan dengan mengungkapkan beragam kapasitas respon lingkungan dari
genotipe individual. Kedua, mereka menunjukkan bagaimana pola respon individual
ini mempengaruhi persebaran lingkungan spesies di lapangan dan dengan demikian
kelebaran ekologis relatif mereka.
PLASTISITAS ALOKASIONAL
Salah satu aspek penting secara ekologis dan labil secara lingkungan dari
perkembangan tanaman adalah proporsi biomassa yang dialokasikan untuk beragam
jaringan berbeda secara fungsional seperti akar, daun, batang, dan struktur reproduksi
(Bazzaz 1996). Dengan menyetel proporsi jaringan daun pemanen cahaya versus
jaringan akar pengumpul mineral dan air, plastisitas alokasional ini dapat
memungkinkan tanaman secara adaptif memperbesar akses pada sumber daya tertentu
yang terbatas. Sebagai contoh, dalam merespon pada ketersediaan cahaya yang
sedikit, tanaman yang identik secara genetik dari P. persicaria secara tajam
meningkatkan proporsi jaringan mereka yang dialokasikan ke daun (Gbr. 1a), secara
efektif memaksimalkan luas permukaan daun untuk menangkap foton dalam kondisi
kepadatan fluks foton yang rendah (Chapin et al. 1987). Dengan demikian, walaupun
tanaman tumbuh pada tingkat cahaya yang moderat dan sangat rendah menghasilkan
lebih sedikit biomassa total, ingsutan perkembangan ini meningkatkan efektivitas
fotosintetis pada tiap gram biomassa tersebut sehingga menghasilkan pertumbuhan
dan reproduksi yang berhasil walaupun cahaya terbatas (Gross 1989; Sultan dan
Bazzaz 1993). Begitu pula, kapasitas tipe plastisitas alokasional ini dapat
memberikan kemampuan spesies untuk tinggal di beragam habitat cahaya di lapangan
dari lokasi terbuka hingga berbayang (Sultan et al. 1998). Sebaliknya, P. hydropiper,
sebuah spesies yang terbatas secara konsisten pada daerah cahaya tinggi,
menunjukkan plastisitas jauh lebih terbatas pada sifat adaptif bayangan ini. Dalam
sebuah eksperimen komparatif menggunakan jalur anakan yang ditarik dari sebuah
sampel dari lima populasi dari tiap spesies, tanaman P. hydropiper tumbuh pada
cahaya rendah meningkatkan alokasi daun 52%, dibandingkan dengan peningkatan
rata-rata 115% pada tanaman P. persicaria (Gbr. 1b). Perhatikan bahwa alokasi
proporsional pada daun dalam spesies-spesies ini identik pada kondisi cahaya tinggi :
Perbedaan antara spesies bukan dalam alokasi daun mereka secara umum namun
kapasitas respon plastis yang pantas pada tantangan tertentu dari intensitas cahaya
rendah. Adalah penting untuk dicatat kalau perubahan alokasi daun ini bukanlah
semacam fenotipe terinduksi stress yang diperumum tapi terjadi secara spesifik dalam
merespon cahaya rendah. Sebagai contoh, tanaman dari kedua spesies merespon pada
tingkat makronutrisi rendah dengan sedikit menurunkan alokasi daun. Ini tepat karena
spesifisitas sumber daya mereka yang mempolakan plastisitas untuk sifat penting
secara fungsional yang dapat membentuk distribusi lingkungan dari spesies dengan
cara yang sangat spesifik.
Gbr. 1. Plastisitas alokasi biomassa pada jaringan daun dalam merespon pada tingkat
cahaya yang kontras. (a) Norma reaksi individual ditunjukkan untuk 10 genotipe
Polygonum persicaria yang ditanam dalam tiga perlakuan cahaya rumah kaca : tinggi
(100%), moderat (37%), dan rendah (8%) dari radiasi aktif fotosintesis tengah musim
panas (Photosynthetically Active Radiation - PAR). Alokasi biomassa proporsional
pada daun dihitung untuk tanaman yang sepenuhnya dewasa sebagai biomassa daun
dibagi biomassa tanaman total (jumlah biomassa daun, akar, batang, dukungan
reproduksi dan jaringan reproduksi). Titik data menunjukkan rata-rata enam replikat
klonal per genotip dalam tiap perlakuan; efek tingkat cahaya pada alokasi daun
signifikan pada P ? 0.000 (menurut F-test univariat diikuti analisis varian multivariat
untuk alokasi biomassa total). (Digambar ulang dari Sultan dan Bazzaz 1993.) (b)
Norma reaksi rata-rata (±2 SEs) ditunjukkan untuk Polygonum persicaria dan P.
hydropiper, berdasarkan pada enam replikat per jalur dari delapan jalur anakan per
spesies ditanam dalam masing-masing dari dua perlakuan cahaya rumah kaca yang
mendapatkan, secara berurutan. 15% dan 100% PAR tengah musim panas (detil
perlakuan dalam Sultan 2001). Respon spesies berbeda secara signifikan, menurut
sebuah F-test univariat untuk efek interaksi spesies ? cahaya pada alokasi daun (P?
0.000) mengikuti analisis varian multivariat untuk alokasi biomassa total. (Dari S. E.
Sultan dan A. M. Wilczek, data tidak diterbitkan.)
Aspek penting kedua secara ekologis dari plastisitas alokasional pada tanaman adalah
peningkatan alokasi biomassa pada jaringan akar dalam merespon keterbatasan
sumber daya tanah, seperti air atau nutrisi mineral. Dengan meningkatkan ukuran
relatif sistem akar dan dengan demikian luas permukaan penyerapan, tanaman dapat
memperkuat ketersediaan sumber daya tanah ini (Fitter 1994; Rodrigues et al. 1995).
Spesies tahunan Polygonum juga berbeda dalam aspek plastisitas adaptif ini dalam
hal hubungannya dengan distribusi lapangan. Bell dan Sultan (1999) menguji respon
alokasi pada perlakuan kelembaban tanah eksperimental pada genotipe anakan dari P.
persicaria, sebuah generalis kelembaban yang muncul pada tanah yang sangat kering
hingga tanah yang dibanjiri, dan P. cespitosum, sebuah spesies yang berdistribusi
bayangan terbatas pada tanah lembab (Sultan et al. 1998). Tanaman pada kedua
spesies meningkatkan alokasi biomassa proporsional ke akar dalam tanah
memungkinkan untuk mengeringkan, dibandingkan tanaman dalam perlakuan
kelembaban yang konstan (Gbr. 2). Sekali lagi, walau begitu, tanaman yang lebih
toleran secara lingkungan P. persicaria menunjukkan plastisitas alokasional yang
lebih besar, dalam kasus ini meningkatkan alokasi akar secara signifikan pada
perlakuan tanah kering (peningkatan 58% vs. 48% ; Gbr. 2).
Eksperimen ini juga memeriksa aspek yang lebih halus namun sama pentingnya dari
respon plastis pada kondisi tanah : kemampuan tanaman untuk mendistribusi ulang
sistem akar mereka secara spasial (lewat penyetelan jumlah secara lokal) untuk
menjejak perubahan seiring waktu dalam alokasi sumber daya tanah dan karenanya
memaksimalkan pengumpulan makanan di tanah secara efektif (Caldwell 1994 dan
referensinya). Dalam kondisi yang beragam secara temporal yang menuntut jenis
respon plastis dinamis ini, penentuan waktu dan juga besarnya respon bersifat kritis.
Karena respon adaptif cepat pada perubahan lingkungan mendasar bagi perubahan ini
di alam, perbedaan dalam aspek dinamis plastisitas perkembangan dapat
mempengaruhi distribusi spesies secara ekologis lewat cara yang penting.
Pada studi Polygonum, kami menguji respon akar dinamis pada perubahan spasial
dalam ketersediaan embun tanah dengan menumbuhkan tanaman replikat anakan dari
kedua spesies dalam kontainer Plexiglas datar yang memungkinkan kami memonitor
distribusi spasial akar dalam beragam lapisan tanah sepanjang waktu (Bell dan Sultan
1999). Dalam satu perlakuan, pada awalnya lapisan tanah atas yang lembab dibiarkan
menjadi semakin kering, sementara kelembaban dipasok hanya pada lapisan paling
bawah. Dalam merespon perubahan dalam lokasi air yang tersedia ini, tanaman P.
persicaria dengan cepat dan terus mengirim akarnya ke lapisan tanah bawah yang
lembab dan semakin mengurangi proporsi sistem akar mereka pada lapisan atas yang
kering (Gbr. 3). Tanaman Polygonum cespitosum menunjukkan tipe penyebaran
adaptif yang sama, namun lebih lambat dan kurang jelas (Gbr. 3). Sebagai hasilnya,
setelah 8 minggu pertumbuhan dalam perlakuan tanah kering-bawah ini, tanaman P.
persicaria telah mengirim rata-rata 65% sistem akar mereka ke lapisan tanah
terbawah dimana air tetap tersedia, dibandingkan dengan 44% pada P. cespitosum
(Gbr. 3). Tanaman P. persicaria menunjukkan sebuah kapasitas pengiriman cepat
akar yang sama untuk melacak perubahan spasial dalam ketersedian sumber daya
tanah kritis kedua, oksigen, dalam merespon pada pembanjiran tanah. Dalam kasus
ini, individual P. persicaria dengan cepat dan dramatis meningkatkan pengiriman
akar pada lapisan antarmuka tanah-udara, sebuah cara kunci tanaman yang dibanjiri
untuk mempertahankan pasokan oksigen saat pori-pori tanah terisi air (Etherington
1984; Blom and Voesenek 1996). Tanaman P. cespitosum menunjukkan pengiriman
yang lebih lambat dan kurang jelas pada permukaan tanah dalam merespon
pembanjiran dan menderita 40% pengurangan pertumbuhan total dibandingkan
dengan hanya 10% pengurangan pada tanaman P. persicaria yang dibanjiri (Bell dan
Sultan 1999). Ingat bahwa di alam, hanya P. persicaria yang menghuni lokasi yang
menjadi subjek banjir maupun kekeringan (Sultan et al. 1998). Karenanya, perbedaan
spesies ini dalam penentuan waktu respon plastis penting secara ekologis, dan juga
besaran respon tersebut, dapat mempengaruhi toleransi lingkungan mereka dan
karenanya distribusi real mereka di lapangan.
Gbr. 3. Mengkontraskan pola plastisitas dinamis untuk pengiriman akar vertikal pada
Polygonum persicaria dan P. cespitosum. Pola pengiriman akar rata-rata sepanjang
waktu dari 10 jalur anakan per spesies dalam perlakuan tanah kering (satu replikat per
jalur). Persentase tiap sistem akar tanaman berada dalam tiap tujuh lapisan tanah dari
puncak wadah hingga ke dasar wadah dihitung dari pelacakan sistem akar mingguan
secara digital. Pada minggu ketiga eksperimen, embun tersedia hanya pada lapisan
lima hingga tujuh dari wadah perlakuan kering. Spesies berbeda secara signifikan
dalam penentuan waktu dan jumlah akhir pengiriman akar pada lapisan tanah lembab
ini dan pada reduksi sistem akar dalam lapisan tanah paling atas yang kering (efek
interaksi spesies ? minggu pada proporsi akar dalam lapisan tanah atas dan bawah
signifikan pada P ? 0.05 dan P ? 0.02, secara berurutan, berdasarkan analisis varian
multivariat berulang dan bersangkar untuk pengiriman akar vertikal). (Dari Bell dan
Sultan 1999.)
Secara umum, perbedaan dalam penentuan waktu respon perkembangan plastis dapat
mempengaruhi persebaran ekologis dalam cara yang penting. Sebagai contoh, sebuah
untai intoleran-banjir dari padi panen ditemukan berbeda dengan leluhur liar toleran
banjirnya bukan dalam kemampuannya untuk secara adaptif meninggi dalam respon
pada tenggelamnya pucuk, seperti dianggap sebelumnya, namun dalam waktu tunda
peninggian setelah rangsangan penenggelaman awal. dalam genotipe padi panen,
pucuk meninggi sama besar, namun ia melakukannya terlalu lama untuk memastikan
kelangsungan hidup saat banjir terjadi di awal siklus kehidupan (Eiguchi et al. 1993).
Penentuan waktu peninggian pucuk dalam merespon pada penaungan juga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan kebugaran tanaman, tergantung pada identitas dan
karakteristik peninggian dari spesies yang muncul bersama berkompetisi untuk
cahaya (Weinig 2000). Secara umum, saat kondisi lingkungan bergejolak tak
teramalkan, taksa yang menunjukkan waktu tunda yang panjang untuk sifat plastis
yang penting secara fungsional akan tidak mampu secara akurat mencocokkan respon
mereka dengan permintaan lingkungan (Kingsolver and Huey 1998; Tufto 2000).
Spesies dapat pula berbeda dalam derajat dimana individual merubah penentuan
waktu ontogenetik dalam merespon kondisi lingkungan, langsung mempengaruhi
keberhasilan fungsional dan reproduksi (lihat Plastisitas Reproduktif dan Lintas
Generasi, dibawah).
PLASTISITAS MORFOLOGIS
Sebagai tambahan pada penyetelan spesifik spesies dalam ukuran daun, tanaman
berbayang juga menunjukkan plastisitas pengembangan pada ketebalan daun,
mencerminkan perubahan anatomis dan ultrastruktur yang memperbesar efisiensi
penangkapan cahaya dari jaringan daun dalam kondisi kepadatan fluks foton rendah
(referensi dalam Sultan dan Bazzaz 1993; Ryser dan Eek 2000). Sungguh,
peningkatan induksi bayangan dalam daerah spesifik daun adalah salah satu aspek
paling terkenal dan universal dari plastisitas morfogenetik tanaman (Björkman 1980;
Fitter dan Hay 2002).
Tipe analogi plastisitas morfogenetik terjadi pada sistem akar. Tanaman dapat
menurunkan diameter akar saat tumbuh dalam kondisi kelembaban atau nutrisi
terbatas, yang secara efektif meningkatkan panjang dan dengan demikian luas
permukaan akar untuk asupan sumber daya per gram jaringan yang di investasi (Fitter
dan Hay 2002; Ryser dan Eek 2000). Sistem akar dari tanaman yang dibanjiri
menunjukkan salah satu dari beberapa penyetelan plastis adaptif, termasuk produksi
sistem akar superfisial sangat halus yang berada pada antar muka tanah-udara (Blom
dan Voesenek 1996) dan pembentukan jaringan aerenkim yang memuat lacunae besar
berisi udara yang memungkinkan oksigen mencapai bagian tenggelam tanaman
(Blom et al. 1994). Plastisitas morfologis pada organ tanaman dengan demikian
mencerminkan perubahan plastis pada sifat anatomis yang ada di baliknya (Dubé dan
Morisset 1996; Cordell et al. 1998). Pada level keseluruhan tanaman, perubahan
terinduksi lingkungan pada inisiasi meristem dan nasib, begitu juga ukuran dan
struktur organ dan cabang, dapat membawa pada perubahan plastis dalam arsitektur
(Wu dan Stettler 1998; Huber et al. 1999).
PLASTISITAS REPRODUKSI DAN LINTAS GENERASI
Sebagai tambahan pada aspek plastisitas yang penting secara fungsional, persebaran
ekologis dipengaruhi oleh penyetelan perkembangan sifat yang secara langsung
mempengaruhi keberhasilan reproduksi dalam beragam lingkungan. Sifat ini
termasuk penentuan waktu reproduksi, alokasi biomassa untuk reproduksi, hasil
reproduksi total, dan ukuran dan kualitas keturunan. Perbedaan dalam aspek
plastisitas ini mempengaruhi kemampuan beragam taksa untuk mempertahankan
reproduksi dalam kondisi tertekan dalam sumber daya yang minim dan/atau untuk
memaksimalkan hasil reproduksi dalam kondisi menguntungkan, kedua unsur penting
dalam kelebaran ekologis (Ford dan Siegal 1989; Travis 1994; Sultan 2001). Kami
menguju aspek terkait kebugaran plastisitas perkembangan ini pada sistem
Polygonum lewat sebuah eksperimen multifaktor yang besar, dimana replikat tiap
jalur anakan dari keempat spesies ditumbuhkan dalam semua kombinasi cahaya
tinggi dan rendah, makronutrisi melimpah dan minim, dan tanah kering, lembab dan
banjir. Seperti dengan sifat fungsional yang dibahas di atas, spesies Polygonum
berbeda dalam pola plastisitas reproduktif yang dapat menjelaskan distribusi
lingkungan mereka yang kontras.
Dengan melihat pada penentuan waktu reproduksi, spesies Polygonum berbeda dalam
keluasan dimana tanaman menunda reproduksi saat dihadapkan pada tekanan
lingkungan tertentu, dibandingkan dengan tanaman dalam kondisi menguntungkan.
Spesies yang menunjukkan penundaan terinduksi stress tersebut dapat tidak mampu
mempertahankan populasi di habitat dimana kondisi stress tersebut terjadi. Sebagai
contoh, tanaman P. lapathifolium (sebuah spesies yang tidak muncul dalam habitat
berbayang) menunjukkan penundaan yang sangat panjang dan akibatnya reproduksi
yang sangat menurun dalam perlakuan cahaya rendah, dibandingkan dengan
kongener yang toleran bayangan yang mempertahankan reproduksi cepat walaupun
ketersediaan cahaya terbatas (Sultan 2001). Begitu juga, dalam spesies tertentu yang
diinduksi secara lingkungan merubah penentuan waktu reproduksi bersifat adaptif,
seperti pada kasus tanaman Mimulus yang berbunga lebih awal saat mendapat stress
(Galloway 1995). Plastisitas ontogenetik dapat pula memuat perubahan adaptif dalam
ekspresi seks : Sebagai contoh, tanaman Solanum hirtum menyetel proporsi staminat
(jantan fungsional) versus bunga hermafrodit tergantung pada status sumber daya
mereka (Diggle 1994).
Walau pada batas tertentu pengaruh negatif stress lingkungan pada reproduksi total
tidak dapat dihindari, besaran efek negatif tersebut, dan keluasan dimana mereka
dapat dihindari keseluruhannya, akan tergantung pada beberapa aspek plastisitas
adaptif sepertinya beragam tergantung spesies : respon pada sifat fungsional yang
mempengaruhi pertumbuhan dan biomassa total tanaman, bersama dengan perubahan
positif versus negatif dalam alokasi reproduktif.
Pola rumit plastisitas untuk hasil reproduksi ini dapat mempengaruhi kemampuan
spesies untuk mempertahankan populasi yang ada dalam beragam kombinasi stress
sumber daya di lapangan dan karenanya besar kemungkinannya akan mempengaruhi
distribusi ekologis dalam cara spesifik (Sultan 2001).
KESIMPULAN
Di dunia nyata, perkembangan organisme (seperti aspek lain dari fenotipe mereka,
seperti fisiologi dan perilaku) dibentuk dan dimodulasi dalam respon pada
lingkungan. Variasi dalam ekspresi fenotipik ini memiliki konsekuensi ekologis
besar, yang hingga kini telah dipelajari dengan baik pada tanaman. Respon
perkembangan tanaman penting secara ekologis pada lingkungan termasuk
penyetelan spesifikpada alokasi jaringan proporsional, morfologi dan anatomi yang
bersesuaian, sifat dinamis seperti pengiriman akar dan ontogeni, komponen
reproduksi, dan efek lintas generasi pada sifat keturunan. Tentu saja, organisme
adalah sistem perkembangan terintegrasi,dan respon-respon ini tidak independen.
Sebuah stress lingkungan tertentu dapat memicu sekumpulan perubahan plastis yang
memuat beberapa aspek perkembangan, seperti “sindrom penghindaran bayangan”
(Smith dan Whitelam 1997), yang memuat alokasi yang diubah, peninggian batang,
pengurangan ranting, dan percepatan reproduksi.
Lebih jauh, plastisitas ditunjukkan awal dalam ontogeni dapat menjadi kendala
plastisitas perkembangan untuk aspek lain fenotipe pada waktu mendatang selama
hidup (Weinig dan Delph 2001).
Karena itu, perbedaan antara taksa dalam pola plastisitas perkembangan dapat
menjadi sebuah aspek penting dari keanekaragaman adaptif yang menyumbang pada
kesempitan atau kelebaran ekologis mereka.
Saya berterima kasih pada Scott Gilbert dan Jessica Bolker karena mengadakan
simposium SICB dan untuk kesempatan ikut serta didalamnya. Saya juga berterima
kasih pada Scott untuk komentar editorial pada naskah. Penelitian yang dikutip
didukung oleh program biologi populasi National Science Foundation, G. Harold and
Leila Y. Mathers Foundation, Program Pelestarian dan Lingkungan Andrew W.
Mellon Foundation dan beasiswa dari Howard Hughes Institute dan Wesleyan
University.
REFERENSI
Allen, G. E. 1979. Naturalists and experimentalists: the genotype and the phenotype.
In W. Coleman and C. Limoges (eds.). Studies in the History of Biology. Vol. 3.
Johns Hopkins Press, Baltimore, pp. 179–209.
Baker, H. G. 1974. The evolution of weeds. Annu. Rev. Ecol. Syst. 5: 1–24.
Bell, D. L., and Sultan, S. E. 1999. Dynamic phenotypic plasticity for root growth in
Polygonum: a comparative study. Am. J. Bot. 86: 807–819.