You are on page 1of 7

Hana Ebmay

0970759923
Pengantar Hukum Indonesia

2. Jelaskan hubungan antara pengantar ilmu hukum dengan pengantar hukum Indonesia?
Pengantar Ilmu Hukum bertujuan untuk mengantarkan hukum secara keseluruhan
atau secara umum. Hakikat pengantar ilmu hukum sebagai dasar dari pengetahuan
hukum yang mengandung pengertian dasar yang menjadi akar dari ilmu hukum itu
sendiri. Sedangkan pengantar hukum Indonesia bertujuan untuk mengantar hukum di
Indonesia
Pada PHI, dipaparkan perihal Hukum Indonesia, hukum yang berlaku di
negara ini. Pembahasannya meliputi Hukum Tata Negara Indonesia, Hukum
Administrasi Negara Indonesia, Hukum Internasional, Hukum Perdata Indonesia,
Hukum Pidana Indonesia,Hukum Adat, Hukum Acara, dan lain-lainnya yang
Indonesia sentris dan merujuk kepada ketentuan hukum positif (lege) dan konstitusi
(bahkan ada penegasan dari beberapa Pofessor (Misalnya Prof. Kusumadi P dan Prof.
C.S.T. Kansil) kalau perbincangannya hanya meliputi Ius Constitutum). Tentu saja
hukum dari negara lain (entah itu Amerika, Jerman, Belanda, dll) tidak akan
diperbincangkan di mata kuliah ini.
Pada PIH, dipaparkan Ilmu hukum. Hal ini bisa berarti Rechtslehre dan
Jurisprudence. Pembahasannya bersifat teoritik, sebab "lehre" itu khan artinya ajaran
atau doktrin [berarti bicara soal ajaran atau doktrin hukum, misalnya ajaran Hans
Kelsen, ajaran Savigny, ajaran Jellinek, ajaran legalitas, ajaran Aristoteles, ajaran
Pancasila, dll]. Terkadang juga disampaikan perihal "status keilmiahan" Ilmu Hukum,
artinya mempertanyakan apa Ilmu Hukum itu ilmiah/saintifik. Selain itu dibicarakan
juga sistem hukum, klasifikasi hukum, hukum dan masyarakat, serta hubungan antara
IH dengan ilmu-ilmu lainnya sebagai ilmu bantu.

3. Jelaskan tahap perkembangan hukum di Indonesia?


a. Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC,
Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
1. Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
i. Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis
ekonomi di negeri Belanda;
ii. Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter;
dan
iii. Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya,
dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa.
Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-
tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah
meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang
mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
2. Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut
RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan
utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan
dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari
kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam
(Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif
(terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini,
walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi
oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan
pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang
berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
3. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-
kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum
adalah:
i. Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan
hukum;
ii. Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
iii. Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
iv. Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
v. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi
pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan
hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1) Dualisme/pluralisme hukum privat
serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; 2) Penggolongan
rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing,
Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh
peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer
Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda
dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
i. Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk
golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
ii. Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-
undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang
dilakukan adalah: 1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; 2)
Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan
pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5)
Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan
hukum dengan orang-orang pribumi.

b. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal


1. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di
dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
i. Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan
penyederhanaan;
ii. Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan
swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan
dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
2. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini
pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema
untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan
mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan
ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi
peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau
penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No.
9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan.

3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru


a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat
berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
i. Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA
dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
ii. Mengganti lambang hukum;
iii. Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur
tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964
dan UU No.13/1965;
iv. Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak
berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan
putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b. Periode Orde Baru


Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru
diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang
perundang-undangan, rezim Orde Baru membekukan pelaksanaan UU Pokok Agraria,
dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan
modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal
Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:
i. Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;
ii. Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran
kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru
tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi
empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan
negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
i. Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
ii. Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
iii. Pembaruan sistem ekonomi.
4. Bagaimana hubungan antara hukum dengan negara? Jelaskan dengan negara yang
berdaulat?
Dalam hal hubungan antara negara dengan hukum,maka terdapat beberapa teori yang
dapat digunakan.Teori pertama mengatakan bahwa negara berada diatas hukum
(negara lebih tinggi kedudukannya daripada hukum, negara yang membentuk hukum).
Teori kedua mengatakan bahwa hukum berada diatas negara (hukum mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada negara, hukum yang membentuk negara). Teori
ketiga mengatakan bahwa negaa dan hukum adalah sama.
a. Ajaran Kedaulatan Negara
Menurut John Austin,yang melihat tiap peraturan hukum sebagai suatu “command
of the lawgiver” maka orang harus memisahkan antara “positive law” dan
“ethics”(ideal law). Selanjutnya dipaparkan bahwa pandangan Austin yang
luas,hukum harus dianggap sebagai perintah dari penguasa. Hukum positif adalah
suatu peraturan bernuat yang umum,yang diberikan oleh golongan yang kedudukan
politisnya lebih tinggi kepada golongan yang kedudukan politisnya lebih rendah.
Oleh karena itu, pemgertian perintah tersebut memerlukan adanya person tertentu
untuk mengeluarkan perintah tersebut,dan juga terkandung suatu nsanksi di dalamnya
apabila perintah tersebut tidak ditaati.
Selain itu, Jellinek mengemukakan pendapatnya bahwa negara mempunyai
kekuasaan memerintah. Menurut Jellinek, hukum itu adalah penjelmaan dari kehendak
atau kemauan negara. Maka, negaralah yang menciptakan hukum,dan negara adalah
satu-satunya sumber hukum,yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. (Max
Boli Sabon, 1994:117)
b. Ajaran Kedaulatan Hukum
Ajaran ini menganggap bahwa hukum lebih fundamental daripada negara. Oleh
karena itu, hukum dapat mengikat negara. Teori ini membentuk bangunan negara
hukum, yaitu suatu negara yang bekerja berlandaskan pada hukum, undang-undang
dasar atau konstitusi, dan berlandaskan tata tertib hukum. (Samidjo,1986:308)
Kabe menyatakan bahwa dalam kenyataannya negar tunduk kepada hukum.
Pandangan Krabe tersebut ditanggapi oleh Jellinek dengan mengemukakan teori
selbstbindung, yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa negara dengan sukarela
mengikatkan diri atau mengharuskan dirinya tunduk kepada hukum sebagai
penjelmaan dari kehendaknya sendiri. Sedangkan faktor-faktor penyebab negara
menjadi sukarela untuk tunduk kepada hukum dijawab oleh Jellinek bahwa di ndalam
lapangan hukum, disamping faktor kemasyarakatan juga ada faktor ideal, yaitu rasa
hukum, kesadaran hukum, dan rasa keadilan. Hal inilah yang memperkuat pandangan
Krabe alasan-alasan sebagai faktor yang memengaruhi selbtbindung tersebut
kedudukannya berada diatas negara, yaitu kesadaran hukum. (Max Boli Sabon,
1994:118)
Menurut teori kedaultan hukum, yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah hukum,
karena baik raja/ penguasa, rakyat, maupun negara itu sendiri semuanya tunduk
kepada hukum. Hukum merupakan penjelmaan dari salah satu bagian perasaan
manusia, yang dalam perhubungannya dengan manusia-msnusia lain penjelmaan
tersebut dalam bentuk norma. Ada bermacam-macam norma, dan norma-norma ituitu
terlepas dari kehendak individu yang bersangkutan, namun berlaku bagi individu yang
bersangkutan. Demikian pula hukum sendiri adalah terlepas dari negara, akan tetapi
berlaku bagi negara. (Max Boli Sabon, 1994:119)
c. Ajaran Hukum Murni
Hans kelsen menggambarkan bentuk teori yang ketiga, yaitu bahwa negara
merupakan suatu ketertiban kaidah. Ketertiban negara adalah personifikasi dari
ketertiban hukum. Kaarena itu, maka negara dan hukum adalah pengertian yang sama
(identik).
Menurut Kelsen, hukum dan negara itu sebenarnya adalah hal yang sama, hanya
ditinjau dari aspek yang berbeda. Suatu tertib hukum menjadi suatu negara, apabila
tertib hukum itu telah mengadakan badan-badan (organ-organ, lembaga-lembaga)
guna menciptakan, mengundangkan, dan melaksanakan hukum. (Samidjo, 1986:313)
Kelsen mengakui bahwa Negara terikat kepada hukum, namun
tatanan Negara dan tatanan hukum itu sama, hanya Negara adalah
system norma-norma. Menurut Kelsen, Negara ialah kerukunan yang
telah ditata (Zwangs ordnung), tatanan yang dipertahankan oleh
paksakan, dimana terdapak hak memerintah dan kewajiban
menurut, sehingga dengan demikian ia berkesimpulan bahwa
Negara dan hukum adalah sama. Menurut Kelsen, kalau Negara
telah dipandang sebagai kesatuan tatanan-tatanan, maka tidak
terdapat kemungkinan lain untuk membedakannya dengan hukum.
Negara dan hukum termasuk dalam katagori yang sama, yaitu
“tatanan normative”. Wujud norma hukum dilihat dalam sifat paksa
itu, maka secara sama hukum dan Negara adalah tatanan-tatanan
paksa dalam arti system norma-norma yang mengatur secara paksa.
Arti kata tujuan negara berakhir pada definisi hukum.

You might also like