You are on page 1of 10

MALPRAKTIK DAN PELANGGARAN KODE ETIK DI BIDANG

KESEHATAN

OLEH :

ADRIANA BANA

10110026

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SURYA MITRA HUSADA

KEDIRI

2011
Lumpuh Setelah Melahirkan

Sri Wahyuni Handayani, 42 tahun, tak lagi bisa hidup normal. Sebagian tubuhnya tak
berfungsi sejak dia melahirkan anak ketiga, sembilan tahun lalu. Kaki dan tangan kirinya
lumpuh, mata kirinya sedikit juling, dan bicaranya cadel. Sembilan tahun pula Sri absen
"melayani" sang suami, Eko Tjiptartono, 44 tahun. "Ada kekeliruan medis yang membuat istri
saya cacat," kata Eko.

Adalah Hamidun Kosim, dokter kandungan di Rumah Sakit Bersalin Bahagia,


Semarang, yang dituding telah melakukan malpraktek hingga Sri jadi cacat. Kala itu, Juni 1991,
janin di rahim Sri diketahui berbobot ekstraberat yang sulit dilahirkan melalui proses alami. Sri
juga mengalami kesulitan saat melahirkan dua anak terdahulu. Anak pertama pasangan Eko-Sri
lahir melalui bedah caesar pada 1987. Ketika Sri melahirkan anak kedua, pada 1989, dokter juga
memutuskan untuk melakukan bedah caesar. Semua catatan ini, menurut Eko, mestinya
membuat dokter memilih bedah caesar untuk Sri dan bukan persalinan alami seperti yang
diputuskan Hamidun.

Seusai proses kelahiran, keluarga Eko harus menanggung dua musibah. Pertama, bayi
yang lahir dengan bobot 5,2 kilogram itu hanya bertahan hidup selama 26 jam. Musibah kedua,
Sri mengalami pendarahan hebat sehingga harus dilarikan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Rumah Sakit Telogorejo. Tak dinyana, setelah sebulan di ICU, Sri menjadi lumpuh. "Dua tahun
dia hanya tergeletak di ranjang," kata Eko. Kini kadar kelumpuhan Sri sudah berkurang, tapi
masih jauh dari normal.

Sebetulnya, pada 1992, Hamidun sepakat memberikan uang simpati senilai Rp 20 juta
dan mencarikan dokter yang bisa meringankan kelumpuhan. Namun, sampai kini, panduan
mencari dokter tak pernah terwujud. Akhirnya, Eko menggugat Hamidun ke Pengadilan Negeri
Semarang dan menuntut Rp 3,73 miliar untuk ganti rugi fisik dan nonmateriil. Pekan lalu,
gugatan ini memasuki sidang kedua di PN Semarang.

Sementara itu, pihak Hamidun tetap yakin tak ada kekeliruan prosedur persalinan.
Kasus ini, menurut Gunanto, pengacara Hamidun, sudah dibahas Komite Medik Rumah Sakit
Telogorejo dan IDI Cabang Semarang. Hasilnya, tak ditemukan pelanggaran etik dan prosedur
medis.

Menurut Hamidun, risiko yang ditanggung Sri memang bertumpuk. Selain bobot
bayinya ekstrabesar, jarak kehamilan Sri terlalu rapat untuk seorang ibu yang pernah melahirkan
dengan bedah caesar. Kedua faktor ini mengundang datangnya reaksi yang tak diinginkan. Jadi,
Hamidun yakin kemalangan Sri tak ada kaitannya dengan prosedur medis. "Saya tidak mundur
menghadapi gugatan ini," katanya.
Derita Akibat Dokter 'Cuek'

Ini kisah Ratih, bukan nama sebenarnya, yang menuai infeksi berat setelah menjalani
operasi usus buntu di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Timur. Kasus ini sedang dalam proses
mediasi oleh YPKKI sehingga identitas pihak-pihak terkait tidak bisa diungkapkan.

Awalnya, Juli lalu, dokter rumah sakit tersebut--gampangnya kita namai RS Suka
Sehat--mendeteksi Ratih terkena usus buntu akut yang harus dioperasi pukul sembilan pagi
keesokan harinya. Ternyata, saat jadwal operasi tiba, dokter yang bertugas, sebut saja Hari, tak
kunjung datang. Padahal, Ratih yang didera kesakitan ini membutuhkan perawatan cepat. Tiga
jam kemudian, Hari datang dengan sikap--menurut pasien--acuh tak acuh. "Pasien saya kan
bukan cuma Ibu," demikian Ratih menirukan komentar Hari.

Seusai operasi, Dokter Hari bergegas pergi dengan alasan harus mempersiapkan
keberangkatan ke luar negeri. Sial bagi Ratih, operasi itu menjadi satu-satunya saat pertemuan
pasien dan dokter. Hari tak sekali pun memeriksa sampai Ratih diperbolehkan pulang beberapa
hari kemudian. Alhasil, Hari tak pernah tahu bahwa badan Ratih terasa meriang yang jadi
pertanda infeksi.

Seminggu kemudian, saat perban penutup luka dibuka, Ratih terkejut mendapati luka di
perutnya telah bernanah. Luka operasi yang cuma 5 sentimeter melebar sampai ke bagian kanan
perut dan tepi kemaluan. Bersama suaminya, kita sebut saja Andri, Ratih pun segera menemui
Dokter Hari di RS Suka Sehat. Merasa istrinya ditangani secara ceroboh, Andri menuntut
pertanggungjawaban RS Suka Sehat. Namun, Andri tak bisa beradu debat dengan tim dokter
yang menjelaskan kondisi Ratih dengan bahasa kedokteran yang rumit. "Ketimbang ribut, kami
terpaksa mengalah," kata Ratih.

Berdasarkan penjelasan Hari, Ratih mengalami gangren atau pendarahan yang diikuti
infeksi dan pembusukan jaringan. Rupanya, gangren yang terjadi begitu parah sehingga jaringan
kulit atas (epidermis) Ratih terkikis. Ini membuat luka tak bisa sembuh tanpa operasi plastik
untuk menambal kulit (skin graft). Namun, tambal kulit yang dilakukan pada Agustus lalu itu
pun tetap tak menjamin luka parut warisan gangren bakal terhapus.

Dan Ratih tak hanya menanggung cacat parut. Kecerobohan Hari membuat Ratih
merogoh kocek sampai Rp 55 juta--membengkak hampir 20 kali lipat dibandingkan dengan
ongkos operasi usus buntu, yang hanya sekitar Rp 4 juta. Seperti tak putus dirundung malang,
dalam komponen biaya yang ditagihkan rumah sakit kepadanya pun Ratih masih harus
mendapatkan kejanggalan. "Ada biaya transfusi darah. Padahal, saya sama sekali tidak menerima
transfusi," kata Ratih.
Ratih kemudian mengadukan nasibnya kepada YPKKI, yang lantas mengirim surat
permintaan berunding kepada RS Suka Sehat. Namun, sampai berita ini diturunkan, belum ada
tanggapan dari RS Suka Sehat. Menurut Marius Widjajarta, Ketua YPPKI, sorotan utama dalam
kasus ini adalah kelalaian dokter mengontrol pasien pasca-operasi. Kelalaian ini membuat infeksi
merajalela hingga menjadi gangren. Dengan demikian, "Dokter dan rumah sakit harus
bertanggung jawab," kata Marius.
MALPRAKTIK MEDIS

Malpraktik Dalam Bidang Medis

Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice”
yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan
medis buruk yang dilakukan dokter / tenaga kesehatan dalam hubungannya dengan
pasien. Selain pengertian diatas definisi lain dari malparaktik adalah setiap kesalahan profesional
yang diperbuat oleh dokter / tenaga kesehatan pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya,
tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai,
diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama
(Berkhouwer & Vorsman, 1950).

Menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter
karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan
masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih
banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. 

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or


unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering proffesional services to exercise that
degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by
the average prudent reputable member of the proffesion with the result of injury, loss or damage
to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik
dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak
beralasan ( Sampurna, Budi, ).

Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk


pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana
dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien,
pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual,
misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain.

Dalam tata hukum Indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang No.
23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan
dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai
pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari
kandungan hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok
untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang
dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang
dirugikan atas tindakan tersebut.

Menurut Guwandi malpraktik adalah (Guwandi, J. 1994, 18):


a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada penilaian atau
penafsiran. Resiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter atau penyedia layanan
kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi medik dalam arti bekerja
dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan dan juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien
maka resiko tersebut menjadi tanggungjawab pasien. 

Dalam undang-undang hukum perdata disana disebutkan dalam hal tuntutan melanggar
hukum harus terpenuhi syarat sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)
2. Perbuatan itu melanggara hukum
3. Ada kerugian yang ditanggung pasien
4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan
5. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian

Dalam beberapa kasus yang diajukan ke pengadilan masih terdapat kesulitan dalam
menentukan telah terjadi malparaktik atau tidak karena dalam tatanan hukum indonesia belum
diatur mengenai standar profesi dokter / tenaga kesehatan sehingga hakim cenderung berpatokan
pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter / tenaga kesehatan merasa sebagai seorang
profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya :
pencurian atau pembunuhan. Sebagai insan yang berkecimpung di bidang asuransi kita berharap
pemerintah lebih serius untuk mengatur permasalahan tersebut dengan menerbitkan produk
hukum yang mengatur tentang standar profesi. 

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. 
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful
atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai. 
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan
tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur. 
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and
lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum
khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian
pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk .

Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan
bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila
seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan
atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki
kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada
umumnya kelalaian yang dilakukan orang per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya
bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi
empat unsur di bawah ini, yaitu:
a. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk
tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi
yang tertentu.
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian
akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
d. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang
setidaknya merupakan “proximate cause”

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis menurut
World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure
to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or
negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”.

WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik
medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi
saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien tidak
termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik. “An injury occurring in the
course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of
skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the
physician should not bear any liability”. 

Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse events dapat terjadi
sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan dapat pula disebabkan oleh error. Adverse
events akibat errors dianggap dapat dicegah (preventable). Apabila preventable adverse events
tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua unsur kelalaian medis menurut
hukum, sehingga disebut sebagai negligent adverse events.

Suatu adverse events (hasil yang tidak diharapkan) di bidang medik sebenarnya dapat
diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu :
a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis
yang dilakukan dokter.
b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui
sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
(foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable), karena tindakan yang
dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Risiko tersebut harus diinformasikan terlebih
dahulu.
c. Hasil dari suatu kelalaian medik.
d. Hasil dari suatu kesengajaan.

Ungkapan malpraktik medis secara langsung pada kasus klinis dengan outcome yang
tidak diinginkan adalah tidak tepat atau tidak adil (tidak fair). Istilah yang sebenarnya netral
sebelum ada pembuktian adalah adverse clinical incident, adverse event, atau medical accident,
yang umumnya digunakan dalam perpustakaan Inggris (dalam kepustakaan Amerika lebih sering
digunakan kata-kata medical error sejak dini, yang juga tidak netral). 

Adverse clinical incident atau medical accident menggambarkan peristiwa atau kejadian
klinis yang cocok atau yang berlawanan dengan harapan, tanpa menetapkan dulu apa penyebab
kejadian yang tidak diinginkan itu dan siapa yang bersalah. Ini sesuai dengan asas hukum
praduga tak bersalah, sampai kesalahan benar-benar terbukti.

Sedangkan menurut Nugroho Kampono, Ketua Komite Medis RSCM untuk mengurangi
adverse events dan kelalaian medik dapat dilakukan dengan manajemen risiko klinis.
Manajemen risiko klinis adalah suatu proses yang secara sistimatik mengidentifikasi,
mengevaluasi dan mengarahkan kejadian yang berpotensi atau yang telah terjadi suatu risiko
melalui suatu penataan program yang dapat mencegah, mengendalikan dan meminimalkan
kemungkinan risiko.

Manajemen risiko klinis diperlukan untuk :


a. Mengurangi kejadian yang merugikan dan ketidakpuasan dari pasien dan keluarga.
b. Mencegah pengelolaan yang buruk dari dokter dan dokter gigi, pemborosan waktu dan uang.
c. Pencegahan terhadap tuntutan masyarakat dan pertanggungjawaban kelalaian medik.
d. Mencegah publikasi buruk.
e. Membuat dokter dan dokter gigi waspada terhadap akibat tindakannya.
f. Meningkatkan moral dan percaya diri dokter dan dokter gigi dengan membuat RS sadar
keamanan.
g. Menganalisa derajat resiko.
h. Membuat keputusan lebih eksplisit dan berdasarkan norma kebenaran.

Kriteria yang dipergunakan untuk identifikasi risiko dilakukan melalui rekam medis
pasien rawat inap dan pasien instalasi gawat darurat .
Contoh masalah medis yang dibahas:
a. Gagal melakukan monitoring atau tindakan.
b. Terlambat menegakkan diagnosis.
c. Salah menilai resiko .
d. Kehilangan / kekurangan informasi pada saat pemindahan/peralihan ke staf medik lain.
e. Gagal mencatat peralatan yang rusak.
f. Lupa membawa checklist data-data preoperative.
g. Perubahan dari protokol yang telah disepakati.
h. Gagal memberi bantuan bila diperlukan.
i. Mempergunakan protokol yang salah.
j. Pengobatan diberikan pada sisi tubuh yang salah.
k. Pemberian pengobatan yang salah

Ketentuan pengaturan jika terjadi dugaan kelalaian medis dokter dituntut secara pidana
dan atau perdata dapat membuat stress kalangan profesi medis yang disamakan dengan pesakitan
pada ummunya. Hal ini sebenanya juga akan berdampak kepada masyarakat dengan penerapan
“defensive medicine” dan kemungkinan pemeriksaan penunjang yang berlebihan. 

Sebagai perbandingan di New Zealand untuk setiap orang yang terluka /mati termasuk
karena adanya kelalaian medis ganti rugi akan diberikan oleh The Accident Compensation
Corporation (ACC) jadi tidak perlu melalui jalur pengadilan. 

Sedangkan dokter/dokter gigi akan dibawa ke pengadilan jika benar-benar melakukan


tindak pidana misal mencuri uang pasien atau melakukan perbuatan asusila kepada pasien. Jika
terjadi dugaan kelalaian dokter/dokter gigi akan dibawa terlebih dahulu ke Medical Council
dimana di dalamnya terdapat Professional Conduct Committees atau diajukan kepada Health &
Disability Commissioner yang melindungi hak-hak konsumen termasuk pasien. Jika tidak dapat
diselesaikan maka akan diajukan ke NZ Health Practitioners Disciplinary Tribunal dimana
sanksinya pencabutan sementara/tetap registrasinya. Jadi tidak langsung ke Pengadilan
sebagaimana di Indonesia pasien dapat langsung ke Pengadilan tanpa perlu melalui MKDKI
terlebih dahulu., bahkan dokter/dokter gigi dapat digugat ke Pengadilan sekaligus ke MKDKI.

Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa tindak kesengajaan


(professional misconducts) ataupun akibat culpa (kelalaian/ kealpaan) sebagai berikut :
a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian ( Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP, Pasal
361 KUHP )
b. Penganiayaan ( Pasal 351 KUHP ), untuk tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien
( informed consent )
c. Aborsi ( Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal 347 KUHP, Pasal 348
KUHP , Pasal 349 KUHP )
d. Euthanasia ( Pasal 344 KUHP, , Pasal 345 KUHP)
e. Keterangan palsu (Pasal 267-268 KUHP)

Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan
kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik
medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan
pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359
KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau
dokter gigi. 

Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
a. Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
b. Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
c. Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
a. Adanya unsur kelalaian (culpa).
b. Adanya wujud perbuatan tertentu .
c. Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
d. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.

Berbagai kasus malpraktik medis yang diajukan gugatan secara perdata didasarkan pada
ketentuan perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad, tort) yang diatur dalam pasal 1365,
pasal 1366, pasal 1367 KUH Perdata. Berkaitan dengan ganti rugi ini juga diatur dalam pasal 55
UU Kesehatan sebagai berikut :
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan
bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika
kesalahan yang dilakukan sudah demikian jelasnya ( res ipsa loquitur, the thing speaks for itself )
sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada
dokternya.

Namun demikian ada pula masyarakat yang melakukan penyelesaian melalui jalan lain
yang dianggap lebih cepat yaitu melalui mediasi yang dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan
yang bergerak di bidang kesehatan. Masalahnya disini jika dokter/dokter gigi tidak “deal”
membayar ganti rugi maka kasus itu akan dipublikasikan dan dibawa ke pengadilan, sehingga
dokter/dokter gigi yang belum tentu melakukan kelalaian, yang tidak ingin namanya tercemar
dan digugat ke Pengadilan memilih “deal” dalam mediasi tersebut.

RUJUKAN :
Purwanto, 2008, Malpraktik Dalam Bidang Medis, purwanto78.wordpress.com
Anggriani, R, 2009, Penanganan Kasus Malpraktik Medis, muslimpinang.wordpress.com

You might also like