Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Upaya pemerintah mencanangkan swasembada kedelai tahun 2014
dihadapkan kepada beberapa masalah, antara lain kemungkinan terjadinya
penurunan produksi akibat serangan hama. Ulat grayak merupakan salah satu
serangga hama penting pada tanaman kedelai di Indonesia. Hama ini sering
mengakibatkan kehilangan hasil panen yang relatif tinggi, bahkan puso apabila tidak
dikendalikan. Luas serangan ulat grayak dari tahun 2002 hingga 2006 berkisar
antara 1.316 hingga 2.902 ha (Ditlin, 2008).
Sampai saat ini, sebagian besar petani mengendalikan ulat grayak dengan
mengandalkan insektisida yang diaplikasikan secara tidak menentu, bergantung
kemampuan finansial petani sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif, baik
terhadap pendapatan petani maupun lingkungan, seperti musnahnya musuh alami
dan munculnya gejala resistensi hama terhadap insektisida. Mengingat dampak
negatif penggunaan insektisida, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang
sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pelaksanaannya dengan menciptakan
dan menerapkan teknologi pengendalian hama yang berwawasan lingkungan,
antara lain dengan memanfaatkan produk alami yang akhir-akhir ini dikatagorikan
sebagai insektisida biorasional.
Bioekologi
Ulat grayak memiliki ciri khas, yakni adanya dua bintik hitam berbentuk bulan
sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas keempat dan kesepuluh, yang dibatasi
oleh garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur di sepanjang badan.
Perkembangannya bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia telur, ulat,
kepompong, dan ngengat.
Ulat grayak bersifat polifag. Ulat muda memakan daun sehingga bagian daun
yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua merusak
pertulangan daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun. Selama
periode ulat instar VI yang berlangsung 3-4 hari, 2 ekor ulat mampu menghabiskan
sebatang tanaman stadium vegetatif akhir dan 10 ekor ulat mampu menghabiskan
sebatang tanaman stadia pembentukan polong (Arifin, 1994).
Kerusakan dan kehilangan hasil karena ulat grayak ditentukan oleh populasi
dan stadia serangga, stadia tanaman, dan tingkat kerentanan varietas kedelai. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara populasi ulat dan hasil kedelai
pada berbagai stadia tanaman dinyatakan dengan kurva yang bersifat nonlinier
asimptotik. Kurva tersebut memiliki tipe gabungan antara kompensasi, linieritas, dan
desensitisasi. Ini berarti bahwa tanaman kedelai mampu mengkompensasi
kerusakan daun. Kemampuan tersebut terjadi apabila tanaman stadia vegetatif
akhir, pembungaan, awal pembentukan polong, dan pengisian polong, masing-
masing diserang ulat grayak kurang dari 1,9; 4,1; 3,1; dan 6,8 ekor/rumpun (Arifin,
1994).
Dasar Pengendalian
BP
TKE = -----------------------------
KH x PH x HK x E
Nilai TKE ulat grayak instar III pada tanaman stadia vegetatif, pembungaan,
pembentukan polong, dan pengisian polong, berturut-turut 1,94; 3,20; 3,24; dan 6,21
ekor/rumpun (Arifin, 1994). Karena kedudukan AE berada di bawah TKE, maka nilai
AE ditentukan sebesar 90% dari nilai TKE.
d=a±bn
Penarikan contoh ulat grayak dilakukan secara beruntun pada tiap lahan seluas 0,1
ha, minimum dengan 7 rumpun contoh yang ditentukan secara acak berdasarkan
garis diagonal lahan. Banyaknya ulat kumulatif dikatagorikan menjadi: a) yang harus
dikendalikan karena populasi telah mencapai batas bahaya, b) yang tidak perlu
dikendalikan karena populasi belum mencapai batas aman, dan c) yang harus
dilakukan penarikan contoh ulang karena populasi berada di antara batas aman dan
batas bahaya (Arifin, 1994).
Strategi Pengendalian
a. Pergiliran tanaman untuk memutus rantai makanan bagi hama. Misalnya, pergiliran
tanaman kedelai dengan jagung atau padi yang dapat mengatasi masalah hama
karena masing-masing memiliki kompleks hama berbeda.
b. Penanaman dalam barisan (strip cropping). Misalnya, menanam kedelai dan jagung
secara berselang-seling pada petak berbeda. Teknik ini dapat meningkatkan
keragaman sehingga tanaman inang tersamarkan dari serangan hama. Selain itu,
tanaman dapat berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber pakan bagi
organisme berguna.
c. Penanaman varietas tahan, misalnya varietas Ijen yang toleran terhadap serangan
ulat grayak (Balitkabi, 2008). Menurut Adie (2008), ketahanan kedelai terhadap ulat
grayak ditentukan oleh kepadatan trikoma daun yang berkorelasi negatif dengan
intensitas kerusakan daun. Kepadatan trikoma dari pasangan persilangan ICH/Wilis,
G100H/ICH, dan G100/Wilis berpotensi sebagai kriteria seleksi ketahanan terhadap
ulat grayak.
2. Pengendalian hayati.
. Insektisida
Insektisida biorasional merupakan salah satu tipe insektisida dari bahan alami
yang rasional secara biologis. Tipe insektisida ini berkatagori nabati, mikroba
(bakteri, virus, nematoda, cendawan, dan protozoa), feromon, atau pengatur
pertumbuhan serangga. Insektisida biorasional memiliki target hama spesifik, umur
residu pendek, persistensi singkat, aman terhadap lingkungan, termasuk musuh
alami dan organisme bukan sasaran sehingga cocok untuk diterapkan dalam
program PHT (Williamson, 1999).
Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri gram positif yang berbentuk batang,
bersifat aerobik, dan membentuk spora. Bakteri ini mengandung protein kristal (δ-
endotoksin) dalam inclusion body yang menyebabkan paralysis pada usus
sehingga serangga berhenti makan dan mengakibatkan kematian (Bahagiawati,
2002). Bt var kustaki mudah diproduksi dan efektif terhadap ulat grayak. Nilai LC 50
dalam waktu 72 jam untuk ulat instar III sebesar 259,895 ppm (Nurramdhan, 2005).
Bt memiliki daya racun rendah, residu rendah, degradasi lambat, dan aktivitas
kontak terbatas. Keberhasilan Bt bergantung pada kegiatan monitoring dan aplikasi
bila serangga dalam siklus hidup yang rentan (Williamson, 1999).
Faktor lingkungan, terutama sinar surya 290 hingga 400 nm, dapat
menginaktivasi patogen serangga (bakteri, cendawan, virus, dan protozoa). Umur
paruh berbagai tipe inokulum (konidia, spora, virion, dan toksin) yang disinari sinar
surya tercapai dalam 1 jam untuk patogen serangga sensitif dan 96 jam untuk
patogen serangga resisten (Ignoffo, 1992).
2. Ada beberapa teknik pengendalian yang cocok untuk ulat grayak. Pengendalian
hayati dengan insektisida biorasional merupakan cara pengendalian yang dapat
menggantikan peran sekaligus mengurangi kebergantungan terhadap insektisida
kimiawi.
3. Beberapa jenis insektisida biorasional yang efektif terhadap ulat grayak, antara lain
azadirachtin dari daun dan biji mimba, entomopathogen bakteri Bacillus
thuringiensis, cendawan Matarhizium anisopliae dan Nomuraea rileyi, virus SlNPV,
nematoda Steinernema dan Heterorhabditis, serta seks feromon.
DAFTAR PUSTAKA
Adie, M.M. 2008. Perbaikan Ketahanan Kedelai Terhadap Hama Ulat Grayak melalui
Modifikasi Karakter Trikoma Daun. Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya, Malang.
Arifin, M. 1991. Peranan Musuh Alami Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada
Berbagai Kondisi Lingkungan Pertanaman Kedelai, p. 207-214. Dalam:
Seminar Nasional Biologi Dasar II. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor.
Arifin, M. 1994. Economic Injury Level and Sequential Sampling Technique for The
Common Cutworm, Spodoptera litura (F.) on Soybean. Contr. Central
Research Institute Food Crops Bogor. 82: 13-37.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan
Kompatibilitas SlNPV dengan Insektisida terhadap Ulat Grayak pada
Kedelai. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok, 24-27 Juli
1995. 8 p.
Balitkabi. 2008. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918-2008. Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 70 p.
Bahagiawati, 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida.
Buletin AgroBio. 5(1): 21-28.
Biogen. 2004. NPS, Biopestisida Unggulan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Chaerani dan Suryadi, Y. 1999. Isolasi Nematoda Patogen Serangga Steinernema
dan Heterorhabditis dari Daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah, p. 197-
206. Dalam: Seminar Nasional PEI. Peranan Entomologi dalam
Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16
Februari 1999.
Chiu, C.C., M.L. Hseu, and L.S. Hsu. 1993. Field Observation on the Use of Sex
Pheromone to Control Spodoptera litura on Soybean in Indonesia. Taichung
DAIS. 41: 55-63.
Deacon, J.W. 1983. Microbial Control of Plant Pests and Diseases: Aspects of
Microbiology. American Society for Microbiology, Washington, D.C. 88 p.
Dent, D.R. 1999. Development and Use of a Biopesticide, p. 29-34. In: Proceedings
of the EMPRES Regional Workshop on Biological Control of Desert Locust,
27-29 August 1999, Cairo, Egypt. FAO, Rome, Italy.
Ditlin. 2008. Laporan Luas dan Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan di
Indonesia. 2008. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta.
Hall, T.M. 1973. Biological Control of Insect Pest and Weeds. Chapman and Hall
Ltd., London.
Hein, G.L. 2003. Insect Management. High Plains Integrated Pest Management.
http://wiki.bugwood.org/upload/IPM.pdf
Ignoffo, C.M. 1992. Environmental Factors Affecting Persistence of
Entomopathogens. Florida Entomologist. 75(4): 516-525.
Indiati, S.W. 2009. Mimba Pestisida Nabati Ramah Lingkungan.
http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/
Kaya, H.K. and R. Gaugler. 1993. Entomopathogenic Nematodes. Ann. Rev.
Entomol. 38: 181-206.
Koswanudin, D., M. Arifin, dan Harnoto. 2002. Kompatibilitas SlNPV dengan Ekstrak
Biji Mimba untuk Mengendalikan Ulat Grayak pada Kedelai, p. 343-347.
Dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi
Tanaman. Bogor, 26-27 Desember 2001. Balai Penelitian Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian.
Mumford, J.D. and G.A. Norton. 1984. Economics of Decision Making in Pest
Management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-74.
Nurramdhan, A. 2005. Pengujian Toksisitas Bacillus thuringiensis var kurstaki
terhadap Mortalitas Larva Ulat Grayak Spodoptera litura F. Universitas
Pendidikan Indonesia. http://digilib.upi.edu/pasca/ available/etd-0215106-
143604/
Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen
Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura
pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian. 24(1): 19-26.
Shepard, B.M. 1980. Sequential Sampling Plans for Soybean Arthropods, 79-93. In:
M. Sampling Methods in Soybean Entomology. Springer-Verlag, New York.
Shetlar, D.J. and F. Hale. 2008. Integrated Pest Management.
http://wiki.bugwood.org/ Integrated_Pest_Management
Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. Development and Economic Injury Level of The
Green Cloverworm on Soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
Suharto, H. 1996. Seks Feromon Buatan dalam Pengendalian Ulat Grayak pada
Kedelai, p. 202-208. Dalam: Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian
Tanaman Padi. Sukamandi, 23-25 Agustus 1995. Balai Penelitian Tanaman
Padi.
Suparjiyem, Y.A Trisyono, dan Witjaksono. 2006. Patogenisitas Cendawan
Nomuraea rileyi terhadap Larva Spodoptera litura. Jurnal Agrosains XIX(4).
Tengkano, W., Matadjib, D. Kilin, dan M. Iman. 1997. Identifikasi Jenis Tanaman
Inang yang Paling Menarik bagi Imago Ophiomyia phaseoli Tr. dan
Spodoptera litura F., p. 387-402. Dalam: Prosiding Seminar Nasional
Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor.
U Mass Extension. 2000. Integrated Pest Management Tools, Bio-Rational
Pesticides. University of Massachusetts Amherst. http://www.
umassgreeninfo.org/fact_sheets/ipmtools/biorationals.html
Waters, W.E. 1954. Sequential Sampling in Forest Insect Surveys. For. Sci. 1: 68-
79.
Wikipedia. 2009. Metarhizium anisopliae. http://en.wikipedia.org/wiki/
Metarhizium_anisopliae
Williamson, R.C. 1999. Biorational Pesticides: What are they anyway? Alternatives
Emerge for Regulated Chemical Products. http://www.
gcsaa.org/gcm/1999/oct99/10biorational.html
Melawan Hama
denganNematoda
1
Juvenil infective (JT) yang baru keluar dari
induk dan bergerak bebas didalam tanah
untuk menghasilkan generasi baru
Deskripsi Taksonomi
Filum
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Nematelminthes
: Dorylaimida
: Steinernematidae
: Steinernema
: Steinernema spp.
2
JT stadium ke-3 (jantan dan betina), jantan
dan betina kawin untuk menghasilkan
generasi baru
3
Nematoda Steinernema betina akan
memproduksi banyak juvenil infektif
generasi baru di dalam tanah
4
JI akan berkembang biak menjadi nematoda
jantan dan betina dewasa
PENYAKIT CABAI
December 20th, 2008 by heabron
Musuh-musuh Utama
pada Tanaman Cabe
Hambatan paling besar bertanam cabe
biasanya datang dari keberadaan hama dan
penyakit seringkali yang membuat tanaman
rusak pada bagian tertentu yang bisa
menyebabkan puso. Cukup banyak jenis-
jenis hama maupun penyakit yang
menyerang tanaman cabe ini dari fase benih
sampai panen. Namun hanya beberapa yang
utama dan paling merusak. Berikut adalah
pembahasan mengenai hama dan penyakit
utama pada tanaman cabe.
THRIPS
Hama thrips (Thrips Sp.) sudah tidak asing
lagi bagi para petani cabe. Menurut
beberapa sumber, thrips yang menyerang
cabe tergolong sebagai pemangsa segala
jenis tanaman, jadi serangan pada tanaman
cabe hanya salah satunya saja. Dengan
panjang tubuh sekitar + 1 mm, serangga ini
tergolong sangat kecil namun masih bisa
dilihat dengan mata telanjang. Thrips
biasanya menyerang bagian daun muda dan
bunga. Serangan paling parah biasanya
terjadi pada musim kemarau, namun tidak
menutup kemungkinan pada saat musim
hujan bisa juga terjadi serangan. Gejala
yang bisa dikenali dari kehadiran hama ini
adalah adanya strip-strip pada daun dan
berwarna keperakan. Adanya noda
keperakan itu tidak lain akibat adanya luka
dari cara makan hama thrips. Dalam
beberapa waktu kemudian, noda tersebut
akan berubah warna menjadi coklat muda.
Yang paling membahayakan dari thrips
adalah selain dia sebagai hama perusak
namun juga sebagai carrier atau pembawa
bibit penyakit (berupa virus) yang
menyebabkan penyakit pada tanaman cabe.
Untuk itu, bila kita mampu mengendalikan
hama thrips, tidak hanya memberantas dari
serangan hama namun juga bisa mencegah
penyebaran penyakit akibat virus yang
dibawanya.
Pengendalian hama ini bisa dilakukan secara
kultur teknis maupun kimiawi. Secara teknis
dapat dilakukan dengan melakukan
pergiliran tanaman atau tidak menanam
cabe secara bertahap dengan selisih waktu
lebih lama, selain itu dapat juga
menggunakan perangkap kuning yang
dilapisi lem. Sedangkan pengendalian kimia
bisa dilakukan dengan penyemprotan
insektisida Winder 25WP konsentrasi
anjuran 0.25 - 0.5 gr /liter atau bisa juga
menggunakan insektisida bentuk cair
Winder 100EC dengan konsenstrasi 0.5 – 1
cc/L.
TUNGAU(MITE)
Hama mite selain menyerang jeruk, dan apel
menyerang tanaman cabe juga. Tungau
bersifat parasit dimana dia merusak daun,
batang maupun buah yang mengakibatkan
perubahan warna dan bentuk. Pada
tanaman cabe, serangannya adalah dengan
menghisap cairan daun sehingga warna
daun terutama pada bagioan bawah menjadi
berwarna kuning kemerahan , bentuk daun
menjadi menggulung ke bawah dan
akibatnya pucuk bisa mengering yang
akhirnya menyebabkan daun rontok. Dalam
klasifikasi tungau termasuk dalam Ordo
Acarina, Kelas Arachnidae bukan termasuk
golongan serangga. Tungau berukuran
sangat kecil dengan panjang badan sekitar
0.5 mm, berkulit lunak dengan kerangka
chitin. Seperti halnya thrips, hama ini juga
berpotensi sebagai pembawa virus.
Pengendalian hama mite secara kimia dapat
kita lakukan penyemprotan menggunakan
akarisida Samite 135EC. Konsentrasi yang
dianjurkan adalah 0.25 - 0.5 ml/L.
TIKUS
Meskipun tidak separah serangan pada
tanaman pangan, tikus juga berpotensi
merusak buah tanaman cabe. Mereka
biasanya menyerang bagian buahnya.
Meskipun persentasenya tergolong sedikit,
serangan tikus pada tanaman cabe tetap
harus diwasdapai dengan cara selalu rutin
membersihkan kebun cabe dari gulma dan
semak-semak yang bisa menjadi tempat
sarang sekaligus perlindungan tikus.
ANTRAKNOSA(ANTRACNOSE)
Tidak ada yang memungkiri bahwa Antracnose atau yang lebih dikenal
dengan istilah pathek adalah penyakit yang hingga saat ini masih
menjadi momok petani cabe. Bagaimana tidak? Buah yang menunggu
panen dalam beberapa waktu berubah menjadi busuk oleh penyakit ini.
Sudah banyak petani yang menjadi korban keganasannya. Sekali tanaman
cabe kita terkena antraknosa, maka akan sulit bagi kita untuk
mengendalikannya. Oleh karena itu tindakan paling baik untuk penyakit
ini adalah melakukan pencegahan sebelum terjadinya serangan. Gejala
awal yang dapat dikenali dari serangan penyakit ini adalah adanya bercak
yang agak mengkilap, sedikit terbenam dan berair. Lama – kelamaan
busuk tersebut akan melebar membentuk lingkaran konsentris. Dalam
waktu yang tidak lama maka buah akan berubah menjadi coklat
kehitaman dan membusuk. Ledakan penyakit ini sangat cepat pada
musim hujan. Penyebab penyakit ini tidak lain adalah jamur C. capsici.
Jamur ini menyerang tidak pandang bulu, karena baik buah cabe yang
masih hijau atau sudah masak pun tidak luput darinya. Penyakit ini sangat
mudah menyebar ke buah atau tanaman lain. Penyebarannya tidak hanya
melalui sentuhan antara tanaman saja melainkan juga bisa karena
percikan air, angin, maupun melalui vektor. Tidak ada satu pun cara yang
bisa dilakukan agar penyakit ini bisa 100% , namun kita bisa
mencegahnya dengan kultur teknis yang baik. Dapat juga dilakukan
pembersihan atau pembuangan bagian tanaman yang sudah terserang
agar tidak menyebar. Selain dengan cara budidaya yang baik, saat
pemilihan benih harus kita lakukan secara selektif . Disarankan agar
menanam benih cabe yang memiliki ketahanan terhadap penyakit pathek.
Penggunaan benih sembarangan akan beresiko terjadinya serangan
penyakit. Secara kimia, pengendalian penyakit ini dapat disemprot
dengan fungisida bersifat sistemik yang berbahan aktif triadianefon
dicampur dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga hidroksida
seperti Kocide 54WDG, atau yang berbahan aktif Mankozeb seperti Victory
80WP.
LAYU BAKTERI
Bakteri penyebab layu merupakan penyakit kedua yang meresahkan
petani setelah antraknosa. Penyebab layu bakteri ini adalah Pseudomonas
solanacearum yang serangannya ditandai dengan gejala layu pada
tanaman cabe yang mengalami kesembuhan pada waktu sore hari, tetapi
lama kelamaan kelayuannya terjadi secara keseluruhan dan menetap.
Bakteri ini biasanya ditularkan melalui tanah, benih, bibit, sisa-sisa
tanaman , pengairan, nematoda atau alat-alat pertanian. Selain itu bakteri
ini mampu bertahan selama bertahun-tahun di dalam tanah dalam
keadaan tidak aktif. Bakteri layu cepat meluas terutama di tanah dataran
rendah, gejala kelayuan yang mendadak seringkali tidak bisa diantisipasi.
Tanaman yang sehat tiba –tiba saja layu yang dalam waktu tidak sampai
3 hari besoknya langsung mati. Itulah gambaran serangan penyakit layu
yang sangat menyeramkan. Untuk memastikan penyebab layu tersebut
kita bisa mengambil tanaman yang terserang , kemudian pangkal
batangnya dibelah untuk direndam pada gelas yang berisi air bening.
Apabila bakteri maka akan ditandai dengan keluarnya cairan berwarna
coklat susu berlendir semacam asap yang keluar pembuluh batangnya di
dalam air. Untuk mengatasinya tak ada jalan lain selain menyingkirkan
tanaman yang terserang, dan tetap menjaga agar bedengan tanam selalu
dalam kondisi kering di luar. Selain itu , melakukan rotasi tanaman
dengan tanaman yang tidak sefamili bisa mengurangi resiko serangan
penyakit tersebut. Secara kimiawi, penyakit ini dapat dicegah dengan
menyiram larutan Kocide 77WP konsentrasi 5 - 10 gr/liter pada lubang
tanam sebanyak 200 ml/tanaman interval 10 - 14 hari dan dimulai saat
tanaman mulai berbunga.
BERCAK DAUN
Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak-bercak berupa bulatan seperti
cacar pada daun. Bila dibiarkan akan menyebabkan daun-daun cabe
gugur sehingga pertumbuhan kurang optimal. Gejala pada daun tersebut
ternyata baru serangan awal saja karena bila dibiarkan, akan menyerang
batang, tangkai daun serta tangkai bunga. Seperti halnya layu bakteri,
cendawan Cercospora capsici penyebab bercak daun ini dapat bertahan
hidup pada sisa-sisa tanaman. Pengendalian terhadap penyakit ini dapat
dilakukan dengan membuang tanaman yang terserang sekaligus
membersihkan sanitasi lingkungan tanaman. Secara kimia dapat juga
dicegah dengan fungisida kontak bahan aktif tembaga hidroksida seperti
Kocide 54WDG, Kocide 77WP, dan atau fungisida bahan aktif Mankozeb
yaitu Victory 80WP.