You are on page 1of 12

PENGERTIAN SEJARAH, TOKOH, AJARAN, DAN SEKTE SYI’AH

I. Pendahuluan
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar
dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat
dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik
kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-
negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah
sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai
Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak
terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas
pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana ini
dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syi’ah,
yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.

II. Pembahasan
1. Pengertian Syi’ah
a. Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin
Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin
agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata
Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang
terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan
sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).”[1]
b. Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut
dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai
pemimpin pertama ahlulbait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam
pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan
Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad—pen.) masih
hidup.[2]
c. Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa

1
yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi
Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal
ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan ‘Ali bin Abi
Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw) beserta
keturunannya.[3]
d. Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau
dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara khusus,
perkataan “Syi’ah” mengandung pengertian syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut
atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.[4]
e. Kata Syi’ah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih,
penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela
suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam
pengertian yang modern. Kata Syi’ah digunakan untuk menjuluki
sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib
karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.[5]
f. Secara lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya
masa, secara terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang
yang meyakini bahwa hanya Rasulullah saww (shallallâhu ‘alayhi wa
âlihi wa sallam—pen.) yang berhak menentukan penerus risalah Islam
sepeninggalnya.[6]

2. Sejarah Syi’ah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya
Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan
Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu
muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut
kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan
‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.[7]
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya

2
perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak
Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa
tahkîm atau arbitrasi.[8] Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali
memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka
ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap
khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau
khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah
tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi
Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah,
inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.
[9]
Namun demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah
bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan
Mu’awiyah terjadi pula kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan
‘Ali pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.
[10]

3. Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali
bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh
Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam
pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan
Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada
zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu
fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara
langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu,
tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas
al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut
Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap

3
orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah.[11]
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang
tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai
salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan
adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya
lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.[12]
Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
a. Nashr bin Muhazim
b. Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
c. Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
d. Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
e. Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
f. Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
g. Ali bin Babawaeh al-Qomi
h. Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
i. Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
j. Muhammad bin Hamam al-Iskafi
k. Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
l. Ibn Qawlawaeh al-Qomi[13]
m. Ayatullah Ruhullah Khomeini
n. Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
o. Sayyid Husseyn Fadhlullah
p. Murtadha Muthahhari
q. ‘Ali Syari’ati
r. Jalaluddin Rakhmat[14]
s. Hasan Abu Ammar[15]

4. Ajaran-ajaran Syi’ah
A. Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat.
Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga
atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait.

4
Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani
Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi
sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali
bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer.[16]
B. Al-Badâ’. Dari segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’
adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau
keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru.
Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru
mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya
(seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan
semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan,
“Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang
tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami
telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya
maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara
sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan
Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia
memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.[17]
C. Asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh.
Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati
kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya
Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin
Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara
peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali
dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat
bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap
Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti
memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang
kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura
juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman,
Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.[18]

5
D. Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah
Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi
atau risalah Nabi.[19] Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah
kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-
rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun
masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan
menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil
keputusan.[20] Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-
persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah
pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam
Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan
kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan
oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut
nash.[21]
E. ‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata
‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan
bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah
dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa.[22] Ali Syari’ati
mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin
suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali
nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang
banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.[23]
F. Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan
datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan
menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu
disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia
adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna
‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-
Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu,
Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia
biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul

6
kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.[24]
G. Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari kata
marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-
faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan;
dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh
mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.[25]
H. Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau
kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah
hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling
durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka
bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.[26] Sementara Syaikh
Abdul Mun’eim al-Nemr[27] mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip
atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan
dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah,
setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali
bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini
adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian
untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan
‘Ali.[28]
I. Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ
yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga
keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya.
Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan
ketidakterusterangan.[29] Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan
hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah.[30]
J. Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut
pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya
doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul
merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat
dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul,
tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau

7
imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai
ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai
Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.[31]
K. Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang
artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî
berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang artinya melepaskan diri atau
menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk
Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai
perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî dari musuh-musuhnya.
Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang berbunyi:
“Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka
hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang
yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan lindungilah
orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)[32]

5. Sekte-sekte Syi’ah
Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar,
yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah
pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna
‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah golongan
Isma’iliyah.[33]
Selain itu terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau
membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah,
Imamiyah, Ghulat (Syi’ah sesat), dan Isma’iliyah.[34] Sedangkan al-Asy’ari
membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang
terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi
menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.
[35]
Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-
aliran Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu Sekte
Imamiyah (yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna

8
‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan
Fathimiyah.[36]
Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan,
Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan
Syi’ah secara rinci sebagai berikut:
A. Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah,
Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah,
Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah,
Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah,
Halajiyah, Isma’iliyah.
B. Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu
Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah,
Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah,
Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah
(Taimiyah), Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah),
‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.
C. Zaidiyah: Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah,
Ya’qubiyah.[37]

III. Penutup
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu
aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya
adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi
Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara
garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura,
imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah,
taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal memiliki
perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat
berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam
memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb

9
IV. Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2003, cet. ke-3.
Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam.
Solo: Ramadhani, t.t.
Al-Hafni, Abdul Mun’im. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,
Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom. Jakarta: Grafindo Khazanah
Ilmu, 2006, cet. ke-1.
Al-Nemr, Abdul Mun’eim. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah. T.tp.:
Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988.
Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik
dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in. Bandung: Mizan Pustaka,
2004, cet. ke-1.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997, cet. ke-4.
Karya, Soekama, dkk. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996, cet. ke-1.

10
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ensiklopedi Islam Indonesia.
Jakarta: Djambatan, 1992.
Sou’yb, Joesoef. Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah.
Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982, cet. ke-1.
Syari’ati, Ali. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif
Muhammad. Bandung: Mizan Pustaka, 1995, cet. ke-2.
Syirazi, Nashir Makarim. Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab. Jakarta:
Penerbit Al-Huda, 1423 H, cet. ke-2.
Zainuddin, A. Rahman dan M. Hamdan Basyar, ed. Syi’ah dan Politik di
Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan, 2000, cet. ke-1.
http://www.al-shia.com
http://www.ijabi.org

[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), cet. ke-4, h. 5.
[2] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 904.
[3] Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), cet. ke-3, h. 343.
[4] Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1996), cet. ke-1, h. 125.
[5] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni
Timur Tengah, 1988), h. 34-35.
[6] http://www.al-shia.com/html/id/shia/moarrefi/1.htm
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h.5.
[8] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Joesoef Sou’yb,
Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982),
cet. ke-1, h. 11. Penjelasan lebih lengkap tentang perang Shiffin dan tahkîm, lihat Mahmoud M.
Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir
A. Mu’in (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet. ke-1, h. 155-185.
[9] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Abubakar Aceh,
Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), h. 17-21;
http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm
[10] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5.
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13-15.
[12] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 15.

11
[13] Poin a. – l. lihat http://www.al-shia.com/html/id/shia/bozorgan/index.htm
[14] Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang
keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan
Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual
(1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus
Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi).
Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum
Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Selengkapnya lihat http://www.ijabi.org/ijabi.html;
http://www.ijabi.org/pimpinan.html
[15] Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa
Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar
Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah.
Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni.
[16] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 10.
[17] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 10-11.
[18] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11. Pembahasan mengenai asyura
dan tabut selengkapnya lihat Azyumardi Azra (Kata Pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan
M. Hamdan Basyar, ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan,
2000), cet. ke-1, h. 20-21.
[19] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11.
[20] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad
(Bandung: Mizan Pustaka, 1995), cet. ke-2, h. 65.
[21] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11. Pembahasan tentang imamah
secara lengkap lihat Nashir Makarim Syirazi, Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab (Jakarta:
Penerbit Al-Huda, 1423 H), cet. ke-2, h. 76-92.
[22] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11.
[23] Syari’ati, Islam…, h. 62.
[24] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11-12.
[25] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12.
[26] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12.
[27] Beliau adalah mantan Menteri Wakaf dan al-Azhar, Mesir.
[28] Al-Nemr, Sejarah…, h. 146.
[29] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12-13. Lihat juga Syari’ati,
Islam…, h. 67.
[30] Al-Nemr, Sejarah…, h. 146. Lihat juga Syirazi, Inilah…, h. 105-107.
[31] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13.
[32] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13.
[33] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 6.
[34] Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan
Gerakan Islam, terj. Muchtarom (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), cet. ke-1, h. 572.
[35] Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 572.
[36] Sou’yb, Pertumbuhan…, h. 13-196.
[37] Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 575-576.
Prev: PELAJARAN BERHARGA DARI UTAN KAYU
Next: Pesan Duka

12

You might also like