You are on page 1of 27

Oleh: Prof. Dr.

Ikrar Nusa Bhakti


Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
dan Ketua II PP AIPI Periode 2008-2011.

MENJELANG satu tahun usia pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil


Presiden Boediono (SBY-Boediono),beberapa lembaga survei menunjukkan betapa
merosotnya apresiasi publik atas kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, baik dalam
bidang ekonomi, politik dan keamanan, hukum maupun kesejahteraan sosial.

Apresiasi ini lebih buruk dibandingkan dengan penilaian masyarakat pada kurun waktu yang
sama atas KIB I. Bidang politik,hukum,dan keamanan yang menjadi andalan kampanye
pasangan SBY-Boediono kini justru terpuruk. Penilaian masyarakat tersebut belum tentu
semuanya benar.Namun bila kita lihat adanya upaya untuk menggembosi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penerapan hukum yang pilih kasih, tampaknya penilaian
masyarakat tersebut masuk akal.

Contoh paling konkret dari kesenjangan dalam penegakan hukum ialah betapa njomplang
hukuman yang diberikan kepada para koruptor dan terhadap mereka yang masih memiliki
gagasan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tengoklah
misalnya seorang mafia hukum sekaliber Sjahril Djohan hanya dikenai hukuman 18 bulan
penjara potong tahanan.

Bandingkan dengan para penari Cakalele yang membawa bendera Republik Maluku Selatan
(RMS) saat menari di hadapan Presiden SBY beberapa waktu lalu, mereka mendapatkan
“hadiah hukuman” 20 tahun penjara. Tampaknya korupsi bukan dianggap sebagai kejahatan
luar biasa yang bisa menghancurkan negara atau bermotifkan politik, melainkan kejahatan
biasa yang hukumannya tidak berbeda jauh dengan hukuman terhadap seorang nenek yang
memungut tiga buah cokelat yang jatuh dari pohon!

Sementara mereka yang dianggap melakukan gerakan separatisme diganjar hukuman yang
amat berat karena dianggap melakukan tindakan melawan hukum yang terkait dengan politik.
Hukuman yang terlalu berat dan perlakuan yang tidak manusiawi kepada mereka yang
dituduh menjadi pengikut RMS menjadikan gerakan separatisme tersebut tumbuh dengan
subur kembali. Tindakan penyiksaan juga menyebabkan adanya simpati dan dukungan
internasional terhadap mereka yang terhukum ini.

Tak mengherankan bila sebagian kecil pimpinan RMS di negeri Belanda berupaya untuk
memanfaatkan rencana kunjungan Presiden SBY ke Negeri Kincir Angin tersebut untuk
propaganda politik dengan menuntut kepada pengadilan Belanda agar menangkap Presiden
SBY yang dipandang sebagai pelanggar hak asasi manusia.Keputusan Presiden SBY untuk
menunda kunjungan ke Belanda semakin menunjukkan bahwa upaya RMS
menginternasionalisasi gerakannya sukses besar.

Kasus tindakan kekerasan terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota Organisasi Papua
Merdeka (OPM) yang videonya juga ditayangkan di Australia dan beberapa negara di dunia
juga menimbulkan simpati dunia terhadap gerakan tersebut. Manakala kita sedang
membangun suatu kebersamaan di antara sesama anak bangsa, ternyata ada tindakan
semenamena terhadap sesama anak bangsa yang mungkin saja salah langkah.
Tindakan kejam itu justru menumbuhsuburkan kembali gerakan separatisme di Tanah Air.
Kita tidak belajar dari Gerakan Aceh Merdeka yang digagas Hasan Tiro dahulu.Mulanya ia
juga gerakan kecil yang didukung 15–20 orang kerabatnya.Namun karena tindak kekerasan
aparat terhadap mereka begitu masif, jadilah ia gerakan besar yang mendunia. Dalam bulan-
bulan terakhir ini kita juga menyaksikan betapa konflik komunal menggema kembali.
Persoalan terorisme juga muncul kembali.

Untuk mengatasi hal itu, bukan tindakan pencegahan yang dilakukan, melainkan seolah
negara memelihara konflik komunal, premanisme,dan terorisme.Entah kebetulan atau tidak,
apakah itu juga bagian dari skenario besar terkait dengan proyek penanganan terorisme, tetapi
persoalan terorisme selalu muncul saat ada isu politik lain yang sedang terjadi di negeri ini.
Tengok pula bagaimana cara polisi menangani demo mahasiswa di Makassar.

Kita tidak setuju dengan cara-cara demo mahasiswa yang brutal dan sering melawan aparat
keamanan.Namun kita juga tidak setuju dengan cara aparat kepolisian mengatasi demo
mahasiswa di Makassar. Jika cara penanganan terhadap mereka yang dituduh separatis,
teroris, atau terhadap demonstrasi mahasiswa seperti yang kita lihat di tayangan televisi, kita
patut khawatir jangan-jangan lonceng kematian NKRI akan segera berdentang!

Pedulikah para petinggi negara kita atas situasi di lapangan tersebut? Tampaknya mereka
lebih sibuk soal reshuffle kabinet karena itu akan terkena langsung pada diri dan
partainya.Repotnya lagi bila Presiden SBY melakukan reshuffle kabinet bukan atas dasar
merit system, melainkan penjatahan kursi di kabinet bagi partai-partai politik yang menjadi
pendukungnya.

Jika pendekatan politik lebih mengemuka dalam penggantian kabinet, secara sadar atau tidak
para petinggi negeri hanya sibuk dengan bagi-bagi kekuasaan di antara mereka sendiri, bukan
ingin berkarya bagi bangsa. Situasi itu mirip dengan Prancis sebelum revolusi 1770-an ketika
para elite politik dan bangsawan tidak peduli dengan situasi negeri dan melontarkan
semboyan: apres nous le deluge yang artinya biarlah prahara datang setelah kita pergi.

Kendati di era modern ini tidak ada lagi guillotine pemenggal kepala para elite politik yang
merusak negara seperti di Prancis, apakah para elite politik peduli pada masa depan anak
cucu mereka yang juga adalah bagian dari bangsa ini? Kita tak ingin lonceng kematian NKRI
bergema dalam waktu kapan pun.Untuk itulah kita harus mengawal jalannya pemerintahan
negeri ini agar tidak terjadi politik pecah-belah di antara anakanak negeri.(*)

Dimuat di Seputar Indonesia, 19 Oktober 2010

Sebuah renungan…

Dari sebuah blog, saya menemukan rangkaian pepatah bijak tentang makna Sang Waktu…

Untuk memahami makna SATU TAHUN, tanyalah pada siswa yang tidak naik kelas
Untuk memahami makna SATU BULAN, tanyalah pada ibu yang melahirkan bayi prematur
Untuk memahami makna SATU MINGGU, tanyalah pada editor majalah mingguan
Untuk memahami makna SATU HARI, tanyalah pada pekerja dengan gaji harian
Untuk memahami makna SATU JAM, tanyalah pada gadis yang sedang menunggu
kekasihnya
Untuk memahami makna SATU MENIT, tanyalah pada seseorang yang ketinggalan kereta
Untuk memahami makna SATU DETIK, tanyalah pada seseorang yang selamat dari
kecelakaan
Untuk memahami makna SATU MILI DETIK, tanyalah pada pelari peraih medali perak
Olimpiade

Lama dan sebentar, itu adalah pengertian tentang waktu, namun sadarkah kita bahwa waktu
terus berlalu?

Kehidupan berjalan terus beriringan dengan Sang Waktu. Sudahkah kita menggunakan waktu
yang kita miliki untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat?

PERSAMAAN MENGENAI APA?*


Amartya Sen
Diskusi filsafat moral memberikan kita pilihan yang luas dalam menjawab
pertanyaan: persamaan mengenai apa? Dalam kuliah ini, saya akan memusatkan
perhatian pada tiga tipe khusus persamaan, (i) persamaan utilitarian, (ii) persamaan
utilitas total dan (iii) persamaan Rawlsian. Saya akan membuktikan bahwa ketiga
teori ini memiliki kelemahan serius, dan sementara ketiganya gagal dalam cara yang
agak berbeda dan kontras, sebuah teori yang memadai tidak dapat disusun bahkan
dengan cara menggabungkan ketiganya. Pada akhir bab, saya akan berusaha
menyajikan rumusan alternatif persamaan yang menurut saya berhak mendapatkan
lebih banyak perhatian, dibandingkan dengan yang telah diterimanya, dan saya tidak
akan berhenti untuk melakukan sejumlah propaganda atas nama rumusan alternatif
persamaan ini.
Pertama adalah pertanyaan metodologis: ketika dikatakan bahwa prinsip
moral tertentu memiliki keterbatasan, apa yang dapat menjadi dasar dari dugaan
semacam ini? Nampaknya, paling tidak, terdapat dua cara yang berbeda untuk
mendasari kritik semacam ini, terlepas dari hanya memeriksa pengaruh langsungnya
terhadap intuisi moral. Pertama adalah dengan mengambil kasus khusus yang hasil
dari penerapan prinsip tersebut dapat dilihat dengan cara yang agak jelas, lalu
meneliti implikasinya terhadap intuisi kita. Saya menyebut kritik semacam ini
sebagai ‘kritik implikasi kasus’ (case–implication critique). Kedua adalah dengan
bergerak bukan dari umum ke khusus, tetapi dari umum ke lebih umum. Orang
dapat memeriksa konsistensi satu prinsip dengan prinsip lainnya yang diakui lebih
fundamental.
Kedua prinsip di atas biasanya diformulasikan pada tingkat yang agak
abstrak dan seringkali mengambil bentuk yang sebangun dengan sejumlah prosedur
umum. Misalnya, apa yang secara masuk akal dapat diasumsikan dari memilih
dengan ‘pengandaian’ ketidaktahuan ‘posisi asali’ Rawlsian, sebuah keadaan
primodial hipotetis ketika orang memutuskan peraturan apa yang diadopsi tanpa
mengetahui mereka akan menjadi apa, seolah-olah mereka bisa menjadi salah satu di
antara orang dalam masyarakat1. Atau aturan apa yang akan memuaskan persyaratan
Richard Hare tentang “universalisabilitas” dan yang akan konsisten dengan
“memberikan bobot yang sama kepada kepentingan yang sama untuk pengisi semua
peranan”2. Saya akan menyebut kritik yang didasarkan pada pendekatan semacam
itu sebagai ‘kritik prinsip sebelumnya’ (prior–principle critique). Kedua pendekatan
ini dapat dipergunakan dalam menilai klaim moral setiap tipe persamaan dan
memang akan dipergunakan di sini.
* Diterjemahkan oleh Agus Wahyudi dari Amartya Sen, “Equality of What?”, Contemporary Political
Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds), Oxford, Blackwell, 1997, pp.
476-486
1 Rawl, A Theory of Justice (Cambridge: Haward University Press, 1971), PP. 17-22. Lihat pula W.
Vickrey, “Measuring Marginal Utility by Reactions to Risk,” Econometrica 13 (1945), dan J.C.
Harsanyi, “Cardinal Welfare Industrialistic Ethics, and Interpersonal Comparisons of Utility,”
Journal of Political economy 63 (1955).
2 R.M. Hare, The Language of Morals (Oxford: Clarendon Press, 1952); “Ethical Theory and
Utilitarianism,” dalam H.D. Lewis (ed.), Contemporary British Philosophy (London: Allen dan
Unwin, 1976), pp. 116-17.
2
I. Persamaan Utilitarian
Persamaan utilitarian merupakan persamaan yang kemungkinan diturunkan
dari konsep kebaikan utilitarian yang diterapkan pada masalah distribusi. Kasus
paling sederhana barangkali adalah “masalah distribusi murni”: masalah pembagian
sebuah kue serbasama yang telah tersedia diantara kelompok orang 3. Setiap orang
mendapatkan lebih banyak utilitas jika kue yang menjadi bagiannya lebih besar, dan
hanya mendapatkan utilitas dari bagiannya atas kue; utilitas seseorang meningkat
pada tingkat yang semakin berkurang seiring peningkatan jumlah bagiannya. Tujuan
utilitarian adalah memaksimalkan jumlah total utilitas terlepas dari distribusi, tetapi
hal ini membutuhkan persamaan dari utilitas marginal setiap orang: utilitas marginal
merupakan utilitas tambahan yang akan didapatkan setiap orang dari unit tambahan
kue tersebut4. Menurut salah satu interpretasi, persamaan utilitas marginal ini
mengandung perlakuan yang sama terhadap kepentingan setiap orang 5.
Posisi tersebut sedikit lebih rumit bila ukuran total kue tidak bebas dari
pengaruh distribusinya. Akan tetapi kemudian, maksimalisasi jumlah utilitas total
mensyaratkan bahwa transfer dikembangkan dengan maksud bahwa perolehan
utilitas marginal dari mereka yang mendapatkannya sebanding dengan kehilangan
utilitas marginal dari mereka yang tidak mendapatkannya, setelah
mempertimbangkan pengaruh transfer pada ukuran dan distribusi kue tersebut 6.
Dalam konteks yang lebih luas inilah tipe khusus persamaan yang dipaksakan oleh
utilitarianisme menjadi terbedakan secara tegas. Richard Hare telah menyatakan
bahwa “memberikan bobot yang sama terhadap berbagai kepentingan yang sama
dari semua pihak” akan “mengarahkan pada utilitarinisme” sehingga memuaskan
persyaratan prinsip sebelumnya (prior–principle) akan universalizabilitas7. Mirip
dengan ini, John Harsanyi menolak sama sekali gagasan non-utilitarian (termasuk
kuliah ini--harus segera saya tambahkan), dengan mengklaim utilitarianisme
memiliki kemampuan eksklusif untuk menghindari “diskriminasi tidak fair” antara
3 Saya telah mencoba menggunakan format ini untuk perbedaan aksiomatik antara kriteria Rawlsian
dan kriteria Utilitarian dalam “Rawls Versus Bentham: An Axiomatic Examination of the Pure
Distribution Problem,” dalam Theory and Decision 4 (1974); dicetak ulang dalam N. Daniels (ed.),
Reading Rawls (Oxford: Blackwell, 1975). Lihat pula L. Kern, “Comparative Distribive Ethics; An
Extention of Sen’s Examination of the Pure Distribution Problem,” dalam H.W. Gottinger dan W.
Leinfellner (eds), Decision Theory and Social Ethics (Dordrecht: Reidel, 1978), dan J.P. Griffin,
“Equality: On Sen’s Equity Axiom,” Keble College, Oxford, 1978, dalam bentuk stensil.
4 Kondisi persamaan harus diubah dengan kombinasi yang terkait persyaratan ketimpangan ketika
“kontinuitas” properti yang tepat tidak berlaku. Kesulitan yang lebih dalam ditimbulkan oleh “Non
Convexities” (misalnya peningkatan utilitas maginal).
5 J. Harsanyi, “Can the Maximin Principle Serve as a Basis for Morality ? A Critique of John Rawls’
Theory,” American Political Science Review 64 (1975).
6 Seperti disinggung pada catatan no 4, kondisi persamaan memerlukan modifikasi karena ketiadaan
kontinuitas dari tipe yang tepat. Tranfer harus dilakukan sampai titik ketika perolehan utilitas
marginal dari mereka yang mendapatkan dari transfer selanjutnya tidak lebih dari hilangnya utilitas
marginal dari mereka yang tidak mendapatkan.
7 Hare (1976), pp. 116-17
3
“kebutuhan manusiawi yang sama-sama mendesak diantara satu orang dengan orang
lain”8.
Kepentingan moral dari kebutuhan, menurut interpretasi ini, hanya
didasarkan pada pengertian utilitas. Hal ini dapat dibantah, dan karena telah
membantahnya dalam sejumlah kesempatan sebelumnya 9, saya tidak akan mencoba
menghindar untuk membantahnya pada konteks khusus ini. Tetapi sambil menuju
pada pembahasan ini kemudian, saya akan meneliti lebih dulu hakikat persamaan
utilitarian tanpa –sementara waktu– mempertanyakan sepenuhnya dasar-dasar dari
kepentingan moral pada utilitas. Bahkan ketika utilitas merupakan dasar satusatunya
kepentingan, masih tetap terdapat pertanyaan apakah ukuran utilitas
marginal, terlepas dari utilitas total yang dinikmati oleh orang-per orang, merupakan
indeks yang memadai dari kepentingan moral. Tentu saja ada kemungkinan untuk
menentukan matrik dari ciri-ciri utilitas sedemikian rupa sehingga skala utilitas tiaptiap
orang diserasikan dengan utilitas orang lain dengan cara bahwa kepentingan
sosial yang sama hanya di ‘ukur’ (scaled) sebagai utilitas marginal yang sama. Bila
perbandingan utilitas interpersonal dianggap tidak memiliki isi deskriptif, maka
perbandingan ini memang bisa dianggap sebagai pendekatan alami. Tidak peduli
bagaimana kepentingan sosial ini dicapai, utilitas marginal yang melekat pada setiap
orang tetap akan mencerminkan nilai-nilai ini. Perbandingan ini dapat dilakukan
secara eksplisit dengan skala interpersonal yang tepat 10, atau secara implisit dengan
membuat penomoran utilitas yang mencerminkan pilihan situasi dari ‘pengandaian’
ketidakmenentuan yang diasosiasikan dengan “posisi asali” berdasarkan asumsi
tambahan bahwa ketidaktahuan diartikan sebagai probabilitas yang sama untuk
menjadi setiap orang11. Tidaklah pada tempatnya untuk memasuki detail teknis dari
tipe latihan ini, tetapi esensinya mengandung penggunaan prosedur skala seperti
halnya perhitungan utilitas marginal secara otomatis diidentifikasi sebagai indikator
dari kepentingan sosial.
Jalan yang ditempuh menuju utilitarianisme ini mungkin mengalami sedikit
resistensi, tetapi rute ini bersifat non-kontroversial terutama karena sedikit yang
dikatakannya. Persoalan timbul saat perbandingan interpersonal dan utilitas yang
baru disebutkan itu dianggap memiliki sejumlah isi deskriptif yang berdiri sendiri,
sebagaimana kaum utilitarian secara tradisional telah bersikeras bahwa mereka
melakukannya. Maka kemudian dapat terjadi konflik antara utilitas deskriptif ini
dengan utilitas yang di ‘ukur’ secara tepat, yang pada dasarnya normatif, yang
dengan pengertian ini seseorang ‘dipaksa’ menjadi utilitarian. Pada bagian
selanjutnya, saya tidak lagi membicarakan utilitarianisme melalui skala
8 John Harsanyi, “Non–Linear Social Welfare Functions: A Rejoinder to Profesor Sen”, dalam R.E.
Butts dan J. Hintikka (eds), Foundational Problems in the Special Sciences (Dordrecht : Reidel,
1977), pp. 294-95.
9 Collective Choice and Social Welfare (San Fransisco: Holden–Day, 1970), bab 6 dan bagian 11.4;
“On Weights and Meansures: Informational Contraints in social Welfare Analysis“, Econometrica 45
(1977). Lihat pula argumentasi T.M. Scanlon yang menentang pengidentifikasian utilitas dengan
“urgensi” dalam tulisannya “Preference and Urgency”, Journal of Philosophy 72 (1975).
10 Untuk kedua contoh yang sangat kreatif dari percobaan semacam ini, lihat Peter Hammond, “Dual
Interpersonal Comparisons of Utility and the Welfare Economics of Income distribution”. Journal of
Public Economics 6 (1977): 51-57; dan Menahem Yaari, “Rawls, Edgeworth, Shapley and Nash:
Theories of Distributine Justice Re–examined,” Research Memorandum No. 33, Center for Research
in Mathematical Ekonomic and Game Theory, Universitas Hebrew, Yerusalem, 1978.
11 Lihat Harsanyi (1955, 1975, 1977)
4
interpersonal yang tepat, dan akan kembali mengamati posisi utilitarian tradisional,
yang menganggap utilitas memiliki isi deskriptif yang dapat diperbandingkan secara
interpersonal. Maka, bagaimana kepentingan moral seharusnya berhubungan dengan
ciri-ciri deskriptif ini kemudian harus dihadapi secara eksplisit.
Posisi tersebut dapat diamati dari perspektif ‘prinsip sebelumnya’ (priorprinciple)
dan juga dari sudut pandang ‘implikasi kasus’ (case-implication). Kritik
John Rawls sebagai awal untuk menyajikan konsepsi alternatifnya sendiri tentang
keadilan sebagian besar mengambil bentuk ‘prinsip sebelumnya’. Hal ini terlihat
terutama pada istilah akseptabilitas “posisi asali”, menyatakan bahwa dalam situasi
yang didalilkan dari pengandaian ketidaktahuan orang tidak akan memilih untuk
memaksimalkan jumlah utilitas. Tetapi, Rawls juga membahas kekerasan yang
dilakukan utilitarianisme pada pengertian kita tentang kebebasan dan kesetaraan.
Sejumlah jawaban untuk argumentasi Rawls telah menegaskan kembali perlunya
menjadi utilitarian dengan mengambil rute “skala” yang dibahas sebelumnya, dan
yang menurut saya, tidak tepat untuk menyentuh kritik Rawls. Tetapi saya harus
mengakui bahwa menurut saya daya tarik “posisi asali” jelas dapat dilawan karena
nampak sangat jelas apa yang justru akan dipilih dalam situasi demikian. Demikian
juga sama sekali tidak jelas bahwa pilihan yang bijaksana dalam ketidakmenentuan
yang diandaikan memberikan dasar yang memadai bagi pertimbangan moral dalam
posisi, yaitu, kehidupan nyata, yang tidak asali (unoriginal)12. Namun saya percaya
kritik Rawls yang lebih langsung dalam hal kebebasan dan persamaan tetap
memiliki kekuatan.
Sejauh orang peduli dengan distribusi utilitas, maka akan segera nampak
bahwa utilitarianisme secara umum akan memberikan pada seseorang sedikit rasa
nyaman. Bahkan perolehan sangat kecil dalam jumlah utilitas total akan dianggap
melebihi bentuk ketimpangan distribusi yang paling mencolok mata. Masalah ini
akan dapat dihindari dengan asumsi tertentu, yakni apabila setiap orang memiliki
fungsi utilitas yang sama. Dalam masalah distribusi murni, dengan asumsi ini,
utilitarian terbaik akan memerlukan persamaan absolut dari utilitas total setiap
orang13. Hal ini karena bila utilitas marginal dihitung, maka akan dihitung pula
utilitas total jika setiap orang memiliki fungsi utilitas yang sama. Namun, hal ini
merupakan egalitarianisme yang bersifat kebetulan; hanya merupakan hasil tidak
sengaja dari kelompok marginal yang lebih besar dengan melakukan sesuatu untuk
memuaskan secara total kelompok yang kecil. Yang lebih penting, asumsi tersebut
seringkali dilanggar, karena banyak variasi antar manusia yang sedemikian jelas dan
telah didiskusikan. John mungkin mudah merasa puas, tetapi tidak demikian dengan
Jeremy. Bila hal ini dianggap sebagai ‘prinsip sebelumnya’ (prior-principle) bahwa
persamaan distribusi dari utilitas total memiliki sejumlah nilai, maka konsepsi
persamaan utilitarian—marginal sebagaimana adanya—harus tetap disalahkan.
Pengakuan atas perbedaan fundamental manusia benar-benar memiliki
konsekuensi yang sangat dalam, yang mempengaruhi tidak hanya konsepsi
utilitarian tentang kebaikan sosial, tetapi juga yang lain, termasuk (yang akan saya
12 Perihal hal ini, lihat Thomas Nagel, “Rawls on Justice”, Philosophical Review 83 (1973), dan
“Equality” dalam bukunya Mortal Questions (Cambridge : Cambridge University Press, 1979).
13 Masalahnya akan semakin rumit jika total kue tidak menentu dan ketika pemaksimalan jumlah
utilitas tidak harus mengarah pada persamaan total utilitas, kecuali sejumlah asumsi tambahan dibuat,
misalnya, tidak adanya argumentasi pendukung untuk ketimpangan.
5
bantah berikut ini) bahkan konsepsi Rawlsian tentang persamaan. Bila manusia
dianggap identik, maka aplikasi prinsip sebelumnya (prior–principle) dari
universalibilitas dalam bentuk “memberikan bobot yang sama kepada kepentingan
yang sama dari semua pihak” sangat disederhanakan. Utilitas marginal yang sama
dari semua orang—mencerminkan sebuah interpretasi tentang perlakuan yang sama
atas kebutuhan—bertepatan dengan utilitas total yang sama--mencerminkan sebuah
interpretasi dari pelayanan keseluruhan kepentingan mereka yang sama baiknya.
Dengan keragaman, keduanya dapat bergerak ke arah yang saling berlawanan dan
sangat tidak jelas bahwa “memberikan bobot yang sama kepada kepentingan yang
sama dari semua pihak” akan meminta kita memusatkan perhatian hanya pada salah
satu dari dua parameter, dan mengabaikan yang lainnya.
Perspektif implikasi kasus (case–implication) dapat pula digunakan untuk
mengembangkan kritik terkait, dan saya telah berusaha menghadirkan kritik tersebut
pada berbagai tulisan saya14. Contohnya, jika si A sebagai orang cacat mendapatkan
setengah utilitas yang dilakukan oleh si B sebagai ahli-kesenangan dari tingkat
pendapatan apapun yang ada, maka dalam masalah distribusi murni antara si A dan
si B, utilitarian tidak lagi akan memberikan si ahli-kesenangan B lebih banyak
pendapatan daripada A. Si A dua kali lebih jelek: karena ia mendapatkan utilitas
kurang dari tingkat pendapatan yang sama, dan, karena ia juga akan mendapat
pendapatan lebih sedikit. Utilitarianisme pasti mengarahkan pada hal ini berkat
kepeduliannya yang sangat kuat dengan pemaksimalan jumlah utilitas. Efisiensi
yang lebih unggul dari pencari kesenangan dalam menghasilkan utilitas akan
menjauhkan pendapatan dan menyingkirkan orang cacat yang kurang efisien.
Karena contoh ini seringkali dibahas15, saya akan menjelaskan apa yang
ditegaskan ulang dan apa yang tidak. Pertama, orang yang memiliki utilitas total
rendah (misalnya orang cacat) pada tingkat pendapatan apapun yang ada tidak
berarti harus memiliki utilitas marginal rendah pula. Pada tingkat pendapatan
tertentu mungkin bisa terjadi, tapi tidak perlu pada tingkat lainnya. Bahkan mungkin
sebaliknyalah yang terjadi manakala pendapatan terdistribusi secara sama. Bila
demikian kasusnya, utilitarisme akan memberikan pendapatan lebih banyak kepada
penderita cacat daripada orang sehat, karena orang cacat pada titik itu akan menjadi
penghasil utilitas yang lebih efisien. Pokok pandangan saya adalah tidak ada
jaminan bahwa hal inilah yang menjadi kasusnya, dan lebih khusus lagi, jikapun
terjadi kasus bahwa orang cacat tidak hanya paling tidak beruntung dalam
pengertian utilitas total tetapi dapat merubah pendapatan ke dalam utilitas yang
kurang efisien di mana pun (atau bahkan pada titik pembagian pendapatan yang
sama), lalu utilitarianisme akan memperburuk ketidakberuntungannya dengan
menyetujui memberikan pendapatan yang lebih rendah pada tingkat atas dari
efisiensi yang lebih rendah dalam menciptakan utilitas yang tidak melibatkan
pendapatan. Poinnya, tentu saja, tidak berkenaan dengan orang cacat secara umum,
tidak pula tentang semua orang dengan kerugian utilitas total, tetapi berkenaan
dengan orang, termasuk yang cacat, dengan ketidakberuntungan dalam pengertian
baik utilitas total dan utilitas marginal pada titik yang relevan.
14 OnEconomic Inequality (Oxford: Clarendon Press, 1973), pp. 16-20
15 LihatJohn Harsanyi, “Non–Linear Social Welfare Functions”, Theory and Decision 6 (1976): 311-
12; Harsanyi (1977); Kern (1978); Griffin (1978); Richard B. Brandt, A Theory of the Good and the
Right (Oxford: Clarendon Press, 1979), bab 16.
6
Kedua, isi utilitas deskriptif agak penting pada konteks kali ini. Jelas bahwa
jika utilitas diukur untuk mencerminkan kepentingan moral, maka berharap untuk
memberikan prioritas pada pendapatan bagi penderita cacat hanya akan membuat
terjadinya “utilitas marginal” yang lebih tinggi pada pendapatan yang cacat, akan
tetapi hal ini--seperti yang telah kita bahas-- merupakan pengertian yang sangat
khusus tentang utilitas—tidak cukup mengandung isi deskriptif. Dalam pengertian
ciri deskriptif, apa yang diasumsikan dalam contoh kita adalah bahwa orang cacat
dapat ditolong dengan memberi mereka pendapatan, tetapi peningkatan dalam
utilitasnya sebagai akibat dari peningkatan marginal pendapatan akan berkurang--
dalam pengertian kriteria deskriptif yang diterima– daripada memberikan unit
pendapatan tersebut pada ahli-kesenangan, ketika keduanya memiliki pendapatan
yang sama sejak awal.
Pada akhirnya, masalah bagi utilitarianisme dalam argumen kasus implikasi
(case–implication) ini tidak tergantung pada asumsi implisit bahwa klaim pada
pendapatan lebih banyak yang muncul dari yang tidak beruntung harus lebih
mendominasi klaim yang muncul dari utilitas marginal yang tinggi 16. Sebuah sistem
yang memberikan semacam bobot pada kedua klaim tersebut masih gagal memenuhi
rumusan utilitarian akan kebaikan sosial, yang meminta perhatian khusus pada klaim
kedua. Kedangkalan inilah yang menyebabkan konsepsi persamaan utilitarian
menjadi terbatas. Bahkan bila utilitas diterima sebagi satu-satunya basis kepentingan
moral, utilitarianisme tetap masih gagal menangkap relevansi dari semua
keuntungan bagi persyaratan persamaan. Kritik prinsip sebelumnya (prior–
principle) dapat lebih dilengkapi dengan kritik kasus implikasi (case-implication),
dengan menggunakan kurangnya perhatian utilitarian pada pertanyaan distribusional
ini kecuali pada tingkat marginal sama sekali.
2. Persamaan Utilitas Total
Welfarisme adalah pandangan bahwa kebaikan dari suatu keadaan dapat
sepenuhnya dinilai dengan kebaikan utilitas pada keadaan tersebut 17. Ini merupakan
pandangan yang kurang menuntut dibandingkan dengan utilitarianisme, karena —
sebagai tambahan— welfarisme memang tidak menuntut bahwa kebaikan dari
utilitas harus dinilai dengan jumlah total. Dalam pengertian ini, utilitarianisme
merupakan kasus spesial dari welfarisme dan memberikan sebuah ilustrasi tentang
welfarisme. Kasus pembeda lainnya adalah kriteria dalam menilai kebaikan suatu
keadaan dengan tingkat utilitas dari orang yang paling tidak beruntung dalam
keadaan tersebut--sebuah kriteria yang sering dihubungkan dengan John Rawls.
(Kecuali oleh John Rawls! Ia menggunakan barang-barang utama sosial [social
primary goods] daripada utilitas sebagai indeks keuntungan, seperti yang akan kita
diskusikan). Kita juga dapat menerima fungsi lain dari utilitas yang berbeda dari
jumlah total atau elemen minimal.
16 Asumsi demikian telah ada dalam buku tulisan saya “Week Equity Axiom”, diusulkan dalam Sen
(1973), tetapi asumsi ini merupakan tuntutan yang tidak perlu untuk menolak utilitarianisme. Lihat
Griffin (1978) yang mengkritik “Week Equity Axiom” dalam bentuk yang tepat.
17 Lihat Sen (1977) juga buku saya berjudul “Welfarism and Utilitarianism”, Journal of Philosophy
76 (1979).
7
Persamaan utilitarian merupakan sebuah tipe persamaan welfaris. Tetapi ada
yang lainnya lagi, misalnya persamaan utilitas total. Hal ini menarik untuk
dibayangkan sebagai semacam analog mengenai pergeseran fokus utilitarianisme
dari utilitas marginal ke utilitas total. Penyamaan ini, bagaimanapun, agak kurang
mirip dari yang mungkin nampak pada awalnya. Pertama, ketika para ekonom
seringkali menganggap marginal dan total sebagai termasuk dalam taraf diskursus
yang sama, terdapat perbedaan yang penting diantara keduanya. Marginal pada
dasarnya merupakan gagasan yang bertentangan dengan kenyataan (counter–
factual); utilitas marginal adalah utilitas tambahan yang kemungkinan akan
ditingkatkan bila orang tersebut memiliki satu lagi unit pendapatan tambahan. Ini
membandingkan antara apa yang diamati dengan apa yang dianggap akan diamati
bila sesuatu yang lain berbeda: dalam kasus ini bila pendapatan tersebut telah
menjadi lebih besar satu unit. Total, bagaimanapun, bukan merupakan konsep yang
secara inheren counter–factual; apakah total merupakan konsep yang secara inheren
counter–factual atau tidak, akan tergantung pada variabel yang sedang ditotal. Pada
kasus utilitas, jika hal itu dianggap sebagai fakta yang teramati, utilitas total tidak
akan menjadi counter– factual. Jadi persamaan utilitas total adalah masalah
observasi langsung sedangkan persamaan utilitarian sebaliknya, karena persamaan
utilitarian membutuhkan hipotesa tentang apa yang terjadi pada hal-hal dibawah
perbedaan keadaaan yang didalilkan. Perbedaan ini dapat dengan mudah ditelusuri
pada kenyataan bahwa persamaan utilitarian sebenarnya merupakan akibat maximasi
jumlah, yang dalam dirinya sendiri merupakan pengertian yang counter–factual,
sedangkan persamaan utilitas total merupakan persamaan dari sejumlah besaran
yang teramati secara langsung.
Kedua, utilitarianisme memberikan urutan sempurna semua distribusi
utilitas– sistem rangking yang mencerminkan urutan jumlah utilitas individual –
tetapi sejauh yang ditentukan selama ini, persamaan utilitas total hanya menunjuk
pada kasus persamaan absolut. Untuk menangani dua kasus distribusi yang tidak
setara, penjelasan lain perlu ditambahkan agar bisa diranking. Sistem rangking ini
dapat dilengkapi dengan banyak cara.
Salah satu cara untuk melengkapinya diberikan oleh versi penulisan kamus
(lexicographic) dalam aturan maximin yang dihubungkan dengan Prinsip Perbedaan
(Difference Principle) Rawlsian, tetapi ditafsirkan dalam pengertian utilitas sebagai
lawan dari barang-barang utama. Di sini kebaikan suatu keadaan dinilai menurut
tingkat utilitas dari orang yang paling tidak beruntung pada keadaan tersebut; tetapi
bila orang-orang yang paling tidak beruntung pada dua keadaan secara berturut-turut
memiliki tingkat utilitas yang sama, maka keadaan tersebut akan dirangking sesuai
dengan tingkat utilitas orang kedua yang paling tidak beruntung. Bila mereka sangat
berhubungan erat, lalu dirangking berdasarkan tingkat utilitas dari orang ketiga yang
paling tidak beruntung dan seterusnya. Selanjutnya, bila dua distribusi utilitas sesuai
sama sekali pada setiap tingkatan dari yang paling tidak beruntung hingga pada yang
paling beruntung, barulah kedua distribusi tersebut sama-sama baik. Mengikuti
kebiasaan yang telah ditentukan dalam teori pilihan sosial, saya akan menyebutnya
leximin.
Bagaimana persamaan utilitas total menjadi “Leximin”? Hal ini terjadi bila
dikombinasikan dengan beberapa aksioma lain, dan ternyata analisis ini sangat
sejajar dengan derivasi aksiomatik akhir-akhir ini mengenai prinsip perbedaan
8
(Difference Principle) oleh sejumlah penulis18. Pertimbangkan empat tingkat utilitas
a, b, c, dan d, dalam urutan besaran yang menurun. Kita dapat menyatakan bahwa
dalam arti yang sangat jelas pasangan titik ekstrem (a, d) menyajikan ketimpangan
yang lebih besar dibandingkan dengan titik pasangan menengah (b, c). Perhatikan
bahwa ini merupakan perbandingan ordinal murni, berdasarkan rangking saja dan
besaran pasti a, b, c, dan d sama sekali tidak merubah perbandingan yang
dipersoalkan. Bila seseorang hanya berpatokan pada persamaan, maka akan dapat
diargumentasikan bahwa (b, c) lebih superior—atau setidaknya tidak inferior--
daripada (a, b). Persyaratan ini mungkin dilihat sebagai versi kuat memilih
persamaan distribusi utilitas, dan mungkin disebut sebagai “Preferensi Persamaan
Utilitas”. Ada kemungkinan untuk menggabungkan hal ini dengan sebuah aksioma
yang diperlihatkan Patrick Suppes yang menangkap gagasan dominasi satu distribusi
utilitas terhadap lainnya, dalam arti masing-masing elemen dari sebuah distribusi
paling tidak menjadi sebesar elemen yang mirip pada distribusi lainnya 19. Dalam
kasus dua orang, hal ini mensyaratkan bahwa keadaan x harus paling tidak dianggap
sebaik y, baik ketika setiap orang pada keadaan x memiliki setidaknya utilitas
sebagaimana dirinya sendiri pada keadaan y, maupun ketika setiap orang pada
keadaan x memiliki utilitas setidaknya sebanyak orang lain pada keadaan y. Jika,
sebagai tambahan, salah satunya lebih terbatas, tentu saja x dapat dinyatakan jauh
lebih baik (dan bukan paling tidak baik belaka). Bila prinsip Suppes dan ‘Preferensi
Persamaan Utilitas’ ini dikombinasikan, maka kita didorong menuju Leximin.
Sesungguhnya, Leximin dapat sepenuhnya diturunkan dari dua prinsip ini dengan
syarat bahwa pendekatan harus memberikan urutan yang sempurna dari semua
kemungkinan keadaan tanpa memperdulikan apapun yang mungkin terjadi pada
utilitas individu yang dapat diperbandingkan secara interpersonal (disebut ‘domain
tanpa batas’ [unrestricted domain]) dan bahwa ranking dari dua keadaan harus
tergantung pada informasi utilitas yang berkaitan hanya dengan keadaan tersebut
(disebut ‘kebebasan’ [independence]).
Sejauh persyaratan yang berbeda dari preferensi persamaan utilitas (yakni
prinsip Suppes, domain tanpa batas dan kebebasan) dianggap dapat diterima,--dan
persyaratan tersebut memang telah banyak dipergunakan dalam literatur pilihan
sosial (social choice literature)-- leximin dapat dilihat sebagai kecocokan alamiah
tentang pemberian prioritas terhadap konsepsi persamaan yang berfokus pada
utilitas total.
Akan tetapi, kiranya jelas bahwa leximin sangat mudah dikritik dari
perspektif prinsip sebelumnya (prior–principle perspective) maupun dari perspektif
implikasi kasus (case–implication prespective). Begitu utilitarianisme tidak
18 Lihat P.J. Hammond, “Equity, Arrow’s Conditions and Rawls’ Difference Principle”,
Econometrica 44 (1976); S. Strasnick, “Social Choice Theory and the Derivation of Rawls’
Difference Principle”, Journal of Philosophy 73 (1976); C. d’Aspremont and L. Gevers, “Equity and
Informational basis of Collective Choice,” Review of Economic Studies 44 (1977); K.J. Arrow,
“Extended Sympathy and the Possibility of Social Choice, ” American Economic Review 67 (1977);
A.K. Sen, “On Weights and Measures: Informational Constraints in Social Welfare Analysis,”
Econometrica 45 (1977); R. Deschamps and L. Gevers, “Leximin and Utilitarian Rules: A Joint
Characterization,” Jurnal of Economic Theory (1978); K.W.S. Roberts, “Possibility Theorems with
Interpersonally Comparable Welfare Levels,” Review of Economic Studies 47 (1980); P.J. Hammond,
“Two Person Equity,” Econometrica 47 (1979).
19 P. Suppes, “Some Formal Models of Grading Principles,”Syntheses 6 (1966).
9
memperhatikan desakan klaim seseorang yang muncul dari kerugian orang lain,
leximin mengabaikan klaim yang muncul dari intensitas kebutuhan seseorang. Ciri
ordinal yang ditunjuk sambil menyajikan aksioma preferensi persamaan utilitas
membuat pendekatan ini tidak sensitif terhadap besaran dari potensi keuntungan dan
kerugian utilitas. Sementara dalam kritik utilitarianisme yang sudah saya bahas di
muka, saya tidak setuju dengan memperlakukan potensi keuntungan dan kerugian
ini sebagai satu-satunya basis pertimbangan moral, hal ini tentu saja bukan berarti
tidak memiliki relevansi moral sama sekali. Lihat perbandingan (a, d) dalam
hubungannya dengan (b, c) yang sudah dibahas di muka dan biarkan (b, c) mewakili
(3, 2). Preferensi persamaan utilitas akan menegaskan superioritas (3,2) atas (10, 1)
dan juga (y, 1). Memang, hal ini sama sekali tidak akan membedakan antara dua
kasus. Tidak adanya perhatian terhadap pertanyaan “seberapa besar” inilah yang
menyebabkan leximin agak mudah dikritik baik dengan menunjukkan kegagalannya
dalam mematuhi ‘prinsip sebelumnya’ (prior–principle) seperti “memberikan bobot
yang sama pada kepentingan yang sama dari semua pihak” maupun dengan
memerinci implikasinya secara agak cermat dalam kasus yang khusus.
Selain tidakpeduli dengan pertanyaan “seberapa besar”, leximin juga tidak
terlalu tertarik dengan pertanyaan “seberapa banyak”—tidak memperhatikan sama
sekali jumlah orang yang kepentingannya dikesampingkan dalam mengejar
kepentingan yang paling tidak diuntungkan. Posisi yang paling tidak diuntungkan
memegang seluruh keputusan, dan tidak menjadi masalah apakah hal ini dilakukan
dengan cara yang berlawanan terhadap kepentingan salah seorang yang lain, atau
terhadap jutaan atau milyaran orang yang lain. Kadang leximin diklaim tidak akan
menjadi kriteria ekstrem jika dapat dimodifikasikan sehingga masalahketidakmampuan
berhitung ini dapat dihindari, dan jika kepentingan posisi
seseorang yang paling tidak beruntung diberikan prioritas daripada kepentingan
seorang yang benar-benar beruntung, tetapi tidak harus bertentangan dengan
kepentingan lebih dari satu posisi yang paling beruntung. Dalam kenyataannya,
orang dapat menentukan versi leximin yang lebih lunak, yang dapat dinamakan
leximin 2, yang berbentuk penerapan prinsip-prinsip leximin jika semua orang selain
dua tidak peduli terhadap alternatif-alternatif yang diberikan tetapi bukan
sebaliknya. Leximin 2, sebagai sebuah kompromi, masih tidak peduli dengan
pertanyaan “seberapa besar” pada besaran utilitas dari dua orang yang bukan tidak
peduli, tetapi tidak perlu dikaburkan dengan pertanyaan “seberapa banyak” dalam
hubungannya dengan jumlah orang: prioritas berlaku pada satu orang justru
berkaitan dengan orang lain20.
Yang menarik, masalah konsistensi ikut terlibat di sini. Dapat dibuktikan
bahwa mengingat kondisi yang beraturan, persisnya, domain tanpa batas dan
kebebasan, leximin-2 secara logis mengandung leximin pada umumnya 21. Yaitu,
mengingat kondisi yang beraturan ini, tidak ada cara untuk mempertahankan
kepekaan moral sejumlah orang di tiap-tiap sisi dengan memilih persyaratan
leximin-2 yang terbatas, tanpa meninggalkan sama sekali leximin itu sendiri.
20 Leximin dan maximin membahas konflik antara prioritas posisional, yakni antara peringkat (seperti
“posisi terburuk”, “posisi terburuk kedua,” dst,) dan bukan dengan prioritas interpersonal. Jika posisi
memiliki kesamaan dengan orang (misalnya, orang yang sama dirugikan dalam setiap keadaan), lalu
konflik posisional diterjemahkan secara langsung sebagai konflik personal.
21 Theorem 8, Sen (1977). Lihat pula Hammond (1979) sebagai perluasan dari hasil ini.
10
Kelihatannya, ketidakpedulian pada pernyataan seberapa besar berkenaan dengan
utilitas mengimplikasikan ketidakpedulian pada pertanyaan seberapa banyak
berkenaan dengan jumlah orang pada sisi yang berbeda. Ketidakmampuan berhitung
seseorang menyebabkan ketidakmampuan berhitung yang lain.
Mengingat hakikat kritik persamaan utilitarian dan persamaan utilitas total
secara berturut-turut ini, kiranya wajar untuk mempertanyakan apakah kombinasi
keduanya tidak harus memenuhi kedua rangkain keberatan. Bila utilitarianisme
diserang karena ketidakpeduliannya terhadap ketimpangan distribusi utilitas dan
leximin dikritik karena ketiadaan ketertarikan pada besaran keuntungan dan
kerugian utilitas, dan bahkan menyangkut jumlah, maka apakah tidak akan menjadi
jalan keluar yang tepat untuk memilih campuran dari keduanya? Pada titik inilah
pertanyaan yang lama tertunda tentang hubungan antara utilitas dan arti penting
moral menjadi krusial. Meskipun utilitarianisme dan leximin berbeda secara tajam
satu dengan lainnya dalam penggunaan yang secara berturut-turut mereka buat
berkenaan dengan informasi utilitas, keduanya sama-sama menunjukkan perhatian
ekslusif pada data utilitas. Jika pertimbangan non–utilitas memiliki peran tertentu
dalam masing-masing pendekatan, hal ini muncul dari bagian yang mereka mainkan
dalam penentuan utilitas, atau mungkin sebagai pengganti informasi utilitas ketika
tidak ada data utilitas yang memadai. Kombinasi utilitarianisme dan leximin masih
akan terbatas pada kotak Welfarisme dan masih belum jelas apakah welfarisme
sebagai pendekatan umum dengan sendirinya cukup memadai.
Salah satu aspek kebodohan welfarisme dibahas dengan jelas oleh John
Rawls.
Dalam menghitung keseimbangan terbesar atas kepuasan, tidaklah
dipersoalkan untuk apa keinginan, kecuali secara tidak langsung. Kita harus
merancang institusi sedemikian rupa sehingga mendapatkan jumlah
kepuasaan terbesar; kita tidak mengajukan pertanyaan tentang kualitas atau
sumbernya, tetapi hanya mempertanyakan bagaimana institusi yang
memuaskan akan mempengaruhi keseluruhan kesejahteraan…jadi jika
manusia merasa senang dalam membedakan satu orang dengan yang lainnya,
dalam mengurangi kebebasan orang lain yang merupakan sarana
meningkatkan harga diri mereka, maka kepuasan keinginan ini harus
ditimbang dalam deliberasi (pertimbangan serius) kita sesuai dengan
intensitasnya, atau sesuatu yang lain, bersama dengan keinginan yang lain…
Dalam keadilan sebagai fairness, di pihak lain, orang menerima sebelumnya
prinsip kebebasan yang sama, dan mereka menerimanya tanpa pengetahuan
tentang tujuan khusus mereka…Seorang individu yang menemukan bahwa ia
menikmati melihat orang dalam posisi kebebasan yang semakin berkurang
memahami bahwa ia tidak memiliki klaim apapun pada kenikmatan ini.
Kenikmatan yang ia terima dari kehilangan orang lain sudah dengan
sendirinya salah; kepuasan ini akan mengharuskan pelanggaran atas sebuah
prinsip yang mestinya ia sepakati dalam posisi asali 22.
Sangat mudah dilihat bahwa argumentasi ini tidak semata-mata menentang
utilitarianisme, tetapi menentang ketidakcukupan informasi utilitas untuk
pertimbangan moral suatu keadaan, dan dengan demikian merupakan serangan
22 Rawls (1971), pp. 30-31
11
terhadap welfarianisme secara umum. Kedua, jelas bahwa sebagai kritik atas
welfarisme--dan a fortiori sebagai kritik atas utilitarianisme, argumentasinya
menggunakan prinsip yang kuat secara tidak perlu. Jika masalahnya adalah bahwa
kesenangan yang diambil dari “penderitaan orang lain” dalam dirinya sendiri tidak
dianggap sebagai sesuatu yang salah, tetapi hanya sekedar tidak dianggap,
penolakan atas welfarisme akan tetap muncul. Lagipula, bahkan seandainya
kesenangan demikian dianggap bernilai, tapi kurang bernilai dibandingkan dengan
kesenangan yang muncul dari sumber lain (misalnya menikmati makanan, pekerjaan
atau waktu senggang) welfarisme akan tetap ditolak. Masalahnya, seperti yang
dicatat John Stuart Mill, adalah karena kurangnya “keseimbangan” (parity) antara
satu sumber dengan lainnya23. Welfarisme membutuhkan dukungan bukan hanya
dari intuisi yang diterima luas bahwa kesenangan apapun memiliki semacam nilai--
dan orang akan menjadi sedikit tidak suka dengan kesenangan yang dirasakan orang
lain untuk berbeda pendapat dengan kesenangan ini--, tetapi juga proposisi yang
lebih meragukan bahwa kesenangan ditimbang secara relatif hanya menurut
intensitas masing-masing, mengesampingkan sumber kesenangan dan aktivitas yang
menyertai. Akhirnya argumentasi Rawls mengambil bentuk pertimbangan pada
prinsip sebelumnya (prior–principle) untuk menyamakan kebenaran moral dengan
penerimaan yang hati-hati dalam posisi asali. Bahkan mereka yang tidak menerima
prinsip sebelumnya dapat menolak kaum welfaris tanpa perhitungan yang berbasabasi
atas utilitas, apapun informasi lainnya dengan rujukan prinsip sebelumnya
(prior-principle) yang lain, misalnya ketetapan nilai kebebasan.
Relevansi informasi non–utilitas terhadap pertimbangan moral merupakan
masalah pokok yang terkait dalam memperdebatkan welfarisme. Pertimbangan
kaum Libertarian menunjuk ke arah kelas informasi non–utilitas tertentu dan saya
telah membantahnya di tempat lain bahwa hal ini mungkin membutuhkan penolakan
atas apa yang disebut prinsip Pareto berdasarkan dominasi utilitas 24. Tetapi juga ada
tipe lain informasi non–utilitas yang telah dianggap secara instrinsik penting. Tim
Scanlon belakangan ini telah membahas kontras antara “urgensi” dan utilitas (atau
intensitas preferensi). Ia juga membantah “kriteria kesejahteraan yang sesungguhnya
kita terapkan pada pertimbangan moral adalah objektif” dan tingkat kesejahteraan
seseorang dianggap menjadi “bebas dari kepentingan dan selera orang itu” 25.
Pertimbangan moral ini dengan demikian bisa bertentangan dengan moralitas
utilitarian– dan secara umum lagi (Scanlon dapat menyatakan) dengan moralitas
kaum welfaris- tidak peduli apakah utilitas diartikan sebagai kesenangan, atau
sebagaimana akhir-akhir ini semakin umum, sebagai pemenuhan hasrat.
Akan tetapi, mengakui relevansi faktor-faktor objektif tidak mensyaratkan bahwa
kesejahteraan dianggap bebas dari selera, dan kategori Scanlon terlalu murni.
Misalnya, tidak adanya ‘keseimbangan’ (parity) antara utilitas dari tindakan yang
mempertimbangkan diri sendiri dan dari tindakan yang mempertimbangkan orang
lain akan mengatasi utilitas sebagai indeks kesejahteraan dan bisa fatal bagi
welfarisme, tapi perbedaan ini tentu saja tidak bebas dari selera dan ciri-ciri objektif.
Pertimbangan “objektif“ dapat dihitung bersama selera seseorang. Yang diperlukan
adalah penolakan bahwa kesejahteraan seseorang ditentukan secara eksklusif oleh
23 John Stuart Mill, On Liberty (1859), p. 140
24 Sen(1970), khususnya bab 6. Juga Sen (1979)
25 T.M. Scanlon (1975), pp. 658-59
12
utilitasnya saja. Jika pertimbangan semacam itu memperhatikan kesenangan dan
pemenuhan hasrat seseorang, dan faktor objektif tertentu, misalnya apakah orang itu
lapar, kedinginan, atau tertekan, rumusan yang dihasilkan masih tetap saja non
welfaris. Welfarisme adalah posisi paling ekstrim dan penolakannya dapat
mengambil berbagai bentuk – murni dan campuran – sejauh pengabaian informassi
non utilitas total dihindari.
Kedua, jelas pula bahwa pengertian tentang urgensi tidak perlu terjadi hanya
dengan faktor penentu kesejahteraan personal, betapapun luasnya penerimaan atas
pandangan ini. Misalnya, klaim bahwa seseorang tidak boleh dieksploitasi di tempat
kerjanya tidak didasarkan pada penciptaan eksploitasi sebagai parameter tambahan
dalam rangka mengkhususkan kesejahteraan diatas faktor-faktor seperti pendapatan
(income) dan usaha, tetapi didasarkan pada pandangan moral bahwa setiap orang
pantas mendapatkan apa yang ia kerjakan menurut salah satu karakteristik produksi.
Mirip dengan hal ini, urgensi yang diturunkan dari prinsip seperti “bayaran yang
sesuai dengan pekerjaan” secara langsung menyerang diskriminasi tanpa harus
mendefinisikan kembali pengertian kesejahteraan personal guna memperhatikan
diskriminasi semacam itu. Seseorang bisa saja mengatakan: “wanita harus dibayar
sebanyak yang dibayarkan pada pekerjaan yang dilakukan laki-laki, bukan karena
bila tidak demikian ia akan memiliki tingkat kesejahteraan lebih rendah daripada
orang lain, tetapi karena ia melakukan pekerjaan yang sama dengan pria tersebut,
jadi kenapa ia dibayar agak kurang? Klaim moral ini– berdasarkan konsepsi
persamaan non-welfaris– memiliki peranan penting dalam pergerakan sosial dan
agaknya sulit untuk mendukung hipotesis bahwa klaim diatas murni “instrumental”,
sama sekali dibenarkan oleh dampak tidak langsungnya pada pemenuhan kaum
welfaris atau tujuan lainnya yang didasarkan pada kesejahteraan.
Jadi pemisahan urgensi dari utilitas dapat muncul dari dua sumber berbeda.
Pertama, memisahkan pengertian kesejahteraan personal dari utilitas dan kedua,
menjadikan urgensi bukan hanya sebagai fungsi kesejahteraan. Akan tetapi pada saat
bersamaan, yang pertama tidak mensyaratkan bahwa kesejahteraan bebas dari
utilitas dan yang kedua tidak membutuhkan pengertian urgensi yang bebas dari
kesejahteraan personal. Welfarisme merupakan posisi paling murni dan harus
menghindari kontaminasi dari kedua sumber di atas.
3. Persamaan Rawlsian
“Dua prinsip keadilan” Rawlsian menggolongkan kebutuhan tentang
persamaan dalam pengertian—apa yang disebutnya-- “barang-barang sosial utama”
(primary social goods)26. Barang-barang sosial utama adalah “hal-hal yang
diinginkan oleh setiap manusia yang rasional”, termasuk “hak, kebebasan dan
kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis sosial dari kehormatan diri.”
Kebebasan dasar dipisahkan dari prioritas pemilikan atas barang-brang utama yang
lain, dan karena itu prioritas diberikan pada prinsip kebebasan yang menyatakan
bahwa “setiap orang memiliki hak sama terhadap kebebasan dasar paling hakiki
sesuai dengan kebebasan serupa bagi yang lain.” Prinsip kedua melengkapi
kebebasan ini, menutunt efesiensi dan persamaan, menilai keuntungan dalam
pengertian indeks barang-barang utama. Ketimpangan dikutuk kecuali jika hal ini
26 Rawls (1971), pp. 60-65
13
bekerja demi keuntungan setiap orang. Prinsip kedua ini memasukkan “Prinsip
Perbedaan” (the difference principle) yang memberikan prioritas untuk yang palin
tidak diuntungkan mengejar kepentingannya. Dan hal ini akan mengarahkan pada
maximin atau leximin, yang ditetapkan tidak pada utilitas individu tetapi pada
indeks barang-barang utama. Tetapi mengingat prioritas prinsip kebebasan, tidak
boleh ada pertukaran antara kebebasan dasar, ekonomi dan perolehan sosial.
Herbert Hart secara persuasif telah membantah argumentasi Rawls tentang
prioritas kebebasan27 dengan sebuah pertanyaan yang tidak akan saya bahas pada
kuliah kali ini. Masalah yang krusial untuk dibahas adalah konsentrasi pada
sekumpulan barang-barang sosial utama ini. Beberapa kesulitan welfarisme yang
pernah saya coba bahas tidak akan diterapkan untuk memperoleh persamaan
Rawlsian. Kriteria objektif kesejahteraan dapat secara langsung diakomodir dalam
indeks barang-barang utama. Hal ini juga berlaku untuk penolakan Mill tentang
keseimbangan (parity) antara kesenangan dari berbagai sumber, karena sumbersumber
tersebut dapat dibedakan berdasarkan sifat barang-barangnya. Selanjutnya,
meskipun prinsip perbedaan dianggap egaliter seperti halnya leximin, prinsip ini
menghindari ciri leximin yang banyak dikritik dengan memberi lebih banyak
pendapatan pada orang-orang yang sulit dipuaskan dan yang harus dibanjiri
Champagne dan dipendam dalam Caviar untuk membawa mereka pada level utilitas
normal yang bagi saya dan anda cukup didapat dari sandwich dan bir. Karena
keuntungan dinilai sama sekali bukan dalam arti utilitas, melainkan dengan indeks
barang-barang utama, selera yang mahal tidak lagi memberikan dasar untuk
mendapatkan pendapatan yang lebih banyak. Rawl menjustifikasi hal ini dalam
pengertian tanggung jawab orang perorang atas tujuannya sendiri.
Tapi bagaimana dengan orang yang cacat dengan kerugian utilitas yang kita
bahas sebelumnya? Leximin akan memberinya lebih banyak pendapatan pada
masalah distribusi murni, sedangkan utilitarianisme akan memberinya pendapatan
kurang. Prinsip Perbedaan tidak akan menambah atau mengurangi pendapatannya
berdasarkan keadaannya yang cacat. Keuntungan utilitas orang yang cacat akan
tidak relevan untuk Prinsip Perbedaan. Ini merupakan hal yang nampak sulit, dan
memang demikianlah kenyataannya. Rawl menjustifikasi hal ini dengan
menunjukkan bahwa “kasus-kasus sulit” dapat “mengacaukan persepsi moral kita
dengan membawa kita pada pemikiran tentang orang yang jauh jaraknya dari diri
kita yang nasibnya membangkitkan keprihatinan dan kecemasan” 28. Hal ini mungkin
terjadi, tetapi kasus-kasus yang sulit benar-benar ada, dan menganggap penyandang
cacat, atau kebutuhan perawatan khusus, atau cacat mental dan fisik, sebagai tidak
relevan secara moral, atau mengesampingkan mereka karena kekhawatiran akan
membuat kesalahan, mungkin menjamin bahwa kesalahan sebaliknya akan
dilakukan.
Dan masalahnya tidak berhenti pada kasus yang sulit. Pendekatan barangbarang
utama nampaknya kurang memperhatikan perbedaan di antara manusia.
Dalam konteks menilai persamaan utilitarian, telah dinyatakan bahwa jika manusia
secara fundamental serupa dalam hal fungsi utilitas, maka perhatian utilitarian
dengan memaksimalkan jumlah total utilitas akan mendorong kita secara serempak
27 H.L.A. Hart, “Rawls on Libery and its Priority,” University of Chicago Law Review 40 (1973);
dicetak ulang dalam N. Daniels, (ed)., Reading Rawls (Oxford : Blacwell, 1975).
28 John Rawls, “A Kantian Concept of Equality,” Cambridge Review (February 1975), p. 96.
14
ke arah persamaan tingkat utilitas. Jadi utilitarianisme dapat dibuat jauh lebih
menarik jika orang memang sungguh-sungguh serupa. Komentar yang sama dapat
dibuat tentang Prinsip Perbedaan Rawlsian. Jika orang pada dasarnya serupa, maka
indeks barang-barang utama mungkin bisa menjadi cara yang cukup baik untuk
menilai keuntungan. Tetapi, dalam kenyatannya, orang nampak memiliki kebutuhan
yang sangat berbeda, yang berubah karena kesehatan, usia lanjut, kondisi musim,
lokasi, kondisi kerja, temperamen, dan bahkan ukuran tumbuh (mempengaruhi
kebutuhan makan dan pakaian). Jadi apa yang terlibat bukan hanya sekedar
mengabaikan beberapa kasus yang sulit, tetapi mengabaikan banyak perbedaan yang
nyata dan bersifat meluas. Menilai keuntungan hanya dalam arti barang-barang
utama mengarah pada moralitas yang sebagian buta.
Sesungguhnya, dapat dinyatakan bahwa dalam kenyataannya terdapat
elemen “pemujaan” yang berlebihan dalam kerangka pemikiran Rawlsian. Rawls
menganggap barang-barang utama sebagai perwujudan dari keuntungan, bukan
menganggap keuntungan sebagai hubungan antar orang dan barang. Utilitarianisme,
atau leximin atau--pada umumnya-- welfarisme tidak mempunyai “pemujaan” ini
karena utilitas adalah cerminan dari satu tipe hubungan antara orang dan barang.
Misalnya, pendapatan dan kekayaan tidak dinilai oleh utilitarianisme sebagai unit
fisik, tetapi dalam pengertian kapasitasnya untuk menciptakan kebahagiaan manusia
atau untuk memuaskan keinginan mereka. Bahkan seandainya utilitas tidak dianggap
sehingga fokus yang tepat untuk hubungan orang dan barang, maka untuk memiliki
kerangka pemikiran sepenuhnya yang berorientasi pada barang memberikan cara
yang aneh dalam menilai keuntungan.
Dapat juga dinyatakan bahwa sementara utilitas dalam bentuk kebahagiaan
atau pemenuhan keinginan mungkin menjadi panduan yang tidak memadai untuk
urgensi, kerangka pemikiran Rawlsian menegaskan bahwa utilitas tidak relevan bagi
urgensi. Pembedaan ini telah dibahas sebelumnya dalam konteks menilai wefarisme,
dan telah ditunjukkan bahwa penolakan terhadap welfarisme tidak perlu membawa
kita pada kesimpulan bahwa utilitas tidak diberikan peranan sama sekali. Bahwa
kepentingan seseorang tidak berhubungan secara langsung dengan kebahagiaan atau
pemenuhan keinginannya nampaknya sulit untuk dibenarkan. Bahkan dalam arti
prinsip sebelumnya dari penerimaan secara hati-hati dalam “posisi asali”, sama
sekali tidak jelas mengapa orang dalam keadaan primodial harus dianggap
sedemikian tidak peduli pada kesenangan dan penderitaan dalam menjalani posisi
tertentu, atau jika mereka tidak demikian, kenapa perhatian mereka terhadap
kesenangan dan penderitaan ini harus dianggap sebagai tidak relevan secara moral.
4. Persamaan Kemampuan Dasar
Hal itu membawa pada pertanyaan selanjutnya: tidak bisakah kita
mengembangkan sebuah teori persamaan dengan dasar perpaduan (kombinasi) dari
persamaan Rawlsian dan persamaan dari dua konsepsi kaum welfaris, dengan
beberapa pertukaran di antara mereka? Saya sekarang ingin menyatakan secara
ringkas kenapa saya percaya kombinasi ini juga mungkin terbukti tidak banyak
membantu. Hal ini tentu saja dapat dengan mudah ditegaskan jika klaim yang
muncul dari pertimbangan selain kesejahteraan diakui sebagai absah. Noneksploitasi
atau non diskriminasi membutuhkan penggunaan informasi yang tidak
15
sepenuhnya ditangkap oleh utilitas atau oleh barang-barang utama. Konsepsi hak
pemilikan (entitlements) yang lain juga dapat diperkenalkan untuk mengatasi
pemberian perhatian hanya pada kesejahteraan personal. Namun, dalam uraian
berikut ini saya tidak akan memperkenalkan konsep tersebut. Pokok pendapat saya
adalah bahwa konsep kebutuhan bahkan tidak mendapatkan ulasan yang memadai
melalui informasi barang-barang utama dan utilitas.
Saya akan menggunakan argumen kasus implikasi (case-implication
arguments). Pertimbangkan kembali orang yang cacat dengan ketidakberuntungan
utilitas marginal. Kita telah melihat utilitarianisme tidak akan melakukan apapun
untuk orang; kenyataannya utilitarianisme memberinya pendapatan kurang daripada
yang didapat oleh orang sehat secara fisik. Prinsip Perbedaan juga tidak
menolongnya; prinsip perbedaan akan membiarkannya merana sendirian. Akan
tetapi, orang cacat itu mendapatkan perlakuan prefensial dengan leximin, dan secara
umum, dengan kriteria yang memperkuat persamaan total. Ia mendapatkan
perlakuan ini karena rendahnya tingkat utilitas yang dimiliki. Tetapi sekarang
anggap saja ia tidak dirugikan dalam arti utilitas, meskipun secara fisik ia memiliki
rintangan karena ciri-ciri utilitas tertentu. Hal ini dapat terjadi karena ia mempunyai
watak selalu bergembira. Atau karena ia memiliki tingkat aspirasi rendah dan
hatinya berjingkrak jika melihat pelangi di langit. Atau karena ia agamis dan merasa
bahwa akan mendapat ganjaran dalam kehidupan setelah mati, atau dengan riang
menerima apa yang dianggapnya sebagai hukuman yang adil untuk kelakuan buruk
dalam inkarnasi di masa lalu. Poin pentingnya, meskipun ia tidak diuntungkan dari
utilitas marginal, ia tidak lagi mengalami deprivasi utilitas total. Sekarang bahkan
leximin atau pengertian persamaan lainnya yang terfokus pada utilitas total tidak
akan berbuat banyak untuk dirinya. Jika kita masih berpikir bahwa ia memiliki
kebutuhan sebagaimana seorang yang cacat, yang harus dipuaskan, maka basis
klaim itu jelas bersandar tidak pada utilitas marginal yang tinggi, tidak juga pada
utilitas total yang rendah, dan tentu saja tidak pada deprivasi dalam pengertian
barang-barang utama.
Dapat dinyatakan bahwa apa yang hilang dalam semua kerangka pemikiran
ini adalah sejumlah pengertian tentang “kemampuan dasar” (basic capabilities);
seseorang menjadi mampu melakukan hal-hal dasar tertentu. Kemampuan untuk
berpindah adalah relevan di sini, tetapi orang dapat mempertimbangkan lainnya,
misalnya: kemampuan memenuhi kebutuhan gizi, kebutuhan pakaian dan
perumahan (pangan, sandang dan papan) dan kemampuan berpartisiasi dalam
kehidupan sosial masyarakat. Pengertian urgensi yang terkait dengan kemampuan
ini tidak sepenuhnya ditangkap oleh utilitas atau barang-barang utama, atau
gabungan dari keduanya. Barang-barang utama terbebani oleh rintangan ‘pemujaan’
(fetihist) dengan memperhatikan barang-barang, dan meskipun daftar barang
ditentukan dengan cara umum dan inklusif, mencakup hak, kebebasan, kesempatan,
kekayaan, pendapatan dan basis sosial kehormatan diri, ketentuan ini masih menaruh
perhatian pada hal-hal yang baik, daripada apa yang dilakukan hal-hal yang baik ini
pada manusia. Utilitas, di pihak lain, menaruh perhatian pada apa yang dilakukan
hal-hal ini pada manusia, tetapi menggunakan sebuah matrik yang memusatkan
perhatian bukan pada kemampuan seseorang, tetapi pada reaksi mentalnya. Masih
tetap terdapat sesuatu yang hilang pada kombinasi daftar barang-barang utama dan
utilitas. Jika dikatakan bahwa sumberdaya harus dicurahkan untuk menghilangkan
16
atau mengurangi secara substansial rintangan dari penderita cacat, walaupun di sini
tidak ada argumen utilitas marginal (karena mahal), dan tidak ada argumen utilitas
total (karena ia sangat terpuaskan), dan tidak ada kekurangan barang-barang utama
(karena ia memiliki barang-barang sebagaimana orang lain), masalahnya pasti
terletak pada sesuatu yang lain. Saya percaya bahwa apa yang menjadi persoalan
adalah interpretasi tentang kebutuhan dalam bentuk kemampuan dasar. Interpretasi
tentang kebutuhan dan kepentingan ini seringkali implisit dalam menuntut
persamaan. Tipe persamaan inilah yang saya sebut sebagai “persamaan kemampuan
dasar” (basic capability equality).
Fokus pada kemampuan dasar dapat dilihat sebagai perluasan alami dari
perhatian Rawl terhadap barang-barang utama, dengan menggeser perhatian dari
barang-barang menjadi apa yang dilakukan barang-barang pada manusia. Rawls
sendiri terdorong menilai keuntungan dalam arti barang-barang utama dengan
merujuk pada kemampuan, walaupun kriterianya berujung dengan fokus pada
barang-barang seperti: pada pendapatan daripada apa yang dilakukan dengan
pendapatan, pada “basis sosial kehormatan diri” daripada kehormatan diri itu
sendiri, dan sebagainya. Jika manusia sangat serupa satu sama lain, hal ini bukan
masalah besar, tetapi ada bukti bahwa konversi dari barang-barang menjadi
kemampuan berbeda secara substansial dari satu orang ke orang lainnya, dan
persamaan dalam hal barang-barang mungkin masih jauh dari persamaan dalam hal
kemampuan.
Tentu saja, pengertian “persamaan kemampuan dasar” memiliki banyak
kesulitan. Secara khusus masalah pengindekan (indexing) bundel kemampuan dasar
merupakan masalah yang serius. Masalah ini, bagaimanapun, dapat diperbandingkan
dengan pengindekan bundel barang-barang utama dalam konteks persamaan
Rawlsian. Tidak pada tempatnya di sini untuk masuk ke dalam masalah teknis yang
terlibat dalam pengindekan di atas, tetapi jelaslah bahwa apapun urutan parsial yang
dapat dilakukan atas dasar keseragaman preferensi personal harus dilengkapi dengan
konvensi tertentu yang telah mapan dari arti penting relatifnya.
Ide tentang kepentingan relatif ini tentu saja tergantung pada sifat
masyarakat. Pengertian tentang persamaan kemampuan dasar ini sangat umum,
tetapi aplikasinya pasti tergantung pada kebudayaan (culture-dependent), khususnya
dalam menilai perbedaan kemampuan. Sementara persamaan Rawlsian mengandung
ciri sebagai gabungan antara ketergantungan-budaya dan pemujaan (fetishist),
persamaan kemampuan dasar menghindari pemujaan, tapi tetap mempertahankan
ketergantungan-budaya. Sesungguhnya, persamaan kemampuan dasar pada dasarnya
dapat dilihat sebagai perluasan dari pendekatan Rawlsian dalam arah yang tidakmengandung
pemujaan (non-fetishist).
5. Komentar Kesimpulan
Saya mengakhiri kuliah ini dengan tiga komentar akhir. Pertama, bukanlah
pendapat saya bahwa persamaan kemampuan dasar dapat menjadi satu-satunya
petunjuk bagi kebaikan moral. Salah satu sebabnya adalah moralitas tidak hanya
berhubungan dengan persamaan. Sebab yang lain, meskipun saya berpendirian
bahwa persamaan kemampuan dasar memiliki keuntungan tertentu yang jelas atas
17
tipe persamaan lainnya, saya tidak menyatakan bahwa tipe yang lain tidak relevan
secara moral. Persamaan kemampuan dasar merupakan petunjuk parsial pada bagian
dari kebaikan moral yang diasosiasikan dengan ide persamaan. Saya telah mencoba
mengajukan pandangan bahwa sebagai petunjuk parsial hal ini memiliki kebajikan
yang tidak dimiliki oleh ciri-ciri persamaan lainnya.
Kedua, indeks kemampuan dasar, seperti halnya utilitas, dapat dipergunakan
dengan berbagai cara. Persamaan kemampuan dasar sesuai dengan persamaan
utilitas total, dan dapat diperluas pada arah yang berbeda, misalnya, pada leximin
kemampuan dasar. Di pihak lain, indeks dapat juga dipergunakan dengan cara yang
sama seperti halnya utilitarianisme, dengan menilai kekuatan klaim dalam arti
tambahan kontribusi untuk meningkatkan nilai indeks tersebut. Titik tolak
pentingnya adalah dalam memusatkan perhatian pada besaran (magnitude) yang
berbeda dengan utilitas dan juga dengan indeks barang-barang utama. Dimensi baru
dapat digunakan dengan cara yang berbeda, dan dengan dimensi baru ini persamaan
kemampuan dasar merupakan satu-satunya.
Terakhir, sebagian besar kuliah ini menaruh perhatian pada penolakan klaim
persamaan utilitarian, persamaan utilitas total, dan persamaan Rawlsian untuk
memberikan basis yang mencukupi bagi aspek persamaan dari moralitas--dan
memang sebagian dari kuliah ini menaruh perhatian pada kebutuhan daripada
kualitas kepentingan (deserts). Saya telah menyatakan bahwa tidak ada satupun dari
ketiga teori ini mencukupi, begitu pula kombinasi ketiganya.
Inilah tesis utama saya. Saya juga telah membuat klaim konstruktif bahwa
kesenjangan ini dapat dipersempit dengan gagasan persamaan kemampuan dasar,
dan secara umum dengan menggunakan kemampuan dasar sebagai dimensi yang
relevan secara moral yang membawa kita mengatasi utilitas dan barang-barang
utama. Saya harus mengakhiri kuliah ini dengan menunjukkan bahwa validitas dari
tesis utama tidak tergantung pada penerimaan klaim konstruktif ini.
Tentang Immanuel Kant, John Rawls, dan Etika Kantian Rawls Mengenai
Teori Keadilan

"Keadilan dan kekuasaan harus dipegang bersama,

sehingga apapun yang adil akan sangat kuat

dan apapun yang sangat kuat akan adil"

Blaise Pascal (1623-1662)

Artikel ini membahas singkat tentang Teori Keadilan John Rawls, tetapi terlebih dahulu
memperkenalkan sekilas biografi baik Immanuel Kant maupun John Rawls, serta pengaruh
Kant terhadap pemikiran Rawls.

Immanuel Kant

Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki
pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari wacana
metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu, dalam wacana
etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara mendalam
mempengaruhi epistemologi selanjutnya.

Telaah atas pemikiran Kant merupakan kajian yang cukup rumit, sedikitnya karena dua
alasan. Pertama, Kant membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangunnya secara
baru sama sekali. Filsafatnya itu oleh Kant sendiri disebut Kritisisme untuk melawankannya
dengan Dogmatisme. Dalam karyanya berjudul Kritik der reinen Vernunft (Kritik Akal Budi
Murni, 1781/1787) Kant menanggapi, mengatasi, dan membuat sintesa antara dua arus besar
pemikiran modern, yakni Empirisme dan Rasionalisme. Revolusi filsafat Kant ini seringkali
diperbandingkan dengan revolusi pandangan dunia Kopernikus, yang mematahkan
pandangan bahwa bumi adalah datar.

Kedua, sumbangan Kant bagi Etika. Dalam Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan,
1797), Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas, serta membedakan antara sikap
moral yang berdasar pada suara hati (disebutnya otonomi) dan sikap moral yang asal taat
pada peraturan atau pada sesuatu yang berasal dan luar pribadi (disebutnya heteronomi).

Kant lahir pada 22 April 1724 di Konigsberg, Prussia Timur (sesudah PD II dimasukkan ke
Uni Soviet dan namanya diganti menjadi Kaliningrad). Berasal dan keluarga miskin, Kant
memulai pendidikan formalnya di usia delapan tahun pada Collegium Fridericianum. Ia
seorang anak yang cerdas. Karena bantuan sanak saudaranyalah ia berhasil menyelesaikan
studinya di Universitas Konigsberg. Selama studi di sana ia mempelajari hampir semua
matakuliah yang ada. Untuk mencari nafkah hidup, ia sambil bekerja menjadi guru pribadi
(privatdozen) pada beberapa keluarga kaya.

Pada 1775 Kant rnemperoleh gelar doktor dengan disertasi benjudul “Penggambaran Singkat
dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api” (Meditationum quarunsdum de igne succinta
delineatio). Sejak itu ia mengajar di Univensitas Konigsberg untuk banyak mata kuliah, di
antaranya metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu
falak dan mineralogi. Kant dijuluki sebagai “der schone magister” (sang guru yang cakap)
karena cara mengajarnya yang hidup bak seorang orator.

Pada Maret 1770, ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika dengan disertasi
Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah (De mundi sensibilis atgue
intelligibilis forma et principiis). Kant meninggal 12 Februari 1804 di Konigsberg pada
usianya yang kedelapanpuluh tahun. Karyanya tentang Etika mencakup sebagai berikut:
Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Pendasaran Metafisika Kesusilaan, 1775), Kritik der
praktischen Vernunft (Kritik Akal Budi Praktis, 1 778), dan Die Metaphysik der Sitten
(Metafisika Kesusilaan, 1797).

John Rawls

John Rawls, bernama lengkap John Borden Rawls (1921-2002) , lahir dua abad setelah
Immanuel Kant. Rawls adalah filsuf asal Amerika yang pemikirannya banyak dipengaruhi
Kant. Ia juga memiliki pemikiran yang rumit dan ambisius. Argumen-argunennya selalu
dibangun dari telaah sejarah yang mendalam dan didasari pada wawasan keilmuan serta
disiplin yang beragam.

Pendidikan Rawls di bidang ekonomi dan filsafat. Seusai perang Dunia II ia mengajar sebagai
profesor filsafat berturut-turut di Universitas Princeton, Universitas Cornell, dan
Massachussets Institute of Technology (MIT). Sejak tahun 1962 ia mengajar di Universitas
Harvard hingga masa pensiunnya.

Pada masa remajanya, saat baru saja menyelesaikan studinya di Princeton, Rawls sempat
menjadi tentara, pengalaman yang baginya sangat buruk. Ia menyaksikan apa yang tenjadi di
kawasan Pasifik dan sempat ditugaskan di Nu Guini, Filipina dan Jepang dan berada di
Pasifik saat Amerika membombardir Hiroshima pada 1945. Kelak lima tahun
pascapemboman itu Rawls mengkritik keras tindakan tersebut lewat artikelnya di jurnal
politik Amerika, Dissent. Saat ia di Universitas Harvard di tahun 60-an, ia juga berkampanye
anti-perang dalam sebuah Konferensi Anti Perang di Washington saat Vietnam berusaha
dikuasai Amerika.

Rawls keluar dan tentara pada 1946. Ia lalu kembali ke alma maternya, Princeton, untuk
menulis disertasi doktoralnya di bidang flisafat moral. Tahun 1949 ia menikah dengan
Margaret Fox, seorang sarjana yang pelukis. Mereka dikarunia 5 orang anak. Di akhir masa
studinya di tahun 1949-50, Rawls mengambil kursus di bidang teori politik, yang kelak
menjadi batu pertama penulisan karya besarnya tentang keadilan, A Theory of Justice (Teori
Keadilan), yang diterbitkan pada tahun 1971 (jadi Rawls telah mempersiapkan bukunya itu
dalam kurun waktu 20 tahun!). A Theory of Justice pun menjadi salah satu buku filsafat dan
abad ke-20 yang paling banyak ditanggapi dan dikomentari, bukan saja di kalangan filsafat
melainkan dari para ahli ekonomi dan politik.
Rawls sangat berjasa melahirkan polemik tentang keadilan pada dekade 1970-an di Arnerika,
yang segera menjadi perbincangan luas di seantero dunia. Publikasi A Theory of Justice
memang peristiwa yang patut dicatat. Sejak saat kemunculan buku itu Rawls segera menjadi
terkenal sebagai seorang filsuf terkemuka di Amerika dan kelak di dunia. Diperkirakan telah
ada sekarang ini tak kurang dari 5.000 buku atau artikel yang memperbincangkan gagasannya
itu. Buku A Theory of Justice di Amerika saja dengan cepat terjual 200.000 kopi, sekurang-
kurangnya 23 kali cetak ulang, dan juga telah diterjemahkan ke dalam tak kurang 23 bahasa.
Sebagian besar dan para pelajar yang menekuni bidang politik dan filsafat dipastikan
mempelajari gagasan-gagasannya. Cerita tentang “bagaimana Rawls telah melahirkan
kembali filsafat politik dan meremajakan liberalisme” merupakan bagian dan legenda
akademik masa itu.

Pada awal karir akademisnya di tahun 1958, Rawls menulis artikel berjudul Justice as
Fairness sebagai awal dan debut pemikirannya tentang konsep keadilan. Ia memang pada
saat sebelum dan sesudah peluncuran A Theory of Justice menulis beberapa artikel sebagai
penjelasan tentang karyanya yang besar itu. Baru pada 1993 terbit bukunya yang kedua,
Political Liberalism, yang untuk sebagian merevisi pandangannya dalam buku pertama,
antara lain dengan mengakui bahwa masyarakat modern sangat heterogen dan karenanya
toleransi harus menjadi ciri khas masyarakat yang adil. Di masa senjanya ia kembali
menerbitkan bukunya yang ketiga: The Law of People (1999), buku tentang keadilan
internasional yang menggenapkan “trilogi”karyanya itu.

Etika Kantian Rawls

Pernikiran-pemikiran Rawls dalam A Theory of Justice tak dapat disangkal memiliki basis
kuat pada etika sentral Immanuel Kant mengenai otonomi manusia. Oleh Rawls hak-hak
dasar dan politik masyarakat ditempatkan pada jantung sistem pemikiran etika politiknya
yang tak boleh diganggu-gugat. Mengafirmasi Kant, Rawls percaya bahwa ciri yang paling
membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuannya untuk secara bebas
memilih apa yang rnenjadi pilihan dan kehendaknya. Gagasan Kant tentang otonomi
(rasionalitas) manusia memang oleh Rawls dijadikan sebagai salah satu basis kebenaran
tesisnya.

Bagi Rawls pelaku yang otonom adalah seseorang yang tindakannya ditentukan oleh prinsip-
prinsip rasional, bukan oleh dorongan-dorongan sementara. Gagasan ini ia meujuk pada Kant.
Katanya, kita bertindak secara otonom (rasional) jika kita menerima prinsip-prinsip yang
dipilih dalam posisi asali (original position), sebab otonomi atau rasionalitas (Kant
mengidentikkan keduanya) adalah unsur penting dalam posisi asali. Posisi asali menurut
Rawls adalah murni situasi hipotesis yang diandaikan ada untuk menentukan prinsip-prinsip
keadilan.

Ada tiga ciri dasar posisi asali: rasionalitas (rationalitiy), kebebasan (freedom), dan
kesetaraan (equality). Ketiga ciri dasar tersebut memerlukan dua hal: pertama, selubung
ketidaktahuan (veil of ignorance), dan kedua, sikap saling tak memihak-berkepentingan
(mutually disinterested attitude). Veil of ignorance adalah sikap yang membebaskan diri dari
segala bias yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Sedangkan mutually disinterested
attitude adalah sikap yang melepaskan diri dari sifat cemburu terhadap keuntungan yang akan
diperoleh orang lain.
Gagasan tentang keadilan Rawls dalam A Theory of Justice memang memiliki kedalaman
perspektif. A Theory of Justice mengurai panjang tema-tema sekitar keadilan: prinsip-prinsip
keadilan (principles of justice), posisi asali (original position), kebebasan (freedom),
kesetaraan (equality).

Apa yang digagas Rawls dalam pandangan-pandangannya mengenai keadilan sebagai


fairness adalah satu upaya mewujudkan semangat egalitarian pada struktur masyarakat. Tentu
egalitarianisme itu tidak boleh dimengerti dalam arti secara radikal. Rawls berpendapat soal
sikap adil, yaitu bahwa pembagian nilai-nilai sosial yang primer (primary social good)
disebut adil jika pembagiannya dilakukan secara merata, kecuali jika pembagian yang tidak
merata merupakan keuntungan bagi setiap orang. Nilai-nilai sosial yang primer yang
dimaksud adalah kebutuhan dasar yang sangat kita butuhkan untuk bisa hidup pantas sebagai
manusia dan warga masyarakat. Kebutuhan dasar itu antara lain hak-hak dasar, kebebasan,
kesejahteraan, dan kesempurnaan.

Egalitarianisnie di atas, kata Rawls, akan dicapai jika struktur dasar masyarakat (basic
structure of society) yang disepakati dalam situasi kontrak menguntungkan semua pihak.
Pandangannya mengenai situasi kontraktarian dalam membangun masyarakat memang
bukanlah gagasan baru. Hal itu telah banyak ditawarkan oleh para pemikir pendahulunya,
seperti Hobbes, Locke, Rousseau. Hanya saja situasi kontraktarian masyarakat ala Rawls
adalah ‘sintesis’ dan teori kontrak sosial sebelumnya yang cenderung utilitarianistik di satu
sisi dan intuisionistik di lain sisi di mana masing-masing memiliki cacat mendasar. Menurut
Rawls utilitarianisme telah memunculkan sikap-sikap pembenaran orang kuat yang tak adil
terhadap orang lemah, dan mengancarn hak-hak individu, sedangkan pandangan
intuisionisme terjebak dalam subjektivisme moral, dan karenanya mengancam rasionalitas
keadilan.

Bidang utama prinsip keadilan, demikian Rawls, adalah struktur dasar masyarakat (basic
structure of society) yang meliputi institusi sosial, politik, hukum, ekonomi, karena struktur
institusi itu mempunyai pengaruh mendasar terhadap prospek kehidupan individu. Maka
problem utama keadilan ialah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-
prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil, yaitu
bagaimana prosedur pendistribusian pendapatan yang adil kepada masyarakat.

Prinsip keadilan, Rawls menyatakan, haruslah berdasar pada asas hak, bukan manfaat. Jika
asas manfaat yang menjadi dasar maka ia akan mengabaikan prosedur yang fair: hal yang
dianggap utama adalah hasil akhirnya yang memiliki banyak manfaat untuk sebanyak
mungkin orang tanpa mengindahkan cara dan prosedurnya (the greatest good for the greatest
number). Sebaliknya, prinsip keadilan yang berdasarkan pada asas hak akan melahirkan
prosedur yang fair karena berdasar pada hak-hak (individu) yang tak boleh dilanggar (hak-
hak individu memang hal yang dengan gigih diperjuangkan Rawls untuk melawan kaum
utilitarian). Maka dengan menghindari pelanggaran terhadap hak semua orang sesungguhnya
juga akan menciptakan prosedur yang adil (fair), apapun manfaat yang dihasilkannya. Lantas
yang menjadi pertanyaan adalah: mekanisme yang bagaimanakah yang kondusif untuk
menciptakan prosedur yang fair tersebut?

Rawls menjawab: prosedur harus dibuat pada posisi asali yang diandaikan ada oleh orang-
orang yang tak memihak, yang berada di baiik selubung ketidaktahuan. Menurut Rawls,
sambil berada dalam posisi asali kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan berikut ini.
Prinsip pertama:

Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas
yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang, dan

Prinsip kedua:

Ketidaksamaan sosial dan ekonomis diatur sedemikian rupa sehingga

a) menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga

b) melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam
keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.

Tentang hubungan kedua prinsip itu lebih lanjut Rawls menjelaskan bahwa prinsip pertama
(kebebasan yang sedapat mungkin sama) harus diberi prioritas mutlak. Prinsip ini tidak boleh
dikalahkan oleh prinsip-prinsip lain. Sedangkan prinsip kedua b (persarnaan peluang yang
fair), harus ditempatkan di atas prinsip kedua a (prinsip perbedaan).

Pada skala nilai dalam masyarakat adil yang dicita-citakan Rawls, paling atas harus
ditempatkan hak-hak kebebasan, yaitu hak-hak asasi manusia; lalu harus dijamin peluang
yang sama bagi semua warga untuk memangku jabatan penting; dan akhirnya perbedaan
sosial-ekonomi tertentu dapat diterima demi peningkatan kesejahteraan bagi orang-orang
yang minimal beruntung.***

KEADILAN DALAM BISNIS


Posted On 20/12/2010 08:41:01 by pinkky_girls23

KEADILAN DALAM BISNIS

1.    PAHAM TRADISIONAL DALAM BISNIS

a. Keadilan Legal

Menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya
adalah semua orang atau kelompok masyarakat  diperlakukan secara sama oleh negara di
hadapan hukum.

b. Keadilan Komutatif

Mengatur hubungan yg adil atau fair antara orang yg satu dg yg lain atau warga negara satu
dg warga negara lainnya.
c. Keadilan Distributif

Keadilan distributif (keadilan ekonomi) adl distribusi ekonomi yg merata atau yg dianggap
merata bagi semua warga negara. Menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau  hasil-hasil
pembangunan. 

2.    KEADILAN INDIVIDUAL DAN STRUKTURAL

Keadilan dan upaya menegakkan keadilan menyangkut aspek lebih luas berupa penciptaan
sistem yg mendukung terwujudnya keadilan tsb.

Prinsip keadilan legal berupa perlakuan yg sama thd setiap orang bukan lagi soal orang per
orang, melainkan menyangkut sistem dan struktur sosial politik scr keseluruhan.

Untuk bisa menegakkan keadilan legal, dibutuhkan sistem sosial politik yg memang
mewadahi dan memberi tempat bagi tegaknya keadilan legal tsb, termasuk dlm bidang bisnis.

Dalam bisnis, pimpinan perusahaan manapun yg melakukan diskriminasi tanpa dasar yg


bisa dipertanggungjawabkan scr legal dan moral hrs ditindak demi menegakkan sebuah
sistem organisasi perusahaan yg memang menganggap serius prinsip perlakuan yg sama, fair
atau adil ini.

Dlm bidang bisnis  dan ekonomi, mensyaratkan suatu pemerintahan yg juga adil:
pemerintah yg tunduk dan taat pada aturan keadilan dan bertindak berdasarkan aturan
keadilan itu.

Yg dibutuhkan adalah apakah sistem sosial politik berfungsi sedemikian rupa hingga
memungkinkan distribusi ekonomi bisa berjalan baik utk mencapai suatu situasi sosial dan
ekonomi yg bisa dianggap cukup adil.

Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal menciptakan sistem sosial politik yg
kondusif, dan juga tekadnya utk menegakkan keadilan. Termasuk di dalamnya keterbukaan
dan kesediaan untuk dikritik, diprotes, dan digugat bila melakukan pelanggaran keadilan.
Tanpa itu ketidakadilan akan merajalela dlm masyarakat.

3.    TEORI KEADILAN ADAM SMITH


a. Prinsip No Harm

Yaitu prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak  dan kepentingan
orang lain.

b. Prinsip Non-Intervention

Yaitu prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan
penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk
ikut campur tangan dlm kehidupan dan kegiatan orang lain

c. Prinsip Keadilan Tukar

Merupakan penerapan lebih lanjut dari no harm scr khusus dlm pertukaran dagang antara satu
pihak dg pihal lain dlm pasar.

4.    TEORI KEADILAN DISTRIBUTIF JOHN RAWLS

            Pasar memberi kebebasan dan peluang yg sama bagi semua pelaku ekonomi.
Kebebasan adalah nilai dan salah satu hak asasi paling penting yg dimiliki oleh manusia, dan
ini dijamin oleh sistem ekonomi pasar. Pasar memberi peluang bagi penentuan diri manusia
sbg makhluk yg bebas. Ekonomi pasar menjamin kebebasan yg sama dan kesempatan yg fair.

a. Prinsip-prinsip Keadilan Distributif Rawls

1.      Prinsip kebebasan yang sama

2.      Prinsip perbedaan

b. Kritik atas Teori Rawls

Bahwa Prinsip Perbedaan, berakibat  menimbulkan ketidakadilan baru.

Pertama, prinsip tsb membenarkan ketidakadilan, karena dg prinsip tsb pemerintah


dibenarkan utk melanggar dan merampas hak pihak ttt utk diberikan kpd pihak lain.
Kedua, yg lebih tidak adil lagi adlah bahwa kekayaan kelompok ttt yg diambil pemerintah
tadi juga diberikan kpd kelompok yg menjadi tidak beruntung atau miskin karena
kesalahannya sendiri. Prinsip Perbedaan justru memperlakukan scr tidak adil mereka yg dg
gigih, tekun, disiplin, dan kerja keras telah berhasil mengubah nasib hidupnya terlepas dari
bakat dan kemampuannya yg mungkin pas-pasan.

5.    JALAN KELUAR ATAS MASALAH KETIMPANGAN EKONOMI

Terlepas dari kritik-kritik thd teori Rawls, kita akui bahwa Rawls mempunyai pemecahan
yg cukup menarik dan mendasar atas ketimpangan ekonomi. Dg memperhatikan scr serius
kelemahan-kelemahan yg dilontarkan, kita dpt mengajukan jalan keluar tertentu yg
sebenarnya merupakan  perpaduan teori Adam Smith yg menekankan pada pasar, dan juga 
teori Rawls yg menekankan kenyataan perbedaan bahkan ketimpangan ekonomi yg
dihasilkan oleh pasar.

Harus kita akui bahwa pasar adalah sistem ekonomi terbaik hingga sekarang, karena dari
kacamata Adam Smith maupun Rawls, pasar menjamin kebebasan berusaha scr optimal bagi
semua orang. Karena itu kebebasan berusaha dan kebebasan dlm segala aspek kehidupan
harus diberi tempat pertama.

Negara dituntut utk mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yg scr khusus
dimaksudkan utk membantu memperbaiki keadaan sodial dan ekonomi kelompok yg scr
obyektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri.

Dengan mengandalkan kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif


pemerintah yg khusus ditujukan utk membantu kelompok yg scr obyektif tidak mampu
memanfaatkan peluang pasar scr maksimal. Dlm hal ini penentuan kelompok yg
mendpt perlakuan istimewa hrs dilakukan scr transparan dan terbuka. Langkah dan
kebijaksanaan ini mencakup pengaturan sistem melalui pranata politik dan legal,
sebagaimana diusulkan oleh Rawls, ttp harus tetap selektif sekaligus berlaku umum.
Jalan keluar ini sama sekali tidak bertentangan dg sistem ekonomi pasar karena sistem
ekonomi pasar sesungguhnya mengakomodasi kemungkinan rosedur,
Neoliberalisme, dan SBY
Posted on June 17, 2010 by Ahmad Samantho| Leave a comment

Hubungan Neoliberalisme dan masalah ’prosedur’ nampak jelas pada konsep mereka tentang
keadilan. Tokoh utama dalam konsep keadilan dari pendukung neoliberalisme adalah Robert
Nozick melalui bukunya Anarchy, State, and Utopiayang terbit pada tahun 1974. Buku ini
sekaligus menjadi kritik terpenting dari teori keadilannya John Rawls yang dikenal luas
melalui buku Rawls, Theory of Justice(1971). Teori keadilan Rawls ini banyak memberikan
pendasaran teoritis keadilan dalam perpsektif negara kesejahteraan (welfare state).

Robert Nozick mengkritik pendapat Rawls terutama terkait dengan Prinsip Kebebasan
danPrinsip Perbedaan yang menurut Nozick keduanya adalah tidak konsisten.

Untuk membangun teori keadilannya, John Rawl mengajukan suatu kondisi awali secara
hipotetis. Menurut Rawls, dalam posisi awali (original position) segala perbedaan seperti
perbedaan dalam kekayaan, ras, pekerjaan, kelas sosial, keyakinan dan lain-lain itu tidak
berlaku. Kondisi hipotetis ini oleh Rawls disebut dengan ’cadar ketidaktahuan’ (veil of
ignorance). Dalam kondisi seperti ini, syarat yang diajukan oleh Rawls untuk mencapai hidup
wajar pertama-tama adalah Prinsip Kebebasan. Prinsip kebebasan ini merupakan syarat dasar
yang harus ada. Kebebasan yang dimaksud oleh Rawls disini adalah bahwa setiap orang
harus mempunyai satuan kebebasan dasar yang setara dan luas. Dari prinsip kebebasan ini
dapat dibayangkan bahwa distribusi kepemilikan seharusnya setara, kecuali tingkat
kesenjangan tertentu membawa kondisi kebaikan bagi semua, terutama yang nasibnya paling
buruk. Perbedaan hanya dibenarkan apabila membuat lebih baik bagi yang paling buruk.
Inilah yang disebut Rawls sebagai Prinsip Perbedaan, dan pada titik inilah kritik Nozick
terutama diajukan.

Menurut Nozick, jika Prinsip Kebebasan itu diterima maka tentunya ini berakibat juga
tiadanya pembatasan akan kepemilikan individual. Dengan Prinsip Kebebasan maka
kekayaan yang mungkin dapat dipunyai seorang individu adalah tidak terbatas, dan jika ini
dibatasi seperti yang dimaksudkan dalam Prinsip Perbedaan maka dengan sendirinya ini akan
berlawanan dengan Prinsip Kebebasan. Inilah mengapa Nozick berpendapat bahwaPrinsip
Kebebasan dan Prinsip Perbedaan dari Rawls tidak konsisten satu dengan yang lain.

Nozick membedakan teori keadilan menjadi dua, yaitu yang berdasarkan pada hasil akhirdan
pada proses. Menurut pandangan Nozick ini jika melihat hasil akhirnya, lebarnya suatu
kesenjangan kesejahteraan bisa saja dipandang sebagai suatu yang tidak adil, tetapi jika
melihat proses bagaimana kesenjangan itu terjadi bisa saja hal tersebut bukanlah suatu bentuk
ketidak-adilan. Nozick membedakan teori keadilan yang berdasarkan proses(historical theory
of justice) menjadi dua, yaitu yang berpola dan tidak berpola. Yang berpola misalnya
mengikuti pola seperti ’setiap orang dibagikan menurut kebutuhannya … menurut
statusnya… dan seterusnya. Nozick memandang teori keadilan Rawls adalah berdasarkan
pada teori keadilan yang berpola dan juga yang berdasar hasil akhir (end-state theory of
justice), sedangkan teori yang diajukan oleh Nozick, disebutkannya sebagai teori keadilan
yang tidak berpola. Teori keadilan yang tidak berpola tidak pernah mengikuti pola seperti
’setiap orang dibagikan menurut kebutuhannya… menurut statusnya…dan seterusnya, tetapi
distribusi kesejahteraan setiap orang adalah melalui prosedur-prosedur yang sah atau legitim.
Terjadinya akumulasi kesejahteraan pada sekelompok kecil orang dan ini kemudian membuat
kesenjangan sosial yang sangat lebar, sejauh itu dilakukan melalui prosedur-prosedur yang
legitim maka menurut Nozick itu adalah tidak masalah dan bukannya terus menjadi tidak
adil.

Untuk kondisi Indonesia saat ini, pandangan Nozick pada penerapannya akan dapat
menimbulkan permasalahan yang serius terutama terkait dengan bangunan prosedur-
prosedurnya yang dengan kesenjangan masih sangat lebar akan mengakibatkan sulit bagi
golongan-golongan miskin untuk ikut dalam ’pakta dominasi’ yang ujungnya terutama adalah
menetapkan prosedur-prosedur, baik dalam bentuk undang-undang, hukum atau peraturan-
peraturan. Prosedur yang ditetapkan menjadi sangat rentan untuk dan menjadi lebih berpihak
pada yang kuat, berpihak pada yang mempunyai modal kuat. Dan juga jika prosedur menjadi
semacam ’wasit’ satu-satunya, fakta sekarang di Indonesia terlalu banyak warga –karena
kesenjangan sosial yang lebar, berangkat dari titik awal yang jauh tertinggal.

Teori keadilan dari Rawls yang didasarkan pada Prinsip Kebebasan, Prinsip Perbedaan dan
Prinsip Kesamaan Kesempatan kiranya lebih relevan untuk dipertimbangkan di Indonesia
saat ini. Prinsip Perbedaan menjadi sangat penting bagi Indonesia ketika data-data terkait
dengan ketimpangan sosial sejak sebelum merdeka sampai sekarang menunjukkan struktur
yang belum banyak berubah. Prinsip maksimin (maximin principle) yang diturunkan dari
Prinsip Perbedaan ini, yaitu perbedaan hanya dapat dibenarkan apabila membuat lebih baik
apa yang paling buruk dapat memberikan arahan bagi kita untuk betul-betul memperhatikan
kelompok masyarakat yang berada dalam struktur sosial paling bawah, dan kelompok besar
ini di Indonesia adalah petani selain juga kaum miskin kota. Pengalaman berbagai negara
yang sekarang masuk dalam kelompok negara maju terkait dengan program land-reform
memberikan pelajaran yang berharga mengenai hal ini.

Maka jika sering kita melihat Presiden SBY selalu mengedepankan prosedur, pertama-tama
bukanlah ini karena pertimbangan ketaatan terhadap hukum semata, tetapi kita mestinya bisa
juga memberikan penilaian lain selain hal tersebut dan hal itu adalah SBY sedang
membangun NKRI ini menjadi sebuah negara neoliberal (neoliberal state), dimana pada
negara neoliberal peran negara adalah minimal (minimal state) dan prinsip keadilannya
adalah berdasarkan prosedur-prosedur yang legitim seperti didasarkan oleh Robert Nozick.
***

itu.

You might also like