You are on page 1of 33

Muhammad Arifin

Sabtu, 08 Januari 2011


108. Alternatif Teknologi Pengendalian Ulat Grayak pada Kedelai dengan
Berbagai Jenis Insektisida Biorasional
Arifin, M. dan D. Koswanudin. 2010. Alternatif teknologi pengendalian ulat
grayak pada kedelai dengan berbagai jenis insektisida biorasional, pp.
419-434. Dalam A. Kardinan et al. (Eds.) Prosiding Seminar Nasional VI,
PEI. Peranan Entomologi dalam Mendukung Pengembangan Pertanian
Ramah Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat. Bogor, 24 Juni 2010.

Muhammad Arifin dan Dodin Koswanudin


Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian

ABSTRAK

Ulat grayak, Spodoptera litura merupakan salah satu serangga pemakan


daun yang berstatus hama penting pada kedelai. Untuk mengatasi masalah hama
secara berkelanjutan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang
penggunaan produk dan teknologi pengendalian hama berwawasan lingkungan
yang meminimalkan dampak negatif terhadap serangga berguna, khususnya musuh
alami. Produk tersebut, antara lain insektisida biorasional, misalnya pestisida nabati,
beberapa mikroba patogen serangga, yakni bakteri (Bacillus thuringiensis),
cendawan (Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, dan
Verticillium lecanii), virus (Borrelinavirus litura), nematoda (Steinernema dan
Heterorhabditis), dan feromon serangga. Makalah ini membahas potensi beberapa
jenis insektisida biorasional sebagai suatu inovasi teknologi pengendalian hama dan
strategi pengembangannya sebagai produk berskala komersial. Melalui teknologi ini,
persepsi petani tentang masalah hama dan kebergantungannya pada penggunaan
insektisida kimiawi diharapkan dapat dikurangi sehingga tujuan pengembangan
sistem pertanian berkelanjutan dapat tercapai, khususnya dalam mendukung
swasembada kedelai.

Kata kunci: Kedelai, Ulat grayak, Spodoptera litura, Insektisida biorasional.

PENDAHULUAN
Upaya pemerintah mencanangkan swasembada kedelai tahun 2014
dihadapkan kepada beberapa masalah, antara lain kemungkinan terjadinya
penurunan produksi akibat serangan hama. Ulat grayak merupakan salah satu
serangga hama penting pada tanaman kedelai di Indonesia. Hama ini sering
mengakibatkan kehilangan hasil panen yang relatif tinggi, bahkan puso apabila tidak
dikendalikan. Luas serangan ulat grayak dari tahun 2002 hingga 2006 berkisar
antara 1.316 hingga 2.902 ha (Ditlin, 2008).

Sampai saat ini, sebagian besar petani mengendalikan ulat grayak dengan
mengandalkan insektisida yang diaplikasikan secara tidak menentu, bergantung
kemampuan finansial petani sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif, baik
terhadap pendapatan petani maupun lingkungan, seperti musnahnya musuh alami
dan munculnya gejala resistensi hama terhadap insektisida. Mengingat dampak
negatif penggunaan insektisida, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang
sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pelaksanaannya dengan menciptakan
dan menerapkan teknologi pengendalian hama yang berwawasan lingkungan,
antara lain dengan memanfaatkan produk alami yang akhir-akhir ini dikatagorikan
sebagai insektisida biorasional.

Makalah ini menyajikan suatu inovasi teknologi pengendalian ulat grayak


dengan menggunakan beberapa jenis insektisida biorasional dalam rangka
mendukung swasembada kedelai tahun 2014.

BIOEKOLOGI DAN DASAR PENGENDALIAN

Bioekologi

Ulat grayak memiliki ciri khas, yakni adanya dua bintik hitam berbentuk bulan
sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas keempat dan kesepuluh, yang dibatasi
oleh garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur di sepanjang badan.
Perkembangannya bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia telur, ulat,
kepompong, dan ngengat.

Ngengat mulai meletakkan telur pada pertanaman kedelai umur 3 minggu


setelah tanam. Setelah telur menetas, ulat tinggal sementara di tempat telur
diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat berpencaran. Stadium ulat terdiri atas
enam instar yang berlangsung 14 hari. Ulat tua bersembunyi di tanah pada siang
hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Ulat berkepompong di dalam
tanah. Stadium kepompong dan ngengat masing-masing 8 dan 9 hari. Ngengat
meletakkan telur secara berkelompok yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna coklat-
kemerahan. Produksi telur rata-rata 1.413 butir/ekor. Stadium telur berlangsung 3
hari. Daur hidup ulat grayak dari telur ke telur berlangsung 28 hari, sedangkan
panjang hidup dari telur hingga ngengat mati berlangsung 36 hari (Arifin, 1994).

Ulat grayak bersifat polifag. Ulat muda memakan daun sehingga bagian daun
yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua merusak
pertulangan daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun. Selama
periode ulat instar VI yang berlangsung 3-4 hari, 2 ekor ulat mampu menghabiskan
sebatang tanaman stadium vegetatif akhir dan 10 ekor ulat mampu menghabiskan
sebatang tanaman stadia pembentukan polong (Arifin, 1994).

Kerusakan dan kehilangan hasil karena ulat grayak ditentukan oleh populasi
dan stadia serangga, stadia tanaman, dan tingkat kerentanan varietas kedelai. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara populasi ulat dan hasil kedelai
pada berbagai stadia tanaman dinyatakan dengan kurva yang bersifat nonlinier
asimptotik. Kurva tersebut memiliki tipe gabungan antara kompensasi, linieritas, dan
desensitisasi. Ini berarti bahwa tanaman kedelai mampu mengkompensasi
kerusakan daun. Kemampuan tersebut terjadi apabila tanaman stadia vegetatif
akhir, pembungaan, awal pembentukan polong, dan pengisian polong, masing-
masing diserang ulat grayak kurang dari 1,9; 4,1; 3,1; dan 6,8 ekor/rumpun (Arifin,
1994).

Dasar Pengendalian

Dalam konsep PHT, pengendalian hama dilakukan dengan cara menurunkan


populasi hama kemudian mempertahankannya di bawah tingkat kerusakan ekonomi
(TKE). Agar populasi hama tidak melampaui TKE, tindakan pengendalian harus
dimulai saat populasi hama telah melampaui ambang ekonomi (AE). Menurut
Mumford dan Norton (1984), konsep TKE tersebut didasarkan atas prinsip break-
even point, yakni kesetaraan nilai manfaat kehilangan hasil yang diselamatkan oleh
tindakan pengendalian hama dengan biaya pengendalian hama. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa TKE adalah batas kritis pengendalian hama.
Penghitungan TKE ulat grayak didasarkan atas prinsip break-even point
pengendalian hama menggunakan rumus (Stone dan Pedigo, 1972):

BP
TKE = -----------------------------
KH x PH x HK x E

BP= biaya pengendalian (Rp/ha); KH= kehilangan hasil panen (%);


PH= potensi hasil panen setempat (kg/ha); HK= harga kedelai (Rp/kg);
E= efektivitas pengendalian (%).

Nilai TKE ulat grayak instar III pada tanaman stadia vegetatif, pembungaan,
pembentukan polong, dan pengisian polong, berturut-turut 1,94; 3,20; 3,24; dan 6,21
ekor/rumpun (Arifin, 1994). Karena kedudukan AE berada di bawah TKE, maka nilai
AE ditentukan sebesar 90% dari nilai TKE.

Untuk menentukan apakah populasi hama telah melampaui AE, harus


dilakukan pemantauan secara berkala agar hama tidak terlambat dikendalikan.
Dalam kegiatan tersebut, kepadatan populasi hama yang dikatagorikan layak
dikendalikan, ditentukan dengan teknik penarikan contoh beruntun berdasarkan pola
sebaran populasi, data TKE, dan tingkat risiko kesalahan dalam pengambilan
keputusan pengendalian (Shepard, 1980). Model penarikan contoh beruntun
populasi ulat grayak disusun menurut metode Waters (1954) sebagai berikut:

d=a±bn

d= banyaknya ulat kumulatif, a dan b= parameter dugaan regresi;


n= banyaknya contoh yang diperiksa,
+ = batas bahaya populasi yang harus segera dikendalikan, dan
– = batas aman populasi yang tidak perlu dikendalikan.

Penarikan contoh ulat grayak dilakukan secara beruntun pada tiap lahan seluas 0,1
ha, minimum dengan 7 rumpun contoh yang ditentukan secara acak berdasarkan
garis diagonal lahan. Banyaknya ulat kumulatif dikatagorikan menjadi: a) yang harus
dikendalikan karena populasi telah mencapai batas bahaya, b) yang tidak perlu
dikendalikan karena populasi belum mencapai batas aman, dan c) yang harus
dilakukan penarikan contoh ulang karena populasi berada di antara batas aman dan
batas bahaya (Arifin, 1994).

Model penarikan contoh beruntun populasi ulat grayak tersebut di atas


ketepatannya relatif tinggi karena mengandung risiko kesalahan yang masih
dalam batas yang ditoleransi, yakni α= β= 0,2. Selain itu, model tersebut
sederhana sehingga mudah diterapkan sebagai pedoman bagi petani
dalam melaksanakan kegiatan pemantauan dan pengambilan keputusan
pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai di lahannya sendiri. Oleh karena itu
model tersebut layak dijadikan sebagai salah satu komponen dalam menyusun
paket teknologi pengendalian ulat grayak pada kedelai.

STRATEGI DAN TEKNIK PENGENDALIAN

Strategi Pengendalian

Ada empat strategi yang dapat dikembangkan untuk menurunkan populasi


ulat grayak ke tingkat yang dapat ditoleransikan, yakni:

1. Strategi tanpa pengendalian

Dalam suatu ekosistem yang stabil, populasi hama berada di bawah AE


karena diatur, antara lain oleh musuh alami. Oleh karena itu, strategi yang
diterapkan adalah tidak melakukan tindakan pengendalian.

2. Strategi menurunkan populasi hama

Strategi ini diterapkan untuk dua situasi, yakni a) bila berdasarkan


pengalaman, populasi ulat grayak akan melampaui AE, maka untuk tujuan preventif,
sebelum tanam harus dilakukan rotasi tanaman, perubahan waktu tanam, atau
tindakan lain yang merubah lingkungan menjadi tidak disukai ulat grayak, b) bila
secara normal, populasi ulat grayak akan berada di atas AE sepanjang musim, maka
untuk tujuan kuratif, harus disiapkan tindakan menurunkan populasi hama secara
drastis, antara lain dengan insektisida kimia atau insektisida biorasional.
3. Strategi mengurangi kerentanan tanaman terhadap hama

Upaya mengurangi kerentanan tanaman terhadap hama dengan penanaman


varietas tahan merupakan strategi yang efektif, ekonomis, dan aman lingkungan.
Strategi ini tidak mengurangi populasi ulat grayak secara langsung, tetapi sangat
berarti karena tanaman dapat menolak atau mentolerir ulat grayak. Upaya ini dapat
disertai dengan meningkatkan vigor tanaman melalui pengairan tepat waktu dan
pemupukan (Hein, 2003).

4. Strategi kombinasi beberapa teknik pengendalian

Upaya mengkombinasikan beberapa teknik pengendalian yang cocok,


misalnya upaya penurunan populasi hama dan kerentanan tanaman merupakan
pendekatan yang menguntungkan karena jika satu teknik gagal, teknik lainnya dapat
membantu mengendalikan hama.

Teknik Pengendalian Ulat Grayak

Ada beberapa teknik pengendalian yang dapat digunakan secara terpadu


untuk menurunkan status hama ulat grayak.

1. Pengendalian dengan teknik budidaya (cultural control)

Teknik pengendalian ini merupakan usaha memanipulasi agroekosistem


untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan
perkembang-biakan hama, serta menyediakan habitat bagi organisme
menguntungkan. Beberapa teknik budidaya, antara lain:

a. Pergiliran tanaman untuk memutus rantai makanan bagi hama. Misalnya, pergiliran
tanaman kedelai dengan jagung atau padi yang dapat mengatasi masalah hama
karena masing-masing memiliki kompleks hama berbeda.

b. Penanaman dalam barisan (strip cropping). Misalnya, menanam kedelai dan jagung
secara berselang-seling pada petak berbeda. Teknik ini dapat meningkatkan
keragaman sehingga tanaman inang tersamarkan dari serangan hama. Selain itu,
tanaman dapat berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber pakan bagi
organisme berguna.

c. Penanaman varietas tahan, misalnya varietas Ijen yang toleran terhadap serangan
ulat grayak (Balitkabi, 2008). Menurut Adie (2008), ketahanan kedelai terhadap ulat
grayak ditentukan oleh kepadatan trikoma daun yang berkorelasi negatif dengan
intensitas kerusakan daun. Kepadatan trikoma dari pasangan persilangan ICH/Wilis,
G100H/ICH, dan G100/Wilis berpotensi sebagai kriteria seleksi ketahanan terhadap
ulat grayak.

d. Penanaman tanaman perangkap, misalnya kedelai galur MLG3023 atau varietas


Dieng yang ditanam dalam areal seluas 15% dari tanaman utama dapat digunakan
sebagai perangkap bagi ulat grayak. Galur dan varietas tersebut disukai ngengat
untuk meletakkan telurnya (Tengkano et al., 1997).

2. Pengendalian hayati.

Pengendalian hayati dengan musuh alami dimaksudkan untuk


mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang merugikan tanaman. Musuh
alami ulat grayak dimanfaatkan melalui: a) konservasi, misalnya penggunaan
insektisida yang kurang berbahaya bagi musuh alami, dan b) augmentasi melalui
pembiakan/perbanyakan dan pelepasan musuh alami. Khusus parasitoid dan
predator, pemanfaatan musuh alami melalui konservasi lebih efektif daripada
augmentasi. Beberapa jenis musuh alami ulat grayak, antara lain parasitoid telur
Telenomus sp., parasitoid ulat Snellenius manilae, predator Euborelia stali, virus
patogen Borelinavirus litura, bakteri patogen Bacillus thuringiensis, dan cendawan
patogen Nomuraea rileyi (Arifin, 1991).

. Pengendalian mekanis dan fisik

Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara


mengganggu fisiologi serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai
bagi hama. Contoh, mengumpulkan kemudian membinasakan kelompok telur dan
ulat yang ada di pertanaman. Selain itu, menggenangi lahan pertanaman, terutama
pada stadia vegetatif akhir dan pengisian polong untuk mematikan ulat grayak yang
berdiam diri di dalam tanah pada siang hari.

. Insektisida

Insektisida kimia merupakan pilihan terakhir dalam usaha mengendalikan


hama karena berpotensi menimbulkan dampak negatif. Insektisida harus digunakan
sesuai kebutuhan, pada waktu spesifik dalam siklus hidup hama, dan bila cara lain,
seperti pengendalian hayati atau teknik budidaya, gagal menjaga populasi hama
pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi. Insektisida tersebut selain
efektif, juga harus selektif terhadap satu atau beberapa jenis hama saja, dan
residunya berumur pendek.

PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN INSEKTISIDA


BIORASIONAL

Pemanfaatan Insektisida Biorasional

Insektisida biorasional merupakan salah satu tipe insektisida dari bahan alami
yang rasional secara biologis. Tipe insektisida ini berkatagori nabati, mikroba
(bakteri, virus, nematoda, cendawan, dan protozoa), feromon, atau pengatur
pertumbuhan serangga. Insektisida biorasional memiliki target hama spesifik, umur
residu pendek, persistensi singkat, aman terhadap lingkungan, termasuk musuh
alami dan organisme bukan sasaran sehingga cocok untuk diterapkan dalam
program PHT (Williamson, 1999).

Insektisida nabati adalah ekstrak tanaman yang mempunyai sifat-sifat


insektisida. Azadirachtin yang diekstrak dari daun dan biji mimba (Azadirachta
indica) merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan aktif insektisida. Azadirachtin berperan sebagai penghambat pertumbuhan
dan proses metamorfosis, penghalang kegiatan makan, penolak kehadiran serangga
(repellent), dan pemandul serangga (sterillant) (Shetlar dan Hale, 2008). Insektisida
nabati dengan bahan aktif azadirachtin efektif terhadap ulat grayak. Serbuk biji
mimba (50 g/l air) mampu mematikan ulat instar III sebesar 67% - 83% (Indiati,
2009; Koswanudin, 2002). Insektisida ini memiliki sifat, antara lain persistensinya
singkat sehingga diperlukan aplikasi berulang agar mencapai keefektifan maksimal
(Indiati, 2009).

Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri gram positif yang berbentuk batang,
bersifat aerobik, dan membentuk spora. Bakteri ini mengandung protein kristal (δ-
endotoksin) dalam inclusion body yang menyebabkan paralysis pada usus
sehingga serangga berhenti makan dan mengakibatkan kematian (Bahagiawati,
2002). Bt var kustaki mudah diproduksi dan efektif terhadap ulat grayak. Nilai LC 50
dalam waktu 72 jam untuk ulat instar III sebesar 259,895 ppm (Nurramdhan, 2005).
Bt memiliki daya racun rendah, residu rendah, degradasi lambat, dan aktivitas
kontak terbatas. Keberhasilan Bt bergantung pada kegiatan monitoring dan aplikasi
bila serangga dalam siklus hidup yang rentan (Williamson, 1999).

Metarhizium anisopliae adalah cendawan patogen pada berbagai jenis


serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah. Cendawan ini memiliki kapasitas
reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di
alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat
selektif, relatif mudah diproduksi, dan tidak mengakibatkan resistensi (Hall, 1973).
Spora (disebut juga konidia) yang kontak dengan tubuh serangga inang akan
berkecambah kemudian mempenetrasi kutikula dan berkembang dalam tubuh
serangga yang mengakibatkan kematian. Pengaruh mematikan ini dibantu oleh
racun yang disebut destruxin. Kutikula ulat mati mengeras seperti mumi dan tumbuh
spora berwarna putih yang kemudian menjadi hijau bila kelembaban cukup tinggi
(Wikipedia, 2009). Cendawan patogen serangga ini mudah diperbanyak dan efektif
terhadap ulat grayak. Konidia dengan konsentrasi 107/ml yang diaplikaskan satu kali
mampu mematikan ulat grayak hingga 40% sedangkan yang diaplikasikan tiga kali
meningkat menjadi 83% (Prayogo et al., 2005).

Nomuraea rileyi adalah cendawan patogen pada berbagai jenis serangga.


Spora cendawan ini menempel pada tubuh serangga kemudian berkecambah dan
mempenetrasi dinding tubuh. Di dalam tubuh ulat, cendawan ini merusak jaringan
dengan menggunakan mikotoksin yang dihasilkannya. Akibatnya, metabolisme ulat
terganggu, aktivitas makan menurun, dan akhirnya mati dengan tubuh seperti mumi.
Sporulasi cendawan dimulai 1-2 hari setelah ulat mati (Deacon, 1983). Cendawan
patogen serangga ini mudah diperbanyak dan efektif terhadap ulat grayak. Aplikasi
dilakukan melalui penyemprotan spora dengan dosis 500 l/ha. Nilai LC50 cendawan
ini untuk ulat grayak instar III sebesar 1,471 x 106 spora/ml (Suparjiyem et al., 2006).

Steinernema dan Heterorhabditis adalah nematoda yang mampu menginfeksi


berbagai jenis serangga karena masing-masing bersimbiosis-mutualistik dengan
bakteri patogen Xenorhabdatus dan Photorhabdus dalam saluran pencernakan
(Kaya dan Gaugler, 1993). Stadia instar III yang disebut juvenil infektif (JI) hidup
bebas di dalam tanah, masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang mulut, anus,
atau spirakel dan membran antar ruas integumen (U Mass Extension, 2000) Di
dalam rongga tubuh serangga, JI melepaskan bakteri simbionnya. Bakteri
memperbanyak diri, membunuh serangga melalui proses peracunan darah serangga
(septicaemia) dan menyediakan kondisi lingkungan hidup yang sesuai bagi
pertumbuhan dan reproduksi nematoda. Setelah 1-2 minggu, JI baru yang terbentuk
meninggalkan tubuh serangga mati dan mencari inang baru. Steinernema dan
Heterorhabditis efektif terhadap ulat grayak. Pada dosis 500 JI/ekor ulat, kedua jenis
nematoda tersebut mampu mematikan ulat grayak 98% (Chaerani dan Suryadi,
1999). Nematoda diaplikasikan di lapang dengan dosis 109 JI/ha (Biogen, 2004).

NPV (nuclear-polyhedrosis virus) adalah virus patogen serangga berbentuk


batang dan terdapat di dalam inclusion body yang disebut polihedra. Polihedra
berbentuk kristal bersegi banyak, terdapat di dalam inti sel yang rentan dari
serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea.
NPV memiliki sifat menguntungkan, antara lain: a) inangnya spesifik, b) tidak
membahayakan musuh alami, manusia, dan lingkungan, (c) dapat mengatasi
masalah resistensi hama terhadap insektisida, dan (b) kompatibel dengan taktik PHT
lainnya, termasuk insektisida kimiawi (Arifin et al., 1995).

Ulat grayak yang terinfeksi SlNPV (Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis


virus) tampak berminyak, disertai dengan membran integumen yang membengkak
dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut.
Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati dalam keadaan
menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman. Bioinsektisida SlNPV
dengan dosis 500 g/ha (setara dengan 1,5 x 1011 PIBs/ha) yang diaplikasikan dua
kali dalam selang seminggu, masing-masing dengan dosis 250 g/ha, efektif terhadap
ulatgrayak pada kedelai. Perlakuan SlNPV tersebut menurunkan populasi ulat 91%
lebih rendah dan menyelamatkan kehilangan hasil 14% lebih tinggi daripada
perlakuan insektisida (Arifin et al., 1995).

Feromon serangga adalah senyawa yang dihasilkan oleh serangga betina


dan merupakan sarana komunikasi dengan serangga lain dari spesies sama.
Feromon digunakan oleh serangga untuk daya tarik seksual, berkumpul, berpencar,
peletakan telur, dan tanda peringatan. Khusus seks feromon, ada empat
kegunaannya dalam program pengendalian hama, yakni sebagai bahan perangkap,
monitoring penerbangan, deteksi dan monitoring populasi, serta pengganggu
perkawinan bagi serangga jantan (Williamson, 1999). Umumnya senyawa ini tidak
digunakan secara efektif untuk mengendalikan hama, tetapi digunakan sebagai
bahan perangkap dalam kegiatan pemantauan populasi hama. Ilmuan telah mampu
menganalisis kimia dari seks feromon dan memproduksinya secara sintetik di
laboratorium (Suharto, 1996). Sebanyak tiga buah perangkap berisi seks feromon
yang dipasang pada pertanaman kedelai umur 1-5 minggu mampu menarik ngengat
ulat grayak sebanyak 417-615/ha (Chiu et al., 1993).

Faktor lingkungan, terutama sinar surya 290 hingga 400 nm, dapat
menginaktivasi patogen serangga (bakteri, cendawan, virus, dan protozoa). Umur
paruh berbagai tipe inokulum (konidia, spora, virion, dan toksin) yang disinari sinar
surya tercapai dalam 1 jam untuk patogen serangga sensitif dan 96 jam untuk
patogen serangga resisten (Ignoffo, 1992).

Secara umum, insektisida biorasional berfungsi sebagai: a) alternatif cara


pengendalian hama yang efektif, ramah lingkungan, dan dapat menstabilkan
populasi hama, dan menjamin pendapatan petani, dan b) teknik pengendalian yang
kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya, termasuk insektisida kimiawi.
Manfaat lain dari insektisida biorasional, antara lain: a) mengatasi masalah
keresistensian hama terhadap insektisida kimiawi, b) mengurangi kebergantungan
cara pengendalian dengan insektisida kimiawi, dan c) mendukung pengembangan
budidaya pertanian yang ramah lingkungan dan ekonomis. Di Indonesia, insektisida
biorasional belum dimanfaatkan secara luas, meskipun telah diketahui potensi
biotiknya tinggi, efektif, dan telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida
dengan biaya relatif murah sehingga memiliki prospek untuk diproduksi dalam skala
industri (komersial).

Pengembangan Insektisida Biorasional

Pengembangan insektisida biorasional membutuhkan beberapa keahlian


yang bekerja dalam suatu program kerjasama antar lembaga mengenai (Dent,
1999):

1. Eksplorasi, identifikasi, dan seleksi isolat patogen serangga berdasarkan virulensi


dan stabilitasnya di lingkungan.
2. Teknik produksi massal patogen serangga untuk dijadikan insektisida biorasional
yang biayanya murah dan kualitasnya terjamin.
3. Teknik formulasi yang dapat meningkatkan stabilitas insektisida biorasional dari
pengaruh cekaman lingkungan (kelembaban, suhu, dan sinar ultra violet).
4. Teknik pengemasan dan penyimpanan insektisida biorasional yang dapat
mempertahankan potensinya minimum setahun.
5. Teknik aplikasi insektisida biorasional yang menjamin infeksi dan kematian
serangga hama.
6. Studi ekologi interaksi serangga dengan patogennya mengenai perilaku makan
serangga, perilaku serangga setelah infeksi, dan siklus sekunder dari agens hayati.
7. Uji toksikologi pada tikus (meliputi: uji oral, iritasi kulit, iritasi mata, injeksi intra-
peritoneal, dan inhalasi), dan uji ekotoksikologi terhadap unggas, ikan, dan dephnia,
lebah madu, cacing tanah, predator, dan parasitoid.
8. Registrasi insektisida biorasional untuk mendapatkan ijin peredaran dari pemerintah.
9. Proses komersialisasi oleh perusahaan yang sesuai.

Keberhasilan suatu program pengembangan insektisida biorasional


dibutuhkan beberapa faktor pendukung, antara lain: a) kelembagaan kelompok tani
yang kuat dengan jaringan pemerintah dan swasta yang mendukung kegiatan
penelitian insektisida biorasional dan implementasinya, serta pengembangan
kebijakan dan legislasi, b) sosialisasi pentingnya insektisida biorasional sebagai
suatu komponen penting dari kegiatan penelitian serta penyuluhan dan pendidikan
petani melalui sekolah lapang PHT, dan c) koordinasi antara peneliti, penyuluh, dan
petani dalam merencanakan dan mengimplementasikan suatu program
pemanfaatan insektisida biorasional, sesuai kebutuhan dan tujuan terkait dengan
sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai


berikut:

1. Strategi pengendalian ulat grayak harus menggunakan pendekatan ekologi dengan


tujuan mengurangi penggunaan insektisida kimiawi secara nyata, sementara pada
waktu yang sama mengelola populasi hama pada tingkat yang dapat ditoleransikan.
Selain itu, juga menggunakan pendekatan ekonomi dengan tujuan utama menjamin
pendapatan petani melalui penerapan konsep AE hama.

2. Ada beberapa teknik pengendalian yang cocok untuk ulat grayak. Pengendalian
hayati dengan insektisida biorasional merupakan cara pengendalian yang dapat
menggantikan peran sekaligus mengurangi kebergantungan terhadap insektisida
kimiawi.

3. Beberapa jenis insektisida biorasional yang efektif terhadap ulat grayak, antara lain
azadirachtin dari daun dan biji mimba, entomopathogen bakteri Bacillus
thuringiensis, cendawan Matarhizium anisopliae dan Nomuraea rileyi, virus SlNPV,
nematoda Steinernema dan Heterorhabditis, serta seks feromon.

3. Dalam upaya menerapkan teknologi pengendalian ulat grayak dengan insektisida


biorasional, dibutuhkan beberapa faktor pendukung, antara lain: a) komitmen
pemerintah dan pihak swasta yang memfasilitasi upaya memproduksi insektisida
biorasional, b) sosialisasi pentingnya insektisida biorasional sebagai suatu
komponen penting dari kegiatan penyuluhan dan pendidikan petani melalui sekolah
lapang PHT, dan c) koordinasi antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani dalam
merencanakan dan mengimplementasikan program PHT, sesuai kebutuhan dan
tujuan yang terkait dengan sistem PTT.

DAFTAR PUSTAKA

Adie, M.M. 2008. Perbaikan Ketahanan Kedelai Terhadap Hama Ulat Grayak melalui
Modifikasi Karakter Trikoma Daun. Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya, Malang.
Arifin, M. 1991. Peranan Musuh Alami Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada
Berbagai Kondisi Lingkungan Pertanaman Kedelai, p. 207-214. Dalam:
Seminar Nasional Biologi Dasar II. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor.
Arifin, M. 1994. Economic Injury Level and Sequential Sampling Technique for The
Common Cutworm, Spodoptera litura (F.) on Soybean. Contr. Central
Research Institute Food Crops Bogor. 82: 13-37.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan
Kompatibilitas SlNPV dengan Insektisida terhadap Ulat Grayak pada
Kedelai. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok, 24-27 Juli
1995. 8 p.
Balitkabi. 2008. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918-2008. Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 70 p.
Bahagiawati, 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida.
Buletin AgroBio. 5(1): 21-28.
Biogen. 2004. NPS, Biopestisida Unggulan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Chaerani dan Suryadi, Y. 1999. Isolasi Nematoda Patogen Serangga Steinernema
dan Heterorhabditis dari Daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah, p. 197-
206. Dalam: Seminar Nasional PEI. Peranan Entomologi dalam
Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16
Februari 1999.
Chiu, C.C., M.L. Hseu, and L.S. Hsu. 1993. Field Observation on the Use of Sex
Pheromone to Control Spodoptera litura on Soybean in Indonesia. Taichung
DAIS. 41: 55-63.
Deacon, J.W. 1983. Microbial Control of Plant Pests and Diseases: Aspects of
Microbiology. American Society for Microbiology, Washington, D.C. 88 p.
Dent, D.R. 1999. Development and Use of a Biopesticide, p. 29-34. In: Proceedings
of the EMPRES Regional Workshop on Biological Control of Desert Locust,
27-29 August 1999, Cairo, Egypt. FAO, Rome, Italy.
Ditlin. 2008. Laporan Luas dan Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan di
Indonesia. 2008. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta.
Hall, T.M. 1973. Biological Control of Insect Pest and Weeds. Chapman and Hall
Ltd., London.
Hein, G.L. 2003. Insect Management. High Plains Integrated Pest Management.
http://wiki.bugwood.org/upload/IPM.pdf
Ignoffo, C.M. 1992. Environmental Factors Affecting Persistence of
Entomopathogens. Florida Entomologist. 75(4): 516-525.
Indiati, S.W. 2009. Mimba Pestisida Nabati Ramah Lingkungan.
http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/
Kaya, H.K. and R. Gaugler. 1993. Entomopathogenic Nematodes. Ann. Rev.
Entomol. 38: 181-206.
Koswanudin, D., M. Arifin, dan Harnoto. 2002. Kompatibilitas SlNPV dengan Ekstrak
Biji Mimba untuk Mengendalikan Ulat Grayak pada Kedelai, p. 343-347.
Dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi
Tanaman. Bogor, 26-27 Desember 2001. Balai Penelitian Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian.
Mumford, J.D. and G.A. Norton. 1984. Economics of Decision Making in Pest
Management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-74.
Nurramdhan, A. 2005. Pengujian Toksisitas Bacillus thuringiensis var kurstaki
terhadap Mortalitas Larva Ulat Grayak Spodoptera litura F. Universitas
Pendidikan Indonesia. http://digilib.upi.edu/pasca/ available/etd-0215106-
143604/
Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen
Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura
pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian. 24(1): 19-26.
Shepard, B.M. 1980. Sequential Sampling Plans for Soybean Arthropods, 79-93. In:
M. Sampling Methods in Soybean Entomology. Springer-Verlag, New York.
Shetlar, D.J. and F. Hale. 2008. Integrated Pest Management.
http://wiki.bugwood.org/ Integrated_Pest_Management
Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. Development and Economic Injury Level of The
Green Cloverworm on Soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
Suharto, H. 1996. Seks Feromon Buatan dalam Pengendalian Ulat Grayak pada
Kedelai, p. 202-208. Dalam: Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian
Tanaman Padi. Sukamandi, 23-25 Agustus 1995. Balai Penelitian Tanaman
Padi.
Suparjiyem, Y.A Trisyono, dan Witjaksono. 2006. Patogenisitas Cendawan
Nomuraea rileyi terhadap Larva Spodoptera litura. Jurnal Agrosains XIX(4).
Tengkano, W., Matadjib, D. Kilin, dan M. Iman. 1997. Identifikasi Jenis Tanaman
Inang yang Paling Menarik bagi Imago Ophiomyia phaseoli Tr. dan
Spodoptera litura F., p. 387-402. Dalam: Prosiding Seminar Nasional
Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor.
U Mass Extension. 2000. Integrated Pest Management Tools, Bio-Rational
Pesticides. University of Massachusetts Amherst. http://www.
umassgreeninfo.org/fact_sheets/ipmtools/biorationals.html
Waters, W.E. 1954. Sequential Sampling in Forest Insect Surveys. For. Sci. 1: 68-
79.
Wikipedia. 2009. Metarhizium anisopliae. http://en.wikipedia.org/wiki/
Metarhizium_anisopliae
Williamson, R.C. 1999. Biorational Pesticides: What are they anyway? Alternatives
Emerge for Regulated Chemical Products. http://www.
gcsaa.org/gcm/1999/oct99/10biorational.html
Melawan Hama

denganNematoda

Selama ini nematoda dikenal sebagai


organisme pengganggu tanaman. Namun,
ternyata dari sekian jenis nematoda yang
ada ini, ada diantaranya bisa digunakan
sebagai pengendali hama. Nematoda jenis
apakah itu? Dan bagaimana perannya dalam
mengendalikan hama penyakit tanaman?

Untuk dapat meningkatkan produktivitas


hasil pertanian,diperlukan perbaikan dan
penyempurnaan sistem budidaya tanaman
yang telah dilaksanakan. Penyempurnaan
yang dimaksud adalah menyangkut semua
aspek seperti produksi (budidaya tanaman),
panen, penanganan pasca panen dan
pemasaran hasil pertanian. Salah satu aspek
yang paling besar pengaruhnya pada sistem
budidaya pertanian di Indonesia adalah
adanya serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT) yang tediri dari hama,
penyakit dan gulma. Dari ketiga macam OPT
tersebut, hama memiliki potensi yang
sangat besar dalam menimbulkan kerusakan
dan kerugian pada komoditas pertanian baik
yang ada di lapangan maupun yang ada di
gudang. Serangan hama dapat mengurangi
kualitas dan kuantitas produk yang
dihasilkan. Menurunnya kualitas produk
karena performance yang jelek atau
mungkin karena adanya perubahan warna,
rasa dan bau pada produk yang dihasilkan.
Serangan hama juga mengurangi kuantitas
produk, yang disebabkan karena
pengurangan berat, ukuran, dan lain-lain.
SIKLUS HIDUP NEMATODA STEINERMA

1
Juvenil infective (JT) yang baru keluar dari
induk dan bergerak bebas didalam tanah
untuk menghasilkan generasi baru
Deskripsi Taksonomi

Filum
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Nematelminthes
: Dorylaimida
: Steinernematidae
: Steinernema
: Steinernema spp.

2
JT stadium ke-3 (jantan dan betina), jantan
dan betina kawin untuk menghasilkan
generasi baru

3
Nematoda Steinernema betina akan
memproduksi banyak juvenil infektif
generasi baru di dalam tanah

4
JI akan berkembang biak menjadi nematoda
jantan dan betina dewasa

Berbagai cara yang dilakukan untuk


mengendalikan hama diantaranya adalah
kultur teknis (pengaturan jarak tanam,
varietas tahan, dll), fisis, mekanis, hayati
dan kimiawi. Kelima cara pengendalian
tersebut merupakan suatu rangkaian yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain atau dilakukan secara terpadu.
Pengendalian hayati merupakan upaya
pengendalian hama dengan memanfaatkan
musuh alami serangga sehingga mampu
menekan kerusakan yang ditimbulkan oleh
organisme tersebut. Musuh alami hama
yang ada di lapangan jumlahnya sangat
banyak baik dari golongan serangga, jamur,
bakteri maupun nematoda. Dari keempat
musuh alami tersebut, nematoda
merupakan musuh alami yang potensial
untuk mengendalikan hama baik di lapangan
maupun yang ada di gudang. Salah satu
nematoda entomopatogen yang sudah
banyak dikenal adalah Steinernema spp.
Nematoda ini bersifat broad spectrum serta
virulen dan mampu membunuh hama dalam
waktu yang relatif singkat yaitu 48 jam.
Nematoda Steinernema bersimbiosis dengan
satu bakteri yaitu Xenorhabdus
luminescens. Simbiosis antara nematoda
dan bakteri bersifat mutualisme (saling
menguntungkan) dimana nematoda
mendapatkan nutrisi yang dihasilkan oleh
bakteri sedangkan bakteri merasa
terlindungi oleh nematoda.
Biologi Steinernema
Nematoda Steinernema paling banyak
terdapat di tanah. Selain itu juga, mampu
hidup di permukaan daun, di tempat-tempat
yang banyak mengandung bahan organik, di
air tawar dan air laut. Di dalam tanah,
nematoda hidup dengan cara memanfaatkan
bahan organik atau memakan serangga-
serangga atau organisme lain. Di dalam
tubuh serangga nematoda dapat
berkembang biak dengan cepat sampai
menghasilkan 2 sampai 3 generasi. Siklus
hidup nematoda dari telur menjadi dewasa
memerlukan waktu kurang lebih 14 hari.
Apabila terdapat nutrisi yang melimpah
siklus hidupnya bisa lebih cepat lagi dan
sebaliknya apabila tidak tersedia nutrisi
yang cukup maka daur hidup nematoda bisa
lebih lama. Organisme ini biasa bertahan di
dalam tanah, dengan cara inaktif dalam
jangka waktu tertentu dan akan melakukan
migrasi ke tempat lain apabila tidak ada
persediaan makanan yang cukup .
Perpindahan nematoda dari suatu tempat ke
tempat lain bisa dilakukan secara pasif
yakni dengan bantuan air, angin atau
terbawa oleh alat-alat pertanian. Gerakan
aktif nematoda sangat lambat dan ditempuh
dengan waktu yang sangat panjang.

Cara menyerang hama


Bagaimana nematoda Steinernema
menyerang hama? Caranya adalah
nematoda masuk ke dalam tubuh larva
serangga melalui lubang tubuh alami seperti
spirakel, anus, atau termakan oleh larva
serangga. Setelah berada di dalam tubuh
larva, nematoda langsung melepaskan
bakteri simbiosisnya ke dalam usus larva
serangga. Bakteri inilah yang membunuh
larva dengan cara mengeluarkan zat yang
bersifat antibiotik atau racun terhadap
serangga. Dalam waktu 1-2 hari larva mati.
Larva yang mati biasanya ditunjukkan
dengan gejala yang khas tergantung warna
permukaan tubuh ulat. Hasil penelitian
(Johny, 2001) menunjukkan bahwa untuk
ulat hongkong yang terserang nematoda ini
menunjukkan gejala warna tubuh coklat
kehitaman, tubuh lembek dan sedikit
mengeluarkan cairan. Setelah larva mati,
nematoda memperbanyak diri dengan
memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam
tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk
nematoda menghasilkan 2-3 generasi baru
di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah
nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis
maka nematoda melakukan migrasi dengan
cara keluar dari tubuh larva dan mencari
inang lain.

Cara eksplorasi nematoda dari alam


Untuk mendapatkan nematoda Steinernema
dari tanah dapat dilakukan dengan cara
mengambil sampel tanah di sekitar
pertanaman yang banyak terserang hama,
selanjutnya tanah tersebut diekstrak
dengan metode Baermann dan disaring
sampai didapatkan nematoda. Kelemahan
dari cara ini adalah selain mendapatkan
nematoda Steinernema juga ditemukan
nematoda lain, sehingga perlu dilakukan
identifikasi untuk mengetahui secara pasti
apakah nematoda yang ditemukan
Steinernema atau bukan.

Cara yang lain adalah dengan teknik


baiting/umpan. Caranya adalah sampel
tanah yang diambil dari sekitar pertanaman
di treatment dengan larva yang dibungkus
dengan kain kasa, kemudian diinkubasi
selama 5 hari. Setelah hari kelima larva
tersebut diambil kemudian disolasi dengan
menggunakan petridish yang diisi dengan
air steril. Kedalam petridish dimasukan
potongan pipa pralon yang berdiameter 3
cm, dan bagian atasnya dialasi dengan kain
kasa. Larva yang mati ditempatkan di kertas
kain kasa tersebut. Nematoda akan keluar
dan masuk ke dalam air yang ada di
petridish. Selanjutnya nematoda tersebut
diidentifikasi.Untuk mengetahui dengan
pasti apakah nematoda yang ditemukan
benar-benar Steinernema atau bukan,
dilakukan pengujian Postulat Koch dengan
cara beberapa ekor nematoda yang
ditemukan dimasukkan ke dalam petridish,
kemudian sejumlah larva serangga
dimasukkan ke dalam petridish yang berisi
suspensi nematoda. Apabila nematoda
berhasil menginfeksi tubuh serangga
tersebut dan menunjukkan gejala yang sama
seperti pada waktu isolasi pertama maka
dapat diduga bahwa nematoda yang
ditemukan adalah Steinernema. Untuk dapat
memastikan dengan benar harus dilakukan
identifikasi atau determinasi morfologi dan
fisiologi nematoda.

Juvenil infective dari nematoda Steinernema spp Stadium ke-3

Kisaran inang Steinernema


Nematoda Stenernema spp. memiliki kisaran
inang yang sangat luas baik hama yang
menyerang tanaman perkebunan,
hortikultura maupun tanaman pangan.
Untuk hama tanaman perkebunan yang
telah berhasil dikendalikan dengan
nematoda Steinernema antara lain
Helopelthis sp. pada tanaman kakao (Ade,
1997). Steinernema juga mampu
mengendalikan hama yang menyerang
tanaman hotikultura diantaranya
Spodoptera exigua dan Spodoptera litura
(bawang merah), Croccidolomia binotalis
dan Plutela Xylostella ( Kubis ), Helicoverpa
armigera (tomat) sedangkan hama tanaman
pangan yang dapat dikendalikan oleh
organisme ini adalah hama putih (Nimphula
depuntalis), Corcira cephalonica ,dll. Hasil
eskplorasi yang dilakukan oleh Johny (2001)
di Kecamatan Sanden, Bantul, Yogyakarta
(pada tanaman bawang merah) dan
Ngipiksari, Kaliurang, Yogyakarta (pada
tanaman cabai) ditemukan bahwa populasi
Steinernema di dua tempat tersebut sangat
tinggi. Hal ini disebabkan kondisi tanah
yang sangat cocok yakni tanah berpasir dan
juga serangan hama S. exigua pada bawang
merah dan S. litura pada cabai yang tinggi.
Dengan adanya inang yang cocok tersebut
nematoda Steinernema dapat bertahan lama
dan berproduksi dengan baik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Johny


(2001), pada tanah di pertanaman bawang
merah dan cabai menunjukkan jumlah
populasi yang berbeda-beda pada empat
jenis larva serangga umpan. Larva serangga
Spodoptera exigua, Spodoptera litura dan
Tenebrio molitor, L, merupakan umpan yang
paling baik untuk menangkap nematoda
Steinernema. Hal ini disebabkan ketiga larva
serangga tersebut 100 % mampu
menangkap nematoda Steinernema di
lapangan. Sedangkan larva serangga Corcira
cephalonica ( ulat nonol beras) hanya 68,5 %
mampu menangkap nematoda Steinernema.
Dari hasil ini dapat diambil kesimpulan
bahwa populasi nematoda Steinernema
pada tanah di pertanaman bawang merah
dan cabai sangat tinggi. Hal ini disebabkan
jenis tanah pada kedua pertanaman
tersebut adalah tanah berpasir. Tanah
berpasir memiliki pori tanah yang besar,
kandungan air dan oksigennya tinggi,
sehingga aktifitas nematoda Steinernema
dalam mencari inang juga tinggi. Selain itu
juga adanya populasi inang yang tinggi pada
kedua tempat tersebut juga menyebabkan
meningkatnya populasi Steinernema
Category NEMATODA | 2 Comments »

PENYAKIT CABAI
December 20th, 2008 by heabron

Musuh-musuh Utama
pada Tanaman Cabe
Hambatan paling besar bertanam cabe
biasanya datang dari keberadaan hama dan
penyakit seringkali yang membuat tanaman
rusak pada bagian tertentu yang bisa
menyebabkan puso. Cukup banyak jenis-
jenis hama maupun penyakit yang
menyerang tanaman cabe ini dari fase benih
sampai panen. Namun hanya beberapa yang
utama dan paling merusak. Berikut adalah
pembahasan mengenai hama dan penyakit
utama pada tanaman cabe.

Sebagai tanaman budidaya, tentu saja


pengembangan tanaman cabe tidak bisa
terlepas dari pengendalian hama dan
penyakit. Meskipun komoditas ini sangat
menjanjikan, namun tidak sedikit dari para
petani kita yang mengeluh akibat kehadiran
pengganggu keberhasilan budidayanya.
Tidak hanya hama, bahkan penyakit pun
kerap menjadi penyebab utama kerusakan
cabe. Kerugian yang diakibatkan hama
maupun penyakit telah membuat tidak
sedikit para petani yang bangkrut dan
kapok untuk bertanam lagi. Sebagai
pertimbangan, pada Harian Kompas
mengungkapkan daerah Kediri sebagai salah
satu sentra produksi cabe di Jatim banyak
yang terserang Antracnose atau yang lebih
populer dengan pathek ini beberapa waktu
yang lalu. Dimana, ribuan hektar pohon cabe
gagal dipanen gara-gara kehadiran penyakit
itu. Ini hanya satu kasus saja, belum
serangan hama maupun penyakit lain yang
bisa merugikan petani. Menurut sebagian
petani hingga kini belum ada cara yang
benar-benar ampuh untuk mengobati buah
cabe yang sudah terserang hama dan
penyakit. Bukannya mereka tidak mau tahu
atau pasrah terhadap kehadiran “para
pengganggu “ ini, namun sudah banyak
yang dilakukan dalam upaya mengobati
tanaman yang sudah terkena serangan.
Salah satunya adalah dengan penyemprotan
baik itu menggunakan insektisida maupun
fungisida. Karena saking tingginya
kekhawatiran akan meluas atau terkena
serangan, penyemprotan seringkali
dilakukan secara serampangan tanpa
pertimbangan. Akibatnya kesalahan
pemilihan pestisida yang diberikan dan
teknik pengendalian yang kurang baik bisa
menjadi bumerang yang berakibat fatal.
Untuk itulah, teknik pengendalian yang baik
yang dikenal dengan tehnik pengendalian
hama terpadu sangat dianjurkan untuk
mengatasi musuh-musuh utama tanaman
cabe ini. Berikut adalah musuh-musuh
utama petani cabe yang sering menyerang
tanaman cabe.

THRIPS
Hama thrips (Thrips Sp.) sudah tidak asing
lagi bagi para petani cabe. Menurut
beberapa sumber, thrips yang menyerang
cabe tergolong sebagai pemangsa segala
jenis tanaman, jadi serangan pada tanaman
cabe hanya salah satunya saja. Dengan
panjang tubuh sekitar + 1 mm, serangga ini
tergolong sangat kecil namun masih bisa
dilihat dengan mata telanjang. Thrips
biasanya menyerang bagian daun muda dan
bunga. Serangan paling parah biasanya
terjadi pada musim kemarau, namun tidak
menutup kemungkinan pada saat musim
hujan bisa juga terjadi serangan. Gejala
yang bisa dikenali dari kehadiran hama ini
adalah adanya strip-strip pada daun dan
berwarna keperakan. Adanya noda
keperakan itu tidak lain akibat adanya luka
dari cara makan hama thrips. Dalam
beberapa waktu kemudian, noda tersebut
akan berubah warna menjadi coklat muda.
Yang paling membahayakan dari thrips
adalah selain dia sebagai hama perusak
namun juga sebagai carrier atau pembawa
bibit penyakit (berupa virus) yang
menyebabkan penyakit pada tanaman cabe.
Untuk itu, bila kita mampu mengendalikan
hama thrips, tidak hanya memberantas dari
serangan hama namun juga bisa mencegah
penyebaran penyakit akibat virus yang
dibawanya.
Pengendalian hama ini bisa dilakukan secara
kultur teknis maupun kimiawi. Secara teknis
dapat dilakukan dengan melakukan
pergiliran tanaman atau tidak menanam
cabe secara bertahap dengan selisih waktu
lebih lama, selain itu dapat juga
menggunakan perangkap kuning yang
dilapisi lem. Sedangkan pengendalian kimia
bisa dilakukan dengan penyemprotan
insektisida Winder 25WP konsentrasi
anjuran 0.25 - 0.5 gr /liter atau bisa juga
menggunakan insektisida bentuk cair
Winder 100EC dengan konsenstrasi 0.5 – 1
cc/L.

TUNGAU(MITE)
Hama mite selain menyerang jeruk, dan apel
menyerang tanaman cabe juga. Tungau
bersifat parasit dimana dia merusak daun,
batang maupun buah yang mengakibatkan
perubahan warna dan bentuk. Pada
tanaman cabe, serangannya adalah dengan
menghisap cairan daun sehingga warna
daun terutama pada bagioan bawah menjadi
berwarna kuning kemerahan , bentuk daun
menjadi menggulung ke bawah dan
akibatnya pucuk bisa mengering yang
akhirnya menyebabkan daun rontok. Dalam
klasifikasi tungau termasuk dalam Ordo
Acarina, Kelas Arachnidae bukan termasuk
golongan serangga. Tungau berukuran
sangat kecil dengan panjang badan sekitar
0.5 mm, berkulit lunak dengan kerangka
chitin. Seperti halnya thrips, hama ini juga
berpotensi sebagai pembawa virus.
Pengendalian hama mite secara kimia dapat
kita lakukan penyemprotan menggunakan
akarisida Samite 135EC. Konsentrasi yang
dianjurkan adalah 0.25 - 0.5 ml/L.

KUTU DAUN (Myzus persicae)


Aphids merupakan serangga hama yang
juga andil dalam merusak perkembangan
tanaman cabe. Serangannya hampir sama
dengan tungau namun akibat cairan dari
daun yang dihisapnya menyebabkan daun
melengkung ke atas, keriting dan belang-
belang hingga akhirnya dapat menyebabkan
kerontokan. Tidak sepeti mite, kutu persik
ini memiliki kemampuan berkembang biak
dengan cepat karena selain bisa
memperbanyak dengan perkawinan biasa,
dia juga mampu bertelur tanpa pembuahan.
Pengendalian hama aphids secara kimia
dapat dilakukan dengan menyemprot
insektisida Winder 100EC konsentrasi 0.5 –
1.00 cc/L.
LALAT BUAH (Bactrocera dorsalis)
Kehadiran lalat ternyata tidak hanya mengganggu sekaligus menjijikkan
namun bisa menjadi hama perusak khususnya tanaman cabe. Buah cabe
yang menunggu panen bisa menjadi santapannya dalam sekejap dengan
cara menusukkan ovipositornya pada buah serta meletakkan telur,
menetas menjadi larva yang kemudian merusak buah cabe dari dalam.
Kerusakan buah dari luar bisa kita perhatikan dari bekas tusukan yang
berupa bintik hitam. Buah yang rusak tentu saja tidak akan laku dijual
sehingga menyebabkan kerugian bagi petani. Pengendalian hama lalat
buah cabe tergolong agak sulit karena menyerangnya dari dalam buah,
untuk itu satu-satunya jalan adalah dengan mencegah lalat tersebut
meletakkan telurnya pada cabe. Pengendalian kultur teknis dapat
dilakukan dengan membuat perangkap dari botol bekas air kemasan yang
didalamnya diberi umpan yang telah diberi sex feromon seperti metil
eugenol dan insektisida. Hal ini karena lalat buah betina sangat tertarik
dengan bau lalat buah jantan sehingga dia akan memburunya. Selain itu
dapat juga digunakan perangkap kuning seperti yang dilakukan pada hama
thrips. Karena umumnya serangga-serangga tersebut sangat menyukai
warna-warna mencolok.
ULAT GRAYAK (Spodoptera litura)
Hama ini tak berbeda dengan jenis ulat lain yang juga suka makan daun.
Namun keistimewaannya adalah saat memasuki stadia larva, dia termasuk
hewan yang sangat rakus. Hanya dalam waktu yang tidak lama, daun-daun
cabe bisa rusak olehnya. Ulat yang setelah dewasa berubah menjadi
sejenis ngengat ini akan memakan daun-daunan pada masa larva untuk
menunjang perkembangan metamorfosis-nya. Ulat grayak tidak hanya
menyerang tanaman cabe saja melainkan juga tanaman pisang, bawang,
pepaya, kentang, padi, kacang dan lain-lain. Pengendalian hama ini dapat
dilakukan terhadap ngengat dewasa yang hendak meletakkan telurnya
pada tanaman inang dengan menyemprotkan insektisida, atau
dikendalikan dengan insektisida biologis Turex WP konsentrasi 1 - 2 gr/Lt.

TIKUS
Meskipun tidak separah serangan pada
tanaman pangan, tikus juga berpotensi
merusak buah tanaman cabe. Mereka
biasanya menyerang bagian buahnya.
Meskipun persentasenya tergolong sedikit,
serangan tikus pada tanaman cabe tetap
harus diwasdapai dengan cara selalu rutin
membersihkan kebun cabe dari gulma dan
semak-semak yang bisa menjadi tempat
sarang sekaligus perlindungan tikus.
ANTRAKNOSA(ANTRACNOSE)
Tidak ada yang memungkiri bahwa Antracnose atau yang lebih dikenal
dengan istilah “pathek “ adalah penyakit yang hingga saat ini masih
menjadi momok petani cabe. Bagaimana tidak? Buah yang menunggu
panen dalam beberapa waktu berubah menjadi busuk oleh penyakit ini.
Sudah banyak petani yang menjadi korban keganasannya. Sekali tanaman
cabe kita terkena antraknosa, maka akan sulit bagi kita untuk
mengendalikannya. Oleh karena itu tindakan paling baik untuk penyakit
ini adalah melakukan pencegahan sebelum terjadinya serangan. Gejala
awal yang dapat dikenali dari serangan penyakit ini adalah adanya bercak
yang agak mengkilap, sedikit terbenam dan berair. Lama – kelamaan
busuk tersebut akan melebar membentuk lingkaran konsentris. Dalam
waktu yang tidak lama maka buah akan berubah menjadi coklat
kehitaman dan membusuk. Ledakan penyakit ini sangat cepat pada
musim hujan. Penyebab penyakit ini tidak lain adalah jamur C. capsici.
Jamur ini menyerang tidak pandang bulu, karena baik buah cabe yang
masih hijau atau sudah masak pun tidak luput darinya. Penyakit ini sangat
mudah menyebar ke buah atau tanaman lain. Penyebarannya tidak hanya
melalui sentuhan antara tanaman saja melainkan juga bisa karena
percikan air, angin, maupun melalui vektor. Tidak ada satu pun cara yang
bisa dilakukan agar penyakit ini bisa 100% , namun kita bisa
mencegahnya dengan kultur teknis yang baik. Dapat juga dilakukan
pembersihan atau pembuangan bagian tanaman yang sudah terserang
agar tidak menyebar. Selain dengan cara budidaya yang baik, saat
pemilihan benih harus kita lakukan secara selektif . Disarankan agar
menanam benih cabe yang memiliki ketahanan terhadap penyakit pathek.
Penggunaan benih sembarangan akan beresiko terjadinya serangan
penyakit. Secara kimia, pengendalian penyakit ini dapat disemprot
dengan fungisida bersifat sistemik yang berbahan aktif triadianefon
dicampur dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga hidroksida
seperti Kocide 54WDG, atau yang berbahan aktif Mankozeb seperti Victory
80WP.

LAYU BAKTERI
Bakteri penyebab layu merupakan penyakit kedua yang meresahkan
petani setelah antraknosa. Penyebab layu bakteri ini adalah Pseudomonas
solanacearum yang serangannya ditandai dengan gejala layu pada
tanaman cabe yang mengalami kesembuhan pada waktu sore hari, tetapi
lama kelamaan kelayuannya terjadi secara keseluruhan dan menetap.
Bakteri ini biasanya ditularkan melalui tanah, benih, bibit, sisa-sisa
tanaman , pengairan, nematoda atau alat-alat pertanian. Selain itu bakteri
ini mampu bertahan selama bertahun-tahun di dalam tanah dalam
keadaan tidak aktif. Bakteri layu cepat meluas terutama di tanah dataran
rendah, gejala kelayuan yang mendadak seringkali tidak bisa diantisipasi.
Tanaman yang sehat tiba –tiba saja layu yang dalam waktu tidak sampai
3 hari besoknya langsung mati. Itulah gambaran serangan penyakit layu
yang sangat menyeramkan. Untuk memastikan penyebab layu tersebut
kita bisa mengambil tanaman yang terserang , kemudian pangkal
batangnya dibelah untuk direndam pada gelas yang berisi air bening.
Apabila bakteri maka akan ditandai dengan keluarnya cairan berwarna
coklat susu berlendir semacam asap yang keluar pembuluh batangnya di
dalam air. Untuk mengatasinya tak ada jalan lain selain menyingkirkan
tanaman yang terserang, dan tetap menjaga agar bedengan tanam selalu
dalam kondisi kering di luar. Selain itu , melakukan rotasi tanaman
dengan tanaman yang tidak sefamili bisa mengurangi resiko serangan
penyakit tersebut. Secara kimiawi, penyakit ini dapat dicegah dengan
menyiram larutan Kocide 77WP konsentrasi 5 - 10 gr/liter pada lubang
tanam sebanyak 200 ml/tanaman interval 10 - 14 hari dan dimulai saat
tanaman mulai berbunga.

BERCAK DAUN
Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak-bercak berupa bulatan seperti
cacar pada daun. Bila dibiarkan akan menyebabkan daun-daun cabe
gugur sehingga pertumbuhan kurang optimal. Gejala pada daun tersebut
ternyata baru serangan awal saja karena bila dibiarkan, akan menyerang
batang, tangkai daun serta tangkai bunga. Seperti halnya layu bakteri,
cendawan Cercospora capsici penyebab bercak daun ini dapat bertahan
hidup pada sisa-sisa tanaman. Pengendalian terhadap penyakit ini dapat
dilakukan dengan membuang tanaman yang terserang sekaligus
membersihkan sanitasi lingkungan tanaman. Secara kimia dapat juga
dicegah dengan fungisida kontak bahan aktif tembaga hidroksida seperti
Kocide 54WDG, Kocide 77WP, dan atau fungisida bahan aktif Mankozeb
yaitu Victory 80WP.

You might also like