You are on page 1of 4

UTOPIA GREEN BANKING DI INDONESIA

Oleh: Grahat Nagara, Timer Manurung, dan Valdi Riovia

Dalam pertemuan SILVAGAMA dan berbagai NGO lainnya yang tergabung dalam Koalisi Anti
Mafia Kehutanan dengan Satgas Mafia Hukum, pada pertengahan tahun 2010, Yunus Husein,
anggota Satgas yang juga Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
mengeluhkan turunnya laporan hasil analisis (LHA) PPATK dan rendahnya laporan transaksi
keuangan mencurigakan (LTKM) terkait kejahatan kehutanan yang dilaporkan perbankan.
Rendahnya jumlah laporan transaksi keuangan ditambah lagi belum adanya kasus kehutanan
yang dapat menjadi model dari law in action dalam konteks penggunaan rezim anti pencucian
uang, tak pelak menyisakan dua kemungkinan: pertama, bahwa kehutanan belum menjadi
prioritas penyedia jasa keuangan sehingga tidak dicermati atau yang kedua, bahwa semua bisnis
kehutanan benar-benar taat rezim anti pencucian uang.

Kemungkinan yang kedua tersebut layak dikritisi terutama bila dibandingkan dengan besarnya
kerugian negara akibat praktek ilegal bisnis kehutanan yang demikian besar. Dari illegal logging
saja, negara mengalami kerugian Rp 35 trilyun per tahun (Dephut, 2005). Sebagai tambahan,
90% dana dari bisnis ini lalu-lalang begitu saja di dalam sistem keuangan, termasuk yang
mengalir ke luar negeri (sebagai bagian dari organized crime) dan ke kantong-kantong pejabat
dan aparat negara (Setiono dan Husein, 2005). Angka ini jelas akan bertambah besar bila
kerugian negara akibat konversi hutan illegal juga dihitung. Sebagai contoh, kerugian negara
akibat pelanggaran hukum pengelolaan hutan yang dilakukan Bupati Pelalawan Azmun Jafar
saja mengakibatkan kerugian negara Rp 1,2 trilyun. Padahal diyakini kasus-kasus sejenis
bertebaran seantero Indonesia.

Sayangnya, bahkan sejak hadirnya PPATK dan Undang-undang Anti Pencucian Uang selama
sewindu ini pun hanya 9 laporan yang diterima oleh PPATK (PPATK, 2009). Selain kasus di
Papua dan Riau, mungkin hanya kasus Adelin Lis yang dapat menjadi pembelajaran penggunaan
anti pencucian uang untuk kejahatan kehutanan. Padahal pada ketiga kasus tersebut pun
perbankan tidak memiliki peran sama sekali dalam konteks penegakan hukum kejahatan
kehutanan, terbukti dengan tidak adanya Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
dikirimkan oleh perbankan kepada PPATK terkait dengan ketiga kasus tersebut.

Mengikuti alur logika sebelumnya, hipotesis sederhana yang dapat dipahami adalah bahwa
bahwa rezim anti pencucian uang hingga saat ini belum berhasil menjadi salah satu instrumen
yang efektif dalam penegakan hukum kejahatan kehutanan. Tentu saja, keluhan Yunus Husein
kemudian tidak mengherankan. Terutama mengingat bahwa prinsip kehati-hatian perbankan
(prudential banking) dan prinsip mengenal nasabah (know your customer) sebagai salah satu
fondasi dari rezim anti pencucian uang sudah lebih dari satu dekade diinjeksi ke dalam sistem
dan instalasi perbankan Indonesia. Baik itu melalui UU No. 10/1998 tentang Perbankan dan
Peraturan Bank Indonesia No: 3/10/PBI/2001, dan berbagai peraturan Bank Indonesia lainnya
mengenai manajemen resiko, yang tidak hanya untuk diterapkan secara rigid terkait suatu
aktivitas perbankan tertentu saja tetapi mewajibkan perbankan untuk lebih menjaga dirinya
secara menyeluruh dari berbagai potensi resiko – termasuk diantaranya bersinggungan dengan
kejahatan atau harta hasil kejahatan.

Apabila berkaca dari kasus Gayus Halomoan Tambunan, dapat dipahami pula bahwa perbankan
sejatinya mampu mendeteksi well-organized crime yang menggunakan berbagai teknik
pencucian uang yang handal seperti integration, layering, bahkan structuring. Deteksi ini yang
kemudian dilaporkan sebagai transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction).
Dengan mekanisme politically exposed person (PEP), bank juga mampu mengenali Gayus
sebagai birokrat yang tergolong high risk person sehingga mendapatkan pengawasan yang lebih
ketat. Pertanyaannya, bukankah ada perusahaan bisnis sumberdaya alam yang menjadi client
Gayus? (Tempo, 8 Desember 2010) Lalu, adakah ini terendus sebagai transaksi mencurigakan?
Dan, adakah penyelidikan terhadap perusahaan sumberdaya alam dimaksud?

Kegagalan perbankan mendeteksi korupsi

Rangkuman Global Witness (2009) dari berbagai kasus kegagalan perbankan untuk berperan
dalam upaya untuk menghapuskan korupsi dari kejahatan sumber daya alam mengerucut pada
tiga kegagalan: etika, kepatuhan, dan pengaturan.

Etika bank dianggap gagal menerjemahkan empati dan simpati dalam kegiatan bisnisnya sehari-
hari untuk turut membantu mencegah korupsi sumberdaya alam yang terjadi pada negara-negara
miskin dan berkembang. Robert Palmer (2009) mencontohkan bagaimana sistem perbankan
internasional membiarkan uang hasil korupsi minyak di Afrika keluar begitu saja untuk
digunakan berfoya-foya di berbagai belahan dunia lainnya oleh keluarga pejabat. Anehnya,
perbankan tidak berhasil mengenali nasabahnya yang merupakan anak presiden, yang seharusnya
mendapatkan pengawasan lebih ketat sebagai politically exposed person. Padahal ketika bank
membiarkan uang hasil korupsi lewat begitu saja, perbankan sebenarnya tidak ada bedanya
dengan pelaku korupsi itu sendiri. Seolah ada gap yang besar antara komitmen bank untuk
berperan dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dengan aktivitas bisnisnya yang
secara nyata dilakukan, yaitu memfasilitasi tindak pidana pencucian uang dengan berbagai cara.

Berikutnya, kegagalan bank untuk patuh pada aturan due dilligence juga menjadi salah satu
alasan. Baik itu karena ketidakmampuan sumberdaya maupun karena budaya taat hukum yang
lemah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya pegawai bank dan managemen bank yang terjerat
kasus pidana korupsi baik sebagai pelaku tunggal ataupun bersama-sama dengan pihak lain.
Sementara itu publik sama sekali tidak punya bayangan, mana bank yang memang patuh atau
mana bank yang tidak, atau seberapa patuh perbankan terhadap ketentuan-ketentuan due
diligence dan Anti Pencucian Uang.Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) memang melakukan
pemeringkatan terhadap kesehatan perbankan yang diinformasikan kepada publik. Namun,
peringkat ini lebih mendasarkan pada tingkat kemampuan perbankan mengelola asetnya
termasuk, sementara itu aspek resiko hukum (legal risk) termasuk didalamnya kepatuhan
perbankan hanya bagian kecil dari tingkat kesehatan tersebut. Selain peringkatan oleh BI, banyak
pemeringkatan oleh lembaga-lembaga pemeringkat swasta yang didorong oleh permintaan pasar,
seperti peringkat pelayanan, peringkat bisnis, namun sekali lagi pemeringkatan berdasarkan
aspek resiko hukum belum dilakukan padahal bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan dan
jasa yang mengedepankan etika dan hukum. Pemeringkatan berdasarkan aspek resiko hukum
bagi sebagian kalangan dikhawatirkan akan menggoncang system perekonomian dan berdampak
sistematis tetapi dengan pemeringkatan ini kasus-kasus seperti Bank Century yaitu bank yang
sehat secara keuangan justru mengalami resiko hukum yang kronis dan sistematis dan dapat
meledak sewaktu-waktu. Kondisi ini sesungguhnya dapat dicegah dan perbangkan dapat
bersaing secara sehat, beretika dan sesuai dengan koridor hukum dalam bersaing dalam industri
dengan pemeringkatan berdasarkan aspek resiko hukum.

Kegagalan ketiga adalah gagalnya regulator mengawasi perbankan dan lubang regulasi yang
mengatur mengenai hal ini. Global Witness (2009) mencatat bahwa secara sistemik gagalnya
rezim ini karena memang salah kaprahnya pelaksanaan dari rezim anti pencucian uang.
Kebanyakan pemerintah di dunia sudah merasa cukup asal aturan pencucian uang diberlakukan –
tanpa memperhatikan secara seksama apakah aturan tersebut secara holistik mampu mengatasi
harta haram yang meracuni sistem keuangan. Kondisi yang cukup asal ini juga di ikuti oleh para
pelaku penrbankan yang tidak mengerti aturan-aturan hukum dan implementasi di lapangan.
Akhirnya aturan disusun tanpa sosialisasi secara sistematis dan terus menerus, tanpa kejelasan
efektivitasnya di lapangan, dan tanpa mekanisme pengawasan secara efektif dan melekat. Karena
tidak ada sistem yang berjalan, tindak kejahatan yang terjadi seringkali diantisipasi dan
diselesaikan secara terburu-buru oleh manajemen dengan cara seperti ”pemadam kebakaran”.

Kesempatan untuk lebih hijau dan anti korupsi

Langkah Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.11/28/PBI/2009 yang


berlaku sejak 1 Juli 2009 yang diikuti dengan keluarnya Surat Edaran No.11/31/DPNP/2009
sebagai pedomannya patut diapresiasi di tengah mandegnya DPR dalam pembahasan RUU
pemberantasan pencucian uang yang baru. Dalam aturan ini jelas upaya BI meningkatkan
kemampuan due dilligence perbankan, yang tidak hanya lebih baik tetapi juga lebih hijau.

Peraturan ini selain mengatur perbankan untuk melakukan uji tuntas kepada setiap nasabah baru,
lebih dari itu juga meminta perbankan untuk melakukan verifikasi data kepada nasabah
lama(Customer Due Dilligence). Untuk nasabah bisnis kehutanan misalnya, perbankan wajib
meminta izin usaha pemegang konsesi, rencana kerja umum, dan rencana kerja tahunan. Data-
data detail seperti ini akan memberi informasi apakah si nasabah melakukan bisnis secara legal
berikut besaran volume bisnisnya tahun demi tahun. Selanjutnya, ketika nasabah tersebut
berkaitan dengan produk, nasabah, dan wilayah yang beresiko tinggi maka perbankan wajib
melakukan pengawasan yang lebih ketat (enhanced due diligence) dan mengirimkan laporan
transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK. Untuk meningkatkan keseriusan perbankan,
peraturan tersebut juga meminta bank untuk menetapkan kebijakan, menyusun pedoman, dan
mempersiapkan sumber daya untuk menerapkan pelaksanaan due dilligence secara efektif dan
berkesinambungan serta melakukan evaluasi secara berkala untuk memastikan proses ini berjalan
sesuai dengan ketentuan.

Apabila di atas lebih dilihat dari sudut pandang fungsi bank selaku lembaga keuangan untuk
menyimpan uang dan transaksi keuangan berupa transfer antar bank, maka penerapan konsep
green banking dalam hal fungsi bank selaku penyalur kredit kepada usaha riil di sector kehutanan
adalah sangat relevan. Karena dengan konsep ini perbankan akan lebih berhati-hati dan
menyelamatkan bank dari resiko kredit bermasalah, menyelamatkan asset bank dan menjamin
keberlanjutan bisnis perbankan.Seperti di ketahui semua fihak, usaha pembalakan kayu secara
legal (IPK), HTI dan HPH membutuhkan dana untuk investasi modal, pembayaran overhead
cost, biaya perizinan dan lain-lain pengeluaran yang sebagian berasal dari kas internal investor
atau pengusaha dan sebagian lagi berasal dari bank dalam bentuk fasilitas kredit investasi dan
kredit modal kerja.Jika pengusaha atau investor ini terjerat masalah hukum dan harus di pidana
akibat kegiatan illegal yang dilakukan, maka kewajiban pinjaman kepada bank akan potensial
bermasalah, karena menurun atau tidak adanya kemampuan membayar akibat pengusaha tersebut
tidak bisa menjual kayu yang disita oleh pengadilan ,usaha yang macet atau akibat pengusaha
menjalani hukuman di penjara.

Namun yang terjadi di lapangan pengusaha-pengusaha yang tersebut di atas ini seringkali
menjadi nasabah prima dari bank yang ada di daerah, sehingga mereka mendapatkan previllege
khusus untuk menyimpan hasil kejahatan dari tindak pidana di kehutanan dan mendapatkan
fasilitas pembiayaan untuk melakukan kegiatan yang sama. Sehinga secara langsung atau tidak
langsung dan secara sadar atau tidak sadar perbankan terlibat dalam kegiatan tindak pidana
pencucian uang.

Dengan dasar pemahaman tersebut salah satu komponen penting untuk memanfaatkan
kesempatan agar perbankan dapat menjadi lebih hijau adalah bagaimana BI dan PPATK secara
serius melakukan pengawasan aktif, audit kepatuhan, dan bahkan penegakan hukum guna
mengantisipasi kegagalan etika, kepatuhan, dan pengaturan perbankan. Bila hal ini dilakukan,
tanpa aturan yang bagus sekalipun kasus-kasus seperti Century dan BLBI tidak perlu terjadi.
Mungkin BI patut meniru model pengawasan dan terutama ketegasan Financial Service
Authority di Jepang yang membekukan Citibank Jepang pada tahun 2004 dan melarangnya
melakukan aktivitas promosi tahun 2009, karena terus lalai menerapkan due dilligence yang
ditentukan di Jepang untuk memastikan perbankan senantiasa taat azas dan aturan.

Tentu saja kita paham bahwa merubah struktur dan budaya bisnis perbankan tidak seperti
membalikkan telapak tangan. Namun, andaipun, kita masih harus menanti bank yang lebih hijau
lebih lama lagi, semoga itu tidak terlalu lama, karena hutan kita sudah akan habis – dan kita
sudah lelah dengan korupsi.

You might also like