Professional Documents
Culture Documents
Apresiasi ini lebih buruk dibandingkan dengan penilaian masyarakat pada kurun waktu yang
sama atas KIB I. Bidang politik,hukum,dan keamanan yang menjadi andalan kampanye
pasangan SBY-Boediono kini justru terpuruk. Penilaian masyarakat tersebut belum tentu
semuanya benar.Namun bila kita lihat adanya upaya untuk menggembosi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penerapan hukum yang pilih kasih, tampaknya penilaian
masyarakat tersebut masuk akal.
Contoh paling konkret dari kesenjangan dalam penegakan hukum ialah betapa njomplang
hukuman yang diberikan kepada para koruptor dan terhadap mereka yang masih memiliki
gagasan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tengoklah
misalnya seorang mafia hukum sekaliber Sjahril Djohan hanya dikenai hukuman 18 bulan
penjara potong tahanan.
Bandingkan dengan para penari Cakalele yang membawa bendera Republik Maluku Selatan
(RMS) saat menari di hadapan Presiden SBY beberapa waktu lalu, mereka mendapatkan
“hadiah hukuman” 20 tahun penjara. Tampaknya korupsi bukan dianggap sebagai kejahatan
luar biasa yang bisa menghancurkan negara atau bermotifkan politik, melainkan kejahatan
biasa yang hukumannya tidak berbeda jauh dengan hukuman terhadap seorang nenek yang
memungut tiga buah cokelat yang jatuh dari pohon!
Sementara mereka yang dianggap melakukan gerakan separatisme diganjar hukuman yang
amat berat karena dianggap melakukan tindakan melawan hukum yang terkait dengan politik.
Hukuman yang terlalu berat dan perlakuan yang tidak manusiawi kepada mereka yang
dituduh menjadi pengikut RMS menjadikan gerakan separatisme tersebut tumbuh dengan
subur kembali. Tindakan penyiksaan juga menyebabkan adanya simpati dan dukungan
internasional terhadap mereka yang terhukum ini.
Tak mengherankan bila sebagian kecil pimpinan RMS di negeri Belanda berupaya untuk
memanfaatkan rencana kunjungan Presiden SBY ke Negeri Kincir Angin tersebut untuk
propaganda politik dengan menuntut kepada pengadilan Belanda agar menangkap Presiden
SBY yang dipandang sebagai pelanggar hak asasi manusia.Keputusan Presiden SBY untuk
menunda kunjungan ke Belanda semakin menunjukkan bahwa upaya RMS
menginternasionalisasi gerakannya sukses besar.
Kasus tindakan kekerasan terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota Organisasi Papua
Merdeka (OPM) yang videonya juga ditayangkan di Australia dan beberapa negara di dunia
juga menimbulkan simpati dunia terhadap gerakan tersebut. Manakala kita sedang
membangun suatu kebersamaan di antara sesama anak bangsa, ternyata ada tindakan
semenamena terhadap sesama anak bangsa yang mungkin saja salah langkah.
Tindakan kejam itu justru menumbuhsuburkan kembali gerakan separatisme di Tanah Air.
Kita tidak belajar dari Gerakan Aceh Merdeka yang digagas Hasan Tiro dahulu.Mulanya ia
juga gerakan kecil yang didukung 15–20 orang kerabatnya.Namun karena tindak kekerasan
aparat terhadap mereka begitu masif, jadilah ia gerakan besar yang mendunia. Dalam bulan-
bulan terakhir ini kita juga menyaksikan betapa konflik komunal menggema kembali.
Persoalan terorisme juga muncul kembali.
Untuk mengatasi hal itu, bukan tindakan pencegahan yang dilakukan, melainkan seolah
negara memelihara konflik komunal, premanisme,dan terorisme.Entah kebetulan atau tidak,
apakah itu juga bagian dari skenario besar terkait dengan proyek penanganan terorisme, tetapi
persoalan terorisme selalu muncul saat ada isu politik lain yang sedang terjadi di negeri ini.
Tengok pula bagaimana cara polisi menangani demo mahasiswa di Makassar.
Kita tidak setuju dengan cara-cara demo mahasiswa yang brutal dan sering melawan aparat
keamanan.Namun kita juga tidak setuju dengan cara aparat kepolisian mengatasi demo
mahasiswa di Makassar. Jika cara penanganan terhadap mereka yang dituduh separatis,
teroris, atau terhadap demonstrasi mahasiswa seperti yang kita lihat di tayangan televisi, kita
patut khawatir jangan-jangan lonceng kematian NKRI akan segera berdentang!
Pedulikah para petinggi negara kita atas situasi di lapangan tersebut? Tampaknya mereka
lebih sibuk soal reshuffle kabinet karena itu akan terkena langsung pada diri dan
partainya.Repotnya lagi bila Presiden SBY melakukan reshuffle kabinet bukan atas dasar
merit system, melainkan penjatahan kursi di kabinet bagi partai-partai politik yang menjadi
pendukungnya.
Jika pendekatan politik lebih mengemuka dalam penggantian kabinet, secara sadar atau tidak
para petinggi negeri hanya sibuk dengan bagi-bagi kekuasaan di antara mereka sendiri, bukan
ingin berkarya bagi bangsa. Situasi itu mirip dengan Prancis sebelum revolusi 1770-an ketika
para elite politik dan bangsawan tidak peduli dengan situasi negeri dan melontarkan
semboyan: apres nous le deluge yang artinya biarlah prahara datang setelah kita pergi.
Kendati di era modern ini tidak ada lagi guillotine pemenggal kepala para elite politik yang
merusak negara seperti di Prancis, apakah para elite politik peduli pada masa depan anak
cucu mereka yang juga adalah bagian dari bangsa ini? Kita tak ingin lonceng kematian NKRI
bergema dalam waktu kapan pun.Untuk itulah kita harus mengawal jalannya pemerintahan
negeri ini agar tidak terjadi politik pecah-belah di antara anakanak negeri.(*)
Sebuah renungan…
Dari sebuah blog, saya menemukan rangkaian pepatah bijak tentang makna Sang Waktu…
Untuk memahami makna SATU TAHUN, tanyalah pada siswa yang tidak naik kelas
Untuk memahami makna SATU BULAN, tanyalah pada ibu yang melahirkan bayi prematur
Untuk memahami makna SATU MINGGU, tanyalah pada editor majalah mingguan
Untuk memahami makna SATU HARI, tanyalah pada pekerja dengan gaji harian
Untuk memahami makna SATU JAM, tanyalah pada gadis yang sedang menunggu
kekasihnya
Untuk memahami makna SATU MENIT, tanyalah pada seseorang yang ketinggalan kereta
Untuk memahami makna SATU DETIK, tanyalah pada seseorang yang selamat dari
kecelakaan
Untuk memahami makna SATU MILI DETIK, tanyalah pada pelari peraih medali perak
Olimpiade
Lama dan sebentar, itu adalah pengertian tentang waktu, namun sadarkah kita bahwa waktu
terus berlalu?
Kehidupan berjalan terus beriringan dengan Sang Waktu. Sudahkah kita menggunakan waktu
yang kita miliki untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat?
Artikel ini membahas singkat tentang Teori Keadilan John Rawls, tetapi terlebih dahulu
memperkenalkan sekilas biografi baik Immanuel Kant maupun John Rawls, serta pengaruh
Kant terhadap pemikiran Rawls.
Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki
pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari wacana
metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu, dalam wacana
etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara mendalam
mempengaruhi epistemologi selanjutnya.
Telaah atas pemikiran Kant merupakan kajian yang cukup rumit, sedikitnya karena dua
alasan. Pertama, Kant membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangunnya secara
baru sama sekali. Filsafatnya itu oleh Kant sendiri disebut Kritisisme untuk melawankannya
dengan Dogmatisme. Dalam karyanya berjudul Kritik der reinen Vernunft (Kritik Akal Budi
Murni, 1781/1787) Kant menanggapi, mengatasi, dan membuat sintesa antara dua arus besar
pemikiran modern, yakni Empirisme dan Rasionalisme. Revolusi filsafat Kant ini seringkali
diperbandingkan dengan revolusi pandangan dunia Kopernikus, yang mematahkan
pandangan bahwa bumi adalah datar.
Kedua, sumbangan Kant bagi Etika. Dalam Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan,
1797), Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas, serta membedakan antara sikap
moral yang berdasar pada suara hati (disebutnya otonomi) dan sikap moral yang asal taat
pada peraturan atau pada sesuatu yang berasal dan luar pribadi (disebutnya heteronomi).
Kant lahir pada 22 April 1724 di Konigsberg, Prussia Timur (sesudah PD II dimasukkan ke
Uni Soviet dan namanya diganti menjadi Kaliningrad). Berasal dan keluarga miskin, Kant
memulai pendidikan formalnya di usia delapan tahun pada Collegium Fridericianum. Ia
seorang anak yang cerdas. Karena bantuan sanak saudaranyalah ia berhasil menyelesaikan
studinya di Universitas Konigsberg. Selama studi di sana ia mempelajari hampir semua
matakuliah yang ada. Untuk mencari nafkah hidup, ia sambil bekerja menjadi guru pribadi
(privatdozen) pada beberapa keluarga kaya.
Pada 1775 Kant rnemperoleh gelar doktor dengan disertasi benjudul “Penggambaran Singkat
dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api” (Meditationum quarunsdum de igne succinta
delineatio). Sejak itu ia mengajar di Univensitas Konigsberg untuk banyak mata kuliah, di
antaranya metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu
falak dan mineralogi. Kant dijuluki sebagai “der schone magister” (sang guru yang cakap)
karena cara mengajarnya yang hidup bak seorang orator.
Pada Maret 1770, ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika dengan disertasi
Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah (De mundi sensibilis atgue
intelligibilis forma et principiis). Kant meninggal 12 Februari 1804 di Konigsberg pada
usianya yang kedelapanpuluh tahun. Karyanya tentang Etika mencakup sebagai berikut:
Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Pendasaran Metafisika Kesusilaan, 1775), Kritik der
praktischen Vernunft (Kritik Akal Budi Praktis, 1 778), dan Die Metaphysik der Sitten
(Metafisika Kesusilaan, 1797).
John Rawls
John Rawls, bernama lengkap John Borden Rawls (1921-2002) , lahir dua abad setelah
Immanuel Kant. Rawls adalah filsuf asal Amerika yang pemikirannya banyak dipengaruhi
Kant. Ia juga memiliki pemikiran yang rumit dan ambisius. Argumen-argunennya selalu
dibangun dari telaah sejarah yang mendalam dan didasari pada wawasan keilmuan serta
disiplin yang beragam.
Pendidikan Rawls di bidang ekonomi dan filsafat. Seusai perang Dunia II ia mengajar sebagai
profesor filsafat berturut-turut di Universitas Princeton, Universitas Cornell, dan
Massachussets Institute of Technology (MIT). Sejak tahun 1962 ia mengajar di Universitas
Harvard hingga masa pensiunnya.
Pada masa remajanya, saat baru saja menyelesaikan studinya di Princeton, Rawls sempat
menjadi tentara, pengalaman yang baginya sangat buruk. Ia menyaksikan apa yang tenjadi di
kawasan Pasifik dan sempat ditugaskan di Nu Guini, Filipina dan Jepang dan berada di
Pasifik saat Amerika membombardir Hiroshima pada 1945. Kelak lima tahun
pascapemboman itu Rawls mengkritik keras tindakan tersebut lewat artikelnya di jurnal
politik Amerika, Dissent. Saat ia di Universitas Harvard di tahun 60-an, ia juga berkampanye
anti-perang dalam sebuah Konferensi Anti Perang di Washington saat Vietnam berusaha
dikuasai Amerika.
Rawls keluar dan tentara pada 1946. Ia lalu kembali ke alma maternya, Princeton, untuk
menulis disertasi doktoralnya di bidang flisafat moral. Tahun 1949 ia menikah dengan
Margaret Fox, seorang sarjana yang pelukis. Mereka dikarunia 5 orang anak. Di akhir masa
studinya di tahun 1949-50, Rawls mengambil kursus di bidang teori politik, yang kelak
menjadi batu pertama penulisan karya besarnya tentang keadilan, A Theory of Justice (Teori
Keadilan), yang diterbitkan pada tahun 1971 (jadi Rawls telah mempersiapkan bukunya itu
dalam kurun waktu 20 tahun!). A Theory of Justice pun menjadi salah satu buku filsafat dan
abad ke-20 yang paling banyak ditanggapi dan dikomentari, bukan saja di kalangan filsafat
melainkan dari para ahli ekonomi dan politik.
Rawls sangat berjasa melahirkan polemik tentang keadilan pada dekade 1970-an di Arnerika,
yang segera menjadi perbincangan luas di seantero dunia. Publikasi A Theory of Justice
memang peristiwa yang patut dicatat. Sejak saat kemunculan buku itu Rawls segera menjadi
terkenal sebagai seorang filsuf terkemuka di Amerika dan kelak di dunia. Diperkirakan telah
ada sekarang ini tak kurang dari 5.000 buku atau artikel yang memperbincangkan gagasannya
itu. Buku A Theory of Justice di Amerika saja dengan cepat terjual 200.000 kopi, sekurang-
kurangnya 23 kali cetak ulang, dan juga telah diterjemahkan ke dalam tak kurang 23 bahasa.
Sebagian besar dan para pelajar yang menekuni bidang politik dan filsafat dipastikan
mempelajari gagasan-gagasannya. Cerita tentang “bagaimana Rawls telah melahirkan
kembali filsafat politik dan meremajakan liberalisme” merupakan bagian dan legenda
akademik masa itu.
Pada awal karir akademisnya di tahun 1958, Rawls menulis artikel berjudul Justice as
Fairness sebagai awal dan debut pemikirannya tentang konsep keadilan. Ia memang pada
saat sebelum dan sesudah peluncuran A Theory of Justice menulis beberapa artikel sebagai
penjelasan tentang karyanya yang besar itu. Baru pada 1993 terbit bukunya yang kedua,
Political Liberalism, yang untuk sebagian merevisi pandangannya dalam buku pertama,
antara lain dengan mengakui bahwa masyarakat modern sangat heterogen dan karenanya
toleransi harus menjadi ciri khas masyarakat yang adil. Di masa senjanya ia kembali
menerbitkan bukunya yang ketiga: The Law of People (1999), buku tentang keadilan
internasional yang menggenapkan “trilogi”karyanya itu.
Pernikiran-pemikiran Rawls dalam A Theory of Justice tak dapat disangkal memiliki basis
kuat pada etika sentral Immanuel Kant mengenai otonomi manusia. Oleh Rawls hak-hak
dasar dan politik masyarakat ditempatkan pada jantung sistem pemikiran etika politiknya
yang tak boleh diganggu-gugat. Mengafirmasi Kant, Rawls percaya bahwa ciri yang paling
membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuannya untuk secara bebas
memilih apa yang rnenjadi pilihan dan kehendaknya. Gagasan Kant tentang otonomi
(rasionalitas) manusia memang oleh Rawls dijadikan sebagai salah satu basis kebenaran
tesisnya.
Bagi Rawls pelaku yang otonom adalah seseorang yang tindakannya ditentukan oleh prinsip-
prinsip rasional, bukan oleh dorongan-dorongan sementara. Gagasan ini ia meujuk pada Kant.
Katanya, kita bertindak secara otonom (rasional) jika kita menerima prinsip-prinsip yang
dipilih dalam posisi asali (original position), sebab otonomi atau rasionalitas (Kant
mengidentikkan keduanya) adalah unsur penting dalam posisi asali. Posisi asali menurut
Rawls adalah murni situasi hipotesis yang diandaikan ada untuk menentukan prinsip-prinsip
keadilan.
Ada tiga ciri dasar posisi asali: rasionalitas (rationalitiy), kebebasan (freedom), dan
kesetaraan (equality). Ketiga ciri dasar tersebut memerlukan dua hal: pertama, selubung
ketidaktahuan (veil of ignorance), dan kedua, sikap saling tak memihak-berkepentingan
(mutually disinterested attitude). Veil of ignorance adalah sikap yang membebaskan diri dari
segala bias yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Sedangkan mutually disinterested
attitude adalah sikap yang melepaskan diri dari sifat cemburu terhadap keuntungan yang akan
diperoleh orang lain.
Gagasan tentang keadilan Rawls dalam A Theory of Justice memang memiliki kedalaman
perspektif. A Theory of Justice mengurai panjang tema-tema sekitar keadilan: prinsip-prinsip
keadilan (principles of justice), posisi asali (original position), kebebasan (freedom),
kesetaraan (equality).
Egalitarianisnie di atas, kata Rawls, akan dicapai jika struktur dasar masyarakat (basic
structure of society) yang disepakati dalam situasi kontrak menguntungkan semua pihak.
Pandangannya mengenai situasi kontraktarian dalam membangun masyarakat memang
bukanlah gagasan baru. Hal itu telah banyak ditawarkan oleh para pemikir pendahulunya,
seperti Hobbes, Locke, Rousseau. Hanya saja situasi kontraktarian masyarakat ala Rawls
adalah ‘sintesis’ dan teori kontrak sosial sebelumnya yang cenderung utilitarianistik di satu
sisi dan intuisionistik di lain sisi di mana masing-masing memiliki cacat mendasar. Menurut
Rawls utilitarianisme telah memunculkan sikap-sikap pembenaran orang kuat yang tak adil
terhadap orang lemah, dan mengancarn hak-hak individu, sedangkan pandangan
intuisionisme terjebak dalam subjektivisme moral, dan karenanya mengancam rasionalitas
keadilan.
Bidang utama prinsip keadilan, demikian Rawls, adalah struktur dasar masyarakat (basic
structure of society) yang meliputi institusi sosial, politik, hukum, ekonomi, karena struktur
institusi itu mempunyai pengaruh mendasar terhadap prospek kehidupan individu. Maka
problem utama keadilan ialah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-
prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil, yaitu
bagaimana prosedur pendistribusian pendapatan yang adil kepada masyarakat.
Prinsip keadilan, Rawls menyatakan, haruslah berdasar pada asas hak, bukan manfaat. Jika
asas manfaat yang menjadi dasar maka ia akan mengabaikan prosedur yang fair: hal yang
dianggap utama adalah hasil akhirnya yang memiliki banyak manfaat untuk sebanyak
mungkin orang tanpa mengindahkan cara dan prosedurnya (the greatest good for the greatest
number). Sebaliknya, prinsip keadilan yang berdasarkan pada asas hak akan melahirkan
prosedur yang fair karena berdasar pada hak-hak (individu) yang tak boleh dilanggar (hak-
hak individu memang hal yang dengan gigih diperjuangkan Rawls untuk melawan kaum
utilitarian). Maka dengan menghindari pelanggaran terhadap hak semua orang sesungguhnya
juga akan menciptakan prosedur yang adil (fair), apapun manfaat yang dihasilkannya. Lantas
yang menjadi pertanyaan adalah: mekanisme yang bagaimanakah yang kondusif untuk
menciptakan prosedur yang fair tersebut?
Rawls menjawab: prosedur harus dibuat pada posisi asali yang diandaikan ada oleh orang-
orang yang tak memihak, yang berada di baiik selubung ketidaktahuan. Menurut Rawls,
sambil berada dalam posisi asali kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan berikut ini.
Prinsip pertama:
Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas
yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang, dan
Prinsip kedua:
b) melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam
keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.
Tentang hubungan kedua prinsip itu lebih lanjut Rawls menjelaskan bahwa prinsip pertama
(kebebasan yang sedapat mungkin sama) harus diberi prioritas mutlak. Prinsip ini tidak boleh
dikalahkan oleh prinsip-prinsip lain. Sedangkan prinsip kedua b (persarnaan peluang yang
fair), harus ditempatkan di atas prinsip kedua a (prinsip perbedaan).
Pada skala nilai dalam masyarakat adil yang dicita-citakan Rawls, paling atas harus
ditempatkan hak-hak kebebasan, yaitu hak-hak asasi manusia; lalu harus dijamin peluang
yang sama bagi semua warga untuk memangku jabatan penting; dan akhirnya perbedaan
sosial-ekonomi tertentu dapat diterima demi peningkatan kesejahteraan bagi orang-orang
yang minimal beruntung.***
a. Keadilan Legal
Menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya
adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara di
hadapan hukum.
b. Keadilan Komutatif
Mengatur hubungan yg adil atau fair antara orang yg satu dg yg lain atau warga negara satu
dg warga negara lainnya.
c. Keadilan Distributif
Keadilan distributif (keadilan ekonomi) adl distribusi ekonomi yg merata atau yg dianggap
merata bagi semua warga negara. Menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil
pembangunan.
Keadilan dan upaya menegakkan keadilan menyangkut aspek lebih luas berupa penciptaan
sistem yg mendukung terwujudnya keadilan tsb.
Prinsip keadilan legal berupa perlakuan yg sama thd setiap orang bukan lagi soal orang per
orang, melainkan menyangkut sistem dan struktur sosial politik scr keseluruhan.
Untuk bisa menegakkan keadilan legal, dibutuhkan sistem sosial politik yg memang
mewadahi dan memberi tempat bagi tegaknya keadilan legal tsb, termasuk dlm bidang bisnis.
Dlm bidang bisnis dan ekonomi, mensyaratkan suatu pemerintahan yg juga adil:
pemerintah yg tunduk dan taat pada aturan keadilan dan bertindak berdasarkan aturan
keadilan itu.
Yg dibutuhkan adalah apakah sistem sosial politik berfungsi sedemikian rupa hingga
memungkinkan distribusi ekonomi bisa berjalan baik utk mencapai suatu situasi sosial dan
ekonomi yg bisa dianggap cukup adil.
Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal menciptakan sistem sosial politik yg
kondusif, dan juga tekadnya utk menegakkan keadilan. Termasuk di dalamnya keterbukaan
dan kesediaan untuk dikritik, diprotes, dan digugat bila melakukan pelanggaran keadilan.
Tanpa itu ketidakadilan akan merajalela dlm masyarakat.
Yaitu prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak dan kepentingan
orang lain.
b. Prinsip Non-Intervention
Yaitu prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan
penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk
ikut campur tangan dlm kehidupan dan kegiatan orang lain
Merupakan penerapan lebih lanjut dari no harm scr khusus dlm pertukaran dagang antara satu
pihak dg pihal lain dlm pasar.
Pasar memberi kebebasan dan peluang yg sama bagi semua pelaku ekonomi.
Kebebasan adalah nilai dan salah satu hak asasi paling penting yg dimiliki oleh manusia, dan
ini dijamin oleh sistem ekonomi pasar. Pasar memberi peluang bagi penentuan diri manusia
sbg makhluk yg bebas. Ekonomi pasar menjamin kebebasan yg sama dan kesempatan yg fair.
Terlepas dari kritik-kritik thd teori Rawls, kita akui bahwa Rawls mempunyai pemecahan
yg cukup menarik dan mendasar atas ketimpangan ekonomi. Dg memperhatikan scr serius
kelemahan-kelemahan yg dilontarkan, kita dpt mengajukan jalan keluar tertentu yg
sebenarnya merupakan perpaduan teori Adam Smith yg menekankan pada pasar, dan juga
teori Rawls yg menekankan kenyataan perbedaan bahkan ketimpangan ekonomi yg
dihasilkan oleh pasar.
Harus kita akui bahwa pasar adalah sistem ekonomi terbaik hingga sekarang, karena dari
kacamata Adam Smith maupun Rawls, pasar menjamin kebebasan berusaha scr optimal bagi
semua orang. Karena itu kebebasan berusaha dan kebebasan dlm segala aspek kehidupan
harus diberi tempat pertama.
Negara dituntut utk mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yg scr khusus
dimaksudkan utk membantu memperbaiki keadaan sodial dan ekonomi kelompok yg scr
obyektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri.
Hubungan Neoliberalisme dan masalah ’prosedur’ nampak jelas pada konsep mereka tentang
keadilan. Tokoh utama dalam konsep keadilan dari pendukung neoliberalisme adalah Robert
Nozick melalui bukunya Anarchy, State, and Utopiayang terbit pada tahun 1974. Buku ini
sekaligus menjadi kritik terpenting dari teori keadilannya John Rawls yang dikenal luas
melalui buku Rawls, Theory of Justice(1971). Teori keadilan Rawls ini banyak memberikan
pendasaran teoritis keadilan dalam perpsektif negara kesejahteraan (welfare state).
Robert Nozick mengkritik pendapat Rawls terutama terkait dengan Prinsip Kebebasan
danPrinsip Perbedaan yang menurut Nozick keduanya adalah tidak konsisten.
Untuk membangun teori keadilannya, John Rawl mengajukan suatu kondisi awali secara
hipotetis. Menurut Rawls, dalam posisi awali (original position) segala perbedaan seperti
perbedaan dalam kekayaan, ras, pekerjaan, kelas sosial, keyakinan dan lain-lain itu tidak
berlaku. Kondisi hipotetis ini oleh Rawls disebut dengan ’cadar ketidaktahuan’ (veil of
ignorance). Dalam kondisi seperti ini, syarat yang diajukan oleh Rawls untuk mencapai hidup
wajar pertama-tama adalah Prinsip Kebebasan. Prinsip kebebasan ini merupakan syarat dasar
yang harus ada. Kebebasan yang dimaksud oleh Rawls disini adalah bahwa setiap orang
harus mempunyai satuan kebebasan dasar yang setara dan luas. Dari prinsip kebebasan ini
dapat dibayangkan bahwa distribusi kepemilikan seharusnya setara, kecuali tingkat
kesenjangan tertentu membawa kondisi kebaikan bagi semua, terutama yang nasibnya paling
buruk. Perbedaan hanya dibenarkan apabila membuat lebih baik bagi yang paling buruk.
Inilah yang disebut Rawls sebagai Prinsip Perbedaan, dan pada titik inilah kritik Nozick
terutama diajukan.
Menurut Nozick, jika Prinsip Kebebasan itu diterima maka tentunya ini berakibat juga
tiadanya pembatasan akan kepemilikan individual. Dengan Prinsip Kebebasan maka
kekayaan yang mungkin dapat dipunyai seorang individu adalah tidak terbatas, dan jika ini
dibatasi seperti yang dimaksudkan dalam Prinsip Perbedaan maka dengan sendirinya ini akan
berlawanan dengan Prinsip Kebebasan. Inilah mengapa Nozick berpendapat bahwaPrinsip
Kebebasan dan Prinsip Perbedaan dari Rawls tidak konsisten satu dengan yang lain.
Nozick membedakan teori keadilan menjadi dua, yaitu yang berdasarkan pada hasil akhirdan
pada proses. Menurut pandangan Nozick ini jika melihat hasil akhirnya, lebarnya suatu
kesenjangan kesejahteraan bisa saja dipandang sebagai suatu yang tidak adil, tetapi jika
melihat proses bagaimana kesenjangan itu terjadi bisa saja hal tersebut bukanlah suatu bentuk
ketidak-adilan. Nozick membedakan teori keadilan yang berdasarkan proses(historical theory
of justice) menjadi dua, yaitu yang berpola dan tidak berpola. Yang berpola misalnya
mengikuti pola seperti ’setiap orang dibagikan menurut kebutuhannya … menurut
statusnya… dan seterusnya. Nozick memandang teori keadilan Rawls adalah berdasarkan
pada teori keadilan yang berpola dan juga yang berdasar hasil akhir (end-state theory of
justice), sedangkan teori yang diajukan oleh Nozick, disebutkannya sebagai teori keadilan
yang tidak berpola. Teori keadilan yang tidak berpola tidak pernah mengikuti pola seperti
’setiap orang dibagikan menurut kebutuhannya… menurut statusnya…dan seterusnya, tetapi
distribusi kesejahteraan setiap orang adalah melalui prosedur-prosedur yang sah atau legitim.
Terjadinya akumulasi kesejahteraan pada sekelompok kecil orang dan ini kemudian membuat
kesenjangan sosial yang sangat lebar, sejauh itu dilakukan melalui prosedur-prosedur yang
legitim maka menurut Nozick itu adalah tidak masalah dan bukannya terus menjadi tidak
adil.
Untuk kondisi Indonesia saat ini, pandangan Nozick pada penerapannya akan dapat
menimbulkan permasalahan yang serius terutama terkait dengan bangunan prosedur-
prosedurnya yang dengan kesenjangan masih sangat lebar akan mengakibatkan sulit bagi
golongan-golongan miskin untuk ikut dalam ’pakta dominasi’ yang ujungnya terutama adalah
menetapkan prosedur-prosedur, baik dalam bentuk undang-undang, hukum atau peraturan-
peraturan. Prosedur yang ditetapkan menjadi sangat rentan untuk dan menjadi lebih berpihak
pada yang kuat, berpihak pada yang mempunyai modal kuat. Dan juga jika prosedur menjadi
semacam ’wasit’ satu-satunya, fakta sekarang di Indonesia terlalu banyak warga –karena
kesenjangan sosial yang lebar, berangkat dari titik awal yang jauh tertinggal.
Teori keadilan dari Rawls yang didasarkan pada Prinsip Kebebasan, Prinsip Perbedaan dan
Prinsip Kesamaan Kesempatan kiranya lebih relevan untuk dipertimbangkan di Indonesia
saat ini. Prinsip Perbedaan menjadi sangat penting bagi Indonesia ketika data-data terkait
dengan ketimpangan sosial sejak sebelum merdeka sampai sekarang menunjukkan struktur
yang belum banyak berubah. Prinsip maksimin (maximin principle) yang diturunkan dari
Prinsip Perbedaan ini, yaitu perbedaan hanya dapat dibenarkan apabila membuat lebih baik
apa yang paling buruk dapat memberikan arahan bagi kita untuk betul-betul memperhatikan
kelompok masyarakat yang berada dalam struktur sosial paling bawah, dan kelompok besar
ini di Indonesia adalah petani selain juga kaum miskin kota. Pengalaman berbagai negara
yang sekarang masuk dalam kelompok negara maju terkait dengan program land-reform
memberikan pelajaran yang berharga mengenai hal ini.
Maka jika sering kita melihat Presiden SBY selalu mengedepankan prosedur, pertama-tama
bukanlah ini karena pertimbangan ketaatan terhadap hukum semata, tetapi kita mestinya bisa
juga memberikan penilaian lain selain hal tersebut dan hal itu adalah SBY sedang
membangun NKRI ini menjadi sebuah negara neoliberal (neoliberal state), dimana pada
negara neoliberal peran negara adalah minimal (minimal state) dan prinsip keadilannya
adalah berdasarkan prosedur-prosedur yang legitim seperti didasarkan oleh Robert Nozick.
***
itu.