You are on page 1of 442

1

1. Altered Mental State

Caveats

Fokus perhatian utama dalam evaluasi ED pada pasien dengan Altered Mental State (AMS)
antara lain :
• Untuk menentukan penyebab reversibel yang mudah terjadi seperti
hipoksemia, hiperkarbi, hipoglikemi
• Untuk membedakan penyebab struktural dengan penyebab toksik metabolic
dimana penyebab yang pertama lebih memerlukan pemeriksaan pencitraan
CNS secepatnya, sedangkan penyebab yang kedua lebih mudah diidentifikasi
dengan pemeriksaan laboratoris.
• Menentukan sistem skor yang sering digunakan menurut Glasgow Coma
Scale untuk mendefinisikan keadaan koma yang terjadi.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


• Selalu mempertimbangkan penyebab AMS yang reversible sehingga dapat segera
memberikan terapi awal, misalnya : hipoglikemi (pemberian minuman gula per oral atau
dextrose 50% iv), hipoksemia (pemberian Oksigen), Heat stroke/serangan panas (upaya
mendinginkan dan pemberian normal saline iv) sebelum merujuk pasien kepada ED dengan
menggunakan ambulan.

Manajemen :

Prioritas Awal :
• Lihat bagan 1 untuk mengetahui diagnosa banding penyebab Altered Mental State
• Pasien harus segera ditangani pada area gawat darurat
• Jika penyebab AMS yang reversibel telah dapat ditentukan, maka pasien dapat
ditangani pada area intermediate acuity.
• Kontrol jalan nafas/imobilisasi C spine
1. Buka jalan nafas dan cari adanya benda asing didalamnya
2. Masukkan oral atau nasofaringeal airway
3. Aplikasikan stiff collar atau imobilisasi manual jika tidak dapat
menyingkirkan riwayat adanya trauma.
4. Aplikasikan definitive airway jika pasien koma, intubasi dengan atau tanpa
rapid sequence intubation atau lakukan pembebasan jalan nafas secara pembedahan
misalnya dengan emergency krikotirotomi.
• Oksigenasi/ventilasi
1. Pemberian oksigen dengan aliran yang tinggi
2. Jika ada indikasi peningkatan tekanan intrakranial, maka usahakan sedikit
menurunkan hiperventilasi yang terjadi untuk mencapai PCO2 sebesar 30-35 mmHg.
Pada kasus bisaa, kadar PCO2 seharusnya berada pada kisaran 35-40 mmHg.
• Output jantung
1. Periksa adanya pulsasi, jika tidak ada maka mulailah CPR !
2. Perdarahan eksternal yang jelas terlihat harus dihentikan dengan penekanan
langsung.
• Periksa kadar gula darah kapiler
2

• Monitoring EKG, pulse oksimetri, tanda-tanda vital tiap


5-15 menit.
• Mulai pemberian infus intravena dengan tetesan kecil
(kecuali terjadi hipoperfusi) dengan menggunakan cairan kristaloid isotonic.
• Lab: FBC, ureum/elektrolit/kreatinin, BGA (cari adanya
asidosis metabolic & hiperkarbia)
Catatan : keracunan CO2 bisaanya langsung timbul pada keadaan distress
respiratori, bisaanya keadaan tersebut muncul pada keadaan depresi respiratori.
Perhatikan kalsium serum, drug screen, serum etanol, kadar karboksihemoglobin,
GXM.
• Jenis cairan yang digunakan pada keadaan AMS: pertimbangkan untuk menggunakan
nya separuh atau seluruhnya
1. .D50 W 40 ml iv jika pasien mengalami hipoglikemia, diikuti dengan infus D 10 W
selama 3-4 jam.
2. Naloxon (Narcan) 0,8-2,0 mg iv bolus
3. Thiamine 100 mg iv bolus pada pasien dengan keracunan alcohol atau malnutrisi.
4. Flumazenil (Anexate) 0,5mg iv bolus
a.Dapat diulang setiap 5 menit jika diperlukan
b. Jangan digunakan berdasarkan perkiraan saja, harus ada riwayat OD. Jika
pasien telah mengkonsumsi antidepressant golongan siklik atau menggunakan
benzodiazepine dalam jangka lama, maka penggunaan Flumazenil dapat
mengakibatkan intractabel fits.
5. Foto C spine dengan cross tabel lateral film jika riwayat trauma tidak dapat
disingkirkan.

Bagan 1. Bagan Pendekatan Diagnosa Banding Pada Keadaan AMS


3

Altered Mental Airway Cek Tanda-tanda vital/temperature


State SpO2 Monitoring EKG
Breathing Periksa kadar gula darah
Berikan 02 100%
Circulation
Periksa Nadi

Target anamnesa dan Pemeriksaan Fisik :


Adanya trauma kepala
Kekakuan pada leher
Laju nafas dan ukuran pupil
Tanda deficit neurologik fokal 1
Tanda kegagalan organ kronik

Penyebab
Penyebab
Struktural
toksik/metabolik

Febris
Trauma Trauma Non Afebris
abses serebral
Kepala kepala Keracunan
meningitis
- Perdarahan Perdarahan Over dosis obat : opioid, BZD,
Ensefalitis
intra kranial intracerebral barbiturate, TCA, ketamin,
Malaria
Perdarahan ekstasi
serebral
subarachnoid Alkohol
Bakteremia
Stroke Wernicke’s ensefalopati
Septisemia
braintem Karbonmonoksida
ISK pd lansia
Stroke Metabolik
Heat Stroke
cerebellar Hipoglikemi, hipoperfusi serebral,
Tumor cerebral hiperkarbia, koma diabetikum,
hipotermi, dehidrasi,
abnormalitas elektrolit & asam
basa
Kegagalan organ
Catatan : Uremia, hepatic, respirasi, kardiak
Penyebab structural bisaanya akan (jantung)
mengakibatkan terjadinya tanda deficit Post ictal state
neurologik fokal, sedangkan penyebab Psikiatrik
toksik/metabolic tidak ada. SAH bisaanya tidak Stupor psikogenik 2
menunjukkan tanda deficit neurologik fokal. Demensia
Pada SAH dan beberapa penyebab
toksik/metabolic, dapat terjadi panas/demam.
Stupor psikogenik merupakan suatu keadaan
disosiatif dimana pasien terlihat sangat sadar,
namun tidak dapat membuat suatu gerakan
spontan serta hanya sedikit merespon stimulus
dari luar. Bisaanya terkait pada suatu kejadian
yang bersifat “stressful” dengan onset yang
mendadak. Pasien yang sering mengalami
“flickering”/kedipan pada kelopak matanya
merupakan diagnosa eksklusinya.
4

Tabel 1 : Petunjuk anamnesa dan pemeriksaan fisik yang

Penyebab Non-struktural Penyebab Struktural


Ditemukannya wadah obat yang kosong Keluhan nyeri kepala sebelum terjadinya
Riwayat medis : epilepsy, penyakit hati, AMS
diabetes Riwayat tumor otak
Kemungkinan paparan CO
Tidak adanya tanda neurologik fokal Trauma
Tanda asidosis metabolic Adanya tanda neurologik fokal
Tanda antikolinergik Trauma kepala

• Evaluasi klinik : fokusnya adalah membedakan penyebab AMS, yaitu struktural atau
toksik-metabolik (tabel 1)
• Riwayat anamnesa : cari petunjuk melalui heteroanamnesa kepada keluarga pasien,
teman, informasi lain dari petugas ambulan atau paramedic yang berada langsung pada
tempat kejadian.
• Pemeriksaan : pemeriksaan fisik eksternal singkat untuk mencari tanda kecacatan
yang terjadi pada berbagai proses penyakit. Pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki
tetap penting, namun lebih difokuskan pada pencarian gejala neurologik.

AMS yang dicurigai karena penyebab structural :


• Berikan suplemen Oksigen untuk mempertahankan SpO2 pada kisaran 95%
• Mulai pemberian infus dengan aliran lambat
• Lakukan CT scan kepala
• Turunkan tekanan intracranial jika ada indikasi
1. kontrol ventilasi : kerjakan dengan lebih cepat.
2. Mannitol iv bermanfaat dilakukan dengan konsultasi pada bagian bedah saraf.
Dosis 1g/kgBB. BB x 5 mls/KgBB dengan menggunakan larutan manitol 20%.
3. penggunaan steroid masih diperdebatkan.

AMS yang dicurigai karena penyebab toksik-metabolik


• Lakukan Gastric Lavage; dilakukan dengan tetap melindungi airway
• Gunakan bahan arang aktif pada kasus yang dicurigai overdosis obat. Lihat
BAB Prinsip Penanganan Umum Keracunan.
• Periksa temperature rectum dan pertimbangkan adanya heat stroke jika
temperature > 40oC dan mengkonsumsi antikolinergik.
• Jika ada kecurigaan meningitis, pertimbangkan pungsi lumbal lebih dini
(setelah CT scan kepala). Mulai pemberian antibiotik berdasarkan data empiris
sebelum melakukan tes serta konsul pada bagian neurologi. Rujuk kepada keadaan
meningitis.

Disposition/penempatan
• MRS-kan seluruh pasien AMS. Masukkan pasien yang diintubasi atau dengan
keadaan hemodinamik yang tidak stabil ke dalam ICU.
5

2. Bleeding, GIT ( Perdarahan GIT )

Caveats
• Manajemen penting pada perdarahan GIT yaitu dapat :
1. Identifikasi adanya syok dan resusitasi.
2. Identifikasi penyebab potensial perdarahan dan usahakan mengembalikan keadaan
yang terjadi (misalnya dengan pemberian antikoagulasi).
3. Identifikasi keadaan fisiologis lain yang terjadi akibat syok (iskemik jantung, renal
compromised atau anemia simptomatik yang membutuhkan transfuse darah).
• Selalu waspada terhadap terjadinya aneurisme aorta yang manifestasinya mirip
dengan perdarahan GIT.
• Selalu lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan apakah frank melena
terjadi atau adanya perdarahan local pada area anal kanal/perianal.
• Melena yang terjadi akibat terapi dengan Fe akan berwarna hijau/hitam.
• Penyebab umum perdarahjan GIT antara lain:
1. Ulkus peptikum
2. erosi gastric
3. varises GIT bagian atas
4. hemoroid pada GIT bagian bawah
5. malignansi

Tips Khusus Untuk Dokter Umum :


• Periksa adanya syok (takikardi dan atau hipotensi) jika ada, hubungi ambulan
dan kirim ke ED terdekat. Pasang iv line dengan infus NS.
• Jika terdapat muntah darah dan pasien tetap sadar, tempatkan pada posisi
recovery serta pasang iv line.
• Periksa abdomen untuk mencari adanya nyeri tekan serta lakukan RT untuk
mengkonfirmasi adanya melena.
• Cari adanya riwayat penyalahgunaan alcohol atau terapi antikoagulan.
• Selalu periksa pulsasi abdomen dan pikirkan kemungkinan aneurisme aorta.
• Tanyakan pasien mengenai penggunaan NSAID dan obat cina tradisional.
(Traditional Chinese Medicine = TCM).
• Sarankan pasien untuk tetap NBM.

Manajemen
Perawatan suportif

A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil


• pasien harus ditempatkan pada area critical care
• pertahankan airway. Pertimbangkan intubasi jika hematemesis terjadi
berlebihan dan pasien tidak dapat mempertahankan jalan nafasnya sendiri,
misalnya pada keadaan depresi mental akibat CVA.
• Berikan O2 aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >94%.
• Monitoring EKG, tanda vital tiap 5 menit, pule oksimetri.
6

• Lakukan pemerikasaan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya disritmia


kardiak.
• Pasang 2 atau lebih iv line perifer dengan jarum yang besar (14/16G).
• Lab :
1. GXM paling tidak 4 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada
EKG.
• Infus 1 liter NS secara cepat dan periksa kembali parameter.
Lakukan transfusi darah jika tidak ada perbaikan dengan pemberian fluid
challenge.
• Masukkan NGT untuk tujuan drainase dan kepentingan
diagnostic (serta untuk mencegah terjadinya aspirasi jika terjadi muntah/vomit)
jangan masukkan NGT jika ada kecurigaan varises esophagus.
• Pasang kateter untuk monitoring output urin.
Catatan : Peran dari Omeprazole (proton Pump Inhibitor). Bukti terbaru menyebutkan
bahwa ada beberapa keuntungan dalam menurunkan perdfarahan yang terjadi dalam
jangka pendek (meningkatkan pH lambung, memungkinkan terjadinya kondisi yang
mendukung terbentuknya clot) namun, penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk
mengetahui efek mortalitas dan morbiditasnya. Berikan omeprazole 40 mg secara iv.

B. Pasien dengan Hemodinamik Normal


• Pasien dapat ditangani pada area intermediate care walaupun harus tetap diingat
bahwa pasien dapat mengalami dekompensasi setelah evaluasi yang pertama
karena kehilangan darah yang terus menerus.
• Berikan oksigen untuk mempertahankan SpO2 >94%.
• Monitoring tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri. Pasang iv line paling
tidak 1 buah dengan jarum 14/16G.
• Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead.
• Lab :
1. GXM 2 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice, atau
menunjukkan tanda penyakit liver kronis.
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada
EKG.
• Mulai pemberian infus salin 500ml selama 1-2 jam.
• Pasang NGT dengan tujuan drainase dan kepentingan diagnostik (serta untuk
mencegah terjadinya aspirasi jika terjadi muntah/vomit).
• Berikan omeprazole 40 mg secara iv.
• Pindahkan pasien ke area critical care jika terjadi ketidakstabilan kondisi.

Pemeriksaan Spesifik
• Cari adanya luka bekas operasi aneurisma aorta abdominalis sebelumnya; perdarahan
GIT yang terjadi mungkin akibat adanya fistula aortoenterik. Jika kecurigaan terbukti
ada, maka konsulkan pada bagian bedah umum dan TKV.
• Jika ada kecurigaan varises esophagus pertimbangkan penggunaan somatostatin
250µg bolus iv, kemudian diikuti dengan infus iv 250 µg/jam (sukses diberikan pada
7

85-90% pasien). Jika somatostatin tidak berhasil menghentikan perdarahan, serta ada
resiko sebelum endoskopi dapat dilakukan, maka insersi Sengstaken-Blakemore tube
dapat dipertimbangkan. Insersi alat ini hanya dapat dilakukan oleh operator yang
berpengalaman.

Disposition/penempatan
• Konsultasi MRS pada bagian bedah umum atau bagian Gastroenterologi tergantung
pada kebijakan tiap institusi.
8

3. Bleeding ( Perdarahan ), Vaginal, Abnormal

Caveats
• Riwayat anamnesa yang teliti sangatlah penting untuk assessment perdarahan vaginal
yang abnormal. Harus meliputi riwayat menstruasi yang lengkap (termasuk HPHT),
riwayat medis dan obat-obatan, riwayat obstetric dan riwayat seksual (termasuk
penggunaan kontrasepsi pengatur kelahiran). Adanya gejala nyeri, lokasinya,
durasinya, onset dan tingkat keparahan juga harus diperiksa.
• Kehamilan harus dieksklusi pada pasien usia subur.
• Juga penting untuk mengeksklusi perdarahan yang terjadi diluar vagina, misalnya
perdarahan saluran kemih atau dari usus besar.
• Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab perdarahan per vaginam abnormal yang
bersifat emergency
• Lihat tabel 2 untuk mengetahui penyebab penting lain yang mengancam nyawa
namun tidak segera/immediate

Tabel 1 : Penyebab Perdarahan Pervaginal Abnormal yang Bersifat Emergency


1.
Kehamilan Ektopik
2.
Abortus inkomplit (mungkin juga septic) dan abortus inevitabel
3.
Plasenta previa
4.
Abruptio plasenta
5.
Perdarahan post partum (1-5 merupakan komplikasi kehamilan)
6.
Trauma vagina
7.
Menorrhagi pada pasien yang tidak hamil
8.
Perdarahan dari tumor pada traktus genitalis bagian bawah (misalnya
carcinoma cervix atau endometrial)
Tips khusus Untuk Dokter Umum
• Kehamilan harus dapat dieksklusi pada pasien yang berusia subur.
• Rujuk semua pasien dengan perdarahan pada kehamilan pada ED. Sebuah
pengecualian yaitu pada pasien dengan abortus iminen namun tidak ada
nyeri, serta dimana viabilitas fetal dapat diperiksa/diketahui.

Tabel 2 : Penyebab Penting Perdarahan Vaginal yang Abnormal Serta Mengancam Nyawa
namun tidak Immediate/segera
9

1. Terkait Kehamilan
• Abortus imminen (Threatened miscarriage)
• Missed abortion
• Gestational trophoblastic disease (jarang terjadi)
• Show (dapat terjadi pada kehamilan normal sebelum persalinan)
• Lochia (timbul normalnya setelah persalinan)
2. Tidak terkait Kehamilan
• Perdarahan pada gadis pre-pubertas
• Perdarahan vaginal irregular
• Perdarahan vaginal yang memanjang (prolonged)
• Perdarahan post coital
• Perdarahan intermenstrual
• Perdarahan post menopause

Manajemen
• Pastikan stabilitas tanda vital. Infus intra vena untuk menggantikan volume yang
hilang harus segera dilakukan jika pasien tidak stabil. Bahan specimen untuk pemeriksaan
FBC, GXM dan kehamilan harus didapatkan.
• Jika terdapat perdarahan yang berat, berikan suplementasi oksigen, monitoring pulse
oksimetri, dan blood pressure.
• Jumlah perdarahan dapat diperkirakan dari riwayat anamnesa serta memeriksa
kain/pakaian yang digunakan.
• Resusitasi umum harus dilakukan sementara menunggu pemeriksaan dari para
spesialis.
• Pasien dengan perdarahan pada awal kehamilan harus diperiksa dengan USG untuk
mengetahui viabilitas fetal dan lokalisasinya. Namun, apabila ada tanda-tanda perdarahan
intrabadomen (misalnya rupture kehamilan ektopik), diindikasikan untuk melakukan
resusitasi diikuti dengan pembedahan segera. Lihat BAB kehamilan ektopik untuk lebih
detailnya.
• Pada pasien yang hamil dimana uterusnya teraba melalui abdomen, Doptone dapat
dilakukan untuk mengetahui viabilitas fetal.
• Pasien dengan perdarahan antepartum harus dirujuk segera pada kamar bersalin.
Pemeriksaan koagulasi harus dilakukan. Namun kadangkala sulit untuk membedakan
show dengan perdarahan antepartum. Jika meragukan pasien harus dikirim ke kamar
bersalin.

Perdarahan Pervaginam Abnormal


10

Hamil Tidak Hamil

Hemodinamik Hemodinamik Hemodinamik Hemodinamik stabil


tidak stabil stabil tidak stabil

Resusitasi Rujuk ke OBG Resusitasi Berikan progesterone 50-200mg im


Cek Hb

Rujuk ke OBG Butuh pelvic


dan Bedah TKV scan 1. Hb<8mg% 1. Hb N atau
2. Perdarahan > 8mg%
terus berlangsung 2. Perdarahan
setelah pemberian berhenti 1-2 jam
progesterone im setelah
pemberian
progesterone im

Rujuk ke OBG
untuk MRS KRS dengan :
• Kontrol pada poli spesialis
OBG dalam 2 hari
Gambar 1. Rencana Manajemen Pada • Norethisterone 5 mg 2 x/hari
perdarahan Per Vaginam Abnormal – 10mg 3x/hari
• Suplemen zat besi dan folat
jika anemis

4. PENGLIHATAN KABUR MENDADAK


11

- Keluhan subyektive mungkinberarti sesuatu, dari penglihatan kabur pada salah satu
lapang pandang pada satu sisi mata, sampai buta total.
- Aturan mayor dari dokter EM adalah mengenalihilangnya penglihatan dan
penyebabnya. Sudah diketahui bahwa sejumlah pilihan terapi di ED terbatas.
- Anggap keluhan hilangnya penglihatan adalah benar sampai terbukti sebaliknya,
kirim ke bagian mata untuk dilakukan pemeriksaan lanjut.
- Pada kasus cidera mata korosif, segera lakukan irigasi dengan saline sebelum ambulan
datang membawa pasien ke rumah sakit.

MANAGEMEN
- pasien seharusnya dirawat di critical case sampai keluhan penglihatan yang menurun
membaik. Periksa tajam penglihatan di triase.
- Anamnesa : ini penting untuk mendefinisikan apa arti kehilangan penglihatan bagi
pasien:
1. apakah unilateral atau bilateral? Bilateral menunjukkan kelainandi optik chiasma.
2. apakah kelainan ada di lapangan pandang tertentu atau semua? Kehilangan
penglihatan lapang pandang tertentu menunjukkan problem retina segmental
tertentu.
3. apakah kehilangan penglihatan tiba-tiba atau mendadak? Kehilangan penglihatan
kronis progresif diduga katarak atau makular degenerasi.
4. apakah ada gejala awal flashes of light (retinal tear) atau floaters (vitreus
haemorrhages)?
5. apakah ada nyeri? Kehilangan penglihatan yang mendadak dengan nyeri bisanya
oleh karena penyebab dari pembuluh darah.
6. bila jelas, dimana lokasinya? Nyeri retrobulbar diasosiasikan sebagai neuritis
optic.
7. apakah ada riwayat serupa sebelunya yang membaik spontan? Kemungkinan suatu
oklusi vaskuler , mungkin dari atherosclerosis plaque.
8. adakah riwayat trauma? Hal ini meningkatkan ablasio retina , perdarahan vitreus
atau subluksasi lensa.
9. adakah riwayat minum toxin? Methanol, salisilat dan quinine dapat mengganggu
penglihatan
10. adakah riwayat trauma korosif pada mata? Ini dapat mengakibatkan kerusakan
signifikan pada bola mata. Asam menyebabkan nekrosis koagulasi biasanya
superficial, dimana alkalis menyebabkan nekrosis lebih dalam, mengakibatkan
ulcerasi kornea.

Pemeriksaan(spesifik)
1. kartu snellen atau hand-held ; pasien harus harus membaca 50% tulisan dalam
suatu barisan dikatakan itulah tajam penglihatannya
2. jika pasientidak menggunakan snellen chard, nilai kemampuan menghitung jari,
mendeteksi pergerakan tangan atau penerimaan cahaya.
3. pinhole cover akan memperbaiki kesalahan refraksi untuk membantu melihat
apakah ini disebabkan penurunan tajam penglihatan.

Inspeksi : point penting apakah mengindikasikan patologis meliputi


12

1. opasitas kornea dari infeksi atau proses infiltrasi


2. iridodonesisgerakan goncangan pada iris) mungkin muncul trauma subluksasi
lensa
3. kesulitan visualisasi dari retina : mungkin disebabkan oleh katarak, darah dalam
vitreus atau ablasio retina.
4. reaksi pupil : chek respon terhadap cahaya dan akomodasi
5. chek marcus gunn pupil indikasi defeck pada afferent atau chiasma seperti
disfungsi retina atau saraf optik

ophthalmoscopy; jarang diperlukan dilatasi pupil dg midriatikum. Kontraindikasi pada


glaucoma sudut tertutup atau perlu monitor untuk perubahan pupil pada pasien trauma
kepala.
1. check defeck retinal; catat posisi
2. check oklusi arteri atau vena retina central, ablasio retina, hipertensi atau diabetes
retinopathy, papilloedema atau papillitis

check lapang penglihatan dan extraoculer movement

pemeriksaan (tambahan)
- slit lamp examination: chek flare dan cells, posterior keratitis precipitates, dan/atau
hipema anterior
- tonometri dilakukan setelah local anestes, untuk mengukur tekanan intraokuler,
tekanan abnormal bila lebih dari 20 mmHg.
- Disposisi; kosultasi segera bag mata jika terdapat penurunan penglihatanatau indeks
tinggi dugaan kehilangan penglihatan.

5. Breathlessness, Akut
13

Caveats
• Ketika menghadapi pasien yang menderita henti nafas yang akut, selalu
pertimbangkan penyebab yang dapat diatasi segera (dalam beberapa detik atau menit).
1. Obstruksi jalan nafas atas akut : dengan maneuver Heimlich atau Magill’s forceps
2. Tension pneumothorax akut : thoracostomy dengan jarum, diikuti dengan insersi
chest tube.
3. Gagal nafas akut : intubasi endotrakeal.
• Penyebab umum henti nafas tertera pada tabel 1
• Ingat bahwa hiperventilasi psikogenik merupakan diagnosa eksklusi.
• Secara umum, sangatlah bermanfaat untuk membagi penyebab henti nafas
yaitu pasien tanpa kelainan paru (istilah hiperventilasi) atau pasien dengan kelainan
paru.
• Ingat bahwa tidak semua pasien wheezing menderita asma atau cold.
• Pertimbangkan diagnosis dari kondisi lain seperti asma kardiak,
anafilaksis, dan aspirasi.
• Lihat tanda dan gejala gagal jantung, misalnya orthopnoea, edema pedis
dan peningkatan tekanan vena jugularis, untuk membedakan asma kardiak dengan
asma respiratori.
• Tidak semua pasien takipneu dengan krepitasi menyeluruh disebabkan
oleh edema pulmonary. Mungkin pasien mengalami pneumonia atau bronkiektasis.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


• Berikan oksigen dan akses intravena pada pasien henti
nafas yang harus dirujuk ke ED.
• Kirim pasien dengan ambulan jika ada kecurigaan
keadaan patologis yang serius.

Tabel 1 : Penyebab Umum Henti nafas akut


Kardiak Acute Pulmonary Edema Lihat bab Pulmonary oedema, Cardiogenic
Gagal jantung Lihat bab Gagal jantung
Cardiac tamponade
Respiratori Asma berat atau chronic Lihat bab Asma dan Chronic Obstructive
Obstructive airway Disease Lung Disease
Chest infection Lihat bab pneumonia
Pulmonary embolism Lihat bab pulmonary embolism
Pneumothorax : tension dan simple Lihat bab pneumothorax
Efusi pleura
Trauma dada, misalnya : tension Lihat bab trauma, dada
pneumothorax, hemothorax,
kontusio pulmonal, flail chest
Aspirasi, termasuk obstruksi benda
asing akut
Keadaan nyaris tenggelam Lihat bab keadaan nyaris tenggelam
14

Lainnya Kompensasi respiratori pada


asidosis metabolic karena DKA,
uremia Lihat bab Keracunan, salisilat
Keracunan, misalnya keracunan
salisilat Lihat bab demam
Adult respiratory distress syndrome Lihat bab reaksi alergi/anafilaksis
Demam Lihat bab hiperventilasi
Anafilaksis
Hyperventilation syndrome

Manajemen
• Gunakan pendekatan ABC dan resusitasi secepatnya: kebanyakan pasien dispneu
akan membutuhkan evaluasi pada area intermediate atau area high acuity.
• Anamnesa yang baik akan membantu menentukan diagnosis. Misalnya factor yang
menyebabkan eksaserbasi atau factor yang memperingan, juga gejala apa saja yang
terkait, akan sangat membantu. Mungkin saja tidak didapatkan adanya riwayat
terpapar allergen atau racun, namun tetap saja pertimbangkan kemungkinan
anafilaksis dan keracunan.
• Selalu aplikasikan pulse oksimetri dan monitoring laju nafas.
• Pemeriksaan dapat dipandu dengan anamnesa serta dapat meliputi EKG, FBC, BGS,
GDA dan CXR.
• Penempatan pasien tergantung pada diagnosis dan keadaan klinis pasien.
1. Pasien dengan gagal jantung ringan bukan disebabkan oleh infark miokard dan
secara klinis masih merasa nyaman tanpa adanya takikardi atau bukti adanya
edema pulmonal pada CXR dapat ditangani dan dirujuk ke spesialis jantung
sebagai pasien rawat jalan. Lihat bab Gagal Jantung.
2. pasien dengan hyperventilation syndrome mungkin memerlukan bantuan pekerja
social medis atau dirujuk pada psikiatrik, terutama jika terjadi berulang kali. Lihat
bab hiperventilasi.
• Mulai terapi sesuai penyebab henti nafas akut yang telah teridentifikasi.
15

BAB 6
ANAK DENGAN KELUHAN NYERI PERUT

• Durasi rasa sakit sangat menentukan, karena diagnosis sakit perut pada tindakan
bedah lebih jarang terjadi pada sakit perut yang kronis
• Adanya panas menunjukkan adanya proses infeksi atau peritonitis
• Pada anak usia kurang dari 5tahun, penyebab rasa sakitnya adalah organik
• Kemungkinan terjadinya sakit perut karena sebab fungsional pada anak yang lebih
besar
• Pengetahuan mengenai usia anak sangat penting, pendekatan diagnosis juga
tergantung usia anak
• Bila ditemukan adanya muntah bilus atau muntah menetap yang disertai dengan
keluhan sakit perut harus diwaspadai adanya obstruksi mekanik sampai dibuktikan
tidak.

Tips Khusus untuk Dokter Umum


• Pemeriksaan fisik sangat penting untuk dilakukan
mengingat anamnesa pada anak mungkin tidak jelas dan lebih dari
sepertiga pasien anak memberikan gambaran penyakit yang tidak
atipikal
• Pemeriksaan palapasi dilakukan terakhir kali
• Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan daerah genital dan
melakukan pemeriksaan ’colok dubur’

Tabel 1. PENYEBAB NYERI PERUT


YANG PALING SERING MENGANCAM JIWA
Neonatus Bayi (<2tahun) Anak (2-10tahun) Dewasa
Gastroenteritis Gastroenteritis hebat Appendiksistis Overdosis
hebat
Sepsis Overdosis Trauma Trauma
Hernia inkarserata Sepsis Intususepsi Appendiksitis
Malrotasi/volvulus Intususepsi Overdosis Kehamilan ektopik
Stenosis pilorus Appendiksitis Sepsis Tukak lambung
Hirschprung Hernia inkarserata Ketoasidosis Pankreatitis
Diabetik
Trauma Divertikulum Megakolon Ketoasidosis
Meckel Diabetik
Trauma Diseksi
aorta/aneurisma
Ketoasidosis Megakolon
Diabetik

MANAJEMEN
16

• Hampir seluruh pasien anak dengan keluhan nyeri abdomen dapat ditempatkan
diruangan rawat jalan
• Lakukan pemeriksaan ABC dan pindahkan ke ruangan intermediate atau ruangan
critical untuk mendapatkan oksigen, monitor tanda vital dan oksimetri, berikan
infus cairan kristaloid melalui vena perifer.

ANAMNESA
• Hasil anamnesa keseluruhan mungkin tidak menunjukkan hal yang spesifik
• Karakter dari rasa nyeri penting untuk membedakan proses yang sedang terjadi

Onset
• Onset yang mendadak menunjukkan kemungkinan terjadi perforasi, intususepsi,
torsio atau kehamilan ektopik.
• Nyeri yang onsetnya perlahan atau tersembunyi terjadi pada appendiksitis,
pankreatitis dan cholesistitis.
• Nyeri kolik khas pada iritasi organ berongga atau obstruksi.
• Nyeri kronis yang hebat lebih berhubungan dengan inflamatory bowel disease.

Lokasi nyeri pada saat onset


• Nyeri daerah periumbilikal menunjukkan adanya proses patologi pada usus keci
atau diproksimal kolon.
• Nyeri epigastrium menunjukkan proses di proksimal traktus gastrointestinal
termasuk pankreas.
• Nyeri di daerah hipogastrik berhubungan dengan penyakit dikolon distalis,
patologi proses dipelvis, termasuk hernia inkarserata.
• Nyeri yang menjalar ke bahu menunjukkan adanya iritasi pada diafragma.

Gejala lain yang menyertai


• Muntah yang mengawali atau menyertai rasa nyeri menunjukkan adanya
intususepsi, gastroenteritis atau kolik ureter.
• Muntah yang terjadi setelah onset nyeri lebih mengarah pada iritasi peritoneum
seperti pada appendiksitis, obstruksi usus atau cholesistitis.
• Muntah bilus selalu mengindikasikan adanya obstruksi mekanik
• Diare menunjukkan adanya gastroenteritis namun dapat juga terjadi pada kasus-
kasus bedah.
• Panas dan muntah tidak khas pada anak, dapat terjadi pada nyeri abdomen baik
yang disebabkan oleh kondisi ekstra abdomen maupun intraabdomen, seperti pada
infeksi virus.

Riwayat penyakit dahulu


• Penting dan harus digaris bawahi bahwa anamnesa pada anak mungkin tidak jelas
dan lebih dari sepertiga pasien anak memberikan gambaran penyakit yang atipikal.
Diperlukan kesabaran untuk melakukan observasi saat orang tua menceritakan
perjalan penyakit anaknya.
• Hal yang perlu diperhatikan
1. Tingkat aktivitas
2. Interaksi dengan orang tua
3. Rasa tidak nyaman
17

• Penampakan Secara umum


1. Berguling-guling, berputar kedepan dan belakang atau keluhan rasa sakit yang
hilang-timbul.
2. Anak tampak sakit berat dan letargi menunjukkan kondisi dehidrasi atau sepsis
3. Anak gerakan minimal atau berbaring dengan lutut ditekuk menunjukkan adanya
iritasi peritoneum.
• Pemeriksaan tanda vital yang lengkap harus selalu diulang dan dicatat
• Lakukan pemeriksaan perut setelah pemeriksaan fisik lainnya lengkap
1. Inspeksi : apakah perut tampak cekung atau distensi? cari adanya luka bekas
operasi, defek pada dinding perut dan gambaran peristaltik usus.
2. Auskultasi : lakukan pada empat kuadaran perut :
a. Suara usus yang hipoaktif menunjukkan adanya peritonitis atau obstruksi
usus (ileus).
b. Suara usus yang hiperaktif menunjukkan adanya gastroenteritis atau awal
dari obstruksi usus (mekanik).
3. Perkusi : hindari daerah yang paling nyeri, sebagai alternatif lakukan
goyangan pada posisi duduk untuk mengetahui adanya iritasi peritoneum.
4. Palpasi : merupakan pemeriksaan yang paling informatif namun harus
dilakukan terakhir kali karena akan merangsang rasa nyeri. Tehnik distraksi atau
melakukan palpasi dengan tangan anak sendiri mungkin akan berguna.
a. Tahanan dan nyeri menunjukkan adanya iritasi peritoneum
b. Adanya kekakuan menunjukkan perforasi
c. Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan daerah genital dan melakukan
pemeriksaan colok dubur

INVESTIGASI
• Investigasi sangat penting pada pasien dengan diagnosis yang tidak jelas, pada
anamnesa yang menunjukkan kemungkinan penyebab dari kasus bedah dan adanya
gejala iritasi peritoneum.
1. Pemeriksaan darah lengkap : sangat berguna untuk mengetahui adanya
proses infeksi atau adanya kehilangan darah. Perhatikan adanya peningkatan sel
darah putih dapat terjadi pada setiap kondisi intraabdomen atau panas badan,
interpretasi mungkin sulit.
2. Ureum/elektrolit/creatinin dan kadar gula darah : sangat berguna pada
pasien yang membutuhkan cairan resusitasi intravena seperti pada obstruksi usus,
peritonitis atau gastroenteritis.
3. Pemeriksaan lainnya : pemeriksaan fungsi hati dan amilase dapat
dilakukan bila ada indikasi secara klinis.
4. Urinalisis : indikasi untuk dilakukan pada pasien dengan nyeri perut semua
usia, bila ada pyuria, hematuria dan ketonuria ± glikosuria.
5. Pemeriksaan kehamilan melalui urin : diindikasikan pada remaja putri
dengan kemungkinan kehamilan berdasarkan siklus menstruasi dan riwayat
kehidupan seksualnya.
6. Pemeriksaan foto rontgen abdomen : memberikan hasil yang penting bila
dilakukan pada :
a. Riwayat pembedahan perut
b. Tertelan benda asing
c. Suara usus yang tidak normal
d. Tanda-tanda iritasi peritoneum
18

Gambaran yang mungkin tampak adalah :


a. Batas air – udara
b. Penurunan udara didalam usus
c. Sentinel loops
d. Fekalit
e. Udara bebas
f. Benda asing
g. Masa
h. Konstipasi
7. Pemeriksaan USG perut : merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi proses patologi didalam perut, termasuk intususepsi, appendiksistis,
stenosis pilorus, adanya masa dan abses. Sangat berguna pada wanita dewasa
dengan keluhan nyeri perut bagian bawah untuk membedakan appendiksitis
dengan kelainan pelvis yang lain.

Tabel 2. PENYEBAB NYERI PERUT YANG PALING SERING


Neonatus Bayi (<2tahun) Anak (2-10tahun) Dewasa
Kasus non-bedah
Kolik Gastroenteritis Gastroenteritis Gastroenteritis
Alergi susu Sindroma virus Konstipasi Sindroma virus
Gastroenteritis Konstipasi Sakit fungsional Sakit fungsional
Refluks Infeksi traktus Sindroma virus Pneumonia
gastroesophageal urinarius
Sepsis Infeksi traktus
urinarius
Pneumonia
Kasus bedah
Volvulus/malrotasi Intususepsi Appendiksitis Appendiksitis
Hernia inkarserata Hernia inkarserata Trauma Trauma
Stenosis pilorus Trauma Divertikulum Kehamilan ektopik
Meckel
Kelainan usus Divertikulum Intususepsi Torsio testis
Meckel
Hirschsprung Appendiksistis Tumor Tumor
Perforasi usus Tumor (Wilm’s)
Trauma

Tabel 3. KONDISI DILUAR PERUT YANG MENYEBABKAN NYERI PERUT


Inflamasi Toksikologi
Penyakit virus Keracunan logam berat
Pharingitis streptokokus Termakan alkohol, aspirin, insektisisda
Purpura Henoch-Schonlein
Sepsis Sumber diluar abdomen
Demam rematik akut Pneumonia
Penyakit kolagen-vaskuler Pyelonephritis
Urolitiasis
Metabolik/hematologi Torsio testis
Ketoasidosis diabetik Epididimitis
Leukemia Migrain abdomen
19

Krisis sickle sel Miokarditis dan perikarditis


Nyeri abdomen fungsional

DISPOSISI
• Semua anak dengan kemungkinan kasus bedah memerlukan konsultasi ke
bagian bedah segera
• Keputusan pemerintah memerintahkan semua anak dengan tanda dan gejala
yang meragukan sebaiknya dirawat di ruah sakit. Bila orang tua tetap
menginginkan anak dirawat dirumah maka harus disertakan nasehat dari dokter.

7. SESAK NAPAS PADA ANAK

Caveats
• Ingat ABC : jangan terlambat mentransfer anak dengan sesak napas akut ke critical
area dengan anamnesa dari orang tua.
• Anak dengan sesak napas yang tidak menangis menunjukkan adanya bahaya
terjadinya henti napas: transfer ke critical area.
• Anak yang menangis kuat menunjukkan fungsi paru masih baik.
20

• Anak dengan sesak napas dapat dalam keadaan nyeri hebat dari kolik bilier (kista
koledokus), akut abdomen (peritonitis, intususepsi). Setiap anak yang mengalami
nyeri dapat sesak napas!
• Anak yang sesak dengan pemeriksaan thorax normal dan ronteng thorax normal dapat
terjadi akibat DKA (tipikal air hunger, peningkatan gula darah perifer, keton pada
nafas dan urine).
• Auskultasi pada dada anak harus ditenangkan dulu untuk menghindari kesalahan hasil
pemeriksaan akibat teriakan anak.
• Saat auskultasi dada, perhatikan udara masuk, tidak hanya crackles dan wheezing:
penurunan udara masuk pada satu lobus mungkin satu-satunya tanda untuk diagnosis
konsolidasi lobaris sebelum timbul crackles local dan suara bronchial, adanya efusi
pleura atau pneumothorak.
• Aspirin atau overdosis obat dapat terjadi sesak napas akibat asidosis metabolic
• Selalu pertimbangkan penyebab jantung seperti gagal jantung akibat penyakit jantung
bawaan, myokarditus atau supra ventricular takikardi (SVT).
Tips khusus
 Letakkan anak yang sesak napas dalam posisi nyaman, jangan memaksanya
untuk berbaring.
 Jika anak ketakutan karena pemberian masker oksigen, berikan pada ibunya
untuk memegang masker dari jarak dekat dari muka anak.
Pertanyaan pada orang tua atau pengasuh
 Onset sesak
1. apakan sesak terjadi tiba-tiba saat bermain dengan mainan atau saat makan ?
2. Anak sesak saat muntah: muntah dan sianosis curiga aspirasi.
3. Muntah, nyeri dada dan sesak curiga pneumonia lobus bawah.
4. Muntah, sesak dan wheezing mungkin mengindikasikan sticky phlegm seperti
bronkitisa.
 Paparan anggota keluarga dari PTB, pneumonia atau infeksi dada, atau virus
 Riwayat asma atau wheezing sebelumnya.

Pemeriksaan
Catatan:
1. gagal jantung, seperti bronchitis, dengan wheezing; suara jantung mungkin sulit
didengar.
2. retraksi kepala mungkin dengan tanda iritasi meningen, lihat tanda peningkatan
tekanan intrakranial pada anak yang gelisah, sesak atau apneu.
3. gagal to thrive mungkin dengan refluks gastroesofageal, fistula trakeoesofageal, kistik
fibrosis, atau imunokompromised.
 Tanda terpenting untuk menilai status mental: indicator awal hipoksemia atau
hiperkarbia. Waspada iritabilitas, gelisah, ketidakmampuan mengenal orang tua dan
tidak ada respon social.
 Lihat sianosi sentral, transfer ke critical care area dan beri 100% oksigen dengan
masker.
 Tanda distress pernafasan: sianosis, retraksi kepala, penggunaan otot pernafasan
asesorius, trakeal tug, retraksi, grunting atau nafas cuping hidung, stridor. Transfer ke
critical care dan beri 100% oksigen dengan masker.
 Hitung frekuensi pernafasan
21

 Tanda penyakit saluran napas atas atau bawah?


1. Obstruksi saluran napas atas : ngorok dan stridor
2. Grunting menunjukkan patologis pada alveoli perlu PEEP untuk membersihkan
alveoli seperti pada konsolidasi dari pneumonia, atau edema paru, atau sepsis
 Observasi dada untuk tanda ekspansi yang tidak sama; palpasi posisi trakea; emfisema
subcutan; resonansi vokal paling baik dievaluasi dengan meminta anak mengulang
nama karakter kartun kesukaannya.
 Lengkapi pemeriksaan system THT.
Penatalaksanaan
 Pertimbangan rontgen dada
1. diagnosis klinis harus ditegakkan sebelumnya
2. pada bayi sesak dimana sulit dimana sulit menilai pemeriksaan paru sebaik jantung.
3. tidak semua pasien asma memerlukan roentgen dada tapi berguna untuk
menyingkirkan aspirasi benda asing, pneumonia dan atelektasis
4. diindikasikan pada wheezing yang pertama kali disertai trias klinis panas, batuk dan
sesak
5. mungkin berbahaya mengirim anak untuk rontgen dada dari pada roentgen dilakukan
di critical care area, misalnya pada croup dan epiglotitis.
 Anak dengan sesak napas berat
1. penatalaksanaan di critical care area
2. evaluasi dan dukungan jalan napas
3. berikan oksigen 100% dengan masker
4. monitoring: ECG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
5. pemeriksaan dada dengan teliti
6. roentgen dada sesuai keperluan

7. nebulisasi salbutamol untuk anak dengan wheezing


dosis: 0,5 ml : 1,5 ml saline untuk < 1 tahun
1 ml : 3 ml saline untuk > 1 tahun, dapat diulang tiap 20
menit
lakukan konsultasi pediatrik dan transfer ke pediatric ICU.
8. heparin plug pada vena perifer: buat analisa gas darah vena yang berguna
untuk menilai pH dan pCO2

 Anak sesak sedang


1. Penatalaksanaan di intermediate care area
2. Monitoring: pulse oksimetri
3. Berikan Oksigen jika SpO2 < 96%
4. Pada asma :
a. PEFR dilakukan pada anak yang dapat melakukan dengan adekuat ( umumnya
usia 6-7 tahun keatas )
b. Nebulisasi salbutamol sesuai kebutuhan tiap 20 menit.
c. Berikan prednison oral 1 – 2 mg/kg sejak awal pulang dari UGD
Disposisi
 Masuk Rumah Sakit
1. Anak dengan intubasi, diikuti dengan konsultasi pediatrik
2. tidak ada perbaikan setelah terapi
3. SpO2 pada udara ruangan < 96 %
22

4. Orang tua / pengasuh tidak kompeten mengikuti instruksi


 Rawat Jalan
1. Anak yang berespon terhadap terapi
2. Orang tua/ pengasuh kompeten mengikuti instruksi.

8. ANAK / BAYI, MENANGIS

Caveats
- Kirim bila ada anak yang menangis terus menerus dan menolak untuk didiamkan.
- Harus sadar bahwa situasi ini penuh dengan kecemasan, sejak pengasuh tidak dapat
menenangkan sampai dibawa ke IRD dan terlihat putus asa.
- Hindari pemberian obat sedatif: Jangan mengabulkan permintaan orang tua untuk
beberapa pengobatan. Menangis adalah gejala dari suatu masalah dan memberikan
obat sedatif pada anak akan menghilangkan penyebab utamanya.

Tips untuk dokter umum


23

- Ingat, harus membuka seluruh pakaian anak untuk melihat perur, perineum dan
ekstremitas secara keseluruhan

Penanganan
Apakah anak dalam keadaan sakit?

- Kondisi perut
1. Intususepsi akut: tidak berhenti menangis, muntah dan menolak diberi makan.
Catatan: lakukan pemeriksaan dubur untuk melihat adanya darah atau faeces yang
lembek dan kemerahan
2. Volvulus: perut yang tegang
3. Obstruksi hernia inguinalis ( bayi laki dan perempuan ): ingat untuk melihat lipat
paha dan meraba testis untuk mengetahui torsio testis.
4. Kolik ureter, kolik bilier atau UTI akut: adanya lekosit, darah atau nitrit pada
pemeriksaan urin dipstik

- Kondisi kepala, mata, THT


1. Otitis media akut: hati-hati pada membran timpani yang kelihatan normal pada
bayi yang menangis.
2. Periksa oropharing untuk luka bakar, herpangina atau gingivostomatitis dengan
ulkus dimulut.
3. Periksa adanya abrasi kornea
4. Periksa kepala untuk melihat fontanel yang menonjol ( untuk anak < 15 sampai 18
bulan )

- Kondisi ekstremitas
1. Lilitan : kaki, jari-jari atau bahkan penis dapat strangulasi karena sarung tang-
an, selimut atau rambut siibu.
2. Cedera tulang panjang: pikirkan cedera yang bukan karena kecelakaan.
3. Osteomielitis: periksa tanda-tanda sakit, bengkak, kemerahan pada ekstremi-
tas.

- Sakit dada ( jarang, tapi mungkin )


1. Iskemi jantung: penyakit Kawasaki atau perikarditis
2. SVT bisa tampak pada saat menangis dengan perfusi yang jelek; ingat untuk
Menghitung denyut nadi.

- Pertimbangkan iritasi meningeal


1. Anak yang menangis dengan nada tinggi.
2. Tampak kepala yang tertarik, fontanel yang cembung, mengantuk, kaku kuduk

- Pertimbangkan sindroma bayi yang menggigil: Bisa dicurigai jika bayi pucat,
mengantuk dengan tidak adanya tanda-tanda cedera fisik dan atau perdarahan retina

Disposisi
24

Rawat anak ke rumah sakit: Keadaan ini harus diwaspadai sejak terlihat tanda-tanda
pengasuh sering tertidur karena terlalu lelah akibat tidak dapat mengatasi bayi yang
tak henti-hentinya menangis. Keadaan ini memungkinkan pengasuh tertidur. Keadaan
ini juga dapat mengetahui lebih lanjut faktor penyebabnya, sebagai contoh
kemungkinan cedera yang bukan karena kecelakaan.

9. DIARE PADA ANAK


Elizabeth Khor * Peter Maning

PETUNJUK
• Pada anak dengan diare saja, tanpa muntah
• Pertimbangkan kemungkinan bahwa diare dan disebabkan oleh:
1. Konstipasi: dapat diraba adanya masa feses pada perut
25

2. Laxative/ pencahar , antasida atau antibiotik


3. terlalu banyak jus buah yang mengandung sorbitol (contoh jus apel)
• Kebanyakan kasus disebabkan oleh infeksi gastrointestinal akut:
1. Viral contoh rotavirus: gejala ISPA diikuti dengan muntah yang tidak kekuningan,
kemudian diare cair dan banyak
2. Infasif – Salmonela, Shigela, Campilobakter jejuni atau E. Coli – kotoran yang
mukuid bercampur darah, panas tinggi, tenesmus, nampak sakit.
3. Toddler`s diare: sering dimulai setelah menderita akut GE tetapi anak nampak sehat
tanpa demam, penurunan berat badan ataupun tenesmus; orang tua prihatin dengan
buang air lunak dan berulang, buang air seperti bubur dengan sayuran yang tidak
tercerna
• Jangan memberikan resep Lomotil atau Imodium pada anak di bawah 6 tahun sebab
obat ini dapat menyebabkan ileus paralitik
• Ajarkan pada orangtua bahwa walaupun dengan pengobatan, beberapa diare
diperhatikan: tujuan dari pengobatan adalah menghindari dehidrasi

Khusus untuk dokter umum


• Ingat untuk memperhatikan riwayat dan pemeriksaan untuk dehidrasi

PERTANYAAN YANG DIAJUKAN PADA ORANG TUA ATAUPUN ORANG YANG


MERAWAT
• Bagaimana kebiasaan buang air yang terakhir? Contoh: konstipasi
• Apakah makanan yang diberikan pada anak ini? Contoh: berserat, jus yang
mengandung sorbitol
• Apakah akhir 2 ini anak ini mendapatkan pencahar, antasid ataupun antibiotik?

PEMERIKSAAN YANG DIPERLUKAN


• Periksa dehidrasi secara cepat
1. Apakah diaper kering atau basah? Jika kering tanyakan kapan anak itu kencing
terakhir; tanpa urin lebih dari 8 jam adalah gejala dari dehidrasi
2. Hati-hati pada anak yang menangis tanpa air mata
• Fokus pada pemeriksaan dehidrasi (tabel 1)
26

1. Lihat mata yang cowong, mulut kering, perfusi perifer yang jelek, turgor kulit
yang menurun
2. jika penderita dehidrasi berat, bahaya syok hipovolemik; mulailah berikan
resusitasi intravena sebelum dirawat
• Takikardia dapat menjadi indikasi hiperpireksia atau adanya metabolik asidosis.
• Kondisi H.E.E.N.T:
1. periksa telinga untuk otitis media akut
2. Periksa dasar paru untuk melihat pneumonia basiler
3. lihat tenggorokan untuk adanya tanda pharyngitis ataupun tonsilitis; tidak adanya
semua kelainan ini membuat diagnosa lebih tepat
• Periksa perut untuk:
1. Nyeri perut (apendisitis ataupun peritonitis)
2. Hepatomegali ( sepsis)
3. Massa (obstruksi intestinal atau ileus paralitik)
• Lakukan pemeriksaan colok dubur ( dapat merasakan adanya massa feses yang keras):
adanya darah seharusnya sudah nampak di popoknya

PENANGANAN:
• Kultur feses tidak mendapat tempat di gawat darurat
• Pemeriksaan urine untuk ketonuria: berguna, terutama pada anak gemuk yang susah
untuk melihat tanda dehidrasi
• Urinalisis untuk melihat nitrit/ leukosit: dugaan infeksi saluran kencing
• X-ray : BOF jika didapatkan distensi abdomen atau adanya diare dalam darah
• Lakukan pemeriksaan gula darah perifer jika didapatkan penurunan kesadaran
• Rehidrasi pada anak dengan dehidrasi berat (dehidrasi 10%): kirim ke Pediatri untuk
resusitasi cairan
1. Lakukan pemasangan infus
2. Berikan infus kristaloid (normal salin atau cairan Hartman) 20 ml/ kg BB dalam
20-30 menit
3. Laboratorium: Darah lengkap, ureum/elektrolit/kreatinin, glukostik
4. Konsul pediatri dan kirim penderita ke ICU anak

DISPOSISI
27

1. Masuk RS untuk terapi intra vena


• Neonatus atau infant yang masih muda dengan diare yang profus
• Anak dengan tanda dehidrasi sedang dan berat dan yang menolak cairan oral
• Anak dengan diare kronik yang patologis dengan gagal tumbuh, atau tanda
kolitis dan kemungkinan defisiensi elektrolit dan cairan
2. Pulangkan penderita yang tidak kelihatan toksik dan yang tidak ditemukan adanya
keton dalam urin
a. Rehidrasi dengan cairan rehidrasi (Oralit) contoh Servidrat atau sereal nasi
b. Lanjutkan susu ibu jika mungkin
c. Jika durasi diare lebih dari 24 jam, anak dapat deberikan susu bebas
laktosa, contoh O-Lac atau susu formula kedelai atau HNMilupa 25 dalam
48-72 jam
d. Perbolehkan anak makan makanan padat sesegera ditoleransi dan napsu
makan kembali; kebanyakan makanan padat diterima
e. Produk kaolin tidak membantu; Smecta malahan akan berkurang, tetapi
tidak dieliminasi keseluruhan, jumlah dari kotoran 30-40%
f. Toddler`s diare: hindari produk sorbitol dan laktosa, dan kurangi makanan
yang mengandung serat dalam satu minggu
28

10. FEVER PADA ANAK

Titik berat
• Panas merupakan respon normal
• Panas merupakan gejala, bukan suatu penyakit
• Panas akan tetap ada sampai proses penyakit teratasi
• Penentuan panas tidak selalu membutuhkan ketepatan
• Panas sering merupakan mekanisme pertahanan yang sangat berguna
• Panas, terutama yang tidak terlalu tinggi, tidak selalu membutuhkan terapi
• Gejala klinis lebih penting daripada tingginya derajat panas

Efek fisiologis panas


• Adanya panas menunjukkan:
1. aktivitas fagositosis dan bakterisidal dari neutrofil
2. efek sitotoksik dari limfosit
• Setiap peningkatan suhu 1°, akan terjadi:
1. peningkatan konsumsi oksigen 13 %
2. takikardia (10 kali/mnt/°C)
3. takipnoe (2,5 kali/mnt/°C)
• Peningkatan kebutuhan metabolisme mungkin memberikan tekanan pda fetus seperti
pada pasien jantung atau suplai vaskuler serebral

Komplikasi yang potensial terjadi akibat panas:


℘ dehidrasi
℘ kejang tiba-tiba
℘ delirium (terutama pada umur sangat muda)
℘ hyperpireksia (> 41°), harus difikirkan adanya infeksi bacterial
yang serius

catatan: infeksi bacterial yang serius meliputi: meningitis, pneumonia, sepsis, osteomielitis,
UTI, Salmonella enteritis, Listeria, E. coli, infeksi streptokokus/staphilokokus. Gejala yang
timbul: iritabilitas, penurunan aktifitas, tangisan lemah, nafsu makan berkurang (malas
menyusu), diare dan muntah, distensi abdomen, respiratory distress, hipotermia/hipertermia,
perfusi perifer lemah.

Managemen: hal-hal yang harus diperhatikan


Pertimbangan jika ada kasus panas
ℵ definisi panas: suhu tubuh 1° lebih besar dari rata-rata standart deviasi dari
site of recording
ℵ suhu bayi normal menurut site of recording:
∂ rectal: ≤ 38.0° C
∂ oral : ≤ 37,5° C
∂ aksilar : ≤ 37,5° C
∂ tympanik : ≤ 38.0° C
29

Berapa umur anak?


ℵ umur anak berkorelasi dengan resiko infeksi bacterial yang serius.
Tabel 1 Resiko Infeksi Bakterial yang serius menurut umur

< 1 bulan 12 %
1-2 bulan 6%
> 3 bulan 21 X resiko

Bagaimana durasi panas?


Table 2 pembagian Panas yang ditemukan pada Pediatrik dan Durasinya

Grup Penyebab terbanyak Durasi


Panas dengan gejala local Inf. Tr. Respiratorius bag < 2mgg
atas
Panas tanpa gejala lokal Inf. Virus, UTI, bakteremia, < 2mgg
malaria, pneumonia ( T
maks >39°C dan leukosit
>20 X 109 /L)
Pyrexia of unknown origin Infeksi, arthritis reumatoid > 2mgg
(PUO)/ panas yang tidak
diketahui sebabnya

Apakah ada focus infeksi?


♠ panas tanpa disertai gejala lokal:
1. 20% dari kejadian
2. sering disebabkan viral
3. infeksi backerial: UTI, bakteremia, pneumonia
4. insiden bakteremia pada unur 3-24 bulan: 3-4 %
5. insiden bakteremia menurtut tingginya suhu:
40°C – 40.4°C = 1.7 %
40.5°C-40.9°C = 2.4%
> 40.9°C = 2.8%
6. septicemia: meningitis, otitis media oleh karna Strept. Grup B, E. coli,
Listeria, Strept. Pneumonia, H. influensa

♠ pyrexia of unknown origin:


1. 38.3°C pada beberapa kejadian
2. > 1mgg setelah ditemukan dan diagnosa masih meragukan
3. infeksi 50-60% ( viral 15%)
4. penyakit kolagen 20%
5. keganasan 5%
6. miscelaneus 5-10%
7. idiopatik 5%

apkah ada red flags?


30

Tips untuk dokter unun.


 terdapat sedikit bukti bahwa panas dengan derajat rendah – sedang adalah
berbahaya atau bisa dikatakan bahwa hal tersebut dapat diterapi dengan
antipiretik. Kecuali pada anak dengan kejang dan anak dengan ketidak normalan
jantung, paru dan fungsi serebral.
 Red Flags
1. bayi usia muda
2. tanda tidak spesifik : tidak batuk, ingusan, diare dll
3. tanda bahaya:
 panas yang berkepanjangan
 kelihatan labih parah dari seharusnya
 pucat, memar, penurunan berat badan, iritabilitas, letargi, tangisan
lemah, tidak mau menyusu, hipotermia, perfusi lemah
 panas biasanya > 40°C
 Anak dengan rewsiko rewndah:
Gejala klinis:
1. kelihatan baik
2. riwayat kesehatan sebelumnya: lahir cukup bulan, tidak mendapat terapi
antibiotik, tidak ada riwayat MRS, tidak mempunyai penyakit kronis
3. tidak mempunyai riwayat infeksi pada kulit, jaringan lunak, tulang,
persendian, dan telinga
Nilai laboratorium:
1. eritrosit : 5-15 X 109/L
2. absolute band form ≤ 1.5 X 109/L
3. urinalisis normal

Managemen: Diterapi atau Tidak Diterapi


ϕ antipiretik tidak memperpendek masa febris
ϕ indikasi pemberian antipiretik:
1. panas > 38.5°C yang disertai dengan nyeri atau gejala seperti: otitis media,
myalgia, discomfort
2. panas > 39°C tanpa gejala yang khas
3. nutrisi kurang, penyakit kardiovaskuler, combus atau post Op
4. terdapat riwayat kejang atau delirium karena panas
catatan: di singapor, sulit untuk mencegah orang tua memberi antipiretik kecuali >
38.5°C, jadi > 37.5°C merupakan ambang batas
ϕ Antipiretik
1. Parasetamol
ϑ dosis: 10-15 mg/kg 4-6 jam oral/rectal
ϑ dosis maksimum perhari: 65 mg/kg/hari
ϑ onset 30 mnt, durasi 3-6 jam
ϑ meningkatkan aktifitas dan kesadaran tapi tidak memperbaiki
nafsu makan
ϑ efek samping jarang
catatan: hati-hati penggunaan antipiretik penyakit liver atau ikterus
2. Ibuprofen (Brufen)
∂ merupakan satu-satunya NSAID yang diperbolehkan sebagai
antipiretik di USA dan UK
31

∂ dosis: 5-10 mg/kg/hari


∂ onset lebih cepat, lebih poten, labih lama daripada paracetamol
∂ efek samping ringan
3. Diklofenak (Voltaren)
Sebebenarnya tidak diindikasikan sebagai antipiretik, tetapi berguna pada
keadaan myalgia yang biasanya menyertai fever
ϕ tambahan untuk fever
ℜ menyeka dengan air hangat-hangat kuku (suhu air 27°C-34°C). berguna jika
suhu > 41°C atau 40°C dengan discomfort, dapat dimulai setelah pemberian
antipiretik
ℜ bed rest tidak memberikan efek penurunan panas
ℜ pendinginan tubuh, es, AC hanya diindikasikan pada keadaan hipertermia
ℜ seka dengan alcohol merupakan kontraindikasi pada anak

Disposisi
ξ umur < 3 bulan: perlakukan seperti penanganan sepsis
ξ umur 3-36 bulan;
1. fokus clear cut: tangani seperti
kasus clear cut
2. bukan fokus clear cut:
• non toksik dan resiko
rendah: KRS dengan kontrol 24 jam
• toksik atau resiko tinggi:
MRS dengan penatalaksanaan sepsis dan antibiotik
catatan; urinalisis dan DL jika panas > 3hari

pertimbangan lain untuk MRS:


δ infeksi yang mengancam jiwa: cth. Meningitis
δ infeksi jaringan lunak yang parah: cth. Arthritis
septic, selulitis orbital / bukal
δ hipoksia sebab infeksi traktus respiratorius
δ ketidak seimbangan elektrolit, misalnya pada
gastroenteritis
δ kompetensi orang tua dalam merawat
- apakah orang tua bisa merawat dengan
benar?
- Apakh pemberian antibiotik sesuai dengan
rekomendasi?
- Apakah yakin orang tua akan membawa
anaknya ke RS bila keadaan memburuk?
- Apakah kontrol dapat terlaksana?

BAB 11………………………………………..
32

BAB 12
ANAK MUNTAH

Penting :
• Anak muntah tidak semuanya karena gangguan gastrointestinal hati-hati dengan
meningitis, peningkatan tekanan intrakranial, otitis media, akut asma, pneumonia
bagian bawah atau infeksi saluran pernafasan atas.
• Pada bayi muntah banyak disebabkan karena kelebihan makanan atau refluk ringan
yang terjadi setelah pengobatan atau pembedahan dapat diabaikan. Hati-hati jika
muntah karena sepsis, gangguan metabolisma, akaut apendixitis, meningitis atau
stenosis pilorik.
• Tidak dianjurkan memakai metochlopramide dan prochlorperazine pada anak kurang
dari 12 tahun karena akan terjadi kris oculogyric karena tekanan dan efek samping.
• Sirup prometasin oral aman juga untuk antiemetik ringan.
• Tidak diperbolehkan menggunakan pemijatan karena berbahaya meskipun tidak ada
tanda perut harus dibedah mendadak.

Tip Khusus
Ingat akan riwayat hidrasi dan tanda klinis. Hal yang perlu ditanyakan kepada orang
tua .
1. Apa warna muntahan
- Kuning (malrotasi usus) atau darah merupakan keadaan yang harus dibedah
mendadak.
33

- Tanda klinis muntah terus menerus.


Catatan :
Empedu selalu kelihatan seperti jus buah dan darah seperti milo.
2. Apa obat yang diberikan dan berapa dokter yang dikonsuli
Obat yang bermacam-macam bisa menyebabkab iritasi dan muntah seperti
antibiotik macrocida, teofilin oral, NSAID oral dan preknisolon.
3. Kapan BAB dan BAK terakhir
Jika tidak ada kencing lebih dari 8 jam berarti gejala dehidrasi,
4. Apakah ada riwayat trauma kepala.
5. Apakah ada riwayat keluarga yang sakit dengan gejala sama
Rotavirus GE bisa menyebabkan URTI, diikuti muntah dan diare yang terus
menerus sehingga sangat berbahaya untuk anak-anak kurang dari 3 tahun.
Pemeriksaan Fisik
1. Cek status hidrasi
- Popok basah atau kering berapa lama.
- Bayi nangis atau tidak keluar air mata atau tidak.
2. Fokuskan pada status hidrasi terutama pada anak karena menunjukkan berat
ringannya dehidrasi.
a. Lihat cowong tidaknya mata, mulut kering, penurunan perfusiperifer,
turgor kulit turun.
b. Derajat berat ringan dehidrasi menentukan bahaya tidaknya
hipovolumik sok, segera diinfus untuk resusitasi cairan.
3. Tachypneu mengindikasikan panas atau meningkatnya metabolik asidosis.
4. Takikardi indikasi impending sok pada orang muda.
Kondisi Khusus
1. Lihat telinga apakah ada otitis media akut.
2. Dengarkan paru bagian basal untuk basiler pneomonia.
3. Cek tenggorokan adakah tanda paringitis atau tonsilitis lihat tanda diagnosa dari
situ.
4. Cek cekung tidaknya di ubun-ubun (jika umur antara 15 – 18 bulan).
Periksa Perut
1. Adakah ketegangan perut (apendixitis/peritonitis)
2. Hepatomegali (sepsis).
34

3. Masa (pylorix stenosis/intussuscepsi).


4. Distensi (obstruksi usus/ileus paralitik).
5. Colok dukur untuk mengecek apakah ada darah atau berak kecoklatan untuk
intususcepsi.
6. Riwayat trauma kepala :
- Ada pembekakan di permukaan kepala.
- Respon pupil
- Fundus
- Parameter neorologi berupa cara jalan dan keseimbangan.
Penatalaksanaan
1. Cek keton urine : pada anak yang gemuk sangat sulit dilihat tanda dehidrasi.
2. Cek nitrit urine/lekosit : jika curiga infeksi ssaluran kencing atas.
3. Foto sinar X :
a. Dada pada anak yang muntah dengan gejala nafas atau nyeri
abdominal/ketegangan epigastrium.
b. Ginjal, ureter, kandung kencing jika muntahan empedu atau darah.
c. Kepala jika ada riwayat trauma terutama pada anak-anak.
4. Cek gula darah jika terjadi penurunan kesadaran
a. Anak-anak yang mengantuk dengan kadar gula rendah dan
hepatomegali biasanya sepsis atau sindrom reye’s.
b. Anak-anak yang mengantuk hiperglekemi dan pernafasan berat
biasanya diabetis keton asidosis.
5. Rehidrasi pada dehidrasi berat 10%
a. Pasang infus.
b. Beri crystalloid (NS/cairan Hartmann’s) 20 ml/kg selama 20 –30
menit.
c. Laborat : DL, RFT, elektrolit
d. Konsul dokter anak dan bawa ICU anak.
Disposisi
1. Konsul
a. Anak dengan muntah /diare memperlihatkan anoreksia dan dehidrasi
dimana tidak mempan dengan antiemetik/ antispasmodik/sudah terjadi
kegagalan pengobatan awal.
35

b. Anak dengan tanda ketegangan epigastrik dengan dehidrasi ringan


tetapi anak kurang bisa minum air dan oralit.
c. Anak dengan riwayat trauma kepala dengan muntah berat dikonsulkan
bedah anak.
2. Monitoring :
a. Tanpa atau dengan dehidrasi.
b. Orang tua memberi air atau oralit dalam jumlah kecil tapi sering kira-
kira 6 – 8 jam .
c. Sirup prometasi dan antiemetik ringan .
d. Jika karena virus maka timbul gejala 24 – 48 jam rehidrasi sebelum 8 –
12 jam beritahu orang tuanya.

13. Diare dan Muntah

Caveats
• Diare dan muntah merupakan keluhan yang sering di IRD dan pada kebanyakan
kasus, diare toksigenik akibat makanan, yang dapat sembuh sendiri dan hanya
memerlukan terapi simtomatis dan rehidrasi.
• Kesalahan diagnosis yang paling berbahaya pada diagnosis banding diare akut adalah
pada kasus bedah abdominal, seperti apendisitis, obstruksi usus, kehamilan ektopik,
dsb.
• Pada pediatrik, muntah dan diare mungkin memberi gambaran non spesifik untuk
berbagai penyakit yaitu otitis media, infeksi traktus urinarius, asidosis metabolik,
peningkatan TIK, racun/obat-obatan, malrotasi dan invaginasi.
• Pada orang tua, hati-hati kemungkinan kolitis iskemia, yang berhubungan dengan
tingginya mortalitas.
• Bila muntah timbul tanpa diare, harus dicari penyebab non infeksi.
• Pada penilaian klinis status umum hidrasi dan nutrisi harus dicatat. Harus disingkirkan
penyebab diare dan muntah dari kasus bedah abdomen dan ekstraintestinal, pasien
kemudian dapat diterapi simtomatis.

Tips Khusus untuk dokter umum


36

• Pasien yang berkunjung ke area endemis dapat terkena diare traveller, terapi empiris
yang disarankan yaitu fluoroquinolone (ciprofloxacin 500 mg atau norfloxacin 400
mg atau ofloxacin 300 mg) dua kali sehari selama 3 hari + loperamide saat diare.
• Pada pasien anak jangan lupa memfokuskan riwayat hidrasi dan pemeriksaan fisik.

Penatalaksanaan
Terapi simtomatis
• Lihat tabel 1 untuk terapi simtomatis diare dan muntah
• Terapi rehidrasi
1. Rehidrasi Intravena (IV)
a. Indikasi: muntah berat; dehidrasi berat; penurunan status mental dan ileus.
b. Harus dipertimbangkan pada pasien dengan dehidrasi ringan yang tidak
dapat mentoleransi cairan secara oral. Keluhan simtomatis akan membaik
setelah hidrasi IV 1 – 1,51 cairan Hartman selama 2 – 4 jam. Pada anak,
lihat pemberian cairan pada pediatrik.
c. Penilaian klinis dalam terapi: selain tanda klinis, adanya ketonuria pada
urine dapat dipakai sebagai indikator dehidrasi.
2. Rehidrasi Oral
a. Rehidrasi oral sama efektifnya dengan IV pada pasien yang dapat
mentoleransi secara oral.
b. Pemberian dalam jumlah kecil secara berulang.
c. Prinsip: air dan sodium memasuki sel intestinal melalui linking (coupling)
satu molekul organik, glukosa. Cairan oral harus mengandung glukosa
untuk menstimulasi absobsi air dan elektrolit melalui usus kecil. Sodium
glukosa ini ini coupled dengan mekanisme absorbsi aktif yang tidak
bekerja akibat toksin enterik.
Pemeriksaan di IRD
 Umumnya tidak diperlukan dehidrasi klinis dan dalam waktu yang lama
memerlukan pemeriksaan urea/ elektrolit.

Pemberian antibiotik
• Kebanyakan diare toksigenik akibat makanan tidak memerlukan antibiotik.
37

• Durasi diare traveler (E. Coli, Shigella) dapat diperpendek sebagian dengan
ciprofloxacin atau bactrim.
• Indikasi: diare invasif ditandai demam dan diare berdarah dapat diduga diare
bakterial.
• Pilihan:
1. Ciprofloxacin merupakan obat pilihan secara empiris. Dosis: 500 mg sehari 2 kali.
Durasi: 3 hari (dosis tunggal dapat digunakan efektif). Kontraindikasi pada
pediatri (<18 tahun). Berikan bactrim sebagai alternatif.
2. Metronidazole (Flagyl)
Dosis: 800 mg sehari 3 kali. Durasi 5 hari. Indikasi pada dugaan infeksi protozoa
(giardiasis atau amoebiasis).

Indikasi perawatan:
• Diare invasif memerlukan pemeriksaan feses
• Tidak mampu menerima cairan oral
• Memastikan diagnosis yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.
• Penatalaksanaan komplikasi: dehidrasi berat, abnormalitas elektrolit.

Tabel 1: Obat untuk terapi simtomatis diare dan muntah


Obat Pemberia Dosis Perhatian
n
Anti emetik
Maxolon IM 10 mg Untuk menyembuhkan mual
(Metoclopramide) Tab 10 mg per 8 jam dan muntah

Stemetil IM 12,5 mg Perhatian pada anak


(Prochlorperazine) Tab 5-10 mg per 8 jam berhubungan dengan efek
samping ekstra piramidal
Phenergan IM 25 mg (dewasa)
(Promethazine) IM/PO 0,25-1,0 mg/kg (> 2
th)
Anti diare
Lomotil PO Untuk menurunkan frekuensi
(diphenoxylate) 2 tablet 3 x sehari diare
Tidak direkomendasikan pada
Imodium PO anak < 9 tahun
(Loperamide) 2 mg 3 x sehari Catatan: pemberian antidiare
Activated charcoal PO umumnya tidak
1-2 tablet 3x sehari/ direkomendasikan untuk
Bismuth prn invasive enteritis yang dapat
subsalicylate PO meningkatkan resiko invasi
38

Dewasa organisme ke usus. Hindari


PO 2 atau 30 ml tiap 1 pada pasien yang sensitif
jam prn dengan aspirin.
Anak
(9-12 th) 1 tab atau 15
ml tiap 1 jam prn
sampai 8 dosis dalam
24 jam
(6-9 th) 2/3 tab atau
10 ml tiap 1 jam prn
sampai 8 dosis dalam
Antispasmodik/ 24 jam
motilitas IM (3-6 th) 1/3 tab atau 5
Buscopan PO ml tiap 1 jam prn
(hyoscine N- sampai 8 dosis dalam
butylbromide) 24 jam Untuk simtomatis kolik
abdomen yang berhubungan
20-40 mg dengan diare
10 mg 3x sehari Secara umum kontraindikasi
pada enteritis invasif.

14. Demam (Fever)

Caveats
• Demam dapat disebabkan oleh banyak penyebab yang bervariasi mulai dari sakit
ringan, akibat infeksi virus yang bersifat self limiting hingga septisemia sistemik.
• Sangatlah penting untuk mengidentifikasi dan menangani pasien febrisdengan
penyebab infeksi, terutama pasien anak dan lansia, dimana demam dapat merupakan
gejala satu-satunya dari severe sepsis.
• Terapi pasien febris yang tidak stabil dengan sepsis berat meliputi maintenance
oksigenasi yang adekuat serta perfusi organ, mendapatkan specimen untuk kultur
serta mulai pemberian terapi antibiotik sesuai data empiris.
• Pertimbangkan kemungkinan meningococcaemia pada pasien febris dengan purpuric
rash.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


• Penting untuk mengidentifikasi febrile septic patiens dengan atau tanpa lokasi
sumber sepsis yang jelas kemudian rujuk pada RS secepatnya.
• Antibiotik tidak diberikan sembarangan pada kasus non specific viral fever atau
infeksi saluran nafas bagian atas
• Berikan penisilin 4 mega unit iv pada seluruh pasien dengan suspek
meningococcemia sebelum merujuk pasien ke RS dengan ambulan.
• Manifestasi klinik pada pasien geriatric bisaanya tidak spesifik, misalnya adanya
kelemahan umum, kebingungan dan letargi. Demam ditemukan pada 50% kasus
sepsis pada lansia.

Pemeriksaan
39

• Anamnesa melputi berat dan lamanya demam, tanda dan gejala local, penyakit lain
yang menyertai, riwayat melakukan perjalanan, riwayat imunisasi, riwayat kontak,
riwayat pengobatan, alergi, penyalahgunaan obat atau alkohol.

Catatan : jika terdapat riwayat perjalanan maka daerah tujuan sangat penting untuk
diketahui karena ada penyekit tertentu terkait dengan daerah tertentu, misalnya di
Thailand, malaria falsiparum sudah resisten terhadap berbagai obat-obatan.

• Pemeriksaan Fisik harus meliputi :


1. AMS : mengantuk dan letargi mungkin merupakan indicator tunggal pada sepsis
berat pada pasien pediatric dan geriatric.
2. Kaku leher
3. Rash : bervariasi mulai dari makulopapular yang disebabkan oleh eksantema viral,
cacar atau rubella, ptechiae yang disebabkan oleh DHF sampai purpura yang
disebabkan oleh disseminated meningococcaemia.
4. Lonjungtivitis, jaundice, tanda otitis eksterna atau media
5. Faringitis, tonsillitis dan sinusitis.
6. Periksa krepitasi pada paru yang mengindikasikan pneumonia atau pada
pericardial rub, atau adanya murmur kardiak untuk mengindikasikan
mioperikarditis atau endokarditis bacterial.
7. Nyeri tekan pada perut mengindikasikan adanya peritonitis, apendisitis,
kolesistitis, hepatitis atau divertikulitis.
8. Dysuri, frekuensi atau urgensi mengindikasikan adanya UTI
9. Selulitis, deep venous thrombosis pada ekstremitas bawah atau vena pelvic atau
adanya ulkus dekubitus terinfeksi.

Manajemen
• Manajemen pasien febris tergantung pada keadaan pasien apakah pasien
stabil dengan penyakit ringan yang bersifat self-limiting atau tidak stabil dengan
penyebab potensial untuk menyebabkan kematian.

Pada pasien Febris yang Stabil


• adalah secara hemodinamik stabil, sadar penuh dan secara klinis non-
toksik
• dapat mentolerir demam yang terjadi tanpa adanya dekompensasi
• tidak ada underlying disease yang serius
• pemeriksaan fisik didapatkan normal
• kemungkinan mengalami infeksi viral saluran nafas atau demam akibat
virus non spesifik jika demam yang terjadi kurang dari 1 minggu.
• Meliputi pasien dengan demam dan rash yang mengindikasikan adanya
measles, varicella, rubella atau infeksi mononucleosis.

Pada Pasien Febris yang Tidak Stabil


• Jika ada hipotensi, dengan AMS, pasien berada dalam keadaaan syok septi atau
toksis secara klinis.
• Demam memanjang lebih dari 1 minggu tanpa adanya respon terhadap terapi.
• Demam dengan penyebab local yang serius misalnya meningitis atau apendisitis
40

• Terdapat underlying disease yang serius seperti diabetes atau sedang dalam
keadaan immunocompromised akibat kemoterapi kanker atau terapi steroid jangka
lama.
• Termasuk pasien dengan rash yang mengindikasikan DHF atau disseminated
meningococcaemia atau malaria (tanpa rash).

Pemeriksaan penunjang (Bisaanya tidak diperlukan pada pasien febris yang stabil)
• FBC : termasuk hitung lekosit total, diff count, hitung netrofil absolute, trombosit.
• Cek GDA untuk mengetahui adanya komplikasi hiperglikemi seperti KAD,
terutama pada seluruh pasien febris toksik, bahkan pada pasien tanpa riwayat diabetes
sebelumnya.
• Urine dipstick dan kultur
• Blood film untuk mencari parasit malaria
• Kultur darah
• CXR

Penatalaksanaan
• Jika pasien dalam keadaan syok septic, lihat bab Sepsis/septic shock
• Terapi simtomatis dengan antipiretik, seperti paracetamol 1g tiap 6 jam atau
pemberian NSAID seperti diklofenac (Voltaren) atau ibuprofen.

Catatan : Diklofenak (Voltaren), meskipun secara umum dapat digunakan sebagai


antipiretik, namun tidak diindikasikan untuk mengatasi gejala demam yang timbul secara
tunggal.
• Antibiotik empiris (Ceftriaxone 1 g iv) harus diberikan pada pasien sepsis setelah
memperoleh specimen untuk pemeriksaan kultur darah.
• Pada pasien dengan sepsis neutropeni, Ceftazidime 1 g dengan 1-1,5mg/kgBB
Gentamycin harus diberikan pada pasien. Lihat bab Oncology Emergencies
• Untuk sepsis intraabdominal, ampicillin iv 500mg bersama dengan gentamycin
80mg iv dan metronidazole 500mg iv atau Ceftriaxone 1 g dengan metronidazole
500mg harus mulai diberikan.

Penempatan
• MRS-kan pasien febris yang tidak stabil pada medical department (High Dependency
Unit atau ICU)
• Jika ada sepsis netropenik, MRS kan pada bagian High Dependency Oncology Ward.
• Jika berpotensi untuk dilakukan operasi akibat sepsis intraabdominal, masukkan pada
bagian Bedah.
• Rujuk pasien yang dicurigai menderita Dengue Fever pada Medical SOC untuk FBC
ulang. Lihat Bab Dengue fever.
41
42

15……………………

Penting
..

• Walaupun per
43

16. Haemoptysis

Definisi
• Haemoptysis didefinisikan sebagai pengeluaran/batuk darah atau sputum yang
mengandung darah yang berasal dari bagian bawah vocal cord atau yang telah
teraspirasi ke dalam tracheobronchial tree.
• Haemoptysis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ringan : darah kurang dari 5 ml dalam 24 jam.
2. Massif : 50 ml pada setiap kali usaha pengeluaran/batuk atau lebih dari 600ml
darah dalam 24 jam. Ini terjadi pada 5% dari seluruh kasus Haemoptysis.
Caveats
• Haemoptysis dapat dikaburkan dengan hematemesis (tabel 1).
• Pemeriksaan fisik digunakan untuk menentukan keparahan Haemoptysis
namun tidak dapat menetukan lokasi perdarahannya.
• Pencarian deep vein thrombosis pada ekstremitas bawah diindikasikan
untuk mengetahui adanya pulmonary embolism sebagai salah satu penyebab
Haemoptysis. (tabel 2)
• Haemoptysis massif dapat mengancam nyawa karena ancaman asfiksia,
daripada exsanguination. Sedikitnya 150ml darah dapat menyebabkan sufokasi.
• Perdarahan yang sampai berakibat pada distress respiratori dan perubahan
pertukaran gas akan mengancam nyawa, tidak bergantung pada jumlah darah yang
dikeluarkan.
• Penyebab umum Haemoptysis ringan adalah URTI.

Tabel 1 : Poin Pembeda Haemoptysis dengan Hematemesis


Poin Pembeda Haemoptysis Hematemesis
Adanya Riwayat Batuk Gejala GIT
Warna sputum Merah terang Merah tua
pH Alkalis Asidik
Karakter Berbusa Halus tidak berbusa

Tabel 2 : Penyebab Umum Haemoptysis


Respiratori Bronchitis
Tuberkulosis
Carsinoma paru
Bronkiektasis
Aspirasi darah dari epistaksis
Sinusitis
Kardiovaskular Pulmonary oedema
Pulmonary embolism
Mitral stenosis
Aorto-bronchial fistula
Kelainan Koagulasi Bleeding dyscrasias (congenital atau didapat)
Lain-lain Aspirasi benda asing
Protracted coughing

Tips khusus bagi Dokter Umum :


• Disarankan untuk merujuk kasus Haemoptysis kecuali CXR dapat dilakukan di
klinik.
• Insersikan 2 buah kanul intravena ukuran besar sebelum merujuk pasien dengan
Haemoptysis massif.
44

Manajemen Haemoptysis Masif


• Transfer pasien pada area resusitasi
• Lindungi airway dan berikan oksigen. Pasien dengan kesadaran yang berkurang atau
beresiko untuk mengalami asfiksia harus diintubasi.
• Pasang 2 jalur iv ukuran besar dan lakukan resusitasi cairan.
• Lab :
1. FBC
2. urea/elektrolit/kreatinin
3. profil koagulasi
4. GXM 4-6 unit darah
5. BGA
• CXR disarankan pada pasien Haemoptysis.
• Pasien dengan Haemoptysis yang berasal dari satu paru (jika diketahui)
harus diposisikan agar tidak mengenai paru kontralateralnya.
• Disposition/penempatan :
1. Pasien dengan Haemoptysis ringan dapat dipulangkan untuk istirahat dan
diberikan obat yang mensupresi batuk.
2. Rujuk pada spesialis paru pada polikliniknya untuk follow up dini kecuali terdapat
penyebab lain seperti sinusitis atau epistaksis yang harus dirujuk pada spesialis
THT.
3. Pertimbangkan MRS pada seluruh pasien lainnya. Pasien dengan Haemoptysis
massif membutuhkan perawatan pada ICU.
45

17. Sakit Kepala (Headache)

Caveats
• Penyebab sakit kepala yang berpotensi mengancam nyawa dan penglihatan antara lain
:
1. SAH (Subarachnoid Haemorrhage): pasien datang dengan sakit kepala yang
onsetnya tiba-tiba, sering terkait dengan nausea, vomiting, penurunan kesadaran
(yang dapat terjadi secara singkat) serta kaku kuduk, lihat bab Subarachnoid
Haemorrhage.
2. Meningoencefalitis : pasien bisaanya febris dan mengantuk dengan tanda-tanda
meningeal.
3. Space-occupying atau lesi massa (abses otak, tumor otak): sakit kepala kadang
memburuk pada pagi hari dan bertambah dengan adanya maneuver valsava dan
batuk. Pasien sering memiliki gejala neurologik fokal atau kejang.
4. Arteritis temporalis : pasien bisaanya wanita, usia lebih dari 50 th dan sering
muncul dengan sakit kepala berdenyut yang keras, rasa terbakar dan unilateral.
Ada nyeri tekan pada arteri temporal ipsilateral. Lihat bab Temporal Arteritis.
5. Glaukoma : Sakit kepala bisaanya terdapat didalam dan di sekitar bola mata.
Terdapat injeksi atau kemerahan pada mata, terdapat edema kornea dan dilatasi
ringan pupil. Lihat bab Blurring of Vision, Acute.
• Perhatikan pasien yang datang dengan keluhan sakit kepala berat untuk
pertama kalinya atau dengan perubahan kualitas dan intensitas sakit kepala yang
berbeda dengan sakit kepala sebelumnya.
• Hipertensi merupakan suatu keadaan yang sering dikaitkan sebagai
penyebab sakit kepala. Jangan menyimpulkan peningkatan tekanan darah yang terjadi
sebagai penyebab sakit kepala kecuali tekanan diastolic melebihi 130 mmHg.
• Seluruh pasien dengan riwayat kecemasan/worrisome membutuhkan
pemeriksaan lanjutan dengan CT scan kepala, dan jika negative dapat dilakukan
pungsi lumbal untuk menyingkirkan adanya SAH.

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


• Jangan mendiagnosa migren jika episode pertama sakit kepala hebat terjadi
di atas usia 50 th.
• Jangan memberikan opioid parenteral pada pasien dengan sakit kepala
karena efek mengantuk yang dihasilkan akan memberikan kesulitan dalam
penilaian status neurologik.

Manifestasi yang penting/esensial sebagai Fokus Pemeriksaan Fisik


• Tanda Vital (terutama temperature tubuh dan tekanan darah)
• Fundi
• Pupil, lapang pandang, wajah dan ekstremitas untuk mencari kelaianan neurologik.
• Gait (cara berjalan)

Manajemen
• Pasien dengan tanda vital dan tingkat kesadaran yang abnormal harus ditangani pada
area critical care.
46

• Pasien dengan tanda vital normal dapat ditangani pada area intermediate.
• Monitoring EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri.
• Pasang jalur intra vena perifer pada ‘keep open’ rate.
• Lihat bab Manajemen Nyeri untuk mengurangi gejala sakit kepala yang ada.
• Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, GXM 2 unit, ESR (jika
mencurigai adanya arteritis temporalis).
• EKG, CXR.

Indikasi Pemeriksaan CT scan Kepala


• Onset Sakit kepala pada serangan pertama atau serangan hebat yang bersifat akut.
• Peningkatan frekuensi dan keparahan sakit kepala.
• Sakit kepala dengan onset pertama kali di atas usia 50 th.
• Sakit kepala dengan onset pertama kali disertai dengan riwayat kanker atau
immunodefisiensi.
• Sakit kepala dengan perubahan status mental.
• Sakit kepala dengan demam, kaku kuduk, dan tanda meningeal.
• Sakit kepala dengan deficit neurologik fokal jika sebelumnya tidak memiliki riwayat
migren dengan aura.

Penempatan
MRS dengan ketentuan :
• Seluruh penyebab sakit kepala yang dapat mengancam nyawa dan penglihatan
• “Sakit Kepala migren” yang tidak berespon terhadap analgesic opioid.
• Sakit kepala migren onset baru dengan komplikasi.
• Sakit kepala yang membutuhkan CT scan kepala.
KRS kan pasien sakit kepala yang dapat diatasi dengan analgesik dan rujuk pada poliklinik
neurology untuk follow up kecuali sakit kepala yang terjadi diakibatkan oleh demam atau
tension headache.
47

18. Hiperventilasi

Caveats
• Walaupun sering terjadi dan bersifat benign, serangan hiperventilasi (HA)/serangan
panic merupakan diagnosis eksklusi yang dapat dicapai secara principal pada anamnesa
dan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan yang ekstensif.
• Episode typical terkait dengan kejadian pencetus yang bersifat stressful dengan
riwayat kekambuhan yang serupa.
• Gejala umum lain yang terkait meliputi kekakuan dan atau kram pada tangan dan
kaki, tingling/perasaan geli pada daerah perioral, kepeningan yang non-spesifik,
kesesakan pada dada, sensasi sufokasi dan perasaan nyaris sinkope.
• Jangan mendiagnosa pasien dengan HA jika hasil SpO2 pada udara ruangan dibawah
97%.
• Tabel 1 menunjukkan Diagnosa banding dari Hiperventilasi

Tabel 1 Diagnosa Banding Hiperventilasi


1. Sistem Respirasi • Asma berat (dengan silent Chest)
• Pulmonary embolism
• Tension pneumothorax
• Primary pulmonary hypertension
2. Sistem Kardiovaskular • Kardiak tamponade
3. Penyebab metabolik • KAD
• Gagal ginjal kronik
• Asidosis laktat dari sepsis berat atau syok
dengan berbagai penyebab
• Keracunan terutama oleh salisilat
4. Sistem Neurologik • Central Neurogenic hyperventilation
5. Sistem gastrointestinal • Distensi abdomen dengan berbagai
penyebab disertai dengan splinting
diafragma
6. Hyperventilation attack/panic
attack

Tips Khusus bagi Dokter umum :


• Penting untuk mengeksklusi kondisi medis serius lain seperti asidosis metabolik,
misal diabetic ketoasidosis, sebelum mendiagnosa HA.

Manajemen
• Pasien harus ditangani pada area intermediate. Namun bila terdapat keadaan AMS
atau terdapat instabilitas hemodinamik, maka pasien kemungkinan besar tidak
mengalami HA, tetapi ada proses penyaklit lain yang lebih serius yang membutuhkan
penanganan pada area critical care.
• Lakukan pemeriksaan SpO2 pada tiap pasien sebelum mendiagnosa HA.
• Berikan terapi untuk menyamankan perasaan pasien.
• Anjurkan untuk malakukan teknik bernafas yang baik.
48

Catatan : Rebreathing ke dalam sebuah kantong telah dinyatakan berbahaya karena dapat
menyebabkan hipoksemia, serta tidak efektif dalam meningkatkan kadar PCO2 pada level
yang signifikan.
• Monitoring : sebagian besar kasus hanya membutuhkan monitoring pulse oksimetri.
Catatan : Pasien dengan HA yang sebenarnya akan memiliki hasil SpO2 yang normal.
• Lab :
1. Harus dilakukan : pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi keadaan hiperglikemi
2. Pilihan : BGA akan menunjukkan alkalosis respiratori pada HA. Alternatifnya, tes
ini dapat menunjukkan adanya asidosis metabolic.
• CXR : untuk menginvestigasi adanya pneumotoraks, pneumonia, atau
emboli paru.
• EKG (terutama >40 tahun) untuk mengetahui kemungkinan emboli
pulmonal, perikarditis atau iskemia.
• Terapi obat (pada pasien yang tidak merespon pada usaha ‘istirahat’ dan
‘reassurance’) :
1. Valium (diazepam) dosis 5 mg po
2. Dormicum (midazolam) dosis 2,5 mg iv (jarang diperlukan)
• Penempatan : sebagian besar kasus dapat KRS. Jika keadaan ini sangat
mengganggu pasien, maka rujuk ke bagian psikiatrik untuk rawat jalan. Pada
beberapa pasien akan bermanfaat apabila diberikan resep alprazolam (Xanax) 1-2
dosis per oral.
49

19. BENGKAK TUNGKAI BAWAH

PERHATIAN
• Pembengkakan tungkai bawah merupakan keluhan yang umu dijumpai dan seringkali
muncul dengan tanda dan gejala penyerta yang tidak spesifik. Tabel 1 menunjukkan
penyebab-penyebab penting pembengkakan tungkai bawah.
• Seperti halnya semua konsultasi, penggalian riwayat penyakit yang baik akan dapat
mengurangi jumlah diagnosis banding.

KEHAMILAN DENGAN PRE-EKLAMSIA


• Setiap wanita hamil akan mengalami pembengkakan tungkai bawah. Karena
pembengkakan tungkai bawah merupakan tanda awal pre-eklamsia, diperlukan tingkat
kecurigaan yang tinggi.
• Diagnosis pre-eklamsia merupakan keadaan darurat dan pasien harus ditangani di
rumah sakit. Lihat Eklamsia.

Tabel 1: Penyebab Penting Bengkak Tungkai Bawah


System Contoh Unilateral /
Bilateral
Jantung Gagal jantung Bilateral
Lihat Gagal Jantung
Ginjal • Gagal ginjal akut / kronik Bilateral
dengan kelebihan cairan
Lihat Kedaruratan Ginjal
• Sindroma nefrotik / nefritik
Kehamilan Pre-eklamsia Bilateral
Lihat Eklamsia
Hepatobilier Gagal hati Bilateral
Lihat Ensefalopati Hepatik
Vena / Limfatik • Deep vein thrombosis (DVT) Unilateral
• Vena varikosum Unilateral /
• Lymphedema bilateral
Unilateral /
bilateral
Infeksi • Limfangitis Unilateral
• Selulitis
Penyebab Ortopedik • Trauma Unilateral
• Sindroma Kompartemen
• Arthritis / gout
• Kista Baker yang pecah
• Tumor: tulang atau jaringan
lunak
50

) Tips Khusus untuk Dokter Umum


• Diperlukan tingkat kecurigaan tinggi untuk menghindari
melewatkan penyebab penting bengkak tungkai bawah.
• Tiga penyebab tersering pembengkakan tungkai bawah bilateral
adalah gagal jantung kongestif, gagal ginjal dengan kelebihan
cairan dan hipoalbuminemia (akiabt gagal hati atau nefropati
diabetik).
VENA DAN LIMFATIK
• Gambaran klinis deep vein thrombosis:
1. Rasa penuh pada tungkai bawah yang meningkat bila berdiri atau berjalan
2. Nyeri pada ekstremitas bawah saat batuk atau bersin, yang berbeda dari nyeri
seperti listrik saat bersin atau batuk pada sciatica.
3. Tungkai yang terkena seringkali lebih hangat dibanding sisi yang normal.
Raba adanya ‘tambang’ yang spesifik, walau tidak sensitif, untuk trombosis.
4. Cari faktor resiko terhadap penyakit tromboemboli (lihat Emboli Paru) untuk
mendiagnosis DVT.
• DVT umumnya unilateral kecuali bila terjadi sumbatan pada vena cava, suatu
kejadian yang jarang dan berbahaya.
• DVT umumnya muncul dalam beberapa hari. Sehingga nyeri hebat yang timbul
mendadak lebih cenderung akibat robekan otot atau trauma.
• Cari faktor resiko terhadap penyakit tromboemboli (lihat Emboli Paru) untuk
mendiagnosis DVT.
• Kombinasi tanda klinis dan gejala yang meliputi nyeri tekan, bengkak, kemerahan dan
penilaian tanda Homan (nyeri pada betis atau lutut akibat dorsofleksi paksa kaki) tidak
cukup membedakan pasien dengan atau tanpa DVT.
• DVT cenderung bukan menjadi penyebab bengkak bila ada demam > 390C.
• Tidak besarnya perbedaan ukuran betis tidak menyingkirkan diagnosis DVT. Akan
tetapi, pembengkakan betis asimetris > 3 cm hampir selalu merupakan temuan bermakna
pada DVT.
• Vena varikosum disertai dengan pigmentasi kulit pada kasus kronis. Tromboflebitis
superfisial vena varikosum menghasilkan bengkak tungkai bawah. Vena varikosum
unilateral dan pembengkakan memerlukan pemikiran yang lebih teliti karena dapat
mengindikasikan adanya proses patologis berat pada area pelvioabdominam.
• Obstruksi limfatik akan mengakibatkan edema ekstremitas inferior. Lymphedema
sekunder terjadi setelah kerusakan dan sumbatan jalur limfatik oleh keganasan yang
melibatkan kelenjar getah bening, oleh filariasis dan bisa jadi iatrogenik akibat diseksi
bedah.

INFEKSI: LIMFANIGITIS / SELULITIS


• Infeksi menyebar sepanjang aliran limfatik menyebabkan limfaingitis dan tampak
sebagai alur kemerahan, tipis pada kulit, nyeri tekan, seringkali dengan sedikit edema
pada kulit yang berada di atasnya. Bila infeksi meluas ke kulit yang edem tadi, akan
terjadi selulitis.
• Indikasi Rawat Inap:
1. Demam berulang disertai menggigil
2. Peningkatan nyeri setempat
3. Eritema yang meluas
4. Pasien usia lanjut, karena mudah terjadi septikemia
51

PENYEBAB ORTOPEDIK: SINDROMA KOMPARTEMEN


• Penyebab ortopedik menmiliki riwayat yang jelas dan pemeriksaan fisik yang baik
umumnya dapat memastikan diagnosis. Adalah penting untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen, yang merupakan kegawatan ortopedi, pada semua kasus cedar akibat
trauma pada tungkai bawah.

Gambaran Klinis
• Nyeri hebat pada tungkai, nyeri timbul pada regangan pasif otot, pucat,
parestesia, tidak terabanya denyut nadi dan paralysis merupakan enam tanda klasik
iskemia otot.
• Adanya nyeri pada luas gerak otot pasif merupakan tanda yang paling
awal. Tanda lainnya termasuk pemanjangan pengisian balik kapiler serta terganggunya
diskriminasi 2-titik.
• Palpasi pada otot yang terkena sindroma kompartemen akan terasa
tegangan dan menimbulkan nyeri tekan.

Penyebab Tersering
• Tungkai bawah: fraktur tibia atau fibula
• Tungkai atas: fraktur suprakondiler humeri
• Luka bakar elektrik tegangan tinggi yang melibatkan otot

Komplikasi
• Mioglobinuria berat, gagal ginjal, hiperkalemia dan kematian.
• Kontraktur iskemik Volkmann’s dan hilangnya fungsi tungkai.

TATA LAKSANA UMUM


• Pastikan tanda vital dalam keadaan stabil dan tidak terdapat gangguan koroner akut
yang menyebabkan pembengkakan tungkai bawah. Pasien tidak stabil harus ditangani
pada area pelayanan kritis.
• Pemeriksaan laboratorium:
1. Wajib
a. Tes carik celup urin untuk mendeteksi proteinuria
b. EKG untuk mengetahui cedera miokard
c. Foto thoraks mendeteksi keadaan gagal jantung / kelebihan cairan.
2. Pilihan: bila tidak ditemukan penyebab yang jelas setelah
dilakukan pemeriksaan diatas atau bila terdapat kecurigaan diagnosis yang spesifik,
periksa:
a. Uji fungsi hati (untuk menyingkirkan hipoalbuminemia)
b. Ureum, elektrolit dan kreatinin (jika dicurigai gagal ginjal)
c. Enzim jantung / troponin T (jika dicurigai masalah jantung)
d. Jika mencurigai DVT, periksa D-dimer, INR (untuk memandu terapi),
pemindaian color-flow duplex (abaikan peluang pra pengujian) dan golongan
darah & uji silang.
Catatan: Nilai D-dimer normal pada pasien tanpa faktor resiko trombosis membuat peluang
diagnosis DVT proksimal sangat kecil. DL tidak berguna karena hitung leukosit tidak mampu
membedakan antara DVT dan selulitis, serta tidak sensitive maupun spesifik terhadap kedua
kondisi tersebut.
e. Kultur dan uji sensitivitas darah untuk menemukan penyebab infeksi
sebelum memulai pemberian antibiotika
52

• Untuk sindroma kompartemen: panggil ahli bedah ORtopedi segera uintuk fasiotomi.
Catatan: Jika peningkatan tekanan tidak mereda setelah sekitar 8 jam, akan muncul cedera
irreversibel pada otot dan saraf yang terjepit.
• Terapi pembengkakan tungkai bawah tergantung pada penyebab primer dan hal ini
didiskusikan pada bab yang sesuai.
• Disposisi: rawat inap kasus dengan penyebab sebagai berikut:
1. Penyebab jantung
2. Gagal ginjal
3. DVT (walaupun sejumlah alur kritis saat ini menekankan tata laksana rawat
jalan bila memungkinkan)
4. Kehamilan dengan pre-eklamsia
5. Infeksi
6. Gagal hati
7. Sindroma kompartemen
8. Kecurigaan tumor tulang
7 penyebab pertama harus mulai diterapi di UGD. Rujuk pasien dengan penyebab lain ke
klinik rawat jalan yang sesuai untuk pemeriksaan lebih lanjut.
53

20. Pain ( Nyeri ), Abdominal

Caveats
• Peran dari dokter pada bagian emergency yaitu dapat mengidentifikasi adanya ‘acute
abdomen’, bukan untuk menentukan diagnosa spesifik.
• Identifikasi pasien tersebut melalui postur yang signifikan; misalnya dapat berbaring
terlentang (perforasi/peritonitis),atau pasien terlihat sangat kesakitan sehingga selalu
berubah posisi (kolik usus besar/kolik ureter).
• Selalu pertimbangkan etiologi yang dapat mengancam nyawa. Lihat tabel 1
• Selalu pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur.
• Pasien pria dengan nyeri daerah fossa iliaka kanan harus dicurigai apendisitis sampai
terbukti lain.
• Ada 3 alasan untuk dilakukan abdominal X ray :
1. Untuk mengidentifikasi ‘free air’ atau udara bebas (pada perforasi viscus)
2. Untuk mengidentifikasi udara/cairan ‘interfaces’ (pada obstruksi intestinal).
3. Untuk mengidentifikasi kalsifikasi ektopik (urelitiasis, kalkuli hepatobiliari,
pankreatitis, AAA)

Tabel 1 : Penyebab Nyeri Abdomen yang Dapat Mengancam Nyawa

1. Intraabdominal
a. Perforasi ulkus peptikum
b. Obstruksi intestinal
c. Abdominal Aortic Aneurysm (AAA)
d. Apendisitis
e. Pankreatitis
f. Kehamilan ektopik
g. Iskemia usus besar
h. Peritonitis bacterial spontan pada sirosis hepatic
i. SLE peritonitis
j. Peritonitis pada pasien renal CAPD
2. Ekstra abdominal
a. infark miokard akut
b. pneumonia lobus bawah
c. basal pulmonary embolism
d. KAD

• Chest X Ray digunakan untuk mengidentifikasi:


1. Udara subdiafragmatik
2. Basal consolidation
3. Pulmonary embolism

Catatan : jika dicurigai terdapat perforasi ulkus peptikum dan gambaran CXR
menunjukkan udara subdiafragma yang tidak jelas, maka pemasukan 200ml
udara kedalam lambung melalui NGT dapat menunjukkan gambaran udara bebas
pada X ray. Praktek ini dipertimbangkan pada beberapa tempat dan menjadi
kebisaaan, dan masih bersifat controversial; dimana ada pendapat yang
54

menyatakan bahwa pada keadaan adanya tanda-tanda perforasi, pemasukan


udara ke dalam lambung tidak akan merubah manajemen/penatalaksanaan
(misalnya operasi), serta dapat memperburuk ‘spillage’ isi usus besar ke dalam
kavum peritoneum.

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


• Lokasi dan sifat dari nyeri abdomen akan memberi petunjuk terbaik mengenai
penyebabnya.
• Selalu mencurigai adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur
• Salalu mencurigai apendisitis pada tiap pasien pria dengan nyeri abdomen bagian
bawah.
• Jangan lupa untuk merasakan pulsasi epigastrial
• Infark miokard dapat timbul sebagai nyeri abdominal bagian atas, maka lakukan
pemeriksaan EKG.

Manajemen

Pada Pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil


• Pasien harus ditangani pada area critical care
• Pertahankan airway dan beri oksigen aliran tinggi
• Monitoring : EKG, tanda-tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
• Pasang 2 jalur iv perifer (14-16G); berikan ‘fluid challenge’ sebanyak 1 L kristaloid
(jika tidak ada kecurigaan IMA). Lakukan pemeriksaan ulangan.
• Lab :
o Wajib: GDA; GXM 2-4 unit; FBC; urea/elektrolit/kreatinin; serum amylase;
tes urin kehamilan (kalau relevan); kultur urin dan darah (kalau ada
kecurigaan sepsis).
o Pilihan: urinalisis, enzim kardiak, tes fungsi hati, profil koagulasi.
• Antibiotik iv pada kasus sepsis; misalnya Ceftriaxon 1g dan metronidazol 500 mg.
tergantung pada kebijakan tempat praktek, antibiotik lain untuk mengatasi organisme
gram negative dan positif dapat digunakan.
o Catatan : aminoglikosida harus dihindari pada pasien yang memiliki resiko
atau kelaianan pada ginjal.
• X-rays : CXR, KUB
• EKG untuk mengidentifikasi IMA atau sebagai persiapan operasi pada beberapa
kelompok usia.
• Pasang kateter urin.
• Usahakan pasien tetap ‘nil by mouth/NBM’ (puasa)
• Konsultasi segera dengan :
o Bagian bedah umum
o Bagian OBG untuk kasus yang dicurigai kehamilan ektopik.
o Bagian TKV untuk suspek aneurisma aorta abdominalis
o Bagian medical atau Kardiologi untuk kasus suspek pneumonia basiler atau
infark miokard.

Pada Pasien dengan Keadaan hemodinamik yang Stabil


55

• Pasien dapat ditangani pada area intermediate


• Usahakan pasien tetap NBM (puasa) sampai penempatan pasien dapat diputuskan.
• Pertimbangkan pemasangan jalur intravena.
• Pemeriksaan lab harus berdasarkan kecurigaan klinis berdasarkan jenis nyeri
abdomen pada tiap pasien.
• Pertimbangkan KUB (kidney, ureter, bladder X ray), CXR, EKG
• Evaluasi adanya tanda akut abdomen dengan pemeriksaan berulang abdomen.

Diagnosa banding Nyeri RHC (Right Hypochondrial)


Jika Pasien Febris
• Pertimbangkan :
1. Kolesistitis
2. Kolangitis
3. Abses hati
4. Abses susdiafragmatika
5. Hepatitis
6. Pielonefritis
7. Pneumonia basilar lobus kanan
8. Divertikulitis
• Evaluasi adanya akut abdomen
• Pasang jalur intra vena
• Berikan cairan kristaloid pada tetesan ‘maintenance’
• Lab : FBC; urea/elektrolit/kreatinin, serum amylase, urinalisis, liver panel
dan marker hepatitis (bersifat optional); kultur darah dan urin jika pasien sepsis.
• KUB; pertimbangkan CXR, EKG
• Analgesik : NSAID atau antispasmodic
• Usahakan pasien NBM (puasa)
• Penempatan : MRS-kan ke bagian Bedah umum.

Jika Pasien Afebris


• Ingat bahwa pada pasien geriatric dengan riwayat pembedahan abdomen
mungkin tidak dapat mengeluarkan respon febris.
• Pertimbangkan:
1. Kolik bilier : lihat bab Hepatobiliary Emergencies
2. Referred pain dari daerah dada
3. Hepatitis
• Evaluasi tanda akut abdomen
• Lab : FBC; urea/elektrolit/kreatinin, serum amylase, urinalisis, liver panel
dan marker hepatitis (bersifat optional);
• KUB; pertimbangkan CXR, EKG
• Analgesik : NSAID atau antispasmodic im
• Penempatan : dapat Di KRS-kan untuk kontrol pada poliklinik bedah
umum jika nyeri menghilang, abdomen tetap tenang; atau MRS-kan ke bagian
bedah umum. Jika ada kecurigaan hepatitis pasien dapat dirujuk ke bagian klinik
gastroenterologi.

Diagnosa Banding Flank Pain


• Pertimbangkan :
56

1. Pielonefritis
2. Batu ureter dengan atau tanpa obstruksi; lihat bab Urolithiasis
• Pertimbangkan AAA jika pasien berusia lebih dari 50 th, atau aortic
dissection pada pasien dengan factor resiko (lihat bab Aortic dissection).
Catatan : secara klasik, AAA terjadi dengan gejla nyeri pada bagian central
abdomen yang menembus ke punggung. Namun apabila aneurisma
melibatkan renal pedicle, maka nyeri tersebut dapat menyerupai kolik ureter.
Jika Pasien Febris
• Lab: FBC; urea/elektrolit/kreatinin, kultur darah (paling tidak 7,5 ml
darah tiap botol); kultur urin jika ada kecurigaan urosepsis.
• KUB; pertimbangkan CXR, EKG
• Antibiotik intra vena : meliputi Gram negatif dan organisme anaerob jika
ada kecurigaan nyeri berasal dari hepatobilier atau enteric.
• Analgesik : NSAID atau narkotik.
• Penempatan :
1. MRS ke bagian urologi pada semua kasus urolithiasis dengan
komplikasi
2. MRS ke bagian General Medicine untuk pielonefritis akut
Jika Pasien Afebris
• Lab : urinalisis, mencari adanya darah dan atau WBC dan hasil
positif/ditemukannya nitrit
• KUB untuk mengetahui lokasi kalsifikasi ektopik dari kalkulus dan
untuk mengetahui ukuran dari ginjal.
• Analgesik : NSAID atau narkotika.
• Penempatan :
1. MRS jika tidak ada pengurangan nyeri yang adekuat pada ED atau
terdapat petunjuk adanya obstruksi ureter disertai dengan infeksi.
Informasikan kepada bagian urologi jika ada keterlambatan dalam proses
MRS.
2. KRS untuk control kembali pada klinik urologi jika pasien telah bebas
nyeri dan tetap afebris pada ED. Sarankan untuk kembali jika:
a. Terjadi demam
b. Timbul gross hematuri
c. Penurunan output dari urin

Diagnosa Banding Nyeri Abdomen Bagian Bawah


• Selalu pertimbangkan apendisitis (lihat bab Appendicitis) dan
kehamilan ektopik (lihat bab Ectopic pregnancy)
• Pemeriksaan rectal sangat bermanfaat pada pria dan wanita, dan
juga dapat sekalian memeriksa servik dan adneksa, tidak perlu stress untuk melakukan
pemeriksaan vagina.
• Lab :
1. Wajib : pemeriksaan HCG urin untuk mengetahui kehamilan pada wanita usia
subur.
2. Optional : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, tes urin dipstick

Diagnosa Banding Nyeri Epigastrial


57

• Pertimbangkan kedua penyebab abdominal dan ekstraabdominal. Suspek


AAA pada pasien > 50th terutama bila nyeri menjalar pada punggung bagian bawah
atau pada salah satu area flank :
1. Penyebab intraabdominal lain meliputi :
a. Eksaserbasi akut dari penyakit ulkus peptikum; lihat bab Peptic Ulcer
Disease
b. Refluks esofagitis
c. Penetrasi ulkus peptikum posterior
d. Pankreatitis : lihat bab Pancreatitis
e. Aortic dissection/ rupture AAA
3 kondisi terakhir terkait dengan penjalaran nyeri ke daerah punggung bawah.
2. Penyebab Ekstraabdominal meliputi
a. IMA; lihat bab Myocardial Infarction, Acute
b. Pneumonia; lihat bab Pneumonia, Community acquired
c. Pulmonary embolism Lihat bab Pulmonary embolism
d. Ketoasidosis Diabetikum; lihat bab Diabetic Ketoacidosis
• Pasang jalur intra vena perifer
• Berikan kristaloid dengan tetesan maintenance
• Lab : GDA; FBC; serum amylase; urea/elektrolit/kreatinin; enzim kardiak
jika ada kecurigaan.
• Periksa EKG
• Periksa CXR posisi berdiri dan KUB
• Berikan analgesic yang adekuat
• Puasakan pasien
• Penempatan : dapat KRS untuk control pada klinik bedah umum jika nyeri
berkurang; abdomen tetap baik/tenang dan pemeriksaan normal; atau dapat juga di
MRS-kan kebagian bedah umum.

Diagnosa Banding Nyeri kolik Abdomen Bagian Tengah


• Sifat nyeri kolik bisaanya mengindikasikan adanya obstruksi atau iritasi dari viscus
yang berongga. Pertimbangkan :
1. Gastroenteritis akut : lihat bab Diarrhoea and Vomiting.
2. Obstruksi Intestinal pada usus besar atau usus kecil: lihat bab Intestinal
Obstruction
3. Ischaemic bowel, terutama jika nyeri sulit dikenali sumbernya melalui
pemeriksaan fisik: lihat Bab Ischaemic Bowel.
Catatan : Adhesion colic (kolik adhesi) sebagai satu diagnosa tidak dipergunakan
lagi, karena suatu adhesi tanpa komplikasi bisaanya tidak menyebabkan nyeri.
Namun, pada pasien post operasi suatu obstruksi bowel inkomplit atau sub akut yang
disebabkan oleh adhesi dapat menghasilkan suatu nyeri kolik yang khas.
58

21. Pain ( Nyeri ) Dada, Akut

Caveats
• Anamnesa yang baik tetap memegang peranan penting dalam penegakan diagnosa
penyebab nyeri dada yang dapat mengancam jiwa. (Tabel 1)
• Setelah mengeksklusi 6 penyebab nyeri dada yang dapat mengancam jiwa, penyebab
penting lain namun tidak mengancam jiwa yang terlihat pada tabel 2 juga harus
dieksklusi.

Tabel 1 : Penyebab Nyeri Dada yang Dapat Mengancam Jiwa

Manifestasi klinik Utama


1. IMA Lihat bab Myocardial Infarction
2. Unstabel angina (memiliki prognosis Lihat bab Coronary Syndromes, acute
jangka pendek yang sama dengan
IMA) Lihat bab Aortic Dissection
3. Aortic Dissection Lihat bab Pulmonary Embolism
4. Pulmonary Embolism (PE) Lihat bab Trauma, chest
5. Tension Pneumothorax Nyeri dada diikuti dengan vomit hebat dan
6. Ruptur esophageal CXR menunjukkan pneumomediastinum
Catatan : IMA dan unstabel angina juga dikenal sebagai Acute Coronary Syndromes

Tabel 2 : Penyebab Nyeri Dada Penting Namun Tidak Mengancam Jiwa


1. Kardiak Angina stabil
Angina prinzmetal
Pericarditis/myocarditis
2. Respiratory Pneumothorax simple
Pneumothorax dengan pleurisy
3. Gastrointestinal Refluks esofagitis
Spasme esofageal (bisaanya menjadi diagnosa eksklusi karena
gejalanya sangat mirip dengan nyeri dada iskemik)
4. Referred Pain Gastritis/ penyakit ulkus peptikum
Biliary disease
Abses subphrenic/inflamasi
59

• Catat penyebab yang benign/ringan seperti nyeri musculoskeletal, kostokondritis,


nyeri dada psikogenik dan neuralgia pada early herpes zoster, harus didiagnosa
eksklusi.
• Pada Multicentre Chest Pain Study (MCPS), perasaan chest discomfort yang serupa
seperti serangan awal MI atau lebih buruk dari angina yang sering dirasakan pasien
merupakan factor resiko independen terkuat untuk MI dan kecenderungan untuk
menderita Acute Coronary Ischaemia.
• Pada MCPS, faktor resiko tinggi untuk menderita IMA dan iskemik antara lain :
1. Waktu sejak onset nyeri ≤ 4 jam
2. Episode terpanjang nyeri ≥ 30 menit
3. Nyeri digambarkan sebagai perasaan ‘tertekan’
4. Penjalaran nyeri pada lengan kiri, bahu, leher atau dagu
5. Riwayat angina atau MI
6. terdapat perubahan EKG pada ED yang menunjukkan iskemik atau infark
• Prediktor tunggal terbaik dari ACS adalah diketahuinya riwayat IMA
atau adanya CAD. Resiko kejadian pada arteri koronaria adalah 5 kali lebih tinggi
pada pasien dengan CAD.
• Menurut Framingham study (Faktor resiko misal usia, jenis kelamin
pria, merokok, hipertensi, DM, hiperkolesterolemia, riwayat keluarga) telah
menunjukkan bahwa factor tersebut bisa menjadi prediktor bagi terjadinya CAD
dalam periode 14 tahun pada setting rawat jalan, namun penelitian ini tidak pernah
mengidentifikasi pasien nyeri dada di bagian ED manakah yang menderita iskemik
kardiak akut. Sehingga tidak ada satupun factor resiko spesifik tunggal yang dapat
menjadi prediktor bagi terjadinya IMA atau iskemik koronari akut. Dengan demikian,
profil factor resiko tidak dapat distratifikasi juga tidak dapat digunakan untuk
memprediksi IHD pada ED.
• Nyeri dada bersifat pleuritik atau tereksaserbasi dengan adanya
pergerakan pada 5-8% pasien IMA.
• 5% pasien IMA juga menderita nyeri tekan dinding dada secara
bersamaan.
• 3 keadaan dibawah ini apabila terjadi bersamaan, akan membawa kita
pada kecurigaan iskemik kardiak, antara lain :
1. Nyeri dada yang tajam atau seperti tikaman.
2. Tidak ada riwayat angina atau MI
3. nyeri timbul dengan penekanan dinding dada atau dengan perubahan posisi
atau karena komponen pleuritik.
60

• Chest discomfort yang terkait dengan nausea harus diasumsikan


sebagai iskemik kardiak sampai terbukti tidak. Juga pada pasien dengan gejala
‘heartburn’ atau gangguan pencernaan sampai terbukti bukan kardiak, atau telah
menjalani pemeriksaan yang lengkap dan diterapi sebelumnya.
• Pikirkan tentang aortic dissection pada pasien dengan nyeri dada yang
dicurigai IMA namun diikuti juga dengan gejala neurologik.
• Gejala terkait lainnya seperti diaphoresis, dispneu dan sinkope juga
terlihat pada pasien IMA, PE serta aortic dissection, sehingga kurang dapat menjadi
criteria untuk mendiagnosa banding ketiganya. Akan tetapi adanya gejala-gejala
tersebut mengindikasikan adanya suatu keadaan penyakit yang serius.
• Pada nyeri dada, hasil EKG yang normal tidak dapat menyingkirkan
ACS, namun menempatkan pasien pada posisi resiko yang lebih rendah untuk
mengalami gejala sampingan. Hanya sekitar 65-78% hasil EKG pasien yang MRS,
yang menunjukkan adanya kemungkinan MI. Kuncinya adalah lakukan pemeriksaan
EKG secara serial.
• Individu dengan usia diatas 65 th memiliki kemungkinan gejala yang
tidak khas dengan hasil ‘missed diagnose’ atau ‘delayed’

Tips Khusus untuk Dokter Umum :


• Rujuk semua pasien pada ED dengan :
1. Riwayat khas IMA namun hasil EKG normal
2. Riwayat tidak khas namun memiliki faktor resiko untuk CAD
• Faktor resiko utama/mayor CAD antara lain:
1. Diabetes mellitus
2. Hipertensi sistemik
3. Hiperlipidemia
4. Merokok
Catatan : pasien yang telah berhenti merokok selama < 2 tahun tetap dianggap sebagai
perokok dan memiliki factor resiko CAD.
• Berikan aspirin 300mg pada semua pasien dengan ACS sebelum mengirimnya ke RS.
• Semua kasus IMA harus dikirim melalui ambulan ke RS.

Manajemen
• Pastikan tanda-tanda vital stabil. Jika tidak stabil, pasien mengalami distress atau
diaforesis, bawa pasien untuk resusitasi pada area immediate secepatnya. Rawat
pasien dengan ACS secepatnya.
• Berikan olsigen, pasang pulse oksimetri, monitoring continuous EKG, monitoring
tekanan darah.
• Periksa segera EKG 12 lead. Peran EKG dalam kasus nyeri dada adalah termasuk
criteria diagnosa IMA, iskemik dan PE.
• Jika EKG normal atau mencurigakan namun belum menunjukkan ACS, lakukan
pemeriksaan EKG serial dengan interval yang dekat.
• Pasang iv plug dan lakukan pemeriksaan darah untuk enzim kardiak serta biomarker
lainnya, misalnya mioglobin dan troponin T.
Ingat : Jangan sampai membuat kesalahan dengan mengeksklusi nyeri dada iskemik
hanya dengan melihat hasil troponin T atau enzim kardiak lain yang normal pada saat
berada pada ED. Lihat tabel 3 untuk interpretasi bermacam-macam marker kardiak.
• Berikan obat peringan nyeri tergantung pada diagnosa yang dibuat.
61

• Lakukan CXR. Peran CXR pada nyeri dada dalam penegakan diagnosa:
1. Komplikasi IMA, seperti gagal jantung dan edema pulmonal
2. Aortic dissection
3. Dengan penyebab respiratori, misal pneumothorax, pneumonia, keganasan
paru, fraktur tulang iga.
4. PE perifer
5. Pneumomediastinum, misal rupture spontan bullae paru, rupture esophagus.
• Beberapa pedoman mengenai penempatan pasien dengan nyeri dada :
1. MRS-kan ACS dengan perubahan EKG atau nyeri yang terus menerus ke
dalam CCU.
2. MRS-kan unstabel angina tanpa ada perubahan EKG, atau jika nyeri telah
hilang pada bangsal umum kardiologi.
3. MRS-kan pasien dengan diagnosa sindrom nyeri dada tidak khas (atypical
chest pain syndrome) dengan factor resiko CAD pada bangsal umum
kardiologi, kecuali ED memiliki Chest pain Observational Unit untuk
pengawasan yang berkelanjutan.
4. Stabel angina dapat di KRS-kan dengan memulai pengobatan (aspirin 300mg
kemudian cardiprin 100mg OM (occipitomental), isosorbide dinitrat 5-10mg
dibagi dalam 3 dosis, propanolol 20mg dibagi dalam 2 dosis) apabila tidak ada
kontraindikasi, kemudian rujuk pada poliklinik kardiologi untuk follow up.
(Kelompok pasien ini kemungkinan bukan merupakan pasien CAD apabila
datang pada ED dengan riwayat stabel angina. Disarankan untuk
memasukkan/merawat pasien nyeri dada dengan riwayat CAD ke dalam RS.)
5. MRS-kan pasien dengan aortic dissection pada CT ICU.
Catatan : onset angina terbaru yang menyerupai angina stabel yang didapat
menurut riwayat dalam anamnesa, dipertimbangkan sebagai Unstabel angina
(UA). Sehingga seluruh serangan angina yang terjadi untuk pertama kali
harus diMRS-kan walaupun hasil EKG-nya normal.
• Untuk terapi kasus dengan penyebab nyeri dada yang mengancam
jiwa, lihat pada pembahasan masing-masing bab.
62

Tabel 3 : Marker Kardiak


Kinetika Pelepasan Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Marker untuk untuk
Dapat Kembali Keuntungan Kerugian
kardiak Peak level mendiagnosa mendiagnosa
Dideteksi normal
IMA (95% CI) IMA (95% CI)
Mioglobin 1-2 jam 6-9 jam 24-36 jam 1. Marker terawal yang 1. Tidak Spesifik bagi otot jantung. To 49 (43-55) To 91 (87-94)
meningkat pada IMA Kondisi lain yang terkait dengan Ts 89 (80-94) Ts 87 (80-92)
2. Bermanfaat untuk peningkatan mioglobin antara lain :
menegakkan diagnosa a. Penyakit skeletal dan neuromuscular
IMA dini karena b. Gagal ginjal
mioglobin meningkat c. Injeksi intramuscular
dalam waktyu 6 jam pada d. Exercise yang berat
hamper semua kasus IMA. e. Post pembedahan by pass koronaria
f. Pemakai etanol berat
Sehingga mioglobin tidak dapat
digunakan secara tunggal, namun harus
diikuti dengan pemeriksaan enzim
kardiak lainnya.
Creatinin 4-6 jam 18-24 jam 48-72 jam 1. Gold standart serologis 1. Tidak spesifik untuk otot jantung To 42 (36-48) To 97 (95-98)
kinase untuk IMA. Digunakan untuk 2. Dapat terjadi false positif pada pasien Ts 79 (71-86) Ts 96 (95-97)
(CK)-MB criteria diagnosa IMA dengan gagal ginjal.
menurut WHO 3. Diagnostic window-nya sempit
4. Kegagalan peningkatan total CK pada
angka yang abnormal pada seluruh
pasien IMA. Untuk meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitasnya,
persentase indeks relative yang
didefinisikan sebagai CK-MB (ng/ml)
x 100% CK (U/L) kemudian
digunakan. Apabila ≥ 5% maka
kemungkinan IMA.
Troponin T 4-6 jam 12-120 10-14 hari 1. Bermanfaat untuk IMA 1. Beberapa hasil false positif terlihat To 39 (26-53) To 93 (90-96)
jam dengan presentasi lambat pada pasien gagal ginjal dan pasien Ts 93 (85-97) Ts 85 (76-91)
63
2. Bermanfaat sebagai dialysis, terutama pada pemeriksaan
indicator prognostic pada troponin T generasi pertama.
angina unstabel. Pasien UA
dengan troponin T +
memiliki prognosis yang
lebih buruk dari pada
pasien dengan troponin T
-.
3. Merupakan indikator
prognostic terbaik
dibanding troponin lainnya.
Troponin I 4-6 jam 12-36jam 7-9 hari 1.Marker jantung yang paling 1. Tidak tersedia secara luas To 39 (10-78) To 93 (88-97)
spesifik. Ts 90-100 Ts 83-96
2.Tidak ada hasil false positif
pada pasien gagal ginjal.
3.Dapat digunakan sebagai
indicator prognostic pada
UA seperti halnya troponin
T.
To : Time of presentation Ts : Serial Biomarkers
64

22. Pain , low back ( Nyeri Punggung Bagian Bawah )

Caveats
• Pasien dengan Low Back Pain (LBW) akut yang membutuhkan
perawatan immediate antara lain :
1. Hemodinamik tidak stabil (kelompok yang paling kritis)
2. Dengan trauma yang signifikan
3. Nyeri musculoskeletal yang tidak tertahankan
• Pasien dengan nyeri punggung bersamaan dengan nyeri abdomen merupakan
pasien yang berada dalam resiko serius adanya perdarahan intrabdominal atau
retroperitoneal dan membutuhkan evaluasi yang tepat serta monitoring yang ketat.
• Pasien yang sangat menderita akibat musculoskeletal back pain dengan tanda
vital stabil dapat diberi obat analgesik apabila telah melalui pemeriksaan awal.
• Pasien dengan defisit neurologik progresif atau dengan disfungsi kandung
kemih atau disfungsi usus besar membutuhkan tindakan dekompresi melalui pembedahan.
• Ada beberapa indikasi untuk foto polos lumbosakral pada ED :
1. Manifestasi klinis yang muncul mendukung adanya malignansi dengan kemungkinan
metastase pada tulang belakang bagian lumbal.
2. Ada riwayat trauma vertebrae yang bermakna.
3. Demam dan nyeri tekan yang terlokalisir yang menyokong adanya osteomielitis.
4. Ada deficit neurologist yang tidak dapat terjelaskan dan bersifat akut.
• Terapi konservatif merupakan manajemen utama, meliputi relaksasi otot
melalui bed rest, terapi panas atau dingin, obat-obatan muscle-relaxing, serta analgesik
yang adekuat. 90% pasien akan berespon terhadap terapi tersebut.
• Manajemen pasien bisaanya dilakukan dengan rawat jalan, dimana usulan
MRS dilakukan pada pasien dengan defisit neurologi atau nyeri yang terus menerus.

Catastrophic Illnesses
Dapat bermanifestasi sebagai LBP
• Ruptur AAA (Abdominal Aortic Aneurysm) : bisaanya terjadi pada pasien pria usia
pertengahan atau usia tua dengan riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular, yang
muncul dengan LBP dan nyeri abdomen yang diikuti dengan pulsasi yang cepat,
sinkop, serta hipotensi borderline atau hipotensi yang nyata.
• Ruptur Kehamilan Ektopik : seorang wanita berusia subur dengan factor resiko
terjadinya kehamilan ektopik, muncul dengan LBP onset akut, terkait dengan
perdarahan vagina, sinkop dan nyeri abdomen unilateral.
• Cauda equina Syndrome : merupakan sebuah kasus lumbar disc disease yang jarang
terjadi namun memiliki komplikasi yang sangat serius. Pasien muncul umumnya
dengan gejala LBP, dengan penjalaran unilateral atau bilateral, anestesi perifer,
kelemahan motorik dari ekstremitas bawah, dan disfungsi sfingter (bisaanya retensi
urin). Secara klasik, intervensi bedah dalam 6 jam sejak onset gejala, dipertimbangkan
sebagai tindakan preventif esensial untuk mencegah defisit neurologik permanent.
• Acute spinal cord compression : akibat proses ekspansi dari massa tumor, dapat
muncul sebagai LBP dengan deficit ekstremitas bawah, deficit bowel dan kandung
65

kemih. Keadaan ini memerlukan intervensi immediate unutk mencegah deficit


Tips khusus untuk
neurologik dokter umum :
permanent.
• Pasien yang datang dengan nyeri musculoskeletal serta tanda vital yang
stabil dapat diterapi dengan analgesic. Nyeri yang hebat tanpa ada
respon terhadap pengobatan yang diberikan harus dirujuk pada ED atau
spesialis ortopedi secepatnya.
• Nyeri punggung dengan tanda neurologik fokal atau disfungsi bowel
serta kandung kemih merupakan suatu keadaan yang memerlukan
tindakan pembedahan emergency di rumah sakit.
• Selalu lakukan pemeriksaan abdomen dan perhatikan adanya aneurisme
aorta.

Manajemen
Pasien dengan Instabilitas Hemodinamik dan atau memiliki riwayat trauma yang Bermakna
• Pasien selalu ditangani dalam area critical care
• Peralatan intubasi dan resusitasi harus selalu berada dalam keadaan siap pakai
• Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
• Pasang setidaknya 2 jalur intra vena yang besar.
• Berikan Hartmann’s solution secara iv 1 liter kemudian ulangi pemeriksaan parameter
yang ada.
• Berikan transfuse darah yang spesifik bila diperlukan.
• Lab : GXM 4-6 unit, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, HCG urin jika diperlukan.
• Monitoring EKG, tanda-tanda vital tiap 5-10 menit, pulse oksimetri.
• Penempatan :
1. Konsultasi awal dengan bedah TKV (untuk suspek AAA) atau
2. Bedah umum dan ortopedi (dalam kasus trauma), atau
3. OBG (dalam kasus kehamilan Ektopik)

Pasien dengan Nyeri Muskuloskeletal yang Hebat dan Tidak Tertahankan


• Harus ditangani paling tidak pada area intermediate care dan lakukan
evaluasi secara tepat.
• Berikan kenyamanan pada pasien dan pindahkan pasien secara hati-hati.
• Monitor tanda vital tiap 30-60 menit.
• Analgesik
1. Pethidine (meperidine). Dosis : 50-100mg IM atau IV
2. Tramal (tramadone). Dosis : 50-75mg IM atau IV
3. Voltaren (diclofenak). Dosis : 50-75mg IM
• Obat muscle relaxan : valium (diazepam) dosis : 5-10 mg po atau 2-5 mg
iv (apabila diberikan melalui iv maka pasien harus berada dalam pengawasan petugas
medis).
• Pemeriksaan ulang setelah 1 jam dan lakukan pemeriksaan menyeluruh
pada pasien dalam 4 posisi : berdiri, supinasi, pronasi dan duduk.
• Lakukan pemeriksaan rectal serta periksa tonus anus.
• Periksa adanya kehilangan sensasi sensorik pada daerah perianal.
• Pertimbangkan foto polos lumbosakral.
• Penempatan :
1. Kasus yang tidak ada komplikasi : KRS untuk bed rest pada permukaan yang
lunak dengan pemberian analgesic yang adekuat serta musle relaxan.
66

2. Kasus dengan komplikasi dan nyeri yang hebat ± ada perubahan neurologik ringan
serta tidak ada gejala disfungsi sfingter : MRS pada bagian ortopedi untuk
penatalaksanaan nyeri dan pemasangan traksi.
3. Jika ada bukti adanya spinal cord compression atau cauda equine syndrome, maka
konsul pada bagian NS.
4. Pasien lain yang harus MRS termasuk :
a. Pasien dengan infeksi yang membutuhkan terapi antibiotik iv, misalnya
pielonefritis dan prostatitis.
b. Pasien dengan fraktur kompresi lumbar spine untuk manajemen nyeri.
c. Pasien dengan fraktur prosessus transversus untuk evaluasi yang terkait
dengan injury.
d. Pasien dengan nyeri tidak tertahankan yang tidak mampu untuk berjalan
atau tidak dapat merawat dirinya sendiri.
e. Pasien dengan suspek metastase pada tulang belakang yang membutuhkan
terapi dexamethasone iv secepatnya. Lihat bab Oncology Emergencies.
67

23. Pain, Scrotal and Penile

CAVEAT
• penyebab akut scrotal biasanya dapat dipastikan dari riwayat sakit, pemeriksaan fisik
dan urinalisa.
• Tidak pernah ada diagnosa epididimitis pada prepubertas dengan nyeri scrotal. Ini
adalah torsio testis sampai terbukti sebaliknya.
• Bila tersedia colour Doppler ultrasound akan sangat membantu diagnosa.
• Apabila ragu-ragu, hampir selalu dilakukan eksplorasi pembedahan secara hati-hati
pada scrotum penderita.

Tips khusus bagi dokter umum;


• selalu pertimbangkan tosio spermatic cord pada pasien dengan nyeri scrotal baik yang
terus menerus maupun yang hilng timbul. Ingat bahwa testis dapat terpeluntir sebelum
kembali spontan.

PADA BAYI ( ada 2 penyebab)


Torsio
• kemungkinan terbanyak dari torsio adalah kelahiran sungsang
• lilitan pada seluruh spermatic cord
• necrosis
• gambaran nyeri yang tidak terlalu jelas
• scrotum biasanya memerah dan disertai dengan massa testis yang mengeras.
• Pembedahan hamper selalu dilakukan untuk membuang testis yang rusak.

Trauma
• biasanya terjadi pada kedua sisi
• ada kerusakan kulit yang jelas
• sebagian besar dapat membaik tetapi harus tetapdi follow up
• perdarahan scrotal spontan yang tidak diketahui penyebabnya: cari kerusakan yang
meluas dan melebihi cincin inguinal superficial

PADA ANAK-ANAK
• sangat dipengaruhi oleh kelompok usia
• acute epididymo-orchitis biasanya disebabkan:
1. virus, tetapi penyebab terbanyak adalah E.Coli
2. lakukan urinalisa untuk melihat adanya piuria
3. MRS untuk
a. menyingkirkan torsio
b. pemeriksaan urinary tract untuk kelainan-kelainan konginetal
• udem scrotal idiopatik
1. pembengkakan pada kedua scrotum tanpa hyperemia, tanpa nyeri.
68

2. berkaitan dengan haemolitic streptococcus, henoch-sconlein purpura, dan kadang-


kadang leukemia akut

PADA GOLONGAN ORANG DEWASA


• kelompok umur ini merupakan kelompok dengan angka prevalensi tetinggi untuk
terjadinya kelainan akut scrotal

torsio testis
• onset tiba-tiba pada nyeri testis yang berat, yang dapt menjalar ke paha
• dapat disertai mual dan muntah
• sebelumnya pernah ada episode nyeri yang self limiting
• tidak ada tanda klinis yang spesifik yang dapat membedakan torsio dan epididymitis.
Keduanya ditandai dengan pembengkakan dan nyeri testis. Adanya riwayat dysuria
dan secret uretral lebih mengarah pada epididymitis.
• Pemeriksaan yang menyatakan testis horizontal
• Segera konsul urologi
• Doppler ultrasound sangat bermanfaat untuk diagnosa segera, tetapi penanganan
difinitif tidak boleh terlambat.
• Bila diagnosa sulit ditegakkan maka eksplorasi dengan pembedahan harus segera
dilakukan.
• Keselamatan testis tergantung dari lamanya waktu antara mulai terjadinya gejala dan
pembedahan.(interval yang bias diterima umumnya 6 jam )

Torsio hidatid
• prinsipnya terjadi pada anak2 prepubertas (10-12 th)
• nyeri akut minimal muncul setelah 2-3 hari
• lokasi tenderness berada diatas scrotum
• pasien sering mengalami reactive hidrocele dan diperiksa adanya strangulated hidatid
(blue dot sign)
• apabila diagnosa sudah dapat dipastikan, maka sebagian besar akan berespon dengan
anakgesik/NSAIDs. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa nyeri dan bengkak dapat
memberat dalam 48-72 jam
• eksplorasi pembedahan dan eksisi munkin perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus
yang meragukan

epididymo-orchitis
• berkaitan dengan infeksi seksual menular, khususnya chlamydiatrachomatis
• di ED penanganan dengan analgesic dan urogesik(phenazopiridine) 1 tabl. (analgesic
utk saluran kemih yang disertai dysuria) dan dapat juga untuk penanganan penyakit
menular seksual. Pasien di MRS kan bila diagnosanya meragukan.
• Antibiotic terpilih adalah doxyciclin.
• Adanya riwayat mumps parotis dapat dipastikan terjadi orchitis

Tumor testis
• ditandai dengan nyeri scrotum yang akut, yang mengarah pada perdarahan intramural
dan capsular extension yang berkaitan dengan inflamasi.
• Dapat menyerupai epididymo-orchitis
69

• Arahkan ke urologi untuk evaluasi lebih lanjut.

Fornier’s gangrene (idiopatik gangrene scroyum)


• merupakan penyakit yang dapat mengancam hidup
• penyebabnya biasanya karena infeksi atau trauma di sekitar perineal
• organisme yang predominant; bacteroides fragilis (anaerob), dan E coli (aerob). Agent
yang lain adalah haemolitic streptococcus, staph dan clostridia sp.
• Gambaran klinisnya; pada pasien yang tua dan imunocompromised dengan onset nyeri
yang akut, erytema, dan udem scrotum yang disertai crepitasi dan gangrene. Pasien
panas dan mulai toksik.
• Management;
1. suportif umum
2. perawatan
3. ceftriaxone iv 1-2 gram, dan metronidazole 500 mg iv. Serta gentamisi 60-80 mg.
4. segera konsultasi urologi untuk debridemant dan
5. hiperbarik oksigen

PENILE PROBLEM
Balanoposphitis
• inflamasi pada glands penis (balanitis) dan posphitis, bila berulang, pastikan adanya
diabetes dan penyakit yang mendasari
• pada pemeriksaan tampak retraksi pada permukaan kulit dan kotor, secret purulent dan
glands teraba tegang.
• Management;
1. kebersihan yang baik
2. krim antijamur topical
3. sirkumsisi
4. jika muncul skunder infeksi, berikan antibiotic spectrum luas, seperti ciprofloxacin
500 mg selama 7 hari. Jika terdapat penyakit menular seksual tambahkan
doksisiklin 100 mg selama 14 hari.
5. jika kasusnya berulang, cari kemungkinan diabetes mellitus
6. waspadai terjadinya kekerasan pada anak
7. jika ada phimosis, pasien harus segera di sircumsisi.

Phymosis
• adalah dimana preputium penis tidak dapat ditarik atau diretraksi ke proksimal sampai
ke korona glans penis. Ini biasanya skunder dari infeksi kronis pada permukaan kulit
dengan jaringan parut yang progresif.
• Management:
1. tindakan emergency bila terjadi dilatasi dari arteri di permukaan kulit,
2. tindakan difinitif adalah sirkumsisi

paraphimosis
• adalah preputium penis yang diretraksi sampai ke sulkus koronarius tidak dapat
dikembalikan pada keadaan semula dan timbul jeratan pada penis di belakang sulkus
koronarius.
70

• Management: tindakan emergency diindikasikan sejak terdapatnya tekanan pada


pembuluh darah, yang dapat menyebabakan :
1. bila berlanjut dan menekan glands penis selama 5-10 menit, akan menimbulkan
edema dan menekan permukaan kulit sampai di glands penis. Rasa nyeri dapat
dikurangi dengan pemberian lignokain gel atau dilakukan blok pada nervus
dorsalis penis dengan lignokain 1% 5 ml.
2. bila cara manual tidak berhasil, maka dapat dilakukan dengan local anastesi tanpa
adrenalin dan dilakukan dorsal slit procedure.
3. defintif terapi adalah dengan sircumsisi.

Priapismus
• adalah nyeri yang timbul sasat ereksi yang mungkin juga berhubungan dengan retensi
urine.
• Merupakan kegawatan medis (table)

Tabel1. penyebab priapismus


------------------------------------------------------------------------
Reversible irreversibel
Berespon tehadap terapi medis umumnya tdk berespon
Thd terapi medis.
------------------------------------------------------------------------
Injeksi corporal utk impotensi lesi spinal cord atas
Infiltrasi leukemik pengobatan dg. Phenothiazine,
Komplikasi pemakaian Viagra beberapa antidepresan siklik.
Sickle cell disease tidak diketahui penyebabnya.

• pada pemeriksaan
• management;
1. segera konsultasi urologi
2. terbutaline 0.25 – 0.5 mg tiap 4-6 jam. Ini merupakan terapi awal pada kasus
priapismus baik yang reversible maupun yang irreversible, tetapi tetap jangan
membuang waktu untuk konsultasi urologi bila respon terapi tersebut tidak mencapai
100 %.
3. aplikasi dengaan memberikan balok es, sedasi dan analgesic dapat diberikan
meskipun ini kurang efektif.
4. terapi selanjutnya tergantung dari penyebab yang mendasari terjadinya priapismus.
5. bila datangnya urologist terlambat, dapat dilakukan aspirasi darah 50 ml pada
corpora cavernosa dengan menggunakan jarum 18G atau yang lebih besar. Prosedur
ini dapat diulang dan diikuti dengan irigasi dengan menggunakan cairan saline hangat
yang mengandung heparin . pada beberapa kasus diberikan injeksi corporal dengan
200 ug phenylephrine. (dimonitor vital sign tiap 5 menit).
6. jika ini gagal maka tindakan drainase dengan pembedahan perlu dipertimbangkan.

Torn prenulum
• umumnya terjadi selama masturbasi yang berlebihan.
• Pada pemeriksaan, oozing didapatkan disekitar frenulum.
• Management;
71

1. ditekan langsung selama 5-10 menit


2. bila tekanan secara langsung tidak berhasil maka dilakukan jahitan dengan benang
sutra yang dapat diserap,

fraktur penis
• umumnya terjadi karena kurangnya koordinasi dengan pasangan dengan posisi wanita
di atas
• pada pemeriksaan umumnya penis mengalami flaksid tetapi terdapat ekhimosis dan
distorsi, dengan nyeri yang bervariasi
• management;
1. analgesic, sering digunakan parenteral agonis opiate
2. balok es
3. segera konsul urologi.

****************************
72

24. Palpitasi

Caveats

• Denyut jantung yang abnormal hampir selalu disebabkan karena gangguan pada ritme
kardiak, atau disritmia dan apa yang dirasakan oleh pasien merupakan perubahan
sekunder pada output kardiak (ingat bahwa cardiac output berkaitan langsung dengan
stroke volume dan Heart rate).
• Takidisritmia menyebabkan peningkatan heart rate dan pengurangan stroke volume,
sedangkan premature ventricular contractions (PVCs) menghasilkan peningkatan stroke
volume pada setiap denyut yang mengikuti PVC sebagai hasil dari peningkatan filling
time selama compensatory pause.
1. Jangan membuang waktu untuk mengidentifikasi sifat disritmia yang paling tepat,
namun prioritaskan untuk:Periksa status hemodinamik pasien
2. Putuskan apakah keadaan tersebut termasuk narrow atau wide complex
dysrhythmia (tabel 1)
• Jika keadaan pasien tidak stabil dengan tanda-tanda serius seperti
1. Gagal jantung atau dispneu;
2. Syok;
3. AMS;
4. Nyeri dada, maka lakukan immediate synchronized electrical cardioversion (untuk
kedua tipe : narrow dan wide complex).
• Bukti-
bukti yang ada tidak mendukung penggunaan lignokain untuk membedakan perfusi
Ventricular tachycardia (VT) dan Wide complex Tachycardia dengan asal yang tidak
diketahui pasti.
• Bukti-
bukti tidak mendukung penggunaan Adenosine untuk membedakan perfusi VT dan
Supraventrikular (SVT) dengan aberrant ventricular contraction (SVT yang dikonduksi
oleh 1 ventrikel saja akibat transient bundle branch block).
• Amioda
rone saat ini merupakan DOC pada manajemen takidisritmia stabil, karena efek spectrum
antidisritmia-nya yang luas serta lebih sedikit menimbulkan efek inotropik negative
dibandingkan dengan obat lainnya.

Tabel 1 : Klasifikasi takidisritmia berdasarkan EKG


Narrow Complex Wide complex
Regular Irregular Regular Irregular
Sinus takikardi Atrial Monomorfik VT (gambar 3, Polimorfik VT
Fibrillation 4 dan 5 serta tabel 2)
73

Supraventricular SVT dengan aberrancy Semua complex


Takikardi (SVT) Atrial Flutter (Gambar 6 dan tabel 2) tachycardia dengan
(Gambar 1) dengan BBB yang ireguler
berbagai variasi atau WPW syndrome
Block (Gambar 7)
Atrial Flutter dengan Setiap narrow complex
konduksi 1:1 atau tachycardia dengan BBB,
2:1 (Gambar 2) Multifocal yang regular, atau Wolff-
atrial Parkinson- White (WPW)
tachycardia syndrome

Tips khusus Untuk Dokter Umum :


• Pasien yang datang pada tempat praktek dengan palpitasi, kemungkinan memiliki gejala dengan sifat
yang ringan dan minimal dari isolated PVCs atau suatu short bursts dari sebuah takidisritmia yang
intermitten.
• Jangan membuang waktu dengan mengartikan/manganalisa hasil EKG; namun prioritaskan untuk
memeriksa status klinis dari pasien.
• Lakukan EKG 12 lead. Disritmia dapat bersifat Self limiting dan akan sangat membantu bagi dokter
di rumah sakit untuk mencari jejak adanya disritmia.
• Berikan oksigen dengan nasal kanul pada aliran 2-6l/menit, sesuaikan dengan kenyamanan pasien.
• Ukur tekanan darah secara berkala.
• Pasang jalur intra vena perifer dengan NS pada aliran yang lambat.
• Berikan kenyamanan pada pasien karena pasien sering mengalami kecemasan dan ketakutan untuk
mati
• Pindahkan pasien ke RS, lebih baik dengan menggunakan ambulan yang dilengkapi dengan peralatan
untuk memonitoring EKG secara terus menerus.
• Catat PVCs yang disertai dengan ‘R on T phenomenon’ sebagai salah satu resiko tinggi untuk

Gambar 1 : Supraventricular AV nodal reentrant tachycardia pada wanita usia 35 th yang


datang dengan keluhan palpitasi

Catatan : (1) regular, narrow QRS tachycardia sekitar 200/menit. (2) Tidak ada
gelombang P yang terlihat. Pemeriksaan elektrofisiologi lanjutan mengkonfirmasikan
bahwa pasien menderita supraventricular AV nodal reentrant tachycardia.
74

Gambar 2 : Atrial flutter dengan konduksi AV 2:1

Catatan : Selama konduksi AV 2:1, gelombang flutter ‘F’ tersembunyi diantara QRS
complexes dan segmen ST/gelombang T. harus ada bukti yang menunjukkan adanya
peningkatan konduksi AV yang berakibat pada perlambatan ventricular rate (lihat
tanda panah). Arah panah menunjukkan gelombang Flutter (‘F’).

Manajemen
Lihat bab Cardiac Dysrhytmias/Resuscitation Algorithms untuk ringkasan
penatalaksanaannya.

Terapi Suportif
• Pasien harus ditangani pada area critical care, dimana monitoring EKG secara terus-
menerus dapat dilakukan, dan tersedia peralatan resusitasi serta defibrillator.
• Berika oksigen jika terjadi penurunan SpO2.
• Monitoring EKG, tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri.
• Pasang jalur iv perifer.
• Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead : apakah terdapat narrow atau wide complex
disritmia?

Gambar 3 : Ventricular tachycardia pada pasien dengan Infark Myocard acute


Catatan :
(1) Wide QRS tachycardia terjadi regular, sekitar 166x/menit.
(2) morfologi QRS superficial menyerupai pola left bundle branch, kecuali
gelombang r pada V1 dan V2 (arah panah) yang melebar, sehingga
menyebabkan ventricular ectopy.
(3) gambar ritme pada bagian bawah EKG menunjukkan fusion beats (arah
panah) dimana memiliki morfologi yang berbeda. Juga terdapat
kemungkinan suatu AV dissociation, karena ada bagian segmen
ST/gelombang T dari ventricular complex yang berurutan memiliki sedikit
perbedaan morfologi dan terlihat sebagai deformitas, yang kemungkinan
besar karena adanya superimposisi gelombang P yang timbul kadang-
kadang, berbeda dengan QRS complex yang ada.
75

Gambar 4 : Ventricular tachycardia


Catatan : (1) rapid ventricular rate 158x/menit. (2) wide QRS complex yang regular
(0,16 detik). (3) gelombang R monofasik pada V1 (4). rS complex pada V5 dan V6 (5)
aksis indeterminate sekitar 170o.

Pemeriksaan fisik singkat yang penting untuk menentukan stabilitas hemodinamik


• Tingkat Kesadaran : apakah pasien sadar dan orientasinya baik, merespon pertanyaan
dengan baik? Penurunan ‘mentation’ mungkin mengindikasikan immediate
synchronized electrical cardioversion (lihat komentar selanjutnya).
• Keadaan umum : termasuk adanya diaforesis, sianosis dan gejala yang dapat
ditoleransi.
• Tanda-tanda vital

Gambar 5 : Ventricular tachycardia menunjukkan pola concordance


Catatan : (1) regular, takikardi wide QRS (190x/menit). (2). Seluruh QRS complexes
pada lead precordial dari V1 sampai V6 negatif pada polarity.

• Teknik Cardioversion
1. Tempatkan chest patches pada lokasi infraclavicular kanan dan apical (seperti
halnya defibrillation).
2. Berikan diazepam iv atau midazolam untuk efek sedasi (jika tersedia).
3. Tekan tombol SYNC (synchronization) (tidak seperti defibrillation).
4. Pilih level energi, dimulai dari 100 joule untuk dewasa dilanjutkan dengan 200 J,
300J, dan 360 J secara berurutan bila diperlukan.

Gambar 6 : takikardi Supraventrikuler dengan induksi konduksi ventrikuler tambahan pada


laboratori elektrofisiologi seorang pasien usia 25th yang datang dengan keluhan palpitasi.

Catatan : (1) heart rate yang cepat yaitu 160x/menit (2) regular dan wide QRS
complexes (0,12 detik) dengan konfigurasi right bundle branch block yang khas (pola
trifasik rSR’ pada V1). (3) tidak ada gelombang p yang jelas terlihat.
76

Gambar 7 : Atrial fibrillation pada pria 22 tahun dengan WPW syndrome


Catatan : (1) ritme irregular dan ventricular rate yang sangat cepat. (2) QRS
complexes lebarnya bervariasi.

Fokus Anamnesa (sangat bermanfaat jika waktu tersedia)


• Riwayat palpitasi sebelumnya : jika positif, bagaimana keadaan tersebut diterapi,
apakah dengan maneuver fisik, medikasi atau terapi elektrik.
• Apa yang telah pasien lakukan untuk mengatasi palpitasi? Apakah pasien telah
diajarkan untuk melakukan maneuver valsava dirumah? Jika telah dilakukan,
bagaimanakah hasilnya?
• Gejala terkait lain seperti nyeri dada, dispneu, lightheadedness atau kebingungan:
indikasi adanya hipoperfusi end-organ dan dekompensasi.
• Riwayat penyakit kardiovaskular pada pasien atau keluarga atau riwayat obat yang
dikonsumsi, misal penggunaan obat simpatomimetik, obat yang mengandung
bronkodilator atau teofilin, atau amfetamin seperti yang terkandung didalam pil
penurun berat badan.

Pemeriksaan fisik yang menjadi focus sekunder


• Ulangi tanda-tanda vital : penting untuk mendeteksi kemajuan atau deteorasi
• Ulangi pemeriksaan tingkat kesadaran dan perfusi perifer

Terapi
Narrow Complex Tachydysrhythmias
• Terapi sangat tergantung dari diagnosa, misal sinus takikardi membutuhkan terapi
penyebabnya (nyeri, perdarahan, ansietas, efek antikolinergik, dsb).
• Non farmakologis : penting dimana 25% pasien dengan SVT dapat dibantu dengan
valsava maneuver atau pemijatan sinus carotid (carotid sinus massage = CSM).
Catatan : Sinus carotid berlokasi di sudut mandibula, kemudian dengarkanlah suara
‘bruits’ sebelum melakukan CSM. Beberapa klinisi menghindari CSM secara total
pada pasien di atas 50 th untuk mengantisipasi eksistensi plak, tanpa memperhatikan
kehadiran atau tidak adanya bruit. Jangan lakukan CSM pada pasien yang diketahui
memiliki riwayat CVA atau TIA.

Gambar 8: ‘R on T’ ventricular ectopic beats dan ventricular fibrillation pada pasien dengan
infark akut inferior
Catatan : (1) Perubahan ‘hiperacute’ pada infark transmural inferior sebagaimana
terlihat pada peningkatan segmen ST pada lead II. (2) ‘R on T’ ventricular ectopic
beats (E) menginisiasi ventricular fibrillation (VF).

• Farmakologi : pilihan meliputi adenosine, verapamil atau amiodarone; semua telah


dibuktikan sama efektif dan dapat digunakan jika salah satu obat gagal untuk
77

mengatasi narrow complex tachycardia. Pilihan obat tergantung pada ketersediaan dan
pengalaman klinisi.

1. Adenosine merupakan ultra-short-acting AV nodal blocker (Tabel 2).


Dosis : 6 mg iv bolus cepat pada vena proksimal (bukan pada lengan atau
pergelangan tangan), diikuti secepatnya dengan aliran 20 ml saline dan elevasi dari
lengan. Dapat diulang 2 kali pada dosis 12 mg iv samapi total 30 mg.

2. Verapamil (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan adenosine.


Kerugiannya antara lain: (1) onset aksinya lama; dan (2) efek samping yang
bermakna dari penurunan kontraktilitas miokard dan vasodilatasi perifer.

Catatan : pretreatment dengan bolus cairan dan kalsium klorid (0,5 – 1g iv


selama 5 menit) cukup bermanfaat untuk mencegah hipotensi yang diinduksi
verapamil.

Perhatian : verapamil tidak boleh digunakan bersamaan dengan beta blockers iv,
dan harus dihindari pada pasien dengan wide complex tachycardias.

Dosis : 2,5-10mg iv; dapat diulang 15 -20menit kemudian; dosis total maksimum
20mg.

3. Amiodarone digunakan jika adenosine gagal dan terdapat tanda-tanda gagal


jantung kongestif.
Dosis : 150mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.

4. Diltiazem (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan verapamil dalam


mengatasi narrow complex SVT. Keuntungan bila dibanding verapamil adalah
diltiazem lebih sedikit menyebabkan depresi miokard.
Dosis : 10-20mg iv selama 2 menit. Jika tidak efektif dapat diikuti 15 menit
kemudian dengan bolus yang kedua sebanyak 0,35 mg/kg iv. Jika diperlukan, infus
5-15 mg/jam x 24 jam dapat diberikan.

5. Beta-blocker seperti esmolol dan propanolol juga efektif.


Esmolol memiliki T ½ yang sangat singkat dan bersifat kardioselektif. Dosis : 0,5
mg/kg bolus selama 1 menit diikuti dengan infus 0,05 mg/kg/menit. Loading dose
dapat diulang dan tetesan infus dapat ditingkatkan sebanyak 0,05 mg/kg/menit tiap
5 menit prn sampai maksimal 0,2mg/kg/menit.
Propanolol merupakan DOC untuk SVT pada thyrotoxicosis karena ia memblok
sebagian proses pengubahan T3 dan T4. Perhatian : hindari penggunaannya pada
pasien COLD, CCF atau asma, dan pada pasien yang telah diterapi dengan
Calsium channel blockers. Dosis : 1 mg iv selama 1 menit; dapat diulang tiap 5
menit sampai total 0,1-0,5mg/kg.

6. Digoxin : obat yang bersifat vagotonik. Kerugiannya adalah onset kerjanya lebih
lambat dibandingkan dengan obat yang tersebut diatas (dapat membutuhkan
beberapa jam). Dosis : 0,5mg iv bolus sebagai dosis awal, dengan dosis ulangan
0,25mg tiap 30-60 menit prn. Dosis total tidak boleh melebihi 0,02 mg/kg.
78

Tabel 2 : Keuntungan dan Kerugian pemberian Adenosine dibanding Verapamil

Keuntungan Kerugian
T ½ yang pendek <10 detik - Efek samping flushing, dispneu dan nyeri dada
Efek hipotensi dan depresi miokard - Rekurensi SVT sering terjadi (pada 50-60%
yang lebih rendah pasien)
- Interaksi obat cukup bermakna: antagonis dengan
teofilin dan kafein, potensiasi dengan
dipyridamole dan carbamazepine
Catatan : Adenosine bisaanya tidak mengubah
disritmia pada paroxysmal atrial tachycardia,
atrial flutter atau atrial fibrillation, namun akan
mengurangi ventricular rate karena penurunan
konduksi atrioventricular.

Atrial Fibrillation (AF) dengan rapid ventricular fibrillation

Adanya pasien dengan atrial fibrilasi dan rapid ventricular fibrillation merupakan masalah
yang special. Jika hemodinamik pasien stabil, peran dokter spesialis EM adalah untuk
memperlambat respon ventrikuler dan BUKAN merubah ritme jantung menjadi Sinus rhythm
kecuali dokter tersebut yakin bahwa durasi AF terjadi < 48 jam. Pengubahan ke sinus rhythm
tanpa pemberian antikoagulasi yang adekuat akan menyebabkan embolisasi klot yang terekat
pada dinding atrium kanan. Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Calsium Channel
Blocker (diltiazem atau verapamil) dan beta blocker (esmolol dan metoprolol) merupakan
obat yang efektif untuk mengatur heart rate pada pasien AF yang stabil. Dosis : Diltiazem iv
10-20mg selama 2 menit.
Catatan : Digoxin tidak menunjukkan efektivitas untuk mengontrol heart rate akut.
Namun, jika pasien dalam keadaan gagal jantung, pilihan bisa berupa digoxin atau
amiodarone.

Secara keseluruhan, keberhasilan chemical cardioversion hanya sekitar 50%. Literature yang
menerangkan penelitian untuk membandingkan efektivitas obat untuk mengubah AF menjadi
sinus rhythm banyak yang bersifat kontradiktif. Pilihan terapi meliputi :
• Class 1A agents (quinidine dan procainamide) : obat-obatan yang paling tradisional
yang digunakan dalam cardioversion, dengan angka kesuksesan sebesar 40-80%.
• Amiodarone : 93 % berhasil mengembalikan sinus rhythm dalam 24 jam namun tidak
secepat calsium channel blocker atau beta blocker dalam menurunkan heart rate.
• Propafenone : berhasil pada penggunaan melalui iv dan per oral.
• Fleicainide : berhasil sebagai cardioversion dalam 2-3jam ketika digunakan melalui
bolus iv atau po namun kekhawatiran efek prodisritmik menyebabkan keterbatasan
penggunaannya.
• Ibutilide : terminasi cepat AF dengan pengubahan heart rate lebih cepat daripada
procainamide namun dilaporkan bahwa ia menyebabkan torsades de pointes sebesar
4,3%.
Jika pasien dengan rapid atrial fibrillation mengalami ketidakstabilan hemodinamik,
keputusan sulit untuk melakukan electrical cardioversion setelah pemberian heparin 5000
unit iv harus dilakukan. Resiko tremboembolisme setelah atrial fibrillasi sepertinya terus
berlangsung selama beberapa minggu setelah cardioversion. Sehingga antikoagulan harus
terus diberikan selama 3 bulan kecuali didapatkan adanya kontraindikasi.
79

Catatan : Direct Cardioversion aman dan efektif (90% conversion rate) pada
konversi AF menjadi sinus rhythm.

Hospitalization : tidak harus dilakukan pada seluruh pasien AF, namun perlu dilakukan bila :
• Dengan gangguan hemodinamik
• Terdapat gejala aritmia yang hebat (misal nyeri dada, tanda iskemik koronaria, CCF)
• Terdapat resiko tinggi untuk embolisme (misal gagal jantung, CCF, mitral stenosis,
riwayat CVA, usia >65tahun)
• Terdapat AF>48 jam atau durasi yang tidak pasti untuk mengkontrol heart rate dan
menginisiasi antikoagulasi.
• Terdapat kegagalan cardioversion pada ED

AF dapat dipertimbangkan untuk KRS bila :


• Durasi <48jam, juga mengalami keberhasilan dalam terapi cardioversion di ED,
tanpa adanya tanda gagal jantung atau iskemik.
• Onset awal AF dengan control ventricular rate yang baik, keadaan umum baik, dan
telah mengalami pengaturan terapi antikoagulasi. Atur jadwal control untuk follow up
pada spesialis jantung.

Wide Complex Tachydysrhythmias


Catatan : seluruh regular wide complex tachycardias harus diterapi sebagai
ventricular tachycardia, terutama bila pasien memiliki riwayat CAD.

Pengecualian pada pasien :


• Memiliki riwayat SVT dan suspek aberrancy : berikan adenosine/verapamil
• WPW syndrome dengan preexcitation tacycardias : berikan adenosine/amiodarone
Catatan : Jangan melakukan terapi irregular wide complex tachycardia (gambar 7)
dengan Calsium Channel Blockers (verapamil atau diltiazem), beta blockers atau
digoxin karena blocking pada AV node dapat menyebabkan impuls dari AF ke jalur
accessory di bagian bawah dan dapat menyebabkan VF.

Sebelum memberikan obat apapun, periksa hemodinamik pasien. Adanya instabilitas


mengharuskan untuk memberikan sedasi yang diikuti dengan sinkronisasi electrical
cardioversion.
• Amiodarone : obat ini merupakan obat pilihan karena efektif pada VT, SVT dengan
aberrancy dan SVT. Jika terjadi kegagalan, maka synchronized cardioversion
merupakan indikasi.
Dosis : amiodarone 150 mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.
• Procainamide merupakan obat pilihan kedua.
Dosis : 100mg selama 5 menit; dapat diulang sampai total 1 g, diikuti dengan infus 1-
4 mg/menit
Perhatian : Hentikan bolus jika :
1. Disritmia berhenti
2. QRS complex melebar 50%
3. terjadi hipotensi
4. total 1 g telah diberikan
• Lignokain : masih merupakan pilihan popular karena penggunaannya
yang cukup lama, toksisitasnya relative rendah dan mudah dalam pemberiannya.
80

Namun, bukti penelitian tidak mendukung penggunaannya kecuali sebagai pilihan


kedua atau ketiga.
Dosis : 1,0-1,5 mg/kg iv; ulangi dalam 3-5 menit sampai dosis maksimum 3 mg/kg.

Tabel 3 : Cara Membedakan VT dari SVT dengan Aberrant Conduction atau Prior Bundle
Branch Block

VT SVT
Riwayat
IHD; CCF; usia > 35 tahun 90% spesifik untuk VT Bagaimanapun, riwayat (-)
tidak dapat menyingkirkan
diagnosa SVT
Pemeriksaan Fisik
1. Irregular cannon Mungkin ada Tidak ada
gelombang ‘a’ pada
pulsasi vena jugularis
2. Intensitas suara
jantung pertama yang Mungkin ada Tidak ada
bervariasi
EKG
1. Lebar QRS Bisaanya >140 ms <140 ms
2. Hubungan AV AV dissociation (<50% VT) (Gambar 3)
Fusion Beats (kombinasi sinus dan
takikardi QRS) (gambar 3)
Capture Beats (depolarisasi total dari
ventrikel oleh konduksi sebuah sinus
beat)

3. Aksis QRS 30o sebelah kiri atau pada kuadran IV


(gambar 4)
4. Pola ‘concordance’ Diagnostic virtual VT (gambar 5)
(terdapat pada QRS
complex yang + atau –
pada semua lead
prekordial
5. Morfologi QRS Pada V1: Gelombang R monofasik…. Pada V1: Trifasik QRS……
Wide complex qR complex………………...
tachycardia dengan ‘left rabbit ear’ lebih besar ‘right rabbit ear’ lebih tinggi
pola RBBB daripada ‘right ear’ ………. daripada ‘left ear’…………
(didefinisikan sebagai Pada V6: Pola QS……………………
QRS positif dominant Rasio r/s <1……………….
pada lead V1) Pada V1-2: Gelombang R awal tinggi dan
lebar >0,04 detik dengan
‘slurring’ bagian awal dari
QRS ……………………..
Pada V6: QS atau predominan defleksi
negative…………………..
81

25. Poisoning: general prinsip ( Keracunan Prinsip Umum )

Caveats

• Riwayat overdosis obat (OD) sering tidak dapat dipercaya. Sehingga seseorang harus
memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi dan asumsikan kemungkinan overdosis
berbagai macam obat termasuk konsumsi alcohol. Lihat Annex untuk mengetahui
sumber keracunan utama di Singapore.
• Berikan perhatian lebih pada pemeriksaan fisik untuk mengetahui petunjuk tipe
keracunan yang terjadi.
• Pasien dengan AMS dengan kecurigaan OD harus di-EKG untuk mengeksklusi
kemungkinan keracunan antidepresan golongan siklik dan periksa GDA untuk
mengeksklusi adanya hipoglikemi. Pertimbangkan beberapa diagnosa banding AMS
lainnya. Lihat bab AMS (Altered Mental State).
• Ingat bahwa manajemen yang bijaksana dalam menangani OD meliputi pemberian
perhatian pada keadaan emosional/psikologis pasien, disamping juga harus menangani
efek klinis dari OD.
• Gastric Lavage jangan digunakan secara rutin pada setiap kasus OD. Lihat baba
Gastric decontamination untuk lebih detilnya.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum


• Jangan menginduksi EMESIS pada pasien dengan OD menggunakan sirup Ipekak.
Karena sirup ipekak dapat memperlambat pemberian atau mengurangi efektivitas
dari arang aktif, antidotum oral, dan iritasi yang terjadi di seluruh bowel.
• Secara umum akan lebih aman untuk merujuk pasien OD ke ED dengan ambulan.
Sebuah pengecualian yang pasti adalah pada pasien anak-anak yang secara tidak
sengaja meminum pil KB, cukup beri KIE dan pasien dapat dipulangkan.
• Pertimbangkan kemungkinan kecelakaan yang tidak disengaja pada pasien
pediatric dengan riwayat keracunan.
• Perhatikan ABC pada pasien OD sebelum dirujuk ke ED.
82

Riwayat/Anamnesa
• Pasti OD atau OD yang masih belum jelas?
• Apa, kapan, seberapa banyak, bagaimana, dimana, kenapa? Gejala akibat paparan?
• Apa ada resiko bunuh diri? Jika ada, konsul bagian psikiatri.
• Riwayat psikiatri dan penyakit dahulu (termasuk riwayat pengobatan).
• Apa ada percobaan bunuh diri sebelumnya?

Pemeriksaan fisik
Tanda Vital
Lihat tabel 1 untuk lebih detilnya
Bau
• Bau yang jelas : bensin/bahan pemutih/insektisida
• Bau lain dapat dilihat pada tabel 2
83
Tabel 1 : Diagnosa Banding Beberapa Tanda Vital Akibat Over Dosis Obat

Temperatur Denyut Nadi/ritme Tekanan Darah Respiratory


HIPOTERMI (“COOLS”) BRADIKARDI (“Paced”) HIPOTENSI (“CRASH”) HIPOVENTILASI
C Carbon monoxide P Propanolol (beta blockers) C Clonidine (atau Opioids
O Opioid A Anticholinesterase drugs antihipertensi lain)
O Oral Hypoglycaemics, insulin C Clonidine, Calsium channel R Reserpin
L Liquor E Etanol/alkohol A Antidepresan
S Sedative hypnotics D DigoKSin S Sedatif hipnotik
H Heroin (opiates)
HIPERTERMI (“NASA”) TAKIKARDI (“FAST’) HIPERTENSI (“CT SCAN”) HIPERVENTILASI
N Neuroleptic malignant syndrome, F Free base (cocaine) C Cocain Salisilat
nicotine A AntiKolinergik, antihistamin, T Teofilin CNS stimulant
A Antihistamin amfetamin S Simpatomimetik Sianida
S Salisilat, simpatomimetik S Simpatomimetik (kokain, PCP) C Caffein
A Antikolinergik, antidepressan T Teofilin A Antikolinergik, amfetamin
N Nikotin
DISRITMIA
Digoksin
Siklik antidepressant
Simpatomimetik
Fenotiazine
Khloral hidrat
Antikonvulsan
84

Tabel 2 : Bau dari Zat Racun


Bau Kemungkinan Racun
Buah-buahan Etanol
Kapur barus Kamper/naftalene
Buah Almond Sianida
Pelitur Sianida
Stove gas Karbonmonoksida
Telur busuk Hidrogen sulfide
Bawang putih Arsenik/parathion
Wintergreen metilsalisilat
Catatan : Karbon monoksida tidak berbau. Stove gas berbau karena adanya zat berbau
busuk yang dikenal senagai merkaptan.

Pemeriksaan Neurologik
• Tingkat Kesadaran : Lihat beberapa jenis obat dan racun yang dapat menyebabkan
koma atau stupor
CNS Depressan Umum Hipoksia selular
Antikolinergik Karbonmonoksida
Antihistamin Sianida
Barbiturat HIdrogen sulfida
Antidepresan gol.siklik Metamoglobinemia
Etanol dan alcohol lain
Fenotiazin
Obat sedative-hipnotik
Zat Simpatolitik Mekanisme lain atau yang tidak diketahui
Klonidin Bromida
Metildopa Hypoglicaemic agents
Opiat Litium
Phencyclidine
Salisilate
• Pupil : obat–obat dan racun yang berefek pada pupil :
MIOSIS (‘COPS’) MIDRIASIS (‘AAAS’)
C Cholinergics, klonidin A Antihistamin
O Opiat, organofosfat A Antidepresan
P Phenotiazines, pilocarpin, pontin bleed A Antikolinergik, atropin
S Sedatif-hipnotik S Simpatomimetik (kokain,
amfetamin)

• Fits/kejang disebabkan oleh zat dibawah ini (‘OTIS CAMPBELL’)


O Organofosfat C Camphor, cocaine
T Cylic antidepressant A Amfetamin
I Insulin, isoniazide M Metilxantin
S Sympathomimetics P PCP (Phencyclidine)
B Beta blocker
E Ethanol
L Lithium
L Lead
• Tanda Fokal : lihat penyebab yang lain, misalnya trauma
Kulit
• Diaforesis (‘SOAP”) dan Hipoglikemi
85

S Simpathomimetics
O Organofosfat
A ASA (Salisilat)
P PCP dan hipoglikemi
• Kulit Kering : Antikolinergik
• Blistering/Melepuh
1. Karbonmonoksida
2. Barbiturat
3. Poison ivy
4. Sulphur mustard
5. lewisite

• Kulit menjadi Berwarna


Merah : Antikolinergik
Sianida
Karbonmonoksida
Biru : Metamoglobinemia
• Terdapat bekas tusuk jarum : opioid

Toxidromes
• Opioid
1. Koma
2. Depresi respiratori
3. Pinpoint pupil
4. Hipotensi
5. Bradikardi
• Kolinergik (‘SLUDGE”) misalnya organofosfat/karbamat
S Salivasi
L Lakrimasi
U Urinasi (BAK)
D Defekasi
G Gastric emptying (pengosongan lambung)
E Emesis
1. ‘Drowning in their own secretions’ (tenggelam dalam sekret mereka sendiri)
a. Bronchorrhoe
b. Spasme bronkus
c. Edema pulmonal
2. AMS
3. Kelemahan otot dan paralise
4. Bau bawang putih
• Antikolinergik; misal antihistamin, siklik antidepressant, homatropin,
skopolamin
1. Hipertermi
2. Vasodilatasi kutan
3. Penurunan salivasi
4. Sikloplegia dan midriasis
5. Delirium dan halusinasi
6. Tanda-tanda lainnya
a. Takikardi
86

b. Retensi urin
c. Penurunan motilitas GIT/ hilangnya bising usus
• Salisilat
1. Demam
2. Takipneu
3. Vomiting
4. Letargi (jarang terjadi koma)
5. Tinnitus
• Simpatomimetik misal : kokain, amfetamin
1. Hipertensi
2. Takikardi
3. Hiperpireksi
4. Midriasis
5. Ansietas atau delirium
• Sedatif-hipnotik misal : barbiturate, benzodiazepine
1. Perubahan pupil yang tidak dapat diprediksi
2. Kebimgungan atau koma
3. Depresi nafas
4. Hipotermi
5. Vesikel atau bulae
• Ekstrapiramidal : Gambaran parkinsonian (‘TROD”)
1. Tremor
2. Rigiditas
3. Opistotonus, krisis okulogirik
4. Disfonia, disfagi
Kategori obat ini termasuk ‘zines’
1. Klorpromazin (Largactil/Thorazine)
2. Proklorperazin (Stemetil/Compazine)
3. Haloperidol (Haldol)
4. Metoklopramide (Maxolon/Reglan)
• Hemoglobinopati
1. Karboksihemoglobinemia
a. Sakit kepala
b. Nausea, vomiting, gejala ‘flu like’ illness
c. Sinkope, takipnoea, takikardi
d. Koma, konvulsi
e. Kollaps kardiovaskular, gagal nafas
2. Metamoglobinemia
a. Manifestasi klinis yangmenonjol adalah sianosis (‘chocolate blood’)
b. Asimtomatik (level metamoglobin <30%)
c. Fatigue, kelemahan, pusing, sakit kepala (level metamoglobin 30-50%)
d. Letargi,stupor, depresi nafas (level metamoglobin >55%)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
• FBC : peningkatan TWC = infeksi/zat besi/teofilin/hidrokarbon
• Elektrolit Serum
1. Anion Gap = [Na+] - [HCO3-]- [Cl-]
2. Anion gap normal = 8 sampai 16 mEq/l
• Asidosis metabolic/peningkatan anion gap
87

C Carbonmonoxide, sianida M Metanol, metamoglobin


A Alkoholic ketoacidosis U Uremia
T Toluene D Diabetik ketoasidosis
P Paraldehide
I INH/Besi
L Laktic asidosis
E Etilen glikol
S Salisilat, solvent/pelarut
• Serum Urea dan kreatinin : untuk mengidentifikasi adanya disfungsi ginjal
• Pemeriksaan toksikologi terhadap kadar obat, bermanfaat pada :
1. Paracetamol
2. Salisilat
3. Kolinesterase
4. Besi
5. Litium
6. Teofilin
7. Karbonmonoksida
Foto X Ray
• Dada
1. Agen yang toksik terhadap pulmo, contoh hidrokarbon/gas toksik/racun/paraquat
2. edema pulmonal non kardiak, contoh :
opiate/fenobarbiton/salisilat/karbonmonoksida
• Abdominal : toksin radioopaque pada foto x ray (‘CHIPES”)
C Chloral hydrate
H Heavy metal /logam berat
I Iron (besi)
P Phenothiazine
E Enteric-coated preps (salisilat)
S Sustained release products (teofilin)
EKG
• Siklik antidepresan mempengaruhi system konduksi kardiak, misal PR yang
memanjang dan QRS interval yang memanjang

Manajemen
Pasien dengan AMS atau instabilitas hemodinamik harus ditangani pada area critical care.
Walaupun banyak kasus OD yang dapat ditangani pada area intermediate care.

Kasus Pada Area Critical Care


• Peralatan manajemen airway harus selalu dalam keadaan tersedia.
Catatan : pasien dengan Oksigenasi
Yang adekuat namun memiliki gangguan gag reflex dan memerlukan gastric lavage akan
membutuhkan intubasi profilaksis orotracheal.
• Obat resusitasi harus selalu tersedia
• Berikan suplemen O2 untuk maintenance SPO2paling tidak 95%)
• Monitoring EKG, tanda-tanda vital, tiap 5- 15 menit, pulse oksimetri
• Pasang jalur iv perifer
• Labs : lihat bab Diagnostic aids laboratory
• Pasang kateter (tergantung kasus)
88

• Kontrol kejang dan diritmia; penatalaksanaan standart dapat dilakukan kecuali pada
keracunan antidepresan gol. Siklik. Dimana komplikasi kardiak dan CNS dapat
dicegah dengah alkalinisasi darah sampai pH 7,5. hal ini bisa dicapai dengan
hiperventilasi atau pemberian sodium bikarbonat iv, atau keduanya.

“Cairan yang digunakan Pada keadaan Koma”


• Dekstrose 50% : berikan hanya bila hipoglikemi sudah jelas terjadi karena sebenarnya
ia dapat mengganggu penyembuhan gangguan neurologik.
• Nalokson (Narcan):
Mekanisme kerja : efek berkebalikan dari opioid sperti depresi nafas, sedasi dan
hipotensi.
Efek Klinis : Onset terjadi dalam 2 menit.
Dosis : Tidak bergantung pada usia dan ukuran tubuh (kecuali neonatus). Dosis
dewasa dan anak-anak 2mg (dapat diulang sampai 10-20mg).
Jalur pemberian : iv/endoytracheal/intralingual
Indikasi : aman digunakan namun hanya menambah sedikit nilai diagnostic dimana
sensitivitas parameter klinik sebagai prediktor respon terhadap nalokson adalah
sebesar 92%.
Perhatian : potensiasi tercetusnya dari gejala withdrawal dapat terjadi pada pasien
yang telah kecanduan opioid. T1/2 nalokson kadang lebih rendah daripada beberapa
opioid lain. Sehingga, ada kebutuhan untuk memonitoring secara terus menerus
disertai pemberian nalokson ulang.
• Perkiraan overdosis opioid : lihat tabel 3
• Perkiraan respon terhadap nalokson : lihat tabel 4.

Tabel 3: Perkiraan Overdosis Opioid


Parameter klinik Sensitivitas (%) Spesivisitas (%)
Laju nafas < 12x/menit 79 94
Pupil Pinpoints 75 85
Bukti yang circumstantial 67 95
Apapun yang tersebut diatas 92 76

Tabel 4 : Perkiraan Respon Terhadap Nalokson


Parameter klinik N Sensitivitas (%)
Laju Nafas < 12x/menit 20 80
Pupil Pinpoint 22 88
Bukti yang circumstantial 15 60
Apapun yang tersebut diatas 24 96

• Flumazenil (Anexate)
Mekanisme Kerja : merupakan suatu Benzodiazepin (BZD) yang secara structural
terkait dengan midazolam. Flumazenil berkompetisi dengan benzodiazepine lain pada
reseptor omega I pada CNS.
Efek Klinis : Onset 1-2 menit dengan efek puncak dalam 3-5 menit.
Durasi efek : 1-4 jam
Dosis kecil berkebalikan terhadap hypnosis, yaitu sedasi BZD
Dosis Besar berkebalikan terhadap efek antikonvulsan BZD.
Indikasi : Overdosis BZD dalam kondisi sedasi yang masih sadar akan meningkatkan
status pernafasan.
89

Peningkatan tingkat kesadaran pada kasus OD benzodiazepine untuk


mencegah prosedur intubasi atau invasive.
Dosis : inisial 0,2 mg iv; tunggu 30 detik, kemudian diulangi pada dosis 0,3mg iv; jika
diperlukan, dapat diberikan 0,5 mg/menit lagi sampai dosis total 3-5 mg.
Efek Samping : BZD withdrawal
Kejang, terutama pada pasien ketergantungan siklik antidepresan atau BZD.
Flush
Nausea dan/ atau vomiting
Ansietas, palpitasi, ketakutan
Kontraindikasi : Psien yang mengkonsumsi BZD dalam jangka panjang untuk
mengkontrol kejang.
Penggunaan BZD untuk antisipasi, misal sedasi, relaksasi otot, antikonvulsi.
Toksisitas siklik antidepresan yang terjadi bersamaan.
Trauma kepala yang berat
• Tiamin : umumnya aman; diindikasikan pada semua pasien alkoholik atau pada
lansia, malnutrisi. Dosis : 100 mg iv bolus selama 1-2 menit.
Dekontaminasi
• Tergantung pada agent yang terlibat, perlengkapan proteksi yang tepat harus
digunakan. Pada kadar minimal, petugas harus mematuhi seluruh peraturan dasar
yang berlaku.
• Prosedur dekontaminasi:
1. Pindah dari area yang terkontaminasi
2. Buka seluruh pakaian yang terkontaminasi
3. sikat bersih seluruh kulit dari kontaminasi bubuk untuk menghindari reaksi
eksotermik ketika kontak dengan air yang digunakan untuk dekontaminasi.
4. Cuci seluruh area dengan air dan/atau larutan sabun (dan shampoo rambut).
Gunakan scrub yang halus jika ada.
5. Area yang harus diperhatikan adalah kepala, aksila, ‘groin’ dan punggung.
6. Sikat bagian bawah kuku
7. Irigasi mata jika terkontaminasi
8. semua luka yang terbuka harus didekontaminasi dengan air.
• Tujuan akhir dekontaminasi
1. Sampai terjadi pengurangan rasa nyeri, jika paparan terhadap kulit terjadi
secara primer
2. Jika terjadi kontaminasi pada mata, sampai gejala nyeri menghilang dan/atau
ada kemungkinan perubahan warna pH kertas Litmus sesuai dengan sifat agent
yang terlibat.
3. Dekontaminasi penuh harus dilakukan 5-8 menit.

Dekontaminasi Lambung
• Dilusi : air/susu
• Gastric lavage harus tidak dilakukan sebagi penatalaksanaan rutin pada
pasien keracunan. Pada penelitian eksperimental, jumlah marker yang dikeluarkan
melalui gastric lavage sangatlah bervariasi dan akan menghilang seiring waktu.
Tidak ada bukti yang pasti bahwa penggunaannya akan memperbaiki outcome
pasien serta dapat menyebabkan morbiditas yang cukup bermakna.
Indikasi : Tidak dipertimbangkan kecuali pasien telah menelan sejumlah zat racun
yang berbahaya bagi jiwa dalam waktu 1 jam sejak ditelan. Walaupun
demikian, manfaat klinis belum dapat dipastikan melalui penelitian yang
ada.
90

Kontra indikasi Penelanan zat korosif


Penelanan zat distilasi petroleum
Keadaan yang menuju kejang
Penelanan zat Non toxic
Penelanan bahan yang tajam
Diatesis hemorhagik signifikan
Prosedur : Gunakan Tube yang paling besar
Untuk memproteksi jalan nafas
Tempatkan pasien pada posisi left lateral dan posisi mild tredelenburg
Periksa penempatan tube dengan benar
Aspirasi isi lambung dan simpang specimen untuk dikirim/diperiksa
Lakukan cuci lambung dengan cairan
Gerakkan lambung
Ulangi hingga cairan yang dicuci telah jernih

• Arang aktif
1. Dosis tunggal : jangan diberikan secara tunggal pada penatalaksanaan
keracunan. Berdasarka penelitian yang menggunakan sukarelawan, efektivitas
arang karbon aktif akan menurun seiring waktu; manfaat terbaik ditemukan
dalam waktu 1 jam setelah dikonsumsi/ditelan.
2. Indikasi : dapat dipertimbangkan jika pasien telah menelan sejumlah zat toksik
(yang dapat diserap oleh arang aktif) dalam waktu 1 jam; data yang ada belum
cukup untuk menentukan keefektivitasan penggunaaan arang aktif bila
digunakan lebih dari 1 jam sejak penelanan racun. Juga tidak ada bukti yang
menyatakan adanya kemajuan output klinik setelah penggunaan arang aktif.
3. Dosis multiple : pemberian ulang (>2 dosis) bertujuan untuk meningkatkan
efek eliminasi obat. Cara kerjanya:
A. Berikatan dengan obat yang berdifusi dari sirkulasi ke dalam lumen
usus. Setelah absorbsi, obat akan masuk kembali ke dalam usus dengan
difusi pasif yang dihasilkan karena konsentrasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan di darah. Laju difusi pasif bergantung pada
gradient konsentrasi dan aliran darah. Gradient konsentrasi ini
dipertahankan dan obat akan terus masuk ke lumen usus dimana
kemudian ia akan diabsorbsi oleh arang aktif. Proses ini dikenal
sebagai “Gastrointestinal Dialysis”.
B. Mengganggu sirkulasi obat pada siklus enterohepatik dan enterogastrik.
4. Indikasi : Dosis multiple arang aktif harus dipertiombangkan hanya jika pasien
menelan sejumlah obat yang mengancam jiwa, misalnya carbamazepin,
dapsone, fenobarbitone, quinine atau teofilin.
5. Obat-obatan yang dapat diserap oleh Arang aktif:

Asetaminofen Digoksin Meprobamate Fenilpropanolamin


Amfetamin Ethchlorvynol Mercuric Chloride Fenitoin
Arsenik Glutethamide Metilsalisilat Propoksifen
Aspirin Imipramide Morfin Quinidin
Chlorpheniramine Iodine Nortryptilin Quinine
Klorpromazine Ipekak Paraquat Salisilat
Kokain Isoniazide Fenobarbitone Secobarbitone
91

6. Substansi yang tidak diabsorbsi oleh arang aktif


a. Ion sederhana : besi, litium, sianida
b. Asam dan basa kuat
c. Alkohol sederhana : methanol, etanol
• Katartik : pemebrian katartik secara tunggal tidak memiliki peran pada pasien
yang keracunan., serta tidak direkomendasikan sebagai metode untuk
dekontaminasi usus. Berdasarkan data yang tersedia, penggunaaan rutin katartik
sebagai kombinasi dengan arang aktif tidak dibenarkan. Jika menggunakan
katartik maka harus dibatasi sebagai dosis tunggal untuk meminimalisir efek
samping yang ada.
Mekanisme kerja : penurunan waktu transit gastrointestinal (kontroversi)
Menetralisir efek konstipasi dari arang aktif
Juga berguna untuk irigasi bowel.
Kontraindikasi Diare yang sebelumnya telah terjadi
Obstruksi bowel/ileus
Keadaan deplesi volume cairan tubuh
Bayi
Gagal ginjal sebagai kontraindikasi penggunaan magnesium
yang mengandung katartik
Trauma abdomen

Tindakan untuk meningkatkan usaha Eliminasi


• Forced alkaline diuresis
Alkalinisasi : alkalinisasi urin untuk meningkatkan eliminasi asam lemah memiliki
peran yang terbatas pada salisilat, fenobarbitone, dan herbisida 2,4 (asam
diklorofenoksiacetik [2,4-D]).
Regimen Siklus 1,5 L cairan/3jam:
500 ml Dekstrose 5% + NaHCO3 8,4% pada 1-2ml/kgBB
500 ml Dekstrose 5% + 30ml potassium chloride 7,45%
500 ml NS
IV furosemide 20 mg pada akhir dari siklus
Monitor pH serum dan elektrolit : pH urin harus dipertahnakan pada pH ≤ 8.
Perhatian : Usia lansia
Pasien dengan gangguan jantung
Pasien dengan penyakit ginjal
Penelanan zat yang bersifat cardiotoksik dan nefrotoksik
• Hemoperfusi : indikasinya adalah pada keracunan yang berat, yaitu teofilin
dan barbiturate
• Hemodialisis, indikasinya pada :
1. Etilenglikol
2. Metanol
3. Lithium (dengan perubahan CNS yang signifikan)
4. Salisilat (dengan kejang, AMS, asidosis metabolic yang hebat serta level serum
> 100mg/dl).
• Antidotum spesifik : lihat tabel 5 untuk detilnya
• Penempatan : MRS harus ke bagian General Medicine untuk
mengantisipasi transfer ke bagian psikiatri. OD yang tidak mengancam jiwa tanpa
92

adanya kecurigaan percobaan bunuh diri yang kuat dapat di KRS-kan setelah
konsul pada bagian psikiatri.

Tabel 5 : Antidotum Spesifik terhadap Toksin


Toksin Antidotum Dosis
Asetaminofen, N-acetylcysteine (parvolex) 150mg/kg iv dalam 200ml D5W x 15
parasetamol tiap 1 ml mengandung menit, kemudian iv 50mg/kg dalam 500ml
200mg Parvolex) D5W x 4 jam, kemudian iv 100mg/kg
dalam 1000ml D5W x 16 jam
Arsenik, merkuri, BAL (Dimercaprol) 5mg/kgBB IM
lead
Atropin Physostigmine 0,5-2mg IV
Benzodiazepin Flumazenil (anexate) Lihat bagian “Coma cocktail/Cairan yang
digunakan Pada keadaan Koma”
Karbonmonoksida Oksigen O2 100% (hiperbarik untuk paparan
moderate-severe dan paparan yang terjadi
pada wanita hamil) Lihat Bab Poisoning,
Carbomonoxide
Sianida Amyl nitrite pearls Inhalasi yang berisi 1-2 pearls
Sodium nitrit (larutan 3%) Dewasa : IV 300 mg (10 ml) selama 2-5
menit)
Anak-anak : IV 0,2-0,33ml/kg (6-10mg)
Sodium tiosulfat (larutan Dewasa : 50 ml IV (12,5g) selama 10
25%) menit; dapat diulang separuh dosis x 1 prn;
anak-anak : 1,65 ml/kg IV selama 10 menit
Ethylen glycol, Etanol (10%) dicampur Loading dose : 800mg/kg
methanol dengan D5W Maintenance : 1-1,5ml/kg/jam
Besi Desferoksamin 1,5mg/kg/jam IV
Lead EDTA : kalsium disodium 1000-1500mg/m2/hari IV dengan continous
edetate infus
Nitrit Methylen blue (larutan 1%) 1-2mg/kg IV x 5 menit
Organofosfat Atropin 2-4mg IV tiap 5-10 menit prn (dewasa)
0,5 mg/kg IV tiap 5 menit prn (anak-anak)
Pralidoxime (2-PAM) 25-50mg/kg IV (sampai 1 g)
Opioids Nalokson Lihat bagian “Coma cocktail/Cairan yang
digunakan Pada keadaan Koma”
Fenotiazin Benxtropin (cogentin) 2mg IV/IM
Difenhidramin 50mg IV/IM/PO
Isoniazid (INH) Piridoksin 5 g IV (dapat diulang jika kejang terus ada)
Digoksin, Digitalis fab fragment Level digoksin yang tidak diketahui: 5-10
digitoksin, (Digibind) vial IV (40µg Fab/vial): dapat diulang.
oleander Kadar digoksin diketahui : # vial digibind
= (serum digoksin) x 5,6L/kg x wt in kg
1000
0,6

Annex
93

Penyebab Umum keracunan di Singapura


Paracetamol
Benzodiazepin
Bahan pemutih
Detergen rumahan
Antidepressan
Salisilat
Organofosfat
94

26. MATA MERAH DAN NYERI


Peter Maning

PENTING:
• Tugas utama dari dokter EM adalah melakukan pemeriksaan yang tepat dan
mengenali kelainan yang potensial mengancam kehidupan
• Selalu melakukan kemampuan melihat pada penderita dengan problem mata. Ini
adalah cara sederhana untuk melihat apakah fungsi dari organ penting ini
terganggu.
• Hati-hati kombinasi dari mata merah, muntah, nyeri kepala bagian frontal dan
gangguan penglihatan: ini khas pada glaukoma akut dan membutuhkan perhatian
segera sebagai kasus yang potensial mengancam penglihatan
• Infeksi dan trauma tembus mata jangan di tutup.(photophobia dapat dikurangi
dengan penggunaan kacamata matahari atau pelindung mata)
• Tetes mata atau salep yang mengandung steroid jangan diberikan tanpa konsultasi

 Tip khusus untuk dokter umum


Kirim segera pada bagian Mata jika penderita menunjukkan satu dari hal berikut:
• Penurunan ketajaman penglihatan
• Nyeri yang dalam lebih dari superfisial
• Nyeri yang tidak hilang dengan anastesi topikal
• Udem kornea
• Merah atau lubang pada anterior chamber
• Merah pada silia
• Nyeri pada mata kontralateral pada penyinaran pada
mata yang tidak terkena
• Benda asing pada kornea atau konjungtiva yang tidak
dapat dihilangkan setelah dicoba sekali di kantor
• Pada kasus luka bakar karena korosif, pemberian irigasi
dengan salin, segera bawa penderita ke rumah sakit. Irigasi sampai pH netral
95

atau asam ringan ditunjukkan dengan menggunakan kertas lakmus biru dan
merah

PENANGANAN:
Penderita di triage sebagai kasus intermediate atau kasus kritis jika ada gangguan
penglihatan, sperti glaukoma (mata merah, muntah, neri kepala frontal dan
kehilangan penglihatan). Mereka harus ditangani dalam ruangan yang memiliki
alat pemeriksaan mata yang baik di ruang gawat darurat

Pemeriksaan (Spesifik)
• Periksa ketajaman penglihatan dengan atau tanpa lensa koreksi
1. Anestesi topikal dapat mengatasi reflek blepharospasme dan memfasilitasi
pemeriksaan.
2. Pelindung pinhole akan membetulkan kesalahan refraksi untuk membantu
melihat jika ini yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan
• Inspeksi: meliputi point penting berikut yang menunjukkan kelainan
patologi berarti:
1. Proptosis, dimana dapat menunjukkan kelainan retroorbital seperti
abses
2. Reflex cahaya pada kornea irregular. Dimana menunjukkan udem
kornea (glaucoma) atau permukaan kornea yang menurun (keratitis
atau abrasi kornea)
3. Siliar yang merah, dimana menunjukkan kelainana ruang anterior
(iritis, glaukoma, keratitis)
4. Eversi dari kelopak untuk melihat adanya benda asing
5. Opaksitas kornea, dimana terlihat dengan keratitis atau ulkus kornea

• Lihat reaksi dari pupil dalam respon cahaya dan akomodasi:


1. nyeri pada mata kontralateral pada penyinaran langsung pada mata
adalah tanda dini dari iritis
2. pupil yang ireguler terlihat dengan sinekia pada iritis
3. pupil yang fix di tengah sering ditemukan pada glaukoma atau iritis
96

• Opthalmoscopy: lihat kekabutan dari humor vitreous dan bercak putih


kekuningan pada koroid dan retina, menunjukkan korioretinitis
• Lihat lapangan penglihatan dan pergerakan extraokuli

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
• Pemeriksaan Slit lamp,secara optimal, digunakan pada semua penderita.
Periksa untuk merah dan sel, presipitasi keratitis posterior, dan /atau hipema
pada ruang anterior, menunjukkan proses peradangan
• Tonometri dilakukan setelah anestesi topikal untuk mengukur tekanan
intraokular. Tekanana abnormal > 20 mmHg. Hindari prosedur ini jika mata
infeksi atau jika ada kemungkinan ruptur global.
1. Pewarnaan fluoresein: digunakan untuk menjelaskan kelainan kornea.
Pewarnaan in akan diambil lapisan hidropobik terdalam kornea ketika lapisan
hidropobik superfisial tidak ada, seperti abrasi atau infeksi.
2. Imaging: foto polos jaringan ikat globus dapat menunjukkan benda asing yang
radioopak
3. Anestesi topikal: seringkali berguna untuk membedakan keratitis dari iritis
a. Nyeri dari konjungtivitis, benda sing superfisial, atau abrasi kornea dan
keratitis, hilang dengan anestesi topikal
b. Nyeri dari peradangan yang lebih dalam, contoh iritis tidak menghilang
dengan pengobatan ini
4. Hematropine : gunakan agen ini, obat midriatikum/ sikloplegik, dapat nyeri
mata yang dalam pada peradangan yang dalam dari struktur daerah anterior,
contoh iritis dengan mengurangi spasme otot silia dan iris.

Disposisi
• Kirim untuk segera konsultasi Mata jika penderita menunjukkan
kelainan yang tertulis pada Tip khusus untuk dokter umum
97

• Kebanyakan penderita dapat dipulangkan dengan pemeriksaan lajutan


di bagian mata dalam 24-48 jam

DOKUMENTASI:
• Ketajaman penglihatan semua lapangan
• Anamnesa singkat dari penyakit yang sekarang, pengobatan,
alergi,pengobatan sebelumnya dan riwayat pembedahan
• Tuliskan hasil pemeriksaan secara lengkap, walaupun jika didapatkan hasil
pemeriksaan yang normal, meliputi test tambahan
• Tuliskan advis telepon yang diberikan oleh staf atau bagian mata
98

27. Seizure ( Kejang )

Caveats
• Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab kejang yang sering terjadi
• Riwayat yang didapat dari saksi sangat penting untuk diagnosa
• Tanya riwayat medikasi bila pasien telah diketahui memiliki epilepsy

Tips khusus bagi Dokter Umum


• Selalu pertimbangkan kemungkinan meningitis jika ada pasien kejang dengan
disertai demam.
• Rujuk semua pasien dengan kejang pada ED
• Lakukan pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi hipoglikemi sebelum
merujuk pasien ke ED

Manajemen

Isolated Seizure pada sebuah keadaan Epileptik


• Ambil darah untuk mengetahui kadar antikonvulsan
1. Jika rendah, berikan obat dengan dosis dua kali lipat
2. Jika pasien ‘non-compliance, maka buat keadaan menjadi ‘compliance’.
3. Jika keadaan pasien telah compliance terhadap obat, maka tingkatkan dosis
jika dosis maksimum belum tercapai.
4. Jika dosis maksimum telah tercapai, maka konsul neurologist untuk
pemeberian antikonvulsan yang lain.

• Penempatan : Observasi di ED selama 2-3 jam; KRS bila sudah tidak ada kejang.
Rujuk ke klinik neurology.

Tabel 1 : Penyebab Umum Kejang

Epilepsi idiopatik
Epilepsi Jaringan parut/scar (sekunder akibat stroke sebelumnya atau trauma kepala)
Meningitis atau ensefalitis
Tumor otak (primer atau sekunder)
Ketidakseimbangan elektrolit seperti hipoglikemi, hipokalemi, hipomagnesemia
Obat-obatan atau alcohol
Convulsive syncope karena disritmia jantung (ventricular fibrilasi/takikardi, torsades de pointes)
Kejang demam (pada anak kecil usia 6 bulan sampai 5 tahun)
99

Kejang pertama pada pasien yang tidak diketahui memiliki riwayat epilepsy
Catatan : kejang dengan tidak adanya pulsasi utama harus diasumsikan disebabkan
karena ventricular fibrilasi sampai terbukti bukan.
• Dengan demam
1. Periksa GDA
2. Lab: FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. penempatan :
a. meningitis
b. ensefalitis
c. abses serebral
d. Subarachnoid hemorrhage
• Tanpa demam : eksklusi penyebab yang mungkin:
1. Cek GDA
2. Lab : urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. EKG pada pasien tua untuk mencari tanda iskemik atau disritmia
4. Pertimbangkan foto polos kepala jika terdapat riwayat trauma
5. Penempatan :
a. Observasi pada ED selama 2-3 jam. Jika pasien baik, dan tidak ada
abnormalitas pada hasil laboratorium, KRS-kan pasien untuk control ke
poli neurology.
b. Tidak perlu untuk memulai pemberian antiepilepsi
c. Peringatkan pasien agar tidak mengemudi, mengendarai sepeda, minum
alcohol, berenang atau kegiatan memanjat.
d. MRS jika (1) penyebab ditemukan, contih : factor resiko positif untuk
abnormalitas intra cranial seperti trauma, alkoholisme, malignansi, shunts,
HIV positif, CVA lama; (2) ada abnormalitas neurologik; (3) pasien tidak
bisa melakukan control untuk follow up; atau (4) pasien atau keluarga
pasien memaksa untuk dirawat.

Status epileptikus
Didefinisikan sebagai kejang ≥ 2 kali tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan atau
kejang yang terus-menerus ≥ 30 menit.

• Terapi suportif
1. Jalan nafas : tempatkan pasien pada posisi recovery
2. Buka dan pertahankan jalan nafas
3. lakukan ‘suction’ pada setiap vomit yang terjadi dengan kateter Yankauer
Catatan : jika pasien tetap kejang, jangan mencoba memasukkan ‘oral
airway’, membersihkan sekresi oral atau mengintubasi pasien.
4. Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
5. Persiapkan peralatan intubasi kalau saja anda tidak mampu untuk mempertahankan
jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat.
100

6. Monitoring : tanda vital, EKG, dan pulse oksimetri


7. Akses IV
8. Lab :
a. Cek GDA
b. FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium, fosfat, BGA
c. Pertimbangkan untuk periksa LFT, antikonvulsan individual, toksikologi
serum termasuk etanol.
d. CXR dan urinalisis utnuk mengeksklusi penyebab
e. Kateter urin

• Terapi obat
1. Benzodiazepin
Dosis : Untuk dewasa, IV valium 5 mg bolus pelan tidak melebihi 2 mg per menit;
dapat diulang tiap 5 menit (sampai total 20mg). untuk bayi dan anak, IV valium
0,02mg/kg pelan, tidak melebihi 2mg/menit; dapat diulang tiap 5 menit (sampai
total 10 mg), valium per rectal 5mg suppositoria x 1 PR.
2. Fenitoin
Dosis : infus fenitoin iv 18mg/kgBB pelan-pelan, tidak melebihi 50mg/menit.
Namun Pemberiannya melalui infus tidak boleh melebihi 60 menit karena
presipitasi cenderung terjadi setelah waktu tersebut. Iv fenitoin diberikan tanpa
dilusi/pengenceran (membutuhkan monitoring EKG dan tekanan darah).
3. Barbiturat jangka panjang : fenobarbitone
Dosis : IV fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat dengan kecepatan 100mg/menit,
diikuti dengan jika diperlukan, iv fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat pada
kecepatan 50 mg/menit.
4. Pertimbangkan intubasi rapid sequence : lihat bab Airway Management/rapid
sequence Intubation

• Penempatan : MRS di bagian Neurologi HD/MICU setelah konsultasi.


101

28. Syok/Keadaan Hipoperfusi

Definisi
• Syok merupakan kondisi patofisiologis dimana perfusi jaringan dan organ yang tidak
adekuat menyebabkan keadaan hipoperfusi dan hipoksia seluler yang kemudian
diiukuti dengan keadaan sequele lainnya. Outcome pada semua pasien syok tidak
tergantung dari penyebabnya (lihat tabel 1).
• Biasanya, tekanan darah sistolik kurang dari normal menurut usia dengan tanda klasik
hipoperfusi seperti pucat, kulit yang dingin, takikardia, diaforesis, atau syok dengan
AMS. Pengecualian yaitu pada Syok septic, dimana pada keadaan dini, terdapat
sirkulasi hiperdinamik dengan kulit yang hangat dan pulsasi yang bounding. Lihat
tabel 2 untuk mengenali berbagai tipe syok.

Caveats
• Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling sering terjadi di ED, dan semua
tahap dari syok tersebut harus ditangani seperti saat awal sampai etiologinya dapat
disingkirkan.
• Pengenalan yang tepat serta inisiasi terapi sangatlah penting untuk mengurangi
mortalitas akibat syok. Evaluasi penyebab syok dilakukan bersamaan dengan
penatalaksanaannya.

Tabel 1 : Tipe Syok


Penyebab
Hipovolemik Perdarahan akibat trauma multiple
Perdarahan gastrointestinal
Luka bakar
102

Ruptur aneurisme aorta


Ruptur kehamilan ektopik
Kehilangan cairan akibat GE akut hebat atau pankreatitis akut
Kardiogenik Infark Miokard akut
Disritmia
Obstruktif Tension pneumothorax
Tamponade jantung
Emboli paru
Septik
Neurogenik Trauma spinal
Anafilaksis

Tabel 2 : Bagaimana mengenali berbagai macam Syok


Informasi Hipovolemik Kardiogenik Neurogenik Septik (keadaan
diagnostik hiperdinamik)
Tanda dan Pucat; kulit lembab, Kulit lembab, Kulit hangat, Rigours, demam,
gejala dingin, takikardi, dingin, taki- dan Heart rate kulit hangat,
oliguri, hipotensi, bradikardi, normal/lambat, takikardi, oliguri,
peningkatan disritmia, oliguri, outpun urin hipotensi,
tahanan peripheral hipotensi, rendah, penurunan
peningkatan hipotensi, tahanan periferal
tahanan periferal penurunan
tahanan periferal
Data Hematokrit rendah Enzim kardiak, Normal Hitung Netrofil,
laboratorium (late) EKG pewarnaan Gram,
kultur

• Syok merupakan suatu keadaan klinis. Pasien dengan tekanan darah normal mungkin
masih berada dalam keadaan syok. Hal ini terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi.
Namun, tidak semua pasien hipotensi mengalami syok.
• Bahkan jika indicator syok menunjukkan hasil normal, syok selular, jaringan atau
organ mungkin masih terus berlangsung. Banyak literatur yang mendiskusikan tentang
pemeriksaan obyektif yang digunakan sebagai target resusitasinya.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


• Semua pasien syok harus dirujuk ke RS secepatnya untuk evaluasi lebih lanjut
• Hati-hati terhadap gejala yang meragukan pada pasien geriatric dan pediatric, yang
mungkin memiliki tanda yang tidak spesifik pada syok septic. Diperlukan kecurigaan
yang tinggi dalam kasus seperti ini.

Manajemen
• Semua pasien syok harus ditangani pada area critical care.
• Pasien harus dilakukan pemantauan yang terus menerus terhadap jantung, tekanan
darah, pulse oksimetri. Periksa keberadaan ortostatik hipotensi.
103

• Jalan nafas harus dijaga dan pemberian oksigen 100% dengan non-rebreather mask
harus dilakukan. Pertimbangkan intubasi pada pasien yang parah dengan oksigenasi
dan ventilasi yang tidak adekuat.

• Cari bukti adanya trauma tumpul atau tajam pada dada yang mengindikasikan
kemungkinan tension pneumothorax atau tamponade jantung.
1. lakukan dekompresi terhadap tension pneumothorax dengan insersi kanul 14G
diatas ICS 2 pada midclavicular line.
2. Pada kecurigaan tamponade jantung, lakukan konsultasi kepada TKV
secepatnya. Mulai pemberian 500 ml NS iv dan atau infus dopamine iv pada 5
µg/kg/menit dan persiapkan perikardiosentesis.

• Untuk Syok hipovolemik :


1. Pasang 2 jalur kanul intra vena yang besar (14G/16G) pada kedua fossa
antecubital.
2. Lab :
a. FBC, urea/elektrolit/kreatinin
Catatan :
(1) hematokrit (hct) merupakan tes yang paling tidak reliable.
Karena hasilnya dapat normal pada tahap awal kehilangan
darah yang akut. Sebagai alternative, peningkatan hct
dapat diobservasi pada psien trauma yang juga pengguna
alcohol akut, karena adanya efek diuretic alcohol.
(2). Hitung netrofil absolute juga tidak sensitive dan tidak
spesifik pada syok septic, karena dapat normal, meningkat
atau menurun.
b. Troponin T dan enzim kardiak
c. Profil koagulasi dengan DIVC screen jika diperlukan dan GXM (6 unit
WB/whole blood pada kondisi kehilangan darah akut).
d. Pencocokan jenis darah secara cepat harus dapat dilakukan oleh bank
darah jika transfuse darah bersifat urgen.. BGA harus dilakukan jika
diperlukan, terutama pada pasien syok yang parah.
Catatan : Asidosis metabolic, peningkatan laktat dan deficit basa
bermakna merupakan petunnjuk buruknya prognosis.
Kemampuan memperbaiki abnormalitas ini akan
meningkatkan outcome-nya. Namun, sodium bikarbonat
tidak rutin digunakan karena hanya berpengaruh sedikit
terhadap perbaikan morbiditas dan angka keselamatan.
3. berikan infus kristaloid minimal 1 liter secara cepat dalam 1 jam dan segera
periksa responnya. Selanjutnya berikan koloid atau WB. Pada psien pediatric,
‘fluid challenge’ adalah sebesar 20ml/kgBB dengan Hartmann’s solution.
4. Jalur vena sentral kadang diperlukan untuk resusitasi cairan yang
berkelanjutan.

• Pemeriksaan EKG dan CXR juga harus dilakukan. Apakah terdapat nyeri dada dan
hentinafas yang mendukung adanya IMA atau emboli paru. Lihat bab myocardial
infection, acute, and pulmonary embolism.
• Tempatkan nkateter urin dan periksa urin dipstick untuk mencari infeksi saluran
kemih atau lakukan tes kehamilan jika ada kecurigaan kehamilan ektopik. Apakah
terdapat nyeri abdomen pada wanita usia subur yang tidak mendapatkan menstruasi
104

terakhir?(catat HPHT-nya.pasang kateter wanita yang dicurigai kuat mengalami


kehamilan ektopik jika pasien mampu memproduksi specimen urin untuk konfirmasi
kehamilan. Lakukan konsul bagian Ginekologi untuk kecurigaan kehamilan ektopik.
Monitor output urin.
• Pada pasien dengan suspek AAA, periksa pulsasi abdominal. Konsul segera TKV.

• Apakah ada demam atau predisposisi lain untuk sepsis karena adanya efek
pemasangan kateter atau pada pasien immunocompromised akibat kemoterapi pasien
kanker? Lihat bab Oncology Emergencies.
1. Sepsis intra abdominal karena gall bladder disease atau peritonitis akibat
perforasi apendiks dan pneumonia bukan merupakan penyebab umum dari
syok septic. Pasien geriatric sama halnya dengan pasien berusia muda dapat
menunjukkan gejala yang non-spesifik dari syok septic.
2. Kultur darah (aerobic dan anaerobic) serta kultur urin harus dilakukan pada
pasien syok septic.
3. Antibiotik broad spectrum harus diberikan setelah darah diambil untuk kultur.
Lihat bab Sepsis/Septic shock.

• Jika dicurigai syok neurogenik akibat trauma spinal cord yang terkait
dengan fraktur vertebral, konsultasikan dengan bagian ortopedik. Lihat bab Spinal
cord injury.
• Jika ada riwayat gigitan atau sengatan atau allergen lain yang potensial
seperti obat dan makanan yang mengindikasikan syok anafilaktik, Lihat bab Allergic
reactions/anaphylaxis.

• Setelah evaluasi yang tepat serta terapi awal, terapi suportif dapat
diberikan utnuk mempertahankan tekanan darah :
1. IV dopamine 5-10 µg/kg/menit
2. IV dobutamine 5-10 µg/kg/menit terutama pada syok kardiogenik.
3. IV norepinefrin 5-20µg/menit, titrasi sampai timbul efek.

Penempatan
• Semua pasien dengan syok harus dimasukkan pada HDW atau ke ICU
sesuai dengan bagian yang menangani setelah melakukan konsultasi.
• Jika ada keterlibatan trauma multiple, maka team trauma harus segera
di aktifkan. Lihat bab Trauma, Multiple.
105

29. Stridor

Caveats
• Jika jalan nafas pasien paten dan terjaga, jangan mengganggu atau memanipulasi jalan
nafas.
• Usahakan pasien memperoleh posisi yang nyaman, contoh pada anak yang ingin
dipangkuan ibunya.
• Jangan biarkan pasien meninggalkan ED, contoh untuk X ray.

Tips Khusus Untuk Dokter Umum


• Jangan menstimulasi orofaring sebagai percobaan untuk membuat diagnosa
definitive.
• Usahakan pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman, contoh pada anak
yang ingin dipangkuan ibunya.
• Lakukan pemindahan pasien ke RS dengan ambulan daripada dengan mobil
pribadi.

Manajemen
• Lihat Tabel 1 untuk membedakan Croup/ALTB dengan epiglotitis

Tabel 1 : Membedakan Croup/ALTB dari epiglotitis pada pasien pediatric


Croup/ALTB Epiglotitis
Usia 3 ½ - 5 tahun 2-7 tahun
Organisme Bisaanya Virus: parainfluensa Bakterial : H. influenzae
106

Onset Hari Jam


Prodomal Ya Tidak
Appearance Non-toksik Toksik
Demam +/- ++
Batuk Menggonggong Tidak ada
Suara Serak Muffled (Diam)
Drooling Tidak ada Ya
Keparahan Bervariasi Bisaanya parah
X ray Steeple sign Thumb sign

Terapi suportif
• Kasus moderat sampai parah/berat harus ditangani di area critical care. Hanya kasus
ringan yang dapat ditangani pada area intermediate acuity (tabel 2).
• Lihat tabel 3 untuk mengetahui apa dan apa yang tidak pada penanganan anak-anak
dengan stridor.
• Peralatan manajemen jalan nafas,termasuk krikotirotomi harus selalu tersedia.
• Persiapkan team yang meliputi ahli anestesi dan bedah THT.
• Obat-obatan resusitasi harus tersedia.
• Berikan oksigen aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >95%.
• Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
• Pasang jalur intravena.
• Lab : bersifat optional
1. FBC, urea/elektrolit/kreatinin preoperative
2. BGA, COHb pada inhalasi asap
3. kultur darah pada suspek epiglotitis
• X ray jaringan lunak leher dari arah lateral dan CXR jika waktu dan
kondisi pasien memungkinkan.

Terapi Obat
• Pada Angioedema
1. Adrenalin : larutan 1 : 10.000 5µg/kg (0,05 ml/kg) iv atau melalui ETT. Berikan
separuhnya sebagai bolus dan separuhnya dititrasi sesuai respon klinik, atau
2. Adrenaline : larutan 1 : 1000 10 µg/kg (0,01 ml/kg) IM dalam, sampai maksimum
yaitu 0,3 ml pada anak-anak dan 0,5 ml pada dewasa.
3. Difenhidramin 2mg/kg IV pada bayi/anak-anak dan 12,5-25 mg IV pada dewasa.
4. Hidrokortison 5 mg/kg IV
• Pada suspek epiglotitis : ceftriaxone (Rocephin) 2 g IV bagi dewasa, atau
100 mg/kg IV pada anak-anak.
• Pada Croup (ringan / moderat) : 5 ml NS sebagai uap nebulizer dingin tiap
15 menit.
• Pada croup (severe/parah) : Adrenalin dibuat nebulizer sebanyak 5 ml
dalam larutan 1:1000 di dalam 2,5 ml air steril.
• Penempatan : Pada kasus yang moderat samapai severe, harus dimasukkan
ke dalam ICU atau OT untuk konsultasi. Croup yang menghilang dengan nebulizer
saline dapat di KRS-kan namun follow up dalam 24 jam harus diatur.
• Kriteria MRS meliputi :
1. Appearance yang toksik
2. dehidrasi atau ketidakmampuan untuk menahan cairan per oral
3. Stridor yang memburuk atau retraksi pada saat istirahat.
107

4. Orang tua yang tidak bisa diandalkan


5. tidak ada perbaikan dengan nebulisasi adrenalin, atau memburuk dalam 2-3 jam
setelah pemeberian adrenalin.

Keadaan Tertentu yang Ditandai dengan Stridor


Epiglotitis
• Dikenal sebagai penyakit yang terjadi pada anak-anak, namun saat ini juga terjadi
pada dewasa.
• Organisme penyebab yang sering : H. influenzae, S. pneumoniae, dan Streptococcus
beta hemoliticus.
• Manifestasi klinis :
1. Luka tenggorokan yang parah terkait dengan odinofagi (nyeri saat menelan)
2. Demam tinggi
3. Suara Muffled
4. sesak nafas
5. Stridor
6. Nyeri tekan pada laring
7. Pasien cenderung untuk duduk tegak dan membungkuk ke depan untuk
mengurangi gejala obstruktif akibat pembengkakan supra glotik.
• Jika telah dilakukan foto jaringan lunak leher posisi lateral, maka periksa
adanya :
1. Pembengkakan bagian anterior jaringan lunak samapi vertebral bodies (Normalnya
sampai 1/3 lebar vertebral body)
2. ‘air fluid level’ pada retropharyngeal space (tidak sering)
• Jika dibutuhkan intervensi jalan nafas yang cepat, pertimbangkan posisi
kepala “down ward’ dan hiperekstensi untuk mencegah aspirasi bila abses rupture.
• Berikan antibiotik IV untuk mengatasi bakteri pathogen termasuk yang
anaerob. DOC : penicillin dengan clindamycin sebagai alternative yang dapat
diterima.
• Tim khusus harus diatur untuk memindahkan pasien ke OT.

Aspirasi Benda Asing Pada Tracheobronchial


• Cenderung untuk terjadi pada usia ekstrim terutama pada dewasa dengan serangan
kardiopulmonari; FB umumnya ditemukan selama intervensi jalan nafas.
• Pada anak-anak, fakta yang ditemukan antara lain:
1. 80% kasus terjadi pada anak usia < 3 th
2. Tidak lebih dari 15% FBs tersangkut pada atau di atas trakea
3. kurang dari 10% aspirasi FBs bersifat radioluscen.
4. 24% pasien anak dengan aspirasi FBs telah mengalami misdiagnosa sebagai chest
infection.
5. Esofageal FBs dapat juga menyebabkan airway compromise melalui kompresi
trakeal.
• Penatalaksanaan pasien dengan FB pada saluran nafas atas secara cepat dan
kegagalan nafas meliputi seri 5 pukulan/tepukan pada punggung serta 5 pijatan dada
‘chest thrusts’ pada pasien dengan usia <1 tahun, serta maneuver Heimlich pada usia
>1 th, termasuk pada dewasa. Secara langsung, periksa orofaring diantara
‘thrusts/pijatan’ dan jangan lakukan blind finger sweeps.
1. Jika tindakan di atas tidak berhasil, secara langsung periksa hipofaring melalui
laringoskop. Keluarkan FB dengan forsep Magill jika terjangkau.
108

2. Jika tindakan diatas tidak berhasil, pertimbangkan intubasi endotracheal atau


pembedahan jalan nafas dibawah situasi yang terkontrol.
3. Team spesialis harus mengatur tindakan laringoskopi atau bronkoskopi.

Tabel 2 : Manajemen Yang Disarankan untuk Croup Berdasarkan Keparahan Hasil


Pemeriksaan klinis
Severitas Manifestasi Klinis Terapi
Ringan Tidak ada retraksi, LOC normal Terapi dengan uap dingin saja, follow
dan berwarna up pada esok harinya.
Ringan sampai Retraksi ringan, warna normal, Terapi sebagai pasien rawat jalan
Moderat sulit bernafas jika terganggu hanya jika pasien membaik setelah
pemberian uap di ED, lebih tua dari 6
bulan dan keluarganya tidak bisa
diandalkan.
Moderat Stridor ringan pada saat istirahat, Berikan adrenalin nebulizer
sianotik dan letargi
Severe / parah Sianotik dengan retraksi berat, Terapi dengan adrenalin nebulizer
stridor hebat saat istirahat. dan MRS ke ICU

Tabel 3 : Apa yang Dilakukan dan Tidak boleh Dilakukan pada Anak Dengan Stridor
Yang Harus Dilakukan Yang tidak Boleh Dilakukan
Perlakukan dengan lembut Jangan melihat ke dalam tenggorokan
Biarkan anak pada posisi yang nyaman Memaksa anak untuk berbaring
Berikan Oksigen yang lembab Melakukan venepuncture sebelum
Bentuk tim airway : terdiri dari tim anestesi pemeriksaan airway oleh ahli anestesi
dan ENT Memaksa melakukan x-ray leher lateral
Atur bed pada ICU jika diperlukan

Angioedema / anafilaksis
• Patensi dan proteksi jalan nafas merupakan prioritas in manajemen
• Pemberian oksigen tidak ditujukan untuk meningktakan agitasi dan mencetuskan henti
nafas.
• Pasang akses iv peripheral untuk ‘fluid challenge’ dengan larutan kristaloid.
• Terapi Obat : lihat Terapi utama pada bab Stridor

Inhalasi Asap
• Injury ditangani awalnya dengan terapi oksigen yang lembab dan dingin
• Jalan nafas buatan mungkin diperlukan karena secret yang dihasilkan akan berlebihan
• Indikasi untuk Intubasi endotrakeal :
1. Hipokesmia yang tidak berespon terhadap supplemental oksigen
2. peningkatan PCO2
3. Obstruksi jalan nafas yang semakin memburuk
• Cek BGA specimen (termasuk COHb). Lihat bab Poisoning,
Carbonmonoxide.
• Lakukan EKG untuk mengeksklusi iskemik.
• Lakukan CXR untuk mengeksklusi barotraumas.
109

30. Sinkope

Definisi
Sinkope merupakan keadaan yang mendadak, hilangnya kesadaran ringan karena gangguan
sirkulasi serebral transient karena berbagai sebab, bisaanya terjadi tanpa adanya penyakit
organic atau serebrovaskular.

Caveats
• Banyak kemungkinan penyebab sinkope namun yang paling sering sesuai dengan
evidence yang telah dipublikasikan antara lain:
1. Kardiak (4-25%)
2. Vasodepresor vasovagal (8-37%)
3. Hipotensi ortostatic (4-10%)
4. Sinkope Micturition (1-2%)
5. Hipoglikemi (2%)
6. Etiologi Tidak diketahui (13-41%)
Lihat gambar 1 untuk mengetahui penyebab sinkope
• Kehilangan darah merupakan sinkop yang mengancam jiwa. Kemungkinan perdarahan
GIT harus dicari pada semua pasien. Pada pasien wanita yang memiliki kemampuan
untuk hamil, pertimbangkan kehamilan ektopik.
110

• Pencarian penyebab sinkope jangan diteruskan jika hipotensi postural talah ditemukan.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


• Walaupun mekanisme Vagal merupakan penyebab benign yang tersering, keadaan
tersebut harus didiagnosa eksklusi. Pertimbangkan penyebab lain yang lebih
serius, seperti kardiak, perdarahan dan kehamilan ektopik.

Manajemen Awal Pada Pasien Sinkope


• Pada setting rumah sakit, kasus tersebut bisaanya diperiksa melalui triage lebih
dahulu. Pasien harus dipindahkan ke rea critical care jika parameter ditemukan tidak
stabil. Pasien yang stabil dapat diistirahatkan pada area intermediate care.
• Pasien harus dimonitoring pulsasinya, tekanan darah dan rimt jantungnya.
• ABC pasien harus cepat diperiksa dan oksigen aliran lambat melalui nasal prong harus
diberikan.
• Jalur iv harus dipertimbangkan, terutama parameter awal dari pasien tidak normal atau
ada kecurigaan bahwa penyebabnya adalah karena masalah jantung atau kehilangan
volume (contoh hemorrhage/perdarahan)

Pemeriksaan pasien
• Riwayat yang lengkap sulit untuk didapatkan karena sering sekali pasien lupa kejadian
yang dialaminya. Juga sulit untuk membedakan secara bersamaan antara kejadian
syncopal dari kejang (tabel 1).
• Pemeriksaan fisik yang penting untuk evaluasi sinkope adalah :
1. Tanda kehilangan darah : pucat, takikardi, tekanan darah pada posisi berdiri atau
berbaring.
2. Tingkat kesadaran pasien : jika mengantuk, pikirkan keadaan post ictal,
perdarahan subarachnoid, atau hipoglikemi.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk abnormalitas ritme jantung, murmur, dan gejala
gagal jantung.
4. Carotid bruit mungkin mengindikasikan adanya TIA sebagai penyebab
5. Bukti adanya deficit neurologist, mengindikasikan adanya keadaan iskemik.
6. pemeriksaan rectum untuk mencari adanya darah
• Tekanan Darah harus dilakukan pada semua pasien. Harus dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1. 2 orang diperlukan (untuk mencegah pasien dari “falling”)
2. periksa tekanan darah posisi berbaring dan nadi setelah 10 menit posisi berbaring
3. Pasien berdiri selama 2 menit
4. Lakukan pemeriksaan BP dan nadi
5. Jika pasien tidak dapat melakukannya, lakukan pemeriksaan sambil duduk, dengan
posisi kaki tergantung dibawah kursi.
6. Definisi hipotensi posturtal : penurunan pada SBP > 20 mmHg atau peningkatan
PR >20x/menit.

Gambar 1 : Penyebab Sinkope

Vasovagal Cth: mixturition, defekasi

Takikardi Cth: VT paroksismal, VF


Disritmia
111

Bradikardi Cth: serangan stokes-Adams

Obstruksi aliran Cth: stenosis aorta,


ventricular kiri kardiomiopati obstruktif
Kardiak Effort syncope hipertropik

Pengisian ventricular
yang inadekuat Tamponade perikardial

Fungsional Cth: Infark Miokard Akut

Cth: rupture Kehamilan ektopik,


Kehilangan cairan aortic dissection, heat stroke

Sinkope Hipotensi Obat-obatan Cth: Diuretik, prazosin,


ortostatik fenotiazine

Neuropatik otonomik Cth: diabetes mellitus

Primer Cth: TIA, SAH, kejang

Serebral
Cth: emboli paru, suclavian
Sekunder steal syndrome, aortic arch
(vascular) syndrome
Neurogenik

Bradikardi
Sindrom
hipersensitivitas
sinus karotid
Reaksi
vasodepressor

Metabolik Cth: hipoglikemi,


hipokalsemi, intoksikasi

Psikiatrik Cth: hiperventilasi psikogenik

Tabel 1 : Diagnosa Banding Sinkope


112

Kejang Sinkope
Posisi pasien Posisi apapun Jarang pada posis berbaring kecuali
pada Stokes-Adams attack
Warna pasien Mungkin tidak berhenti, Pucat
walaupun mungkin tidak ada
sianosis
Onset Dengan aura, luka akibat Tanpa aura, injury akibat jatuh
jatuh sering terjadi jarang terjadi. Namun, lebih sering
untuk mengalami pengeluaran
keringat atau nausea sebelum
kejadian.
Gerakan tonik-klonik Sering Sering tidak ada walaupun ada
dengan buka-tutup aktivitas seperti kejang klonik
mata, lidah tergigit ringan dapat mengikuti episode
Periode Tidak sadar Lebih lama pingsan
Inkontinensia Urin Sering Lebih singkat
Kembalinya kesadaran Lambat Jarang
Sequele Kebingungan mental, sakit Cepat
kepala, mengantuk, dan nyeri Kelemahan fisik dengan sensorium
otot sering terjadi yang jelas
Perkataan berulang Mungkin ada
secara tidak sadar Bisaanya tidak ada
pada individu muda

Pemeriksaan Penunjang
• EKG, harus dilakukan pada semua pasien
1. EKG yang normal membuat kemungkinan iskemik kardiak sebagai penyebab
menjadi mengecil, namun tidak mengeksklusi disritmia.
2. Hasil EKG yang abnormal mengindikasikan adanya resiko hubungan antara
keadaan sinkope dengan penyakit kardiovaskular. Lihat kondisi yang dapat
menjadi predisposisi untuik terjadinya disritmia, contoh : sindroma Wolff-
Parkinson-White atau sindroma QT yang memanjang.
• Pemeriksaan optional, tergantung pada indeks kecurigaan, yang meliputi:
1. GDA untuk mengetahui hipoglikemi
2. HCG urin untuk kecurigaan kehamilan ektopik
3. CT scan kepala jika dicurigai ada keadaan patologis CNS
4. Elektrolit dan FBC tidak dilakukan secara rutin.

Stratifikasi Resiko
• Stratifikasi resiko akan mempermudah pemeriksaan obyektif untuk
tatalaksana dan penempatan pasien dengan sinkope.
Kategori Resiko Tinggi
• Infark Miokard akut, miokarditis, disritmia, block jantung tingkat 2 dan 3,
disfungsi pace maker, ventricular takikardi, sindroma QT memanjang, masalah OBG,
kehamilan ektopik, perhdarahan antepartum, perdarahan GIT yang hebat, emboli paru,
heat stroke, perdarahan subarachnoid.
• Yang harus dilakukan :
1. Pindahkan ke area critical care jika hal tersebut tidak dilakukan lebih awal
2. Resusitasi secepatnya
113

3. Pertimbangkan MRS pada intensive care


4. lakukan konsultasi pada spesialis/bagian yang terkait
Kategori Resiko Sedang
• Bukti klinis adanya obstruksi aliran keluar LV, seperti AS, suspek CVA
atau TIA, hipovolemi, perdarahan GIT ringan sampai moderately severe, menorrhagi,
GE yang parah, heat exhaustion, hipoglikemi, pasien dengan IHD, CCF atau SVT dan
sinkop yang diinduksi oleh obat.
• Yang Harus Dilakukan :
1. Stabilakn pasien
2. Pertimbangkan untuk meng-MRS-kan pasien
Kategori Resiko Rendah
• Sinkope vasovagal, heat sinkope, sinkope karena situasional (micturition
syncope, postprandial, tussive), sinkope psikogenik, gangguan ansietas dan panic,
hiperventilasi, hipotensi supine jangka pendek (setelah emeriksaan OBG) dan sinkope
lain yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (hasil normal).
• Yang Harus Dilakukan :
1. Eksklusi semua keadaan yang termasuk resiko tinggi dan sedang
2. Observasi selama 2 jam
3. KRS-kan pasien jika sadar, penuh perhatian, serta parameternya stabil.
4. Pada pasien dengan sinkope akibat vasovagal yang rekuren, pertimbangkan untuk
merujuk pada bagian kardiologi untuk tilt tabel test.

31. Trauma, Multipel

Penatalaksanaan Awal

Pendahuluan
Terapi untuk trauma yang serius membutuhkan pemeriksaan yang cepat, juga terapi awal
yang dapat menyelamatkan jiwa. Tindakan ini dikenal sebagai Initial assessment dan meliputi
:
• Persiapan
• Triage
• Primary survey (ABCDE)
• Resusitasi terhadap fungsi vital
• Riwayat kejadian
• Secondary survey (evaluasi dari kepala- ujung kaki)
• Monitoring post resusitasi yang berkelanjutan
• Reevaluasi
• Perawatan definitive
114

Catatan :
• Kedua pemeriksaan yaitu primary dan secondary survey harus diulang secara berkala
untuk memastikan tidak adanya proses deteriorasi.
• Pada bab ini tindakan yang dilakukan akan dipresentasikan secara longitudinal. Pada
setting klinik yang sebenarnya, banyak aktivitas ini terjadi secara simultan.
• Serangan jantung yang terjadi pre hospital bisaanya akan berakibat fatal apabila terjadi
lebih dari 5 menit.

Persiapan Di Rumah sakit


Rencana tambahan bagi pasien trauma sangatlah penting. Tiap rumah sakit harus memiliki
Protocol Trauma.

Triage
Merupakan kegiatan yang dilakukan pada setting prehospital, namun kadang-kadang dapat
dilakukan pada ED, jika :
• Fasilitas yang tidak mencukupi : pasien yang terlihat paling parah yang akan ditangani
lebih dulu.
• Jika fasilitas sangat mencukupi : pasien yang paling potensial untuk diselamatkan
yang akan ditangani lebih dulu.

Primary Survey (ABCDE) dan Resusitasi


Selama dilakukannya Primary Survey, kondisi yang mengancam jiwa harus diidentifikasi dan
ditangani secara simultan. Ingat bahwa tindakan lanjutan yang logis harus disesuaikan dengan
prioritas yang didasari oleh pemeriksaan pasien secara keseluruhan.
Catatan : Prioritas penanganan pasien pediatric dasarnya sama dengan penanganan pada
dewasa, walaupun kuantitas darah, cairan, dan obat-obatan mungkin berbeda. Lihat bab
Trauma, Paediatric.

Pemeriksaan Jalan Nafas dengan control Cervical Spine


• Pemeriksaan : Jalan nafas dan cari adanya :
1. Benda asing
2. Fraktur mandibula/facial
3. Fraktur trakeal/laryngeal
• Pemeriksaan singkat Untuk mencari Obstruksi jalan nafas
1. Stridor
2. Retraksi
3. Sianosis
• Manajemen : Pertahankan jalan nafas yang paten
1. Lakukan manuver ‘chin lift’ atau ‘jaw thrust’
2. bersihkan jalan nafas dari benda asing
3. Masukkan orofaringeal atau nasofaringeal airway
4. Pertahankan definitive airway
a. Intubasi orotracheal atau nasotrakeal
b. Needle cricothyrotomy dengan jet insufflation pada jalan nafas
c. Krikotirotomi dengan pembedahan

• Caveats
115

1. asumsikan bahwa trauma cervical spine merupakan trauma multisistem, terutama


dengan gangguan kesadaran atau trauma tumpul diatas clavicula.
2. Tidak adanya deficit neurologik bukan berarti kita dapat mengeksklusi trauma
pada servical spine.
3. jangan membuat pasien paralise sebelum memeriksa jalan nafas yang lebih dalam
dan sulit
4. Penyebab cardiac arrest/serangan jantung selama atau sesaat setelah intubasi
endotrakeal :
a. Oksigenasi yang inadekuat sebelum intubasi
b. Intubasi esophageal
c. Intubasi bronchial pada bagian mainstem atau cabang utamanya.
d. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan memperlambat venous
return.
e. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan tension pneumothorax.
f. Emboli udara
g. Respon vasovagal
h. Alkalosis respiratori yang berlebihan.

Bernafas (Ventilasi dan oksigenasi jalan nafas secara tunggal tidak akan mendukung ventilasi
yang adekuat).
• Pemeriksaan
1. periksa bagian leher dan dada : pastikan immobilisasi leher dan kepala.
2. Tentukan laju nafas dan dalamnya pernafasan.
3. Inspeksi dan palpasi leher dan dada untuk mencari deviasi trakeal, gerakan dada
yang unilateral atau bilateral, penggunaan otot aksesorius, dan adanya tanda-tanda
injury.
4. Auskultasi dada secara bilateral, basal dan apeknya.
5. Jika terdapat suara yang berbeda antara kedua sisi dada, maka perkusi dada untuk
mengetahui adanya ‘dullness’ atau ‘hiperresonan’ untuk menentukan adanya
hemotorak atau pneumothorax secara berturut-turut:
a. Tension pneumothorax
b. Flail chest dengan kontusio pulmonal Dapat mengganggu
c. Pneumothorax terbuka pernafasan secara akut
d. Hemothorax massive

• Manajemen
1. Pasang pulse oksimetri pada pasien
2. Berikan oksigen konsentrasi tinggi
Catatan : FiO2 > 0,85 tidak dapat dicapai dengan nasal prongs atau dengan face mask yang
simple. Non-rebreather mask dengan reservoir diperlukan untuk mencapai FiO2 100%.
3. Ventilasi dengan bag-valve mask
4. Ringankan keadaan tension pneumothorax dengan memasukkan jarum ukuran
besar secara cepat kedalam ICS 2 pada midklavikular line dari sisi paru yang
terkena, kemudian diikuti dengan pemasangan chest tube pada ICS 5 anterior dari
mid aksilari line.
5. Tutup penumothorax yang terbuka dengan pelekat kassa steril, cukup besar untuk
menutupi tepi luka, dan lekatkan pada tiga sisi untuk menciptakan efek flutter-
valve. Kemudian masukkan chest tube pada sisi sisanya.
6. pasang peralatan monitoring end tidal CO2 (jika tersedia) pada endotrakeal tube.
116

Caveats
1. Membedakan gangguan pernafasan dengan airway compromised mungkin akan sulit,
karena jika gangguan pernafasan yang terjadi akibat pneumothorak atau tension
pneumothorax namun disalahartikan sebagai suatu masalah jalan nafas sehingga jika
pasien diintubasi, keadaan pasien akan semakin memburuk.
2. Intubasi dan ventilasi dapat menyebabkan terjadinya pneumothoraks; sehingga CXR
harus dilakukan segera setelah intubasi dan ventilasi.
3. jangan paksa pasien untuk berbaring pada trolley terutama bila pasien lebih nyaman
untuk bernafas pada posisi duduk.

Sirkulasi dengan Kontrol perdarahan


• Hipotensi setelah terjadi injury harus dipertimbangkan sebagai akibat
hipovolemik sampai terbukti tidak. Identifikasi sumber perdarahannya.
• Pemeriksaan cepat dan akurat terhadap status hemodinamik sangat penting.
Elemen yang penting a.l:
1. Tingkat kesadaran : Penurunan tekanan perfusi serebral dapat terjadi akibat
hipovolemi.
2. Warna kulit : kulit kemerahan : jarang menandakan hipovolemia. wajah keabu-
abuan/kelabu, kulit ektremitas putih menunjukkan hipovolemi; bisaanya
mengindikasikan kehilangan volume darah setidaknya 30%.
3. Nadi
4. BP jika waktu mengijinkan
a. jika nadi pada radialis teraba, BP >80mmHg
b. Jika hanya ada di Carotid BP > 60 mmHg.
c. Periksa kualitas nadi; penuh dan cepat
d. Nadi irregular menandakan kemungkinan cardiac impairment
• Manajemen
1. tekan langsung daerah perdarahan eksternal
2. pasang jalur IV dengan ukuran 14G atau 16G
3. Darah untuk : GXM 4-6 unit darah, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi
dan BGA jika diperlukan
Catatan : Jika darah gol. O negatif tidak tersedia, gunakan tipe darah yang spesifik
4. berikan terapi cairan IV dengan kristaloid hangat (NS atau Hartmann’s) dan
transfuse darah.
5. pasang monitor EKG :
a. Disrritmia, pertimbangkan tamponade jantung
b. Pulseless electrical activity : pertimbangkan tamponade jantung, tension
pneumothorax, hipovolemia
c. Bradikardi, konduksi abberant, ventricular ektopik,: pertimbangkan
hipoksia, hipoperfusi
6. Pasang kateter urin dan NGT kecuali ada kontraindikasi.
Catatan : output urin adalah indicator sensitive untuk mengetahui status volume
tubuh. Kateter urin merupakan kontra indikasi jika ada kecurigaan injury pada
urethra, misal:
a. darah pada meatus uretra
b. Henatom skrotum
c. Prostate tidak bisa dipalpasi
117

Gastric tube diindikasikan untuk mengurangi distensi lambung dan


menurunkan resiko aspirasi. Darah pada cairan aspirasi lambung mungkin
berarti :
a. darah orofaring yang tertelan
b. akibat tauma pemasangan NGT
c. injury pada GIT bagian atas
Jika ada epistaksis atau serebrospinal fluid rhinorrhea yang mengindikasikan
adanya fraktur cribriform plate, pasang NGT per oral daripada melalui nasal.
7. cegah hipotermi

• Caveats:
1. hipotensi persisten pada pasien trauma bisaanya terjadi karena hipovolemi akibat
perdarahan yang terus-menerus.
2. pada lansia, anak-anak, atlet, dan pasien lain dengan kondisi medis kronik, tidak
adanya respon terhadap hilangnya volume merupakan keadaan yang bisa terjadi.
Lansia mungkin tidak menunjukkan takikardi saat kehilangan darah, lebih parah lagi
pada pasien pengguna beta blocker. Pasien anak yang resah akan sering menunjukkan
tanda hipovolemi yang parah.
3. coba jangan memasukkan emergency suclavian line pada sisi yang sehat dari pasien
trauma dada. Jalur IV femoral dapat digunakan. Jika central line digunakan untuk
resusitasi harus digunakan jarum ukuran besar (>8Fr)

Disabilitas (Evaluasi Neurologik)


Cek tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
• Metode AVPUP
A Alert
V respon terhadap rangsang Vokal
P respon terhadap rangsang Pain
U Unresponsif
P ukuran dan reaksi Pupil

Catatan : GCS lebihdetil namun termasuk pada secondary survey; kecuali jika akan
melakukan intubasi maka pemeriksaan GCS harus dilakukan lebih dulu.
1. tentukan tingkat kesadaran dengan metode AVPUP
2. Periksa pupil untuk ukurannya, equalitas dan reaksinya.
Caveats
Jangan anggap AMS hanya terjadi akibat trauma kepala saja, pertimbangkan :
1. Hipoksia
2. Syok
3. intoksikasi alcohol/obat
4. hipoglikemi
5. sebaliknya jangan anggap AMS terjadi akibat intoksikasi alkohol atau obat, dokter
harus dapat mengeksklusi adanya cedera kepala.

Kontrol terhadap paparan/lingkungan


Lepas semua pakain pasien, cegah hipotermi dengan memakaikan selimut dan atau cairan IV
yang hangat, berikan cahaya hangat.
• Monitoring nadi, BP, pulse oksimetri, EKG, dan output urin terus-menerus.
• Lakukan X ray
1. Lateral cervical spine
118

2. Dada AP
3. Pelvis AP
Secodary Survey
• Evaluasi keseluruhan termasuk tanda vital, BP, nadi, respirasi dan
temperature
• Dilakukan setelah primary survey, resusitasi, dan pemeriksaan ABC.
• Dapat disingkat menjadi ‘tubes and fingers in every orifice’
• Dimulai dengan anamnesa AMPLE :
A Alergi
M Medikasi yang dikonsumsi baru-baru ini
P Past illness (RPD)
L Last meal (makan terakhir)
E Event/environment yang terkait injury

Kepala dan Wajah


• Pemeriksaan
1. inspeksi adanya laserasi, kontusio dan trauma panas
2. Palpasi adanya fraktur
3. Evaluasi ulang pupil
4. Fungsi nervus cranial
5. Mata : perdarahan, penetrating injury, dislokasi lensapemakaian contact lenses
6. Inspeksi telinga dan hidung untuk mencari CSF leakage
7. Inspeksi mulut untuk mencari perdarahan dan CSF
• Manajeman
1. Pertahankan airway
2. Kontrol perdarahan
3. Hindari brain injury sekunder
4. Lepaskan contact lenses

Leher
• Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, deviasi trakea, penggunaan otot pernafasan
tambahan
2. Palpasi : nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutaneus, deviasi
trakea
3. Auskultasi : periksa ‘bruit’ pada arteri karotis
4. X ray lateral, cross-tabel cervical spine

• Manajemen
Pertahankan immobilisasi cervical spine in-line yang adekuat

Dada
• Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dan tajam, penggunaan otot pernafasan tambahan,
penyimpangan pernafasan bilateral.
119

2. Auskultasi : nafas dan suara jantung


3. Perkusi : ‘dull’ atau resonan
4. Palpasi : trauma tumpul dan tajam, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
• Manajemen
1. Pasang chest tube
2. dekompresi menggunakan jarum venule 14G pada ICS 2
3. tutup luka pada dada dengan benar
4. Lakukan CXR

Catatan : tidak direkomendasikan untuk melakukan Perikardiocentesis. Torakotomi pada


Emergency Room lebih diperlukan pada pasien tamponade jantung. Rata-rata keberhasilan
pasien dengan luka penetrasi pada dada abdomen, serta pada pasien yang baru mengalami
serangan jantung, juga pada pasien dengan trauma tumpul. Sehingga prosedur ini secara
umum tidak diindikasikan pada trauma tumpul.

Abdomen
• Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dantajam
2. Auskultasi : Bising usus
3. Perkusi : nyeri tekan
4. Palpasi
5. X ray Pelvis
• Manajemen
1. Pemeriksaan klinis pada trauma multiple bisaanya sering menghasilkan
pemeriksaan abdomen yang kurang terperinci. Sehingga diindikasikan
pemeriksaan FAST (Focuses Assessment using Sonography in Trauma), CT scan
abdomen atau peritoneal lavage. Lihat Bab Trauma, abdominal.
2. Pindahkan pasien ke ruang operasi, jika diperlukan.

Pemeriksaan Perineal dan Rektum


• Evaluasi
1. Tonus sphincter ani
2. Darah pada rectal
3. Integritas dinding usus
4. Posisi prostate
5. Darah pada meatus urinary
6. Hematoma scrotum
• Pemeriksaan Perineal
1. kontusio, hematom
2. Laserasi
• Pemeriksaan Vagina
1. adanya perdarahan pada vaginma
2. Laserasi vagina
• Pemeriksaan Rektum
1. Perdarahan rectum
2. Tonus sphincter ani
3. integritas dinding usus
4. bony fragments
5. Posisi prostate
120

Punggung
• Logroll pasien untuk mengevaluasi :
1. Deformitas tulang
2. adanya trauma tajam atau tumpul

Ekstremitas
• Pemeriksaan
1. inspeksi : deformitas, perdarahan yang meluas
2. Palpasi : nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal
• Manajemen
1. Splinting fraktur yang tepat
2. hilangkan nyeri
3. Imunisasi tetanus

Neurologik
• Pemeriksaan : reevaluasi pupil dan tingkat kesadaran, skor GCS
1. Evaluasi Sensorimotor
2. Paralise
3. Parese
• Manajemen
Imobilisasi pasien secara adekuat

Perawatan Definitif/Pemindahan
• Jika trauma pada pasien membutuhkan penanganan yang lengkap, pindahkan pasien
secepatnya.

32. Retensi Urin Akut

Jp Travers • Peter Manning • Shirley Ooi

CAVEATS
• Beberapa penyebab umum dari retensi urin di kasus-kasus pria dewasa, termasuk
1. Hipertropi prostat jinak (BPH)
2. Konstipasi dengan faeces keras
3. Penyempitan uretra/kontraktur kandung kemih
4. Obat-obatan: (a) antispasmodis agents; (b) tricyclic antidepressants; (c)
antihistamines; (d) anticholinergic agents; (e) alpha-adrenergic stimulators, misalnya
“cold” tablet, ephedrine derivates
5. Masalah pada spinal cord
6. Carcinoma prostat
7. Prostatitis

Catatan: pada wanita, keluarkan kehamilan/massa pelvis sebagai penyebab dari retensi urin!
121

• Pada saat melakukan kateterisasi terhadap pria yang diduga menderita BPH, mulailah
Foley Kateter dengan ukuran 14. Bila pembukaan melalui leher kandung kemih tidak bisa
diterima, ulangi proses yang sama dengan ukuran Foley kateter yang lebih besar, bukan
yang lebih kecil, misalnya 16F. Tambahan rigiditas seringkali mempermudah pembukaan
tidak seperti ukuran yang lebih kecil,
• Pasien dengan recurrent urethral strictures seharusnya dilakukan pendekatan
menggunakan kateter kecil.
• Pasien dengan prostatitis (demam, menggigil, nyeri kelenjar prostat pada colok dubur)
lebih baik dilakukan kateter supra pubic terlebih dahulu.
• Jangan pernah memaksakan jalan untuk urin kateter. Bila tidak bisa dikateterisasi segera
cari pertolongan dari spesialis urologi atau pertimbangkan melakukan kateterisasi supra
pubic, hanya bila sudah berpengalaman.
• Obstruksi urin dengan demam merupakan emergensi urologi dan perintahkan pasien untuk
masuk rumah sakit. Pada situasi ini, urinalisis mungkin tidak bisa dipercaya dan ’miss’
pyuria.

Petunjuk khusus bagi dokter umum


• Riwayat onbstruksi urin dan demam merupakan emergensi urologi dan harus segera
dirujuk ke rumah sakit terdekat atau IRD. Selalu lakukan penilaian tanda vital pada
kasus-kasus ini.
• Pada kasus retensi utin kronis (tanpa nyeri), jangan menempatkan kateter urin tanpa
pemasangan infus sebelumnya sebagaimana diuresis bisa memicu hypovolemi dan
shock.

Obstruksi Akut
• Ukur tanda vital penting dilakukan karena obstruksi urologi dengan demam merupakan
suatu emergensi.
• Labs: DL, ureum/kreatinin/elektrolit, urinalisis untuk mencari sel darah putih dan atau
nitrat positif.
• Untuk mengurangi nyeri biarkan 5 – 10 menit gel anastesi lokal beraksi dan pasien
beradaptasi atau rileks kemudian masukkan kateter urin dengan teknik steril. Drain urin
500 – 750 ml secara terbagi untuk mengurangi kemungkinan spasme kandung kemih,
yang mana, kadang-kadang mengikuti dekompresi kandung kemih. Biarkan 15 – 20
menit diantara masing-masing bagian. Nyeri akan dikurangi oleh pengambilan bagian
yang pertama.
• Disposisi: bisa dikeluarkan dengan kateter terpasang, untuk follow up awal di klinik
urologi bila tidak ada hematoria pyuria atau demam sementara masih di IRD. Bila terjadi
sebaliknya maka masukkan ke urologi.

Obstruksi kronis dengan overflow


• Ukur tanda vital: cari tanda-tanda demam
• Pasang infus untuk pencegahan/berjaga-jaga
• Infus kristaloid dengan tetsan maintenance
• Labs: ureum/kreatinin/elektrolit, urinalisis
• Komplikasi potensial setelah menghilangkan obstruksi
1. Diuresis postobstruksi : pada obstruksi kronis, terdapat kemungkinan tekanan aliran
balik yang kronis pada sistem tubulus ginjal oleh karena hydronephrosis dengan gagal
ginjal kronis yang mengikutinya. Lebih lanjut, pelepasan tekanan dengan cara
122

kateterisasi urin bisa mengakibatkan diuresis hebat dengan dehidrasi dan instabilitas
hemodinamic (the old postcatheterization shock)
2. Hipotensi karena respon vasovagal atao pengurangan kongesti vena pelvic.
3. Haemorrhagea ex vacuo jarang terjadi, oleh karena gangguan mukosa setelah
pengilangan sumbatan dan biasanya membaik secara spontan.
• Disposisi : observasi di IRD selam 1-2 jam untuk diuresis, Bila Diuresis tidak terjadi dan
tidak ada demam, hematuria atau pyuria, pasien bisa dikeluarkan dengan kateter terpasang
dengan membuat janji follow up di klinik Urologi.

33. PASIEN AGRESIF / PERCOBAAN BUNUH DIRI

Pasien agresif menunjukkan keberadaannya dengan sangat jelas, sementara percobaan bunuh
diri bisa jadi hanya berupa kecurigaan terhadap sekelompok tampilan klinis. Yang umumnya
penting adalah kasus kecelakaan dengan kendaraan tunggal, pengemudi tunggal, ingesti tanpa
disengaja, perilaku berisiko dan pasien dengan alasan datang yang tidak jelas, seperti keluhan
somatik yang samara seperti sakit kepala persisten atau kelemahan kronis.

PERHATIAN
• Peran utama seorang dokter emergensi adalah untuk membedakan, bila mungkin,
penyebab organik dan anorganik dari psikosis.
• Jangan pernah tinggalkan pasien sendiri: gunakan bantuan setidaknya 5 petugas
keamanan berseragam untuk mendukung anda sebagai unjuk kekuatan bila memang
123

diperlukan. Jika pasien seorang wanita, setidaknya satu petugas wanita harus hadir setiap
saat.
• Ingatlah perlindungan diri sendiri: selalu ada potensi pasien dengan percobaan bunuh
diri untuk menjadi agresif.

) Tips Khusus untuk Dokter Umum


• Jika anda mengevaluasi pasien ini di kantor anda, jangan biarkan diri anda
terjebak dengan berada di antara pasien dan pintu.
• Beritahu petugas berseragam berdasarkan kebiasaan lokal pada petunjuk
pertama agresivitas; anda mungkin memerlukan bantuan mereka lebih dini
dari perkiraan anda.
• Pasien anda mungkin dapat tertangani dengan dosis oral obat-obatan
berikut, yang harus tersedia di kantor anda. Obat tersebut dapat diberikan
dengan dosis yang lebih besar dibanding pemberian parenteral (yaitu 20 mg
Valium® atau Haldol® PO) dan lebih tidak menakutkan untuk pasien daripada
injeksi.

TATA LAKSANA
• Penanganan Suportif
1. Pasien sebaiknya ditangani di area intermediate atau pelayanan kritis di UGD,
tergantung pada keadaan umum pasien. Observasi pasien secara kontinu dapat
dioptimalkan dengan cara ini.
2. Perhatikan ABC, hipoksia dapat menjadi penyebab perilaku gaduh gelisah.
3. Ukur tanda vital secara lengkap bila pasien mengijinkan: abnormalitas dapat
menunjukkan adanya penyebab organik yang mendasari, penyebab infeksius ataupun
toksikologis dari perilaku pasien.
4. Awasi: EKG, tanda vital setiap 30-60 menit, pulse oximetry, jika pasien
mengijinkan.
5. Mulai pemeriksaan gula darah acak dan elektrolit serum bila pasien
mengijinkan.
6. Tata laksana standar dan segera terhadap keadaan ingesti atau trauma harus
dilakukan.
7. Pertimbangkan penggunaan ikatan/bebat: pertimbangan penggunaan
ikatan/bebat fisik untuk mencegah pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain
sebaiknya selalu muncul dalam benak dokter jaga.
8. Upayakan untuk mengambil hati pasien: perhatikan privasi pasien (tarik tirai
untuk menutupi sebagian bilik), kenyamanan pasien dan pendekatan penuh empati
yang tidak menghakimi dapat menghasilkan kerjasama dan meningkatkan kemampuan
tim untuk memperoleh informasi yang akurat, mengevaluasi intervensi yang sesuai.
9. Evaluasi penilaian resiko pasien bunuh diri dengan menggunakan modifikasi
skala Sad Person’s (tabel 1).
• Terapi medikamentosa: jika pasien agresif, pertimbangkan penggunaan obat
antipsikosis ataupun penenang, baik tunggal, ataupun lebih baik lagi dalam bentuk
kombinasi.
Dosis: haloperidol 5-10 mg IV, dapat diulang 15 menit kemudian
diazepam 5-10 mg IV, dapat diulang 15 menit kemudian
• Alternatif lain yang dapat membantu adalah pemberian secara oral karena pasien
psikotik seringkali lebih agresif bila berhadapan dengan jarum suntik.
Dosis: haloperidol 20 mg PO (bentuk konsentrat)
diazepam 20 mg PO
124

• Disposisi: buat konsultasi dini dengan bagian Psikiatri, lebih baik sebelum sedasi
walaupun hal ini tidak selalu memungkinkan berkaitan dengan sifat tampilan klinis
pasien.

Tabel 1: Modifikasi skala Sad Person’s


Faktor Deksripsi
S Sex Laki-laki
A Age <19 atau >45 tahun
D Depression or hopelessness Mengakui mengalami depresi atau
gangguan konsentrasi, nafsu makan, tidur,
libido
P Previous attempts or psychiatric Pelayanan psikiatrik sebelumnya, rawat
care inap atau rawat jalan
E Excessive alcohol or drug use Stigmata adiksi kronis atau tanda
penggunaan baru
R Rational thinking loss Sindroma otak organik atau psikosis
S Separated, divorced or widowed Terpisah, bercerai atau menjanda
O Organized or serious attempt Rencana bunuh diri yang terpola dengan
baik atau tampilan klinis yang
mengancam nyawa
N No social support Tanpa kerabat dekat, teman, pekerjaan
atau perkumpulan rohani yang diikuti
secara aktif
S Stated future intent Bertekad untuk mengulangi percobaan
bunuh diri atau sikap ambivalen

34. Acid Base Emergencys ( Kedaruratan Asam Basa )

Caveats
• Gejala dan tanda kedaruratan asam basa bisaanya sangat bervariasi dan kurang
jelas/samar-samar.
• Peran dokter EM adalah untuk mengenali adanya gangguan asam basa, mendiagnosa
penyebab yang mungkin dan menangani pasien dalam optimalisasi resusitasi.
• Selalu pertimbangkan gangguan asam basa/elektrolit pada pasien AMS
• Level PaO2 100mmHg pada pasien yang menerima supplemental oksigen mungkin
tidak normal. Selalu kalkulasikan gradient oksigen alveolar-arterial (A-a gradient).
125

Tips Khusus Untuk Dokter Umum


• Hiperventilasi merupakan diagnosa eksklusi pasien takipneu. Selalu eksklusi
metabolic asidosis yang menjadi underlying, dengan pernafasan kussmaul,
emboli paru dan asma berat. Lihat bab Hyperventilation.
• Pemeriksaan dengan paper bag rebreathing pada hiperventilasi secara rutin akan
berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia yang signifikan dimana juga
terjadi peningkatan PCO2 yang ringan.

Diagnosa Gangguan Asam Basa


Formula penting
• Persamaan Henderson-Hasselbalch (H-H)
pH = 6,1 + log [HCO3-] (dalam mmol/L) (dimana 6,1 = pKA)
0,03xPaCO2 (dalam mmHg)
1. Pengukuran kadar CO2 Venous Total
Total CO2 = [HCO3-] + CO2 terlarut
= [HCO3-] + 0,03 x PaCO2 (dalam mmHg)
= [HCO3-] + 1,2 (jika PCO2 = 40 mmHg)
2. Karena itulah CO2 venous dapat digunakan untuk memperkirakan kadar
bikarbonat serum. Ingat bahwa hasil yang didapatkan akan lebih tinggi 1 mmHg
dibanding dengan kadar bikarbonat yang sebenarnya.
• Anion gap (AG) : [Na+]-[HCO3-]-[Cl-]
1. Normal = 3-11 mmol/L. perubahan teknik pengukuran elektrolit yang baru telah
memberikan hasil kisaran harga normal AG yang lebih rendah, dan
kevaliditasannya telah dibuktikan melalui penelitian.
2. Peningkatan AG menyokong adanya high anion gap metabolic asidosis
(HAGMA).
3. Jika AG sangat rendah, pertimbangkan :L
a. Hipoalbunemia
b. AG turun 2,5mmol/L untuk setiap 1 g/dL penurunan albumin
c. Paraproteinemi
d. Hiponatremi
e. Hipermagnesemi
f. Hiperkloremia palsu
g. Kesalahan lab

Langkah-langkah untuk mendeteksi gangguan asam basa


• Cari abnormalitas pH, [HCO3-], PCO2, dan AG
1. Ketidaknormalan pada salah satu dari 3 variabel persamaan H-H berarti terkait
dengan gangguan asam basa tanpa kecuali.
2. Peningkatan AG merupakan penanda HAGMA, walaupun harga pH atau [HCO3-]
normal.
• Periksa konsistensi internal dari hasil yang didapatkan dengan
menggunakan persamaan H-H jika diperlukan.
• Identifikasi abnormalitas sekunder dimulai dari pH.
1. pH < 7,35 dan [HCO3-] < 20 mmol/L Asidosis metabolic
2. pH < 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg Asidosis respiratori
-
3. pH > 7,45 dan [HCO3 ] > 24 mmol/L Alkalosis metabolic
4. pH > 7,45 dan PCO2 < 35 mmHg Alkalosis respiratori
126

• Identifikasi abnormalitas sekunder dengan memeriksa adekuat atau


tidaknya kompensasi.
1. Asidosis metabolic : Expected (yg diharapkan) PCO2 = (1,5 x [HCO3-]) + 8 mmHg
(± 2)
a. Jika PCO2 yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga ada
alkalosis respiratori.
b. Jika PCO2 yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga ada
asidosis respiratori.
c. Untuk HAGMA, cari adanya kelebihan atau kekurangan anion dengan
memperhitungkan excess anion gap.
(1) Excess anion gap, ΔAG = AG -11
(2) Masukkan ΔAG untuk mengukur [HCO3-]
(3) Jika total = normal [HCO3-], simple HAGMA
(4) Jika total > normal [HCO3-], ion HCO3- berlebihan, concurrent
alkalosis metabolik
(5) Jika total < normal [HCO3-], ion HCO3-kurang, Concurrent
NAGMA
2. Alkalosis Metabolik : Expected PCO2 = (0,6 x [HCO3- - 24]) + 40 mmHg
a. Jika PCO2 yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga ada
concurrent alkalosis respiratori.
b. Jika PCO2 yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga ada
concurrent asidosis respiratori.
3. Asidosis atau alkalosis respiratori
a. Akut
(1) Perubahan [HCO3-]1 sampai 2 mmol/L untuk setiap perubahan 10
mmHg PCO2
(2) Perubahan pH 0,08 untuk setiap perubahan 10 mmHg PCO2.
b. Kronik
(1) Perubahan [HCO3-]4 sampai 5 mmol/L untuk setiap perubahan 10
mmHg PCO2
(2) Perubahan pH 0,03 untuk setiap perubahan 10 mmHg PCO2.
c. Jika [HCO3-] yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga
ada concurrent asidosis metabolic.
d. Jika [HCO3-] yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga
ada concurrent alkalosis metabolic.
• Jika pH normal, periksa gangguan keseimbangan asam basa.
1. [HCO3-] < 20 PCO2 < 35 Asidosis metabolic +
Alkalosis respiratori
2. [HCO3-] >24 PCO2 > 45 Alkalosis metabolic +
Asidosis Respiratori
3. [HCO3-], PCO2 normal AG > 11 HAGMA + Alkalosis metabolic
-
4. [HCO3 ], PCO2 normal AG normal Normal (tidak seperti HAGMA +
Alkalosis metabolic)
‘Three Rules” atau 3 Peraturan at 3 am
• Rule 1 :
o arah perubahan pH merupakan merupakan abnormalitas yang primer.
o Mekanisme kompensasi tidak “overcompensate” atau bahkan mengembalikan
keadaan menjadi normal.
• Rule 2 :
127

o Adanya anion gap yang sangat tinggi (> 20) menyokong adanya HAGMA
bahkan bila pHnya atau [HCO3-] normal.
o Tubuh tidak menghasilkan peningkatan anion gap untuk mengkompensasi
alkalosis yang terjadi.
• Rule 3 :
o Jumlah excess anion gap pada HAGMA dan hasil [HCO3-] harus equal dengan
[HCO3-] normal.
o Jika terdapat kelebihan [HCO3-], maka terdapat concurrent alkalosis metabolic.
o Dan jika [HCO3-] terlalu sedikit, maka terdapat concurrent NAGMA.

Interpretasi sisa Hasil BGA


• Oxygen Delivery dan Oksigenasi
1. penting untuk mencatat jumlah supplementasi oksigen yang diberikan pada pasien
untuk menginterpretasi hasil dengan tepat.
2. FiO2 delivery dapat diestimasi :
a. Nasal prong (2-4L/menit) 21% + 4 % untuk setiap liter per menit.
b. Standart mask (6-8 L/menit) : FiO2 50-60%
c. Reservoir mask (non-rebreather mask) : 80-85%
3. Oxygen delivered dengan aliran yang lambat misalnya dengan menggunakan
kanul intra nasal dipengaruhi oleh udara atmosfer, sehingga FiO2 delivered dapat
inkosisten dan tidak akurat.
4. Idealnya, supplemental oxygen harus diberikan dengan system yang tetap seperti
Venturi mask, yang memungkinkan setting FiO2 yang akurat.
• Alveolar-arterial oxygen gradient (A-a gradient) merupakan alat yang bermanfaat
untuk mengevaluasi oksigenasi pasien.
1. P (A-a) O2 = PAO2 –PaO2 (mmHg)
= [(760-47) x FiO2 – PaCO2/0,8] –PaO2
Dimana FiO2 dalam decimal.
2. Normal = 10 sampai 20 mmHg. Kadar > 50 mmHg menandakan disfungsi
pulmonal hebat.
3. A-a gradient meningkat sesuai usia pasien dan FiO2.
a. tambahkan 3,5mmHg untuk setiap decade usia, gunakan rumus
[ Normal = Usia + 4 ]
4
b. Tambahkan 5-7 mmHg untuk setiap peningkatan 0,1 FiO2.
c. Catat bahwa tidak ada koreksi untuk perokok
4. Penyebab peningkatan A-a gradient meliputi V / Q mismatch, shunt dari kiri ke
kanan, abnormalitas difusi.
5. namun, literature masih belum jelas mengenai interpretasi A-a gradient yang
normal pada psien yang dicurigai PE.
6. Alat lain untuk estimasi oksigenasi adalah PaO2 / FiO2 ratio.
a. Normal = 500-600
b. Kadar < 300 menunjukkan adanya ARDS pada pasien dengan infiltrate
alveolar pada kuadran paru 3 atau4 serta tekanan kapiler pulmonal yang
normal.
• Pengaturan Kerja untuk kasus asam basa
1. Pindahkan pasien pada area pengawasan jika diperlukan.
2. Resusitasi jika diperlukan.
3. Review pasien untuk efek klinik dan penyebabnya
a. Anamnesa dan pemeriksaanklinis
128

b. BGA dan elektrolit

Asidosis Metabolik
• Definisi : pH < 7,35 dan [HCO3-] < 20 mmol/L
1. HAGMA : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap > 11 mmol/L
2. NAGMA (asidosis metabolic hiperkloremik) : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion
gap < 11 mmol/L
• Penyebab : Penyebab HAGMA dapat diringkas dengan SULK atau
CATMUDPILES (tabel 1). Sedangkan penyebab NAGMA dapat diringkas dengan
USEDCARP (tabel 2).
• Terapi asidosis metabolic : ditujukan untuk mengatasi keadaan yang
mendasari :
1. KAD (hidrasi dan terapi insulin)
2. Syok (hidrasi, inotropik, terapi sepsis)
3. Gagal ginjal (dialysis)
4. penelanan methanol/etilenglikol (etanol)
• Terapi bikarbonat: controversial
1. efek samping potensial meliputi gangguan elektrolit (cth : hipokalemia, hipokalsemia,)
asidosis intraserebral dan intraselular paradoksikal, post treatmen alkalosis, overload
cairan, hipernatremi/hiperosmolaritas. Lebih jauh lagi terapi bikarbonat tidak
menunjukkan perbaikan hasil.
2. keuntungan yang mungkin didapatkan perbaikan kontraktilitas miokard, respon
terhadap katekolamin dan status hemodinamik.
3. Patofisiologinya terapi bikarbonat mungkin lebih bermanfaat pada kasus NAGMA
daripada HAGMA. Karena pada NAGMA membutuhkan waktu beberapa hari untuk
penyembuhan ginjal maka ion bikarbonat akan bermakna. Sedang pada HAGMA,
terapi terhadap penyebab dasar menyebabkan perubahan excess anion menjadi
bikarbonat.
4. Pasien harus mampu untuk memventilasikan peningkatan CO2 sebelum terapi
bikarbonat diberikan.
5. Rekomendasi terbaru tidak menyarankan terapi bikarbonat secara rutin, kecuali pH <
7,1 dan pasien dalam keadaan compromised hemodinamik.
a. target yang disarankan termasuk pH > 7,1, [HCO3-] > 5 mmol/L
b. Titrasi 50 sampai 100 ml NaHCO3 8,4 % (dengan aliran infus yang lambat
dalam D5%) dan periksa ulang 30 menit setelah selesai.
Catatan : tidak ada rumus yang sempurna untuk menghitung jumlah
bikarbonat yang diperlukan untuk mengkoreksi pH karena status asam basa
mengalami perubahan secara konstan seiring dengan progresivitas penyakit
dan terapi.
c. Rumus yang digunakan :
HCO3- (mmol) yang diperlukan = 0,5 x berat badan (kg) x [target - hasil
pengukuran HCO3-] (mmol)

Tabel 1 : Penyebab High anion gap Metabolic Asidosis


S Salisilat, toksin eksogenus C cyanide, CO
(mtformin, matanol, toluene, A Alkoholik ketoasidosis
etilenglikol, besi, paraldehyde) T Toluene
U Uremia M Metanol, metaemoglobin
L Laktic asidosis (cth : segala U Uremia
penyebab syok, hipoksia, metformin, D Diabetik ketoasidosis
129

phenformin, sianoda, keracunan CO, P Paraldehyde


INH, besi) I INH/besi (melalui asidosis laktik)
K Ketoasidosis (diabetic alkoholik, L Laktic asidosis (cth : semua penyebab syok,
kelaparan) hipoksia, metformin, phenformin, keracunan
sianida)
E ethyleneglicol (BUKAN etanol)
S salisilat, solvent

Tabel 2 : Penyebab Normal Anion Gap Metabolic Asidosis


Tipe hiperkalemik Renal U Ureterosigmoidostomi
Renal tubular asidosis (tipe IV) S Small bowel fistule
Potassium sparing diuretic E Extra Chloride
Hipoaldosteronisme/penyakit Addison D Diare
Obstruktif uropathy dini C Carbonic anhydrase inhibitor
Asidosis uremik dini A Adrenal Insufficiency
Perubahan KAD R Renal tubular acidosis
Asupan Cl- eksogen P Pankreatik fistula
Asam Hidroklorik (HCl)
Ammonium klorida (NH4Cl)
Lysine-HCl, arginine-HCl
Tipe Hipokalemik Gastrointestinal
Diare (kehilangan HCO3- >
kehilangan Cl-)
Diversi urinary ke usus (cth :
ureterosigmoidostomi)
Fistula akibat pembedahan, drain
Renal
Renal Tubular Asidosis (tipe I, II)
Acetazolamide (RTA fungsional)
Dilution Acidosis Infus NaCl berlebihan akan
mendilusikan HCO3- plasma

Asidosis Respiratori
• Definisi : pH < 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg
• Penyebab : asidosis respiratori terjadi ketika ekshalasi CO2 berkurang . lihat tabel 3
untuk mengetahui penyebabnya.

Tabel 3 : Penyebab Asidosis Respiratori


Penyebab Sntral terhadap usaha respirasi Obat-obatan (sedasi, opiate)
Trauma kepala
Lesi CNS
Alkalosis Metabolik
Hilangnya kendali hipoksik pada gagal nafas
tipe II kronik yang diterapi dengan
Obstruksi Jalan Nafas oksigen
Asma
Abnormalitas thoracic cage COLD
Kiposkoliosis
Obesitas yang morbid
130

Abnormalitas neurologik/neuromuskular Trauma dada


Miastenia gravis
GBS
Injury cervical / high thoracic spine
• Terapi asidosis respiratori ditujukan untuk mengatasi penyebabnya:
1. terapi suportif ventilasi mungkin diperlukan. Pilihannya meliputi intubasi atau
non-invasive positive pressure ventilation (NIPPV).
2. Terapi bikarbonat biasanya tidak diperlukan.
3. supplemental oksigen untuk pasien gagal nafas tipe II harus dilakukan dengan
fixed system untuk memastikan titrasi yang akurat dan mencegah supresi hypoxic
drive.

Alkalosis metabolic
• Definisi : pH > 7,45 dan [HCO3-] > 25 mmol/L
• Penyebab : kelebihan bikarbonat menyebabkan alkalosis metabolic yang
bisaanya dikeluarkan oleh ginjal. Alkalosis metabolic timbul bila penyebab akut terus
berlangsung, atau mekanisme kompensasi renal terganggu terus menerus tabel 4).

Tabel 4 : Penyebab Alkalosis Metabolik


Penyebab akut ( mekanisme awal dari alkalosis metabolic)
Peningkatan Intake HCO3- • Penyalahgunaan antacid
• Intake NaHCO3 yang berlebihan
• Transfusi darah Massive (karena pecahnya sitrat)
Hilangnya Asam • Vomiting yang hebat (cth : hiperemesis
gravidarum, bulimia), suction nasogastric,
obstruksi gastric outlet
• Diare hebat (cth : GE, penyalahgunaan laksatif)
ketika hilangnya HCO3- < hilangnya Cl, edema
villi, penyebab yang jarang seperti diare kloride
• Renal losses, seperti diuresis loop dan distal.
Acid shifts
• Hipokalemia
Mekanisme Asidosis Metabolik
Hipovolemi • Contraction alkalosis (karena berkurangnya
distribusi volume bikarbonat dan hilangnya H+
renal paradoksikal
Hipokloremi (respon thd salin) • Penyebab hilangnya HCl akut (seperti diatas).
• Penyebab deplesi Cl-, seperti aklorhidria dan
fibrosis kistik.
Hipokalemi (tidak respon thd • Peningkatan aktivitas mineralokortikoid, seperti
salin) hiperaldosteronism, penyakit cushing, liquorice
abuse, liddle’s syndrome.
• Hilangnya potassium renal, seperti penggunaan
atau penyalahgunaan diuretic, penyakit congenital
yang jarang (Bartter’s and Gitelmann’s syndrome)

• Terapi Alkalosis Metabolik:


1. berikan suplementasi oksigen
2. terapi penyebab akut
a. stop intake bikarbonat
131

b. kurangi hilangnya asam


(1) Stop suction NG
(2) Berikan H2-Blockers atau proton Pump Inhibitor
(3) Stop diuretic loop atau distal, ubah menjadi diuretic hemat kalium
c. Kurangi perpindahan asam/“acid shifts” dengan mengkoreksi hipokalemi
3. tipe sensitivitas klorid (responsive saline)
a. Replacement Chloride, bisanya dengan infus saline
(1) deficit klorid (mmol/L) = 0,3xBB(kg)x(100-[Cl-])
(2) 1 L NaCl 0,9% berisi 154 mmol Na+ dan Cl-.
(3) Sehingga jumlah yang dibutuhkan (L) = deficit Cl- / 154.
b. Replacement kalium jika diperlukan
c. Reduksi hilangnya asam lambung dengan proton pum inhibitor atau
antagonis H2.
4. tipe resisten klorid (saline unresponsive)
a. replacement kalium untuk membatasi ekskresi H+ ginjal
b. antagonis mineralokortikoid dengan spironolakton atau triamterene
5. target terapi yang disarankan : pH < 7,55, HCO3- < 40 mmol/L

Alkalosis respiratori
• Definisi : pH > 7,45 dan PCO2 < 35 mmHg
• Penyebab : lihat tabel 5
Tabel 5 : Penyebab Alkalosis Respiratori
Peningkatan Respiratory Nyeri, ansietas (hiperventilasi)
drive Demam
Lesi CNS primer (cth: tumor, infeksi, CVA)
Obat-obatan (cth : salisilat)
Kehamilan

Emboli paru
Hipoksia Pneumonia
Pneumothorax
Asma ringan
Anemia berat
High altitude
Keracunan CO
• Terapi alkalosis respiratori ditargetkan pada penyebab dasarnya :
1. Oksigen pada kondisi hipoksia
2. analgesic untuk nyeri
3. Antibiotik untuk pneumonia
4. Chest tube untuk pneumothorax
Alkalosis respiratori sendiri tidak butuh terapi, dan harus terkait dengan manajemen
kondisi penyebab.
• Efek klinis pengaturan kembali asam basa : pengaturan kembali yang
sering dilakukan adalah pada asidosis metabolic. Efek samping pengaturan kembali serupa
dengan asidosis atau alkalosis dengan perbedaan kecil pada manifestasinya:
1. Altered mental States
a. Letargi, mengantuk
b. Iritabilitas, kebingungan
c. Obtundation, koma
132

d. Sebagai tambahan, alkalosis dapat menyebabkan perasaan mabuk/pusing


serta sakit kepala akibat vasokonstriksi serebral karena hipokarbia. Spasme
karpopedal, tetanus, mati rasa pada perioral dan peripheral, bahkan kejang dapat
terjadi akibat hipokalsemia ionic.
2. Kardiovaskular
a. depresi miokardial, hipotensi
b. gangguan respon katekolamin
c. perubahan EKG dan disritmia karena abnormalitas elektrolit
d. hipokalsemia pada alkalosis dapat menyebabkan efek karsiodepresif tambahan
e. kollaps kardiovaskular
3. Respiratori
a. Hiperventilasi pada asidosis metabolic dan alkalosis respiratori
b. Hipoventilasi pada alkalosis metabolic
c. Takipneu dan sensasi sesak terkait dengan asidosis respiratori
d. Bau buah-buahan terkait dengan ketonemia KAD
e. Asidosis menyebabkan shift to right dari kurva disosiasi hemoglobin oksigen,
berakibat pada loading oksigen pulmonal ke hemoglobin dengan jaringan yang
hipoksemia.
f. Alkalosis menyebabkan shift to the left kurva disosiasi hemoglobin oksigen,
dengan penurunan oksigen perifer dan jaringan hipoksemia.
4. Ketidakseimbangan elektrolit
a. Asidosis terkait dengan hiperkalemi akibat ekskresi kompetitif ion hydrogen
b. Alkalosis terkait dengan hipokalemi akibat ekskresi ginjal ion potassium.
Alkalosis menginduksi peningkatan ikatan kalsium ke protein, menghasilkan
penurunan fraksi ion kalsium bebas.
5. Gastrointestinal
a. Nausea/vomiting
b. Diare
c. Nyeri abdomen pada KAD

• Disposisi/penempatan : Tergantung penyebab dasar, status


hemodinamik dan abnormalitas elektrolit, pasien harus dimasukkan ke ICU, High
dependency Unit, atau jika klinisnya stabil dan baik, masukkan ke bangsal umum.

35. Aneurisma Aorta Abdominal (AAA)

Definisi
Dilatasi arteri terlokalisisr lebih dari 50% diameter normal. Dilatasi kurang dari 50% diameter
arteri normal disebut sebagai ectasia.
133

Caveats
• Terjadi pada 5-7% individu berusia > 60 tahun.
• Di Singapura, rasio Pria : wanita 2 : 1, dengan insiden yang rendah pada ras India.
• Dapat bermanifestasi sebagai :
1. rupture intraperitoneal katastropik yang menyebabkan kollaps, syok dan kematian.
Sering terjadi perdarahan masuk ke retroperitoneum, yang kemudian menjadi
rupture pada intraperitoneal.
2. nyeri abdomen, flank area atau punggung (kadang menyerupai kolik ureterik).
Catatan : nyeri punggung bisa terjadi karena ekspansi AAA akibat erosi spinal
vertebrae atau menunjukkan adanya rupture aneurisme, yang membutuhkan
pembedahan segera.
3. Massa abdomen, sering berdenyut, namun kadang tidak berdenyut.
4. Sinkope dengan hipotensi postural
5. embolisasi menyebabkan iskemik tungkai bawah akut atau ‘mottling’ trunkus
bawaj dan ekstremitas. Embolisasi peripheral dapat menyebabkan ‘blue toe
syndrome’
6. fistula aortoenterik timbul sebagai melena.
7. Kompresi bowel, lambung, dan esog\fagus dapat menyebabkan disfagia, perasaan
cepat kenyang, nausea dan vomiting.
Catatan : Mayoritas (75%) asimptomatik.
• Sifat AAA simptomatik yang difus dan nonspesifik dapat menyebabkan
salah diagnostic. Pasien lansia dengan hipotensi, syok dan nyeri punggung harus
dieksklusi dari rupture AAA. Kesalahan diagnosa tersering disebabkan kegagalan
meraba massa yang berdenyut.
• Cari expansile versus transmitted pulsation dengan menempatkan jari
sepanjang pulsasi; deviasi jari kea rah lateral bisaanya diakibatkan oleh aneurisme.
• Semua pasien dengan massa yang berdenyut > 3 cm harus di USG
• Angka mortalitas dari pembedahan emergency adalah 75-90%, dimana
pada tindakan operasi repair elektif hanya sekitar 3-5%.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


• Aneurisme aorta dapat bermanifestasi sebagai nyeri abdomen, nyeri punggung,
nyeri iskemik pada tungkai atau kolik.
• Diagnosis sering dibuat dengan pemeriksaan fisik dari abdomen.
• Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan USG B-Mode.
• Intervensi pembedahan elektif diindikasikan pada semua pasien AAA dengan
diameter > 5 cm, untuk mencegah ruptu/kematian.
• Aneurisme yang lebih kecil harus dimonitoring dengan USG berkala.

Patofisiologi
• Sebagian besar aneurisme aorta terkait dengan aterosklerosis, sementara etiologi lain
meliputi nekrosis kistik medial, Ehlers-danlos syndrome, dan disseksi.
• Penelitian menunjukkan penurunan jumlah elastin dan kolagen pada dinding AAA.
• Komponen immunologic pada penyakit atherosclerotic pembuluh darah juga telah
dikenali., dengan infiltrasi makrofag dan limfosit T&B pada dinding aorta. Factor
penting dalam patogenesa AAA adalah ketidakseimbangan antara protease dinding
aorta dan antiprotease.
• Susceptibilitas genetic terjadi pada 15-20% insiden AAA diantara hubungan ‘first
degree relative’.
134

Factor resiko
• Hipertensi : pada 40% AAA
• Merokok : 8 kali lebih tinggi untuk menderita AAA dibanding tidak merokok
• Hiperlipidemi dan hiperhomosisteinemia

Resiko rupture
• Berdasarkan Diameter aneurisme :
1. Aneurisme dengan diameter 4-5,5 cm memiliki resiko rupture sebesar 5%
2. Aneurisme dengan diameter 6-7 cm memiliki resiko rupture sebesar 33%
3. Aneurisme dengan diameter >7 cm memiliki resiko rupture sebesar 95%
• Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipertensi dan COLD merupakan
prediktor utama rupur AAA dengan ukuran kecil.
• Percobaan terbaru pada UK Small Aneurysm Trial dan ADAM Trial
menunjukkan tidak adanya angka keselamatan jangka panjang pada tindakan
pembedahan pada aneurima < 4 cm.

Manajemen Ruptur Aneurisme Aorta


General Measures
• Tangani pasien pada area critical care
• Peralatan intubasi dan resusitasi harus tersedia
• Inform tim bedah
• Primary survey ABC, pastikan patensi jalan nafas dan lakukan tindakan resusitasi jika
diperlukan.
• Monitor EKG, tanda vital dan pulse oksimetri
• Pasang setidaknya 2 jalur intravena dengan ukuran kanul besar, dengan NS. Namun
jangan sampai melakukan overresuscitate pasien. Biarkan apabila hipotensi terjadi
pada kisaran sistolik 90-100mmHg,
• Lab : GXM 6 unit WB, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, BGA, pastikan
ketersediaan darah dengan golongan yang sesuai.
• CXR portabel (lihat adanya dissestion atau pelebaran mediastinal).
• Foto polos abdomen akan menunjukkan kalsifikasi pada 50% kasus, namun harus
dilihat pada posisi lateral dan AP untuk mendiagnosa AAA. Jika terdapat ‘egg-shell
appearance’, tingkat kepercayaan diagnosa AAA tinggi. Hasil foto polos abdomen
yang negates tidak dapat mengeksklusi diagnosa AAA dan membatasi nilai dignostik
pemeriksaan ini.
• Pasang kateter urin.
Spesific Measures
• Jangan mengulang palpasi abdominal begitu AAA terdiagnosa.
• Pemeriksaan USG bed side sangat bermanfaat pada ED namun sangat tergantung pada
kemahiran operator. Namun tidak dapat digunakan untuk mendetekdi rupture.
• Ruptur AAA merupakan pembedarahan emergency dan psien harus dipersiapkan
secepatnya. Tidak ada tempat untuk melakukan CT scan abdomen secara rutin.
• Jika pasien stabil, CT scan merupakan pilihan untuk mengetahui diagnosa AAA,
namun tidak boleh menghambat terapi definitive rupture AAA.
Penempatan
• MRS kebagian bedah TKV atau Bedah Umum sesuai protocol local.
135

36. INSUFISIENSI ADRENAL AKUT


PERINGATAN
Krisis adrenal dapat terjadi dalam situasi berikut:
136

1. Stress karena, misalnya operasi bedah atau trauma pada pasien yang mengalami
insufisiensi adrenal kronis.
2. Efek withdrawal steroid secara mendadak pada pasien dengan pemakaian steroid
jangka panjang.
3. Setelah bilateral adrenalectomy atau kerusakan pada kedua adrenal setelah trauma,
perdarahan dll.
Gambaran klinis tidak khas:
1. Kelemahan non-spesifik (9%), kelelahan dan penurunan berat badan adalah 3
gambaran utama.
2. Gangguan GI: nausea dan muntah, sakit perut (34%), diare (20)%.
3. Riwayat operasi atau prosedur bedah terakhir, suatu penyakit, cedera,penyakit
autoimun, penggunaan steroid kronis atau penggunaan obat-obatan tradisional china
(TCM) untuk sakit persendian.
Temuan-temuan Pemeriksaan fisik:
1. hipotensi secara terus menerus dan hipotensi orthostatik.
2. dehidrasi: mukosa kering, berkurangnya turgor kulit
3. hiperpigmentas pada insufisiensi adrenocortical awal, mukosa bukal, daerah terbuka
atau daerah yang mengalami gesekan.

Tip khusus bagi dokter umum:


- methadone dan ketoconazole dapat mengakibatkan insufisiensi adrenocortical
sekunder.
- Diagnosis awal dan penanganan yang berdasarkan perkiraan; penundaan akan
mengakibatkan outcome klinis yang kurang baik.
- Atasi hypoglikemi dengan dextrose dan steroid secara bersamaan.
- Pertimbangkan diagnosis pada pasien yang kedapatan memiliki hipotensi dan
peningkatan pigmentasi baik pada mukosa bukal atau pada daerah gesekan.

PENANGANAN (MANAJEMEN)
Ukuran-ukuran pendukung
137

• Pasien harus ditangani dalam area penanganan kritis karena hal tersebut berpotensi sebagai
kondisi yang dapat mengancam nyawa.
• Berikan oksigen suplemen high-flow dengan non-rebreather reservoir mask.
• Pantau ECF, tanda-tanda vital tiap 10-15 menit pulse oximetry.
• Buat 2 jalur IV perifer (14G/16G) yang besar
Berikan cairan IV 0,9% saline/D5W dengan infus cepat sampai hipotensi disembuhkan
(deficit umum mencapai 2 – 31t).
• Investigasi:
1. gula darah kapiler
2. darah lengkap
3. Urea/elektrolit/kreatin (wajib), untuk mengetahui
a. hiponatraemia
b. hiperkalaemia
c. metabolic acidosis
d. peningkatan urea
e. hipoglycaemia
4. AGD
5. plasma cortisol (plain tube) dan ACTH (EDTA tube pada es). Kirim ke lab
secepatnya.
6. ECG: dapat menunjukkan QRS voltase rendah dan perubahan gelombang ST-
T non-spesifik dan/atau perubahan dikarenakan hiperkalaemia., dapat kembali
dengan pemberian glucocorticoid.
7. CXR mungkin normal, namun seringkali menunjukkan jantung yang kecil,
mungkin terdapat stigmata dari infeksi awal atau bukti adanya TB atau infeksi
jamur, jika hal ini menjadi penyebab dari penyakit Addison.
8. urinalisis dengan pengujian urine stick untuk menyingkirkan UTI.
• Koreksi faktor-faktor pencetus, misalnya infeksi, AMI.

Terapi Obat
138

• IV D50W 40 ml untuk menyembuhkan hipoglycaemia yang mungkin bandel dan


membutuhkan bolus-bolus berulang kali; beri makan dengan isocal jika pasien dalam
kondisi sadar.
• IV hydrocortisone 100 mg tiap 6 jam: ia merupakan fisiologis, lebih cepat bereaksi
dibandingkan dexamethasone dan memiliki aktifitas mineralocorticoid, terutama dalam
kasus insufisiensi adrenocortical. Ambil darah dari plasma cortisol dan ACTH sebelum
penanganan!
• IV sodium bicarbonate (jika diperlukan; 50 mmol selama 1-2 jam; awasi status asam
basa dengan serial AGD.

Disposisi
• Konsultasikan Endokrin/penyakit dalam terkait untuk perawatan di MICU untuk
monitoring tanda-tanda vital.

37. INTOKSIKASI ALKOHOL


139

Peter Manning

PENTING
• Penggunaan ethanol berhubungan secara bermakna dengan peningkatan cedera yang
serius yang disebabkan kekurangan mekanisme penilaian dan kontrol
• Penekanan derajat kesadaran menutupi respon dari penyakit dan penyakit yang
mendasarinya
• Penggunaan etanol sering berhubungan dengan penekanan pernafasan dan reflek muntah
• Ada diagnosis banding yang bermakna dari penderita dengan intoksikasi alkohol (tabel 1)
• Kadar etanol darah turun 20-30 mg % perjam
• Glascow Coma Scale (GCS) secara statistik tidak dipengaruhi oleh alkohol sampai kadar
alkohol darah mencapai > 200 mg %. Jadi jangan memasukkan penuturunan kesadaran
karena alcohol kecuali kadar alkohol penderita sedikitnya 200 mg %

Tabel 1: Diagnosa banding penurunan kesadaran pada penderita intoksikasi alkohol


Kelainan susunan saraf pusat Kejang atau postikal,stroke, subdural
hematome, tumor
Kelainan lingkungan Hipotermi
Infeksi Meningitis/ ensefalitis, pneumonia, sepsis
Kelainan metabolic Ketoasidosis diabetic, ensefalopati hepatic,
hipokalsemia, hiponatremia, uremia
Kelainan respirasi Hipoksemia
Keracunan Benzodiazepine, karbonmonoksida, etanol,
etilen glikol, isopropyl alcohol, methanol,
narkotik, hipnotik sedative
Trauma Gegar otak, Kontusio serebri, hematom
epidural, hipotensi, perdarahan subarahnoid

PENANGANAN:
Filosofi daripenanganan
Tujuannya adalah:
• Mencegah penderita menyakiti diri sendiri dan orang lain
• Mengatasi keadaan yang mengancam nyawa tanpa di tunda, misalnya keadaan yang
reversible seperti: hipoksemia, dehidrasi, hipoglisemia dan hipotermi
• Memastikan disposisi dan pelaksanaan selanjutnya yang tepat
• Periksa luka-luka yang mungkin terlewatkan
140

• Perhatian adanya ensefalopati Wernicke : 3 gejala klasik yang hanya nampak pada 10
% penderita. Lihat adanya perubahan status mental depresi, apatis, bingung (80%),
perubahan ocular nigtagmus horizontal atau kelumpuhan otot rektus lateral, dan
ataksia (20% kasus)

Tujuan dicapai melalui beberapa prinsip penanganan


• Observasi dengan penilaian berulang dari tanda vital dan penilaian neurologi
• Evaluasi yang agresif dari status mental yang tidak membaik atau terganggu
• Observasi lanjutan sampai penderita dapat berfungsi dengan bebas dan menjaga diri
sendiri
• Hidrasi dan nutrisi intravena
• Pengendalian kemikal dan fisik jika dibutuhkan (untuk penderita dan orang lain)

Penanganan penunjang
• Kecuali bila penderita sadar dan mengenali, penderita mabuk harus dievaluasi
terhadap lokasi
• Evaluasi jalan nafas dan servikal
• Jalan nafas oral/ nasofaring tergantung adanya reflek muntah
• Peralatan untuk suction harus selalu tersedia dengan cepat
• Jika penderita diduga trauma, sediakan kollar yang kaku dengan atau tanpa imobilisasi
manual
• Sediakan akses intravena perifer
• IV kristaloid dijalankan dengan kecepatan pengganti cairan yang tepat. IV D5W 500
ml dalam 3-4 jam cukup untuk penderita normovolume
• Gunakan pengendali fisik: dengan cara ini penderita dikontrol tanpa menambahkan
obat yang akan membuat kacau penilaian penderita yang level kesadaran nya telah
menurun
• Lepas pakaian penderita
• Ukur suhu tubuh dengan tepat
• Lab: minimum untuk penderita dengan penderita yang bingung, periksa gula darah
kapiler. Karena riwayat dan pemeriksaan fisik biasanya terbatas, penderita
laboratorium dan radiologi
141

1. Laboratorium yang penting


a. Darah lengkap
b. Urea/ elektrolit/ kreatinin; hitung anion gap (Na+)- (HCO3-)- (Cl-). Lihat pada
penggunaan formula
2. Laboratorium pilihan
a. Kadar etanol darah: kepentingan dari test ini terletak pada keadaan dimana
kadar tidak berhubungan dengan dengan dugaan. (contoh dimana itu terlalu
rendah atau mungkin nol) kemudian pencarian intensif akan dilakukan
untuk menerangkan keadaan penurunan kesadaran adalah penting.
Catatan :
1. Jika anda menggambarkan seperti sebuah sampel gunakan preparat kulit
tanpa alkohol
2. kasus tertulis mengenai pengemudi yang peminum, penting untuk
meminta persetujuan penderita saat mengambil sampel
b. Urinalisis: untuk darah, darah dan keton
c. Amylase serum
d. Test fungsi hepar (meliputi PT dan PTT)
e. Pemeriksaan toksikologi: test pencarian secara umum mempunyai nilai
yang terbatas tetapi harus diminta sesuai dengan riwayat dan hasil
pemeriksaan
f. Osmolalitas serum: berguna dalam kecurigaan adanya alkohol yang lain,
contoh methanol dan etilen glikol. Harga normal 286 ± 4 mOsm/kg H2O.
Hitung hitung perbedaan osmolalitas ( harus melibihi 10 mOsm/kg)
g. Beda osmolalitas = osmolalitas yang terukur – osmolalitas yang dihitung.
Lihat pada Penggunaan formula
h. Analisa gas darah: tidak penting jika saturasi oksigen normal

• Pencitraan:
1. Foto dada: berguna jika riwayat nya ada trauma dada, atau ada demam,
atau ditemukan kelainan pada pemeriksaan auskultasi.
2. foto servikal lateral, AP pelvis dan ekstremitas: dibutuhkan berdasarkan
riwayat dan pemeriksaan fisik
3. Scaning kepala diperuntukkan pada kasus yang:
142

a. Adanya kejadian trauma kepala dengan penurunan kesadaran


yang persisten atau ditemukan adanya kelainan neurologi fokal.
b. Penderita dengan keadaan mental yang tidak menentu dengan
kadar etanol darah (lihat Penting)
c. Tidak adanya perbaikan dalam, atau perburukan dari, status
neurologi sesuai dengan waktu.
• EKG: berguna untuk mendeteksi adanya hubungan dengan penyakit jantung, contoh
penyakit jantung iskemi atau kardiomiopati alkoholik

Terapi obat:
• Tiamin 100 mg IV: gudang tiamin seringkali tidak ada pada penderita alkoholik.
• D50W 40 ml IV bolus untuk hipoglisemia yang ditemukan.

Catatan: Secara teori, sangat penting untuk memberikan dekstrose dengan tiamin pada
penderita malnutrisi karena pemberian awal dekstrose akan memacu terjadinya
ensefalopati Wernike (trias dari ataxia, kebingungan menyeluruh dan abnormalitas
ocular, terutama nistagmus horizontal atau paralise nervus enam bilateral). Pandangan ini
tidak didukung oleh bukti. Masih diperdebatkan apakah itu memakan waktu bejam-jam
ataupun berhari-hari, untuk ensefalopati Wernike untuk berkembang secara klinis; juga,
tiamin dapat diberikan segera setelah pemberian dekstrosa.
• Haloperidol 5 mg IV dapat diulang dalam waktu 5-10 menit. Obat-obat ini
dipergunakan pada penderita intoksikasi dengan agitasi yang berat dalam pembatasan
aktivitas fisik. Haloperidol menghasilkan efek sedasi minimal dengan control tingkah
laku yang sangat bagus.
• JIka riwayat dan pemeriksaan fisik menyatakan dugaan adanya penggunaan narkoba,
nalokson 2 mg IV membantu mengidentifikasi dan mengembalikan susunan saraf
pusat dan depresi pernafasan.

Disposisi
• Rawatlah di ruangan ICU atau ruangan dengan pengawasan , setelah memperoleh
konsultasi yang diperlukan, seperti berikut:
143

1. Trauma multipel
2. Penggunaan methanol dan etilen glikol
3. Sepsis
4. Perdarahan saluran pencernaan
5. Infark miokard akut
6. Sindrom putus obat utama
• Masukkan pada bagian Kedokteran umum untuk melihat adanya Pneumonia, Hepatitis
atau Pankreatitis yang mengikuti. Masukkan ke bagian Bedah Umum atau Bedah
Saraf jika Cedera Kepala yang stabil mengikuti tergantung dari institusi.

Kriteria pemulangan
• Dapat makan/ minum
• Berjalan dengan langkah yang tegap orientasi terhadap sekitar
• Tersedianya teman atau keluarga yang bersama dengan penderita.

Situasi khusus:
Anak-anak
• Anak-anak dengan etanol baik karena minum minuman yang mengandung alkohol
atau pencuci mulut. Seringkali terjadi depresi pernafasan setelah dosis etanol yang
kecil.
• Hipoglikemi sering terjadi : obati dengan 2-4 ml/kg D25W IV Campurkan D50W 1:1
dengan air steril karena D50W sangat hiperosmoler

Catatan; pemberian berulang seringkali tidak diperlukan dan dapat menyebabkan keadaan
hiperosmoler.

Metanol dan etilen glikol


• Harus dicurigai penderita mabuk yang mengeluh nyeri perut atau gangguan
penglihatan atau, pada siapa yang ditemukan adanya beda osmolalitas yang tinggi.
• Toksisitasnya berbeda tetapi penanganannya secara umum sama
• Tidak ada satu obatpun yang berbahaya secara sendiri kecuali intoksikasi etanol;
bentuk metabolismenya setelah dimetabolisme oleh alcohol dehidrogenase akan
144

menghasilkan toksisitas 6-12 jam setelah di konsumsi. Perlambatan dalam gejala yang
muncul dapat lebih besar jika bersamaan dengan intoksikasi etanol.
• Kadar alkohol serum tidak siap tersedia sehingga pemeriksaan indirek seperti beda
kadar amnion dan osmolalitas sangat berguna.

Catatan : beda osmolalitas meningkat pertama kalinya sebelum metabolisme, hanya beda
anion akan meningkat kemudian.
• Metabolit methanol menyebabkan:
1. Iritasi saluran pencernaan: nausea, muntah dan nyeri perut
2. Intoksikasi susunan saraf pusat: pusing, bingung dan penurunan kesadaran
3. Toksisitas okuli: lihat apakah ada edema retina dan hiperemi dari discus dan tajam
penglihatan
4. Asidosis metabolic
• Metabolit etilen glikol menyebabkan:
1. Sama seperti pada methanol dengan tambahan gagal ginjal

• Penanganan :
1. Perawatan suportif seperti pada keracunan etanol
2. Terapi obat:
a. Pengobatan agresif asidosis metabolic dengan natrium bikarbonat
b. Hambat metabolisme dari komposisi induk untuk mengatasi toksisitasnya dengan
memberikan etanol kalau alkohol dehidrogenase memiliki afinitas yang lebih besar
terhadap etanol dibandingkan dengan methanol atau etilen glikol
c. Terapi etanol:
Untuk mempertahankan kadar etanol 100-120 mg/dl
Beban : 0,6-0,8 g/kg
Pemeliharaan : 0,11 g/kg/j
Dialysis : 0,24 g/kg/j
Metode oral: tidak dipergunakan jika penderita menolak dan tidak mempunyai reflek
muntah
Beban : gunakan 50% cairan unatuk memenuhi beban dengan tabung Rele’s: 2
ml/kg dari 50% berikan 0,8 g/kg
Pemeliharaan : 0,11-0,13 g/kg/j
145

Penggunaan : 0,16 ml/kg/j dari 95% larutan tetapi didilusikan dengan air 1:1 untuk
menghindari terjadinya gastritis dan berikan 0,33 ml/kg/j
Tingkatkan proporsional dengan dialisis.
d. Fomeprisole (suatu inhibitor alkohol dehidrogenase sintetik) terapi untuk penderita
yang diduga ataupun peminum dan terintoksikasi etilen glikol ataupun methanol.
Tanpa hemodialisis
Beban : IV fomeprizole 15 mg/kg, diikuti dengan dosis 10 mg/kg setiap 12
jam X 4 dosis, kemudian 15 mg/kg 12 jam setelahnya
Catatan : semua dosis yang diberikan melalui intravena dan perlahan dengan normal salin atau
dilarutkan sepanjang 30 menit. Jangan memberikan tanpa dilarutkan ataupun bolus.
Selama hemodialise : seringnya dosis harus ditingkatkan setiap 4 jam dengan
kecepatan yang sama. Terapi harus dilanjutkan sampai kadar etilen glikol atau
methanol kurang dari 20 mg/dl dan tidak ada gejala pada penderita.
Fomediprizole oral : cocok untuk kasus2 dimana baru saja minum dan tidak ada
muntah.
Dosis: 15 mg/kg awalnya, diikuti dengan 5 mg/kg 12 jam kemudian; kemudian 10
mg/kg setiap 12 jam sampai kadar etilen glikol dalam plasma tidak dapat dideteksi.

3. Hemodialisis untuk menghilangkan kandungan induk dan racun yang dihasilkan.


Indikasinya :
a. Jika kadar dalam darah melebihi 25 mg/dl
b. Jika metabolic asidosis tidak dapat diperbaiki
c. Dengan ancaman terjadinya gagal ginjal
d. Dengan gejala penglihatan pada keracunan metanol

Isopropanol
• Di metabolisme menjadi aseton tetapi jumlahnya sedikit dan tidak menyebabkan asidosis
• Melewati sawar otak lebih cepat dan toksisitasnya kira-kira 2 kali dari etanol
• Efek toksik:
1. depresi susunan saraf pusat
2. iritasi saluran pencernaan dengan gastritis, muntah, dan hematemesis
Penanganan:
Kadar serum isopropyl alcohol menambah sedikit pada manajemen
146

Tangani seperti pada intoksikasi etanol

Alkohol ketoasidosis
• Terlihat klasik pada peminum alkohol yang menahun yang pesta minuman keras dan
datang dengan nausea, muntah, nyeri perut, dan kelaparan dengan makan kalorinya buruk
• Ketoasidosis merupakan hasil dariakumulasi dari asetoasetat dan beta hidroksi butirat.
• Pemeriksaan laboratorium pH sekitar 7,1, bikarbonat serum 10, kalium dan fosfat serum
rendah, dan kadar glukosa darah rendah atau normal.
• Penanganan: rehidrasi dengan dekstrosa 5% dengan cairan salin, anti muntah jika
diperlukan, benzodiazepine jika diperlukan untuk gejala putus obat.(Tabel 2). Kalium dan
pengganti kalium.
Catatan : terapi insulin kontraindikasi dan bikarbonat jarang dibutuhkan.
• Kemungkinan perkembangan gejala putus obat yang berat bertambah dengan infeksi yang
menyertainya atau maslah kesahatan, riwayat yang terjadi sebelumnya dengan kejang
karena putus obat atau delirium tremens, dan pemakaian alkohol yang lebih banyak.
• Kejang putus obat :
1. Biasanya kejang umum dan terbatas sendiri
2. Onset biasanya dalam 49 jam dari penggunaan alcohol
3. Biasanya tidak mungkin dapat dibedakan antara kejang karena putus obat dengan
penyebab yang lain dari riwayat dan pemeriksaan fisik
4. Diduga:
a. kejang local: Ct scan kepala
b. kejang demam: pungsi lumbal setelah dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala. Mulai
pemberian antibiotika
c. Kejang status: CT Scan kepala dan cari kelainan metabolic
Penanganan :
Sediakan penghilang rasa ansietas dan halusinasi
Hentikan progresivitas AWS
Terapi suportif:
Amankan ABC
Cairan pengganti: IV dextrose :
5% salinebergantian dengan D5%
Koreksi kelainan elektrolit dan metabolisme: glukosa, tiamin, potassium, magnesium
147

IV tiamin 100 mg dan IV magnesium sulfat 1-2 g dapat dimulai


Terapi obat:
Bensodiasepin :
IV diazepam 5-10 mg bolus perlahan setiap 5-10 menit dititrasi sesuai
dengan klinis (max 20 mg), atau
PO diazepam 10-20 mg untuk kasus ringan (dapat diulang setelah 60 menit)
Haloperidol: IM haloperidol 5-10 mg untuk penderita agitasi
Beta bloker:
Indikasi jika dosis multipel dari diazepam sudah dipergunakan dan/ atau
takiaritmia berarti
IV propanolol 0,5 mg tiap 5-10 menit
IV phenytoin tidak mempunyai atau sedikit kaidah di AWS
Disposisi :
Semua kasus harus dimasukkan ke bagian Interna kecuali untuk kasus yang ringan
yang dapat dipulangkan dengan bensodiasepin oral dan di periksa kembali di
Psikiatri
Delirium tremen: harus dimasukkan ke ICU untuk pengawasan lebih lanjut.

Table 2: Sindrom putus alkohol


Tingkatan Onset Durasi Gejala Tanda
148

1.the shakes/ 6-8 jam 2-3 hari • Ansietas Takikardia


goncangan • Agitasi Hpertensi

• Takut Hiperrefleksia

• Kehilangan
nafsu
makan
• Tidak bisa
tidur
• Tremor
2. the horrors/ 0-24 jam 2-3 hari Di atas ditambah Di atas di
mengerikan Halusinasi tambah:
Demam
Berkeringat
3.kejang karena 7-48 jam 6-12 hari Di atas
putus alcohol ditambah
Kejang
menyeluruh
4. delirium 3-5 hari 2-5 hari Hal di atas Hal di atas
tremens ditambah ditambah
Bingung Demam
Mimpi buruk midriasis
149

38. Alergi reaction / Anafilaksis

Definisi
• Urtikaria : plak edematous dan gatal dengan bagian tengah yang pucat dan tepi yang
meninggi.
• Angioedema : Edema pada lapisan dalam kulit yang tidak gatal namun dapat terasa
seperti terbakar, mati rasa atau nyeri.
• Anafilaksis : reaksi alergi sistemik yang hebat terhadap antigen yang dipresipitasi
oleh pelepasan mediator kimia pada pasien yang tersensitisasi. Paparan sebelumnya
terhadap antigen merupakan syarat yang diperlukan untuk terjadinya syok anafilaksis.
• Reaksi Anafilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak membutuhkan
kontak dengan zat karena bukan merupakan proses yang dimediasi oleh system imun.
Kedua keadaan tersebut terjadi karena pelepasan histamine dari mast cell dan
makrofag.

Caveats
• Keadaan ini menunjukkan spectrum reaksi hipersensitivitas yang bervariasi dari
urtikaria ringan sampai pada anafilaksis yang dapat mengancam jiwa; progresivitas
dari bentuk yang ringan sampai pada anafilaksis yang full-blown dapat terjadi.
• Frekuensi
Urtikaria 200 kasus
Angioedema 20 kasus
Anafilaksis 1 kasus
• Reaksi ini dimediasi oleh IgE atau IgG4 dan bertanggungjawab terhadap reaksi
anafilaksis yang terjadi, contoh pada reaksi drug-induced (paling sering : Penisilin dan
NSAID) serta :
1. Makanan (kerang, putih telur, kacang)
2. Racun Hymenoptera (lebah, tawon, hornets/penyengat)
3. Reaksi lingkungan (debu, serbuk sari, dll)
Tips Khusus Bagi Dokter Umum:
• Lebih aman untuk merujuk pasien dengan presentasi reaksi alergi yang bermacam-
macam pada ED, kecuali dengan rash urtika yang ringan .
• Selalu tanyakan adanya ‘a lump in the throat’ dan terapi dengan SQ adrenaline
(kalau tidak ada kontraindikasi seperti IHD), sebelum mengirim pasien ke ED
dengan ambulan, karena ini merupakan tanda awal dari edema laring atau uvular.
• Adrenalin merupakan terapi utama pada anafilaksis. Pada pasien normotensive,
berikan adrenalin 1 : 1.000 SQ atau IM 0,01 ml/kg (sampai 0,3 ml). pada pasien
hipotensi berikan 0,1 ml/kg (sampai 0,5 ml) larutan adrenalin 1 : 10.000 IV selama
5 menit, atau dengan IM dalam jika akses IV tidak dapat dilakukan.
• Pasang IV line perifer dan berikan infus kristaloid dan antihistamin sebelum
mengirim pasien ke ED dengan ambulan.
150

Anafilaksis
Syok, stridor, bronkospasme

Evaluasi Klinis dari Gejala


• Tanda awal impending anafilaksis
1. Rasa gatal pada hidung atau stuffiness / kesesakan
2. Pembengkakan pada tenggorokan (edema laryngeal atau uvular) atau suara serak
3. Lightheadedness dan sinkope.
4. Nyeri dada, sesak nafas dan takipneu
5. Komplain pada kulit : hangat dan tingling pada wajah (terutama pada mulut), dada
bagian atas, manifestasi pada telapak tangan atau telapak kaki bisaanya timbul
pertama kali pada reaksi anafilaksis.
6. Keluhan GIT : nausea, vomiting, diare dengan tenesmus atau nyeri abdomen yang
bersifat kram.

• Anafilaksis yang Full-blown


1. Angioedema lidah, palatum molle dan laring dapat menyebabakan obstruksi jalan
nafas atas secara cepat.
2. Hipotensi, takikardi (atau disritmia lain), AMS, kebingungan, wheezing, dan
sianosis dapat cepat menyebabkan serangan jantung.
Catatan : batuk merupakan tanda buruk yang menandakan adanya onset edema
pulmonal.
3. Kulit mungkin menunjukkan atau tidak menunjukkan reaksi klasik wheal and
flare. Jika perfusi pada kulit pasien buruk atau memiliki kulit yang gelap, reaksi
kulit mungkin akan sulit untuk dinilai.

Manajemen

• Supportif
1. Jika relevan, hentikan allergen yang dicurigai
2. Jika relevan, ‘cungkil keluar’ bekas sengatan dengan pisau. jangan meremas,
karena akan menyebabkan masuknya venom lebih dalam.
3. Jika allergen telah ditelan, pertimbangkan gastric lavage dan karbon aktif
4. Jika nadi tidak ada, lakukan external cardiac massage
5. Pasien harus ditangani pada area resusitasi
6. Berikan oksigen aliran tinggi
7. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5 menit
8. Pasang jalur intra vena besar 14G/16G
9. Support sirkulasi : 21 Hartmann’s atau NS bolus.
10. Bersiap untuk melakukan Intubasi atau krikotiroidotomi
Catatan : Perhatian ekstra diindikasikan pada pemberian sedasi dan paralysis
sebelum intubasi. Pertimbangkan menggunakan Awake Oral Intubation’; lihat
bab Airway Management / Rapid Sequence Intubation untuk detilnya. Sedasi dan
151

paralysis merupakan kontraindikasi karena gangguan jalan nafas setelah


paralisis dapat menghalangi intubasi.
11. Lakukan konsul anestesi dan THT untuk asistensi manajemen airway.
12. Labs : tidak diperlukan segera

• Terapi Obat
1. Adrenalin : DOC ( drug of choise )
a. Pasien normotensi : 0,01ml/kg (sampai 0,5 ml) larutan 1 : 1.000 SC/IM
dalam.
b. Pasien Hipotensi : 0,1 ml/kg (sampai 5 ml) larutan 1 : 10.000 diberikan
perlahan IV selama 5 menit (atau dengan injeksi IM dalam jika akses IV
tidak tersedia).
c. Pada kasus lain setengah dosis dapat diinfiltrasikan di sekitar lokasi
sengatan.
2. Glukagon : pertimbangkan menggunakannya jika adrenalin merupakan
kontraindikasi relative, cth : IHD, hipotensi berat, kehamilan, pasien pengguna
beta blocker, atau yang tidak berespon terhadap adrenalin.
Dosis : 0,5-1,0 mg IV/IM; dapat diulang sekali setelah 30 menit.
3. Pilih salah satu antihistamin pada tabel 1.
Tip : encerkan tiap ml dari 25 mg promethazine (phenergan) sampai 10 ml
dengan NS dan berikan IV pada kecepatan tidak lebih dari 2,5 mg/menit untuk
menghindari efek samping hipotensi transient.
4. Cimetidine (Tagamet : sebuah H2-blocker) untuk gejala persisten yang tidak
merespon terapi diatas.
Dosis 200-400 mg IV bolus.
5. Bronkodilator nebulisasi untuk bronkospasme yang persisten. Berikan salbutamol
(Ventolin) 2 : 2 dengan nebulizaer tiap 20-30 menit.
6. Kortikosteroid untuk mempotensiasi efek adrenalin dan menurunkan
permeabilitas kapiler; efek tidak didapat dengan cepat.
Dosis hidrokortison 200-300mg IV bolus; dapat diulang tiap 6 jam.

• Penempatan
Pasien di-MRS-kan pada ICU/HD setelah konsultasi, untuk observasi dan
pengulangan dosis antihistamin dan steroid.

Tabel 1 : Tipe Antihistamin dan Dosis


Tipe Antihistamin Dosis
Difenhidramin (paten: deladril) Dewasa : 25 mg IM/IV
Pediatrik 1mg/kg IM/IV

Chlorpheniramine 10 mg IM/IV
(Piriton; sebuah H1-blocker)

Promethazine (Phenergan) Dewasa : 25 mg IM/IV


Anak > 6 tahun : 12,5 mg IM/IV
Anak < 6 tahun : 6,25-12,5mg IM/IV
152

Angioedema

Angioedema yang diinduksi Obat

ACE inhibitor merupakan penyebab yang paling sering;


• Manifestasi klinis : area tubuh yang sering terkena :
1. Wajah dan leher (predileksi : bibir, palatum molle, dan laring)
2. Foreskin dan skrotum
3. Tangan dan kaki
• Manajemen bersifat simptomatik, namun harus menyiapkan tindakan
definitive airway karena deteorasi menjadi anafilaksis dapat muncul kapan saja.
• Terapi supportif
1. Pasien harus ditangani setidaknya di intermediate care.
2. Monitoring: tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri, EKG
3. Pasang IV plug perifer
4. Oksigen supplemental untuk mempertahankan SpO2 > 94%.
5. Bersiaplah untuk intubasi atau krikotiroidotomi : pertimbangkan ‘awake oral
intubation’
• Terapi Obat
1. Adrenalin
a. IM 0,3-0,5 ml larutan 1 : 1.000 SQ tiap 20 menit pada dewasa > 45 kgBB
b. IM 0,01 ml/kg (sampai 0,3 ml) larutan 1 : 1.000 SQ tiap 20 menit pada
anak-anak dan dewasa < 45 kg.
2. Antihistamin : lihat dosis pada tabel 1
a. Difenhidramin
b. Chlorpheniramine
c. Promethazine
3. Prednisolon
a. Dosis : 40-60 mg PO pada dewasa
b. 2 mg/kgBB Po pada anak-anak

• Penempatan : MRS untuk observasi 12-24 jam karena ‘rebound’


dapat terjadi 6-12 jam setelah onset. Jika pembengkakan kelopak mata merupakan
gejala/tanda satu-satunya, maka pasien dapat diKRS-kan setelah resolusi.

Hereditary Angioedema (HAE)

Penyebab defisiensi C1-esterase inhibitor dan bisaanya dicetuskan oleh trauma atau stress.
• Manifestasi klinis
- Edema, pembengkakan bibir dan lidah, palatum molle, dan struktur laryngeal
- Nyeri abdomen disertai nausea, vomiting, dan diare
• Manajemen
1. Berikan Fresh Frozen plasma ( mengandung C1-inhibitor)
2. Adrenalin seperti tersebut diatas mungkin efektif.
Catatan : kasus HAE sering tidak respon terhadap kortikoid, antihistamin atau
dosis standar adrenalin, dan definitive airway mungkin diperlukan.
• Penempatan : MRS-kan pasien pada High dependency Unit selama 12-24
jam untuk memberikan tendensi apabila terjadi resistensi terapi.
153

Urtikaria

Tabel 2 : Penyebab Umum Urtikaria


Reaksi Obat Penisilin
Aspirin
Obat gol. Sulfa
NSAID
TCMs

Infeksi Infeksi mononucleosis


Hepatitis B
Xsackie virus
Infestasi parasitic

Lain-lain Makanan : kacang, pengawet makanan dan


penambah rasa makanan
Paparan sinar matahari, panas dan dingin
Malignansi
Kehamilan

• Manajemen : sebagian besar simptomatik, namun hati-hati terhadap


terjadinya anafilaksis
• Supportif : tangani pada area intermediate care; manajemen pada area low
acuity cukup ekonomis namun harus tetap di evaluasi ulang untuk mendeteksi
deteriorasi.
• Terapi Obat:
1. Antihistamin : lihat dosis di tabel 1
a. Difenhidramin
b. Chlorpheniramine
c. Promethazine
2. Prednisolone : dosis 40-60mg PO pada dewasa jika lesi luas, atau merupakan
episode ulangan, atau pasien telah mengalami angioedema sebelumnya. Resepkan
penggunaan di rumah selama 5 hari dan tidak dibutuhkan tapering dose.
• Penempatan
1. KRS jika respon terhadap terapi baik dan tidak ada angioedema.
2. KRS dengan antihistamin sedikitnya untuk 3 hari.
3. pertimbangkan MRS jika punya riwayat MRS dengan urtikaria.

Reaksi Anafilaktoid

Reaksi anfilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak didahului dengan paparan
allergen sebelumnya karena bukan merupakan keadaan yang dimediasi oleh proses
imunologi. Keadaan ini disebabkan oleh pelepasan histamine langsung dari sel Mast dan
makrofag.
154

Manajemen
• Penyebab yang sering : bahan kontras radiografik, aspirin, NSAID, opiate.
• Terapi : sama dengan anafilaksis

39. Aortic Dissection

Definisi
• Diseksi aorta merupakan robeknya tunika intima, hematoma intramural atau separasi
tunika media yang terjadi pada pasien dengan factor resiko seperti Marfan’s
syndrome, hipertensi, merokok, aterosklerotik aorta atau pasien yang hamil.
• 2 Klasifikasi primer : the DeBakey dan Stanford classification
• Sistem DeBakey :
1. Tipe I melibatkan aorta ascending, aortic arch dan aorta descending.
2. Tipe II melibatkan aorta ascending, namun tidak meluas ke atas arteri subclavian
sinistra.
3. tipe 3 melibatkan hanya aorta descending, dimulai pada atau distal dari arteri
subclavian sinistra.
155

• System Stanford :
1. tipe A melibatkan aorta ascending (dengan atau tanpa keterlibatan aorta
descending)
2. Tipe B melibatkan aorta descending saja
Klasifikasi Stanford lebih sederhana dan terkait dengan terapi.

Caveats
• Pertimbangkan diagnosis disseksi aorta pada pasien dengan:
1. nyeri dada/abdomen atas yang mendadak, hebat dan merobek yang menjalar ke
punggung, maksimal pada outset dan migrating/berpindah sejalan dengan waktu.
Nyeri pada IMA tidak bersifat migratory, dan jika keduanya terjadi bersamaan,
diseksi aorta bisaanya terjadi lebih dulu daripada IMA.
2. nyeri dada terkait dengan gejala neurologik, sinkope, TIA, stroke atau paraplegia.
3. Nyeri dada dengan peningkatan resiko diseksi aorta, cth : hipertensi, Marfan’s
Syndrome.
4. Defisit Nadi atau perbedaan tekanan darah sistolik pada kedua lengan > 20 mmHg
atau tekanan darah pada tungkai bawah lebih rendah daripada ekstremitas atas.
5. Nyeri dada dengan onset baru murmur aortic regurgitation.
6. nyeri dadadengan mediastinum melebar > 8 cm pada PA CXR.
• Diagnosa yang menyebabkan kebingungan dengan disseksi aortic thoracic,
meliputi :
1. Infark miokard atau unstabel angina
2. Abdominal disease
3. stroke
4. Iskemik trombosis ekstremitas bawah
5. Pneumonia
6. Penyakit pericardial
Catatan : Diseksi aorta dapat terjadi bersamaan dedngan salah satu penyakit diatas.
• Jika diagnosa awal pasien adalah diseksi aorta, sedangkan lebih lanjut tidak
ditemukan, ingat :
1. Pada beberapa kasus, multiple test (transesofageal echocardiography [TEE] diikuti
dengan CT scan, dll) diperlukan untuk mendeteksi penyakit.
2. penyebab paling mungkin selanjutnya adalah penyakit jantung yang serius.
3. jika pasien perlu dievaluasi sebagai diseksi aorta, MRSkan pasien
4. pasien dengan hasil pemeriksaan diseksi eorta yang negative emiliki kemungkinan
mengalami IMA (23%) atau unstabel angina
• ingat bahwa diseksi aorta akut lebih sering terjadi 2-3 kali dibanding
rupture aneurisme aorta, dan rata-rata misdiagnosa sebesar 90%. Lebih lanjut,
mortalitas pada diseksi tipe a yang tidak diterapi adalah 1% tiap jam pada 48 jam
pertama.

Tips khusus Bagi Dokter Umum


• Diseksi aorta merupakan kondisi serius yang sering terlewatkan. Harus
dipertimbangkan bila hasil EKG (pada suspek IMA) ternyata normal atau nyeri
dada disertai dengan deficit neurologik. Ingat bahwa keadaan ini termasuk 6
penyebab nyeri dada yag mengancam jiwa.
• Ketika diagnosa dicurigai ada, jangan kirim pasien ke ED dengan mobil
pribadi. Panggil ambulan. Sementara itu, jika mungkin, pasang 1-2 jalur IV,
control BP pasien dan kurangi nyeri.
• Jika dicurigai ada diseksi aortic, ingat bahwa antiplatelet dan terapi trombolitic
merupakan kontraindikasi.
156

Manajemen
Catatan : target terapi adalah untuk mencegah kematian dan kerusakan end-organ yang
irreversible. Tujuan terapi medical adalah untuk menurunkan laju peningkatan tekanan darah
(dP/dT) dan untuk menurunkan rata-rata BP dan Heart Rate.

• Monitor tanda vital


• Berikan oksigen aliran tinggi
• Pasang 2 jalur IV dengan jarum ukuran besar. Kirim darah untuk :
1. FBC
2. Urea/elektrolit/kreatinin
3. profil koagulasi
4. GXM 4-6 unti; jika hipotensive, 2 unit rapid match blood juga diperlukan.
5. Enzim kardiak.
• Periksa EKG 12 lead untuk mengekslusi IMA
• CXR. Lihat tabel 1
catatan : skrining upright CXR abnormal pada 80-90% kasus disseksi aortic. Namun
CXR normal tidak mengesklusi diagnosa.
• Beri obat untuk memperingan nyeri dengan IV morfin 2,5-5,0 mg dititrasi
sesuai klinis
• Pasang kateter urin untuk monitoring urine dan mengeksklusi anuri/oliguri yang
menandakan keterlibatan arteri ginjal.
Catatan : sebagian besar pasien diseksi aotic menunjukkan hipertensi. Persentase yang
kecil menunjukkan hipotensi dari rupture aorta ke dalam ruang pleural atau ke dalam
pericardium dengan subsequent tamponade.

Tabel 1 : Penemuan Chest X Ray pada Aortic Dissection

1. Pelebaran mediastinum superior (> 8 cm pada film PA; paling sering yaitu pada 75%
CXR).
2. Ekstensi aortic shadow > 5 mm diatas dinding yang terkalsifikasi (‘eggshell’ atau
‘calsium’ sign; hal ini terjadi karena diseksi akut memisahkan tunika adventitian dan
intima yang terkalsifikasi; merupakan yang paling spesifik namun jarang terjadi.).
3. Obliterasi aotic knob atau tonjolan yang terlokalisir.
4. pembesaran aortic
5. densitas dobel aorta (false lumen kurang radioopaque)
6. hilang ruang antara aorta dan arteri pulmonal.
7. Pelebaran jalur/garis paravertebral.
8. efusi pleural baru (hemathorax bebas)
9. apical Pleural cap ( hemothorax apical yang terlokalisir).
10. Depresi cabang utama bronkus kiri > 140o.
11. pergeseran dan elevasi cabang utama bronkus kanan.
12. Deviasi trakea/endotrakeal tube/NG tube kea rah kanan (menjauhi hematoma yang
terbentuk)
• Observasi pasien pada chart sirkulasi dan neurology
• Mulai terapi hipotensif jika pasien hipertensi. Tujuannya untuk menurunkan
tekanan sistolik sampai 100-120 mmHg. Pertahankan output urin > 30ml/jam. Berikan
:
157

1. IV nitroprusside dengan menambahkan 50 mg pada 500 ml D5%. Mulai infus


pada 6ml/jam (10µg/menit) dan tingkatkan bertahap 10µg/menit tiap 5 menit jika
diperlukan, serta berikan Iv propanolol 1 mg tiap 5 menit sampai target HR 60-
80x/menit tercapai (berikan sebelum atau simultan dengan nitropruside karena
nitropruside dapat menyebabkan refleks takikardia). atau
2. Infus IV Iabetalol, Iv labetalol lebih mudah diakses dan merupakan alternative
yang baik karena dapat menyebabkan blok alfa dan beta adrenergic. Buat larutan 1
mg/ml dengan mendilusikan 200mg dalam 200 mL NS atau D5%. Mulai dengan
15 mL/jam dan tingkatkan setiap 15 menit jika perlu. Alternatifnya berika IV
labelatol 20mg bolus yang diikuti dengan 20-80mg setiap 5-10 menit sampai target
HR tercapai, kemudian mulai infus pada 1-2 mg/jam.
Kontraindikasi penggunaan beta blocker termasuk pasien dengan riwayat gagal
jantung kongstif, heart block, asma, chronoc obstructive lung disease, IV diltiazem
dapat diberikan pada kasus ini menggantikan beta blocker.campurkan 125 mg
dalam 100 ml D5% (1 mg/1ml) dan berikan sebagai 20 mg bolus diikuti dengan
bolus ulang dalam 15 menit atau mulai infus pada 5-15 mg/jam.
• Jika hipotensif, mulai resusitasi cairan IV. Terapi tamponade jantung yang
tidak respon terhadap resusitasi cairan adalah immediate perikardiosentesis.
Catatan : semua pasien mendapatkan terapi medis awal, tidak memperdulikan tipe
diseksinya.
• Semua pasien dengan diseksi aortic yang normotensiv atau tidak nyeri
harus diterapi dengan regimen medical. Penurunan tekanan darah dan HR tidak akan
menyebabkan kerusakan serta membantu progresivitas diseksi sama halnya dengan
pasien hipertensi.
• Indikasi surgical repair disseksi aortic :
1. Semua Diseksi Stanford tipe A
2. Diseksi tipe B dengan komplikasi (rupture, iskemik distal severe, nyeri tak
tertahankan, progresif, hipertensi tidak terkontrol). Diseksi tipe B saja dapat
diterapi medis
3. Hipertensi tidak terkontrol.
4. Progresi Diseksi.
5. hubungi kardiologis on call untuk TEE atau atur untuk Ct thorax jika diagnosa
dicurigai
Catatan: TEE merupakan pemeriksaan untuk diagnosa definitive diseksi aortic pada
pasien yang tidak stabil.
• Hubungi bedah TKV secepatnya setelah dx dicurigai ada dan terapi medis
sedang diberikan.

40………………………………………
41. KEKERASAN (NON SEKSUAL)

Definisi :
 Abrasi
1. Jenis cedera paling superficial,misalnya tergores.
2. Tindakan pada epidermis atau sebagian besar permukaan dermis.
 Contusio, misalnya babras-bruise
1. Cedera tumpul pada jaringan merusak pembuluh darah dibawah permukaan,
menjadikan darah ekstravasasi (bocor) kedalam jaringan sekitar.
158

2. Bisa disertai dengan laserasi atau abrasi disekitar.


3. Bisa datar atau elevasi.
 Laserasi, misalnya potongan, luka tetak atau robek.
1. Luka robek yang disebabkan oleh cedera tumpul yang menembus ketebalan
kulit dan muncul perdarahan profuse.
2. Tidak akan dibingungkan dengan luka iris.
 Luka iris, misalnya 2 jenis luka potong tajam, disebabkan oleh objek bertepi tajam
1. Luka iris, dimana panjang > lebar
2. Luka tusuk, dimana lebar > panjang

PERHATIAN
 Simpulkan bahwa semua kasus kekerasan akan dibawa ke pengadilan dan bahwa
anda akan dipanggil untuk memberikan kesaksian, dimana kemudian opini anda
menjadi pengetahuan publik.Kasusnya dibawa ke pengadilan beberapa tahun
kemudian setelah kejadian.Anda akan dihubungkan dengan yang anda tulis pada
waktu pemeriksaan sebagai tambahan pada bukti diagramatik atau fotografik yang
anda dapatkan.
 Oleh karena itu, rekam medik anda harus cermat dan akurat.
 Tidak ada sesuatu sebagai x-ray ’medicolegal’. X-ray akan diminta, atau tidak
diminta, berdasar hanya atas dasar klinis.Ini adalah dokumentasi yang secara
medicolegal kritis.

RIWAYAT
 Catat secara akurat dengan dimanapun memungkinkan kata-kata milik pasien, yang
meliputi:
1. Waktu dari kekerasan.
2. Metode kekerasan,misalnya tendangan, pukulan, hantaman dengan senjata,
dsb.
3. Senjata yang digunakan misalnya pisau,parang,senjata api.

PEMERIKSAAN
 Catat semua cedera mayor dan minor.
 Meliputi bentuk,ukuran,kedalaman, warna, diameter.
 Foto semua lesi (dengan kamera Polaroid,walaupun sekarang gambar lebih baik
dengan kamera digital dengan printer yang menyatu):
1. Gunakan foto sebagai aide-memoire sehingga anda dapat secara akurat
merekap seluruh cedera tanpa menyia-nyiakan waktu anda membuat
kekeliruan multiple

42. Asma

Caveats
• ‘Tidak semua Wheezing adalah ASMA’ : diagnosa lain seperti gagal
jantung kongestif, obstruksi jalan nafas atas, karsinoma bronkogenik dengan obstruksi
atau metasatase karsinoma dengan metastasis limfangitik.
• Asma merpakan kelainan inflamasi kronik yang dikarakterisasi dengan
peningkatan responsivitas jalan nafas sehingga terapi yang diperlukan adalah steroid.
159

• Trias ASMA : dispneu, wheezing dan Batuk.


• Tujuan terapi pada ED adalah untuk menghilangkan obstruksi aliran udara,
memastikan kuatnya oksigenasi dan mengurangi inflamasi.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


• Selama serangan asma akut, penggunaan kortikosteroi oral secara dini akan
mengurangi resiko kematian akibat asma. Sehingga hamper smua pasien yang
membutuhkan nebulizaer untuk serangan asam akut yang berat di klinik juga
membutuhkan prednisolon oral 0,5mg/kg/hari selama 7-10 hari tanpa tapering off.
• Pasien yang membutuhkan nebulizer berulang (lebih dari sekali dalam 6-12 bulan)
untuk serangan asma memiliki resiko tinggi untuk mengalami kematian.
• Penggunaan kortikosteroid inhalasi setiap hari akan mengurangi resiko eksaserbasi
yang hebat sehingga mengurangi resiko tinggi kematian serta hemat secara
ekonomis.
Manajemen
• Pada ED, tanda dan gejala serangan asma berat harus diketahui dan ditangani pada
area critical care.
• Tingkat keparahan serangan terlihat pada tabel 1.
• Tabel 2 menunjukkan factor resiko menderita asma.
• Manajemen meliputi suportif dan terapetik. Terapi awal pada asma yang tidak
mengancam jiwa (ringan dan sedang) meliputi kombinasi inhalasi beta
agonis/antikolinergik dengan steroid oral. Lihat flow chart pada gambar 1.
• Non-responder akan mebutuhkan nebulisasi intensif, steroid intra vena dan infus
magnesium sulfat jika ada indikasi.
• Pasien terus dimonitor dan diperiksa. Pasien yang berespon terhadap terapi ED
membutuhkan follow up (maksimum dalam 24-48 jam) pada dokter ahli paru. Pasien
yang tidak berespon terhadap terapi ED disarankan MRS.

Tabel 1 : Klasifikasi keparahan eksaserbasi Asma


Ringan Sedang Berat Ancaman gagal
nafas
Gejala Saat berjalan Saat bicara Saat istirahat Kepayahan
Sesak Dapat berbaring Lebih suka Duduk tegak Usaha nafas
duduk lemah

Bicara Kalimat Frase Kata Sulit untuk bicara

Status mental Dapat agitasi Bisaanya agitasi Bisaanya agitasi Mengantuk atau
kebingungan
Tanda
Laju Nafas Meningkat Meningkat Sering>30x/menit Menurun
Penggunaan otot Bisaanya tidak Sering Sering Paradoksikal
Bantu nafas gerakan
thorakoabdominal
Wheezing Sedang, kadang Nyaring, saat Bisaanya nyaring Tidak ada
saat akhir ekshalasi saat inhalasi dan wheezing (‘silent
ekspirasi ekshalasi chest’)
160

Nadi/menit <100 100-120  Bradikardi


SaO2% (udara >95% 91-95% Klinis sianosis
> 120
ruang) 
< 91%

Gambar 1 : Diagram Alur manajemen Asma • Batuk


Pasien Asma • SOB
• Wheezing
NO (TIDAK ADA)
Apakah ada gejala yang
mengancam nyawa?
YA (ADA)
• Silent chest
• Sianosis, SaO2<91%, bradikardi
• Usaha nafas lemah, gerakan thorakoabdominal yang paradoksikal
• Kepayahan, kebingungan atau obtundation
• Prediksi PEFR < 35%

• Siapkan intubasi secepatnya : sediakan obat sedasi dan paralysis (lihat bab
Airway Management/Rapid Sequence Intubation).
• Lakukan serial BGA untuk mendeteksi hipksemia progresif, hiperkapnea
dan asidosis
• Indikasi intubasi: hiperkarbi persisten, hipoksia hebat dengan PaO2 <
60mmHg

Terapi Suportif
1. Tangani pada Area critical care dengan oksigen aliran tinggi
2. Monitoring : EKG, pulseNon-Responder/Berespon
oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
sebagian
3. Akses IV kristaloid 500ml selama 3-4 jam
1. PEFR<50% diprediksi min
4. CXR : pasien yang tidak berespon terhadap
60menit: terapi awal
ulang nebul: cari2-3x
adanya
pneumothorax, pneumonia atau CCFmenggunakan salbutamol 5mg atau
Perbaikan 7,5mg dengan 2ml ipatropium, 1,5ml
1. cek pasien dan PEFR : NS dicampur hingga 5ml.
Terapi Obat-obatan
(optional 1. dan juga 2. kortikosteroid: hidrokortison IV
harusInhaler) dengan
MDI (Metered Dose jarak : 4 hirupan salbutamol
memeriksa(100µg)
tinggi)+ 4baseline dan 400-500mg, 4-6mg/kg pada anak. Pertimbangkan MRS
hirupan atrovent (20mg) tiap 15 menit sampai 1 jam
setelah 2 kali nebulizer. siklus 2-4jam sekali.
diulangsesuai 3. MgSO 4 IV 1-2mg bolus perlahan 1. Pasien tidak
2. Reassessment:
2. Terapijika PEFRSalbutamol
nebulizer ≥ (20menit)
(Ventolin) : 1 ml (5mg) salbutamol dengan mampu untuk
50% dan2 ml perbaikan
ipatropiumsubyektif, 4. Adrenalin: (gunakan hati-hati
bromide dan 2 ml NS sehingga menjadi 5 ml. (Pada anak mempertahankan
pertimbangkan
0,03ml/kg KRS
Ventolin dengan pada2 ml
didilusikan dalam lansia,
saline IHD atauduahipertensi
: diulang kali). Terapi PEFR≥50%
follow upalternative
dalam waktu 48 jam berat) 0,3-0,5ml larutan 1:1000
pada 1 kecuali suspek SARS; dapat digunakan jika pilihan terapi SC setelah terapi dan
(klinik Spesialis Paru).
obat pertama gagal. tiap 20menit pada dewasa>45kg atau observasi 1-2 jam
3. Semua3.pasien yang KRSoral
Prednisolone harus 0,01ml/kg
0,5-1mg/kg (maksimum 60mg).(sampai 3ml) latrutan 2. Previous
menerima prednisolone oral 0,5- 1:1000 pada dewasa <45kg atau pada intubation/MRS di
1mg/kg/hari (40mg maksimum anak-anak. ICU.
tanpa tap off) selama 7-10 hari dan ATAU Terbutalin : (lebih β2 selektif 3. Bukti Xray
follow up. daripaada adrenalin) 0,25ml SC tiap menunjukkan
4. Tambahan : inhalasi steroid 20-30mmenit prn pada dewasa, pneumothorax,
(pulmicort turbuhaler 200µg 0,01ml/kg larutan 1mg/ml sampai infeksi atau
2x/hari. 0,25ml pada anak-anak. concomitant CCF.
161

Evaluasi Ulang

Tabel 2 : Faktor Resiko Kematian pada Asma


Riwayat terdahulu : serangan asma berat
Sebelumnya pernah mengalami intubasi akibat asma
Sebelumnya MRS pada ICU akibat asma
≥2 kali MRS karena asma pada tahun lalu
≥3 kali kunjungan ke Emergency care karena asma pada tahun lalu
MRS atau kunjungan ke Emergency care karena asma pada bulan sebelumnya.
Penggunaan > 2 unit/bulan inhalan beta agonis short acting
Baru saja menggunakan kortikosteroid sistemik atau recent withdrawal dari kortikosteroid
sistemik
Merasakan obstruksi aliran udara
Komorbid dengan penyakit kardiovaskular atau COPD
Penyakit psikiatrik yang serius atau memiliki masalah psikososial
Status sosioekonomi yang rendah serta bertempat tinggal di perkotaan
Pengguna obat-obatan terlarang

43.............................

44.GIGITAN ULAR BERBISA

Penting
162

• Yang terpenting pada kasus gigitan ular adalah korban sulit memastikan apakah
ularnya berbisa atau tidak.
• Tanda/gejala gigitan ular berbisa:
1.rasa nyeri pada daerah gigitan
2.bengkak pada sekeliling luka gigitan dan secara bertahap menyebar ke proksimal.
3.munculnya perdarahan kulit dan bula yang berisi cairan serosa atau darah.
4.munculnya gejala sistemik seperti mual,muntah, diare,rasa sakit sekali pada
perut,gelisah,hipotensi,perdarahan(epistaksis,gusi berdarah,perdarahan saluran
perncernaan),ganggua sistim saraf(paralysis,ptosis,gangguan gerakan bola
mata,gangguan bicara,gangguan menelan,sempoyongan,kejang),gagal nafas dan urin
yang gelap(mioglobinuria).
• Bila ular yang menggigit dapat ditangkap,maka dapat minta bantuan pada kebun
binatang local atau ahli reptile untuk mengidentifikasi ular tersebut.
Lihat bagan 1 untuk cara identifikasi gigitan ular.
• Hati-hati agar jangan membawa ular yang diduga telah mati,karena refleks
envenomasi akibat dekapitasi kepala ular masih dapat terjadi beberapa jam setelah
mati.
• Hanya sedikit jumlah ular tanah yang berbisa.
• Semua ular laut berbisa.Diduga bila terjadi gigitan tanpa rasa sakit yang terjadi saat
berenang di laut atau saat menangkap ikan.Nyeri pada semua otot dan sakit,dan rasa
kaku bila digerakkan.Biasanya terjadi cepat dalam setengah sampai sejam setelah
gigitan.
• Bisa ular dapat dikelompokan sebagai berikut:
1.hematotoksin atau kardiovaskular toksin (seperti pada jenis Crotalidae)
2.neurotoksin (seperti pada jenis Elapidae dan Hydropiidae)
3.miotoksin (seperti pada hydropiidae)
• Lihat table 1 untuk derajat kekuatan bisa ular
• Anti bisa ular harus diberikan di rumah sakit pada korban gigitan ular berbisa yang
menunjukkan gejala keracunan sedang sampai berat
• Daerah ektremitas yang digigit harus diimobilisasi untuk menurunkan metabolisme,
absorption dan penyebaran bisanya.
• Dalam imobilisasi jangan memakai torniket atau memanipulasi luka.Tapi gunakan
konstrikting band sebelah proksimal dari luka.Bebat yang dilakukan harus cukup
menekan,tapi jari pemeriksa juga harus dapat masuk diantara bebat dengan permukaan
kulit yang luka.Cara ini berguna bila gigitan ular belum lebih dari 30 menit.

Tabel 1: Derajat kekuatan bisa ular

Minimal Rasa sakit minimal s/d sedang,eritema,edema


ukuran 2,5-15 cm,tanpa
Disertai gejala sistemik
Sedang Sakit sekali,nyeri pada daerah luka, edema
25-40 cm,eritema,perdarahan
kulit(ptekie),muntah, demam dan lemah
Berat Rasa sakit yang cepat menyebar,edema 40-50
cm,ekimosis dan disertai gejala sistemik
Sangat berat Bengkak yang cepat terjadi,ekimosis,gejala
ganggua CNS,gangguan penglihatan,kejang
163

dan sampai syok

Bagan 1: Identifikasi jenis ular berbisa

pastikan ular benar-benar


telah mati

identifikasi ular dari bentuk luar


atau
cocokkan ciri fisik ular dengan gambar/teks

bila tidak dapat dilakukan

lihat gigi taringnya(harus memakai sepasang forseps)


note: bekas taring adalah 2 titik yang berjarak + 1,25 cm

jika ada jika tidak ada


ular berbisa ular tidak berbisa

gigi taring pendek gigi taring panjang

flat oar-like tail kepala dengan


sisik yang besar kepala bentuk segitiga

ular laut ular kobra,kraits viper


(hydropiidae) koral(elapidae) (crotalidae)

Penatalaksanaan:
• Pasien dirawat di ruang resusitasi,letakkan berbaring dan bagian tubuh yang digigit
harus diimobilisasi pada posisi dependent.
• Pertahankan jalan nafas tetap terbuka bebas,jika bahaya paralysis pernafasan atau
bulbar akan terjadi maka pasien harus diintubasi atau ventilasi dengan pembedahan
jika intubasi tidak mungkin dilakukan karena berbagai sebab.
• Berikan O2 high flow
• Pemeriksaan tanda-tanda vital secara lengkap
• Monitoring EKG,pulse oksimetri dan tanda vital tiap 5-10 menit
164

• Pemeriksaan lab:DL, faal hemostasis, UL, urea/elektrolit/kreatinin,EKG.Pada kasus


yang berat ditambahkan: mioglobin urin,skrining DIC,CPK,CKMB
• Jika pasien datang dengan terpasang torniqet, maka yang harus dilakukan untuk
antisipasi envenomasi mendadak:
1.pasang infuse NS 0,9%
2.peralatan resusitasi yang memadai
3.monitoring lengkap tersedia
• Pasang kateter untuk pasien yang tidak stabil/syok
• Mual dan muntah dapat terjadi akibat bisa yang jenisnya hematotoksik

Table 2 : dosis pemberian serum anti bisa ular

Derajat bisa ular secara klinis Dosis serum anti bisa ular
Minimal Tidak indikasi diberikan SABU
Sedang 20-40 cc(2-4 vial) (masih kontroversi)
Berat 50-90 cc(5-9 vial)
Sangat berat 100-150 cc(10-15 vial)

• Irigasi mata yang terkena semprotan bisa ular (beberapa jenis kobra akan
menyemprotkan bisanya kea rah mata korban).
• Jangan menekan bagian proksimal daerah luka gigitan ular berbisa dengan torniket.
• Jangan mengompres luka dengan es,karena pada saat kompres dihentikan,efek
vasodilatasi akan mempercepat penyerapan bisa ular.
• Jangan melakukan insisi ataupun menghisap luka gigitan.

Perhatian khusus
• Berikan serum anti bisa ular untuk menetralisir bisa ular: anti bisa ular polivalen harus
selalu tersedia di ruang P1 dan harus disimpan di lemari es pada suhu 2-6ºC.
Ketika SABU sudah keluar dari lemari es,maka harus cepat diberikan karena pada
suhu ruangan akan cepat kehilangan khasiatnya.
• Indikasi dan dosis pemberian dapat dilihat pada Tabel 2.
• Pencegahan akibat reaksi SABU:
1.apakah pasien sudah pernah mendapat suntikan serum sebelumnya,misalnya
ATS(bukan ATT).
2.pasien punya alergi atau punya keluarganya ada yang alergi:
a.tes sensitivitas pasien terhadap serum dengan diberikan suntikan 0,1 cc serum yang
telah didilusi dengan perbandingan 1:10 secara intradermal.Observasi selama 30 menit
apakah ada reaksi local dan menyeluruh.Bila terjadi reaksi, dapat diberikan
difenhidramin IV,kortikosteroid IV dan atau adrenalin IM 1:1000 atau IV 1:10.000.
b.berikan SABU pada pasien dengan riwayat alergi setelah lebih dulu diberikan
antihistamin dan hidrokortison 15-30 menit sebelumnya.
• Antikolinesterase diberikan pada pasien dengan gejala neurotoksin yang berat, dengan
diberikan dosis percobaan edrofonium klorida(Tensilon) 10 mg dengan atropine 0,6
mg.Bila respon setelah pemberian obat tersebut kurang,dapat diberikan neostigmin.
• Analgesic/sedasi diberikan jika pasien sangat kesakitan.Dapat diberikan morfin atau
diazepam,atau keduanya dalam dosis kecil dititrasi sampai efek yang diinginkan
165

tercapai.Persiapan intubasi harus dilakukan bila tanda-tanda depresi nafas muncul


seperti kelemahan otot akibat efek racun dari bisa ular.

Disposisi
• Semua penderita gigitan ular berbisa harus diobservasi,bila gejala keracunannya berat
harus dikonsultasikan pada tim ICU.

BAB 45

LUKA BAKAR MAYOR


166

Definisi luka baker mayor;

1. sebagian dan seluruhnya >10% dari permukaan tubuh, pada anak < 10 th atau orang

dewasa > 50th.

2. sebagian dan seluruhnya >20% permukaan tubuh pada orang dewasa

3. sebagian dan seluruh luka pada daerah khusus spt; wajah,mata, telinga, kepala, leher,

perineum, genetalia, tangan, kaki atau dipersendian besar.

4. seluruh tubuh > 5% dari permukaan tubuh pada banyak bagian

5. luka baker karena sengatan listrik.

6. lika baker kimia.

7. trauma inhalasi

8. luka baker melingkar

9. luka baker pada pasien dengan penyulit yang dapat menyebabkan komplikasi dan

kematian.

Penanganan luka baker menurut ATLS pada primary survey adalah mengatasi masalah jalan

nafas dan respirasi, sedangkan pada secondary survey adalah penanganan gejala klinis pada

tubuh yang mengalami luka baker tan total cairan yang hilang.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan luka baker dilakukan di IRD. Setelah penenganan ABC nya maka dilakukan

profilaksis intubasi pada pasien dengan resiko sumbatan jalan nafas, spt pada;

1. luka baker di kepala yang melingkari hidung dan mulut.

2. adanya jelaga pada lubang hidung, atau hilangnya bulu hidung karena terbakar.

3. luka baker di lidah


167

4. pembengkakan pada jaringan mulut bagian dalam

5. adanya suara yang serak

6. udema laring yang dapat dilihat dengan laringoskop

7. inspirasi yang ngorok

intubasi jalan nafas ini sangat beresiko, sehingga harus dilakukan secata cepat.(RSI)

1. oleh karena sangat berpotensi menimbulkan kesulitan jalan nafas, maka sebelum

dilakukan RSI, sebaiknya dilakukan intubasi secara sadar.

2. harus disiapkan cricotiroidektomi, bila sewaktu-waktu intubasi gagal

3. monitor ketat selama dilakukan intubasi

4. intubasi dilakukan oleh dokter emergency senior atau oleh ahli anastesi

5. pemberian suxamethonium tidak did=indikasikan untuk luka baker akut

• oksigen 100% diberikan pada pasien yang tidak diintubasi

• pasang infuse dengan cairan kristaloid

• perlu dilakukan pemeriksaan;

1. DL, RFT, elektrolit, LFT, FH, GDA

2. analusa gas`darah, level COHb.

3. ECG dan foto thorak.

• pasang kateter urin

• penatalaksanaan hipotermi

PEMBERIAN CAIRAN DAN OBAT UNTUK LUKA BAKAR


168

*Berat ringannya luka baker menentukan penatalaksaan dengan menggunakan “RULE OF

NINE” untuk pasien dewasa dan “LUND BROWDER” untuk anak-anak.

* telapak tangan pasien termasuk jari tangan diperkirakan = 1%

* yang dipakai sbg dasar pengobatan adalah luas luka baker terutama untuk kalkulasi cairan.
Banyak pasien dengan luka baker >20% membutuhkan caira resusitasi. Pemasangan infuse
dengan jaru 16G dapat dilakuakn pada tempat yang tidak mengalami luka baker. Cairan yang
digunakan dapat di kombinasi antara cairan kristaloid dengan cairan koloid.

PARKLAND’S FORMULA

_____________________________________________________________

Total cairan yang diberika dalam 24 jam= 2-4 ml/kgbb/%luas luka baker

• total volume dibagi dalam 2 tahap

• setengah pertama diberikan lewat infuse dalm 8 jam pertama

• setengah sisanya diberikan dalam 16 jam.

Waktu dihitung sejak terjadinya luka baker

Cairan terpilih adalah Hartman’s solution

PENANGANAN NYERI

1. injeksi petidhin 1mg/kgbb

2. injeksi morphin 2mg tiap 20 menit maksimal 10mg

3. injeksi tramodol 50mg dilanjutkan dengan infuse

4. dapat juga diberikan inhalasi entonox


169

PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR

• luka harus dibersihkan dan ditutup dengan kassa steril

• escharotomi jika luka luas dan dalam serta melingkari leher dan dada

1. escharotomi dapat dilakukan dengan ayau tanpa analgesic

2. digunakan pisau steril

3. incise sesuai dengan garis anatomi dimulai dari garis tersebut dan

sekelilingnya melingkari semua eschar dilateral maupun dimedial permukaan

luka terutama daerah persendian. Luka baker yang melingkari dada dilakukan

incise dua arah pada garis anterior axilla terutama jika mengganggu otot-otot

prenator.

4. incise dilakukan sedalam lemak, dan dihindari terjadinya pemotongan

pembuluh darah.

46…..

47. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS


170

DEFINISI
• Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ditandai oleh keterbatasan aliran udara parsial
yang bersifat reversibelm yang berlangsung progresif dan berkaitan dengan respon
inflamasi abnormal jarinagn paru terhadap gas ataupun partikel toksik.

PERHATIAN
• Gejala khas meliputi batuk, produksi sputum kronis dan sesak yang diinduksi oleh
aktvitas fisik dengan sebagian besar pasien mengalami paparan terhadap tembakau.
• Sekitar 10% pasien PPOK tidak mempunyai riwayat kebiasaan merokok
• 10% pasien PPOK menunjukkan gejala klinis asma dan harus ditangani sebagai kasus
asma.

) Tips Khusus Untuk Dokter Umum


Pada semua pasien PPOK, anjurkan untuk berhenti merokok,
karena hal ini merupakan intervensi yang terpenting.
Vaksinasi flu juga harus dipertimbangkan, karena hal
tersebut telah terbukti dapat mengurangi episode
eksaserbasi

DIAGNOSIS BANDING
• Gagal jantung kongestif (CHF): pemeriksaan beta natriuretic peptide (BNP)
merupakan metode terbaik untuk membedakan PPOK dari CHF.
• Sindroma Koroner Akut (ACS)
• Emboli paru (PE)
• Pneumothoraks/ kolaps paru
• Penumonia

Tabel 1: Klasifikasi PPOK berdasarkan beratnya menurut global initiative for


chronic obstructive lung disease (GOLD)
0: Berisiko Spirometri normal
Gejal kronis (batuk, produksi sputum)
I: Ringan FEV1/FVC <70%
FEV1 >80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala kronis (batuk, produksi sputum)
II: Sedang FEV1/FVC <70%
30% < FEV1 < 80% prediksi
III: Berat FEV1/FVC <70%
FEV1 <30% prediksi atau FEV1 <50% prediksi disertai gagal nafas
atau tanda klinis gagal kantung kanan

TATA LAKSANA
171

• Suplemen O2 aliran rendah terkendali untuk semua pasien dengan distres nafas atau
SpO2<90% untuk mencapai saturasi 90-95%. Dapat digunakan kanul hidung atau
sungkup venturi.
• Indikasi RSI dan ventilasi:
1. Ancaman henti nafas
2. Sesak hebat & nyata
3. Asidosis berat atau hiperkapnia
4. Penurunan kesadaran
5. Syok
Catatan: Pengaturan ventilasi sebaiknya menggunakan frekuensi rendah, volume tidal rendah
dan fase ekspirasi yang lebih panjang.
• Obat-obatan meliputi:
1. Agonis β-2: salbutamol 5mg (1ml) diuapkan. Efikasi obat ini tergantung pada tingkat
ireversibilitas kondisi PPOK pasien.
2. Antikolinergik: ipraptropium bromide 2ml (0.5 mg). Kombinasi antara 1 dan 2 tidak
memberikan tambahan efek samping dan menghasilkan efek bronchodilatasi yang
lebih unggul dibandingkan hanya menggunakan salah satunya.
3. Kortikosteroid: 0.5-1.5 mg/kg prednisolon oral selama 10-14 hari.
4. Metilsantin (aminofilin) tidak menunjukkan perbaikan FEV1 ataupun mempengaruhi
lama rawat inap.
5. Antibiotika: indikasinya meliuti peningkatan keluhan sesak, peningkatan produksi dan
purulensi sputum. Koloni bakteri yang umumnya ditemukan meliputi Strep
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Klebsiella,
Mycoplasma, Pseudomonas dan Streptococcus. Antibiotika yang bermanfaat meliputi
generasi lanjut makrolid dan kuinolon.
Catatan: Tidak terbukti manfaat Sulfas Magnesikus pada kasus PPOK
• Ventilasi non-invasif (VNI), merupakan standar pelayanan baru, dapat
menurunkan mortalitas, kebutuhan intubasi, komplikasi dan lama rawat inap bila
dibandingkan dengan terapi medikamentosa biasa. Indikasi VNI adalah:
1. Asidosis respiratorik sedang (pH 7.26-7.32)
2. Distres nafas persisten (RR >22/menit) setelah terapi awal PPOK eksaserbasi akut.
• Pasien yang tidak sesuai untuk dilakukan VNI adalah pasien dengan:
1. Henti nafas
2. Instabilitas kardiovaskuler (hipotensi, aritmia, infark miokard)
3. Penurunan tingkat kesadaran dan memberatnya penurunan kesadaran
4. Resiko aspirasi tinggi
5. Baru menjalani pembedahan pada wajah atau gastroesofagus
6. Trauma kraniofasial dan abnormalitas nasofaring yang menetap
7. Obesitas ekstrim
• Kriteria pasien dipulangkan meliputi:
1. Tidak memerlukan terapi inhalasi agonis β-2 lebih sering dari setiap 4 jam.
2. Pasien yang sebelumnya memiliki mobilitas dan dapat berjalan dengan nyaman.
3. Pasien telah stabil secara klinis selama 12-24 jam.
4. Hasil AGD yang stabil selama 12-24 jam.
5. Pasien ataupun pihak yang merawatnya memahami dengan baik penggunaan obat-
obatan secara tepat.
6. Perjanjian untuk kunjungan lanjutan ataupun perawatan di rumah telah diselesaikan.
7. Pasien, keluarganya dan dokter yang merawat merasa yakin bahwa pasien akan dapat
dirawat dengan baik di rumah.
48. Coronary syndromes, akut
172

Definisi
Acute Coronary Syndromes (ACS) meliputi kondisi yang meiliki kesamaan patofisiologi
oklusi koronaria, contoh unstabel angina, non ST elevasi MI (NSTEMI) dan ST-segment
elevation MI (STEMI). Manajemen unstabel angina dan NSTEMI pada dasarnya serupa.

Caveats
• Pasien bisaanya datang dengan gejala :
1. Onset baru (<2bulan) severe angina.
2. Angina yang memburuk, dengan gejala yang lebih sering, lebih parah, atau leboih
lama dan kurang berespon terhadap gliseril trinitrat. (GTN).
3. Angina yang memanjang padaa saat istirahat (>15 menit).
Catatan : Non-STEMI harus didiagnosa pada pasien dengan peningkatan enzim
kardiak tanpa adanya gelombang Q pada IMA. Sebuah keadaan NSTEMI tidak harus
ditandai dengan perubahan EKG.
• EKG mungkin menunjukkan :
1. Depresi ST segment
2. Elevasi ST segment transient yang akan mengalami resolve secara spontan setelah
GTN.
3. Inversi gelombang T
4. bukti adanya miokard infark sebelumnya.
5. Left Bundle Branch Block
6. perubahan minor yang tidak spesifik.
7. atau bisa juga normal
EKG tidak harus menunjukkan elevasi akut ST segment yang persisten.
• Enzim kardiak konvensional (CK,CK-MB, AST, LDH) dapat normal atau
meningkat. Peningkatan troponin T atau I spesifik untuk kerusakan miokard. Troponin
T > 0,1 µg/l, tes kualitatif troponin T yang positif dan troponin I > 0,4 µg/l,
merupakan penanda yang terkait dengan peningkatan resiko kematian dini pada pasien
ACS tanpa ST elevasi pada hasil EKG. Semakin tinggi konsentrasi troponin semakin
besar resiko kematian selama hari 30-42. Konsentrasi troponin yang normal atau tidak
terdeteksi dalam > 12 jam setelah onset mengindikasikan pasien memiliki resiko yang
rendah unutk mengalami komplikasi.
• Penelitian membandingkan troponin T dengan troponin I menunjukkan
keduanya sensitive dan spesifik, punya signifikansi indikasi prognostic yang serupa,
serta berperan pada stratifikasi resiko.
• Pasien ACS memiliki resiko efek samping dini yang meningkat dibawah
kondisi berikut:
1. Usia > 65 tahun
2. Komorbid terutama dengan DM
3. Nyeri jantung yang memanjang pada saat istirahat (>15 menit).
4. Iskemik EKG depresi ST segment pada saat MRS atau selama gejala muncul.
5. EKG menunjukkan inverse gelombang T
6. Bukti adanya kerusakan fungsi ventrikel kiri (preexisting atau selama iskemik
miokard).
7. Pelepasan troponin jantung yang positif
8. Peningkatan C-reactive protein
• Kategori resiko rendah : troponin jantung normal pada 12 jam setelah onset
gejala. Kelompok ini juga memiliki EKG yang normal serta CK-MB yang normal,
serta tidak perlu MRS di CCU atau high dependency ward.
173

• Terapi bertujuan : control gejala dan mencegah MI serta kematian. Dapat


dicapai dengan menggunakan antiiskemik dan antitrombotik, jika tidak berhasil
dilanjutkan dengan revaskularisasi mekanis.
• Penting untuk menangani hipertensi dan gagal jantung pada fase akut ACS.
• Terapi trombolitik tidak menunjukkan manfaat pada pasien ACS tanpa ST
elevasi pada EKG (kecuali pada suspek IMA dan left bundle branch Block).

Tips khususBagi Dokter Umum:


• Rujuk semua kasus ACS ke ED.
• Berikan aspirin 300mg sebelum mengirim pasien ke
RS.

Manajemen
Nyeri Dada iskemik berkelanjutan/perubahan EKG menunjukkan Unstabel angina atau
NSTEMI
• Monitoring tanda vital pada area critical care
• Berikan O2 via mask
• Aspirin oral 300mg
Catatan : ini merupakan terapi dasar ACS, yang akan mencapai platelet inhibition dalam 1
jam. Hindari enteric-coated aspirin, karena onset akan lebih lambat sampai 3-4 jam.
Aspirin mengurangi resiko kematian jantung dan infark miokard non-fatal pada sekitar
50% kasus dalam 3 bulan.
• IV plug dan pemeriksaan darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak,
troponin T atau I, profil koagulasi, GXM 2 unit packed cells.
• Berikan IV GTN 20-200 µg/menit untuk mengurangi nyeri atau iskemik.
Tingkatkan 5-10 µg/lmenit pada interval 5-10 mneit sampai nyeri dada hilang atau
MAP turun 10%. Hentikan jika terjadi hipotensi.
Catatan : IV GTN bermanfaat pada ACS dan hipertensi/gagal jantung. Tidak ada bukti
bahwa IV infusion lebih efektif dibanding dengan long-acting nirate yang diberikan
melalui rute lain, namun titrasi dosis dapat lebih cepat dan lebih mudah dilakukan dengan
jalur IV. GTN merupakan kontraindikasi bagi infark ventricular kanan.
• Berikan IV morfin secara titrasi untuk mengurangi nyeri jika nyeri menetap
setelah pemberian GTN.
• Berikan beta-blocker untuk mengurangi resiko infark jika tidak ada kontraindikasi,
cth gagal jantung, gagal nafas, heart block derajat 2 atau lebih, tekanan darah sistolik
< 90mmHg. Contoh : atenolol/metoprolol oral 50-100mg/hari.
• Berikan Calsium Channel Blocker bersama dengan beta blocker atau pada pasien
dengan kontraindikasi betablocker namun tidak meilki gagal jantung atau disfungsi
ventrikel kiri. Titrasi sampai HR 60x/menit. Cth : Diltiazem IV 5mg selama 2-5menit,
diulang tiap 5-10 menit samapai dosis total 50mg. diikuti dengan infus 5
mg/menitsampai 15mg/menit.
• Heparin, ketika digunakan IV, mengurangi insiden iskemik berulang dan progresi
Q-wave MI.
Penggunaan IV heparin butuh monitoring hati-hati. Namun tidak diperlukan bila
menggunakan heparin molekul kecil dan cara kerjanya lebih mudah diprediksi karena
memiliki bioavaibilitas yang nyaris komplit. Diberikan 2 kali sehari dengan injeksi SC
selama 3 hari.
174

Catatan : resiko komplikasi pada pasien unstabel angina dan non-STEMI akan berkurang
pada keadaan dibawah ini:
1. unfractioned heparin tanpa aspirin lebih efektif ddari pada placebo.
2. Unfractioned heparin dikombinasikan dengan aspirin lebih efektif dibanding dengan
aspirin saja.
3. Low molecular weight heparin dikombinasikan dengan aspirin lebih efektif daripada
aspirin saja.
• Kasus resiko tinggi harus diterapi dengan intravenous small molecule platelet
glycoprotein IIb/IIIa inhibitor selama 96 jam. Juga harus diberikan pada pasien dengan
troponin T yang meningkat yang dijadwalkan menjalani intervensi koronari
perkutaneus menggunakan unfractioned heparin. 3 jenis agent yang digunakan
adalah : abciximab, tirofiban dan eptifibatide.
• Deteksi dan koreksi factor pencetu yang jelas : anemia, demam, tirotoksikosis,
hipoksia, takidisritmia, stenosis aorta atau obat simpatomimetik.
• Lakukan CXR.
• MRS pada CCU.

Diagnosa Unstabel Angina berdasarkan keadaan klinis tanpa perubahan EKG/perubahan


ECG non-spesific serta pasien telah bebas dari nyeri dada
• Monitoring pada area intermediate.
• Berikan aspirin oral 300mg
• Pasang IV plug dan periksa darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim jantung,
troponin T atau I jantung, profil koagulasi, cross match 2 unit packed cells.
• Aplikasikan nitroderm patch 5-10mg tergantung pada tekanan darah.
• Lakukan CXR.
• MRS pada bangsal kardiologi.

49. Crush Syndrome


175

Caveats
• Kegagalan mengenali kondisi ini menyebabkan kematian tinggi
• Metabolik toksin dari kerusakan otot menyebabkan:
1. Sumbatan tubulus ginjal mengakibatkan gagal ginjal
2. Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa menyebabkan disritmia diikuti DIVC
• Penyebab:
1. Luka bakar
2. Terjepitnya otot besar > 60 menit, misal pada crush injury, alkoholik dan
pengguna obat saat tidak sadar
3. Non traumatik neuroleptic malignant syndrome
4. Kejang grand mall yang lama
• Masalah: hipovolemia, hiperkalemia, hipokalsemia, myoglobinuria, gagal ginjal,
ARDS, DIVC

Tips Khusus untuk dokter umum:


Resusitasi cairan secepatnya dapat bermanfaat

Penatalaksanaan
• ABC merupakan protocol utama
• Kateter intravena 2 jalur dan resusitasi cairan secepatnya minimal 1.5 L/ jam
• Lab: darah lengkap, urea/elektrolit/kreatinin, kalsium serum, faal koagulasi
• Urinalisis untuk myoglobin
• ECG untuk mendeteksi aritmia akibat hipokalsemia dan hiperkalemia
• Monitor produksi urine: pasang kateter urine. Jika produksi urine buruk, force diuresis
mannitol – alkaline sampai pH urine > 6,5
• Profilaksis antitetanus jika ada luka terbuka
• Beritahu orthopedik untuk segera fasiotomi
176

50 Dengue Fever

Definisi
Dengue fever merupakan penyakit infeksi demam akut, disebabkan oleh virus dari genus
Flavivirus, vector : Aedes aegypti. Patofisiologi penyakit terjadi karena peningkatan
permeabilitas kapiler yang berlebihan, dengan keluarnya plasma kapiler yang difus,
hemokonsentrasi, dan beberapa kasus terjadi syok hipovolemik hemorrhagic.. periode
inkubasi : 3-6 hari; bebepara kasus mencapai 15 hari.

Manifestasi klinis
Dengue fever (DF)
• Gejala klinis dengue fever pada tahap awal serupa dengan pasien infeksi virus.
• Ditandai dengan demam dan trombositopenia.
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
• Fase awal tidak dapat dibedakan dengan DF.
• Setelah 2-5 hari, beberapa kasus pada infeksi yang pertama atau lebih sering setelah
infeksi yang berulang akan menunjukkan trombositopenia (<100.000/mm3) dan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20% atau >45%).
• Manifestasi perdarahan dapat muncul atau tidak; limphe tidak teraba, terdapatnya
pembesaran hepar serta nyeri tekan merupakan tanda prognosis yang buruk.
• Manifestasi lain: efusi pleural, hipoalbunemia, ensefalopati dengan cairan
serebrospinal yang normal.
• Acute liver failure dengan perubahan kesadaran yang jarang terjadi serta didapatkan
tanda neurologik yang abnormal (Hiperrefleksia) dapat timbul. Pasien seperti itu akan
mudah mengalami perdarahan hebat, gagal ginjal, edema otak, edema paru dan infeksi
sekunder. Intervensi dini diperlukan. Pelepasan plasma dari kapiler secara difus
bertanggungjawab terhadap terjadinya hemokonsentrasi.
• Klasifikasi DHF menurut WHO :
Grade I demam, gejala konstitusional, tes tourniquet positif
Grade II Grade I dengan adanya perdarahan spontan
Grade III Grade II dengan instabilitas hemodinamik dan mental confusion
Grade IV Grade III dengan syok
Kasus disertai dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Grade III dan IV dinamakan Dengue Shock Syndrome (DSS).

Caveats
• Diagnosa DF pada ED muncul bila didapatkan riwayat demam > 3
hari dan tidak merespon terapi yang diberikan.
• Gejala abdomen seperti nausea, vomiting, nyeri epigastrial, dan
diare sering menyebabkan misdiagnosa manjadi GE atau gastritis viral, terutama pada
anak-anak.
• Demam bisaanya tinggi dan memnjang, resisten terhadap terapi.
Bisaanya nyata pada pasien yang tinggal di daerah endemis dengue.
• Beberapa pasien dapat menunjukkan nyeri punggung yang hebat.
• Pasien dengan riwayat keluarga positif dengue, memiliki resiko
lebih tinggi untuk menderita infeksi yang sama, sehingga diperlukan monitoring
hitung trobosit.

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


• Skin rash seperti eritema menyeluruh dengan pockets of sparing di ekstremitas bawah
tidaklah selalu konsisten. Namun wajah pasien dengan dengue bisaanya akan terlihat
flushing/memerah. Kadang pasien datang dengan keluhan perdarahan gusi.
• Rujuk semua kasus suspek DHF atau DSS secepatnya ke RS.
177

Manajemen
• Tidak ada terapi dengue yang spesifik. Pemberian terapi suportif (replacement cairan
dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit) merupan kunci penanganan pasien infeksi
dengue.
1. Monitor hitung trombosit tiap hari sampai menunjukkan peningkatan.
2. Monitor profil koagulasi : ulang tes jika diperlukan.
• Pasien yang serius ditangani pada area critical care untuk dimonitoring.
• FBC penting pada semua pasien demam tinggi yang terus menerus tanpa
sumber infeksi yang jelas. Penemuan penting pada pasien dengue :
1. lekopeni; adanya lekositosis dan netrofilia mengeksklusi adanya kemungkinan
dengue, dan infeksi bacterial harus dipertimbangkan.
2. Trombositopeni (< 100.000/mm3): leptospirosis, measles, rubella,
meningococcemia, septisemia, malaria, dan SARS juga dapat menyebabkan
trombositopeni namun rash tidak sering timbul pada malaria tanpa komplikasi.
3. Hematokrit menunjukkan hemokonsentrasi.
4. Urea dan elektrolit : hiponatremia
5. LFT : abnormalitas enzim hati.
• Monitoring tanda vital, adanya hemokonsentrasi, penggantian cairan
intravascular dengan RL atau isotonic salin, koreksi asidosis metabolic, serta
pemberian oksigen merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa pasien
DSS. Ketika pasien stabil, leakage kapiler berhenti dan resorpsi cairan ekstravaskular
dimulai, penanganan cairan intravena harus hati-hati untuk menghindari edema
pulmonal.
• Salisilat harus dihindari sebagai analgesic, karena potensinya dalam
menyebabkan perdarahan diatesis dank arena dengue terkait dengan Reye’s syndrome
pada beberapa kasus. Obat hepatotoksik dan sedative long-acting juga harus dihindari.
• Penempatan : MRS untuk terapi cairan IV jika diperlukan pada kasus :
1. dehidrasi signifikan (>10% berat badan normal) telah terjadi dan ekspansi volume
secara cepat diperlukan atau ketika terjadi perdarahan spontan. Berarti pasien
dengan grade I yang merespon terapi cairan per oral serta tidak memiliki
kompplikasi saja yang dapat dipulangkan.
2. Kecenderungan untuk terjadi perdarahan
3. Trombositopenia berat (<100.000).
4. Hitung platelet <20.000 akan membutuhkan bed rest karena ditakutkan akan
terjadi perdarahan spontan dan trauma yang tidak disengaja.
5. pasien lansia, atau yang sangat muda serta pasien dengan penyakit lain (cth :
alergi, DM, IHD).
Catatan: pasien dengan hitung trombosit 100.000-140.000 dapat dipulangkan namun harus
melakukan pemeriksaan FBC berkala sampai trombosit normal.
178

51. Dermatologi pada Emergency Care

Caveats
• pasien febris dengan rash purpurik, pertimbangkan meningococcaemia.
• Pada pasien dengan rash ptechiae, pikirkan kemungkinan DIVC akibat sepsis.
• Pada pasien hipotensiv dengan nyeri sendi dan ‘bruising’, pertimbangkan
kemungkinan necrotizing soft tissue infection yang dapat memperdaya pemeriksa
pada awal presentasi penyakit.
• Ada kemungkinan untuk melakukan vaksinasi pada seseorang yang mengalami
chicken pox walaupun ringan dan mungkin salah artikan sebagai ‘viral fever’.
• Pikirkan varicella pneumonitis jika pasien menderita takipneu, batuk dan demam
tinggi 3-5 hari.

Tips Khusus bagi Dokter Umum


• Rujuk cepat pasien Meningococcaemia dengan memberikan profilaksis
ciprofloxacin 500mg dosis tunggal.

Varicella (Chicken Pox)


Agent : Varicella Zoster Virus (VZV).
Manifestasi klinis
• Periode inkubasi : 10-21 hari, namun bisaanya 14-17 hari.
• Bisaanya didahului dengan gejala prodromal : demam low-grade, malaise, mialgia
(dapat tidak terjadi pada anak kecil)
• Lesi awal dapat berupa macula atau popular sebelum timbul vesikel, diikui dengan
krusta.
• Distribusi meliputi kulit kepala, area genital, mukosa mulut, dan konjungtiva, namun
terutama pada trunkus.
• Lesi timbul dengan usia yang berbeda, antara vesikel dengan krusta.
• Pasien bersifat infeksius pada 48 jam sebelum onset timbul rash vesikel, selama
periode pembentukan vesikel, bisaanya 4-5 hari, dan sampai vesikel menjadi krusta.

Manajemen
• Pertimbangkan asiklovir jika pasien datang pada 24-72 jam pertama sejak onset rash.
Dosis 800mg (dewasa) atau 20mg/kgBB (pediatric) 5 x per hari x 5hari.
• Antihistamin untuk mengontrol gatal dapat dipertimbangkan, misal CTM 4mg 3x/hari.
• Jangan berikan aspirin sebagai antipiretik karenadapat menyebabkan Reye’s
syndrome.
• Pertimbangkan antibiotik oral jika ada gejala infeksi bacterial, cth : penisilin V
(Streptococcus grup A merupakan penyebab tersering)/cephalexin/doxyciclin (jika
alergi penisilin atau cephalexin) atau Cloxacillin jika dicurigai karena Staphylococcus
aureus.
• Pasien dengan immunocompromised harus diMRS-kan.

Komplikasi
179

• Terjadi terutama pada dewasa dan pasien immunocompromised: aseptic meningitis,


encephalitis, pneumonia, pneumonitis, transverse myelitis dan Reye’s syndrome.
• Foetal Varicella syndrome terkait dengan phocomelia: neonatal varicella dapat fatal
dan ditularkan saat persalinan.
• Imunitas dapat ditentukan dengan IgG.

Isolasi
• Sarankan isolasi sampai tidak ada vesikel baru yang muncul dan lesi menjadi krusta.
• Wanita hamil yang tidak memiliki imunitas harus dipertimbangkan untuk VZIg.

Herpes Zozter (‘Shingles’)


Menandakan reaktivasi varicella zoster virus yang laten.
Manifestasi klinis
• Vesikel yang nyeri dengan distribusi dermatoe yang unilateral.
• Daerah yang sering adalah torso, kulit kepala dan wajah.
• Onset herpes zoster ditandai dengan nyeri yang sangat pada dermatom yang muncul
sebelum adanya lesi dalam 48-72 jam, diikuti dengan rash makulopapular yang eritem
yang kemudian berubah menjadi vesikel dengan cepat.
• Durasi total penyakit ini bisaanya antara 7-10hari; namun dibutuhkan waktu 2-
4minggu untuk mengembalikan kulit menjadi normal.
• Manifestasi yang tidak khas :
1. nyeri tidak disertai dengan lesi yang khas.
2. dapat tersebar pada pasien immunocompromised.
• Trigeminal Herpes zoster dengan keterlibatan nervus ophthalmicus (Zoster
ophthalmicus) dapat menyebabkan ulkus kornea dan hilangnya penglihatan. Selalu
lakukan tes pewarnaan fluoresensi untuk menyingkirkan ulkus kornea jika vesikel
terdapat pada bagian bridge of the nose dandisekitar mata dan daerah dahi.
• Komplikasi yang paling mengganggu dari herpes zoster adalah rasa nyeri
yang terkait dengan neuritis akut dan neuralgia postherpetik.

Manajemen
• Kontrol nyeri dengan anlgesik pada fase akut. Trisiklik antidepresan seperti
amitryptilin 10 mg dapat dipertimbangkan bila nyeri persisten setelah vesikel mulai
menghilang (postherpetic neuralgia); obat lain seperti gabapentin dan narkotik
digunakan pada kasus yang berat.
• Obat antiviral, cth :Acyclovir :
1. menunjukkan pemendekan manifestasi herpes zoster bila diberikan dalam 48-72
jam pertama sejak onset rash muncul.
2. Dosis : 5 x 800mg selama 7-10 hari.
3. Berikan acyclovir IV pada pasien immunocompromised atau dengan penyakit
yang meluas.
• Steroid dapat mencegah postherpetic neuralgia.
• Rujuk ke ophthalmologist jika ada keterlibatan corneal.

Pemfigoid dan Pemfigus


• Keduanya merupakan penyakit bullous karena proses autoimun.
• Dasar terapi adalah memberikan antiinflamasi
• Biopsy kulit sering diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosa.
• Lihat bab 1 untuk membedakan manifestasi klinis.
180

Tabel 1 : Faktor Pembeda Pemfigoid dengan Pemfigus

Feature Pemfigoid Pemfigus


Usia Lansia Usia muda/pertengahan
Lesi Bulla yang tegang Bulla lebih lunak yang mudah pecah
kemudian menyisakan erosi
Gatal Nyeri
Membran mukosa kadang Membrane mukosa sering terlibat; sering
terlibat menampakkan manifestasi.
Prognosis Lebih benign Potensial mematikan.

Manajemen
• Pada umumnya keduanya membutuhkan manajemen yang melelahkan :
1. steroid sistemik ± immunosupresif
2. Perawatan luka local.
3. terapi infeksi
4. Koreksi kehilangan cairan dan elektrolit dari luasnya kulit yang luka.

Necrotizing Soft Tissue Infections


• Sekelompok infeksi bacterial pada jaringan lunak yang dapat mengancam
nyawa dan ditandai dengan nekrosis jaringan.
• Istilah spesifik digunakan berdasarakan jaringan yang terlibat serta
organisme penyebabnya:
1. Necrotizing fasciitis
2. Necrotizing myositis
3. Fournier’s gangrene (genitalia)
• Organisme :
1. Streptococcus grup A
2. Polymikrobial
3. Staphylococcus aureus.

Manifestasi Klinik
• Toksik, demam, dan sering hipotensif ± confusion dan delirium.
• Penampakan kulit yang minor dapat memperdayakan dibandingkan dengan
manifestasi klinis pasien yang toksik.
• Terdapat edema dan eritema pada awalnya, menjadi pucat dan keabu-abuan
dengan perdarahan bullae (karena iskemik ketika pembuluh darah rusak) atau
gangrene.
• Nyeri abdomen juga sering muncul sebagai keluhan.

Diagnosa Diferensial
• Selulitis dan infeksi jaringan lunak non-necrotizing lain
• Erisipelas, memiliki batas demarkasi yang jelas serta streaking pada limphangitis juga
menonjol; vesikel dan bula dapat terjadi pada infeksi berat (penyebab : Streptococcus
beta hemolitikus grup A)
181

Manajemen
• Ditangani pada area Critical Care
• Resusitasi cairan dan inotropic support jika diperlukan
• Pertimbangkan X ray jaringan lunak yang terlibat untuk mencari ‘free air’ pada
jaringan subkutan.
Catatan : Tidak adanya penemuan tersebut tidak akan menyingkirkan diagnosa.
• Lakukan kultur darah
• Beri antibiotik spectrum luas, IV kristaline penicillin + Clindamycin (untuk
streptococcus grup A + Anaerob dengan beberapa Staphylococcus) + Ceftazidime
(untuk bakteri batang Gram negative dan Meliodosis).
• Rujuk ke ortopedik/bedah umum (tergantung pada daerah yang terlibat) untuk
eksplorasi bedah secepatnya serta debridemen.
• Penempatan : HD atau ICU tergantung stabilitas pasien.

Meningococcaemia
Penyebab : N. meningitides (Diplococcus Gram negative pada pewarnaan Gram CSF).

Manifestasi Klinis
• Onset yang tiba-tiba dari demam, malaise, mialgia, athralgia, nyeri kepala, nausea, dan
vomiting.
• Bersifat toksik dengan progresivitas yang cepat menjadi tanda meningitis.
• Penemuan kulit yang terkait : jaringan parut berwarna merah muda atau papula
purpurik (lesi yang teraba < 1,5 cm) yang dapat menjadi vesicular atau pustular.
• Dapat berkembang menjadi purpura fulminan : plak irregular namun berbatas tegas,
berupa purpura ungu dengan bagian tengah yang keabu-abuan, kehitaman, ungu gelap
atau nekrosis kehitaman.

Manajemen
• Pasien harus ditangani pada area critical care
• Resusitasi cairan dan support inotropik jika diperlukan
• Kultur darah
• Antibiotik dapat dimulai sebelum pungsi lumbal
• Antibiotik pilihan : IV Penicillin G 4 juta U setiap 4 jam (pertimbangkan
Cloramfenikol jika alergi penisilin) atau Ceftriaxon 2 g 2x/hari.
• Penempatan : HD atau ICU (membutuhkan isolasi).

Profilaksis
• Indikasi :
1. Kontak dekat setidaknya 4 jam pada seminggu sebelum onset penyakit, cth : orang
yang tinggal serumah, kontak sehari-hari, teman satu ruang.
2. terpapar secret nasofaringeal pasien, cth : melalui ciuman, resusitasi mulut ke
mulut, intubasi, suction nasotracheal.
• Regimen
1. Ciprofloxacin po 500mg single dose atau rifampisisn 600mg po bd x 4 dosis
(dewasa)
2. Rifampicin 10mg/kg po bd x 4 dosis (pediatric).
Urtikaria Akut
Manifestasi Klinik:
182

• Rash merah muda, non-scaling, permukaan atas datar yang terjadi berpindah-pindah.
• Lesi terasa gatal
Penyebab :
• Viral: diyakinkan dengan adanya riwayat demam, mialgia, dan gejala URTI.
• Obat-obatan: Penisikin, sulfa NSAID
• Alergi makanan
• Factor lingkungan : dingin, sinar matahari, tekanana
• Tidak diketahui
Manajemen
• Identifikasi dan eliminasi factor penyebab jika mungkin
• Terapi simptomatis
• Antihistamin
1. pilihan rute parenteral
Promethazine : IM 25 mg (dewasa) atau
0,5 mg/kg (anak-anak)
Difenhidramin IM 25 mg (dewasa) atau
1 mg/kg (anak-anak)
2. Pilihan per Oral
CTM (piriton) tab 4 mg 3x/hari
Hydroxyzine (Atarax) tab 25 mg 3x/hari
Pilihan terbaru yang kurang sedative : Cetirizine (zyrtec), loratadine
(Clarityne)
• Steroid
1. dipertimbangkan jika lesi luas dan rekuren, atau terkait dengan angioedema
2. Prednisolone tab 1mg/kg OM selama 5 hari
• Penempatan : dapat KRS jika respon thd terapi baik, dan tidak ada
angioedema.

Erythema Multiforme
Merupakan reaksi hipersensitifiatas, diklasifikasikan:
• EM minor : ringan dan paling sering
• EM major/bullous/stevens-Johnson syndrome : bula dan erosi membrane mukosa yang
signifikan.

Manifestasi klinis
• Papula merah, permukaan datar ukuran 1-3 cm.
• Tidak gatal dan bersisik
• Bull’s eye atau lesi target : kehitaman, violaceous atau bagian tengah kecoklatan.
• Lesi menetap
• Bisaanya dimulai pada tangan dan kaki, termasuk telapak tangan dan kaki, sebelum
kemudian menyebar.
• Bula dapat muncul pada lesi target.
• Erosi membrane mukosa dapat terjadi.

Penyebab
• Infeksi : HSV, EBV, Streptococcus, Mycoplasma merupakan yang paling sering.
• Obat : Sulfa, penisilin, tetrasiklin, antikonvulsan (cth : fenitoin, carbamazepin,
barbiturate) NSAID, allopurinol, hidroclorothiazide, procainamide.
183

• Lain-lain : penyebab autoimun.

Manajemen
• Tentukan penyebab dan eliminasi allergen jika mungkin
1. review medikasi pasien
2. review simptomatologi untuk penyakit infeksi yang sering terjadi
3. Alergi makanan
4. Gigitan serangga/sengatan
5. Penyakit autoimun
• EM minor
1. berikan kenyamanan
2. Medikasi bisaanya tidak diperlukan karena bisaanya rash tidak gatal dan tidak
nyeri.
3. foolow up pada klinik kulit/general medicine.
• EM major
1. MRS untuk perawatan inpatient
2. perawatan suportif umum : maintenance cairan dan elektrolit
3. Perawatan luka
4. Kontrol infeksi
5. perhatikan bahwa steroid sistemik adalah controversial.
6. MRS pada Unit Luka Bakar atau HD jika terjadi skin loss yang signifikan atau
toxic epidermal.

Erythema Nodosum
Merupakan reaksi hipersensitivitas
Manifestasi klinis
• Onset akut nodul kemerahan yang nyeri
• Terdistribusi terutama pada kaki bagian bawah
Penyebab
• Infeksi : Streptococcus, tuberculosis, infectious mononucleosis, Chlamydia, Yersinia.
• Terkait dengan sarcoidosis, Hodgkin’s disease, ulcerative disease.
• Obat: kontrasepsi oral, sulfonamide, penisilin, tetrasiklin
Manajemen
• Review sistemik untuk mengetahui kemungkinan infeksi
• Eliminasi penyebab/pencetus
• Terapi simptomatik, cth NSAID sebagai analgesic.
• Sarankan ke ahli dermatologi untuk follow up.
184

52. Diabetic ketoacidosis (DKA)

Caveats
• DKA disebabkan penurunan kadar insulin secara absolute atau relative yang terjadi
pada saat terjadi kelebihan glukagon. Kriteria diagnosa :
1. Hiperglikemia dengan glukosa darah ≥ 14 mmol/L
2. Asidemia dengan pH arteri < 7,3, bikarbonat < 15 mmol/L
3. Ketonemia atau ketonuria
• Kadar glukosa plasma yang tinggi menyebabkan diuresis osmotic dengan
hilangnya sodium dan air, hipotensi, hipoperfusi dan syok. Pasien datang dengan
signifikan poliuri, polidipsi, berat badan turun, dehidrasi, kelemahan dan sensorium
yang berkabut.
• Pasien muda yang tidak didiagnosa diabetes sering muncul dengan DKA
yang berlangsung selama 1-3 hari. Kadar glukosa plasma mungkin tidak meningkat
tajam.
• Keluhan GIT seperti nausea, vomiting dan nyeri abdomen merupakan
keluhan yang paling sering didapatkan, terutama pada usia muda. Keadaan ini sering
disalahartikan sebagai ‘acute surgical abdomen’. Kadar amylase serum sering
meningkat tanpa adanya pankreatitis.
• Hiperventilasi dengan nafas yang cepat dan dalam (‘air hunger’) serta bau
nafas acetone merupakan tanda khas DKA.
• Penyebab:
1. Infeksi : UTI, respiratory tract, kulit
2. Infark: miokard, CVA, GIT, vaskularisasi perifer.
3. Insulin insuffisien
4. Intercurrent illness
• Tanda infeksi kadang tidak jelas. Temperature jarang meningkat, dan
peningkatan hitung total sel darah putih mungkin hanya merefleksikan ketonemia,
namun adanya demam walaupun tidak tinggi mengindikasikan adanya sepsis. Jika
ragu, akan lebih aman untuk memberikan antibiotik broad spectrum.
• Replacement cairan yang terlalu cepat dapat mengakibatkan gagal jantung,
edema serebral, dan ARDS, terutama pada pasien dengan underlying cardiac disease
atau pada lansia. Monitoring CVP mungkin diperlukan.

Manajemen
Terapi suportif
• Harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
• Oksigen aliran tinggi
• Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa darah,
keton, potassium dan keseimbangan asam basa tiap 1-2 jam.
185

• Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, enzim kardiak, DIC


screen (jika sepsis), urinalisis (untuk keton dan lekosit), serum keton (beta-
hydroxybutyrate) dan BGA.
• Pertimbangkan kultur darah (paling tidak 7,5 ml tiap botol).
• EKG 12 lead, CXR, urin dipstick: cari penyebab DKA.
• Support sirkulasi : IV NS sebagai dasar dari resusitasi cairan, ganti menjadi NS 0,45%
jika perfusi membaik dan BP normal, kemudian D5W/0,45% NS jika glukosa serum
turun. Total kehilangan cairan pada DKA bisaanya 4-6 liter.
• Kateter urin untuk monitoring output.

Terapi spesifik
• IV Volume Replacement : Berikan NS 15-20ml/kg/jam pada jam I, dengan pemberian
koloid jika pasien tetap hipotensi. Jika pasien tidak hipotensif atau hiponatremia,
barikan 0,45% NS 10-20ml/kg/jam selama 2-4jam kemudian dengan monitoring yang
ketat dari kadar glukosa serum. Ganti menjadi D5W/0,45% NS jika kadar glukosa
serum turun dibawah 14 mmol/L. Normal atau setengah NS dapat diteruskan
bersamaan dengan IV D5% untuk mengkoreksi derangement cairan dan elektrolit.
Monitoring output urin setiap jam, dan cek elektrolit serta kreatinin tiap 2-4 jam
sampai stabil.

Catatan : Replacement cairan harus dapat mengkoreksi deficit yang


diperkirakan (4-6 liter) dalam 24 jam pertama, namun osmolaritas serum tidak
boleh turun lebih dari 3 mOsm/kg/jam untuk menghindari terjadinya edema
serebral.

• Restorasi keseimbangan Elektrolit : replacement potassium lebih awal merupakan


standar terapi. Jika terjadi oliguri, tes fungsi ginjal mungkin meningkat. Jika
abnormal, replacement potassium harus diturunkan. Pastikan terdapat urin outpun,
kemudian lakukan replacement dengan ketentuan :
1. Serum k+ < 3,3mmol/l, berikan 20-40 mEq KCL per jam
Catatan: infus insulin secara bersamaan tidak akan mengurangi potassium
serum.
2. Serum K+ 3,3-4,9mmol/l, berikan 10-20 mEq K+ per jam (dapat diberikan 2/3
KCL dan 1/3 KHPO4; replacement phosphate diindikasikan jika serum fosfat <
0,3mmol/l) atau jika pasien anemis atau dalam distress cardiorespiratori.
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan potassium namun teru periksa tiap 2 jam.

• Restorasi keseimbangan asam basa : sodium bikarbonat diberikan jika


terdapat hiperkalemi hebat atau jika pH arteri <7,0 dimana replacement volume IV dan
pemberian insulin akan memperbaiki asidosis metabolic. Jika pH 6,9-7,0, berikan IV
NaHCO3 8,4% 50ml didilusikan dalam 200ml NS dan berikan selama 1 jam. Jika pH
<6,9, berikan 100ml NaHCO3 8,4% didilusikan dalam 400ml NS selama 2 jam.

Catatan : tidak ada efek menguntungkan bila diberikan pada pH yang lebih
tinggi. Ulangi BGA setelah 1 jam hidrasi dan terapi bikarbonat; jika pH masih
< 7,0, berikan NaHCO3 8,4% 50ml dalam 200ml NS selama 1-2 jam dalam
infus.
186

• Pemberian Insulin : dosis besar tidak diperlukan untuk mengatasi DKA.


Hipoglikemi dan hipokalemi akan mudah terjadi dengan pemberian terapi insulin
dosis besar.
1. Berikan bolus dosis 0,15 unit/kgBB IV SI pada dewasa, diikuti dengan dosis
rendah infus 0,1 unit/kgBB/jam pada dewasa dan anak-anak. Sesuaikan laju infus
untuk menurunkan kadar glukosa serum sekitar 3-4mmol/l per jam. Monitoring
glukosa darah tiap jam.
2. Jika kadar glukosa darah turun dibawah 14 mmol/l (252 mg/dl), bagi dua laju infus
IV SI sampai 0,05-0,1 unit/kg/jam dan tambahkan dekstrose pada cairan IV untuk
menghasilkan kadar glukosa darah 8-12 mmol/l. Pertahankan infus SI sampai
asidosis hilang (pH > 7,3 dan HCO3 > 15). SC SI tiap 4 jam kemudian dapat
diberikan dalam periode yang overlap 1-2 jam. Jangan hentikan IV SI begitu kadar
glukosa darah telah normal.
• Tangani Faktor Pencetus, seperti sepsis, IMA.

Penempatan:
• MRS-kan semua kasus DKA
• Pasien dengan hipotensi atau oliguri sebagai rehidrasi dini, atau pasien yang memiliki
gangguan mental/koma, dengan osmolalitas serum total > 340 mOsm/kg, harus
dipertimbangkan untuk HD atau MICU.
• Kasus ringan dapat dimasukkan pada general Ward atau tangani pada ED dengan
konsultasi pada general medicine.
187

53. EMERGENCY KARENA MENYELAM

 Ada dua jenis kegawatan menyelam yang sering ditemukan di Emergency departemen
1. Penyakit decompresi (decompression illness/DCI)
2. Emboli udara arteri cerebral (CAGE)
 Diagnosis tersebut memerlukan kecurigaan kuat :
1. Baru terjadi (<24 jam) pada orang yang berada pada udara tekanan tinggi (penyelam
atau pengguna alat bantuan nafas lainnya)
2. Mengalami kombinasi gejala berikut :
• Gejala umum : malas, kelemahan yang
tidak biasa, amnesia, perasaan tidak enak badan
• Muskuloskeletal : nyeri sendi, mialgia,
nyeri punggung
• Neurologis : kelemahan, gait, gangguan
visual
• Dada : nyeri dada, sesak nafas, batuk
persisten
• Kulit : rash yang gatal
 Tabel 1 menunjukkan gejala yang sering timbul dari 1249 kasus penyakit dekompresi
yang dilaporkan oleh Divers Alert Network (DAN)

 Tabel 1 : Gejala dari penyakit dekompresi


Gejala utama %
Nyeri 40.7
Penurunan sensasi kuli 19.2
188

Pusing (dizziness) 7.8


Kelelahan yang ekstrem 5.7
Sakit kepala 5.7
Kelemahan 4.8
Mual 2.9
Kesulitan bernafas 2.5
Penurunan kesadaran 2.1
Gatal 1.6
Gangguan visual 1.5
Rash 1.1
Paralisis 1.0

Tips Khusus untuk Dokter Umum


• Pikirkan adanya emergency akibat menyelam pada
pasien dengan gejala yang tidak jelas namun dengan
riwayat menyelam sebelumnya (< 24 jam)

MANAJEMEN
 Terapi yang segera dilakukan : bila kondisi pasien stabil
1. Pasien dirawat di ruangan intermediate
2. Posisi kepala lebih rendah dari badan
3. Berikan oksigen 100%
4. Siapkan infus intravena
5. Berikan carian NS 500ml dalam 1jam dilanjutkan dengan 500ml dalam 4 jam
6. Bila pasien tidak stabil manajemen dilakukan di ruangan critical care. Lakukan
monitoring ABC. Pada kasus berat dengan komplikasi cardiopulmonary arest lakukan
manajemen sesuai standar ACLS
7. Pasien harus diperiksa kemungkinan adanya trauma fisik yang menyertai komplikasi
menyelam
 Investigasi :
1. Rontgen foto thoraks untuk mengetahui adanya pneumothoraks atau
pneumomediastinum
2. EKG untuk menyingkirkan penyebab dari jantung bila gejala utama yang dominan
adalah nyeri dada
3. Analisa gas darah bila pasien sesak nafas atau saturasi oksigen rendah
189

 Terapi definitif : terapi definif emergency diving adalah terapi rekompresi segera
1. Bila dicurigai adanya DCI atau CAGE, segera hubungi spesialis diving medicine
setelah kondisi pasien stabil
2. Bila diagnosis cedera karena menyelam telah jelas, jangan rawat pasien di bangsal
neurologi atau penyakit dalam untuk investigasi karena :
a. Departemen ini tidak memiliki fasilitas untuk rekompresi
b. Terapi yang lambat pada DCI dan CAGE akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas

PERBANDINGAN ANTARA DCI DAN CAGE


 Secara umum karakteristik CAGE dapat didiskripsikan sebagai cepat, pendek dan
dangkal sedangkan DCI sebagai lambat, panjang dan dalam (Tabel 2)
CAGE DCI
Faktor presipitasi Panik saat didalam air, Kemampuan menyelam
menyebabkan gerakan naik yang minimal. Menyelam
yang tidak terkontrol lebih lama dan dalam dari
yang rekomendasikan
Kedalaman menyelam Biasanya dangkal. Dapat Biasanya dalam, lebih dari
terjadi pada kedalaman 3 m batas limit
Waktu/ onset gejala Berlangsung cepat, detik Berlangsung lambat,
sampai menit. Segera terjadi beberapa menit sampai jam
setelah mencapai tertunda
permukaan
Kehilangan kesadaran Sering Jarang
Gejala tidak spesifik Jarang Sering
Nyeri sendi Tidak umum Umum terjadi
Gejala neurologi Bersifat unilateral seperti Bilateral dan selang-seling
CVA
Kehilangan sensorik Unilateral, fokal Umum dan selang-seling
190

54. EKLAMPSIA

DEFINISI
• Preeklampsia: peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolic yang terjadi setelah
minggu ke-20 sampai 24 kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensi ataupun
hipertensi.
• Eklampsia: preeklampsia yang disertai kejang grand mal atau koma.

PERHATIAN
• Tujuan dari tata laksana adalah, pertama-tama, stabilisasi ibu dan kemudian
melahirkan bayi:
1. Tata laksana jalan nafas ibu
2. Pencegahan dan pengendalian kejang dengan terapi sulfas magnesikus
3. Pemulihan volume intravaskuler
4. Pengendalian tekanan darah
• Kelahiran bayi: bagaimana dan kapan bayi akan dilahirkan merupakan keputusan yang
harus dibuat oleh seorang ahli kebidanan dan kandungan.
• Konsultasi ke ahli kebidanan dan kandungan harus segera dibuat begitu diagnosis
ditegakkan.
• Sindroma HELLP merupakan bentuk preeklampsia yang sangat berta yang ditandai
dengan:
1. Hemolisis
2. Peningkatan enzim hati
3. Hitung platelet yang rendah (<100.000/mm3)
Gejala: nyeri hipokondrium kanan disertai dengan mual dan muntah adalah yang
tersering. Tanda yang dapat ditemukan meliputi edema anasarka, nyeri tekan
hipokondrium kanan, ikterus, perdarahan saluran cerna dan hematuria.

) Tips Khusus Untuk Dokter Umum


• 60% kasus terjadi pada kehamilan pertama.
• Primigravida pada usia ekstrim (<17 atau >35 tahun) memiliki
resiko yang lebih tinggi.
• Pasien dengan riwayat hipertensi kronis lebih rentan terhadap
terjadinya preeklampsia dan eklampsia

TATA LAKSANA
Penanganan suportif
• Pasien harus ditangani di area critical care.
• Peralatan untuk tata laksana jalan nafas harus segera tersedia
Catatan: Pasien yang tidak memerlukan intubasi harus diletakkan pada posisi lateral kiri
• Obat-obatan resusitasi harus segera tersedia.
• Kalsium klorida (antidotum untuk intoksikasi magnesium) harus segera tersedia.
• Berikan suplementasi oksigen aliran tinggi dengan sungkup bereservoir.
191

• Monitoring: EKG dan tanda-tanda vital setiap 5 menit, pulse oksimetri.


• Pasang jalur intravena perifer dan berikan larutan Hartmann: berikan bolus cairan 250
cc segera, dilanjutkan dengan infus pada kecepatan 100 ml/jam.
• Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, uji faal hati,
PT/PTT dan uji silang dan golongan darah.
• EKG
• Pasang kateter urin: ukur produksi urin tiap jam.

Terapi medikamentosa untuk kejang


• Sulfas Magnesikus
1. Dosis
Dosis awal: 5 gr IV (10 ml MgSO4 49.3%) sulfas magnesikus dilarutkan dalam 50 ml
NS, diberikan secara bolus pelan, dalam 10-15 menit dengan menggunakan
syringe pump.
Dosis rumatan: pemberian infus IV sulfas magnesikus dengan kecepatan 2 gr/jam (50
ml MgSO4 49.3% dilarutkan dengan NS menjadi larutan 120 ml, dibeirkan dengan
kecepatan 5ml/jam) sampai 24 jam pasca persalinan.
Catatan: Obat ini hanya boleh diberikan bila kriteria berikut terpenuhi: (1) Refleks patella
positif: yang terpenting; dan (2) Tidak terdapat depresi frekuensi pernafasan, yaitu RR
>16/menit.
2. Efek samping: flushing, mual dan rasa tidak nyaman di epigastrium
3. Tanda klinis intoksikasi magnesium: penurunan reflek tendon, kelemahan otot
yang tampak sebagai ptosis, kesulitan bicara dan gangguan pernafasan, serta
terjadinya oliguria/anuria.
4. Tata laksana intoksikasi magnesium:
a. Berikan 10 ml kalsium klorida IV selama 3 menit
b. Hentikan infus MgSO4 bila:
(1) Reflek patella negatif
(2) RR <16/menit
(3) SpO2 <90% sekalipun telah diberikan suplementasi oksigen
(4) Anuria (atau oliguria yang menetap selama lebih dari 2 jam)
c. Jika terjadi oliguria, periksa kadar magnesium serum dan hentikan pemberian
infus jika kadarnya >3 mmol/l
• Diazepam: antikonvulsan pilihan kedua, yang diindikasikan bila terdapat
kontraindikasi terhadap terapi sulfas magnesikus atau terjadi intoksikasi magnesium.
1. Dosis: 10 mg IV pelan selama 2 menit, dapat diulang sampai dosis
total mencapai 20 mg
Catatan: dosis 5 mg adalah terlalu rendah untuk kasus dengan kehamilan
2. Infus: 1mg/menit
3. Tata laksana kejang berulang:
a. Ulangi pemberian MgSO4 2.5-5 gram IV
b. Diazepam 10 mg IV
c. Jika tidak ada respon, atau pasien mengalami periode penurunan kesadaran
yang panjang setelah pemberian MgSO4, maka terdapat kemungkinan terjaid
perdarahan intrakranial sehingga perlu dilakukan CT scan kepala pada saat yang
tepat.
d. Pertimbangkan konsultasi dengan bagian Anestesi mengenai penggunaan infus
thiopentone.
192

Terapi medikamentosa untuk hipertensi


Wanita dengan tekanan darah diastolik >110 mmHg atau sistolik >170 mmHg beresiko
terhadap kerusakan arteri dan harus diterapi. Tujuan dari terapi adalah penurunan tekanan
darah yang berlangsung mulus dalam 20-30 menit, ke nilai diastolic 90-100 mmHg atau
sistolik 140-150 mmHg. Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat atau terlalu besar akan
menimbulkan efek buruk baik pada ibu maupun bayi.
Catatan: obat antihipertensi sebaiknya tidak diberikan sebelum diberikan cairan intravena.
Karena terjadinya vasokonstriksi, pasien dengan eklampsia umumnya memilki volume
intrvaskuler yang rendah yang dapat mengarah pada gangguan fungsi ginjal dan penurunan
mendadak tekanan darah saat diberikan obat antihipertensi.
• Hydralazine
Dosis: 5 mg IV atau PO bolus dan diulangi dengan dosis 5-10 mg Iv atau PO setiap 20
menit jika diperlukan
• Labetalol: lihat catatan di bawah
Dosis: 20 mg selama 5 menit, diikuti dengan peningkatan dosis 20-80 mg dengan bolus IV
setiap 10 menit sampai efek yang diinginkan tercapai, atau sampai dosis kumulatif
maksimum mencapai 300 mg.
Catatan:
1. Hindari felodipine atau nifedipine jika digunakan sulfas magnesikus untuk mengendalikan
kejang karena dapat terjadi efek hipotensi sinergistik.
2. Jika pemberian hydralazine tidak memberikan respon atau jika pasien tidak sadar, obat
pilihan adalah labetalol. Pengalaman menunjukkan terjadinya penurunan tekanan darah
yang lebih mulus dan terdapat bukti yang menunjukkan bahwa obat tersebut bermanfaat
bagi janin karena mempercepat maturitas paru.
193

BAB 55
KET

Setiap waqnita usia subur dengan nyeri abdomen dan perdarahan pervaginam dengan atau
tanpa amenorrhoe kita curigai KET sampai terbukti tidak.
Diagnosis dapat dengan mudah salah keculai jika kita mencurigainya. Curigai KET pada
wanita usia subur.
Tidak adanya nyeri atau kekakauan pada perababan cervical tidak menyingkirkan diagnosa
KET.
Catatan penting :
- KET harus dicurigai pada wanita usia subur yang dating dengan nyeri abdomen.
- Sebagaian besar gejalanya tidak khas.
- Riwayat ligasi tuba tidak menyingkirkan KET.
- Tes kehamilan urine adalah simple tetapi hati-hati akan keterbatasannya.
Manajemen
1. Urine HCG test.
2. Sebagian besar HCG kit test memiliki 100% spesificitas tetapi berfariasi pada
sensitifitasnya.
3. seluruh wanita usia subur dengan abdominal pain harus di tes urinenya untuk
menghilangkan kemungkinan KET. Dari suatu penelitian potensi kesalahandiagnosa
sekita 40% jika berdasarkan riwayat penyakit, menjadi 3% jika urine HCG negative
dan 2% jika serum HCG negative dan 1% jika USG negative.
4. test urine positip setelah 4 – 5 minggu setelah konsepsi dan serum HCG positip setelah
3 – 4 minggu setelah konsepsi.
5. Alat tes urine yang berbeda emberi sensitifitas yang berbeda. Beberapa dapat
mendeteksi 10 IU/L.
6. False positip urine test : trophoblastic disease ( hydatidiform moles atau
choriocarcinoma )
7. False negatifdapat terjadi jika urine specimen terlalu banyak dilarutkan atau pasien
sedang minum obat diuretic.
194

Unstable pasien :
1. Masukkan pasien ke P1
2. ABC, O2 via NRBM.
3. Pasang 2 jalur IVFD
4. I liter kristaloid
5. Cari risk factor : infertilitas, smoking, usia tinggi, smoking, riwayat PID, IUD
Faktor resiko terjadinya KET
1. riwayat operasi tuba ektopik.
2. riwayat infertile
3. fertilisasi in vitro
4. Usia lanjut.
5. merokok.
6. riwayat PID
7. IUD
Gejala yang timbul
1. biasanya berupa 8 bulan amenorrhoe.
2. spectrum gejala klinis dari KET bervariasi dari nyeri pada pelvis s/d perdarahan
pervaginam yang harus dibedakan perdarahan intraabdomen yang profus.
Tipikal presentasi :
1. Nyeri abdomen unilateral yg tiba2 disertai kolaps dan perdarahan pervaginam.
Atipikal sign :
1. Nyeri kronik dan berulang pada abdomen disertai perdarahan irregular pervaginam,
gastrointestinal symptom ( muntah dan diare ), urinary symptom seperti disuria atau
shoulder tip pain.
Laboratorium :
1. FBC, RFT, elektrolit
2. GXM 2-4 unit
3. Urine HCG
4. Pasang urine kateter
5. DIVC
- Pasang urine kateter
- Pasang uririne kateter untuk mengawasi
Pasien stabil :
195

1. NRBM
2. Pindahkan pasien ke P1.
3. Ureum, kriatinin

Pasien stabil
Pasang IV-Line.
Monitor vital sign setiap 10 -15.
196

56. Elektrik trauma dan lightning (Petir)

Caveats
• Trauma elektrik tegangan rendah (<1000 volt) lebih jarang menyebabkan keadaan
yang serius daripada trauma tegangan tinggi. Semakin tinggi tegangan, maka semakin
cenderung untuk menyebabkan luka bakar.
• Resistensi bervariasi pada tiap jaringan, dimana tulang merupakan jaringan yang
paling resisten.
• Semakin tinggi durasi kontak, maka semakin parah injury.
• Kulit yang kering membutuhkan 3000 volt untuk menginduksi VF, sedangkan kulit
yang basah membutuhkan 220-240 volt.
• Alternating Current (AC) lebih berbahaya dibanding dengan Direct Current (DC),
menyebabkan kontraksi tetanik otot fleksor, sehingga korban akan mengalami
‘freezing’ ketika kontak dengan sumber elektrik.
• DC menyebabkan kontraksi otot tunggal yang dapat menyebabkan korban terlempar
dari lokasi awal; demikian juga dengan efek Petir.
• Pathway : ketika kulit tersentuh, aliran listrik berjalan melalui jaringan yang kurang
resisten (nervus, pembuluh darah, otot) dengan kerusakan yang berbanding terbalik
dengan diameter cross-sectional dari jaringan yang terkena.
• Konduksi true-electrical injury lebih mirip dengan ‘crush injury’ daripada thermal
injury, dimana jumlah total kerusakan sering tidak terlihat secara nyata.
• Manajemen cairan yang baik sangat penting untuk menghindari gagal ginjal akut.
Catatan : Replacement cairan tidak dapat dikalkulasi berdasarkan Wallace Rule of 9
seperti luka bakar.
• Jangan lupa untuk mencari trauma lain:
1. trauma servical spine
2. Toksik inhalasi
3. Jatuh dengan Fraktur/dislokasi
4. perawatan luka bakar dengan injury inhalasi
5. fetal injury selama kehamilan

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


• Pastikan sumber elektrik sudah dimatikan sebelum
menolong korban, jika dipanggil langsung pada lokasi
kejadian.

Tipe Trauma Elektrik


• True Electrical Injuries : terjadi ketika aliran listrik masuk melewati tubuh
menuju ke tanah.
• Flash burns :
1. aliran tidak melibatkan bagian dalam tubuh
2. Luka dikarakterisasi dengan bagian tengah berwarna keputihan yang dikelilingi
dengan eritema; merupakan luka bakar yang simple.
• Flame burns:
197

1. Disebabkan terbakarnya pakaian dan tidak dipertimbangkan sebagai True


electrical injury.
2. Ditangani sebagai luka bakar ketika trauma elektrik telah disingkirkan.
• Lightning Injury : lihat tabel 1 untuk detail komplikasinya.
1. Aliran langsung voltase tinggi (dalam ‘juta’).
2. Cardiac injury berakibat pada asistole : terapi via protocol ACLS dengan delayed
recovery yang mungkin.
3. kulit disekitar luka masuk dapat menunjukkan spidery atau pine tree appearance.

Manajemen
Terapi suportif
• Pasien dengan AMS atau disritmia kardiak harus ditangani pada area critical care
• pertahankan jalan nafas dengan imobilisasi cervical spine
• Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
• Pasang akses IV peripheral (2 jika hemodinamik tidak stabil).
• Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, DIVC screen, urinalisis termasuk mioglobin,
cardiac screen, kreatininminase, BGA dan kadar COHb pada keterlibatan trauma
inhalasi dan GXM jika dibutuhkan.
• EKG pada semua trauma elektrik.
• IV kristaloid untuk memaintenance perfusi jaringan perifer dan urin output sebesar 1-
1,5ml/kg/jam.
• X ray : C spine; jika ada injury, CXR pada injury inhalasi.
• Manajemen nyeri:
1. Pethidine 50-75mg IM atau 25mg IV atau
2. Sodium diklofenac (Voltaren) 50-75mg IM
• Pasang kateter foley
• Pertimbangkan alkalinisasi urin untuk mencegah renal tubular necrosis jika mioglobin
terdapat pada urin. Dosis : IV sodium bikarbonat 1 mmol/kg/bb selama 2 jam (1ml
sodium bikarbonat 8,4% = 1mmol).
• Pertimbangkan placement Ryle’s tube jika ada kecurigaan ileus paralitik.
• Berikan ATT 0,5ml IM sesuai protocol standar.
• Pertimbangkan fasciotomi dan konsul ke Hand Surgery atau orthopedics pada kasus:
1. Muscle tightness
2. Hilangnya sensori
3. Circulatory compromise
4. pembengkakan jaringan yang cepat
• Pada kasus serangan jantung, ikuti protocol standart ACLS kecuali pada
recovery prolonged asistole yang membutuhkan usaha resusitasi yang lebih panjang.

Situasi Khusus
• Pasien anak-anak
1. luka bakar commisura oral secara eksklusif terjadi pada anak-anak dan dapat
menyebabkan morbiditas.
2. fatalitas jarang dimana sirkuit elektrik terletak pada mulut.
3. terdapat penonjolan local jaringan pada hari ke 7 samapi hari ke 10 dan dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat.
4. MRSkan pasien dengan luka bakar seperti itu
• Konsiderasi Obstetrik
1. Injury fetal tergantung pada aliran listrik yang masuk ke tubuh ibunya.
198

2. fetal injury yang signifikan (kematian atau IUGR) dapat terjadi setelah terkena
aliran listrik walaupun dalam derajat yang rendah, terutama pada kasus
oligohidramnion.
3. Konsultasi OBG pada tiap kasus trauma elektrik selama kehamilan dan lakukan
monitoring fetal.

Penempatan
• Kriteria MRS
1. semua pasien dengan high voltage injury (> 1000 volt).
2. Semua pasien dengan keterlibatan system organ spesifik.
3. Semua pasien dengan suspek neurovascular compromise pada ekstremitas.
4. Semua pasien dengan luka bakar komisura oral
5. Luka bakar dalam pada tangan
• Kriteria KRS
1. Pasien tanpa bukti luka bakar
2. pasien dengan trauma minor, disarankan untuk control pada unit rawat jalan.
199

Tabel 1 : Komplikasi Trauma Elektrik dan Lightning/petir


Sistem Dalam Tubuh yang Terlibat Komplikasi yang terkait
CVS Disritmia ventricular, BP yang rendah (hilangnya cairan), BP yang
tinggi (release katekolamin), iskemik miokardial

Neurologik LOC, AMS, konvulsi, afasia, amnesia, neuropathy peripheral

Kulit Kontak elektrothermal , non kontak arc dan flash burn, luka bakar
thermal sekunder dengan berbagai kedalaman (terbakarnya pakaian
dan pemanasan perhiasan dari metal)

Vaskular Trombosis, nekrosis koagulasi, nekrosis intravascular, hemolisis


intravascular, ruptur pembuluh darah yang delayed, kompartemen
syndrome.

Respiratori Respiratory arrest, aspirasi pneumonia, kontusio pulmonal

Mioglobiuria, hemoglobinuria, asidosis metabolic, hipokalemi,


Ginjal/metabolic hipokalsemi, hiperglikemi

GIT Atonia gaster dan ileus intestinal, perforasi bowel, perdarahan


intramural esophageal, nekrosis hepatic dan pankreatik, perdarahan
GIT.

Otot Kompartemen Sindrom, miositis clostridial dan mionekrosis.

Skeletal Trauma tumpul sekunder pada kedua tipe meliputi fraktur kompresi
vertebral, fraktur tulang panjang, dislokasi sendi besar, nekrosis
aseptic, periosteal burn, osteomielitis.

Mata Luka bakar kornea, perdarahan intraokuler atau trombosis, uveitis,


retinal detachment, fraktur orbita.

Telinga Hilangnya pendengaran (sementara), tinnitus, hemotimpanum, CSF


rhinorrhea

Luka bakar Oral Perdarahan arteri labial delayed (pada anak yang menggigit kabel
listrik) dengan jaringan parut dan deformitas wajah, keterlambatan
kemampuan berbicara, gangguan perkembangan mandibular/ gigi
geligi.

Fetal Abortus spontan, kematian janin, oligohidramnion, retardasi


pertumbuhan intrauterine, hiperbilirubinemia.

Psikiatrik Histeria, kecemasan, gangguan tidur, depresi, fobi terhadap badai,


disfungsi kognitif.
200

57. EMERGENCY THT

Tips Khusus untuk Dokter Umum


• Curigai adanya benda asing dihidung pada anak yang datang dengan sekret
hidung yang berbau
• Tanyakan mengenai riwayat tertelan benda asing pada pasien dengan keluhan
nyeri dada yang bukan karena angina
• Jangan gunakan tehnik spooling untuk mengeluarkan benda asing organik
(spons, kertas tisue) karena akan mengembang dan sulit dikeluarkan, tehnik ini
juga bahaya bila terjadi perforasi membran timpani
• Curigai adanya epiglotitis pada pasien dengan nyeri tenggorokan yang berat,
suara muffle dan tidak ditemukan kelainan lain dari pemeriksaan rongga mulut

BELL’S PALSY
 Merupakan penyebab paralysis wajah yang paling sering di dunia
 Merupakan diagnosis eksklusi
 Tugas dari seorang dokter emergency adalah untuk :
1. Menyingkirkan penyebab paralisis wajah yang lain
2. Segera memulai terapi yang sesuai
3. Melindungi mata
4. Mengatur follow-up yang tepat
 Gambaran klinis
1. Onset yang cepat : paralisis parsial dengan onset yang perlahan biasanya
menunjukkan penyebab etiologi
2. Paralisis/kelemahan satu sisi pada wajah : perhatikan bagian wajah sepertiga
atas (orbikularis dan frontalis) yang mengindikasikan lesi di upper motor
neuron
3. Gejala yang lain seperti air liur yang menetes, keluarnya air mata, perubahan
rasa, nyeri dibelakang telinga
4. Keluhan yang berhubungan dengan sindrom infeksi traktus respirasi bagian
atas/ infeksi virus
201

 Diferensial diagnosis Bell’s palsy berhubungan dengan perjalanan nervus 7


1. Intrakranial : meningioma, neuroma akustik
2. Intratemporal : penyakit telinga akut/kronis, herpes zoster, fraktur atau tumor
tulang temporal
3. Ekstratemporal : keganasan parotis, laserasi facial
Anamnesa dan pemeriksaan THT/glandula parotis/neurologis yang teliti akan
memudahkan kita mengetahui penyebab bell’s palsy
 Manajemen
1. Steroid
a. Masih menjadi perdebatan dan pada literatur dicantumkan tidak
banyak pasien yang mendapatkan keuntungan dengan penggunaan steroid .
Walaupun masih diperdebatkan namun karena efek samping terapi yang
minimal maka berdasarkan konsensus steroid diberikan seawal mungkin.
b. Dosis : 1 mg/KgBB selama 7 hari
c. Kontraindikasi pada pasien diabetes, ulkus peptikum, disfungsi hati
2. Acyclovir (zovirax)
a. Penelitian terakhir menunjukkan virus herpes simplek ditengarai
sebagai penyebab pada > 70% kasus. Acyclovir tidak bermanfaat bila
diberikan pada fase akhir (terlambat diberikan)
b. Dosis : 800mg 5 kali per hari selama 10 hari
3. Perawatan mata
a. Dapat diberikan air mata buatan dan kacamata/penutup mata pada
malam hari untuk mencegah kornea kering dan mengalami ulserasi
4. Rujukan
a. Neurologi : bila ditemukan gambaran bell’s palsy yang atipikal atau
ditemukan tanda kelainan neurologi
b. THT : seluruh kasus tipikal bell’s palsy
c. Mata : nyeri okuler yang tidak diketahui sebabnya atau bila
ditemukan kelainan pada mata
EPISTAKSIS
 Prioritas yang harus dilakukan :
Melakukan pemeriksaan dan stabilisasi hemodinamik
Mengidentifikasikan letak dan penyebab perdarahan
202

Menghentikan perdarahan
 Sebagian besar perdarahan berasal dari ruptur
vaskuler didaerah septum nasal. Tidak adanya perdarahan dari bagian anterior,
adanya perdarahan bilateral atau darah yang mengalir ke orofaring menunjukkan
bahwa sumber perdarahan berasal dari posterior.
 Diferensial diagnosis : blood dyscrasias,
malformasi pembuluh darah lokal, contohnya teleangieksia herediter, tumor nasal
 Lakukan usaha stabilisasi saat pasien datang di
emergency departemen :
1. Pijat hidung dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari sedikitnya selama
10 menit
2. Kompres hidung dengan es batu
3. Pasien dengan posisi duduk, memegang mangkuk digunakan untuk
menampung darah. Hal-hal yang dapat menyebabkan menghilangkan
terbentuknya bekuan darah seperti gerakan menelan sebaiknya dihindari.
4. Bila hemodinamik tidak stabil :
a. Pindahkan pasien ke ruangan critical care
b. Pasang infuse intravena, berikan cairan kristaloid dengan tetesan yang
cukup untuk mempertahankan perfusi
c. Ambil darah untuk pemeriksaan cross match, darah lengkap,
ureum/creatinin/elektrolit, fungsi koagulasi
d. Monitor : EKG, tanda vita setiap 5-15 menit, pulse oksimeter
 Lakukan pemeriksaan untuk mengetahui sumber perdarahan
(gunakan lampu kepala)
1. Ambil bekuan darah menggunakan forcep Tilley atau
suction
2. Bila bagian septum dapat terlihat, dapat dilakukan
penyemprotan cophenylcaine (menyebabkan vasokonstriksi vaskuler dan
menganestesi mukosa)
 Selama perdarahan berlangsung :
1. Bila sumber perdarahan terlihat dapat dilakukan kauterisasi menggunakan
perak nitrat (hindari melakukan kauterisasi pada kedua sisi septum karena
203

resiko terjadinya perforasi) atau lakukan pemasangan tampon yang telah diberi
adrenalin 1 : 10.000 selama 15-30 menit
2. Bila tidak tampak lagi adanya perdarahan setelah observasi selama beberapa
saat, pasien dapat dipulangkan dengan nasihat untuk istirahat total dan kontrol
ke poliklinik THT
3. Bila perdarahan terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior :
a. Hubungi dokter THT
b. Pilihan : pasang tampon Merocoel (ukuran 8-10cm untuk dewasa)
basahi dengan cairan tetrasiklin, BIPP (bismut subnitrat dan pasta
iodoform) gunakan forsep nasal Tilley
c. Pasien dirawat diRS untuk observasi dan pemberian antibiotik
4. Bila perdarah tetap terjadi walaupun telah dipasang tampon anterior, maka
perlu untuk dipasang tampon posterior
a. Hubungi dokter THT
b. Lakukan kembali pemeriksaan hemodinamik: monitor tanda vital,
ambil darah untuk pemeriksaan darah lengkap, fungsi pembekuan, cross
match, ureum/creatinin/elektrolit
c. Masukkan folley kateter ukuran 12 melalui lubang hidung (pilih
lubang dengan perdarahan yang lebih banyak) dorong sampai ujungnya
terlihat di orofaring
d. Kembungkan balon dengan mengisi air sebanyak 8ml, tarik kateter
kedepan sampai menyangkut dibagian posterior hidung, tambahkan 8ml
air
e. Pertahankan kateter dengan memasang klem dibagian anterior hidung,
lindungi ala nasi dari tekanan kateter.
 Disposisi : rawat pasien untuk observasi dan pemberian
antibiotik setelah konsultasi dengan dokter THT. Selalu rujuk pasien ke dokter
THT untuk melakukan evaluasi bila :
1. Epistaksis berlangsung lama
2. Pasien datang berulangkali
3. Epistaksis berulang
4. Pasien tua
PATAH TULANG HIDUNG
204

 Disebabkan oleh trauma langsung pada hidung


 Gambaran klinis
1. Perubahan bentuk hidung
2. Bengkak pada jaringan lunak
3. Nyeri pada perabaan
 Penting untuk disingkirkan :
1. Cidera pada bagian lain dari wajah
2. Hematom septal (bengkak warna kebiruan pada kedua sisi septum nasal yang
tampak pada bagian depan hidung); bila tampak adanya septal hematom
segera rujuk ke dokter THT untuk dilakukan aspirasi/ insisi dan drainasi.
Tindakan ini untuk mencegah terbentuknya iskemik septum atau abses yang
dapat berkembang menjadi nekrosis, kolaps dan perubahan pada struktur
kartilago hidung.
 Foto rontgen nasal lebih kepada alasan medikolegal. Pemeriksaan ini tidak
mempengaruhi manajemen klinis
 Analisa apakah fraktur perlu medikasi dan reduksi dilakukan 5-7 hari setelah
cidera, bila bengkak telah berkurang. Medikasi dan reduksi biasanya dilakukan
dalam 7-10 hari setelah cidera sebelum tulang hidung mengalami

BENDA ASING PADA TELINGA


 Secara umum benda asing ditelinga dapat dikeluarkan dengan menggunakan
forsep mikro atau hak tumpul (dengan bantuan otoskopi) atau dengan spooling
 Pada pasien anak yang tidak kooperatif, benda asing dikeluarkan dengan
anestesi umum
1. Benda asing serangga : bunuh serangga dengan meneteskan lignokain 1%
atau minyak olive sebelum mengeluarkannya dengan forsep mikro
2. Benda asing organik (spons/kertas tisue) : jangan gunakan tehnik spooling
(memasukkan air dalam telinga dengan menggunakan spuit) karena dapat
mengembang menyebabkan benda lebih sulit dikeluarkan
 Bila pengeluaran benda asing sulit dilakukan dengan bantuan otoskop maka
pasien dapat dirujuk ke poliklinik THT saat jam kerja (tersedia mikroskop)
 Disarankan dokter emergency hanya mencoba satu kali, bila gagal maka
pasien harus dirujuk ke poliklinik THT
205

BENDA ASING DI HIDUNG


 Biasanya terjadi pada anak-anak, gejalanya berupa sekret hidung yang berbau
tidak enak, pada satu sisi
 Bahaya terjadi inhalasi dan obstruksi jalan nafas selama proses pengambilan
benda asing, khususnya bila pasien pada posisi berbaring terlentang. Tips :
 Bila benda asing berbentuk ireguler, gunakan forsep aligator untuk
mengeluarkan
 Bila benda asing berbentuk bulat dan lunak,gunakan hak tumpul (contoh
jobson horn) untuk memegang bagian posterior benda tersebut sebelum
dikeluarkan
 Nasal spray cophenylcaine dapat digunakan untuk membantu mengeluarkan
benda asing yang terhalang mukosa
 Disarankan dokter emergency hanya mencoba mengeluarkan benda asing satu
kali, bila gagal segera hubungi dokter THT untuk mengeluarkan benda asing
dengan anestesi umum

BENDA ASING DI TENGGOROK


 Tanyakan jenis benda asing : tulang ikan, tulang ayam, dsb
 Tanyakan letak bagian yang sakit : nyeri pada bagian bawah leher atau dada
menunjukkan benda asing di esofagus yang sulit dievaluasi secara klinis dan
radiologis (rontgen foto leher lateral)
 Tanyakan apakah ada hemoptoe atau hematemesis
 Lakukan inspeksi daerah tonsil dengan menggunakan :
1. Laringoskop indirek
2. Faringolaringoskop direk, dengan menggunakan laringoskop pasien pada
posisi terlentang, laring dianestesi dengan cophenilcaine spray. Keuntungan
dari tehnik ini adalah benda asing dapat dengan mudah dikeluarkan
menggunakan forsep Magill. Tehnik ini memerlukan pemeriksaan yang cepat,
digunakan pada anak karena biasanya tidak kooperatif. Pada pasien dewasa
lebih baik menggunakan laringoskop indirek atau fiberoptik nasofaringoskopi
untuk mencari benda asing, dan menggunakan forsep Nagashima atau
bronkoskopi untuk mengeluarkan
206

3. Terdapat resiko aspirasi benda asing atau tersangkut pada dinding faring
4. Fiberoptik nasofaringoskop
5. Lakukan pemeriksaan yang teliti pada kutub tonsil, dasar lidah, daerah
valekula epiglotika dan fosa piriformis
 Bila benda asing tidak tampak, lakukan pemeriksaan radiologi foto rontgen
leher lateral kondisi jaringan lunak
 Bila pada pemeriksaan radiologi tampak benda asing segera hubungi dokter
THT
 Benda asing ditenggorok pada anak : lakukan pemeriksaan dengan mendorong
lidah kebawah, bila tidak tampak rujuk pasien ke dokter THT
 Bila pada pemeriksaan radiologi dan laringoskop indirek benda asing tidak
tampak dan pasien merasa tidak terganggu, berikan terapi simptomatik dengan
obat hisap dan kumur. Dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik (amoksisilin)
bila ditemukan adanya ulserasi dan abrasi. Rujuk pasien ke poliklinik THT 1-2
hari kemudian untuk evaluasi. Pasien harus diingatkan untuk segera kembali bila
ada gejala sesak nafas, panas, nyeri dada atau hematemesis.
 Bila pada pemeriksaan radiologi dan laringoskop indirek benda asing tidak
tampak namun pasien merasakan gejala tidak berkurang, segera hubungi dokter
THT untuk evaluasi dan melakukan pemeriksaan barium shallow (khususnya pada
pasien dengan keluhan nyeri leher dan dada) atau pemeriksaan rigid esofagoskopi
 Lihat gambar 1 algoritme manajemen benda asing di tenggorok

KEHILANGAN PENDENGARAN MENDADAK, SENSORINEURAL


 Merupakan gawat darurat medis
 Bedakan dengan :
1. Kehilangan pendengaran sensorineural progresif bilateral : prebiakusis adalah
penyebab yang paling sering
2. Kehilangan pendengaran sensorineural progresif unilateral : penyakit meniere,
neuroma akustik
 Gambaran klinis :
1. Biasanya unilateral
2. Tes weber : lateralisasi pada sisi yang sakit
207

3. Tes rinne : dapat positif (pada tuli parsial : konduksi melalui udara tetap lebih
baik daripada konduksi tulang) atau false negatif (tuli total : suara konduksi
tulang pada telinga yang tuli akan terdengar oleh koklea yang intak pada sisi
yang lain)
 Penyebab :
1. Trauma pada telinga atau kepala : trauma menyebabkan robeknya membrana
intralabirin (fistula perilimfe)
2. Infeksi virus : mumps, campak, varisela
3. Vaskuler : gangguan mendadak pada aliran darah ke koklea
4. Sifilis
5. Neuroma akustik : biasanya muncul dengan gejala kehilangan pendengaran
unilateral
6. Idiopatik
 Terapi dilakukan secara empiris bila penyebab tidak ditemukan
1. Kortikosteroid sistemik : prednisolon dengan dosis yang diturunkan selama 5
hari
2. Obat-obatan vasodilator : Tanakan (ginko biloba) 1 tab 3x/hari
3. Anti virus : acyclovir (800mg 5x/hari selama 1 minggu)

OTITIS MEDIA AKUT


 Umumnya terjadi pada anak-anak : organisme penyebabnya adalah
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis
 Gambaran klinis :
 Pada pemeriksaan menggunakan otoskop ditemukan : membrana timpani
tampak kemerahan dan cembung atau perforasi disertai adanya sekret
 Terapi :
1. Antibiotik oral : amokcicilin, augmentin, cefaclor, co-timoxazol, erytromycin
2. Dongestan nasal topical : contohnya Iliadin (oxymetazolin) 3x/hari selama 5
hari
3. Antihistamin oral : contohnya prometazin, Clarityne, Clarinase, Zyrtec
4. Analgesik
5. Antibiotik tetes telinga diberikan bila membrana timpani ruptur (terapi
berbeda dengan terapi membrana timpani yang ruptur karena trauma)
208

 Rujuk poliklinik THT untuk follow-up

Inspeksi daerah tonsil dengan laringoskop indirek


atau laringoskop direk atau fiberoptik
nasolaringoskop

Ya Keluarkan bila mungkin


Benda asing atau
terlihat ? Rujuk ke dokter THT

Tidak
Foto roentgen leher lateral
kondisi jaringan lunak

Tidak
Ya
Benda asing Rujuk ke dokter THT
terlihat?

Tidak
Ya Rujuk ke dokter THT untuk
Apakah pasien masih evaluasi, pemeriksaan barium
merasakan gejala? swallow/ rigid esofagoskopi

Yakinkan ulang, terapi gejala dengan obat hisap,


obat kumur, antibiotic oral jika ada ulserasi atau
abrasi; control ke poliklinik THT 1-2 hari
kemudian untuk evaluasi

Gambar 1: Algoritma praktis menunjukkan manajemen benda asing di tenggorok


OTITIS MEDIA KRONIK
 OMK ditujukan pada perforasi kronis membrana timpani yang tidak
mengalami perbaikan, biasanya menyebabkan tuli konduksi
 Pasien biasanya datang dengan superinfeksi akut dengan secret
mukopurulen, biasanya tanpa keluhan otalgia
209

 Terapi dengan antibiotik topikal dan rujuk ke poliklinik THT untuk


pembersihan rongga telinga. Catatan : antibiotik oral hanya diberikan bila
dicurigai ada penyakit penyerta faringitis/sinusitis
 Pasien harus diingatkan supaya selalu menjaga kebersihan telinga,
menjaga telinga supaya tetap kering dengan menggunakan sumbat telinga

OTITIS EKSTERNA AKUT


 Pasien datang dengan keluhan gatal, nyeri telinga dan keluar sekret dari telinga
 Secara klinis terdapat inflamasi difus atau furunkel
 Terapi dengan antibiotik topikal (kombinasi dengan steroid), contohnya
otosporin atau sofradex 2 tetes 3x/hari dan analgesik
1. Antibiotik oral diindikasikan hanya bila ada penyakit sistemik dengan panas
dan limfadenitis
2. Rujuk ke poliklinik THT untuk follow up lebih lanjut
 Curigai adanya otitis eksterna malignan jika terdapat nyeri yang berat disertai
dengan gejala klinis khususnya pada pasien tua/penderita diabetes
1. Memerlukan terapi antibiotik intravena sehingga pasien harus dirawat
2. Resiko terjadi perluasan infeksi pada dasar kepala dan jaringan lunak sekitar

ABSES PERITONSILER (QUINSY)


 Biasanya pasien datang dengan gambaran tonsilitis, namun :
1. Pembesaran tonsil hampir selalu unilateral
2. Berhubungan dengan kesulitan menelan (disfagia)
3. Berhubungan dengan sakit saat menelan (odinofagia)
4. Trismus
 Pemeriksaan klinis : tonsil yang terkena biasanya tertutup oleh palatum yang
edema, uvula biasanya terdorong kontralateral
 Terapi : Insisi dan drainase dengan anestesi lokal; rujuk ke dokter THT

SINUSITIS
 Secara klasik dibagi menjadi :
1. Akut : gejala < 3 minggu
2. Subakut : gejala antara 3 minggu sampai 3 bulan
210

3. Kronik : gejala > 3 bulan


 Biasanya pasien datang dengan keluhan :
1. Flu yang tidak sembuh-sembuh
2. Kongesti nasal
3. Sekret purulen
4. Nyeri daerah wajah disertai dengan sakit kepala
 Gambaran klinis :
1. Sekret purulen pada meatus media dapat dilihat dengan menggunakan
spekulum hidung dan penerangan langsung. Tips : Sekret purulen akan lebih
mudah dilihat bila mukosa yang edema di semprot terlebih dahulu dengan
cophenylcaine spray
2. Nyeri daerah wajah pada pemeriksaan palpasi

 Pemeriksaan radiologis :
1. Sinusitis tanpa komplikasi sering tidak terdiagnosis secara klinis dan
pemeriksaan radiologis tidak disarankan untuk dilakukan
2. Pemeriksaan foto polos sinus seringkali false negatif (40%). Tanda infeksi
pada pemeriksaan radiologis memberikan gambaran : air-fluid level pada
daerah sinus atau paranasal yang terinfeksi.
 Singkirkan adanya komplikasi : perluasan infeksi intrakranial, osteomyelitis
dan selulitis orbitalis pada anak
 Target terapi pada sinusitis tanpa komplikasi :
1. Mengurangi obstruksi pada ostium sinus
2. Jangan gunakan antihistamin karena membuat sekret bertambah tebal :
a Dekongestan nasal : oxymetazoline (Iliadin) tetes nasal, Dosis :
Dewasa 0.05%; anak : 0.025%; bayi 0.01% selama 3-5 hari
b. Dekongestan sistemik : pseudoefedrin (sudafed)
c. Antibiotik : secara empiris yang sesuai untuk H.influenzae dan
Streptococcus pneumonia; Moraxella catarrhalis pada pasien anak.
Dosis: diberikan minimal 10-14 hari
Augmentin Bactrim
Dewasa 625mg 2x/hari 2 tab 2x/hari
211

Anak 2-6th 5ml 2x/hari


Anak 7-12th 10ml 2x/hari (228mg/5ml)
Bila pasien alergi terhadap penisilin maka alternative terapi adalah
cephalosporin atau azithromycin

TONSILITIS AKUT
 Pasien datang dengan keluhan panas dan nyeri tenggorok
 Pemeriksaan fisik : tonsil tampak kemerahan, bengkak disertai dengan eksudat
purulen
 Penyakit lain yang perlu diperhatikan : difteri, mononukleosis infeksiosa
 Terapi pasien dengan antibiotik (penisilin adalah antibiotik pilihan untuk
tonsilitis akut), obat hisap, obat kumur dan antipiretik
 Pikirkan untuk pemberian antibiotik intravena/hidrasi bila :
1. Tonsilitis yang lama
2. Pasien dengan panas yang berkepanjangan
3. Pasien yang kesulitan menelan
4. Pasien yang tampak dehidrasi
 Pasien dapat dipulangkan dengan obat antibiotik oral selama 10 hari,
kemudian kontrol ke dokter umum bila tidak ada keluhan. Bila terjadi tosilitis
berulang dalam beberapa tahun, atau beberapa kali dalam setahun maka pasien
disarankan kontrol ke poliklinik THT.

PERFORASI MEMBRANA TIMPANI AKUT KARENA TRAUMA


 Biasanya disebabkan oleh tamparan atau pukulan pada satu sisi kepala
 Gambaran klinis :
1. Otalgia unilateral
2. Mungkin disertai dengan penurunan pendengaran
3. Perforasi membrana timpani bila dilihat dengan otoskopi (seringkali terdapat
sisa darah)
 Manajemen
1. Antibiotik oral broad spectrum : amoksisilin
2. Analgesik
3. Jangan berikan obat tetes telinga
212

4. Informasikan pada pasien untuk :


a Mencegah jangan sampai air masuk kedalam liang telinga
b. Tidak menggunakan penyumbat telinga atau cotton balls
 Disposisi
1. Bila terdapat tanda-tanda penurunan pendengaran, rujuk ke poliklinik THT
saat jam kerjaesok hari untuk evaluasi selanjutnya
2. Bila tidak terdapat tanda-tanda penerunan pendengaran dapat dirujuk 1
minggu kemudian

58. Kegawatan di bidang Geriatri

Penting
• Keluhan seperti malaise atau kemampuan fungsional yang menurun dapat
merupakan tanda penyakit serius.
• Fungsi kognitif yang tidak normal dapat terlewatkan,kecuali prosedur formal
dilakukan di IRD.Fungsi kognitif dapat dievaluasi through dua langkah:
1.orientasi waktu,tempat dan personal.
2.mengingat tiga item setelah 1 menit.
• Bila hasilnya abnormal,alat formal untuk menilai status mental yaitu
AMT(Abbreviated Mental Test),can digunakan untuk menilai kemampuan
kognitif pasien.
• Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diagnosis&pengobatan pada
penderita tua:
1.keluhan yang tidak dapat disampaikan oleh pasien dan tanda-tanda pada
pasien yang tidak muncul dengan jelas akibat usia yang telah
lanjut,pendamping penderita yang teliti.
2.manifestasi penyakit serius yang tidak jelas pada orang tua menjadikan
diagnosis sulit.Bersiaplah untuk pemeriksaan lebih lanjut walaupun pada
pemeriksaan awal hanya ada temuan non spesifik.
• Pasien datang sudah dengan akumulasi dari banyak penyakit kronis yang dapat
mengaburkan adanya penyakit yang baru diderita.
• Pemberian polifarmasi dapat menurunkan komplians dan dapat terjadi
interaksi obat.Evaluasi semua obat yang diberikan untuk menyingkirkan
keluhan sekarang sebagai akibat dari pemberian polifarmasi.
213

• Hindari pemberian resep polifarmasi dan obat-obatan yang menurunkan fungsi


kognitif,fungsi hati/ginjal,keseimbangan,fungsi pencernaan dan fungsi saluran
kencing.
• Factor usia sendirian bukan merupakan kontraindikasi melakukan intervensi
untuk menegakkan diagnosis dan pemberian terapi.
• Jangan hanya berpikir karena “factor usia” saja, pada setiap pasien lansia yang
datang dengan masalah penurunan fungsi.
• Selalu waspada terhadap keluhan tidak khas,seperti infark miokard akut pada
lansia.Selalu merekam EKG terhadap semua penderita lansia yang datang ke
IRD.
• Demam mungkin tidak terjadi pada keadaan sepsis pada penderita lansia.

Kondisi-kondisi spesifik dan penatalaksanaannya.

1.Kesadaran yang menurun


• Manifestasi penurunan kesadaran, dapat akibat penurunan derajat kesadaran,
penurunan kualitas kesadaran atau kombinasi dari keduanya.
• Carilah 4 keadaan yang mengarahkan ke suatu keadaan delirium:
1.onset akut atau keadaan penurunan kesadaran yang fluktuatif.
2.inatensi.
3.proses berfikir yang kacau(tidak terorganisasi).
4.penurunan derajat kesadaran.
Diagnosis delirium harus ada no.1 dan 2,ditambah 3 atau 4. Setelah diagnosis
delirium ditegakkan, maka focus pencarian selanjutnya adalah penyakit yang
menyebabkan delirium.
• Penderita lansia dengan perubahan akut status mental harus dipikirkan
penyebabnya adalah organic.
• Mioklonus dan asteriksis bila ditemukan merupakan tanda pathognomonis
untuk delirium.
• Penderita infark miokard akut,pneumonia,perdarahan saluran
pencernaan,sepsis atau emboli paru mungkin datang hanya dengan keluhan
penurunan kesadaran.
• Pemberian obat merupakan penyebab yang paling sering terjadinya penurunan
kesadaran pada penderita lansia.
• Penderita lansia yang datang dengan keadaan delirium harus di MRS kan
untuk pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut.
• Beberapa penderita dengan subakut atau kronik gangguan kognitif(dimensia)
dapat dipulangkan dengan syarat dapat control kembali,lingkungan rumah
yang aman dan adanya pendamping yang dapat dipercaya.

2.Penurunan fungsi
• Didefinisikan sebagai penurunan yang progresif pada kemampuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
• Ada dua kesalahan yang dapat dilakukan oleh seorang dokter
emergensi,yaitu:
1.melupakan masalah tersebut.
2.menganggap bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh proses penuaan.
214

• Selalu berpikir bahwa penurunan fungsi yang terjadi merupakan akibat dari
penyakit baru yang terjadi atau penyakit kronis yang sudah dekompensasi.
• Cara intervensi terbaik untuk evaluasi penurunan fungsi adalah dari riwayat
penyakit penderita dan heteroanamnesis dari pendampingnya yang dapat
secara obyektif menilai gangguan yang terjadi sebagai masalah baru atau
masalah lama yang memburuk.

3.Trauma dan jatuh


• Bila pasien lansia datang dengan trauma,maka harus diteliti dampak yang
terjadi akibat trauma tersebut dan cari penyebab dari jatuhnya
penderita.Penyebab tersering dari jatuh adalah CVA/TIA,giddiness,hipotensi
postural & sinkop.
• Bila ada dugaan kuat penderita jatuh,maka harus dikonsultasikan pada bagian
yang terkait.
• Juga harus diperhatikan dampak dari trauma terhadap status fungsional dan
kemampuan penderita untuk merawat diri sendiri.
• Prioritas adalah untuk mencegah cedera lebih lanjut.

4.Infark Miokard Akut


• Walaupun penderita dapat datang dengan keluhan klasik,tapi sering datang
dengan keluhan tak khas/atipikal(lihat table 1).Penderita usia diatas 85
tahun,pada kenyataannya datang dengan keluhan sakit dada yang
atipikal.Lebih dari 60% penderita Infark Miokard akut yang berusia lebih 85
tahun datang tanpa keluhan sakit dada.Atipikal Infark miokard akut
berhubungan dengan tingginya mortalitas.
• Keluhan yang paling sering penderita adalah sesak nafas.
• Penyakit akut serebrovaskular dan infark miokard akut sering terjadi bersama-
sama pada penderita lansia,jadi pemeriksaan EKG harus dibuat pada semua
penderita yang datang dengan penyakit serebrovaskular.
• Semua penderita lansia yang datang dengan keluhan apaun/tidak khas harus
dibuat rekaman EKG.
• Terapi trombolitik dan antikoagulan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita Infrak miokard akut, dengan hasil penurunan mortalitas dan
disability.Sejumlah kecil,tapi memiliki resiko yang bermakna,yaitu terjadinya
perdarahan dan komplikasi lain harus didiskusikan dengan penderita.

5.Sakit abdomen akut


• Merupakan tantangan bagi dokter emergensi dalam memeriksa penderita
lansia dengan akut abdomen.
• Pasien lansia dengan akut abdomen hampir semuanya perlu MRS dan
penanganan bedah.
• Persepsi nyeri yang menurun/berubah akan menyebabkan pemeriksaan fisik
yang salah,membuat penegakkan diagnosis menjadi sulit.Defans muscular atau
rigiditas otot2 perut dapat tidak terjadi pada kelainan intraabdominal yang
serius dengan adanya iritasi peritoneal.Kelainan tersebut akan dapat ditemukan
bila penderita memiliki dinding abdomen yang relative tipis.
• Penderita lansia dengan apendisitis,keluhan anoreksia,lekositosis, atau gejala
klasik nyeri yang menjalar mungkin tidak terjadi. Namun,nyeri daerah iliaca
kanan sering ditemukan pada pemeriksaan.
215

• Walaupun insiden apendisitis pada lansia <10%,tapi mortalitas pada kelompok


usia ini 50%.Selalu dicurigai penderita lansia datang dengan keluhan
apendisitis.Bila nyeri abdomen tidak jelas,beritahu penderita untuk control
berobat dalam waktu 12-24 jam kemudian.
• Separoh dari semua kasus penderita lansia dengan ulkus peptic yang perforasi
tidak memberikan keluhan nyeri yang mendadak.Lokasi nyeri mungkin semua
daerah abdomen,atau di kuadran bawah abdomen.Tegang/teraba keras di ulu
hati dan adanya gambaran udara bebas pada foto roentgen tidak terlihat pada
sebagian besar penderita.
• Obstruksi saluran pencernaan pada usuus besar dapat terjadi pada penderita
lansia yang datang dengan keluhan diare saja.Pseudoobstruksi kolonic harus
dicurigai pada semua penderita lansia yang menunjukkan gejala obstruksi
pencernaan atas yang palpasi abdomen tidak nyeri atau pemeriksaan
kavernosum rectum yang gagal.

6.Iskemia Mesenterika akut.


Semua penderita lansia yang datang dengan nyeri perut yang tidak proporsional bila
dibanding dari hasil pemeriksaan fisik.Terutama bila punya riwayat penyakit
kardiovaskular,hipotensi,penyakit vascular perifer,atrial fibrilasi atau dengan gejala
iskemia usus besar kronis,seperti penurunan berat badan,nyeri abdomen post
prandial,diare atau malabsorbsi.Pada pasien tersebut harus diperiksa angiografi
sebelum gejala iskemik menmberat terjadi.
• Aneurisma aorta abdominal yang rupture harus dipikirkan pada semua
penderita lansia dengan keluhan nyeri abdomen/nyeri punggung(back
pain).Masa berdenyut sering tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik.Sinkop
mungkin merupakan keluhan awal.
• Selalu curiga kolesistitis pada semua penderita lansia yang datang dengan
keluhan nyeri abdomen atau adanya tanda-tanda sepsis.

7.Penyakit infeksi
• Pada pasien lansia dengan keadaan sistim imun yang menurun dan juga
menderita penyakit kronis seperti diabetes
mellitus,demensia,malnutrisi,penyakit kardiovaskular,penyakit paru
kronis,kanker dan kecanduan alcohol akan beresiko tinggi untuk menderita
penyakit infeksi dan komplikasi sekundernya.
• keluhan-keluhan utama penderita lansia yang menderita infeksi adalah
anoreksia,sangat lelah,penurunan berat badan yang tidak jelas
penyebanya,inkontinensia yang baru diderita,bingung.Demam dan lekositosis
mungkin tidak terjadi pada kondisi sepsis,tapi jumlah netrofil sering
meningkat.
• Infeksi saluran pernafasan sering diderita oleh penderita lansia,termasuk
influenza,bronchitis dan pneumonia.Infeksi saluran kemih menempati urutan
kedua dan infeksi intraabdominal,termasuk kolesistitis,divertikulitis dan
apendisitis.Keadaan yang berbeda terjadi di tempat/panti wredha,yaitu 70-80%
penyakit infeksi yang menduduki 3 besar,yaitu pneumonia,infeksi saluran
kemih dan infeksi jaringan lunak.
• Memutuskan mengobati penderita infeksi dapat berobat jalan atau MRS dapat
merupakan keputusan yang sulit.Pertimbangan yang dapat dijadikan ukuran
216

adalah keadaan/status klinik pasien,kondisi comorbid,status


fungsional,dukungan social dari keluarga yang memadai dan adanya waktu.
• Secara umum,alasan/indikasi minimal penderita lansia dengan infeksi dirawat
di RS, adalah bila keadaannya sudah terjadi dekompensasi.

59 Heart failure ( Gagal Jantung )


Caveats
• Gagal jantung akut dapat dibagi menjadi 3 kelompok klinis:
1. Acute cardiogenic pulmonary oedema (lihat bab Pulmonary Oedema,
Cardiogenic)
2. Cardiogenic shock (lihat bab Shock/Hypoperfusion states)
3. Acute Decompensation of Chronic left heart failure yang merupakan focus
pembahasan pada bab ini.
• Singkirkan diagnosa gagal ginjal sebagai penyebab overload cairan
sebelum mendiagnosa gagal jantung.
• Gagal jantung dapat bermanifestasi sebagai keluhan yang tidak
spesifik :
1. Kelemahan
2. Lightheadeness
3. nyeri abdomen
4. Malaise
5. Wheezing
6. nausea
• Selalu cari factor pencetus gagal jantung (tabel 1)
• Kondisi jantung dikombinasikan dengan asma atau gejala chronic
obstructive airway disease merupakan kasus klinis yang sulit dan
membutuhkan keterlibatan multidisiplin.
• Pasien yang juga memiliki diabetes mellitus insulin dependent
memiliki resiko kematian tinggi yang signifikan.
217

Tabel 1 : Faktor Penyebab Gagal jantung


Kardiak Non-kardiak
Iskemik miokard atau infark Emboli paru
Disritmia Superimposed infeksi sistemik
Valvular heart Disease Penyakit sistemik, cth : hipertensi berat,
Non-compliance dengan regimen anemia berat, tirotoksikosis, konsumsi
terapi termasuk kegagalan alcohol berat
restriksi intake cairan Obat : kokain, amfetamin, penggunaan
Endokarditis bakterial berlebih dari bronkodilator, antagonis
kalsium generasi-1, beta blocker, NSAID
Kehamilan

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


• Selalu cari penyebab gagal jantung pada pasien terutama bila telah
menjalani pengobatan jangka panjang. Kejadian Coronary atau kerusakan
ginjal harus diidentifikasi.
• Pasien dengan gagal jantung berat dapat mengeluh wheezing. Ini
merupakan Cardiac Asthma dan membutuhkan penanganan agresif pada
ED sebelum keadaan menjadi edema pulmonal. Nebulizer ventolin tidak
akan memperbaiki gejala yang ada.
• Pasien lansia memiliki regulasi otonom yang berubah, serta sensitive
terhadap efek samping obat gagal jantung, sehingga memerlukan perhatian
yang khusus.

Manajemen
• Tangani pasien pada area yang dapat diawasi : tanda vital, pulse oksimetri,
monitoring EKG terus menerus.
• Pertahankan jalan nafas
• Berikan oksigen, awalnya 100% non-rebreather face mask untuk
mempertahankan SpO2 >95%.
• Pasang jalur IV dan periksa darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim
jantung dan marker kardiak serum.
• Untuk menurunkan venous return, pasien dapat duduk tegak dengan kaki
menggantung dari tempat tidur.
• Lakukan EKG untuk mendiagnosa concomitant iskemik kardiak, MI yang
sebelumnya, disritmia jantung, hipertensi kronik, dan penyebab hipertrofi
ventrkular kiri lain.
• Lakukan CXR untuk mencari kardiomegali, dan diversi lobus atas. Penemuan
radiografik akan menetap selama beberapa hari walaupun pemulihan sedang
berjalan.
• Berikan diuretic, IV furosemide 40-60mg jika hemodinamik pasien stabil.
• Nitrodisc 5-10mg dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi gejala akibat
kongesti paru.
• Pada kasus yang parah, Infusion GTN akan menurunkan left ventricular end-
diastolic volume and pressure secara cepat dengan resolusi dari gejala.
• Monitor output urin untuk mengecek respon terapi.
218

Penempatan
• Belum ada penelitian yang menyatakan criteria pasien gagal jantung untuk
MRS
• KRS jika pasien :
1. tidak ada nyeri dada atau penyakit lainnya.
2. respon terhadap diuretic yang diberikan di ED (nyaman saat istirahat pada
udara ruangan, SpO2 pada udara ruang ≥ 95%).
3. tidak menunjukkan bukti radiologik adanya gagal jantung
• KRS dengan ketentuan follow up pada klinik rawat jalan jika:
1. loop diretik, cth : lasix 40 OM, dan suplemen potassium, cth span K 1,2
mg OM jika pasien tidak menggunakan diuretic sebelumnya dan
urea/elektrolit/kreatinin normal.
2. tingkatkan dosis diuretic jika sebelumnya pasien telah menjalani
pengobatan tersebut.
3. jika terdapat concurrent hipertensi, disamping loop diuretic, berikan ACE
inhibitor cth Captopril 6,25-12,5mg 3x/hari atau hidralazin 25 mg 3x/hari.
4. nasehatkan diet rendah garam dan restriksi cairan.
• MRS jika pasien :
1. Disritmia simptomatik
a. Sinkope atau presinkope
b. Serangan jantung
c. Multiple discharge dari implantabel defibrillator
2. MI baru atau iskemik
3. Onset baru dengan gejala baru gagal jantung
4. Dekompensasi gagal janutng kronik
5. Faktor pencetus kurang reversible
6. Edema anasraka atau signifikan
7. Kurangnya support keluarga
8. Hipotensi
219

60 Hepatic Encephalopathy, Acute

Definisi
Hepatic encephalopathy didefinisikan sebagai sindrom AMS dan keadaan
neuropsikiatrik reversible sebagai komplikasi dari penyakit liver.

Klasifikasi
• Encephalopathy terkait kegagalan liver akut
• Encephalopathy terkait sirosis hati dan hipertensi portal

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


• Hindari narkotik, transquilizer dan sedative yang
dimetabolisme di hati.
• Hati-hati karena tidak semua hepatic ensefalopati

Ensefalopati terkait dengan acute liver failure


• Merupakan keadaan emergensi yang membutuhkan terapi yang tepat karena
keadaan ini akan menyebabkan deteriorasi menjadi koma dan membutuhkan
transplantasi hati.
• Sebelumnya keadaan pasien baik tanpa adanya riwayat penyakit hati.
• Gejalanya tidak spesifik, cth malaise dan fatigue dengan nausea; jaundice dan
ensefalopati dapat mengikuti, serta dapat berubah menjadi koma.
220

• Anamnesa :
1. Overdosis paracetamol
2. penelanan toksin seperti fenfluramin
3. penggunaan kokain dan ekstasi.
4. penggunaan obat IV.
5. riwayat perjalanan dengan maksud menyingkirkan kemungkinan hepatitis
A dan E
6. Riwayat hubungan seksual untuk mengetahui kemungkinan hepatitis B.
• Pemeriksaan fisik harus tidak menunjukkan chronic liver disease,
tanda neurologik fokal atau demam tinggi, untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab ensefalopati yang lain.
• Grade ensefalopati :
I Kurangnya kewaspadaan ringan, ansietas, euphoria, atensi jangka
pendek.
II Letargi atau apati dengan disorientasi minimal terhadap waktu dan
tempat, pasien mungkin menunjukkan perubahan kepribadian atau
perilaku
III Stupor dan kebingungan
IV Koma
• Manajemen :
1. Tangani di area critical care
2. Pertahankan jalan nafas dan oksigenasi, kalau perlu lakukan intubasi (jika
px koma atau ada airway compromise)
3. Monitoring EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
4. Pasang jalur IV perifer
5. Cairan IV : infus NS untuk mempertahankan perfusi perifer
• Terapi obat : IV manitol 20% : 1g/kgBB
• Pemeriksaan Penunjang :
1. GDA
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, LFT
3. Serum toksikologi (jika relevan)
4. Skrining hepatitis A,B,C, D dan E (anti-HAV IgM, HbsAg, anti-HBS,
anti-HCV, anti-delta, anti-HBE).
5. CT scan kepala urgen untuk mendeteksi edema serebral.
• Penempatan : konsul gastroenterology dan MRS pada ICU.

Ensefalopati terkait dengan sirosis hati dan hipertensi portal


• Px telah terdiagnosa menderita liver disease sebelumnya, dan mengalami
gangguan kesadaran yang timbul pada periode singkat, berfluktuasi, serta bisa
menjadi fenomena yang kronik.
• Klasifikasi meliputi 3 kategori : episodic, persisten atau minimal. Ensefalopati
pada sirosis disebabkan karena shunting portosistemik dan perubahan
metabolisme asam amino dengan ammonia yang memainkan peran penting
seperti neurotransmitter yang lain.
• Riwayat : pengenalan ri wayat sirosis sangatlah penting.
• Kejadian pencetus :
221

H Hemorrhage dari GIT cth varises atau erosi


E Electrolyte imbalance (hipokalemia, alkalosis seperti pada penggunaan
diuretic, vomiting dan diare) hipoglikemi.
P Protein Intake (berlebihan)
A Azotemia dari kontraksi volume, diuretic
T Tranquilizer, sedative lain
I Infeksi, cth : peritonitis bacterial spontan, UTI atau pneumonia, pembedahan
C Constipation
• Pemeriksaan Fisik :
1. dapat menunjukkan chronic liver disease, cth : spider naevi, ginekomasti,
liver palms, leuchonychia dan hepatic flap.
2. Dapat menunjukkan pembesaran hati atau lien juga ascites.
3. harus meliputi pemeriksaan rectum untuk mencari melena.
• Manajemen :
1. Tangani pada area critical care
2. Pertahankan jalan nafas dan oksigenasi : jika px koma lakukan intubasi.
3. Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
4. Pasang jalur IV perifer
5. Cairan IV : infus NS untuk mempertahankan perfusi perifer
• Pemeriksaan penunjang : ditujukan untuk mengkonfirmasi Dx
Ensefalopati akibat komplikasi sirosis juga untuk mencari factor pencetusnya.
1. GDA
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, ammonia, profil koagulasi, LFT.
3. Kultur darah dan urinalisis
4. CXR

• Terapi obat:
1. IV D50% 40ml pada hipoglikemi, dan IV thiamine 100mg jika pasien
menderita sirosis alkoholik.
2. IV nalokson 2mg jika px memiliki significant obtundation.
3. IV Flumazenil 0,5mg diulang setelah 5 menit
• Membalikkan Keadaan Ensefalopati :
1. Lactulosa 30ml PO atau lactulosa enema: menyebabkan diare osmotic
yang membantu flora normal untuk menurunkan produksi ammonia.
2. Antibiotik Oral : RCT menunjukkan manfaat klinis pada penggunaan
antibiotik.
3. Proteksi mukosa GI : Omeprazole 20-40mg IV perlahan selama 5 menit.
• Penempatan : konsul gastroenterology untuk meng-MRSkan pasien
ke unit HD (atau ICU jika px diintubasi).
222

61. Hepatobiliari emergencys

Masalah akut yang berasal dari system hepatobiliari yang datang pada dokter
emergency bisaanya dengan komplikasi biliary stone disease. Macam-macam
presentasinya adalah dibawah ini.

Kolik Bilier
• Manifestasi terseing dari biliary stone disease.
• Dapat terjadi pada pasien remaja, walaupun sering diderita oleh
pasien wanita yang mengalami obesitas pada usia 30 dan 50 tahun.
• Nyeri terdapat pada bagian tengah kuadran kanan atas atau
epigastrium.
• Nyeri bisaanya mulai secara akut dan dapat menjalar ke sudut
inferior pada scapula kanan.
• Nyeri bersifat kolik tanpa interval bebas nyeri antara eksaserbasi
(tidak seperti kolik ureterik dimana terdapat interval bebas nyeri)
• Nyeri dapat dicetuskan oleh ingestion makanan dan terutama yang
berlemak atau makanan besar.
• Gambaran lain yang terkait adalah sensasi distensi pada abdominal
bagian atas atau ‘bloating’, nausea dan vomiting.
Caveats
• Selalu cari gejala obstruktif jaundice dimana keadaan ini lebih sering
menunjukkan adanya biliary ductal daripada gallstone disease.
223

• Adanya nyeri ditambah demam menunjukkan adanya kolesistitis akut telah


terjadi.
• Adanya nyeri dengan demam serta obstruktif jaundice menunjukkan adanya
kolangitis.

Kolesistitis Akut
• Bisaanya datang dengan keluhan nyeri visceral awal yang menyerupai kolik
bilier. Nyeri dapat berubah seiring waktu dan menjadi nyeri parietal yang konstan
yang terlokalisir tajam pada hipokondrium kanan. Nyeri bertambah seiring waktu
dan timbul dengan adanya gerakan.
• Sering terdapat latar belakang episode nyeri abdomen atas mirip dengan kolik
bilier, yang semakin memburuk dalam frekuensi dan severitasnya.
• Gejala terkait lain meliputi demam dengan atau tanpa menggigil, hilangnya
nafsu makan, nausea dan vomiting.
• Pada pemeriksaan, nyeri yang terlokalisir pada hipokondrium kanan dapat
menjadi petunjuk lebih lanjut.
• Massa palpable yang lunak, dan globular dibawah batas kosta kanan yang ikut
turun saat respirasi menunjukkan adanya masa inflamasi yang dibentuk oleh
omentum disekitar kandung empedu yang mengalami inflamasi, atau sebuah
empiema kandung empedu.
• Murphy’s sign ada ketika pasien mengeluh nyeri dan menahan nafas saat
dipalpasi di hipokondrium kanan; hal ini terjadi karena kandung empedu menjadi
bersentuhan dengan ujung jari pemeriksa selama inspirasi.
Caveats
• Nyeri tekan pada hipokondrium kanan tidak patognomonis untuk kolesistitis,
tanda ini juga ada pada kolangitis.
• Secara klasik, tidak terdapat tanda obstruktif jaundice.
• Selalu cari tanda dehidrasi atau labilitas hemodinamik pada pasien dengan
kolesistitis akut. Karena px sering mengalami vomiting dan anoreksia dan
dapat berkembang menjadi syok karena septisemia.
Kolangitis
• Tanda klasik adalah Charcot’s triad (nyeri abdomen kanan atas, demam dan
obstruktif jaundice).
• Mungkin ada riwayat batu embedu yang asimptomatik yang ditangani secara
konservatif, atau dengan pembedahan. Penelitian local menunjukkan 35,7%
pasien kolangitis menunjukkan Charcot’s triad, namun sebagian besar pasien
(95,7%) mengalami nyeri abdomen atas sebagai keluhan utama.
Caveats
• Sama dengan kolesistitis, pertimbangkan adanya dehidrasi dan labilitas
hemodinamik.

Diagnosa Banding
• Hepatitis, abses hati, eksaserbasi dyspepsia ulkus, perforasi ulkus peptic akut,
kolik ureterik, pankreatitis, divertikulosis juga pneumonia basalis kanan.

Manajemen
Pasien yang Stabil
• Tangani pada area intermediate acuity care
• Puasakan pasien selama investigasi dan terapi.
224

• Lab : ditujukan untuk menyingkirkan ddx juga menyingkirkan adanya


komplikasi (kolangitis atau kolelitiasis).
• FBC : lekositosis PMN yang positif konsisten dengan adanya infeksi bacterial
(kolangitis atau kolesititis).
• LFT :
1. Tes ini normal pada kolik bilier.
2. Khas pada kolangitis : peningkatan bilirubin terkonjungasi dan
peningkatan enzim kolestatik duktus hepatikus (ALP/GGT), peningkatan
enzim hepatic intraselular (AST/ALT).
3. Bisaanya tidak terdapat kolestatis pada kolesistitis akut.
• Urea/elektrolit/kreatinin : untuk mendeteksi abnormalitas elektrolit dan
disfungsi sekunder akibat vomiting dan deplesi volume.
• PT dan PTT : dilakukan saat terjadi jaundice untuk mendeteksi koagulopati
• Serum amylase : menyingkirkan coexisting pankreatitis akut.
• Urinalisis : untuk menyingkirkan kemungkinan urolitiasis dan pielonefritis
• EKG : untuk menyingkirkan iskemik miokard.
• CXR posisi berdiri : untuk menyingkirkan pneumonia basiler dan udara
subdiafragmatik.
• KUB : untuk mendeteksi kalsifikasi intrabadominal, udara bebas, dan air-fluid
level.

Pasien yang tidak stabil (hemodinamik labil atau menunjukkan sepsis)


• Tangani pada area critical care
• Konsultasi dini pada ahli bedah
• Monitoring : tanda vital tiap 10-15, ECG, pulse oksimetri
• Berikan oksigen
• Pasang jalur IV dengan ukuran jarum besar (14/16G) untuk resusitasi cairan.
• Lab: seperti diatas.
• Lakukan kultur darah (dari 2 bagian tubuh minimum 10 ml darah/botol)
• Berikan antibiotik IV : sefalosporin seperti ceftriaxon atau cefuroxime untuk
organisme Gram Negatif, dan metronidazole 500mg IV.
Catatan : (1) jika alergi penisilin, ciprofloxacin merupakan alternative. (2) hindari
penggunaan antibiotik nefrotoksik seperti gentamycin.
• Pertimbangkan terapi suportif inotropik pada pasien yang tidak responsif
terhadap fluid challenge yang adekuat.
• Tetap puasakan px dan masukkan NGT untuk dekompresi lambung
• Pasang kateter urin untuk monitoring output urin.
• Berikan analgesic : dosis kecil agonis opioid via IV dititrasi sampai berespon.
Hindari antispasmodic dan NSAID.
Penempatan :
• Px dengan kolik bilier saja serta tanpa jaundice dan sepsis dapat diKRS-
kan sebagai pasien rawat jalan bagian bedah, dimana nyeri telah dikontrol
dengan analgesic.
• Px dengan kolesistitis atau kolangitis akut di MRS-kan, pertimbangkan
high dependency unit atau ICU pada px yang tidak stabil, dengan
konsultasi pada bagian bedah.
225

62. Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS)


Juga dikenal sebagai Hiperosmolar Hiperglikemik Non-Ketotik State (HHNK)

Caveats
• Riwayat penyakit terjadi dalam hitungan hari bukan dalam jam terkait dengan
keadaan diabetic ketoasidosis.
• Cenderung untuk terjadi hilangnya cairan, yang lebih besar daripada pada
DKA.
• Beberapa pasien dengan HHS sensitive terhadap insulin.
• HHS terkait dengan mortalitas yang tinggi dan harus diidentifikasi secara dini.
• Kriteria dignosa HHS :
1. Glukosa darah > 33mmol/l
2. pH arteri > 7,3 bikarbonat > 15 mmol/l
3. Tidak adanya ketonemia atau ketonuria hebat.
4. osmolalitas
Tips Khusus Bagi Dokter talal serum > 330 mOsm/kg H2O, atau serum osmolalitas
Umum:
+
efektif (2 x dx
• Pertimbangkan NaHHS+ kadar
padaglukosa
lansia + urea) >abnormalitas
dengan 320 mOsm/kg H2O
tanda
• Singkirkan penyebab lain seperti meningitis
vital atau status mental, atau dengan keluhan kelemahan, jika osmolalitas serum
tidak cukup
anoreksia atautinggi untuk menegakkan HHS.
fatigue.
• HHS dapat ditemukan bersamaan dengan pasien CVA, luka
bakar, MI, infeksi, pankreatitis atau obat (cth : diuretic, beta
blocker, glukokortikoid, neuroleptik, fenitoin, dan Calsium
Channel Blocker). Kemudian cek kadar GDA pada pasien lansia
untuk menyingkirkan adanya HHS atau DKA.
• Berikan infus NS sebelum mengirim pasien ke RS.
226

Manajemen
Terapi Suportif
o Pasien harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
o Berikan oksigen aliran tinggi
o Monitoring: EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa
dan potassium tiap 1-2 jam
o Suportif sirkulasi : deficit cairan rata-rata pada HHNK adalah 6-10 liter.
Separuh deficit air yang diperkirakan perlu untuk diganti selama 12 jam
pertama.
o Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, osmolalitas
serum, BGA, urinalisis.
o EKG, CXR untuk mencari penyebab keadaan HHS.
o Kateter urin untuk monitoring output urin.
Terapi Spesifik
o Replacement Volume intravena
1. jika pasien menunjukkan hipoperfusi jaringan signifikan, gunakan NS
sebagai bolus cepat sampai perfusi meningkat dan BP stabil. Berikan
setidaknya 1 liter NS pada jam pertama; selanjutnya diberikan dalam 2
jam. Kemudian ganti menjadi 1 liter NS 0,45% selama 4 jam berikutnya.
2. Jika pasien hipertensi atau mengalami hipernatremi signifikan (>155
mmol/l) berikan NS 0,45% dan ganti menjadi D5W IV ketika kadar
glukosa serum mencapai 16 mmol/l.
o Replacement Potassium : kurangnya potassium total tubuh pada
HHNK bisaanya lebih besar dari DKA. Pastikan terdapat output urin
sebelumnya, kemudian berikan :
1. Serum K+ <3,3 mmol/l berikan 20-40 mEq KCl pada jam pertama
2. Serum K+ 3,3-4,9 mmol/l berikan 10-20 mEq K+ per liter cairan IV (dapat
diberikan 2/3 KCl dan 1/3 KHPO4; penggantian fosfat diindikasikan jika
fosfat serum < 0,3 mmol/l).
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan pemberian K+ namun periksa serum
potassium setiap 1-2 jam.
o Pemberian insulin : bolus tidak diperlukan karena pasien sanagt
sensitive sekali terhadap insulin. Berikan secara infus insulin regular 0,1
unit/kgBB/jam. Sesuaikan infus insulin untuk menjaga kadar glukosa darah
pada 14-16 mmol/l, sampai osmolalitas serum ≤ 315 mOsm /l dan pasien
dalam keadaan sadar.
227

Catatan : Kadar glukosa darah vena harus diperiksa tiap 1-2 jam karena dapat
berkembang menjadi HHH.
Panduan
o Osmolalitas Serum dapat diperhitungkan dengan persamaan ini: (2 x Na+)
+ glukosa + urea mOsm. (normal = sekitar 280-290 mOsm).
o Osmolal gap ditentukan dengan rumus diatas dan dibandingkan dengan
hasil lab yang diukur dengan metode molal freezing point depression.
Perbedaan yang didapat harus sekitar 10; jika lebih tinggi, partikel aktif
osmotic yang lain terdapat dalam serum seperti alcohol atau IVP dye.
Penempatan
o Lakukan konsultasi dengan bagian General medicine atau endokrin, lakukan
pengawasan pada HD. Setelah mendapatkan volume replacement awal,
bisaanya pasien tidak membutuhkan MRS dibagian ICU.

63. Hipertensi Krisis

Definisi
• Hipertensi : tekanan darah (BP) 140/90 mmHg atau lebih, walaupun harus
diketahui bahwa tekanan darah merupakan suatu variable berkelanjutan. Tabel 1
menunjukkan klasifikasi berdasarkan JNC VII (seventh report of the Joint
National Committee) terhadap prevensi, deteksi, evaluasi, dan terapi tekanan
darah tinggi.
• Krisis hipertensi : peningkatan kritis BP dengan dengan peningkatan
tekanan darah diastolic. Tidak ada kadar BP absolute yang dapat mendefinisikan
krisis hipertensi, namun bila tekanan diastolic 120-130 mmHg dapat digunakan
sebagai pedoman. Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergencies dan
urgencies.
1. Hipertensi emergency : jika peningkatan BP terkait dengan
disfungsi atau kerusakan end-organ yang akut atau sedang terjadi.
2. Hipertensi Urgensi : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi
atau kerusakan end-organ imminen. Hipertensi berat merupakan merupakan
228

keadaan asimptomatik pada pasien yang tidak berkaitan dengan hipertensi


emergency dan lebih sering digambarkan sebagai urgensi.
• Macam-macam keadaan hipertensi emergensi :
1. Hipertensive encephalopathy : dibedakan antara stroke/perdarahan
subarachnoid
2. Hipertensive left ventricular failure (edema paru akut)
3. Diseksi aorta akut
4. Infark Miokard Akut/ ACS
5. Stroke Perdarahan atau iskemik/perdarahan subarachnoid
6. gagal ginjal akut
7. Eklampsia/preeklampsia (lihat bab eklampsia)
8. Krisis phaeochromocytoma
9. Obat terlarang (cth ekstasi)
• Hipertensi urgensi meliputi :
1. Peningkatan BP dengan perubahan retina (tanpa terkait dengan kerusakan
end-organ)
2. Gagal ginjal kronik
3. Preeklampsia

Tabel 1 : Klasifikasi BP pada Dewasa 18 tahun keatas berdasarkan JNC VII


BP (mm Hg) Sistolik Diastolik
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 ≥ 160 ≤ 100

Caveats
• Jika hasil BP terlalu tinggi atau terlalu rendah pada pemeriksaan dengan
menggunakan monitor, ulangi menggunakan pengukuran manual, dengan
ukuran cuff yang sesuai.
• Krisis hipertensi bisaanya terjadi pada pasien yang diketahui telah menderita
hipertensi. Penyebab sekunder hipertensi juga banyak ditemukan pada pasien
krisis hipertensi.
• Istilah accelerated hypertension, malignant hypertension, dan accelerated-
malignant hypertension digunakan untuk mendeskripsikan hipertensi berat
yang terkait dengan perubahan retina sesuai dengan Keith-Wagener-Barker
grading. Dimana dulu, grade 3 (perdarahan, cotton wool patches,
arteriosclerosis) dan grade 4 (papiledema) terkait dengan prognosis yang
buruk. Saat ini dinyatakan bahwa prognosis tidak berkaitan dengan
pemeriksaan funduskopi. Istilah ‘hipertensi emergency’ atau hipertensi
urgensi’ lebih disukai untuk digunakan saat ini.
• Hipertensi ensefalopati saat ini dipercaya jarang terjadi, dan keadaan AMS
sering ditemukan terjadi sekunder akibat stroke. Menyingkirkan diagnosa
tersebut sangat penting karena tindakan menurunkan BP pada pasien stroke
akut dapat berakibat serius. Pada stroke bisaanya BP hanya meningkat secara
ringan. CT scan kepala dapat membantu untuk membedakan kedua keadaan
tersebut.
229

• Hipertensive left ventriculare failure (dikenal sebagai edema pulmonal akut)


terjadi ketika hipertensi berat berakibat pada kegagalan LV akut akibat
overload berlebihan yang menyebabkan dekompensasi. Lihat bab edema paru,
cardiogenik.
• Hipertension dengan diseksi aortic perlu dipertimbangkan jika pasien
mengalami nyeri dada akut, atau IMA (ketika diseksi mempengaruhi arteri
koronaria) atau murmur regurgitasi aorta baru terdeteksi. Riwayat klasik
adanya rasa nyeri seperti terobek yang menjalar ke punggungmungkin tidak
ditemukan. Lihat bab Aortic dissection.
• Hipertensi dengan IMA/ACS terjadi ketika hipertensi berat menyebabkan
peningkatan ketegangan dinding ventrikel dan kebutuhan oksigen miokard. BP
> 180/110 mmHg merupakan kontraindikasi untuk pemberian trombolisis.
• Preeklamsia dan eklampsi perlu dipertimbangkan pada wanita hamil setelah
mengalami amenore lebih dari 20 minggu. Lihat bab Eclampsia
• Jangan pernah memberikan terapi pada hasil pengukuran BP secara tunggal :
ketika memeriksa BP, pastikan pasien nyaman dan gunakan cuff yang sesuai.
• Over-zealous correction BP dapat berbahaya dan bisa menyebabkan CVA atau
IMA. BP dapat diturunkan dengan obat oral dan control jangka panjang BP
merupakan factor penting dalam menentukan prognosis hipertensi. Hindari
calsium channel blocker sublingual; absorpsinya tidak dapat diprediksi dan BP
dapat turun terlalu cepat.

Tips khusus bagi Dokter Umum:


• Control BP yang baik akan mengurangi jumlah kasus
hipertensi emergency atau urgency.
• Penggunaan nifedipine sublingual, walaupun popular

Manajemen
Tangani pasien pada area yang dapat dimonitoring (critical atau intermediate)
• Berikan oksigen aliran rendah
• Monitor : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
Apakah hasil pemeriksaan BP benar ?
• Ulangi dengan manual sphygmomanometer
• Periksa cuff yang benar
• Periksa lengan yang lain
• Ulang pemeriksaan kemudian jika asimptomatik
Apakah merupakan hipertensi emergency atau urgensi?
• Cari bukti adanya kerusakan end-organ
• Pemeriksaan klinik harus mencakup:
1. funduskopi untuk mencari pardarahan, eksudat, papil edema.
2. pemeriksaan neurologik untuk AMS, deficit fokal.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk kegagalan ventrikel kiri, murmur
regurgitasi aorta baru, bukti diseksis aortic.
• Bedside investigation : EKG, urin dipstick untuk hematuri dan
proteiuria, tes kehamilan urin pada wanita usia subur.
230

• Pemeriksaan lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, cardiac enzyme


screen, troponin T.
• Radiologi :
1. CXR untuk kegagalan ventrikel kiri, pelebaran mediastinum.
2. CT scan kepala jika terdapat AMS.
3. CT thoraxjika ada kecurigaan diseksi aortic.
Apakah BP perlu diturunkan secara akut? Jika demikian, bagaimana caranya?
• Penurunan BP yang optimal belum ditentukan secara pasti.
• Jika hipertensi emergency terjadi, target adalah menurunkan 20-
25% MAP (diastolic + 1/3 Pulse pressure) dalam beberapa jam, atau DBP
sampai mencapai lebih dari 100-110 mmHg, kemudian menjadi 160/100
mmHg dalam waktu 2-6 jam.
• Untuk px dengan stroke syndrome, jika CT scan kepala dapat
dilakukan maka disarankan untuk menunda BP sampai perdarahan
intracerebral dapat dilihat. Lihat bab Stroke.
• Terapi Obat
1. Sodium nitroprusside : bermanfaat untuk semua hipertensi emergency
kecuali pada eklampsia. Dibatasi oleh toxic metabolite thiocyanate
terutama setelah penggunaan yang lama (24-48 jam), yang dapat
menyebabkan toksisitas sianida atau thiocyanate, bermanifestasi seperti
laktat asidosis, AMS dan deteriorasi. Perlu untuk dilindungi dari sinar
matahari.
Dosis: infus IV mulai dari 0,25µg/kg/menit dititrasi sampai berespon.
Dosis efektif rata-rata adalah 3 µg/kg/menit, dengan range 0,25 sampai 10
µg/kg/menit (dosis maksimal untuk 10 menit saja).
2. Labetalol hydrochloride: gunakan secara primer, atau pada kasus gagal
terapi dengan nitroprusside. Bermanfaat bagi px dengan IHD dengan
mengurangi kebutuhan oksigen miokard dan takikardi. Juga efektif pada
diseksi aortic dengan mengurangi force of systolic ejection dan shear
stress. Kontraindikasi adalah pada pasien asma, COLD, CCF, bradikardi
dan AV block. Bermanfaat bagi phaeochromocytoma, dosis rendah dapat
berakibat hipertensi paradoksikal karena efek beta-blocking lebih kuat
daripada efek alfa blocker.
Dosis : berikan IV 25-50mg bolus, diikuti dengan 25-50mg tiap 5-10 menit
sampai maksimum 300mg (efek bertahan sekitar 50 menit), atau dengan
infus dengan rata-rata 0,5-2,0 mg/menit.
3. Nitrogliserin : DOC untuk hipertensi moderate dengan komplikasi unstabel
angina. Komplikasi nyeri kepala dan vomiting, dan dapat memiliki
manfaat yang terbatas pada pasien hipertensi encefalopati. Dosis : infus IV
pada 5-100 µg/menit, titrasi sampai berespon.
4. Propanolol : dapat digunakan bersama dengan nitroprusside pada diseksi
aortic thoracic. Digunakan juga dengan phentolamine untuk krisis
katekolamin. Dosis : 1 mg IV bolus dan titrasi.
5. Esmolol : short acting beta-blocker. Gunakan pada diseksi aortic. Dosis :
250-500 µg/kg/menit selama 1 menit, kemudian 50-100 µg/kg/menit
selama 4 menit; dapat diulang.
6. Phentolamine : merupakan alpha-blocking agent, digunakan dengan
propanolol IV untuk krisis katekolamin. Dosis : 5-15mg IV.
7. Hidralazine : terapi pilihan eklampsia. Dosis : 5-10 mg bolus IV tiap 15
menit dan titrasi.
231

• Jika hipertensi urgensi telah didiagnosa, targetnya adalah untuk


menurunkan BP secara bertahap selama periode 24-48 jam sampai target DBP
100-110 mmHg. Obat hanya diberikan per oral. Obat yang dimiliki pasien
dapat diteruskan.
• Terapi obat
1. Felodipine
a. berikan PO 2,5 mg pada usia > 65th
b. Berikan PO 5,0 mg pada usia < 65 th, kemudian 5,0 mg 2 x/hari
2. captopril : Berikan PO 25,0 mg, kemudian 2 x sehari atau 3 x sehari.

Penempatan
• Hipertensi Emergency : pasien harus MRS di ICU dengan konsultasi pada
General Medicine
• Hipertensi urgensi : dapat KRS jika respon baik dan BP dapat diterima setelah
4 jam monitoring, namun follow up harus dilakukan dalam 48 jam. Jika pasien
baru pertama kali didiagnosa hipertensi dengan penyebab yang belum pasti,
maka MRS pada bagian General medicine untuk evaluasi dan eksklusi
penyebab sekunder hipertensi.

64. Hipertermia

Francis Lee

PENTING

• Trias gejala klasik untuk heat stroke adalah :


1. Temperatur rectal > 41 C
2. Perubahan status kesadaran
3. Kulit kering dan panas
Ini adalah sebuah kondisi stadium lanjut dan seharusnya digunakan dengan hati –
hati. Jika diikuti terlalu kaku, mungkin kita melewatkan banyak kasus heat stroke
pada fase awal.
232

• Tidak ada petunjuk klinis untuk heat stroke dan banyak gejala dan tanda
adalah nonspesifik. Diagnosis, karena itu membutuhkan perhatian. Perubahan
status kesadaran, perubahan perilaku akut dan sinkop with suatu riwayat
paparan terhadap temperature yang tinggi seharusnya menyadarkan seseorang
untuk diagnosis dari diagnosis heat stroke.
• Banyak yang disertai temperature yang tinggi di luar ruangan. Penting untuk
dicatat bahwa aktivitas yang berkepanjangan atau berada di ruangan tertutup
tanpa ventilasi yang cukup atau pengatur aliran udara adalah faktor resiko
untuk heat stroke.
• Heat exhaustion adalah suatu prekursor dari heat stroke dan mempunyai
gambaran :
1. Kecemasan, irritabilitas, dan fatigue.
2. Rasa haus, polidipsi
3. hiperventilasi, carpopedal spasme.
4. Nausea, muntah
5. Peningkatan temperature rectal
6. Abnormalitas enzyme hepar ringan
7. Peningkatan level creatinin kinas.

• Tidak ada perbedaan yang jelas antara heat exhaustion dan heat stroke
dan dua kondisi tersebut mempunyai gambaran klinis yang sama,
membuat diagnosis sulit. Sebagai penuntun secara umum, pasien
dengan heat exhaustion umumnya tidak mempunyai riwayat perubahan
status kesadaran.

Faktor – Faktor Resiko Untuk Heat Stroke


• Beberapa faktor predisposisi untuk heat stroke :
1. Kurangnya dan kebugaran fisik yang rendah.
2. Obesitas
3. Usia yang ekstrem.
4. Penyakit – penyakit yang meyertai seperti penyakit jantung iskemi, diabetes
mellitus, kelainan kulit, penyakit infeksi.
5. Keadaan dehidrasi seperti penggunaan alcohol, diare, muntah.
6. Obat seperti anticholinergik, antihistamine, diuretic, beta bloker.
7. Recreational drug seperti amphetamine, kokain.
8. Keadaan demam sebelumnya.
9. Riwayat trauma kepala sebelumnya.

Diagnosis Diferential
Banyak kondisi menghasilkan perubahan status kesadaran dengan pireksia yang
menyerupai heat stroke :
1. Infeksi intracranial seperti meningitis, encephalitis.
2. Infeksi seperti typhoid, malaria.
3. hipertermia malignan, neuroleptic malignan syndrome.
4. Kelainan neurology seperti stroke, epilepsy.
5. Kelainan metabolic seperti thyroid storm.

Petunjuk Khusus Untuk Dokter Umum


• Panggil ambulan untuk transport ke IRD
233

• Lakukan pendinginan awal dengan membuka pakaian pasien dan


kompres atau semprot dengan air untuk membasahi kulit. Sebuah kipas
angin diarahkan ke korban akan membantu mendinginkan dengan
evaporasi.
• Hidrasi adalah hal yang penting. Pemberian cairan peroral dapat
diberikan jika pasien dalam keadaan sadar dan mampu menerima.

Penatalaksanaan
• Langkah – langkah awal dalam penatalaksaan heat stroke :
1. Tempatkan pasien pada area resusitasi atau critical care
2. Kontrol ABC
3. Berikan oksigen
4. Pasang jarum intravena dengan jarum ukuran besar pada kedua fossa kubiti
dan infuse dengan cairan dingin
5. Pasang monitoring jantung dan vital sign.
6. Nilai temparatur rectal.
• Proses pendinginan penderita harus dilakukan dengan :
1. Lepaskan semua pakaian
2. Gunakan sebuah unit cooling body ( Metode pendinginan evaporasi )
atau kompres dan semprot dengan air dingin dan kipas angina.
3. proses pendinginan dilakukan sampai temperature rectal mencapai 38.5
C

• Pemeriksaan EKG untuk mencari masalah kardiovaskular. Pada


kelainan jantung akut, takikardi hamper selalu muncul.
Gambaran yang lain mungkin termasuk perubahan segmen ST
dan perubahan gelombang T yang spesifik dan abnormalitas
konduksi. EKG mungkin menunjukkan kelainan kardiovaskular
yang mendahului.

• CXR untuk mencari bukti – bukti edema paru atau ARDS.


Infark paru telah digambarkan dalam heat stroke.

• Lakukan pemeriksaan glukosa darah kapiler untuk mnecari


hipoglikemi sehingga terapi dapat segera dilakukan. Bagaimanapun juga,
hiperglikemia mungkin terlihat pada heat stroke dan ridak selalu menunjukkan
adanya diabetes mellitus.

• Pemeriksaan darah :

1. darah rutin : lekositosis umum dijumpai tanpa adanya infeksi. Trombositopeni


dapat dijumpai.
2. Elektrolit : kadar natrium dan kalium mungkin meningkat, normal, atau
rendah, tergantung banyak factor. Hipomagnesemia dan hipocalsemia
mungkin terjadi.
3. enzim-enzim otot umumnya meningkat.
4. Faal hati : abnormalitas dari enzim dihepar hamper selalu ada.
5. Analisa gas darah mungkin menunjukkan alkalosis atau metabolic asidosis
dari trauma jaringan dan hipoksia.
234

6. Profil koagulasi mungkin menunjukkan onset koagulasi.

• Urine dipstick mencari adanya darah dan myoglobin. Alternatifnya,


suatu sample mungkin dikirim ke lab untuk mengukur myoglobulin.
• Selama proses pendinginan, menggigil mungkin terjadi, melawan
usaha – usaha dalam menurunkan temperature tubuh. Ini dapat dikendalikan
dengan IV diazepam 5 mg atau IV chlormazine 25 – 100 mg.
• Pasang NGT menatalaksana distensi gastric acute.
• Beri IV cimetidine 400 mg untuk mencegah gastritis akut.
• Pasien harus dipasang kateter untuk monitoring produksi urine.
• Perhatian :
1. Mekanisme untuk heat stroke tidak melibatkan suatu pergeseran pada
thermostat fisiologis dan karena itu antipiretik tidak menolong. Aspirin harus
dihindari karena mungkin menyebabkan masalah koagulasi ketika penggunaan
paracetamol mungkin memperberat injuri pada hepar.
2. Alkohol tidak dapat digunakan untuk proses pendinginan sekalipun kondisi
hipertermi spesifik untuk proses penguapan karena absorpsi kulit dapat
menyebabkan penurunan kesadaran yang lebih progresif.
3. Hipotensi harus dikoreksi sebelum proses pendinginan yang efektif dilakukan.
4. Hati – hati dengan edema paru yang mengalami rebound ketika vasokontriksi
terjadi setelah heat stroke terkontrol.

• Disposisi
1. Semua penderita heat stroke harus dirawat di rumah sakit
2. Pemulihan heat exhaustion tanpa kerusakan end organ dapat diobservasi di
IRD dan kemudian dapat dipulangkan.

Referensi
1. Weiner KS, Khogali M. A physiological body-cooling unit for heatstroke.
Lancet. 1980; 1:507.
2. Gaffin SL, Gardner JW, Flinn SD. Cooling methods for heatstroke victims.
Ann Intern Med 2000; 132(8):678.

65. Hipoglikemi

DEFINISI
Merupakan kadar glukosa darah yang rendah, bisaanya kurang dari 3,0 mmol/l pada
pemeriksaan vena, disertai dengan gejala dan tanda yang khas, yang akan kembali
membaik setelah dilakukannya koreksi.

CAVEATS
235

• Selalu periksa GDA pada pasien AMS atau kejang.


• Hasil pemeriksaan gula darah kapiler akan lebih rendah daripada hasil pada
vena dan dapat terlihat rendah pada pasien hipotensi, hipotermi dan edema;
sehingga selalu konfirmasikan adanya hipoglikemi dengan sample vena ke
lab.

Penyebab
• Separuh jumlah kasus terjadi pada pasien diabetes yang sedang menjalani
pengobatan dengan insulin atau sulphonylurea.
• Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sehat:
1. Medikasi/obat
a. Alkohol
b. Salisilat
c. Non selective beta blocker (dengan kelemahan respon adrenergic
terhadap stress)
d. Factitious hypoglycaemia atau overdosis insulin atau obat
hipoglikemik oral.
3. latihan/exercise yang berlebihan
4. Insulinoma
• Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sakit
1. Sepsis dan syok
2. Infeksi : malaria, terutama dengan terapi quinine atau quinidine
3. Starvasi/kelaparan, anoreksia nervosa
4. gagal hati
5. Gagal Jantung (diffuse disfungsi liver)
6. Gagal ginjal (gluconeogenesis yang terganggu)
7. Endokrin
a. Insufisiensi Hipothalamus-pituitary-adrenal axis pada kortisol dan
growth hormone.
b. Insulin antibodies
8. Non islet cell tumour, cth sarcoma, mesothelioma
9. masalah hati congenital termasuk defek karbohidrat, asam amino dan
metabolisme asam lemak.

Tips khusus Bagi Dokter


• Prevensi labih baik daripada penyembuhan
• KIE yang baik dalam ketaatan berobat obat hipoglikemik, insulin dan makanan
serta kudapan yang sesuai.
• Hindari long-acting sulfonylurea, terutama glibenklamide dan chlorpropamide,
pada pasien usia tua, atau memiliki gangguan hati, ginjal atau jantung.
• Monitoring ketat glukosa darah pasien, termasuk self-blood glucose monitoring,
akan membantu untuk mengurangi insiden hipoglikemi pada pasian DM.
• Pastikan keamanan penggunaan obat dirumah:
1. jauhkan obat dari jangkauan anak
2. kurangi kebisaaan menempatkan obat pada container lain untuk mencegah
kebingungan.
3. Beri label dengan jelas
• Cek GDA pada semua px AMS. Terapi dini pada hipoglikemi akan
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
236

Manifestasi klinis

Hipoglikemi dapat muncul dengan manifestasi spectrum luas kelainan neurologik, a.l:
• Neurogenic/autonomic (BSL sekitar 2,8-3,0 mmol/l): keadaan simpatetic yang
berlebihan dengan diaforesis, takikardi, gugup, dan pucat.
• Neuroglycopenia (BSL < 2,5-2,8 mmol/l)
1. gangguan perilaku seperti iritabilitas, confusion dan agresi
2. penurunan tingkat kesadaran
3. Kejang
4. Defisit neurologik fokal

MANAJEMEN

• Tempatkan pada area yang dapat diawasi


1. monitor: EKG, pulse oksimetri, tanda vital
2. berikan oksigen aliran rendah
3. Cek GDA untuk semua px AMS

• Anamnesa dan Pemeriksaa


1. cek riwayat DM, pengobatan, perubahan dosis, penyakit yang baru atau
sudah lama diderita px.
2. Jika px tidak sadar, lakukan heteroanamnesa, dan pemeriksaan lain.

• Pemeriksaan penunjang
1. Glukosa darah vena, urea/elektrolit/kreatinin, LFT, FBC
2. Jika px tidak diabet, ambil 1-2 ekstra tube darah on ice untuk insulin
serum, C-peptide dan kortisol sebelum memberi terapi dan evaluasi
endokrinologi lanjutan.
3. jangan menunggu hasil lab akhir untuk memberikan terapi.

• Terapi, tergantung pada tingkat kesadaran dan kerjasama px


1. pasien sadar dan kooperatif
a. terapi oral lebih disukai
b. berikan minuman kaya glukosa (cth glukolin, lucozade, ensure,
isocal, milo, horlicks) dan beri makan px. Catat bahwa 1 kaleng
Ensure memiliki 250 kalori, cf 1 pint D5W memiliki 100 kalori.
2. pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif
237

a. jika akses IV tersedia, berikan IV dekstrose 50% 40-50ml. ingat


untuk mencampurnya dengan NS karena larutan hipertonik dapat
menyebabkan tromboplebitis.
b. Jika akses IV tidak tersedia, atau jika px sangat tidak kooperatif,
IM atau SC glukagon 1 mg dapat diberikan. Ingat bahwa IM atau
SC glukagon memerlukan waktu beberapa menit lebih lama
daripada IV dekstrose. Juga dapat digunakan pada hipoglikemi
yang terjadi akibat sulfonylurea atau gagal hati.
3. Jika dicurigai alkoholik kronis, berikan IV thiamine 100mg
4. Jika dicurigai ada insufisiensi adrenal, berikan IV hidrokortison 100-
200mg.
5. Jika ada trauma lain, berikan profilaksis tetanus.

• Monitoring
1. periksa GDA 15 menit kemudian, selanjutnya setiap 30 menit pada 2 jam
pertama, dan setiap jam selanjutnya. Monitoring jangka panjang
dibutuhkan bila ada overdosis sulfonylurea dengan glibenklamide atau
chlorpropamide.
2. Pertimbangkan dosis ulangan jika tidak respon terhadap terapi, atau
berikan infus D5% atau 10% continous, jika ada kemungkinan penurunan
kadar gula darah yang terus menerus.
3. mayoritas pemulihan pasien terjadi dalam 20-30 menit.
4. jika terdapat keadaan AMS yang persisten, walaupun hipoglikemi telah
teratasi, pertimbangkan keadaan patologis lain, serta lakukan CT scan
kepala.

• Penempatan
1. Bergantung pada beberapa factor :
a. Etiologi hipoglikemi, termasuk agen penyebab.
b. Severitas deficit neurologik dan responnya terhadap terapi.
c. Respon kadar glukosa darah dan butuh replacement yang terus
menerus.
d. Adanya komorbiditis, seperti cedera kepala
e. Lingkungan social, ketersediaan yang merawat px, keinginan px
untuk bunuh diri.
2. secara umum, sebagian besar pasien harus di-MRS-kan dibawah
pengawasan bagian endokrinologi, General Medicine atau spesialis lain
tergantung etiologi dan komorbiditas. Semua kasus hipoglikemi karena
sulfonylurea harus di-MRS-kan karena efek jangka panjangnya.
3. pada kondisi yang menyebabkan kecenderungan hipoglikemi (overdosis
OHGA, kegagalan hati akut, sepsis berat), pertimbangkan MRS di ICU.
4. Jika penyebab hipoglikemi telah diketahui pasti dan bersifat reversible (cth
karena lupa makan setelah injeksi insulin), maka px dapat dipulangkan
setelah keadaan membaik.
238

66.OBSTRUKSI INTESTINAL

TITIK BERAT
Ψ presentasi klinis meliputi: nyeri perut, distensi, muntah
dan konstipasi,. Namun, muntah mungkin terlambat pada obstruksi letak
rendah and distensi mungkin minimal pada obstruksi letak tinggi
Ψ obstruksi usus dapat dibagi menjadi 2: mekanis dan
non-mekanis ( ileus )
Ψ selalu periksa kemungkinan hernia dan rectal tuse.
Sumbatan feses biasanya memberi gejala pseudoobstruksi
Ψ apabila sudah terdiagnosis, tentukan apakah terdapat
strangulasi

Tabel 1 penyebab obstruksi mekanis


Perlekatan dari operasi masa lalu
Hernia
Tumor
Batu enpedu
Volvulus
Intusepsi
Inflamatori bowel disease, Crohns’ disease

Tabel 2 penyebab ileus


• Postoperative
• Hipokalsemia
239

• Uremia
• pseudoobstruksi

Tabel 3 strangulasi
• Febris
• Shok
• Nyeri menetap setelah dekompresi
• Peritonitis dan shok
• Pada kasus strangulasi karena hernia eksternal, sumbatan terasa tegang, lunak,
tidak dapat berkurang, tidak dipengaruhi impuls batuk dan terdapat
peningkatan ukuran

Tips untuk Dokter Umum


Feses ukuran kecil, yang mungkin oleh pasien dianggap sebagai “diare”,
kemungkinan adalah “diare palsu” dan jangan abaikan kemungkinan obstruksi usus

Managemen
♣ pastikan airway paten dengan suplemen oksigen
♣ pasang infus kristaloid 500ml dalam 1-2 jam
♣ pemeriksaan lab. : DL, sample darah,
ureum/creatinin/elektrolit
♣ pasang NGT untuk dekompresi
♣ Rö: BNO 2 posisi ( berdiri dan supinasi) untuk
melihat dilatasi usus dan udara bebas
♣ EKG pada pasien tua
♣ Pasang kateter untuk mengetahui produksi urine
♣ Jika pernah terjadi strangulasi atau peritonitis,
segera konsultasi dengan ahli bedah
♣ Rochephin 1 gr IV dan metronidazole 500 mg IV
apabila pernah terjadi bowel sepsis
240

67. Ischemic bowel


Penting
• Ischemic bowel perlu diperhatikan dan disingkirkan pada penderita
dengan nyeri perut yang tiba-tiba akan tetapi pemeriksaan fisik tidak
didapati kelainan fisik yang bermakna.
• Setelah terjadinya oklusi, dikuti dengan cepat timbulnya gangren
dan perforasi pada saluran cerna
• Diagnosis awal adalah sangat sukar ketika tanda-tanda fisisk yang
timbul minimal.
• Faktor resiko
1. Umur diatas 50 tahun
2. Riwayat memiliki penyakit katub jantung
3. Riwayat chronic congestive cardiac failure
241

4. Memilki peripheral vascular disease


5. Riwayat miocard infark
6. Dysarytmia, terutama atrial fibrilasi dimana predesposisi
terjadinya emboli
7. Hypovolemia
8. Hypotensi
Catatan : ischemic bowel dapat terjadi tanpa didukung faktor resiko diatas
dan pada penderita usia muda. ischemic bowel harus dicurigai pada semua
penderita dengan tanda-tanda peritoneal, dimana nyeri melebihi dari
pemeriksaan fisik yang ditemukan, dan penderita terlihat sakit berat dan
khususnya didapati suatu metabolic asidosis.
Penatalaksanaan
• Rawat penderita pada tempat yang dapat dimonitor setiap saat
• Jaga jalan nafas dan beri oxygen aliran tingi
• Beri infus kristaloid dengan aliran rumatan, kecuali jika shock
• Lab
1. Darah lengkap
2. Urea/Electrolyte/cretinine
3. Analisa Gas Darah, untuk melihat adanya metabolic asidosis
yang tidak dapat dijelaskan dengan kelaianan patologis yang lain.
4. Pemeriksaan coagulasi
5. Persiapan darah protrasfusi 2-4 unit
• Foto polos abdomen untuk melihat penebalan dinding saluran cerna,
dan udara bebas yang menunjukan adanya perforasi dari saluran cerna
yang mengalami gangren
• ECG menunjukan dysarytmia tersering berupa Atrial Fibrilasi
• Pasang NGT dan beri antibiotic (Chepalosporine IV dan
metronidazole IV)
• Pasang urinary cateter dan monitor produksi urin
• Konsultasi segera ke bagian bedah
242

68. Malaria
Chong Chew Lan

Caveats
• Secara klasik, pasien tampak dengan paroxysm atau demam dengan puncak yang
tinggi setiap 48 jam (plasmodium vivax, p. Ovale) atau setiap 72 jam (P.
malariae). Infeksi P. falciparum bisa tidak menunjukkan paroxysm.
• Pertimbangkan malaria pada semua pasien dengan demam, terutama saat
rekrutmen tenaga militer, pekerja asing dan pasien yang baru saja mengadakan
perjalanan ke India, Amerika Selatan, Afrika atau Asia Tenggara.
• Chemoprophylaxis bisa jadi tidak menyebabkan malaria sebagai akibat dari
resistensi obat dan dosis yang tidak tepat.
• Tanda-tanda klinis:
1. Malaise 8. Cerebral oedema
2. Muntah 9. Gagal Jantung
3. Diare 10. Pulmonary oedema
4. Haemolytic anaemia 11. Shock
5. Jaundice 12. Gagal Ginjal
6. Splenomegaly 13. Hypoglycaemia
243

7. Pusing
• Penurunan kesadaran bisa sering terjadi, khususnya dengan infeksi p.falciparum.
• Cari hypoglycaemia sebagaimana malaria dan quinine dapat menyebabkan
hypoglycaemia.
• Selalu cari komplikasi dari malaria sebagai berikut:
1. Superimposed gram – negative sepsis
2. Malaria respiratory distress or pulmonary oedema
3. Cerebral malaria
4. Shock
5. Anaemia
6. Acidosis
• Mefloquine tidak direkomendasikan pada pasien dengan neuropsychiatric atau
cardiac conduction defects

PENATALAKSANAAN
• Kirim sediaan darah tebal dan tipis untuk pemeriksaan malaria pada setiap pasien
yang datang dari daerah malaria.
• Bila parasit tidak terlihat, usapan ulangan harus dilakukan setidaknya dua kali
dalam waktu tiga hari untuk mengeluarkan malaria.
• Masukkan semua pasien dengan malaria

Petunjuk khusus bagi dokter umum


• Obati dengan quinine atau nefoquine bila terdiaknosa malaria atau kloroquine bila
vivax positif teridentifikasi, sebalum mengirim pasien ke IRD karena kondisi
pasien bisa menurun dengan cepat.
• Cek level glukosa di klinik dan obati hypoglycaemia bila perlu.
• Pengukuran pencegahan sederhana melawan malaria pada orang dewasa meliputi:
1. sarankan pasien untuk menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan
repellant, misalnya 30% DEET, kelambu, gunakan pakaian yang bisa
melindungi dari nyamuk dan hindari kulit terbuka mulai sore sampai pagi.
2. bila pasien akan pergi ke daerah malaria, mulai dhemoprophylaxis satu
minggu sebelum bepergian dan lanjutkan hingga empat minggu setelah tiba,
berikan:
a mefloquine 250 mg perminggu
b doxycycline 100mg OM or
c moloprim 1 tab mingguan

• hitung parasit, berhubungan dengan prognosis, dan spesies penginfeksi harus


teridentifikasi.
• Labs:
1. DL (anemia, sel darah putih rendah atau normal, trombositopenia)
2. Ureum/elektrolit/kreatinin (gagal ginjal)
3. LFT (jaundice)
4. Gula darah (infeksi P. Falciparum atau terapi quinine)
5. Urin untuk hemoglobinuria (blackwater fever)
• Untuk P. Vivax, P.malariae dan infeksi P.falciparum yang sensitif ringan
terhadap chloroquine (<0.1% hitungparasit):
244

1. dewasa : Chloroquine phosphate 1 g stat (choloquine base 600 mg) 500 mg 6


jam kemudian, lalu 500 mg per hari selama 2 hari berikutnya.
2. Anank-anak : Chloroquine phosphate 10mg/kgBB hingga maksimum 600 mg
kemudian 5 mg/kgBB dalam 6 jam, dan 5 kg/kgBB per hari selama 2 hari.
Diikuti dengan primaquine phosphate (pastikan status G6PD normal) 26,3 mg
load (15 mg base) per hari untuk 14 hari selama menyelesaikan terapi chloroquine
untuyk infeksi P. Ovale dan P. Vivax. Beri 0,3 mg/kgBB base selama 14 hari
untuk anak-anak.
Catatan : Terapi primaquine adalah untuk eradikasi stadium ektraeritrositik dan
mencegah relaps.
• Untuk yang tidak ada komplikasi, P. Falciparum yang moderate (>0,1% tetapi
<5%) sensitif chloroquine, beri quinine sulfat oral 600-650 mg tds (8,3-10
mg/kgBB untuk anak-anak) selama 7 hari dan doxycicline 100 mg bd selama 7
hari. Doxycicline kontraindikasi bagi anak dibawah 8 tahun. Pada keadaan ini,
perpanjang terapi quine sulfat hingga 10 hari. Fansidar (pyrimathamine-
sulfadoxine), mefloquine, dan artemisinin (qinghaosu) juga masih digunakan.
• Untuk yang berkompliokasi (cerebral malaria, gagal ginjal, Hb <7mg/dL, ARDS,
hypoglycaemia, dan DIVC) atau infeksi P. Falciparum yang parah (>5%), kirim
ke ICU untuk monitir ketat Tensi, produksi urin, irama jantung dan level gula
darah :
1. Beri quinine dihydrochloride iv 20 mg/kgBB dalam 4 jam, kemudian 10
mg/kgBB dalam 8 jam dan tiap 8 jam selama 72 jam.
2. Ganti dengan sediaan oral bila memungkinkan atau hitung <1% untuk
mengakhiri 7 hari terapi. Monitor parasetemia setiap 6 jam. Bila terapi
efektif, diperkirakan 75% level parasit menurun setelah 48 jam terapi. Bila
parasitemia >10-15%, pertimbangkan mengganti transfusi. Steroid berbahaya
bagi cerebral malaria.
……………………
69……………………

70. Miokard Infark, Akut

Caveats
• 2-4% kasus MI secara tidak tepat dipulngkan ke rumah masing-masing.
Mayoritas kasus meliputi kasus pada pasien muda yang tidak dicurigai AMI,
px lansia yang tidak menunjukkan gx yang khas. Sehingga AMI harus
dieksklusikan pada px tua, juga pasien diabetes dengan gejala kardiak,
respirasi, dan neurology yang tidak terjelaskan.
• Faktor menyebabkan miss diagnosa MI:
1. kegagalan untuk melakukan pemeriksaan penunjang (EKG, serum marker)
2. Tidak dipertimbangkannya dx
3. KRS yang tidak tepat dari ED
4. interpretasi yang salah dari hasil tes (EKG atau serum marker)
5. Terlalu bergantung pada hasil pemeriksaan yang negative (EKG dan single
serum marker yang negative)
• Karakteristik AMI yang tidak spesifik :
1. kepribadian (maskulinitas, calmness, independent, kecemasan yang
rendah)
245

2. Pola perilaku (kunjungan ke dokter yang rendah, pasien yang menyangkal)


3. ambang nyeri yang tinggi (kardiak dan non kardiak)
4. depresi mayor atau psikosa
5. pasien dementia
6. misinterpretasi antara dokter-pasien tentang gejala dan tanda AMI
7. sensori, motorik dan autonomic neuropati
8. kurangnya pengenalan gangguan CNS akibat iskemik
• Di bawah ini merupakan tips manajemen resiko pada pasien
dengan kemungkinan MI
1. usia dan jenis kelamin yang perempuan bukan berarti dapat menyingkirkan
dx iskemik atau infark.
2. riwayat penyakit jantung merupakan factor yang kritikal. Adanya factor
resiko telah membatasi signifikansi diagnosa karena adanya penyakit
kardiovaskular merupakan fakta yang telah diketahui.
3. factor resiko yang relevan dengan nyeri dada : riwayat keluarga, DM,
hipertensi, hiperlipidemia, merokok dan penggunaan kokain.
4. pertimbangkan kebijaksanaan untuk memeriksa rutin EKG pada pasien tua
dengan manifestasi klinis yang berpotensi kardiak.
5. nyeri dada pada left bundle branch block baru harus dipertimbangkan
sebagai AMI, serta diberi terapi trombolisis.
6. nyeri dada saat istirahat pada px yang diketahui menderita penyakit
jantung harus dipertimbangkan sebagai penemuan yang tidak
menyenangkan.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


• Pasien AMI dapat menunjukkan klinis dan EKG yang tidak
khas
• Hati-hati pada presentasi klinis AMI yang tidak khas pada px
tua, diabet, dan px usia muda dengan factor resiko.
• Ketika AMI telah terdiagnosa, jangan kirim px ke ED dengan
mobil pribadi. Panggil ambulan!
dibawah ini merupakan keluhan anginal equivalent, sindrom dan
• Berikan aspirin 300mg secepatnya sebelum merujuk px ke RS.
manifestasinya:
2. anginal equivalent complaints : dispneu, nausea/vomiting, diaforesis,
kelemahan/kepeningan, batuk dan sinkope.
3. Anginal equivalent syndromes : delirium, kebingungan, CVA
4. Anginal equivalent presentation and findings : cardiac arrest, disritmia
onset baru, gagal jantung kongestif onset baru, bronkospasme yang tidak
terjelaskan, takikardi yang tidak dijelaskan, edema peripheral.

Manajemen
• oksigen dengan masker, monitoring tanda vital
• Aspirin oral 300mg
• S/L GTN 1 tab dan ulang setelah 5 menit (untuk menyingkirkan perubahan
EKG karena spame koroner).
• Lakukan right-side ECG pada MI inferior untuk menyingkirkan concomitant
right ventricular infarct.
• Pasang IV plug dan tes darah, cth: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim
kardiak, Troponin T, PT/PTT, dan GXM 2U PCT. Hindari arterial puncture.
246

• IV morfin 2-5mg bolus lambat. Ulangi dengan interval 10 menit sampai nyeri
berkurang.
• Pertimbangkan IV metoklopramid 10 mg sebagai antiemetik.
• IV GTN 20-200µg/menit, terutama pada:
1. nyeri dada iskemik yang terus-menerus
2. gagal ventrikel kiri
3. Hipertensi
Meningkat 5-10 µg/menit, pada interval 5-10 menit sampai nyeri dada
menghilang atau MAP turun 10%. Hentikan bila terjadi hipotensi. Hati-hati
pada MI inferior karena pasien dapat mengalami concomitant right ventricular
infarct, dimana nitrat merupakan kontraindikasi.
• Pertimbangkan Myocardial salvage therapy, contoh PCI
(procedural coronary intervention) versus trombolisis (PCI lebih disukai bila
tersedia). Lihat tabel 1.

Tabel 1 : Tindakan Reperfusi pada AMI, keuntungan dan Kerugian 2 strategi


Reperfusi
Trombolisis PCI
Keuntungan Pemberian cepat Efikasi klinis yang lebih baik, cth
Tersedia luas patensi pembuluh darah
Nyaman digunakan superior, TIMI grade 3 flow
rate dan penurunan oklusi
Lebih sedikit perdarahannya
Definisi dini dari anatomi koroner
memudahkan terapi
penyesuaian dan stratifikasi
resiko yang lebih efisien

Kerugian Patensi terbatas, cth arteri terkait Terbatas pada efikasi yang
infark, terjadi pada 60-85% terlambat
pada pasien, dengan normal Kurang luas tersedia
TIMI grade 3 epikardial Membutuhkan tenaga ahli
coronary flow pada 45-60%
pasien
Efikasi klinis yang lebih rendah,
cth : reperfusi optimal tidak
tercapai pada >50% pasien, dan
reoklusi infark pembuluh darah
terjadi 5-15% pada minggu I
dan 20-30% dalam 3 bulan
Resiko perdarahan
• Pertimbangkan apakah pasien merupakan kandidat untuk terapi
trombolitik dengan criteria sbb:
1. nyeri dada khas AMI
2. peningkatan segment ST paling tidak 1mm pada setidaknya 2 lead EKG
inferior atau elevasi paling tidak 2mm pada setidaknya 2 lead EKG
anterior
3. Kurang dari 12 jam dari onset nyeri dada
4. Kurang dari usia 75 tahun
247

• Jika pasien memenuhi criteria untuk trombolisis, lihat daftar


kontraindikasinya:
1. Suspek aortic dissection
2. riwayat stroke
3. neoplasma intracranial yang diketahui
4. baru mengalami cedera kepala
5. patologi intracranial yang lain
6. hipertensi berat (BP > 180/110)
7. ulkus peptikum akut
8. perdarahan internal akut
9. baru mengalami perdarahan internal (< 1 bulan)
10. baru mengalami pembedahan major
11. baru menjalani pengobatan antikoagulan
12. perdarahan diathesis yang diketahui
13. prolonged CPR (> 5 menit)
14. pemberian trombolitik sebelumnya
15. kehamilan
16. diabetic retinopati
17. Hipotensi (SBP < 90 mmHg)
18. EKG menunjukkan LBBB
19. masalah kesehatan lain yang dapat menghalangi penggunaan trombolitik.
Jika jawaban terhadap salah satu keadaan diatas ada yang ‘ya’ maka jangan
berikan trombolitik. Diskusikan dengan ahli kardiologi terlebih dahulu.
• Jika tidak ada kontraindikasi, pertimbangkan pilihan trombolitik,
cth : Streptokinase (SK) versus recombinant tissue plasminogen activator (rtPA):

SK rtPA
1. paling sering digunakan dan 1. dapat digunakan pada kedua
ekonomis gender
2. pilihan yang lebih baik jika resiko 2. kurang dari usia 50th
perdarahan intracranial lebih 3. anterior AMI
besar (cth: usia tua) karena 4. kurang dari 12 jam dari onset
penggunaan rtPA berakibat nyeri dada
terhadap peningkatan resiko
perdarahan intracranial.

• KIE tentang untung rugi tx trombolitik.


• Efek samping dari terapi trombolitik meliputi:
1. resiko perdarahan intracranial (1%) lebih tinggi jika
a. usia pasien > 65th
b. berat badan rendah < 70kg
c. hipertensi pada saat datang
d. rtPA digunakan, dibandingkan SK
2. alergi SK terjadi pada 5% pasien yang diterapi untuk pertama kalinya,
terutama pada px yang baru saja mengalami infeksi streptococcus, dan 0,2 %
pasien mengalami reaksi anafilaksis yang serius.
3. Hipotensi selama IV SK infusion (15%), penurunan laju infus dan ekspansi
volume.
• Dosis terapi trombolitik
248

SK rtPA
1. IV SK 1,5 mega unit dalam 1. 100mg rtPA dilarutkan dalam
100ml NS selama 1 jam 100ml air steril
2. berikan 15mg IV bolus
3. Berikan infus IV 0,75mg/kg
selama 30 menit (tidak lebih dari
50mg)
4. diikuti dengan infus IV 0,5mg/kg
selama 60 menit (tidak lebih dari
35mg)
• jika pasien syok, selalu cari factor penccetusnya:
1. lakukan pemeriksaan rectum untuk mencari perdarahan GIT.
2. jika pasien bradikardi, terapi menurut pedoman ACLS
3. jika pasien takikardi, terapi menurut pedoman ACLS
4. jika pasien memiliki right ventricular infarct
a. lakukan right-side lead pada adanya ST elevasi di lead II, III dan aVF
seperti AMI inferior (gambar 1a). cari paling tidak 1 mm ST elevasi
pada V4R, V5R dan V6R (gambar 1b).
b. jika demikian, berikan fluid challenge 100-200ml NS selama 5-10
menit dan periksa responnya.
c. Bisa diulang jika pasien tidak menjadi sesak dan tidak ada tanda klinis
edema pulmonal.
d. Mulai inotropik (IV dobutamin/dopamine 5-20 µg/kg/menit) jika BP
tetap rendah dengan pemberian 500ml cairan IV.
5. jika pasien syok kardiogenik karena komplikasi mekanik, cth disfungsi otot
papillary atau rupture, septal rupture atau tamponade jantung dari rupture
dinding dada.
a. konsul kardiologis dan bedah TKV
b. sementara itu mulai terapi support inotropik, cth dobutamin/dopamine
5-20 µg/kg/menit.
c. Pasang kateter untuk mengukur output urin.

71 Near Drowning (Nyaris Tenggelam)

Definisi
Drowning syndrome bervariasi dari minimal aspirasi air dengan angka keselamatan
mulai dari yang baik sampai pada severe pulmonary injury dengan kematian.
Bermacam-macam terminology digunakan untuk mendiskripsikan keadaan sebagai
berikut:
• Tenggelam : proses dimana usaha bernafas untuk menghirup udara terendam
didalam cairan.
• Near Drowning : tenggelam sebagian dengan temporary survival.
• Submersion incident : istilah yang paling ntral untuk mendeskripsikan
seseorang yang mengalami efek berkebalikan setelah mengalami tenggelam
sebagian di dalam air.
Caveats
• Penyelamatan segera (< 5 menit) dan resusitasi awal di tempat kejadian
merupakan kunci keselamatan pasien.
249

• Bagian penting pemeriksaan adalah unuk mencari penyebab (cth trauma,


usaha bunuh diri, keracunan, sengatan organisme laut).
• Hipotermi merupakan komplikasi yang potensial, terutama pada usia yang
lebih muda.

Tips khusus Bagi Dokter Umum


• Resusitasi di dalam air sulit dilakukan dan
membahayakan jiwa penyelamat.
• Coba untuk mengeluarkan air yang tertelan dengan
bermacam cara, seperti manuver Heimlich, masih
controversial.

Manajemen prehospital awal


• Penyelamatan cepat mengeluarkan korban dari air
• Pemeriksaan ABC
• Lakukan CPR jika diperlukan
• Berikan oksigen
• Pasang akses intravena (jika peralatan tersedia).
Manajemen
• Focus manajemen adalah menyelamatkan ABC dan koreksi hipoksia
• Membedakan jenis air, fresh water (surfaktan selamat dari washout) dan salt
water (surfaktan hilang dengan denaturasi), wet atau dry (asfiksisasi karena
laringospasme yang dicetuskan oleh masuknya air ke dalam laring) cukup
bermanfaat untuk memahami kemungkinan mekanisme patofisiologi
morbiditas dan mortalitas namun tidak mempengaruhi manajemen pasien di
ED.
• Prosedur drainase paru seperti Heimlich maneuver bersifat controversial.
Tindakan ini tidak direkomendasikan karena efektivitasnya belum terbukti,
bahkan dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
• Antibiotik dan steroid tidak terbukti bermanfaat pada korban near-drowning
• Diuretik tidak membantu pada non-cardiogenic pulmonary oedema.

Manajemen awal di Rumah Sakit


• Pindahkan psien ke high acuity area
• Primary Survey:
1. cek ABC. Pertimbangkan intubasi jika diperlukan
2. C-spine harus distabilkan, hindari gerakan leher
3. berikan oksigen 100%. Beri ventilasi jika pernafasan tidak adekuat.
4. berikan PEEP untuk membantu oksigenasi.
5. resusitasi : mulai CPR jika pasien collaps
6. pasang IV line, periksa darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, dan BGA
7. monitoring penuh px : EKG, parameter dan pulse oksimetri
8. CXR untuk mengetahui severitas aspirasi
9. pastikan px dalam keadaan hangat
10. terapi hipotermia (bisaanya didaerah tropis jarang terjadi, dan bisaanya
ringan : 32-35oC)
250

a. semua pakaian yang basah harus dipindahkan dan px


dikeringkan
b. berikan insulation yang adekuat (bungkus pasien dengan
selimut kering)
c. cairan untuk pasien harus hangat
• Secondary Survey
1. lakukan pemeriksaan kepala sampai kaki untuk mencari penyebab
tenggelamnya px
2. Berikan perhatian khusus pada :
a. perubahan sensorium setelah resusitasi : pengguna alcohol dan obat
b. cedera kepala : lihat tanda pada kepala dan wajah
c. cedera cervical spine merupakan penyebab near drowning
d. Epilepsi : abrasi dan injury pada lidah merupakan petunjuk
e. Disritmia jantung : pemeriksaan EKG dan monitoring penting
f. Diving injury : decompression illness (DCI) atau Cerebral Arterial
Gas Embolism (CAGE)
3. lakukan pemeriksaan serial GCS

Penempatan
• bisaanya semua kasus near drowning diMRS-kan
• pasien yang terlihat baik harus ditangani dan diawasi selama 12 jam dan di-
KRS-kan bila:
1. pasien terlihat baik dan sadar
2. tidak ada abnormalitas tanda vital
3. CXR normal
4. memiliki pengawas yang dapat diandalakan di rumah
• MRS di ICU jika:
1. pasien diintubasi
2. AMS berkelanjutan
3. parameter tidak stabil setelah resusitasi
Prognosis
• Buruk jika :
1. anak usia < 3 tahun
2. durasi tenggelam diperkirakan > 5 menit
3. tidak resusitasi selama 10 menit setelah penyelamatan
4. datang pada ED dalam keadaan koma atau kollaps
5. delayed respiratory gasp hanya 20 menit setelah penyelamatan.

72.kegawatan di bidang onkologi

Penting
• Semua pasien malignansi dapat jatuh pada kondisi emergensi/gawat yang
diakibatkan karena pengobatan dengan sitostatika/kemoterapi atau akibat
langsung dari malignansinya.
• Ada beberapa prinsip penting yang harus diingat bila merawat penderita
tersebut di IRD:
1.bila perlu,dokter yang merawat penderita sebelumnya harus cepat diberitahu.
251

2.keterlibatan langsung dokter senior/konsultan harus dilakukan,penanganan


symptom, seperti control nyeri dan membuat keputusan yang cepat adalah
yang diharapkan/ideal.
3.penting untuk mengetahui stadium dari malignansi,respon penderita terhadap
pengobatan,prognosis dan pemilihan terapi yang obyektif(paliatif atau
aktif).Terutama bila penderita datang dalam kondisi kritis dan keputusan harus
segera dibuat,apakah resusitasi aktif harus dilakukan atau tidak.
• Ada 4 keadaan yang mengancam nyawa pada bidang onkologi:
1.sepsis netropenia
2.trombositopenia
3.hiperkalsemia
4.kompresi medulla spinalis
• Pemberian antibiotic yang segera akan menurunkan mortalitas penderita
malignansi dengan kondisi sepsis netropenia.
• Jangan memberikan antibiotic di tempat praktek pada penderita malignansi
yang datang dengan demam(>38ºC). Segera rujuk pasien ke IRD.
• Harus dicurigai terjadi hiperkalsemia pada semua pasien malignansi yang
mengeluh tidak nyaman.
• Harus dicurigai metastase ke tulang dengan kemungkinan terjadi kompresi
spinal pada semua penderita malignansi yang datang dengan keluhan nyeri
punggung.

1.Sepsis netropenia
• Merupakan kondisi yang paling sering terjadi akibat kemoterapi dan fatal.
• Definisi netropenia adalah jumlah absolute netrofil < 1.000/m³
Penatalaksanaan:
A.terjadinya sepsis netropenia tergantung jenis obat yang diberikan(lihat table
1).
B.semua penderita malignansi yang dalam pengobatan kemoterapi atau
radioterapi dengan febris >38ºC harus dirawat di P2 dengan prioritas tinggi.
C.periksa laboratorium/penunjang:
-DL,urea/elektrolit/kreatinin,fungsi hati dan foto thoraks.
D.Bila terjadi netropenia,lakukan penanganan seperti penderita
sepsis,kerjakan:
1.kultur darah,baik kondisi aerobic maupun anaerobic sebanyak 2 kali
(satu pada masing-masing lengan)
2.kultur urin dan tes sensivitas antibiotic,dan
3.kultur semua pus yang keluar dari tubuh penderita.
E.secepatnya berikan antibiotic (setelah darah untuk kultur diambil) sebelum

MRS:
1.ceftazidime intravena(Fortum) 1-2 gram dan gentamisin 2mg/kgBB.
2.bila pasien tampak parah,berikan ceftazidime intravena(Fortum) 2gram,dan
amikasin 7.5mg/kgBB.

Peringatan:bila penderita alergi penisilin,maka kombinasi antibiotic yang


poten adalah ciprofloksasin intravena dan gentamisin intravena.Bila terdapat
infeksi kulit,maka kloksasilin harus diberikan.
252

F.disposisi pasien:kirim ke ruang onkologi(ruang isolasi)

Peringatan:
1. jangan melakukan injeksi IM,pemasangan kateter atau colok dubur kecuali
kondisi pasien kritis.
2. untuk semua penderita malignasi yang dalam pengobatan
kemoterapi/radioterapi dengan keluhan demam tapi hasil hitung absolute
tidak netropenia,tidak perlu memberikan antibiotic di IRD.
3. bila penderita dalam pengobatan kemoterapi,tapi tidak ada febris dan tidak
netropenia,lebih baik penderita dirawat,terutama bila durasi terjadinya
keadaan netropenia belum terlewati(kecuali bila dokter yang merawat
penderita tersebut mengijinkan untuk pulang).

2.Trombositopenia
• akan terjadi ancaman perdarahan sistim saraf pusat bila jumlah trombosit
<20.000
• panatalaksanaan:
A.rencana tranfusi 6 labu trombosit.
B.peringatan:
-hindari suntikan IM,hindari pemberian NSAIDs dan,
-pasien dipaksa untuk istirahat total.
C.disposisi:kirim ke ruang onkologi.

3.Hiperkalsemia
• definisi jumlah serum kalsium yang terionisasi yang meningkat diatas normal.
• Pertimbangan untuk diagnosis:
Sulit untuk mendiagnosis hiperkalsemia berdasarkan keluhan pasien dan
secara klinis,tapi tanda-tanda umum yang dapat membantu:
1.nyeri/sakit,letargi,lemah,mual/muntah,dehidrasi,poliuria,polydipsia,konstipa
si,
bingung,penurunan kesadaran,kejang dan koma.
• Harus dicurigai terjadi hiperkalsemia semua penderita kanker yang merasa
tidak nyaman atau depresi,terutama jenis kanker yang dapat menyebabkan
hiperkalsemia,misalnya karsinoma skuamous sel,kanker
payudara,limfoma,mieloma dan clear cell.
• Pemeriksaan lab: kadar ion kalsium dalam serum.
• Penatalaksanaan: rehidrasi aktif dengan normal salin sampai 3-4liter/24
jam(pada kondisi berat) untuk koreksi dehidrasi dan untuk meningkatkan
produksi urin dan ekskresi kalsium(100-250ml/jam)
• Hati-hati bila memberikan diuretika,karena dapat memperberat
hiperkalsemia,kecuali pasien dalam kondisi kelebihan cairan.

4.Kompresi medulla spinal


• Komplikasi ini terjadi pada penderita kanker lanjut dan menurunkan survival
rate.
• Kemampuan untuk dapat berjalan dan rendahnya ketergantungan penderita
pada keluarganya adalah penting bagi penderita kanker.Maka dari itu,kondisi
ini benar-benar emergensi, dan dapat dihambat bila pasien tidak terlambat
berobat.
253

• Gejala-gejala yang muncul:


1.nyeri punggung(sifatnya local atau menjalar),terjadi >95% kasus.
2.nyeri tekan pada daerah yang terjadi kompresi.
3.gejala lain,yaitu:lemah,perubahan sensoris,atau refleks fisiologis menurun
munculnya pada proses kompresi yang lanjut,Jadi jangan menunggu gejala
ini datang.
• Penatalaksanaan:
• 1.periksa foto untuk mengevaluasi vertebra dan medulla
spinalis,memiliki sensitivitas tinggi 85% untuk dapat menemukan:
-kolaps vertebra(sensitivitas 87%)
-destruksi pedikel(sensitivitas 31%)
-destruksi lisis(sensitivitas 7%)

2.pendekatan praktis:
A.nyeri punggung tanpa disertai deficit neurologist:
1.foto roentgen vertebra,bila normal rencanakan pemeriksaan
scan tulang
2.bila foto roentgen tidak normal,cepat lakukan
MRI/mielogram.
B.nyeri punggung dengan deficit neurologist, segera berikan
injeksi steroid pada
Pasien dengan riwayat pasti menderita kanker(adanya hasil PA)
1.secepatnya steroid diberikan,bila kompresi spinal sudah
dipastikan atau
diduga kuat atau,
2.kolaps vertebra,
3.hilangnya gambaran pedikel pada roentgen.
Berikan deksametason dengan dosis 12-16 mg dilarutkan dalam
50ml normal,secara infuse cepat,dilanjutkan 4mg tiap 6 jam.
4.secepatnya kontak dan konsultasi dengan oncologist.
Peringatan:bila tidak ada bukti nyata bahwa pasien benar-benar
menderita kanker
Maka steroid jangan diberikan,tapi kontak ahli onkologi untuk minta saran.

5.Efusi pleura massif


• Pasien kanker yang datang dengan sesak nafas dan hasil pemeriksaan sistim
respirasi dullness,resonansi vocal yang tidak simetris/normal,suara nafas
yang menurun/menghilang pada auskultasi dan gambaran radioopak yang
homogen pada hemitoraks.Deviasi trakea dan mediastinum dapat terjadi.
• Penatalaksanaan:
1.pasien dirawat di P1 dan berikan O2 100% via masker,untuk
mempertahankan Saturasi >95%.
2.monitor ketat tanda-tanda vital.
3.aspiration percobaan cairan pleura,dan bila positif dilanjutkan
pemasangan chest tube,no 28-32F.

6.Efusi pericardial
254

• Komplikasi ini sering pada pasien kanker paru dan kanker payudara,tapi dapat
terjadi oleh kanker lain,seperti limfoma yang menunjukkan metastase ke
pericardium.
• Mendiagnosis efusi pericardial sulit,tapi dapat dicurigai bila terdapat:
1.sinus takikardia
2.hasil EKG yang low voltage.
3.suara nafas yang bersih.
4.JVP distended(kussmaul’s sign)
5.Pulsus paradoksal(tekanan darah systole turun >10mmHg saat inspirasi).

Diagnosis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan transthoracic echocardiography.


• Penatalaksanaan :
1.bila penderita hipotensi,maka tindakan drainage harus cepat dilakukan.Kirim
ke ahli jantung untuk dilakukan perikardiosentesis yang sifatnya hanya
sementara,sedangkan terapi definitifnya pericardial window yang harus
dilakukan kemudian.

7.Emboli paru
• Pasien kanker resiko untuk terjadi DVT dan emboli paru meningkat akibat
tirah baring yang lama dan masalah hiperkoagulabilitas.(lihat alur penanganan
Emboli Paru)
• Mampu mendiagnosis awal dan penanganan yang tepat akan memberikan hasil
yang lebih baik.
• Penatalaksanaan:segera kontak ahli onkologi/IPD.Bila mungkin pasien
dipersiapkan untuk CT scan spiral dengan kontras intravena.

73 Pankreatitis Akut

Definisi
255

• proses inflamasi akut pada pancreas dengan keterlibatan bermacam-macam


jaringan regional atau system organ lain.
• Secara klasik, dikarakterisasi dengan adanya nyeri abdomen dan terkait
dengan adanya hiperamilasemia.
Caveats
• Secara klasik, pankreatitis akut terkait dengan kadar serum amylase yang
tinggi (nilai ambang dengan spesifisitas tinggi diatas 1000U/L atau 4 kali
normal). Keadaan ini tidak selalu harus ada.
• Pasien dengan eksaserbasi akut pankreatitis akut sering menunjukkan
‘subtreshold’ peningkatan serum amylase karena penurunan volume jaringan
pancreas yang berfungsi.
• Peningkatan kadar amylase dapat terlihat pada semua patologi abdomen yang
akut namun tidak mencapai nilai ambang yang klasik.
• Lihat tabel 1 untuk mengetahui ddx pankreatitis
Tips khusus Bagi Dokter Umum
• Hati-hati terhadap presentasi yang tidak khas : nyeri
sering terdapat pada abdomen bagian tengah atau
epigastrium, tapi tidak selalu demikian. Jika terkait
dengan patologi lain, cth batu common bile duct (CBD)
dan/atau kolangitis, px dapat melaporkan gx yang

Target Manajemen
Mengetahui:
• Apa penyebab penkreatitis? Penyebab mungkin antara lain batu empedu
dimana px memiliki riwayat kolik bilier sebelumnya atau fat dyspepsia.
Konsumsi alcohol kronik juga merupakan penyebab umum, dimana keluhan
nyeri abdomen ditemukan pada pengkonsumsi alcohol berat. Lihat tabel 2.
• Seberapa parah pankreatitis? Lihat petunjuk sbb:
1. Tanda kehilangan cairan yang berlebihan (‘Third space losses’) dan
compromised end organ perfusion.
a. Secara klinis dehidrasi
b. Kebingungan
c. Ascites
d. Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat > 10%)
e. Peningkatan urea/creatinin
f. Asidosis metabolic
2. Tanda kegagalan organ
a. Koagulopati (DIC screen posistif)
b. Gagal ginjal (peningfkatan kreatinin, asidosis metabolic,
hiperkalemia)
c. Distress respiratori dan hipoksia (PaO2 dan SaO2 rendah)

3. Tanda sepsis
256

a. komplikasi septic local (abses pankreatik, atau nekrosis pankreatik


terinfeksi) tidak terjadi awal, namun setelah 1 minggu kemudian,
disertai tanda sepsis (demam tinggi dan peningkatan TWC).
b. Jika demam tinggi terjadi pada awal prankreatitis, pertimbangkan
penyebab sepsis non pankreatik. Penyebab umum adalah kolangitis
sekunder obstruksi bilier. Cari gambaran kolestatik pada hasil LFT.
4. Tanda lain dari severe pankreatitis
a. ekimosis abdomen. Mungkin di daerah flank (tanda Grey-Turner)
atau area periumbilikal (tanda Cullen’s)
b. tanda hipokalsemi, cth spasme karpopedal dan tetanus.
c. Glukosa darah > 10mmol/l

Tabel 1 : Diagnosa Banding Pankreatitis


Lokasi patologi Contoh
Abdomen Perforasi Ulkus peptikum
Eksaserbasi akut dyspepsia ulkus peptikum
Kolik bilier
Kolangitis
Iskemik bowel
Aneurisme aorta abdominal
Diseksi aorta abdominal
Supradiafragmatika Pneumonia basalis
Acute coronary syndrome

Protokol Manajemen
• Pada semua pasien pankreatitis akut
1. puasakan px
2. mulai drip saline. Bila tidak ada dehidrasi, berikan dengan maintenance
rate 2,5-3 liter/hari.
3. berikan oksigen dengan masker
4. jika px vomit (karena gastroparesis) masukkan NGT untuk dekompresi
lambung
5. berikan analgesic parenteral. Opiate seperti pethidin tidak secara tegas
menjadi kontraindikasi dan memberikan penghilang nyeri yang terbaik.
Hindari NSAID pada px dehidrasi atau organ compromise karena resiko
nefrotoksik.
6. jika pasien memiliki riwayat penyakit ulkus peptikum, berikan profilaksis
terapi supresi asam. Reduksi asam tidak mempengaruhi keparahan
pankreatitis.
7. lakukan penentuan serum amylase.
8. lakukan CXR, untuk mencari respiratory compromise dan mengeksklusi
ddx lain, seperti pneumonia basalis atau perforasi viscus.
9. pada px dengan factor resiko kardiak, lakukan EKG dan enzim kardiak
untuk mengeksklusi angina atypical/AMI.
10. pada pasien dengan tanda kolangitis (demam tinggi, peningkatan TWC dan
kolestatik LFTs) berikan antibiotik IV setelah sebelumnya melakukan
kultur darah. Gunakan cephalosporin generasi ketiga, cth : cefuroxime atau
257

ceftriaxon, bersamaan dedngan metronidazole. Jika px sensitive terhadap


penicillin, ganti cephalosporin dengan ciprofloxacin. Hindari gentamycin
karena bersifat nefrotoksik.
Catatan : tidak perlu memberikan antibiotik untuk pankreatitis tanpa komplikasi
11. mulai input/output charting untuk pemeriksaan kehilangan cairan
12. tidak perlu untuk selalu melakukan seluruh pemeriksaan lab pada saat di
ED. Pemeriksaan dapat dilakukan setelah px berada di bangsal.
13. kasus ringan pankreatitis akut dapat di MRS-kan pada bagian bedah umum
atau bagian gastroenterology.
• Pada px dengan tanda pankreatitis berat:
1. lakukan pemeriksaan tersebut diatas
2. monitor pasien
3. jika terjadi kegagalan nafas, lakukan intubasi dan ventilasi pasien
4. Lakukan pemeriksaan lab:
a. FBC
b. Urea/elektrolit/kreatinin termasuk kalsium
c. Liver function test
d. BGA
e. Kultur darah
5. mulai pemberikan profilaksis antibiotik sistemik.
6. tidak ada penelitian mengenai manfaat menggunakan obat lain seperti
somatostatin atau octreotide.
7. ketika terdapat gambaran pankreatitis akut, atau jika pankretitis didiagnosa
pada pasien lansia (>70th), konsul ke bedah umum, untuk kemungkinan
intervensi pembedahan pada komplikasi yangmungkin terjadi cth nekrosis
pakreatik terinfeksi atau abses pankreatik.
8. Pasien pankreatitis severe MRS di bagian high dependency care. Pasien
dengan tanda gagal organ harus MRS di SICU untuk perawatan definitive.

82. Poisoning ( Keracunan ), Organofosfat


258

Caveats
• Agent aktif pada banyak pestisida dan insektisida adalah parathion, yang
berikatan secara irreversible dengan kolinesterase untuk membentuk ikatan
dietilfosfat.
• Atropin merupakan antidote fisiologi antimuskarinik yang bekerja secara
kompetitif memblok efek muskarinik asetilkolin.
• Atropin tidak memiliki efek pada reseptor nikotinik pada myoneural junction
pada otot bergaris, yaitu tidak akan mengembalikan paralysis.
• Pralidoxime merupakan antidote biokimia yang bereaktivasi dengan
kolinesterase yang menyebabkan proses fosforilasi oleh organofosfat. Naumn
pralidoxine harus diberikan dalam waktu 24-36 jam pertama setelah paparan.
Jika tidak, molekul kolinesterase dapat berikatan erat serta kolinesterase baru
akanmembutuhkan waktu berminggu-minggu untuk regenerasi.
• Presentasi klasik : pasien dengan vomiting dan diare, diaforesis, nafas berbau
insectisida dan pupil yang kecil. Hati-hati dx yang berlebihan terhadap
gastroenteritis.

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


• Rujuk semua px demngan suspek keracunan
oragnofosfat walaupun masih asimptomatik.
• Waspada bahwa vomiting, diare dan hipotensi dapat
terjadi dan dapat salah diagnosa sebagai severe GE.

Patofisiologi
• Organofosfat menghambat asetilkolinesterase, yang akan berakibat pada
akumulasi asetilkolin yang berlebihan pada myoneural junction dan sinaps.
• Asetilkolin yang berlebihan akan mengeksitasi kemudian membuat paralise,
neurotransmisi pada motor end plate dan menstimulasi nikotinik dan
muskarinik:
1. efek muskarinik : singkatan DUMBELS berguna untuk mengingat karena
gejala dan tanda ini berkembang lebih awal, 12-24 jam setelah ingestion.
D Diare
U Urinasi
M Miosis (absent pada 10% kasus)
B Bronchorrhoe/bronkospasme/bradikardi
E Emesis
L lacrimasi
S salivation dan Hipotensi
2. Efek Nikotinik
a. Diaforesis, hipoventilasi, dan takikardi
b. Fasikulasi otot, kram dan kelemahan yang menyebabkan flaccid
muscle paralysis
3. Efek CNS
a. Ansietas dan insomnia
b. depresi nafas
259

c. Kejang dan koma

Manajemen
Terapi suportif
• Pastikan semua staff menggunakan perlengkapan proteksi karena absorsi
perkutaneus dan inhalasi dapat menyebabkan keracunan.
• Px ditangani pada area critical care, dengan perlengkapan resusitasi yang
selalu tersedia.
• Lakukan detoksifikasi dengan melepas pakaian px dan cuci kulit px
seluruhnya.
• Pertahankan patensi jalan nafaslakukan intubasi orotrakeal jika px apnue,
atau tidak memiliki gag reflex. Suction aktif berkala dibutuhkan bila ada
bronkorhoea.
• Berikan oksigen aliran tinggi via non-rebreather reservoir mask.
• Lakukan gastric lavage jika ada indikasi, terutama pada beberapa jam
pertama setelah ingestion.
• Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
• Pasang jalur IV.
• Cairan IV : kristaloid untuk menggantikan hilangnya cairan melalui vomiting
dan diare.
• Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, kolinesterase plasma gaster dan
specimen toksikologi serum

Terapi Obat
• Arang aktif via gastric lavage tube. Dosis 1g/kgBB
• Atropin : obat pertama yang diberikan pada keracunan simptomatik.
1. penggunaan utamanya adalahreduksi bronkorrhoea/bronkospasme
2. Dosis besar mungkin dibutuhkan untuk mengontrol sekresi jalan nafas.
Dosis : dewasa : 2 mg IV tiap 10-15 menit prn; dosis dapat digandakan tiap 10
mneit sampai sekresi terkontrol atau tanda atropinisasi jelas (flush, kulit
kering, taikardia, midriasis, dan mulut kering).
Anak-anak : 0,05 mg/kgBB tiap 15 menit prn, dosis dapat digandakan tiap 10
menit sampai sekresi terkontrol.
• Pralidoxime (2-PAM, Protopam)
1. pralidoxime harus diberikan dengan atropine pada tiap pasien simptomatik
2. efek akan terlihat dalam 30 menit dan meliputi hilangnya kejang dan
fasikulasi, perbaikan kekuatan otot dan pemulihan kesadaran.
3. pemverian pralidoxim bisaanya mengurangi jumlah atropine yang
diberikan serta dapat unmask toksisitas atropine.
Dosis : Dewasa : 1gm IV selama 15-30 mneit; dapat diulang dalam 1-2 jam
prn
Anak-anak : 20-25 mg/kgBB IV selama 15-30 menit; dapat diulang 1-2 jam.
• Diazepam (Valium) : digunakan untuk mengurangi kecemasan dan
restlessness dan mengontrol kejang.
Dosis : 5-10 mg IV untuk kecemasan/restlessmess
Catatan : dosis dinaikkan sampai 10-20 mg IV mungkin diperlukan untuk
mengkontrol kejang.

Penempatan
260

• Lakukan konsultasi pada general medicine pada HD/ICU


• Untuk kasus terapi keracunan subklinis yang tidak diperlukan, namun px harus
MRS setidaknya 24 jam untuk meyakinkan bahwa keracunan yang delayed
tidak akan berkembang.

BAB 74

PID (penyakit radang pelvis)

Penting :

Kehamilan ektopik dan radang pelvis banyak terjadi pada pasien dengan keluhan

nyeri perut bawah .

Kreteri dari nyeri pelvis :

Ada trias klasik berupa nyeri/tenderness bagian perut bawah, nyeri gerak cervixal dan

nyeri pada kedua adnexa yang dideteksi dengan colok rektal atau vaginal. Gejalanya

meliputi keluarnya cairan vaginal, perdarahan atau dispareunia. Panas lebih dari 38

C, mual dan muntah serta ditemukan cairan purulen pada 95% wanita dengan

spekulum. Jika ada masa diadnexa bisa juga terdapat abses tuba maka perlu

dilakukan USG.

Faktor Predisposisi :

1. Banyaknya patner sexual

2. Usia terlalu muda untuk aktivitas sexual

3. Riwayat penyakit sexual

4. Pemeriksaan hysterosalpingography dengan alat pada bagian bawah alat genital.

5. Aborsi

6. Kontrasepsi

7. Seringnya kencing
261

8. Merokok

Keadaan umum pada nyeri abdomen supakut adalah nyeri yang dalam dan bilateral.

Satu sisi perut nyeri dan ketegangan adnexa bukan radang pelvis. Bisa juga terjadi

nyeri kedua sisi perut dan ketegangan adnexa seperti kehamilan ektopik, abses tuba

ovarium atau torsi adnexa. Pada wanita yang kena apendiksitis gejala nampak singkat

dengan gejala gastrointestinal lebih menonjol, penderita kelihatan sakit dan lokasi

diperut kanan bawah. Untuk membedakan dengan kehamilan dilakukan pemeriksaan

DL dan UL.

Penatalaksanaan

1. Menatalaksanaan di UGD.

2. Melakukan swab vagina untuk kultur, juga swab indocervikal untuk menemukan

klamidia atau gonococus.

Tips:

Konsul obstetri dan ginekologi jika didtemukan keadaan pasien yang toksic, tidak

berespon terhadap pengobatan, hamil, muntah, abses tuboovarium, defisiensi

imonologi, atau pasien yang lemah.

1. Pemberian infus dan darah juga pemeriksaan lab : DL, RFT, elektrolit.

2. Rehidrasi diberikan pada keadaan membutuhkan atau nyeri bisa dikontrol.

3. Melepas kontrasepsi

4. Pada keadaan radang akut pelvis diberikan antibiotik

a. Generasi II atau III cephalosporin (cefriaxone 250 mg IM)

b. Tetracycline 500 mg oral selama 10 – 14 hari atau doxycicyline 100 mg oral

selama 10 – 14 hari dapat bergantian dengan erythromixin 500 mg per oral untuk

10 – 14 hari jika alergi dengan tetra.

c. Metronidazole diberikan IV atau peroral selama 14 hari.


262

- Jika pasien keluar cairan maka selama 48 – 72 jam tidak boleh melakukan

hubungan sexual selama 2 minggu dan mengobati patner sexual.

- Pasien dilakukan tes syphilis, hepatitis, dan HIV.

75. PENYAKIT ULKUS PEPTIK / DYSPEPSIA

PERHATIAN
• Sebagian besar pasien tidak datang ke IRD dengan penyakit ulkus peptik
karena keadaan tersebut hanya dapat didiagnosis secara endoskopis atau
radiologis. Sebagian besar datang dengan nyeri/rasa tidak enak pada perut kanan
atas.
• Diagnosis dyspepsia harus dipertimbangkan dahulu pada pasien dengan
nyeri/rasa tidak enak perut kanan atas kronis.
• Semua pasien berusia 40 tahun ke atas yang mengalami dyspepsia harus
diperiksa secara teliti terhadap kemungkinan keganasan lambung.
• Ulkus duodenum umumnya terjadi pada orang berusia 30-50 tahun sedangkan
ulkus gaster umumnya pada orang berusia diatas 60 tahun.
• Helicobacter pylori (H. pylori) berperan dalam >95% kasus ulkus duodenum
dan 70-80% kasus ulkus gaster.
• Penyebab kedua terpenting ulkus peptik adalah NSAID yang berperan pada
sebagian besar kasus ulkus dengan H. pylori negatif.
• Penyebab lain yang jarang adalah kondisi hipersekresi patologis seperti
gastrinoma (Zollinger-Ellison syndrome).
• Alkohol tidak terbukti berkaitan dengan ulkus peptik. Akan tetapi ulkus lebih
sering ditemukan pada pasien dengan sirosis hati, suatu penyakit yang berkaitan
dengan konsumsi alkohol.

) Tips Khusus Untuk Dokter Umum


H. pylori dan NSAID menyebabkan 90% lebih ulkus peptik
Semua pasien berusia > 40 tahun dengan dyspepsia harus dilakukan endoskopi untuk menyingk
Semua pasien dengan dyspepsia dan gejala yang mencurigakan seperti penurunan berat bada
massa di abdomen harus dirujuk pada ahli gastroenterologi untuk dilakukan endoskopi.
Selalu waspada terhadap komplikasi ulkus seperti perdarahan (lemas badan dan melena) dan mu
tersebut merupakan kedaruratan yang memerlukan rujukan ke RS segera.
Pembedahan jarang diperlukan dan hanya bila terdapat komplikasi seperti perdarahan hebat berul

GEJALA
• Pasien dengan ulkus peptik tanpa komplikasi umumnya datang dengan nyeri
atau rasa tidak enak pada perut. Selera makan yang buruk, rasa terbakar, mual dan
muntah juga dapat ditemukan.
• Gejala yang mencurigakan meliputi: penurunan berat badan, hematemesis atau
melena, anemia, disfagia, teraba massa di abdomen.
263

• Ulkus gaster dan duodenum tidak mungkin dibedakan hanya berdasarkan


riwayat penyakit semata, walaupun pasien ulkus gaster cenderung berusia lebih
lanjut dan sering disertai penurunan berat badan.
• Nyeri secara khas terletak di epigastrium, tetapi dapat pula muncul di dada
bagian bawah atau hipokondrium kiri, dan terbatas pada daerah yang sangat kecil
(Pointing sign).
• Nyeri cenderung muncul pada saat pasien lapar, 1 sampai 3 jam setelah
makan, membangunkan pasien di malam hari, mereda dengan pemberian
makanan, antasida, muntah serta ditandai oleh remisi dan eksaserbasi. Nyeri
akibat ulkus dapat menjalar ke punggung.
• Diagnosis ulkus peptik tidak dapat ditegakkan atau disingkirkan berdasrkan
anamnesis semata. Nyeri yang khas ulkus dpaat muncul pada pasien dengan
dyspepsia non-ulkus. Di sisi lain, ulkus asimtomatik lebih sering ditemukan pada
pasien yang mengkonsumsi NSAID.
• Ulkus asimtomatik dapat datang dengan perdarahan. Pasien bisa jadi tidak
menyadari bila ia mengalami perdarahan, tetapi hanya merasa letih dan lemas
akibat anemia. Jika jumlah perdarahan besar, akan ditemukan hematemesis dan
melena.

TATA LAKSANA
Tujuan tata laksana rasa tidak nyaman perut atas adalah untuk:
• Membuat diagnosis kerja (lihat Nyeri, Perut)
• Meredakan gejala
• Menentukan pasien yang memerlukan rawat inap
• Menentukan pasien yang memerlukan konsultasi spesialis.

Tata Laksana Gejala


• Setelah menyingkirkan penyebab yang mengancam nyawa, yaitu IMA, diseksi
aorta, ruptur aneurisma aorta abdominalis dan penyebab penting lain seperti
perforasi ulkus peptik, pankreatitis, pasien harus diberi pereda keluhan.
• Berikan magnesium trisilicate (MMT)/aluminium hydroxide 40-80 ml dan
antispasmodik seperti hyoscine-N-butylbromide (Buscopan®) 40 mg IM atau IV
atau penghambat H2 oral.
Catatan: Secara statistik, penyakit ulkus peptik merupakan 10-15% kasus nyeri
perut yang akan berespon terhadap pemberian MMT.
• Tidak ada tempat untuk pemberian penghambat H2 IV atau penghambat
pompa proton. Hanya terbukti bermanfaat pada kasus ulkus peptik dengan
perdarahan.
• Pulangkan pasien dengan MMT atau Buscopan® pada kasus dyspepsia saja
sementara menunggu diagnosis definitif dibuat di poliklinik spesialis
gastroenterologi.
• Untuk pasien dengan nyeri/rasa tidak enak pada perut yang bersifat akut, tidak
ada indikasi terapi lebih lanjut.
• Tidak ada tempat untuk dilakukannya eradikasi H. pylori di IRD untuk
penyakit ulkus peptik dan dyspepsia non-ulkus.

DISPOSISI
Indikasi Rawat Inap
264

• Perdarahan: hematemesis, melena. Rawat di ruang gastroenterologi atau bedah


umum, sesuai kebijakan setempat.
• Perforasi: rawat di ruang bedah umum.
• Penyempitan dan obstruksi: sulit didiagnosis di IRD, tetapi pasien datang
dengan muntah atau tanda obstruksi usus. Rawat di ruang bedah umum.
• Tidak berespon terhadap terapi di IRD, hanya jika dengan gejala berat: rawat
di ruang gastroenterologi.
• Nyeri perut dengan demam dan ikterus: rawat di gastroenterologi.

Indikasi Rujukan Poliklinik Spesialis Gastroenterologi


• Onset dini gejala baru pada pasien berusia >40 tahun.
• Adanya gejala yang mencurigakan: penurunan berat badan, hilangnya nafsu
makan, hematemesis, melena, anemia, disfagia, teraba massa di abdomen.
• Gejala yang menetap sekalipun dengan pemberian terapi empiris (antagonis
H2).
Catatan: Episode tunggal nyeri/rasa tidak nyaman pada perut (tanpa adanya gejala
yang mencurigakan) tidak perlu dirujuk ke poliklinik spesialis karena keluhan ini
sangat umum dan biasanya non-spesifik dan swasirna.

Advis Saat Penderita Dipulangkan


Ingatlah untuk selalu memulangkan penderita dengan advis untuk kembali ke IRD
segera bila terdapat demam, nyeri perut bawah, diare persisten atau muntah. Ingatlah
bahwa nyeri perut atas dapat merupakan gejala awal appendisitis akut.

76. KONDISI PERIANAL

PERHATIAN
• Perdarahan per anum umumnya segar dan berwarna merah terang. Darah yang
bercampur dengan tinja menunjukkan etiologi yang lebih proksimal.
• Nyeri dan perdarahan yang timbul saat defekasi terjadi pad fisura ani.
Perdarahan yang berasal dari wasir umumnya tanpa nyeri.
• Pada abses perianal yang dalam dapat ditemukan nyeri kronis yang menetap
pada anus dengan sedikit tanda klinis. Pada keadaan ini diperlukan evaluasi
ultrasound endoanal oleh seorang ahli bedah saluran cerna.
• Abses perianal yang berulang pada daerah yang sama menunjukkan adanya
fistula ani yang mendasarinya.
265

) Tips Khusus Untuk Dokter Umum


• Jangan menganggap perdarahan rectum pada
pasien berusia pertengahan atau lanjut semata
berasal dari wasir. Rujuk pasien pada ahli bedah
saluran cerna untuk menyingkirkan lesi pada
saluran cerna yang lebih proksimal.
• Jangan pernah menganggap perdarahan rectum

HEMORRHOID
• Tampilan klinis
1. Perdarahan per rectum berwarna merah segar yang umumnya terjadi
setelah defekasi.
2. Perdarahan dapat terjadid alam jumlah yang bervariasi, tetapi umunya
swasirna.
3. Adanya massa yang prolaps memerlukan reduksi manual.
4. Massa yang prolaps dan nyeri serta berwarna kebiruan menunjukkan
adanya trombosis dan umumnya tak dapat direduksi.
5. Hemorrhoid derajat I tidak tampak di anus setelah defekasi. Gejala
utama adalah perdarahan setelahd efekasi.
6. Hemorrhoid derajat II menonjol melalui anus pada saat defekasi tetapi
tereduksi secara spontan.
7. Hemorrhoid derajat III tetap berada diluar anus kecuali didorong
kembali secara manual.
8. Hemorrhoid derajat IV tidak dapat didorong kembali ke dalam anus.
• Tata laksana akut
1. Perdarahan akibat hemorrhoid derajat I dan II
a. Tenangkan pasien
b. Lakukan pemeriksaan RT dan anuskopi untuk menyingkirkan
etiologi yang lebih proksimal.
c. Pulangkan pasien dengan pemberian bulking agents selama 6
minggu, misalnya dengan 1 sachet ispaghula, 2x/hari; atau dengan
micronized flavonoids dengan dosis 2x3 tablet selama 3 hari kemudian
2x2 tablet selama 2 minggu.
2. Perdarahan akibat hemorrhoid derajat III dengan trombosis ringan
a. Baringkan pasien telungkup dan berikan kompres es untuk mengurangi
edema.
b. Berikan analgetika parenteral, missal NSAID atau agonis opiat.
c. Upayakan reduksi manual dengan sejumlah besar pelumas.
d. Jika berhasil, pulangkan pasien dengan pemberian analgetika, bulking
agents dan flavonoid.
e. Jika tidak berhasil, rawat inapkan pasien untuk tata laksana lebih
lanjut.

HEMATOM PERIANAL
• Tampilan klinis
1. Akibat robekan pembuluh darah dari kompleks vena hemorrhoid eksterna.
266

2. Pada pemeriksaan terdapat tumor kebiruan yang sangat nyeri.


3. Nyeri umumnya menjadi makin hebat dalam 2 hari pertama dan mereda pada
hari ke-5.
• Tata laksana akut
1. Dalam 2 hari pertama, lakukan insisi dan drainase di IRD
a. Desinfeksi kulit perianal dengan betadine (tanyakan terlebih dulu
mengenai riwayat alergi).
b. Infiltrasi daerah sekitar hematom dengan 5 ml larutan lidokain 1%
dengan menggunakan jarum 22G.
c. Buat insisi melingkar kecil yang megnarah ke anus dan lakukan
evakuasi hematom dengan membukanya.
d. Lakukan penekanan langsung untuk menghentikan perdarahan yang
merembes
e. Sisipkan tampon pita.
f. Pulangkan pasien dengan pemberian analgetika dan bulking agent
untuk mencegah konstipasi ataupun mengedan.
g. Tampon pita dapat dibuang pada hari berikutnya oleh pasien setelah
melakukan rendam duduk (larutkan 2 sendok makan garam dalam air
hangat, gunakan untuk rendam duduk).
h. Rujuk pasien pada ahli bedah digestif untuk kunjungan lanjutan di
poliklinik.
2. Setelah 2 hari, tenangkan pasien dan pulangkan pasien dengan pemberian
analgetika dan bulking agent.

FISURA ANI
• Tampilan klinis
1. Perdarahan per rectum berwarna merah terang saat defekasi.
2. Nyeri yang hebat menjadi pembeda keadaan ini dengan wasir.
3. Penyebab yang sering memperberat keadaan ini adalah asupan cairan yang
kurang dan diet yang rendah serat.
4. Pemeriksaan RT menunjukkan adanya robekan berbentuk garis di posterior
dan anterior saat menyusuri dinding anus perlahan. Pemeriksaan RT mungkin
sulit dilakukan akibat nyeri yang hebat dan adanya spasme.
• Tata laksana akut: jika nyeri sangat hebat sehingga tidak
memungkinkan RT yang baik, rawat inapkan pasien untuk pemeriksaan dengan
bantuan anesthesia. Sebagian besar fisura ani sembuh spontan dengan regulasi
defekasi yang tepat. Akan tetapi, bila gejala menetap setelah 8 minggu, fisura
tidak dapat sembuh tanpa intervensi bedah. Tanda kronisitas meliputi adanya
ulkus berbentuk perahu dengan adanya serat anus berwarna putih yang tampak
pada dasarnya. Seringkali ditemukan tonjolan dari kulit (sentinel pile) pada tepi
distal fisura serta papilla ani yang mengalami hipertrofi pada apeks. Terapi utama
adalah penanganan konservatif yang meliputi:
1. Pemberian bulking agent selama 6 minggu, misal 1 sachet ispaghula husk
2x/hari serta asupan cairan 2 liter /hari.
2. Analgetika topikal: oleskan jelly lidokain 2% di sekitar anus sebelum defekasi
untuk membantu mengurangi nyeri; hal ini bisa dilanjutkan dengan rendam
duduk.
3. Pasta gliseriltrinitrat dapat digunakan untuk sphincterotomi khemis.
4. Perhatikan bahwa pencahar jarang diperlukan, bahkan diare yang diakibatkan
justru dapat memperberat keadaan.
267

5. Atur pasien untuk suatu kunjungan lanjutan pada seorang ahli bedah saluran
cerna.

SEPSIS ANOREKTAL
• Klasifikasi: klasifikasi dari Park menggolongkan sepsis anorektal
dalam hubungannya dengan kompleks sphincter ani. Sebagian besar abses berasal
dari kelenjar yang berada di dalam dan sekitar sphincter ani dan dapat terletak
submukosa, perianal, intersphincter, ischiorektal atau supralevator.
• Drainase persisten dari abses yang telah didrainase sebelumnya (2
bulan atau lebih) menunjukkan adanya fistula.
• Tampilan klinis
1. Abses klasik muncul sebagai pembengkakan yang disertai
hiperemi dan nyeri tekan, yang mungkin sudah mengandung atau mengalirkan
pus.
2. Diagnosis banding abses perianal dari abses ischiorektal:
perhatikan hubungan antara abses dengan kulit perianal yang hiperpigmentas.
Abses pada daerah kulit yang hiperpigmentasi menunjukkan suatu abses
perianal, sedangkan abses yang terletak lebih lateral dari kulit yang
hiperpigmentasi menunjukkan suatu abses ischiorektal.
3. Abses kecil yang terletak dalam mungkin hanya
menunjukkan sedikit tanda selain dari nyeri dan nyeri tekan saat pemeriksaan
RT. Kekhasannya adalah terdapat riwayat terapi antibiotika atau analgetika
dari dokter pribadinya. Karenanya pasien dengan nyeri perianal kronis harus
dirujuk pada ahli bedah saluran cerna untuk eksklusi absesyang letaknya
dalam.
4. Drainase persisten dari sinus atau pembengkakan yang
berlangsung lebih dari 2 bulan setelah drainase abses menunjukkan adanya
fistula ani. Pemeriksaan RT seringkali menunjukkan adanya alur indurasi
submukosa yang berjalan melingkar dari ujung eksternal ke arah anus. Alur ini
adalah jalur fistula.
• Tata laksana akut
1. Abses akut
a. Insisi dan drainase di IRD dengan conscious sedation dan
anestesi lokal: insisi linier di atas bagian yang paling fluktutatif yang
kemudian diubah menjadi insisi berbentuk palang dan kemudian tepinya
digunting untuk menghilangkan atap abses.
b. Setelah semua pus dikeluarkan, pasang tampon pita untuk
hemostasis (dapat dibuang pada hari berikutnya setelah rendam duduk).
c. Berikan analgetika selama 1-2 hari dengan rujukan pada
seorang ahli bedah saluran cerna dalam 1 minggu. Jika nyeri atau demam
menetap, sarankan pasien untuk datang kembali ke IRD lebih dini, karena
mungkin abses belum sepenuhnya terdrainase.
d. Kriteria rawat inap: (1) penderita diabetes dengan abses
perianal untuk drainase dan kendali kadar gula darah, (2) kecurigaan suatu
necrotizing fasciitis (indurasi yang nyeri dengan krepitas di sekitar abses).
2. Abses perianal rekuren atau dengan kecurigaan suatu fistula ani: rawat
inapkan penderita untuk drainase oleh ahli bedah saluran cerna.
3. Abses ischiorektal: rawat inapkan pasien untuk drainase oleh ahli
bedah saluran cerna.
268

PROLAPS REKTI
• Tampilan klinis
1. ‘True’ prolaps ditemukan pada bayi dan wanita usia lanjut tetapi jarang
terjadi. Seluruh ketebalan dinding rectum mengalami intusussepsi melalui
anus. Uji ‘pinch’ menunjukkan adanya dua lapisan.
2. ‘Pseudo’ prolaps adalah hemorrhoid atau mukosa rectum yang
mengalami prolaps, dan hal ini sering terjadi. Uji ‘pinch’ menunjukkan tidak
adanya lapisan dinding rectum lain di bawahnya. Prolaps mukosa seringkali
berkaitan dengan riwayat sering mengedan. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan pruritus.
• Tata laksana akut
1. ‘True’ prolaps: reduksi manual, regulasi defekasi pada orang
dewasa untuk mencegah mengedan; rujukan dini pada ahli anak (bayi) atau
bedah saluran cerna (dewasa). Jika reduksi tidak dapat dilakukan berarti terjadi
inkarserata yang merupakan suatu kedaruratan bedah.
2. ‘Pseudo’ prolaps mukosa rectum: berikan bulking agent dan
sarankan penderita untuk banyak minum guna menghindarkan mengedan pada
saat defekasi. Rujuk pasien pada ahli bedah saluran cerna untuk tata laksana
definitive.

PERDARAHAN PASCA HEMORRHOIDEKTOMI


• Tampilan klinis: kurang dari 5% pasien mengalami
perdarahan sekunder pada hari 7-10 pasca pembedahan; hal ini dapat terjadi
setelah defekasi yang sulit disertai mengedan. Perdarahan ini biasanya swasirna
dan hanya sedikit jumlahnya. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus jumlahnya
dapat cukup banyak untuk menyebabkan syok hipovolemik.
• Tata laksana akut
1. Jika hebat, lakukan resusitasi dengan penggantian cairan cepat melalui
kanula IV berdiameter besar; jika perlu lakukan uji saring darah.
2. Bersiaplah untuk memeriksa kanalis ani, identifikasi sumber
perdarahan dan lakukan hemostasis.
a. Siapkan pencahayaan yang memadai, proktoskopi, peralatan suction,
20 cc larutan adrenalin 1:10.000 dalam spuit yang dilengkapi jarum spinal
panjang 23G.
b. Baringkan pasien pada posisi lateral kiri, beri sejumlah besar jelly
lidokain pada anus sebelum insersi proktoskop; evakuasi bekuan darah dan
perlahan tarik proktoskop untuk visualisasi kanalis ani, terutama luka
hemorrhoidetomi.
c. Identifikasi sumber perdarahan dan injeksikan larutan adrenalin.
d. Pasang tampon kasa adrenalin dan tinggalkan di tempat bila terjadi
perdarahan minor yang terus merembes.
3. Lakukan konsultasi segera dengan ahli bedah saluran cerna di IRD jika
anda tidak dapat mengendalikan perdarahan. Sementara waktu dapat
diinsersikan kateter Foley 18F pada anus dan kemudian isi balon dengan 30 cc
air dan lakukan traksi dengan menempelkan kateter pada paha. Balon kateter
akan memberikan efek tampon pada luka hemorrhoidektomi.
4. Pada kasus minor di mana perdarahan telah berhenti:
a. Pulangkan pasien dengan pemberian 400 mg mteronidazol 3x/hari
selama 1 minggu dan micronized flavonoid, misalnya Daflon ®.
b. Segera atur kunjungan lanjutan dengan ahli bedah.
269

77. Pneumonia, Community Acquired (CAP)


Caveats
• Definisi sebagai infeksi akut pada parenkim paru
• Diagnose :
1. infiltrat pada rontgent thorax konsisten dengan pneumonia.
2. perubahan suara napas dan/ atau krepitasi local.
3. pasien tidak tinggal dirumah sakit 14 hari sebelum onset gejala.
• Gejala infeksi traktus respirasi bawah:
1. demam/ hipotermi
2. menggigil, keringat
3. batuk baru dengan/ tanpa sputum
4. nyeri dada
5. sesak
• Gejala non spesifik:
1. lelah
2. nyeri otot
3. nyeri perut
4. anoreksia
5. sakit kepala
• Pneumonia merupakan penyebab kematian utama dari infeksi di Singapura.
Bakteri patogen paling sering termasuk:
1. Strep pneumonia (65%)
2. Haemophilus influenzae (hampir 10%)
3. Atipikal: mikoplasma dan legionella (hampir 10%)
4. Staph aureus (2%) dan gram negatif (1%) jarang (5-10% mungkin berupa
infeksi ganda)
• Faktor resiko mortalitas:
1. usia tua
2. alcoholism
3. keganasan aktif
4. penyakit neurologis
5. gagal jantung
6. diabetes mellitus
270

adanya pneumonia sebelumnya, pneumonia dari gram negatif dan aspirasi


pneumonia merupakan factor resiko kematian.
Tips untuk dokter umum
• Penicillin resistant (40%) multiple drug resistant Strep pneumoniua banyak di
Singapura.
• Insiden dan virulensi gram negatif CAP lebih tinggi di Singapura:
Burkholderia pseudomallei dan Klebsiella pneumonia sebanyak 25% dari CAP
berat di Singapura dan berhubungan dengan > 50% mortalitas
• Tuberculosa sebanyak 15-20% dari CAP di Singapura dan menjadi perhatian
pada semua pasien, khususnya orang tua.
• Pasien HIV dengan Pneumonitis carinii pneumonia (disproporsi hipoksemia
dengan abnormalitas ringan pada rontgen thorax) atau PTB (ekstensif)
• CAP dapat didiagnosa dengan radiografi dada.
Penatalaksanaan
• Stratifikasi resiko: gambar 1 menunjukkan stratifikasi resiko berdasar prediksi
model dalam 5 kelas. Hal ini bernilai pada jumlah besar pasien di Amerika.
• Sistem scoring: table 1 menunjukkan prediksi model untuk mengidentifikasi
resiko pasien dengan CAP.
1. skor resiko (poin total skor) dengan memberi dari umur pasien dalam
tahun (usia – 10 untuk wanita) dan nilai untuk karakteristik pasien (table 1
dan 2)
2. saturasi oksigen <90% menunjukkan abnormalitas
3. model ini dapat menjadi petunjuk dalam keputusan awal (table 3); namun
tidak dapat dipakai pada semua pasien dengan penyakit ini dan seharusnya
berhubungan dengan keputusan dokter.
• Terapi: lihat table 4

78. Pneumothorax

PERINGATAN
• penanganan penumothorax tergantung pada ukuran, keadaan kesehatan si pasien,
dan apakah paru-parunya sakit atau normal.
271

• Tension Penumothorax adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan


diagnosis klinis dan penanganan sebelum CXR. Dorongan trachea adalah
gambaran terakhir dari perkembangan tension pneumotorak
• Adalah penting untuk memberikan saran yang tepat kepada semua pasien yang
pulang dari rumah sakit.
Tip khusus bagi dokter umum
• Pneumothorax harus dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami sesak
nafas akut atau pasien Marfanoid muda dengan sakit dada unilateral yang tiba-tiba.
• Perkirakan Tension pneumotorax pada pasien dengan sesak nafas parah,
tachycardia, kerusakan perfusi perifer, suara nafas hilang dalam satu hemithorax
dan meningkatnya vena jugular. Lakukan dekompresi jarum dengan memasukkan
14G IVvenula kedalam intercostal space mid-clavicular line kedua dan buang
metal stylet sebelum mengirim pasien dengan ambulan ke rumah sakit. Jika tidak,
Pasien akan meninggal. Untuk rincian lanjut, lihat Trauma, Chest.

KLASIFIKASI PNEUMOTHORAX SPONTAN


• pneumothorax spontan tidak memiliki penyebab trauma sebelumnya atau
iatrogenic.
• pneumothorax spontan dapat dibagi lebih lanjut kedalam:
1. Primer: dimana tidak terdapat abnormalitas paru-paru yang mendasarinya atau
penyakit yang mengakibatkan pneumothorax spontan tersebut.
2. sekunder: dimana terdapat paru-paru yang sakit (misalnya COLD, pneumonia).

PENANGANAN AWAL
• seorang pasien yang diduga menderita pneumothorax dan memiliki tanda-tanda
vital yang tidak stabil harus ditangani dalam area kritis. Pasien pneumotorak lain
dapat ditangani di perawatan intermediet.
• Nilai tanda-tanda vital dan monitor pasien untuk ECG, dan pulse oximetry
• Berikan oksigen 100%.

Investigasi
• Investigasi utama adalah x-ray dada.
272

• Ukuran pneumothorax ditentukan oleh jarak dari puncak paru-paru ke ipsilateral


cupola (puncak paru-paru) pada permukaan parietal: (1) pneumothorax kecil <3
cm, dan (2) pneumothorax besar ≥3 cm.

PENANGANAN
• Penanganan tergantung pada faktor-faktor berikut:
1. stabilitas pasien
2. ukuran pneumothorax
3. jenis pneumothorax

Pneumothorax primer kecil (pasien stabil)


• amati pasien dalam ED selama 3 jam.
• Selanjutnya pasien tersebut boleh pulang jika:
1. pasien tersebut stabil secara klinis
2. CXR ulang tidak menunjukkan pembesaran pneumothorax
• Beri saran pneumothorax (lihat hal. 355).
• Lakukan follow-up dengan spesialis paru.

Pneumothorax primer besar (pasien stabil)


• Keluarkan Pneumothorax dengan chest tube 20-24 F
• Sambungkan chest tube tersebut ke Heimlich valve atau WSD.
• Lakukan observasi pasien.

Pasien tidak stabil dengan Pneumothorax besar


• Jika pasien itu memiliki tachypnoea dan/atau hanya tachycardia, maka
Pneumothorax harus dikeluarkan dengan baik dengan chest tube 24-28 F.
• Jika pasien tersebut hipotensive,
1. pasien tersebut harus memiliki dianggap Tension pneumotorax
2. thoracostomy jarum yang menggunakan 14G IV harus dilakukan pada
intercostal space mid-clavicular line kedua.
3. selanjutnya, chest tube 24-28 F harus dimasukkan.
• Pasien tersebut harus dirawat
273

Pasien dengan Pneumothorax sekunder


• Semua Pasien harus dirawat untuk diberi penanganan dan observasi karena
terdapat resiko keterlambatan perluasan paru-paru.
• Pasien Pneumothorax besar harus memiliki chest tube yang dimasukkan sebelum
penanganan.
• Pasien yang tidak stabil harus diperlakukan seperti diatas.

SARAN PNEUMOTHORAX
• Saran Pneumothorax harus diberikan kepada semua pasien yang telah pulang dari
ED, dengan mengabaikan apakah paru-parunya telah meluas atau belum.
• Kontraindikasi mutlak, bahkan setelah resolusi sempurna Pneumothorax, meliputi:
1. mendaki gunung
2. menyelam
• Kontraindikasi relative, untuk periode 1 bulan setelah resolusi sempurna
Pneumothorax (ditunjukkan secara klinis dan pada x-ray), meliputi:
1. Perjalanan udara
aktifitas berat (misalnya mendorong dan menarik beban BERAT)

79. KERACUNAN, BENSODIASEPIN


Suresh Pillai

Penting
• Kematian karena kebanyakan bensodiasepin secara umum jarang kecuali di
gunakan bersamaan dengan sedatif yang lain seperti etanol atau barbiturat
• Pengukuran pengobatan suportif secara umum biasanya semua yang
membutuhkan dengan penekanan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
• Penggunaan antagonis bensodiasepin seperti pengunaan flumasenil yang berlebih
merupakan controversial. Jangan memberikan flumasenil IV pada penderita
dengan ketergantungan bensodiasepin dan pada penderita dengan penggunaan
antidepresan trisiklik yang bersamaan, atau penggunaan obat lain yang dicampur
dan berlebihan.

Khusus untuk dokter umum


274

• Semua penderita harus dikirimkan ke bagian gawat darurat jika hanya


didapatkan kecurigaan penggunaan bensodiasepin yang berlebih walaupun
mereka mungkin hanya sedikit mengantuk ringan awalnya.

Patofisiologi:
• Bensodiasepin menyebabkan depresi umum dari reflek spinal seperti
menghambat sistem aktivasi reticular yang menyebabkan letargi/lesu, bicara
seperti tertelan, ataksia, hiporefleksia, mengantuk, stupor, koma atau mungkin
henti pernafasan.
• Pupil pada penderita pengguna bensodiasepin yang berlebihan biasanya tidak
khas dan umumnya tidak kecil sekali seperti titik jarum seperti pada penderita
opiate yangberlebihan.
• Setelah penggunaan suntikan IV diazepam dapat terjadi hipotensi dan henti
jantung paru
• Waktu paruh bensodiasepin sangat bervariasi lebarnya dari 2-5 jam untuk
midasolam, 5-30 jam untuk klordiasepoksid dan 50-100 jam untuk flurasepam.

Penanganan
Pengukuran suportif
• Penderita dengan penurunan kesadaran dengan gangguan reflek muntah dan
depresi pernafasn, hemodinamik tidak stabil atau koma harus ditangani di
ruang kritis
• Jalan nafas harus dijaga dan jika perlu penderita dintubasi dan diventilasi.
Penderita harus diberikan Oksigen 100% melalui masker yang tidak
menghisap kembali/ non rebreather mask
• Penderita harus diperiksa tanda ital, monitoring jantung dan saturasi oksigen
setiap 15 menit.
• Pertahankan jalur intravena perifer.
• Ambil darah untuk darah lengkap, urea/elektrolit/kreatinin, lakukan
pemeriksaan gula darah di tempat.
• Selama kadar serum bensodiasepin tidak penting selama penanganan akut dari
dosis berlebih tetapi metode kuantitatif dan darah jika ada, dapat dilakukan
pada kasus yang belum jelas
275

• Membuat muntah pada penderita pengguna bensodiasepin yang berlebih tidak


diperkenankan karena efek depresi susunan saraf pusat
• Pemberian karkoal aktif jika waktu meminumnya dalam 4 jam. Kumbah
lambung terbatas pada penggunaan yang besar atau dimakan bersama dalam
waktu 1 jam. Walaupun demikian, jalan nafas harus dijaga dan penderita
diintubasi, jika perlu, selama kumbah lambung ataupun penggunaan korkoal
aktif.

Terapi antidot
• IV flumasenil dengan dosis 0,2 mg diberikan dalam waktu 30 detik dapat
diberikan tergantung dari respond an diulangi sampai pemberian 0,5 mg.
Karena efek yang sebentar, dosis ulangan dibutuhkan. Walaupun demikian,
kontraindikasinya adalah:
1. Jika bersamaan dengan penggunaan antidepresan berlebih dimana efek
bensodiasepin dapat memacu keadaan status epileptikus
2. Flumasenil dapat memicu reaksi putus obat yang akut, bermanifestasi dengan
kejang dan tidak stabilnya sistem autonomi, pada penderita yang mungkin
pecandu bensodiasepin

• Jika riwayat tidak akurat, kemudian pemberian IV tiamin, IV 50%


dekstrosedan IV nalokson harus disediakan pada penderita denganpenurunan
kesadaran. IV nalokson tidak harus diberikan sebagai penggunaan rutin
kecuali tidak ada tanda yang dicurigai sebagai pengguna opiate yang berlebih.

Disposisi :
• Semua penderita dengan penggunaan bensodiasepin berlebih harus dirawat di
bagian penyakit dalam dan jika perlu di bagian yang dengan pengawasan yang
tinggi atau ICU khususnya pada penderita dengan yang membutuhkan
pendukung ventilator.

80. KERACUNAN KARBON MONOKSIDA

PENTING
276

 Karbon monoksida adalah asfiksan resfirasi yang berikatan dengan


hemoglobin dan myoglobin, yang akan mengurangi kemampuan darah
mengangkut oksigen.
 Waktu paruh dalam tubuh adalah 5-6 jam
 Karbon monoksida memiliki afinitas dengan Hb 250kali lebih kuat
dibandingkan dengan oksigen; menyebabkan pergeseran kurva disosiasi kekiri,
menghambat pelepasan oksigen ke jaringan.
 Karbon monoksida berikatan dengan myoglobin dan membuatnya menjadi
tidak aktif (myoglobin otot jantung 3 kali lebih besar daripada myoglobin otot
skelet). Selama kondisi hipoksemia, myoglobin jantung menangkap gas CO lebih
kuat menyebabkan nekrosis myocardium dan menekan fungsinya.
 Karbon monoksida menyebabkan demyelisasi sel otak, dengan hasil otopsi
ditemukan adanya edema cerebral, nekrosis pada superfisial substansia putih,
globus pallidus, cerebrum dan hippokampus. Sekuele berupa keterlambatan
neuropsikiatri terjadi pada 40% kasus.
 Keracunan gas monoksida sulit untuk didiagnosis karena ada beberapa tanda
dan gejala patognomonis. Gejala ringan tidak spesifik, seperti sakit kepala, mual
dan muntah, pusing. Beberapa anggota keluarga dapat memberikan gejala yang
sama pada saat yang bersamaan seperti yang sering terjadi pada penyakit flu.

Tips Khusus untuk Dokter Umum


• Selalu curigai adanya keracunan gas CO pada pasien
yang mengalami penurunan kesadaran dengan riwayat
terperangkap dalam ruangan tertutup atau berada
dalam kebakaran atau ledakan beberapa jam

METABOLISME
 Karbon monoksida (gas buangan kendaraan, gas rumah tangga) tidak
berwarna, tidak berbau dan tidak berasa.
277

 Absorpsi melalui inhalasi dan kemudian tidak dimetabolisme; distribusi dalam


darah, eliminasi melalui paru dengan cara ekshalasi
 Berikatan dengan sistem sitokrom oksidase; berkompetisi dengan oksigen
untuk berikatan dengan sitokrom A3
 Sumber :
1. Endogen : CO adalah hasil degradasi dari hemoglobin dan komponen lain
yang mengandung hem :
a Kadar karboksihemoglobin (COHb) < 5% pada perokok dan < 10%
pada pasien bukan perokok
b. Pada wanita hamil kadar COHb bisa lebih dari 2-5%
c. Pada bayi normal kadar COHb dapat mencapai 4-5%
d. Pada anemia hemolitik kadarnya dapat mencapai 6%
2. Eksogen :
a Rokok : saat meroko, sebatang rokok mengandung 2.5 kali lebih
banyak gas CO yang akan terinhalasi
b. Perokok seringkali memiliki kadar CO antara 4-10%
c. Kebakaran : menghirup udara dari kebakaran mengandung lebih dari
10% gas CO (100 kali konsentrasi yang diperlukan untuk
menyebabkan kadar letal COHb)
d. Gas buangan kendaraan terdiri atas 8% CO, penumpang biasanya
terpapar CO karena tempat duduk yang terlalu dekat dengan sistem
buangan kendaraan
e. Metilen cloride pada zat penghilang cat, aerosol dan fumigant sangat
mudah diserap melalui kulit dan secara perlahan dimetabolisme
menjadi CO. Perhatikan bahwa waktu paruh COHb karena paparan
metilen cloride dua kali lebih besar daripada inhalasi.

PAPARAN AKUT
 Sistem Saraf Pusat : sakit kepala, neuropati perifer, penurunan
kesadaran, koma, kejang, edema cerebral, perubahan kepribadian dan perilaku,
ataksia, gangguan daya ingat
 Respirasi : dyspnue dan hyperpnue, bronkopneumonia dan
edema paru non kardiogenik
278

 Kardiovaskuler : angina, perubahan ST segmen, takikardi,


disritmia ventrikel, hipotensi, infark myokardial, heart block, jantung kongestif
dan henti jantung
 Ginjal : oligouria karena gagal ginjal akut, proteinuria,
myoglobinuria dan hematuria
 Sistem Hematologi : karboksihemoglobinemia, hipoksia
jaringan, polisitemia, anemia hemolitik, koagulasi intravaskuler diseminata,
leukositosis
 Kulit : sionis lebih sering terjadi daripada cherry red
discolouration; bula
 Optamologi : perdarahan retina flame-shaped, penurunan
kemampuan visual, kebutaan kortikal, edema papil, skotoma
 Muskuloskeletal : rabdomyolisis, myonekrosis, syndrome
kompartemen
Catatan : Analisa gas darah biasanya memberikan gambaran PaO2 normal karena PaO2
adalah cara untuk mengetahui jumlah oksigen yang terdisosiasi dalam darah arteri,
bukan jumlah oksigen yang berikatan dengan Hb. Banyak analis yang menghitung
persentasi saturasi oksigen berdasarkan PaO2. Penghitungan saturasi oksigen akan
memberikan hasil yang jauh berbeda bila dibandingkan dengan permeriksaan
langsung dengan oksimeter. Perbedaan saturasi adalah ciri khas dari keracunan gas
CO
 Gejala sisa yang mungkin terjadi : gejala sisa berupa kelainan neuropsikiatri
yang muncul setelah 3 minggu sampai 3 bulan setelah terpapar karbon monoksida,
terjadi pada 40% kasus yang mengalami perbaikan:
1. Sakit kepala/pusing
2. Gangguan daya ingat
3. Perubahan kepribadian
4. Parkinsonisme

MANAJEMEN DI EMERGENCY DEPARTEMEN


Manajemen berupa tindakan suportif dan pemberian terapi oksigen
 ABC
1. Lakukan evaluasi dan terapi suportif jalan nafas
279

2. Lakukan intubasi orotrakhea bila terjadi gangguan ventilasi dan oksigenasi


3. Berikan suplemen oksigen 100% melalui masker yang melekat erat ke
wajah
Catatan : waktu paruh eliminasi COHb dalam serum bila bernafas dengan udara
bebas adalah 520 menit, berubah menjadi 80 menit bila bernafas dengan oksigen
100%. Terapi oksigen sebaiknya tidak dihentikan sampai gejala hilang dan kadar
COHb < 10%
4. Lakukan monitoring : EKG (menunjukkan gambaran sinus takikardi dan
perubahan segmen ST)
5. Pikirkan penggunaan natrium bikarbonat infus bila ada metabolik asidosis
(pH darah arteri < 7.1)
 Pemeriksaan Laboratorium
1. Rutin : Darah lengkap, glukosa, ureum/creatinin/elektrolit, analisa gas darah
dengan kadar COHb, EKG 12 lead
2. Sesuai dengan kondisi pasien : foto rontgen thoraks (pada cedera inhalasi yang
berat, aspirasi paru, bronkopneumonia dan edema paru)
 Terapi antidotum : Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Weaver, dkk (2002)
menunjukkan bahwa 3 buah terapi oksigen hiperbarik yang dilakukan dalam 24
jam berhasil menurunkan resiko gejala sisa berupa kelainan kognitif dalam waktu
6 minggu dan 12 minggu setelah keracunan gas CO. Keuntungan dari terapi
oksigen hiperbarik adalah untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh gas
CO bukan menghilangkan gas tersebut.

DISPOSISI DAN FOLLOW UP


 Rujuk pasien untuk melakukan terapi oksigen hiperbarik dengan menghubungi
tempat-tempat lokal yang memiliki sarana terapi hiperbarik baik sipil maupun
militer, sesuai dengan protokol lokal :
1. Seluruh pasien yang pingsan, kelainan neurologis dan kelainan jantung dengan
peningkatan kadar COHb
2. Seluruh pasien dengan kadar COHb > 25%
3. Wanita hamil dengan kadar COHb > 10%
4. Iskemik myocardium
5. Gejala yang memburuk setelah pemberian terapi oksigen
280

6. Gejala yang menetap setelah terapi oksigen 100% selama 4 jam (termasuk
kelainan test psikometer dan takikardia)
7. Neonatus
Catatan : Dengan terapi oksigen hiperbarik, waktu paruh eliminasi CO berkurang
menjadi 23 menit, kecuali bila terapi dilakukan dalam seting militer, sulit sekali untuk
melakukan terapi yang adekuat untuk memperoleh pengurangan waktu paruh
 Rawat pasien di ruangan penyakit dalam bila kadar COHb < 20%, berikan
oksigen aliran tinggi 15L/ menit melalui masker minimal 4 jam sampai kadar
COHb kembali ke normal
 Pasien yang tanpa gejala dengan kadar COHb < 20% jarang sekali mengalami
komplikasi dan dapat dipulangkan dari emergency departemen dengan nasihat
untuk segera mencari pertolongan medis bila muncul gejala sebagai berikut :
1. Kesulitan untuk bernafas atau sesak
2. Nyeri dada atau rasa berat didada
3. Kesulitan untuk mengkoordinasikan tangan dan kaki
4. Gangguan daya ingat
5. Sakit kepala atau pusing yang berkepanjangan
 Pasien yang dipulangkan harus dirujuk kebagian psikiatri untuk melakukan
screening neuropsikiatri karbon monoksida untuk mendeteksi deterioration
 Pasien harus diberitahu untuk tidak merokok selama 72 jam

81. INTOKSIKASI, ANTIDEPRESAN SIKLIK

PERHATIAN
• Antidepresan yang umum diresepkan adalah: imipramin, trimipramin,
desipramin, amitriptilin, doksepin, maprotilin dan amoksapin.
• Heterosiklik bersifat terikat sangat kuat pada protein (92% pada pH fisiologis);
karenanya diuresis, dialisis dan hemoperfusi tidak memiliki peran dalam tata
laksana pada keadaan overdosis.
• Pokok dari terapi adalah pemberian natrium bikarbonat karena zat ini
mengubah ikatan obat terhadap pompa natrium iokardium dan juga meningkatkan
ikatan obat ini pada protein, sehingga menjadikannya tidak aktif secara
farmakologis.
• Obat-obatan yang harus dihindari:
1. Obat antiaritmia kelas IA (quinidine, procainamide) dan IC
(fleicainide), yang dapat memperburuk toksisitas ‘serupa quinidine’ pada
miokardium.
2. Pnyekat beta dan penyekat kanal kalsium yang dapat memperberat
hipotensi.
281

3. Fenitoin dapat meningkatkan insiden disritmia ventrikel dan


penggunaannya masih merupakan suatu kontroversi.
4. Flumazenil, karena beresiko mencetuskan kejang.
5. Physostigmine beresiko terhadap terjadinya toksisitas pada jantung dan
kejang.

) Tips Khusus Untuk Dokter Umum


• Jangan merangsang terjadinya muntah atau
memberikan arang aktif jika pasien tampak
mengantuk karena penurunan kesadaran dapat
terjadi cepat sehingga diperlukan proteksi jalan
nafas.
• Jangan memberikan flumazenil untuk mengatasi
over dosis benzodiazepine yang menyertai, karena
hal ini dapat mencetuskan kejang yang diinduksi

PATOFISIOLOGI KLINIS
Efek pada Jantung
• Aktivitas antikolinergik yang dapat menimbulkan takikardia
• Aktivitas serupa quinidine (hambatan pompa natrium dan kalium) yang dapat
menimbulkan blok intraventrikel dan atrioventrikel. Blok cabang berkas dan
fasikulus umumnya didahului dengan kompleks QRS yang melebar. Sinus
takikardia yang menyertai keadaan ini dapat menimbulkan gambaran yang serupa
dengan takikardia ventrikular.
• Hipotensi akibat hambatan efek alfa adrenergik perifer.
• Edema paru

Efek pada SSP


• Kebingungan, agitasi dan halusinasi sebelum akhirnya penderita dengan cepat
jatuh dalam keadaan koma.
• Kejang sering terjadi dan umumnya tunggal; status epileptikus lebih sering
terjadi pada kasus intoksikasi amoksapin atau maprotilin.
• Temuan fisik meliputi:
1. Klonus
2. Koreoatetosis
3. Mioklonus
4. Peningkatan tonus otot
5. Hiperrefleksia
6. Respon ekstensor plantar

Efek antikolinergik (dapat muncul maupun tidak; todak adanya tanda berikut tidak
menyingkirkan toksisitas)
• Flushing
• Mulu/kulit kering
• Pupil midiriasis
282

• Demam
• Bising usus menghilang
• Retensio urin
• Pandangan kabur akibat gangguan akomodasi

Efek lainnya
• Bula pada kulit
• Rhabdomyolisis dan gagal ginjal
• Pneumonia
• ARDS

Tanda yang mengindikasikan overdosis berat


• Disritmia ventrikuler
• Bradikardia dan blok AV
• Defek konduksi intraventrikular dengan kompleks QRS >100 ms
• Kejang
• Hipotensi
• Edema paru
• Henti jantung

TATA LAKSANA
Penanganan suportif
• Pasien harus ditangani di area yang dilengkapi dengan monitor dan alat
resusitasi, termasuk defibrillator.
• Jaga patensi jalan nafas; lakukan intubasi bila terjadi penurunan tingkat
kesadaran atau hilangnya reflek muntah.
• Berikan suplementas oksigen aliran tinggi dengan sungkup non-rebreathing.
• Monitoring: EKG dan tanda-tanda vital setiap 5-15 menit, pulse oximetry.
• Pasang jalur intravena prefer
• Pilihan cairan intravena adalah NS
• Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, uji
saring obat-obatan (kirimkan tabung sediaan ke bangsal bersama pasien jika
dicurigai terjadi overdosis akibat lebih dari 1 macam obat).
Catatan: Jangan meminta pemeriksaan kadar obat antidepresan dalam plasma;
hasilnya tidak akan mengubah prosedur tata laksana.
• Peneriksaan analisis gas darah untuk memonitor pH seiring perjalanan terapi.
• Foto thoraks untuk membuktikan adanya edema paru, pneumonia dan ARDS.
• Pasang kateter urine untuk mengawasi produksi urin dan status kecukupan
cairan.
• Lakukan kumbah lambung jika diindikasikan dan kirimkan hasil bilasan
pertama ke bangsal bersama dengan pasien.

Terapi medikamentosa
• Arang aktif: dosis 1 mg/kg BB. Berikan melalui pipa orogastrik
• Alkalinisasi darah sampai nilai pH 7,45 – 7,50. Cara terbaik untuk
mencapainya adalah dengan kombinasi hiperventilasi dan pemberian natrium
bikarbonat:
283

1. Jika pasien diintubasi, ventilasi mekanis dengan kecepatan 20x/menit


umumnya memadai untuk sebagian besar orang dewasa.
2. Natrium bikarbonat 1-2 mmol/kgBB diberikan secara bolus IV pelan
selama 20-30 menit.
3. Terapi bikarbonat diindikasikan bila lebar komplek QRS setidaknya
100 ms.

KEADAAN KLINIS KHUSUS


Catatan: Natrium bikarbonat merupakan terpai yang paling efektif untuk mengatasi
hipotensi dan menghentikan disritmia.
Disritmia yang tidak berespon terhadap natrium bikarbonat
• Lignocaine dapat menghentikan disritmia ventrikel. Diberikan dengan dosis
1.0-1.5 mg/kg IV bolus yang diikuti dengan infus 1-4 mg/menit.
• Sulfas magnesikus dapat digunakan untuk terapi torsades de pointes. Dosis: 1-
2 gr IV bolus selama 60 detik, kemudian dilanjutkan dengan infus 1-2 gr/jam.
• Kardioversi synchronized dapat digunakan untuk terapi takidisritmia
supraventrikel.
• Pacu jantung darurat (pemasangan pacu jantung transkutan di IRD, yang jika
diperlukan dapat dilanjutkan di ICU) diindikasikan pada bradidisritmia berat dan
blok AV.

Hipotensi
• Pendekatan pertama adalah dengan menggunakan NS dan alkalinisasi.
• Jika respon tidak abaik atau tidak ada: berikan terapi medikamentosa
• Noradrenalin atau dopamine dosis tinggi: keduanya efektif pada saat awal
toksisitas.
Dosis: Noradrenalin: hanya diberikan dengan infus kontinyu, 0.5-1.0μg/menit dan
dititrasi sampai tercapai efek yang diinginkan.
Dopamine: hanya diberikan dengan infus kontinyu, 10-20μg/kgBB/menit
dan dititrasi sampai tercapai efek yang diinginkan.
• Kegagalan dari semua upaya di atas menunjukkan perlunya dipertimbangkan
penggunaan pompa balon intra aorta (IABP).

Pengendalian kejang yang resisten terhadap pemberian natrium bikarbonat


Hal ini penting karena keadaan asidosis laktat dapat emmperberat toksisitas pada
jantung akibat penurunan ikatan obat dan protein sehingga jumlah obat aktif menjadi
lebih banyak pada jaringan yang rentan.
• Diazepam: dosis 2-5 mg IV bolus, dapat diulang tiap 5 menit sampai total 20
mg.
• Lorazepam: dosis 0.1 mg/kgBB IV bolus sampai total 8 mg.
• Phenobarbital
Dosis: 100 mg/menit IV sampai total 10 mg/kgBB atau kejang terkendali; jika
tidak efektif berikan dengan dosis 50 mg/menit IV sampai total 20
mg/kgBB atau kejang terkendali; jika tidak efektif berikan dengan dosis 50
mg/menit sampai total 30 mg/kgBB atau kejang terkendali
• Paralisis/bius total: dilakukan dengan konsultasi pada bagian Anestesi.

DISPOSISI
284

• Konsultasi dengan Penyakit Dalam; tetap pertimbangkan perawatan di


ICU/HD untuk pengawasan lebih lanjut. Deteriorasi signifikan kasus semacam ini
diketahui terjadi beberapa jam sampai hari setelah ingesti awal.

82. Poisoning ( Keracunan ), Organofosfat

Caveats
• Agent aktif pada banyak pestisida dan insektisida adalah parathion, yang
berikatan secara irreversible dengan kolinesterase untuk membentuk ikatan
dietilfosfat.
• Atropin merupakan antidote fisiologi antimuskarinik yang bekerja secara
kompetitif memblok efek muskarinik asetilkolin.
• Atropin tidak memiliki efek pada reseptor nikotinik pada myoneural junction
pada otot bergaris, yaitu tidak akan mengembalikan paralysis.
• Pralidoxime merupakan antidote biokimia yang bereaktivasi dengan
kolinesterase yang menyebabkan proses fosforilasi oleh organofosfat. Naumn
pralidoxine harus diberikan dalam waktu 24-36 jam pertama setelah paparan.
Jika tidak, molekul kolinesterase dapat berikatan erat serta kolinesterase baru
akanmembutuhkan waktu berminggu-minggu untuk regenerasi.
• Presentasi klasik : pasien dengan vomiting dan diare, diaforesis, nafas berbau
insectisida dan pupil yang kecil. Hati-hati dx yang berlebihan terhadap
gastroenteritis.
285

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


• Rujuk semua px demngan suspek keracunan
oragnofosfat walaupun masih asimptomatik.
• Waspada bahwa vomiting, diare dan hipotensi dapat
terjadi dan dapat salah diagnosa sebagai severe GE.
Cari tanda dan gejala DUMBELS .
• Pastikan bahwa wadah tempat insektisida yang
dicurigai dibawa ke rumah sakit.
Patofisiologi
• Organofosfat menghambat asetilkolinesterase, yang akan berakibat pada
akumulasi asetilkolin yang berlebihan pada myoneural junction dan sinaps.
• Asetilkolin yang berlebihan akan mengeksitasi kemudian membuat paralise,
neurotransmisi pada motor end plate dan menstimulasi nikotinik dan
muskarinik:
2. efek muskarinik : singkatan DUMBELS berguna untuk mengingat karena
gejala dan tanda ini berkembang lebih awal, 12-24 jam setelah ingestion.
D Diare
U Urinasi
M Miosis (absent pada 10% kasus)
B Bronchorrhoe/bronkospasme/bradikardi
E Emesis
L lacrimasi
S salivation dan Hipotensi
2. Efek Nikotinik
a. Diaforesis, hipoventilasi, dan takikardi
b. Fasikulasi otot, kram dan kelemahan yang menyebabkan flaccid
muscle paralysis
3. Efek CNS
a. Ansietas dan insomnia
b. depresi nafas
c. Kejang dan koma

Manajemen
Terapi suportif
• Pastikan semua staff menggunakan perlengkapan proteksi karena absorsi
perkutaneus dan inhalasi dapat menyebabkan keracunan.
• Px ditangani pada area critical care, dengan perlengkapan resusitasi yang
selalu tersedia.
• Lakukan detoksifikasi dengan melepas pakaian px dan cuci kulit px
seluruhnya.
• Pertahankan patensi jalan nafaslakukan intubasi orotrakeal jika px apnue,
atau tidak memiliki gag reflex. Suction aktif berkala dibutuhkan bila ada
bronkorhoea.
• Berikan oksigen aliran tinggi via non-rebreather reservoir mask.
• Lakukan gastric lavage jika ada indikasi, terutama pada beberapa jam
pertama setelah ingestion.
• Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
• Pasang jalur IV.
286

• Cairan IV : kristaloid untuk menggantikan hilangnya cairan melalui vomiting


dan diare.
• Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, kolinesterase plasma gaster dan
specimen toksikologi serum

Terapi Obat
• Arang aktif via gastric lavage tube. Dosis 1g/kgBB
• Atropin : obat pertama yang diberikan pada keracunan simptomatik.
3. penggunaan utamanya adalahreduksi bronkorrhoea/bronkospasme
4. Dosis besar mungkin dibutuhkan untuk mengontrol sekresi jalan nafas.
Dosis : dewasa : 2 mg IV tiap 10-15 menit prn; dosis dapat digandakan tiap 10
mneit sampai sekresi terkontrol atau tanda atropinisasi jelas (flush, kulit
kering, taikardia, midriasis, dan mulut kering).
Anak-anak : 0,05 mg/kgBB tiap 15 menit prn, dosis dapat digandakan tiap 10
menit sampai sekresi terkontrol.
• Pralidoxime (2-PAM, Protopam)
4. pralidoxime harus diberikan dengan atropine pada tiap pasien simptomatik
5. efek akan terlihat dalam 30 menit dan meliputi hilangnya kejang dan
fasikulasi, perbaikan kekuatan otot dan pemulihan kesadaran.
6. pemverian pralidoxim bisaanya mengurangi jumlah atropine yang
diberikan serta dapat unmask toksisitas atropine.
Dosis : Dewasa : 1gm IV selama 15-30 mneit; dapat diulang dalam 1-2 jam
prn
Anak-anak : 20-25 mg/kgBB IV selama 15-30 menit; dapat diulang 1-2 jam.
• Diazepam (Valium) : digunakan untuk mengurangi kecemasan dan
restlessness dan mengontrol kejang.
Dosis : 5-10 mg IV untuk kecemasan/restlessmess
Catatan : dosis dinaikkan sampai 10-20 mg IV mungkin diperlukan untuk
mengkontrol kejang.

Penempatan
• Lakukan konsultasi pada general medicine pada HD/ICU
• Untuk kasus terapi keracunan subklinis yang tidak diperlukan, namun px harus
MRS setidaknya 24 jam untuk meyakinkan bahwa keracunan yang delayed
tidak akan berkembang.

.
287

83. INTOKSIKASI PARASETAMOL

• Merupakan kasus overdosis obat yang paling sering, dimana pada dosis 7,5
gr(15 tablet @ 500mg) secara empiris sudah mencapai ambang terjadinya
intoksikasi.
• Efek toksis sudah dapat terjadi bila seorang dewasa menelan >150mg/kg BB
atau 7,5g (15 tablet @ 500mg)
• Efek toksis dapat terjadi pada dosis yang lebih rendah pada pasien yang
mengalami gangguan fungsi hati, bersamaan minum obat antikonvulsi atau
pasien anoreksia yang mengalami kekurangan glutation.
• Pada kasus2 seperti di atas, pakailah garis pengobatan resiko tinggi pada
tabel/normogram Rumack-Matthew dibanding garis normal pengobatan.
• Pedoman penanganan berdasarkan normogram Rumack-Matthew hanya
bermanfaat dalam menentukan kebutuhan dosis antidote N-acetylcystein
(Parvolex) hanya pada intoksikasi tunggal dan akut.
• N-acetylcystein (NAC) paling efektif diberikan dalam waktu 8 jam pertama
setelah menelan. Kadang masih di berikan pada 24 jam pertama, bila dari
anamnesis diperoleh data overdosis yang signifikan dan pemeriksaan serum
parasetamol tidak tersedia.
288

• Pedoman filosofi dalam managemen intoksikasi parasetamol adalah “bila


ragu/ tidak jelas, berikan NAC”.

• Pasien dengan overdosis parasetamol sering tampak baik2 saja pada tahap
awal, biasanya hanya mengeluh mual2 dan muntah.
• Jangan merangsang penderita untuk muntah sebelum mengirim ke IRD.

Tahap-tahap keracunan parasetamol:


• Tahap I (<24 jam I): sakit pada abdomen, nafsu makan menurun, mual dan
muntah.Pada pemeriksaan fisik sering hanya ditemukan pucat dan berkeringat.
• Tahap II (24-48 jam I): gejala yang muncul pada tahap 1 hilang,pada
pemeriksaan fisik hepar membesar dan nyeri tekan.Hasil laboratorium: serum
bilirubin meningkat,enzim hepar meningkat dan PT memanjang, dan fungsi
ginjal dapat tidak normal.
• Tahap III (72-96 jamI):gejala pada tahap II menetap,didapatkan ikterus,enzim
hati mencapai kadar tertingginya,dan gagal hati dan gagal ginjal (jarang) dapat
terjadi dan mematikan.
• Tahap IV ( hari ke-4 s/d mgg ke-2): bila penderita datang terlambat atau tidak
segera medapatkan pengobatan,keadaan gangguan fungsi hati memberat
menjadi gagal hati,coma dan kematian.

Penatalaksanaan:
289

• Penderita intoksikasi parasetamol harus dirawat di ruang intermediate, juga


bias di pindah diruang kritis bila terjadi hemodinamik tidak stabil atau depresi
status mental.
• Depresi status mental harus dicari kemungkinan penderita intoksikasi obat lain
yang ditelan secara bersamaan.
• Intoksikasi obat secara tunggal sangat tidak biasa.

• Pertahankan jalan nafas, pasang intubasi orotrakeal tube jika terjadi penurunan
refleks muntah (antisipasi kumbah lambung atau pemberian karbon aktif atau
keduanya)

• Berikan oksigen bila SpO2 turun.

• Monitoring : EKG, tanda vital tiap 15 menit, pasang pulse oksimetry.

• Pasang infuse, dan rehidrasi dengan kristaloid bila dehidrasi/hipovolume.

• Lakukan kumbah lambung bila kejadian menelan obat terjadi dalam 1 jam
pertama dan ambil cairan lambung untuk pemeriksaan toksikologi.

• Studi terakhir pemasangan NGT tidak harus dilakukan,kecuali benar


dipastikan bahwa penderita menelan parasetamol dalam dosis toksis dan
datang ke IRD pada jam pertama.

• Beberapa peneliti mengatakan NGT baru dipasang bila akan dilakukan


kumbah lambung.

Laboratorium:

1. Darah lengkap, Ureum/Elektrolit/Kreatinin, fungsi hati, PT.


Catatan: ALT >5.000 IU/L menyokong suatu kondisi hepatotoksik akibat intiksikasi
parasetamol karena kadar setinggi ini sangat jarang akibat infeksi virus.
Dari EBM hanya pengukuran serum parasetamol yang dibutuhkan untuk penderita
yang overdosis parasetamol yang tidak menunjukkan tanda2 hepatotoksik.

2. Pengukuran kadar parasetamol(diharuskan).


3. Bila dosis parasetamol masuk dalam rentang dosis toksis pada normogram
Rumack-Mattew, maka NAC harus segera diberikan.
4. keputusan yang lebih bijaksana adalah berdasarkan hasil pemeriksaan kadar
serum parasetamol pada 4 jam setelah menelan.
Karena pemberian NAC tidak diindikasikan waktu kurang dari 4 jam pertama
setelah menelan.

Pengobatan dengan obat:


• Karbon aktif: pemberiannya lewat NGT.
• Dosis: 1g/kg BB (dosis rata2 orang Asia 50 g)
Catatan: pemberian karbon aktif hanya berguna pada jam pertama dan dosis multiple
tidak berguna.
290

• N-acetylcysteine (Parvolex), berikan jika:


1. Kadar parasetamol setelah 4 jam pertama berada pada rentang dosis toksik
pada normogram Rumack-Mattew .
2. Kadar parasetamol inisial sudah berada pada rentang dosis toksik.
3. Pada anamnesis didapatkan data pasti bahwa penderita telah menelan
parasetamol lebih dari 15 tablet (7,5g). Jangan menunggu menunggu hasil
pengukuran ulang, tapi specimen tetap harus dikirim untuk monitoring kadar
parasetamol di ruangan.
4. Hasil pemeriksaan fungsi liver menunjukkan keadaan hepatotoksik.NAC harus
diberikan pada penderita yang mengalami gagal hati sampai membaik atau
mati.

Parvolex®(N-Acetylcystein) IV Infusion
Dosis pada orang dewasa:
• Dosis inisial: 150mg/kgBB iv selama 15 menit, dilanjutkan infuse secara
kontinyu (50mg/kgBB dalam 500mL 5% dextrose dalam 4 jam), dilanjutkan
infuse secara kontinyu(100mg/kgBB dalam 1L D5% selama 16 jam).
• Dosis total: 300mg/kg dalam 20 jam.

Mekanisme kerja dari NAC(Parvolex):


• Pemakaian normal parasetamol menyebabkan konversi parasetamol oleh
enzim cytokrom P-450 menjadi metabolit toksik yang akan didetoksifikasi
oleh glutathione di hepar.
• Overdosis parasetamol akut,menyebabkan deplesi depo dari glutathione dan
metabolit toksik menyebabkan nekrosis sentrilobuler pada hepar.
• Sedangkan kerja NAC adalah kompleks, dan multifaktorial.Dapat disimpulkan
NAC berfungsi sebagai/menggantikan glutathione.

Efek samping NAC sering muncul pada jam pertama pemberian:


• Mual,flushing,urtikaria, dan pruritus adalah keluhan/gejala yang paling sering
muncul.Bila muncul gejala diatas, maka infuse NAC harus dihentikan selama
15 menit dan mulai lagi dari awal dengan dosis yang lebih rendah(100 mg
NAC/kgBB dalam 1L D5% selama 16 jam).
• 84.poisoning Salicylate

CAVEATS
• termasuk aspirin, peptobismol, sport liniments, minyak wintergreen, dan obat
tradisional cina
• keracunan ringan ditandai dengan
1. hyperpnoea dengan alkalosis respiratorik ( oleh karena stimulasi dari
pusat respirasi )
2. tinnitus merupakan tanda ototoksik yang jelas

• keracunan sedang ditandai dengan ;


1. muntah sejak 3-6 jam setelah masuknya zat racun
2. hyperpnoea berat, hipertermia, dehidrasi, nyeri perut dan diaphoresis.

• keracunan berat ditandai dengan ;


291

1. gangguan system syaraf pusat dengan tanda-tanda awal stimulasi yang


diikuti dengan depresi sampai konvulsi dan koma.
2. udem paru non cardiogenik, dysritmia, perdarahan dan gagal ginjal akut.

• berdasarkan batasan tersebut, penggunaan nomogram tidak direkomendasikan.


Justru kondisi klinis pasien dan tanda-tanda awal pasien yang lebih dapat
digunakan sebagai pedoman untuk penanganan klinis.
• Perkiraan serum salisilat;
1. gambran level awal dapat dilihat pada 2 jam setelah masuknya racun, dan
test dapat diulan 6 jam kemudian. Kadar serial dapat dimonitoring sampai
terjadi penurunan level salisilat.
2. keracunan yang nyata dapat berlangsung cepat karena overdosis yang akut,
dan terjadi sebelum 6 jam.
3. kadar salisilat < 30mg % (bukan kadar toksik) yang digambarka kurang 6
jam setelah masuknya racun, tidak menyingkirkan terjadinya keracunan.

• alkalinisasi urine diindikasikan untuk pasien resiko dan kadar salisilat > 30 mg
%;
1. salisilas adalah asam yang di ekskresi lewat urin dan meningkat karena
ionisasi
2. ginjal hanya menyerap salisilat yang tidak terionisasi; setelah urin
leralkalinisai.
3. jika PH urin meningkat sampai 8, maka ekskresi salisilat dalam urin akan
meningkat 10-20 kali.

• hemodialisa paling efektif untuk menurunkan serum salisilat. Indikasi


hemodialisa a.l;
1. kadar serum salisilat >100mg%
2. gangguan keseimbangan asam basa yang berat dg
PH 6,5 – 6,8
4. cardiac toxicity ok ARDS
5. gagal ginjal, gagal nafas
6. tanda-tanda neurologist; psikosis, confusion, kejang, atau koma
7. peningkatan kadar serum salisilat tetap terjadi meskipun telah dilakukan
alkalinisasi urin maupun terapi dengan active charcoal.

Management
Supportive measure
• pasien dengan penurunan kesadaran dan tanda vital yang buruk harus di
tempatka di P1
• pelihara jalan nafas, pasang intubasi bila reflel muntah sudah hilang (juga
diantisipasi dengan gastric lavage), atau pasien dengan hipoksemia.
• Berikan O2 100 % melalui NRBM
• Monitoring ECG, pulse oksimetri, dan vital sign tiap 5-15 menit.
• Pasang gastric lavage bila kejadian kurang dari 1 jam.
• Pasang infuse
• Berikan cairan kristaloid untuk memperbaiki perfusi perifer
• Laboratorium;
1. kadar serum salisilat
292

2. analisa gas darah


3. darah lengkap, test fungsi ginjal, elektrolit, fungsi hati.

Drug terapy
• aktif chargo, dg dosis 1g/kgbb
• sodium bikarbonat, dosis bolus 1-2 mmol/kgbb 8,4% NaHCO3

infusion; 150 mmol NaHCO3 8,4 %(150ml) dalam 850 cc D5, mulai 1,5 -2
kali maintenance dititrasi sampai PH 7.5-8

monitor kadar serum potassium dengan laborat atau ECG monitor.

Kontraindikasi pemberian natrium bikarbonat

• bila salisilat mengakibatkan udem pulmonal non cardiogenic, yang dapat


menyebabkan cairan overload.

• Terapi bikarbonat per oral akan meningkatkan absorbsi salisilat

• Pasien yang telah mendapatkan azetazolamid yang dapat memperburuk


asidosisnya sehingga meningkatkan kadar salisilat di otak.

Disposisi

• untuk keracunan yang berat dan terdapat peningkatan kadar serum salisilat
yang cukup tinggi, pasien di disposisi ke ICU/HD

• untuk kasus yang lebih ringan dapat dirawat di ruangan .

85. Pulmonal Emboli

Caveats
• Thrombotic Pulmonary Embolism (PE) bukan merupkan penyakit yang
terpisah dari dada, namun merupakan komplikasi venous thrombosis. Deep
venous Thrombosis (DVT) dan PE merupakan bagian dari proses yang sama,
venous thromboembolism.
• DVT pada kaki ditemukan pada 70% pasien PE. Sebaliknya PE terjadi pada
50% dengan DVT di kaki (yang melibatkan popliteal dan atau vena yang lebih
proksimal) dan kurang sering terjadi ketika thrombus didapatkan pada vena
daerah betis.
• Faktor predisposisi PE dan DVT sama dan memenuhi trias Virchow stasis
vena, cedera dinding vena dan peningkatan koagulabilitas darah. (tabel 1)

Tabel 1 : Beberapa Faktor Resiko yang sering didapatkan pada Venous


Thromboembolic Disease
293

Stasis aliran Immobilisasi lama meliputi perjalanan yang lama, stroke


Trauma mayor atau pembedahan dalam 4 minggu
Gagal jantung kongestif
Obesitas
Peningkatan usia
Cedera spinal cord
Shock syndromes
Kerusakan endotel Trauma local
Pembedahan pada kaki dan pelvis
Vaskulitis
Luka bakar
Shock elektrik
Infeksi
Riwayat thromboembolisme sebelumnya
Abnormalitas koagulasi Polysitemia
Abnormalitas platelet
Obat kontrasepsi oral yang tinggi estrogen
Neoplasia malignan
Defisiensi antitrombin III, protein C atau S
Catatan : pada pembedahan serial, resiko venous thrombolisme meningkat dengan
cepat seiring usia, panjangnya waktu pembiusan, dan adanya previous venous
thromboembolism atau kanker. Insiden tertinggi terdapat pada px yang akan menjalani
pembedahan emergency setelah trauma (cth fraktur panggul) dan pembedahan pelvis.
Pada medical series, venous thromboembolism sering terjadi pada cardiorespiratory
disorder (cth gagal jantung kongestif, irreversible airway disease), dengan immbilitas
kaki (disebabkan oleh stroke dan penyakit neurologik lain), juga oleh kanker.

Tabel 2 : Bentuk klinis Embolisme Paru


Emboli Paru Riwayat Obstruksi vaskular Manifestasi
Akut minor Singkat, onset < 50% Dispneu dengan atau
mendadak tanpa nyeri pleuritik dan
hemoptisis.
Akut massif Singkat, onset > 50% Right heart strain dengan
mendadak atau tanpa instabilitas
hemodinamik dan
Subakut massif Beberapa > 50% sinkop.
minggu Dispneu dengan right
heart strain
Catatan :
1. PE massif tanpa hipoksemia jarang terjadi jika arterial oxygen tension (PaO2)
normal, merupakan diagnosis alternative harus dipertimbangkan.
2. Walaupun PE mengganggu eliminasi karbondioksida, hiperkapnia jarang
terjadi.
3. Px dengan PE massif jelas akan Nampak dispneu namun tidak orthopnoeic.
4. Sub akut massif PE menyerupai gagal jantung atau indolent pneumonia,
terutama pada lansia.

Catatan : Identifikasi factor resiko juga dapat memandu keputusan penggunaan


profilaksis dan pengulangan pemeriksaan pada kasus borderline.
294

• Case Fatality rate kurang dari 5% pada px yang stabil


hemodinamikanya, dan pada px dengan hipotensi persisten adalah sekitar 20%.
• PE dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe utama (tabel 2)
• Hampir semua px PE akan memiliki satu atau lebih manifestasi sbb:
1. Dispneu dengan onset mendadak
2. Takipneu (>20x/menit)
3. Nyeri dada (pleuritik atau substernal)
Catatan : jika manifestasi ini juga diserta tanda pada EKG yaitu right ventricular
strain dan atau gambaran radiologist menunjukkan tanda plump hilum, infark
pulmonal atau oligaemi, kemungkinan terjadinya PE adalah tinggi. Kemudian
keadaan ini akan menjadi factor resiko untuk venous thromboembolism dan
arterial hipoksemia tanpa hipokapnia. Sebaliknya tidak munculnya 3 manifestasi
tersebut akan menyingkirkan dx PE.

Tabel 3 Estimasi pretest kemungkinan klinis untuk menderita PE


Tinggi ( kemungkinan > Onset mendadak dispneu, takipneu, atau nyeri dada
85%) dan paling tidak memenuhi 2 keadaan ini :
Adanya factor resiko yang signifikan (immobilitas,
fraktur kaki, pembedahan mayor)
Pingsan dengan tanda baru right ventricular overload
pada EKG
Tanda kemungkinan DVT pada kaki (nyeri unilateral,
nyeri tekan, eritema, warmth, atau pembengkakan
Tanda radiografik infark, plump hilum, atau
oligaemia

Intermediate (kemungkinan Tidak memenuhi criteria kemungkinan


15-85%) kecenderungan yang tinggi ataupun rendah

Rendah (kemungkinan < Tidak adanya onset mendadak dispneu dan takipneu
15%) serta nyeri dada
Dispneu, takipneu, atau nyeri dada ada, namun dapat
dijelaskan oleh adanya kondisi lain
Tidak adanya factor resiko
Radiografi yang abnormal dapat dijelaskan oleh
kondisi yang lain
Antikoagulasi yang adekuat (INR > 2 atau aPPT >
1,5 kali control) selama minggu sebelumnya.

Catatan : Px dengan kemungkinan PE yang rendah, jika di tes dengan D-Dimer


ELISA Assay yang negative, maka dapat menyingkirkan dx PE dengan meyakinkan.
Dengan kontras, jika D-dimer positif pada px dengan probabilitas pretest yang rendah,
maka px harus direevaluasi. D-dimer yang negative tidak dapat digunakan secara
meyakinkan untuk menyingkirkan PE pada px dengan resiko tinggi atau intermediate.

Manajemen PE massif dengan tanda instabilitas hemodinamik


• Monitoring tanda vital pada area critical care
• Berikan oksigen via non-rebreather mask atau intubasi jika tidak mampu
untuk mempertahankan oksigenasi.
295

Catatan : intubasi dapat menurunkan keadaan hemodinamik dengan menyebabkan


impending venous return.
• Pasang 2 jalur IV ukuran besar dan kirim darah untuk pemeriksaan. Mulai
resusitasi cairan.
Catatan : terapi trombolitik dipertimbangkan, dan jalur antecubital lebih disukai.
• Jika BP masih rendah walaupun telah dilakukan resusitasi, maka mulai
pemberian inotropik.
Catatan : inotropik mungkin tidak akan berefek selain mencetuskan disritmia
ketika cardiac output menurun, dilatasi ventrikel kanan akan menjadi hipoksik dan
akan mendekati stimulasi hampir maksimal dari konsentrasi tinggi katekolamin
endogen. Penggunaan yang bijaksana dari IV Noradrenalin dititrasi terhadap
peningkatan moderat BP mungkin akan bermanfaat.
• Berikan analgesik
Catatan : Opiates harus digunakan dengan hati-hati pada px hipotensi.
• Kontak TKV untuk MRS pada CT ICU

Tips khusus Bagi Dokter Umum :


• Ingat bahwa PE termasuk dalam 6 penyebab nyeri dada
yang mengancam nyawa.
• Manifestasi klinik PE tidak spesifik, namun PE

Investigasi General Emergency


• Hasil pemeriksaan EKG pada PE:
1. bisaanya non-spesifik
2. Non-spesifik ST depresi dan inverse gelombang T merupakan penemuan
yang paling sering ditemukan.
3. pada PE minor, tidak didapatkan stress hemodinamik, yang ada hanyalah
sinus takikardi.
4. pada PE massif akut atau subakut, bukti adanya right heart strain dapat
terlihat a.l :
a. rightward shift aksis QRS
b. Transient RBBB
c. Inverse gelombang T pada lead V1-3
d. P pulmonal
e. Classical S1Q3T3 (hanya terjadi 12%)
5. EKG normal (6%)
6. nilai utama EKG adalah meneksklusikan diagnosa potensial yang lain,
seperti infark miokard atau perikarditis. Lihat gambar 1 untuk EKG pada
PE
• BGA : khas : penurunan PaCO2 dan PaCO2 yang normal atau menurun karena
hiperventilasi. PaO2 sering tidak pernah normal pada PE , kecuali pada minor
PE, terutama karena hiperventilasi. Pada kasus tersebut pelebaran gradient
alveolo-arterial PO2 (AaPO2 > 20 mmHg) dapat lebih sensitive daripada
PaO2 sendiri (lihat bab Acid-base Emergencies and useful formulae)
296

hipoksemia dan pelebaran AaPO2 dapat jelas terjadi karena banyak penyebab.
BG, dapat meningkatkan kecurigaan PE namun tidak sufficient untuk
mengeksklusi diagnosa PE.Catat FiO2 pada saat blood sampling.
• FBC
• Urea/elektrolit/kreatinin
• DIVC Screen : D-dimer assay memiliki sensitivitas 85-94% untuk
mendiagnosa PE. Spesifisitasnya sekitar 67-68%. D-dimer ELISA yang
normal berguna untuk menyingkirkan dx PE pada px dengan probabilitas
pretest PE yang rendah atau memiliki non-diagnostik lung scan.
• GXM 4-6U packed cells
• CXR : pada PE :
1. secara umum, CXR tidak spesifik untuk diagnostic PE, namun
membandingkan dengan foto terdahulu akan memberikan manfaat.
2. hasil dapat menunjukkan :
a. Normal (~ 40%)
Catatan : film yang normal dapat terjadi pada semua tipe PE akut.
Namun hasil yang normal pada px severe acute dyspnoea tanpa
wheezing sangat mencurigakan adanya PE.
b. Bukti adanya infark pulmonal : opasitas perifer, kadang berbentuk
baji dengan apeks menunjuk pada hilum atau semisirkular dengan
basis pada permukaan pleural. (Hampton’s hump)
c. Oligaemia pulmonal fokal pada sebagian paru yang terkena emboli
(Westermark sign) , namun sulit untuk terlihat pada foto yang
didapat pada keadaan akut.
d. Atelektasis
e. Efusi pleural kecil
f. Diafragma yang meningkat
Catatan : gambaran d, e dan f memiliki spesifisitas yang rendah untuk
PE
g. infiltrate yang terlokalisir
h. konsolidasi
i. ‘plump’ pulmonary arteries pada PE massif
3. CXR bernilai untuk mengeksklusi kondisi yang menyerupai PE
(pneumothorax, pneumonia, gagal jantung kiri, tumor, fraktur kosta, efusi
pleura massif, kollaps lobar), namun PE dapat terjadi bersamaan dengan
proses kardiopulmonal lainnya.
Pemeriksaan Definitif
• Lung scintigraphy
1. perfusi yang normal sangant penting untuk menyingkirkan dx yang relevan
dengan recent PE karena occlusive PE pada semua tipe akan menyebabkan
defek perfusi.
2. namun banyak kondisi selain PE seperti tumor, konsolidasi, gagal jantung
kiri, lesi bullous, fibrosis paru, dan obstructive airway disease, yang dapat
menyebabkan defek perfusi.
3. PE bisaanya menyebabkan defek perfusi namun tidak dengan ventilasi
(‘mismatch’)dimana kondisi lain menyebabkan defek perfusi pada area
yang sama dengan defek perfusi (‘matched defects’).
4. probabilitas defek perfusi sebagai penyebab PE dapat di nyatakan sebagai
tinggi, intermediate, atau rendah tergantung pada tipe scans abnormalitas
(tabel 4).
297

Tabel 4 : probabilitas (%) underlying PE menurut Kriteria penelitian PIOPED


Probabilitas Scan
Kemungkinan
Normal/ Non-diagnostik
Klinis Tinggi
sangat rendah Rendah Intermediate
Rendah 2 4 16 56
Intermediate 6 16 28 88
Tinggi 0 40 66 96

• Computed Tomography (CT, spiral atau electron beam)


1. merupakan modalitas non invasive untuk menggantikan standar lung
scintigrafi
2. Keuntungan :
a. lebih cepat
b. kurang rumit
c. kurang tergantung pada kemahiran operator dibanding dengan
pulmonary angiografi
d. memiliki insufficient examination sama dengan pulmonary
angiografi (5%), dibanding dengan scintigram non-diagnostic (70%).
e. Kesamaan interpretasi antar ahli yang lebih tinggi dibandingkan
dengan scintigrafi.
f. Gambaran parenkim paru dan pembuluh darah besar sangat
mungkin didapatkan (cth massa pulmonal, pneumonia, emfisema, efusi
pleura, adenopathy mediastinal,) dan dx dapat dibut jika PE tidak
didapatkan. CT membantu mendiagnosa alternative adanya dispneu, juga
dapat mendiagnosa dilatasi ventrikel kanan, yang mnunjukkan PE yang
berat dan fatal.
3. CT memiliki spesifisitas dan sensitivitas 90% dalam mendiagnosa PE
(lebih besar dibandingkan dengan lung scintigrafi) pada arteri pulmonal
utama, lobar dan segmental, emboli subsegmental juga dapat terlihat.
Sensitivitas CT akan turun bila digunakan untuk mendeteksi non-diagnostic
lung scan.
4. Saat ini, karena ada sumber yang bermakna yang menyatakan CT
memberikan hasil yang false negative dan false positif, maka CT belum dapat
digunakan sebagai Gold Standart yang baru untuk menggantikan angiografi.
Pulmonary angiografi
1. Masih merupakan Gold standart
2. indikasi : (1) jika kardiovaskular kollaps dan terdapat hipotensi , dan (2) ketika
pemeriksaan lain tidak dapat membuat kesimpulan
3. Kerugian : (1) avaibilitas yang terbatas, dan (2) mortalitas kecil (< 0,3%)
namun merupakan resiko definitive.
4. kontraindikasi relative : (1). Kehamilan, (2) resiko perdarahan signifikan, (3)
insufisiensi renal, dan (4) thrombus right heart yang diketahui
Echocardiografi : dapat digunakan secara cepat pada px yang critically ill, dengan
kecurigaan PE massif, juga dengan kollaps kardiovaskular, untuk menyingkirkan dx
banding, atau dengan menegakkan dx dengan menemukan clots pada arteri pulmonal
sentral pada right heart. Jika ada bukti right heart strain tanpa clots pada echo, spiral
CT atau pulmonary angiografi harus dilakukan.
Suspek PE
298

• Mulai IV heparin 5,000 U bolus atau SC fraxiparine 0,4ml untuk


BB<50kg, 0,5ml untuk BB 50-65kg, 0,6ml untuk BB > 65kg.
• Lakukan investigasi
• Kontak general medicine atau bagian paru.
• MRS-kan px ke Bagian Paru

86. Pulmonal edema, Kardiogenik

Caveats
• Mekanisme patogen utama adalah sympathetic overdrive dengan distribusi
sentral volume darah yang dihasilkan oleh peningkatan left ventricular end-
diastolic volume and pressure.
• Karena tidak ada overload volume, manajemen dengan penggunaan
vasodilator harus menjadi dasar terapi utama dibandingkan dengan diuretic.
• Target terapi edema pulmonal adalah resolusi sympathetic drive, yang ditandai
dengan normalnya nadi, restorasi ekstremitas yang kering dan hangat serta
kenyamanan px.
• BP akan menjadi panduan untuk mengetahui keberhasilan terapi dibanding
dengan target terapi itu sendiri.
299

• CPAP mask adalah efektif, namun membutuhkan px yang sadar dan


kooperatif, penggunaannya pada edema pulmonal kemungkinan sangat
terbatas.

Diagnosa edema pulmonal


• Dx dibuat secara klinis, a.l:
1. distress respirasi yang severe, dengan ketidakmampuan mempertahankan
posisi berbaring/supine.
2. ekstremitas yang dingin dan lembab
3. thready pulse
4. SpO2 (banyak pasien yang parah yang memiliki saturasi sekitar 80-90%),
karena true hipoksia vasokonstriksi perifer mempengaruhi sensorik.
• Manifestasi klinis yang menandakan impending respiratory failure
adalah sebagai berikut :
1. AMS, cth kebingungan, gangguan sensorium
2. usaha nafas yang lemah dan tidak terkoordinasi
3. desaturasi yang progresif, ditunjukkan dengan pulse oksimetri
4. jika BGA cito menunjukkan:
a. PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg
b. Normalisasi PaCO2
• Karena deteriorasi dapat terjadi dengan cepat, keputusan
klinis untuk melakukan intervensi yang agresif harus dibuat tanpa pemeriksaan
BGA. Nilai ambang yang rendah untuk intubasi dan ventilasi mekanik harus
dilakukan untuk menyelamatkan nyawa.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum


• Dudukkan px edema pulmonal pada posisi tegak dan
berikan suplemen oksigen
• Pasang jalur IV dan berikan IV furosemide 40-80mg
bolus
• Berikan SL GTN atau nitrogliserin spray jika tersedia

Manajemen
 Harus ditangani pada area critical care
 Monitoring penuh, pasang defibrilator
 Periksa ABC dan lihat kemungkinan untuk dilakukannya intubasi jika terjadi
impending respiratory failure.
 Berikan oksigen 100% dengan non-rebreather reservoir mask
 Pasang akses IV
 Lakukan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya inferior/right ventricular
infarction (yang merupakan kontraindikasi nitrat)
 Cek Darah: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, dan troponin T
 BGA diambil sebagai dasar penilaian
 CXR portabel
 Kateterisasi untuk mengukur urin output.
300

Terapi farmakologis
 Pilihan Obat
1. Nitrogliserin : 10-200µg/menit. Mulai dengan 10 µg/menit, perlahan
meningkat sampai 5 µg setiap 5 menit.
Titrasi untuk respon dan efek BP. Tidak ada monitoring invasive yang
diperlukan. Turunnya BP dapat terjadi cepat dengan menggunakan dosis
tinggi. Lakukan monitoring berlanjut terhadap BP. Infus harus diturunkan
ketika MAP mencapai 90mmHg.
2. nitropruside : 0,25-10 µg/kg/menit. Mulai pada dosis rendah dan titrasio
sampai berespon. Merupakan vasodilator yang sangat kuat. Monitoring
invasive biasanya diperlukan. Perawatan harus dilakukan untuk mencegah
penurunan BP.
3. Hydralazine : IV 10mg setiap 30 menit
Vasodilatasi kuat, efek dapat bertahan sementara waktu. Harus dilakukan
untuk monitoring px, terutama bila dikombinasi dengan obat lain.
 Obat lainnya
1. furosemide : 40-80 mg IV bolus
Efektif namun bervariasi pada onset efek yaitu antara 20 menit sampai 2
jam. Efek tidak dapat dititrasi. Efeknya tidak fisiologis. Dosis tinggi
diperlukan pada px gagal ginjal.
2. Morfin : 0,1 mg/kg. Diberikan sebagai bolus tambahan 1 mg. beberapa
regimen dimulai dengan IV morfin 3-5mg. merupakan venodilator yang
lemah dibanding dengan obat lain, tidak mudah dititrasi, juga menurunkan
respiratory drive. Hindari bolus dalam jumlah besar karena dapat
menyebabkan apneu.
 Obat Oral : dapat diberikan bila akses IV terlambat atau tidak
mungkijn dilakukan. Dapat ditambahkan sebagai kombinasi untuk edema
pulmonal akut.
1. Gliseril trinitrat : 0,5 -1,5 mg dapat diberikan SL. Dalam bentuk tablet atau
aerosol spray. Efek serupa dengan bentuk IV .
2. Captopril : SL captopril 6,25 mg atau 12,5mg. Dosis tergantung pada BP
dan bila digunakan secara tunggal atau dengan kombinasi dengan obat
lain. Efek tidak mudah dititrasi.
 Regimen Kombinasi
1. IV GTN ditambah dengan Furosemide : Furosemid diberikan dalam stat
dose, sedangkan IV GTN diberikan sebagai infus yang dititrasi. Dosis
infus IV GTN harus lebih rendah.
2. IV GTN ditambah dengan Captopril : SL captopril diberikan sebagai stat
dose, IV GTN diberikan seperti diatas.
3. Furosemide ditambah dengan morfin : kombinasi tradisional.

Hipertensi pada Edema Pulmonal


 Sering sulit dijelaskan apakah hipertensi menjadi penyebab edema
pulmonal karena hampir semua pasien memiliki respon simpatetik yang akan
menyebabkan peningkatan BP.
 Manifestasi yang menunjukkan bahwa hipertensi merupakan
penyebab primer a.l:
1. Riwayat hipertensi berat yang tidak terkontrol.
2. Florid fundal changes, retinopati grade III atau IV
301

 Jika bukti menunjukkan adanya krisis hipertensi sebagai penyebab


edema pulmonal, manajemen kasus tersebut harus melibatkan penggunaaan
vasodilator dengan tujuan untuk menurunkan BP secara cepat namun aman.

Hipotensi pada Edema Pulmonal


 Hipotensi mengindikasikan adanya gagal jantung yang severe dengan cardiac
output yang rendah (Killip Class IV). Manajemen edema pulmonal dengan
hipotensi memberikan tantangan yang besar bagi seorang dokter emergency.
 IV dobutamin (5-20 µg/kg/menit) atau IV Dopamin (5-20 µg/kg/menit) dapat
ditambahkan pada regimen terapi edema pulmonal untuk membantu
mempertahankan BP setidaknya 90mmHg SBP. Pada situasi seperti itu, agent
yang diberikan pada edema pulmonal harus dalam bentuk IV, dengan kerja
yang cepat serta dapat dititrasi dengan efektif.
 Pasien dapat diintubasi lebih awal karena sebagian besar obat yang digunakan
pada edema pulmonal dapat menyebabkan penurunan BP. Hindari obat yang
meiliki efek negative inotropik seperti thiopentone.
 IV etomidate merupakan pilihan baik karena stabil terhadap kardiovaskular.

CPAP pada Edema pulmonal


CPAP (Continous Positive Airway Pressure) ventilasi dapat bermanfaat pada px yang
tidak berespon terhadap suplementasi oksigen. CPAP akan membantu mencegah
kollaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas. Tekanan dimulai 5-10 cmH2O dan
harus disesuaikan untuk mencegah penurunan cardiac output dan BP. Pasien harus
selalu sadar, kooperatif, dan memiliki usaha nafas yang baik untuk menjalani terapi
ini.

Penempatan
 MRS-kan px dibawah ini pada CCU:
1. pasien yang diintubasi
2. concomitant ACS
 MRS-kan px yang membutuhkan CPAP pada high Dependency
unit
 MRS-kan px sisanya pada bangsal umum kardiologi.

87. Renal Emergencies

Hiperkalemia
Caveats :
 Severitas hiperkalemia terkait dengan kadar potassium plasma namun
tergantung juga pada variabilitas antar pasien. Perkembangan hiperkalemia
dapat berefek secara signifikan pada keadaan klinis pasien. Jangan menunggu
selesainya pemeriksaan kadar potassium untuk memberikan terapi bila
pemeriksaan klinis serta EKG menunjukkan hiperkalemia.
302

 Manifestasi klinis dapat menyebabkan protean. Perubahan EKG jika terjadi


akan sangat berguna namun cukup sulit untuk dinterpretasi dan mungkin juga
tidak muncul pada beberapa pasien hiperkalemia berat. Asidosis metabolic dan
hipokalsemi dapat memburuk pada severe hiperkalemi.
 Pada setting klinik (cth gagal ginjal kronis, diabetic neuropathy) dengan
perubahan EKG konsisten dengan hiperkalemi berat (lihat gambar 1), akan
lebih tepat untuk mempertimbangkan terapi empiris jika hasil potassium
serum tidak bisa didapatkan secara cepat.
 Kadar potassium serum lebih besar dari 5,5 mmol/l dipertimbangkan sebagai
hiperkalemi. Pseudohiperkalemia banyak terjadi karena hemolisis
ekstravaskular. Penyebab lain meliputi trombositosis berat dan lekositosis.
 Beratnya hiperkalemi adalah sebagai berikut:
Ringan : kadar potassium < 6,0 mmol/l dan EKG dapat normal atau hanya
menunjukkan peaked T wave.
Moderat : kadar potassium 6,0-7,0 mmol/l dan EKG dapat menunjukkan
peaked T waves
Severe : kadar potassium 7,0-8,0 mmol/l dan EKG menunjukkan pendataran
gelombang P serta pelebaran QRS; 8,0-9,0 menunjukkan fusi QRS dengan
gelombang T (sine wave) yang menyebabkan disosiasi A-V, disritmia
ventrikel, dan kematian.

4 langkah manajemen Hiperkalemi

Langkah 1 : Stabilisasi potensial membrane


 Berikan Kalsium Kloride atau glukonat 10% : 10-20ml IV selama 3-10 menit,
sampai maksimum 20ml. Onset : 1-2 menit. Ulangi dosis yang sama jika tidak
ada perubahan. Durasi : 30-60 menit.
Catatan : Kalsium IV digunakan jika ada bukti EKG yang menunjukkan
hiperkalemia, kelemahan neuromuscular yang signifikan atau potassium serum
>7,0 mmol/l. hati-hati pada pasien yang memakai digoksin karena akan
menyebabakan kercunan digitalis yang berat. Pastikan jalur IV berlaku dengan
baik karena ekstravasasi kalsium pada jaringan subkutan dapat menyebabkan
nekrosis kulit.

Gambar 1 : manifestasi Hipokalemi dan hiperkalemi pada EKG


Langkah 2 : perpindahan potassium ECF ke ICF
 Berikan Dekstrose/insulin : 40-50 ml D50W IV selama 5-10 menit dan 10 unit
insulin regular sebagai bolus terpisah. Onset : 30 menit, durasi : 4-6 jam.
Direkombinasikan setelah terapi sodium bikarbonat.
 Berikan sodium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV sebagai bolus selama 5 menit
pada pasien dengan asidosis metabolic moderat sampai severe; ulangi setelah
5 menit pada asidosis metabolic. Onset : 5 menit, durasi 1-2 jam.
Catatan : lebih bermanfaat pada pasien asidosis yang hebat (dapat tidak berefek
pada pasien non-asidosis). Harus digunaikan dengan hati-hati pada pasien CRF
karena dapat menyebabkan overload cairan dan memprovokasi hipokalsemi tetani
atau kejang karena alkalosis akut
303

 Berikan salbutamol : tambahkan 5 mg 3-4 ml salin dan nebulisasikan


selama 10 mneit. Onset : 30 menit, durasi 2 jam. Salbutamol dapat digunakan
dengan hati-hati dengan iskemic heart disease yang dicurigai atau telah ada.

Langkah 3 : Hilangkan potassium dari tubuh


 Resonium A: 15 g PO 4 -6 jam sekali. Onset 1-2 jam, durasi : 2 jam.
Perhatian pada pasien dengan konstipasi atau ileus yang signifikan.
 Hemodialisis (kontak renal medicine dulu): onset : dalam menit, durasi :
4jam.

Langkah 4 : hindari peningkatan potassium lebih lanjut


 Review semua medikasi : cth Span K, ACE inhibitor, beta blocker.
 Review Diet dan KIE.
Catatan: Langkah 3a dan 4 bisaanya mencukupi untuk hiperkalemi ringan dan
moderat. Pengulangan pemeriksaan kadar potassium serum dapat digunakan untuk
memastikan tidak adanya peningkatan potassium dan peningkatan kadar
potassium serum.

CRF dengan overload cairan dan tidak dalam dialysis


 Tangani pada area critical care
 Tempatkan pasien pada posisi tegak
 Berikan oksigen aliran tinggi
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-10 menit, pulse oksimetri
 Sisakan salah satu pembuluh darah di lengan untuk akses arterio venous
(jangan digunakan untuk mengambil darah)
 Lakukan tes darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, dan BGA juga enzim
kardiak jika ada kecurigaan iskemik kardiak.
 Terapi obat:
1. morfin : 2,5-5 mg IV ( jika tidak terdapat edema pulmonal)
2. GTN 0,5 mg SL atau nitroderm 5-10 patch atau IV 10-200µg/menit.
3. Felodipine 2,5mg PO jika BP tinggi
4. Furosemide 120-240 mg IV
 Pertimbangkan dialysis jika tidaka ada overload cairan yang hebat,
hiperkalemi, asidosis metabolic atau pasien yang tidak respon terhadap pada
terapi diatas.

CRF dengan overload cairan tanpa adanya akses intravena yang tercapai
 Lakukan 4 langkah diatas
 Terapi obat
1. Morfin 5-10mgIM
2. GTN 0,5mg SL atau nitroderm 5-10mg patch
3. Felodipine 2,5mg PO jika BP tinggi
4. Furosemide 120-240 mgPO

Asidosis Metabolik Yang Berat


Caveats
 Pasien sering muncul dengan gejala yang nonspesifik dengan efek klinik yang
tertutupi oleh tanda dan gejala dari penyakit lainnya.
304

 Asidosis metabolic harus dicurigai pada pasien dengan hiperventilasi, AMS


dan instabilitas hemodinamik.

Manajemen
 Terapi suportif
1. Tangani pada area critical care
2. pastikan patensi jalan nafas
3. Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-10 menit
4. Pasang jalur IV dengan NS
5. Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, GDA, BGA, osmolalitas serum,
urinalisis, EKG
6. X ray : tidak ada manfaat yang spesifik pada keadaan asam basa. Namun
KUB dapat digunakan untuk mengidentifikasi substansi yang telah ditelan,
cth : tabelt besi, atau masalah GI yang menyebabkan ketidakseimbangan
asam basa, seperti obstruksi bowel atau iskemik bowel.

Prioritas Keputusan
 Ketika hasil lab telah ada, dan akurat, 3 langkah untuk
melanjutkan evaluasi keadaan asidosis. Lihat bab Acid Base Emergencies dan
rumus yang disarankan untuk lebih detilnya.
1. tentukan abnormalitas asam basa primer dan sekunder
2. Perhitungkan osmolal gap untuk mendeteksi adanya low molecular weight
osmotically active substance (lihat rumus yang disarankan).
3. review kadar potassium yang berhubungan dengan pH abnormal (lihat bab
Useful Formulae).

Terapi Spesifik
 Terapi bikarbonat adalah untuk mengembalikan keadaan asidosis
organic yang hebat serta yang dapat kembali dengan mudah. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan pH arterial diatas 7,2. Tidak perlu untuk mengkoreksi pH
jika pH 7,2 atau lebih kecuali ada maalah yang mengancam nyawa yang perlu
ditangani. Tidak ada rumus yang sempurna namun rumus dibawah ini dapat
digunakan : Dosis NaHCO3 [mEq] = ([HCO3-] yang diinginkan – [HCO3]
yang terukur) x 50% berat badan dalam kg. setengah dosis diberikan pada
awal, sedang sisanya disesuaikan dengan hasil lab. Jangan bertujuan untuk
mengkoreksi bikarbonat sampai pada kadar yang normal.
Dosis : terapi bolus direkomendasikan hanya pada asidosis berat atau jika ada
hemodinamik compromise. Pasien dengan asidosis yang kurang mengancam
nyawa dapat diterapi dengan infus IV bicarbonate. Tambahkan 100-150mEq
NaHCO3- (2-3 ampul NaHCO3- 8,4%) pada 1 liter D5W serta berikan selama
1-2 jam dengan mengulangi BGA sebagai pedoman terapi.
Komplikasi potensial; terapi adalah hipernatremi, hiperosmolalitas, overload
volume, hipokalemi, dan alkalosis posttreatment.

Indikasi Dialisis
 Edema pulmonal severe
 Hipertensi berat tidak terkontrol dari overload cairan yang severe
tidak berespon terhadap diuretic.
 Hiperkalemi
305

 Asidosis metabolic yang berat


 Beberapa keracunan, cth : methanol, ethylene glikol, salisilat
(severe)
 Uremia, termasuk perikarditis dan ensefalopati

Masalah yang Terkait dengan Dialisis

Hemodialisis
A. komplikasi terkait akses vascular
 Perdarahan
1. tekan pembuluh darah namun jangan menyumbatnya dengan
tekanan yang berlebihan
2. catat adanya thrill
3. lanjutkan dengan konsultasi pada Dialysis Access Team serta
Renal medicine.
 Loss of thrill in shunt : konsultasi cepat pada Dialysis Access
Team serta Renal medicine.
 Infeksi
1. sementara tanda klasik sering muncul, namun pasien juga dapat
muncul dengan keluhan demam saja.
2. lakukan FBC dan kultur darah, berikan dosis awal antibiotik, cth:
IV ceftazidime 1-2g.
3. MRS pada Renal medicine;
B. Komplikasi terkait dengan non-vaskular
 Hipotensi
1. hipotensi post hemodialisis dapat terjadi karena penurunan
volume intravaskuler di sirkulasi. Cek seberapa banyak cairan
hilang pada saat melakukan hemodialisa.
2. masalah yang serupa juga terjadi pada peritoneal dialysis,
yaitu hilangnya cairan selama peritoneal dialisa.
3. sebagian besar kasus membutuhkan observasi setelah dialisa,
namun juga membutuhkan cairan IV.
4. Pertimbangkan dan eksklusikan :
a. Occult Haemorrhage : lakukan PR untuk
mendeteksi perdarahan GIT.
b. AMI akut/ disritmia atau tamponade jantung
c. Hiperkalemi yang mengancam nyawa; berikan
terapi empiris.
d. Infeksi.
e. Emboli udara atau pulmonal dan hemolisis akut
saat hemodialisis
 Dispneu
1. sebagian besar karena overload volume: pertimbangkan gagal
jantung mendadak, tamponade jantung, efusi pleural, asidosis
berat, anemia berat (yang berasal dari kehilangan darah akut dan
kronis) serta sepsis.
2. Eksklusi MI akut ; juga emboli udara dan emboli pulmonal atau
dan hemolisis pada hemodialisis.
 Nyeri dada
306

1. sebagian besar iskemik yang berasal dari underlying IHD dan di


eksaserbasi dengan hipotensi transient dan hipoksemia terkait
dengan proses dialysis. Juga pertimbangkan emboli pulmonal,
hemolisis akut dan emboli udara pada hemodialisis.
2. manajemen : EKG, monitoring, enzim kardiak.
3. Konsultasi dengan renal medicine dan atau bagian kardiologi.
4. pertimbangkan penyebab nyeri dada non iskemik seperti
pericarditis, penyakit paru/pleural, refluks esofagitis, gastritis atau
ulkus peptikum.
 Disfungsi Neurologi
1. Eksklusi abnormalitas elektrolit, infeksi, katastropik intracranial
mayor.
2. Manajemen :
a. Cek GDA, urea/elektrolit/kreatinin, BGA
b. Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse
oksimetri
c. Cari abnormalitas neurologik fokal baru dan lakukan CT
scan
3. Kejang : terapi seperti bisaanya. Konsul renal medicine dan atau
bagian neurology.

Peritoneal Dialisis
Komplikasi terkait dengan Dialisis
 Peritonitis
1. Cloudy Effluent, nyeri abdomen non-spesifik, malaise, demam, dan kasus
kedinginan yang ringan sampai moderate.
2. Vomiting, nyeri hebat, syok, dan tanda klasik peritonitis pada beberapa
kasus yang severe.
3. manajemen
a. cek FBC, urea/elektrolit/kreatinin dan kultur darah
b. berikan antibiotik cth IV Ceftazidime 1-2 g
4. Informasikan pada Renal Medicine
 Kebocoran kateter
 Hipotensi
 Akut abdomen
1. karena kondisi intraabdomen yang serius yang mirip dengan peritonitis
2. konsultasi pada Renal medicine dan bedah umum.
Catatan : pasien CAPD memiliki resiko hernia abdominal/inguinal karena
peningkatan tekanan intrabdomen, serta obstruksi intestinal sekunder akibat
adhesi.
 Infeksi tunnel/kateter ext site
1. sering sulit untuk dideteksi secara klinis
2. Konsultasikan pada Renal Medicine.

88. Respiratory failure ( Gagal Nafas, Akut )

Definisi
 Tipe I : PaO2 ≤ 60 mmHg (8 kPa)
307

 Tipe II : PaCO2 ≥ 55 mmHg (7 kPa) dengan atau tanpa oksigenasi


yang rendah.

Caveats
 Pasien dengan gagal nafas tipe II saja dapat terlihat ‘nyaman namun
memperdayakan’, dimana px tidak menunjukkan takipneu. Pasien hiperkarbi
terlihat mengantuk, sedangkan pasien hipoksia sering terlihat agitasi, dan
kadang berlaku kasar. Mereka membutuhkan pemeriksaan BGA ulang untuk
monitoring PaCO2 atau end tidal CO2.
 SaO2 91% berespon terhadap PaO2 60 mmHg secara umum, namun keadaan
ini dipengaruhi pH, temperature dan level 2,3 DPG.
 Jangan memberi terapi kadar PaCO2 yang tinggi pada pasien dengan chronic
compensated gagal nafas tipe II, cth jika pH normal (pH > 7,35).
 Selalu berikan oksigen sebanyak mungkin yang diperlukan untuk mengkoreksi
hipoksia (SaO2 > 90% namun tidak > 95%)
 Gunakan pulse oksimetri untuk mentitrasi oksigenasi (SaO2) dan BGA untuk
mengevaluasi ventilasi (CO2 dan pH).
 Jika CO2 mulai meningkat karena hilangnya hipoksik drive, pasien butuh
support ventilasi dalam bentuk biphasic positive airway pressure (BIPAP),
atau Intermittent positif Pressure Ventilation (IPPV).
 Penyebab umum meliputi :
1. Edema pulmonal
2. Pneumonia
3. Emboli paru
4. asma berat/COLD
5. trauma dada
6. Tenggelam
7. Aspirasi
8. acute respiratory distress syndrome
9. Metastase pulmonal
Catatan : untuk pasien hiperventilasi dengan penemuan normal pada dada. Lihat
Hiperventilasi.
 Pertimbangkan serius dx Emboli paru pada pasien hipoksik dengan
CXR normal. Lihat bab Pulmonary Embolism.
 Pasien yang mengalami aspirasi, mungkin mengalami perunbahan
CXr yang terlambat.
 Terapi oksigen; lihat tabel 1.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


• Berikan oksigen pada semua pasien yang mengalami
dispneu sampai ambulan datang walaupun px tidak

Tabel 1 Peralatan yang digunakan untuk memberikan terapi oksigen

Peralatan Features Keuntungan Kerugian Indikasi


Nasal 1. aliran 1. mudah 1. FiO2 tidak pasti 1. pasien
prongs rendah (1-6 digunakan 2. FiO2 maksimum kurang
l/menit) 2. tidak < 40% hipoksik
308

2. FiO2 mengganggu 2. pasien


0,24-0,40 aktivitas bicara dengan
(rata-rata 3- dan makan riwayat
4%/l) 3. compliance retaining
3. FiO2 lebih baik Cos
bervariasi 1. menghasilk
an FiO2 1. kurang nyaman,
Simple mask yang lebih panas dan
1. aliran tinggi membatasi
lambat (5- daripada 2. meng 1. pasien
10l/menit) nasal prongs ganggu saat hipoksia
2. FiO2 0,35- bicara dan makan sedang yang
0,50 3. dapat tidak
(sekitar 3- menyebabkan memiliki
4%) rebreathing CO2 COLD
jika aliran di set
terlalu rendah
4. FiO2
1. FiO2 yang bervariasi
Venturi lebih tepat
mask 2. maksimum 1. butuh 2 setting
FiO2 50% dan resiko 1. terapi
1. aliran tinggi dalam oksigen
tinggi aplikasinya* terkontrol,
sampai 60 2. compliance cth gagal
l/menit yang buruk nafas tipe II
2. FiO2 0,24- 3. kemungkinan dari COLD
0,50 rebreathing
CO2 jika alran
tidak adekuat
4. Kesulitan untuk
bicara dan
1. FiO2 makan
maksimum
Non- 80% 1. compliance
rebreathing yang rendah
mask 2. obstruksi akses 1. FiO2 tinggi
1. aliran ke mulut perlu untuk
rendah (6- 3. Claustrophobic mengkoreksi
15 l/menit ) hipoksia.
2. FiO2 0,50-
0,80
* Koreksi aplikasi untuk Venturi masks
1. putuskan FiO2 yang diinginkan (24-30% : gunakan green diluter on mask ; 35-
50%; gunakan white diluter)
2. pasang oksigen pada aliran yang tepat sesuai FiO2 yang diinginkan
3. Atur ukuran venture mask sesuai FiO2 yang diinginkan.

Manajemen
• tangani pada area resusitasi
309

• berikan oksigen aliran tinggi via face mask dan monitoring jantung secara
kontinous, RR dan saturasi oksigen. Kurangi FiO2 sesuai pulse oksimetri dan
atau monitoring blood gas yang berkala setelah perbaikan pada px COLD.
Target saturasi O2 pada px COLD adalah 90-92% namun tidak > 92%. Awasi
px mungkin saja terdapat perburukan retensi CO2 dan narcosis.
• Tanda klinis perburukan retensi CO2 dan asidosis respiratori tidak dapat
dipastikan. Pemeriksaan BGA diperlukan.
• Semua px dengan COLD membutuhkan pemeriksaan BGA setelah titrasi
oksigen dan terapi awal diberikan dengan pengulangan nebulisasi
bronkodilator.
• Lakukan anamnesa secara cedpat untuk menentukan target pemeriksaan dalam
mencari penyebab dasar gagal nafas.
• Terapi penyebab yang mendasari.
• Jika px tidak membaik dengan pemberian oksigen dan terapi penyebab dasar,
pertimbangkan support ventilasi mekanis.
• Pada hipoksia berat atau gagal nafas tipe I akut, pertimbangkan CPAP (non
invasive) atau PEEP (intubasi px)
• Pada hiperkapnia berat atau gagal nafas tipe II akut, pertimbangkan IPPV atau
non invasive lain atau post intubasi.
• Pertimbangkan BIPAP bagi pasien COLD dengan retensi CO2 dan pH antara
7,26 dan 7,32. pasien dengan pH < 7,26 bisaanya membutuhkan intubasi dan
ventilasi mekanik.
• Jangan memberikan sodium bikarbonat pada px dengan pH yang rendah
karena adanya retensi CO2. hal ini akan mengeksaserbasi asidosis respiratori.

89. Sepsis / Syok septik

Definisi
310

• Infeksi : fenomena microbial yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap


adanya mikroorganisme atau invasi jaringan tubuh yang steril oleh organisme
tersebut.
• Bakteremia : adanya bakteri yang viable pada darah.
• Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) : merupakan respon
inflamasi sistemik terhadap berbagai hasil klinis yang parah. Respon tersebut
bermanifestasi dalam ≥ 2 kondisi dibawah ini :
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan
yang immature (band)
• Sepsis : merupakan respon sistemik terhadap infeksi, ditandai oleh ≥ 2 kondisi
sebagai berikut:
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan
yang immature (band)
• Severe Sepsis : sepsis yang terkait dengan disfungsi organ,
hipoperfusi, atau hipotensi. Hipoperfusi dan abnormalitas perfusi dapat terkait
namun tidak terbatas terhadap asidosis laktak, oliguri, atau perubahan status
mental yang akut.
• Syok Septik : sepsis yang diinduksi hipotensi walaupun telah
dilakukan resusitasi cairan yang adekuat selama adanya abnormalitas perfusi
yang dapat terlibat namun tidak terbatas pada asidosis laktat, oliguri, atau
perubahan status mental yang akut. Pasien yang menerima obat inotropik atau
vasopressor mungkin tidak akan mengalami hipotensi pada saat terjadi
abnormalitas perfusi.
• Sepsis yang diinduksi hipotensi: sebuah SBP < 90 mmHg atau
penurunan ≥ 40 mmHg dari baseline dimana tidak ada penyebab hipotensi
yang lain.
• Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) : adanya
perubahan fungsi organ pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostatis
tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.

Caveats
• Pada pasien lansia, anak kecil, atau immunocompromise, manifestasi klinis
dapat tidak khas tanpa adanya demam atau lokalisasi yang jelas dari sumber
infeksi. (lihat bab Geriatric Emergencies).
• Gejala sepsis meliputi demam, kedinginan dan gejala konstitusional seperti
fatigue, malaise, kecemasan atau kebingungan. Gejala ini tidak
pathognomonik untuk infeksi dan mungkin dapat terlihat dalam variasi yang
luas dari kondisi inflamasi non-infeksi.
• Abnormalitas tanda vital seperti takipneu, takikardi dan peningkatan pulse
pressure dapat menunjukkan sepsis walaupun tidak didapatkan demam.
Catatan : pada tahap awal sepsis, cardiac output dipertahankan dengan baik atau
meningkat, berakibat pada kulit dan ekstremitas yang hangat. Seiring perjalanan
sepsis, pasien mulai menunjukkan tanda perfusi distal yang buruk, cth : kulit dan
311

ekstremitas yang dingin. Sehingga, late syok septic tanpa adanya demam sulit
dibedakan dengan tipe syok yang lain dan tingkat kecurigaan yang tinggi sangat
diperlukan.
• Lokasi infeksi yang paling sering ditemukan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 : Faktor Predisposisi Bakteremia Gram Negatif dan Gram positif


Bakteremia Gram Negatif Bakteremi Gram positif
Diabetes mellitus Kateter vascular
Penyakit Lymphoproliferatif Indwelling mechanical devices
Sirosis hepatic Luka bakar
Burns Injeksi obat intravenous
Kemoterapi

Tips khusus bagi Dokter Umum :


• Jika terdapat keterlambatan dalam merujuk ke rumah,
segera mulai resusitasi cairan IV
• Pada pasien dengan tanda meningococcaemia, mulai IV
kristaline penicillin 4 mega unit segera karena pasien

Manajemen
• Harus ditangani pada area resusitasi
• Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
• Pertahankan jalan nafas, berikan oksigen aliran tinggi. Intubasi
endotrakeal harus dipertimbangkan jika jalan nafas terncam atau jika ventilasi
dan oksigenasi tidak adekuat.
• Pasang 2 jalur IV dan koreksi hipotensi secara agresif dengan resusitasi
cairan ( 1-2 liter kristaloid). Pertimbangkan central venous line.
• Lab :
1. GDA
2. FBC
3. kultur darah (2 tempat yang berbeda)
4. DIVC screen
5. Urea/elektrolit/kreatinin
6. BGA
7. Kultur Urin
• CXR untuk mencari tanda konsolidasi dan ARDS
• Pertimbangkan EKG
• Pasang kateter urin untuk monitoring urin output.
• Semua px harus menerima terapi antibiotik empiris segera
mungkin. Jalur pemberian harus IV.
Catatan : tabel 2 merupakan suatu panduan. Spectrum sensitivitas bakteri terhadap
antibiotik bervariasi pada masing-masing RS.

Tabel 2 : Panduan Pilihan Antibiotik


Suspek Infeksi Antibiotik yang Disarankan
Immunokompeten tanpa sumber yang pasti Cephalosporin Generasi ketiga (cth : IV
312

Ceftriaxone 1g) atau quinolon (cth


ciprofloxacin 200mg)

Immunocompromised tanpa sumber yang Antipseudomonal beta laktamase


pasti susceptible penicillin (cth IV Ceftazidime
1g) atau quinolon ditambah aminoglikosid
(cth : gentamisin 80mg)

Gram Positif IV Cefazolin 2g. Pertimbangkan IV


Vancomycin 1g jika terdapat riwayat
penyalahgunaan obat IV atau indwelling
kateter atau alergi penisilin.

Anaerobic (Intraabdominal, bilier, traktus IV metronidazole 500mg tambahkan


genitalia wanita, pneumonia aspirasi) Ceftrixone 1 g dan IV gentamycin 80mg
untuk bakteri Gram Negatif.

• Inotropic vasoactive agents support dapat digunakan jika tidak ada respon
terhadap Fluid challenge. Noradrenalin merupakan pilihan pada syok septic,
dimulai pada 1µg/kg/menit. Sebagai alternative, dopamine dapat digunakan
(dosis 5-20 µg/kg/menit). Resusitasi cairan diindikasikan oleh stabilisasi
mentation, BP, respirasi, nadi, perfusi kulit serta baiknya output urin.
• Penggunaan kortikosteroid pada syok septic masih controversial.namun ia
memiliki peran utama jika terdapat insufisiensi adrenal.
• Konsul ke tim di ICU untuk melakukan pemindahan pasien.
313

Mekanisme T

• Trauma te
• Trauma tu
314

91. Stroke

DIAGNOSA
• Stroke akut ditandai dengan onset mendadak dari deficit neurologik fokal,
bisaanya terjadi pada teritorium pembuluh darah otak. Manifestasi klinis yang
sering timbul : hemiparesis, hilangnya hemisensori, kelemahan wajah,
disartria, afasia dan gangguan penglihatan, terjadi secara tunggal atau dalam
kombinasi.
• Stroke diklasifikasikan :
1. Stroke iskemik (IS, 70-90%, insiden lebih tinggi pada ras kaukasian).
Etiologi yang sering meliputi atherothrombosis arteri besar,
kardioembolisme, dan small vessel disease (stroke lakunar)
2. Stroke Hemorragic, dimana terjadi perdarahan intraserebral (ICH, 10-
30%, lebih tinggi insidennya pada ras non-kaukasian) dan
subarachnoid haemorrhage (SAH, sekitar 2%).

Tabel 1 : Diagnosa Banding Stroke


Hipoglikemia/hiperglikemi
Post epileptic (Todd’s) paralysis
Complicated migraine
Hipertensi ensefalopati
Trauma kepala (hematoma epidural/subdural)
Tumor otak/abses
Meningitis/ensefalitis
Disseksi aorta
Bell’s palsy
Kondisi fungsional (psikiatrik)

Tips khusus bagi Dokter Umum:


• Pasien stroke yang merupakan kandidat potensial untuk trombolisis (gambar 1) harus dipindahkan
ke ED dengan ambulan tanpa penundaan.
• Sebagian besar pasien dengan suspek stroke harus diperiksa secara cepat pada ED pada saat
kedatangan untuk manajemen secepatnya. Home visit dan pemeriksaan rawat jalan tidak dibenarkan
kecuali px datang dengan gejala kelemahan yang ringan dan tidak progresif serta telah berlangsung lebih
dari 48 jam.
• Dokter umum dapat berperan dalam meng-KIE pasien yang beresiko tinggi (cth : Hipertensi, DM,
hiperkolesterolemi, penyakit jantung, perokok dan riwayat stroke atau Transient Ischemic Attack (TIA) ,
juga pada keluarga untuk mengetahui gejala awal stroke, kemudian segera memfasilitasi px ke RS bila
terjadi serangan stroke.
• Selalu periksa GDA untuk menyingkirkan hipoglikemi
• Bell’s palsy sering membingungkan dx stroke. Bell’s palsy (isolated lower motor neuron-type facial
nerve palsy) ditandai dengan paralysis komplit separuh bagian wajah tanpa mengecualikan otot dahi.
Membedakannya dengan pasti sangatlah sulit pada kasus kelemahan wajah partial, dan merujuk ke bagian
neurology sangat disarankan.
• Px dengan TIA (deficit neurology akut yang berkaitan dengan etiologi serebrovaskular dengan remisi
komplit dalam 24 jam sejak onset gejala) memiliki resiko tinggi menderita stroke iskemik lebih dini pada
periode post TIA. Mereka membutuhkan rujukan segera ke neurologist atau ke klinik stroke. Jika
pertemuan dengan ahli saraf tidak bisa dilakukan pada hari yang sama, maka berikan obat antiplatelet
(aspirin 150-300mg, diikuti dengan 75-100mg/hari) bila tidak ada kontraindikasi. Pasien dengan TIA
berulang atau crescendo TIAs harus segera dirujuk ke ED.
315

CAVEATS
• Pertimbangkan beberapa keadaan yang menyerupai stroke,
yang terlihat pada tabel 1. selalu lakukan pemeriksaan GDA untuk
mengeksklusi hipoglikemi.
• Stroke dikenal sebagai keadaan yang sangat sensitive dengan
waktu, terutama pada penggunaan rtPA sebagai terapi stroke iskemik yang akut,
dimana akan sangat bermanfaat bila diberikan pada 3 jam pertama setelah onset
serangan. Pasien suspek stroke harus dirujuk menggunakan ambulan pada ED
terdekat.
• Defisist neurologist terkait dengan sakit kepala, nausea,
vomiting, penurunan tingkat kesadaran dan peningkatan BP yang besar cenderung
menunjukkan stroke hemorrhagic.
• Terapi hipertensi pada stroke akut sering controversial dan
harus ditangani hati-hati.

MANAJEMEN

Manajemen pada pasien suspek stroke di ED, meliputi:


 Pertahankan status fisiologis yang optimal, termasuk oksigenasi, hidrasi dan
kadar gula darah yang baik. Semua pasien harus dipuasakan, dan diberikan
infus isotonic saline. Demam harus diselidiki penyebabnya serta dikontrol
degan antipiretik. Manajemen BP didiskusikan dibawah ini.
 Diagnosis definitive stroke dan subtype stroke (IS, ICH atau SAH). Keadaan
ini membutuhkan CT scan kepala dalam 24 jam pertama.
 CT scan kepala emergent dilakukan pada ED diindikasikan pada :
1. pasien IS merupakan kandidat pemberian trombolitik atau terapi
antikoagulasi cth datang dalam 3 jam pertama sejak onset gejala,
atrial fibrilasi.
2. Suspek ICH, cth peningkatan BP grossly, sakit kepala, vomiting,
kebingungan, hitung platelet yang rendah, profil koagulasi yang
terganggu, penggunaan antikoagulan atau kecanduan pada obat
stimulant.
3. Suspek SAH, cth nyeri kepala yang berat, meningism atau hilangnya
kesadaran. Lihat bab SAH
4. pasien yang beresiko mengalami deteriorasi dini, cth stroke kortikal
yang berat dengan hemiplegic, deviasi mata, dan afasia atau
hemineglect, suspek stroke pada fossa posterior.
Hasil pada CT scan kepala pada kelompok ini akan membantu penentuan tx.

Manajemen Hipertensi pada stroke akut


Stroke Haemorrhagic
 penurunan akut BP dapat mengurangi perdarahan ulang dan ekspansi
hematoma.
 Namun penurunan BP yang terlalu agresif dapat mengeksaserbasi iskemik
pada daerah yang terkena hematoma
 Target manajemen pada pasien stroke hemorhagik akut :

SBP < 180 mmHg Bisaanya tidak membutuhkan terapi di ED, terapi
DBP < 105 mmHg yang lebih agresif dapat dipertimbangkan setelah
316

MRS

SBP 180-220 mmHg Transdermal nitrogliserin 5-10mg, atau IV


DBP 105-120 mmHg labetalol, esmolol, enalapril atau diltiazem pada
dosis kecil yang dititrasi

SBP > 220 mmHg IV nitrogliserin 0,6-6mg/jam


DBP > 120 mmHg

Stroke iskemik
 Tidak ada data yang menyebutkan keuntungan control BP secara
agresif pada stroke iskemik akut
 Sebagian besar pasien BP akan secara spontan membaik pada beberapa
jam dan kembali ke baseline setelah beberapa hari sejak onset gejala stroke.
 Kebanyakan ahli saraf menyatakan bahwa penurunan BP secara
signifikan akan membahayakan px karena dapat menurunkan perfusi kollateral
pada daerah iskemik penumbra, yang berakibat pada ekstensi dari infark.
 Control BP diindikasikan pada px stroke dengan:
1. Gagal jantung kongestif
2. acute Myocard iskemik/infark.
3. gagal ginjal akut
4. hipertensi ensefalopati
5. Diseksi aorta
6. terapi dengan trombolitik atau antikoagulan
 Target manajemen BP pada stroke iskemik akut

SBP < 220 mmHg Jangan diterapi, kecuali ada indikasi untuk
DBP < 120 mmHg mengkontrol BP

SBP >220 mmHg Transdermal nitrogliserin 5-10mg, atau IV


DBP 121-140 mmHg labetalol 10-20mg dibawah monitoring EKG,
diulang tiap 10 menit sampai dosis maksimum
100mg/jam, atau IV enalapril 1,25 mg.

DBP > 140 mmHg IV nitrogliserin 0,6-6mg/jam

DISPOSISI
 seluruh px stroke harus MRS untuk evaluasi, terapi dan rehabilitasi lebih
lanjut. Namun px yang stabil dengan lakunar infark > 48 jam yang tidak
progresif serta tidak memiliki disabilitas neurology/deficit dapat KRS dengan
follow up segera di poliklinik.
 Sebagian besar px TIA yang datang ke ED harus MRS untuk workup dan
inisiasi terapi medis. Merujuk ke spesialis neurology segera pada hari yang
sama merupakan alternative lain yang dapat dilakukan.
317
Px datang dengan gx stroke < durasi 7hari, cth:
 Kelemahan pada 1 sisi tubuh
 Inkoordinasi limb pada 1 sisi
 Bicara yang ‘pelo’ 318
 Rasa pusing/mabuk dengan kesulitan bicara
 Matirasa pada salah satu sisi tubuh
Gambar 1 : Jalur klinis Stroke pada ED  Ketidakmampuan untuk mengekspresikan suatu pikiran,
atau untuk mengerti yang lainnya.
 Kebutaan yang mempengaruhi sebagian atau seluruh
lapang pandang pada satu atau kedua mata
 Diplopia atau kelemahan wajah dan atau limb
Dengan Ambulan
Area critical care Px datang sendiri
atau intermediate

Gejala < 3jam (trombolisis


IV jika mungkin) Suspek Kebingungan atau komaGejala
atau BP
>3jam/sadar dan BP dapat diterima dengan pengukuran
SAH* tinggi (>220/120 mmHg) dengan manual
pemeriksaan manual ulang dengan
 Oksigen dititrasi sampai SpO2 95% GTN patch 5-10mg. review BP dan
(atau 90% untuk COPD) tangani sesuai rekomendasi setelah
 Monitoring BP hasil CT scan kepala
 Oksigen dititrasi sampai SpO2 95% (atau 90% pada
 GTN patch5-10mg jika BP > CT scan urgen COPD)
220/120mmHg dalam 2x  NBM
CT scan
pengulangan setelah 5-10menit (pada Heparin plug dengan NS IV pada tetesan maintenance
Kepala Urgen
tipe stroke yang belum diketahui)
 Stat GDA; bertujuan untuk normoglikemia
 Review control BP dan pilih obat
 Darah: FBC, PT, aPTT, urea/elektrolit/krestinin,
antihipertensi setelah pembacaan CT Perdara Tanpa
enzim kardiak
scan kepala han perdarahan
 EKG
 Cek GDA-terapi ketika H/C <4 atau
 CXR
>11mmol/l
 CT Scan kepala dalam 24 jam
Konsul Neurologi
CT menunjukkan
perdarahan
Cek criteria IV rtPA inklusi** Konsul Neurosurgery Sepertinya bukan intervensi bedah

STAT konsultasi neurology untuk Unit Monitoring neurology Bangsal Neurologi


Keputusan untuk melakukan downgrade
trombolisis
319

** criteria Inklusi untuk rtPA IV:


* Suspek SAH: 1). Usia 18-80 th (batas atas usia dapat berbeda sesuai
1). 2 dari 3 kriteria: sakit kepala, LOC, meningism (deficit institusi/dokter
neurology dapat muncul/tidak 2). Stroke akut <3 jam (waktu pemeriksaan-waktu onset).
2). Isolated headache yang berat, atau onset mendadak, dan Estimasi waktu konservatif yang diambil yaitu waktu onset
merupakan episode 1 = waktu dimana px teraakhir terlihat sehat
3). Defisit motorik, visual atau bahasa yang dapat terukur

92. Subarachnoid Haemorrhage (SAH)

Caveats
• SAH meningkat seiring usia, dan mengalami plateu setelah usia 60 th, dengan
insiden tertinggi pada 40-60 tahun.
• Kecepatan timbulnya onset sakit kepala (mendadak, seperti thunder-clap)
lebih berguna sebagai pedoman daripada severitas dari sakit kepala.
• Pada saat kunjungan, 50% pasien sadar, 30% letargi, dan sisanya 20% stupor
atau koma.
• Kaku kuduk membutuhkan waktu 2-3 jam untuk muncul.
• Pemeriksaan funduskopi menunjukkan perdarahan preretinal pada 20% pasien.
• Gejala dan tanda neurologik non-fokal sering muncul, cth: nausea, vomiting,
demam, sinkope, kebingungan, migraine like headache, atau koma.
• Pasien dengan posterior cerebral artery communicating aneurysm dapat
muncul dengan pupil berdilatasi ipsilateral, atau deviasi mata akibat palsy
Nervus kranialis ketiga.
• Pasien dengan middle cerebral artery aneurysm dapat memiliki hemiparesis
kontralateral sekunder akibat perdarahan pada lobus temporalis atau fissure
Sylvia.
• Nistagmus dan ataksia dapat muncul ketika perdarahan terjadi pada fossa
posterior (10% berry aneurysm).
Catatan: sebagian besar (90%) aneurisme serebral spontan dapat ditemukan pada
sirkulasi anterior yang meliputi arteri communis kanan anterior dan posterior serta
pada arteri middle serebral.
• Pada saat kedatangan, 20-50% pasien melaporkan sakit kepala berat dalam
waktu beberapa hari sampai minggu sebelum kedatangannya ke ED. Keadaan
ini dikenal sebagai warning/peringatan atau sentinel. Sakit kepala merupakan
sekunder dari perdarahan aneurisma sac dan subsequent trombosis.
• Pasien dengan aneurisme SAH, px dengan perdarahan sekunder terhadap
arteriovenous malformation (AVMs) lebih cenderung untuk muncul dengan
kejang, cerebral bruit, disfagi dan iskemik.
• Jangan mendiagnosa migren jika episode pertama sakit kepala terjadi
setelah usia 50 th.
• SAH banyak terjadi karena perdarahan saccular (berry) aneurysm atau
AVM (3-6%), namun juga dapat terjadi akibat trauma. Riwayat akan berguna
untuk membedakan keduanya namun, kadangkala perdarahan akan terjadi
akibat keadaan traumatic. Riwayat yang dicari dengan berhati-hati sangatlah
320

penting. Penyebab yang jarang terjadi adalah mikotik, onkotik, dan aneurisme
terkait dengan aliran darah.
• Perubahan EKG yang bervariasi, cth: peak atau symmetrically inverted T
waves, gelombang U, prolongasi QRS complex, prolonged interval QT dan
disritmia, dapat terjadi terkait dengan SAH dan membingungkan dokter dalam
menegakkan dx kardiak.

Tabel 1 : Klasifikasi SAH menurut Hunt dan Hess


Grade Tanda Survival (%)
1 Keadaan mental Normal 70
Sakit kepala ringan
Tidak ada deficit neurologis
Tidak ada tanda meningeal
2 Sakit kepala moderate sampai hebat 60
Palsy nervus kranialis
3 Kebingungan, 50
Deficit neurologik fokal ringan
4 Stupor 40
Hemiparesis, early vegetative posturing
5 Koma 10
Posturing Decerebrate

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


• Missdiagnosa awal untuk SAH adalah 20-50%.
• Dengan tidak adanya sakit kepala, sulit untuk membuat
dx SAH
• Ditandai oleh onset gejala yang tiba-tiba (biasanya
sakit kepala dan vomiting) dan terdapat peningkatan
deficit neurologist.
• BP pada awal biasanya tinggi
• Px dengan suspek SAH harus dirujuk dengan ambulan.

Manajemen
Terapi Suportif
• Tangani pada area critical care
• Sediakan peralatan intubasi dan resusitasi.
• Pastikan patensi jalan nafas.
• Berikan oksigen aliran tinggi via reservoir mask
• Tinggikan kepala 30o
• Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri
• Pasang jalur IV perifer
• Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, PT/aPTT, GXM 2 unit.
• EKG, CXR (hati-hati akan terjadinya edema pulmonal)
• Hati-hati terhadap komplikasi akut (0-48 jam setelah terjadinya perdarahan) :
1. Rebleeding : merupakan komplikasi akut spontan yang paling
signifikan. Resiko rebleeding adalah 4% pada hari I setelah SAH
spontan dan meningkat 1,5% setiap harinya sampai hari ke-13.
321

2. Cerebral salt wasting menyebabkan hiponatremi.


3. Hidrosefalus akut (15%)
4. kejang (6%)
5. neurocardiac disease (10%)
6. neurogenic pulmonary Oedema: dapat terjadi dalam hitungan menit
setelah perdarahan awal.
Terapi Spesifik
• analgesic non-opioid, cth: diklofenak IM, dapat diberikan
untuk mengurangi sakit kepala.
• Antiemetik : IM Prochlorperazine 12,5mg atau IM
metoklopramide 10 mg.
• Nitrogliserin dengan infus IV jika DBP > 130 mmHg dengan
pengukuran manual. Mulai pada 10µg/menit dan titrasi sampai berespon
namun hindari menurunkan DBP lebih rendah daripada 100mmHg untuk
mempertahankan perfusi cerebral.
• Lakukan CT scan kepala (tanpa kontras) sesuai dengan
konsultasi dengan neurology

Catatan:
1. CT scan tidak dapat mendeteksi SAH. Sensitivitas untuk mendeteksi SAH
hanya 93%. Sensitivitas CT menurun dengan waktu. Paling sensitive dalam 12
jam dan secara dramatis turun setelah 2-7 hari.
2. pungsi lumbal sangat penting untuk work up SAH jika CT scan negative.
Adanya xanthochromia pada specimen CSF yang segar merupakan penemuan
yang patognomonis pada SAH.

Penempatan:
• MRS-kan pasien ke bagian Neurologi atau neurosurgery.
322

93. Arteritis Temporal


Seet Chong Meng . Shirley Ooi , Peter Manning

Definisi
Arteritis temporal adalah sebuah inflamasi granulomatous dari satu atau lebih cabang
arteri carotid externa.

Diagnosis
Merujuk pada American College of Rheumotology, diagnosa dari temporal arteritis
mencakup tiga kriteria dibawah ini:
• Usia >50 tahun
• Onset baru dari sakit kepala terlokalisasi
• Nyeri arteri temporal dari penurunan denyut
• ESR > 55 mm/h
• Histology positif pada biopsi

Caveats
• Diduga arteritis temporal pada wanita, biasanya berusia lebih dari 50 tahun,
menunjukkan rasa berdebar-debar yang amat sangat, perasaan terbakar dan nyeri
kepala temporal satu sisi. Sering kali, sakit kepala bertahan hingga beberapa
bulan. Simptom yang berhubungan termasuk malaise, anoreksia, penurunan berat
badan, kelemahan rahang dan lidah, amaurosis, nyeri otot, TIA, neuropathy dan
stroke.
• Tiba-tiba, tanpa nyeri, kehilangan penglihatan satu sisi (karena oklusi paskular
dari optalmic atau arteri-silier posterior dengan infark dari nervus optik atau
retina) adalah komplikasi yang paling serius sejak kehilangan penglihatan yang
biasanya permanen.
• Terdapat peningkatan insidensi arteritis temporal dengan polimialgya rheumatica.

Petunjuk khusus bagi dokter umum


• Terapi arteritis temporal dengan prednisolon 30 – 60 mg (1 mg/kg BB) per oral
sejak diagnosis telah terduga sebelum mengirim pasien ke rumah sakit, penundaan
diagnosis dan terapi dapat menyebabkan kebutaan.

Penatalaksanaan
Terapi suportif
323

• Pasien bisa ditatalaksana di area intermediate


• Ukur dan catat ketajaman penglihatan
• Labs: DL, ERS
Terapi spesifik
• Mulai terapi sesegera mungkin bila riwayat dan pemeriksaan fisik mencurigakan
dan ESR meningkat
• Prednisolon 30 – 60 mg (1 mg/kg BB)
• Analgesia misalnya diclofenac im

Disposisi:
• Masukkan dibawah konsultasi neurologi yang sesuai.

94. Tetanus

Caveats
• Kecurigaan yang tinggi harus dilakukan untuk menangani px yang
datang dengan gejala tetanus.
• Debridement luka juga penanganan di ICU dilakukan pada semua
suspek tetanus.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


• Pemberian antitetanus dilakukan pada px dengan luka
yang beresiko tetanus, juga pada pasien yang
menunjukkan kekakuan pada otot lokal atau
generalisata dengan atau tanpa adanya luka yang

Patofisiologi
• Tetanus disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani,
mikrorganisme batang Gram negative anaerob yang masuk ke dalam luka.
C.tetani bisaanya masuk ke dalam luka dalam bentuk spora, dalam keadaan
non-invasive, namun dapat menghasilkan toksin, dan berubah menjadi bentuk
vegetatif jika jaringan tubuh host mengalami compromised dan tekanan
oksigen jaringan turun.
• Tetanus berada pada luka tusukan yang dalam, laserasi, crush injury juga pada
orang yang menyalahgunakan obat-obatan suntik dimana kondisi yang
anaerob memfasilitasi pembentukan spora.
• Tanda dan gejala klinik berkembang karena perpindahan eksotoksin ke CNS,
dimana ia akan memblok transmisi pada inhibitory interneuron yang
menyebabkan spasme otot yang bertentangan.

Manifestasi Klinik
• Periode inkubasi dapat bervariasi dari 3-21 hari sejak onset infeksi
• Tanda tetanus generalisata meliputi kekakuan yang terasa sakit pada rahang
dan otot-otot trunkus.
• Bentuk khas tetanus, meliputi risus sardonikus, disfagia, opistotonus, fleksi
lengan, tangan yang mengepal, kekakuan otot abdomen, ekstensi ekstremitas
324

bawah, yang disebabkan oleh kontraksi tonik intermittent dari kelompok otot
yang terlibat.
• Fraktur spine atau tulang panjang dapat terjadi akibat spasme konvulsif otot-
otot skeletal juga akibat kejang.
• Kesadaran bisaanya tidak menghilang kecuali terjadi laringospasme atau
spasme otot pernafasan.
• Instabilitas otonomik terjadi berupa demam, diaforesis, takikardi, dan
hipertensi.

Manajemen
• Penanganan terbaik dihasilkan bila px ditempatkan pada tempat isolasi yang
sunyi, pada lingkungan ICU.
• Terapi utama meliputi paralysis neuromuskular, intubasi orotrakeal dan
ventilasi. Trakeostomi sering diindikasikan untuk perawatan ventilasi jangka
panjang.
• Debridemen luka penting untuk meminimalisasi perkembangan penyakit yang
lebih lanjut.
• Single dose human Tetanus Immunoglobulin IM 3.000-5000 IU harus
diberikan.
• Pemberian anti tetanus toxoid (ATT) 0,5ml harus diberikan jika px telah
melewati fase akut, kemudian dilanjutkan setelah 6 minggu serta 6 bulan
kemudian.
• Penicillin G IV 10 juta IU/hari dibagi dalam beberapa dosis harus diberikan.
Antibiotik lain meliputi IV metronidazole 500mg tiap 6 jam atau IV
Doksisiklin 100mg tiap 12 jam. Jika px alergi penisilin, IV erythromycin 2
g/hari atau tetrasiklin 2 g/hari dapat menjadi penggantinya.
• Relaksasi otot dengan IV Diazepam 10 mg tiap 1-3 jam/prn sangat penting
untuk mengontrol refleks nyeri akibat spasme otot.
• Blockade neuromuscular yang memanjang dapat dicapai dengan pemberian IV
atracurium atau pancuronium.
• Instabilitas otonomik harus dikontrol dengan medikasi yang tepat, konsulkan
ke bagian Intensivist.
325

95. Thyrotoksik krisis

Caveats
• Krisis thyrotoksik didefinisikan sebagai eksaserbasi yang mendadak yang
mengancam nyawa dari hipertiroidisme yang terkait dengan dekompensasi
multiple organ.
• Suspek keberadaan thyroid storm pada semua kasus hipertiroidisme yang
mengalami demam.
• Thyroid storm merupakan kasus yang fatal : angka mortalitasnya 20-50%.
• Hindari antipiretik berbasis aspirin: karena dapat mengebabkan pelepasan free
T4 dan T3 dari protein bond site-nya.
• Manifestasi klinis:
1. Demam sebagai indicator adanya sepsis atau konsekuensi thyroid
storm.
2. Takikardi out of proportion to fever secara khas terjadi saat px tidur.
3. Adanya gejala dan tanda tirotoksis yang jelas seperti penurunan berat
badan, tremor.
4. Disfungsi Multiorgan :
a. Disfungsi CNS : AMS dengan kebingungan mental, delirium,
agitasi, stupor, koma
b. Disfungsi GIT : nyeri abdomen, diare, dan vomiting, jaundice
dapat terjadi dengan disfungsi hati.
c. Disfungsi CVS : Hiper- atau hipotensi sistolik, gagal jantung,
atrial fibrilasi yang cepat/Flutter.
5. riwayat terbaru thyroid disease yang membutuhkan terapi, kejadian
pencetus seperti sepsis, pembedahan, kontras CT iodine.
6. Pasien trauma dengan peningkatan nadi dan BP.
7. deplesi volume dari demam, metabolisme yang meningkat, diare.

• Hati-hati terhadap manifestasi yang tidak khas terutama pada lansia, yang
bisaanya hanya menunjukkan kelemahan, gagal jantung atau atrial fibrilasi,
dimana goiter mungkin tidak terlihat.
Tips Khusus Bagi Dokter Umum:
• Thyroid torm harus dapat dikenali dan diterapi 326
berdasarkan pemeriksaan klinis, karena konfirmasi
laboratorium terhadap penyakit bisaanya tidak bisa

Pemeriksaan Fisik meliputi:


1. Hiperpireksia merupakan indicator underlying sepsis atau konsekuensi dari
thyroid storm.
2. Hiper- atau hipotensi sistolik, gagal jantung, rapid atrial fibrillation/flutter.
3. Takikardia out of proportion to fever
4. AMS (criteria diagnostic yang harus ada) delirium, agitasi, stupor, koma.
5. deplesi volume dari demam, peningktan metabolisme, diare.
6. Stigmata hipertiroidisme adalah goiter, tremor, lid lag/retraksi, miopati.

Manajemen
Terapi Supportif
• Tangani pada area critical care karena dapat mengancam nyawa
• Berikan oksigen aliran tinggi deangn non-rebreather reservoir mask
• Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri.
• Pasang jalur IV perifer
• Cairan IV : Dekstrose-Saline melalui infus pelan dengan elektrolit dan vitamin
yang cukup; koreksi deplesi volume hati-hati untuk menghindari tercetusnya
atau memburuknya gagal jantung; namun hilangnya cairan dapat
membutuhkan replacement sebesar 3-5 liter/hari.
• Labs :
1. FBC
2. Urea/elektrolit/kreatinin
3. Liver panel
4. Thyroid screen untuk memeriksa TSH, free T4.
5. CXR untuk mengetahui gagal jantung dan infeksi
6. EKG untuk menentukan adanya iskemik, infark, atau disritmia
7. Urinalisis dengan reagen dipstick: C&S jika ada kecurigaan sepsis.
• Koreksi factor pencetus, cth: sepsis, AMI
• Berikan paracetamol, aplikator/teknik untuk mendinginkan,
untuk menurunkan demam.

Terapi Obat
• Beta Blocker : pada keadaan kegagalan gagal jantung high cardiac output
1. berikan ultra-short acting IV esmolol : dosis 250µg/kg diikuti dengan infus
50 µg/menit jika tersedia.
2. Berikan IV propanolol 1mg tiap 5 menit sampai takikardi berat dapat
dikontrol. Jika px dapat untuk mengkonsumsi per oral, maka berikan
propanolol 60mg PO tiap 4 jam atau 80mg tiap 8 jam.
Catatan : terapi penyakit kardiovaskular lain dengan tx konvensional seperti
digoksin, diuretic.
• PTU (Propylthiouracil) memblokade iodinasi juga konversi T4
menjadi T3. Dosis : 400-600mg PO atau via Ryle’s tube, diikuti dengan 200-
300mg tiap 4 jam.
Catatan : PTU per rectal dapat diberikan jka px NBM. Encerkan pada
pediatric fleet enema dan berikan melalui kateter Nelaton.
327

• Larutan Iodine menghambat pelepasan hormone tiroid; harus


diberikan 1-2 jam setelah tx PTU. Dosis : Lugols iodine 5 tetes PO atau via
Ryle’s tube tiap 8 jam.
Catatan : Jika NBM, berikan IV sodium Iodida 1g/500ml salin tiap 12 jam.
• Deksametason : 2mg IV untuk menghasilkan support
glukokortikoid; juga memblok pengubahan free T4 menjadi free T3.

Penempatan:
• Konsultasi ke Endokrin/general medicine dalam rangka antisipasi
MRS ke MICU.

96. TRAUMA ABDOMEN

Titik berat
ℵ trauma abdomen merupakan penyebab kematian yang utama
ℵ personil perawatan emergensi harus waspada dan dapat melakukan
perawatan dengan benar
ℵ luka tusuk yang terlihat diantara atau disekitar putting susu paerlu
juga diwaspadai masuk ke rongga abdomen
ℵ penderita harus dilakukan log-roll untuk memeriksa punggung dan
flank area pada kasus trauma
ℵ pada penderita dengan multi trauma dengan hipotensi harus
dicurigai adanya trauma abdi\omen sampai terbukti tidak
ℵ pemeriksaan klinis pada abdomen mungkin dapat ditemukan
keadaan berikut:
ℵ resusitasi dan stabilisasi harus didahulukan pada proses investigasi

TIPS UNTUK DOKTER UMUM


 pada pasien yang sadar, tanda yang yang mengarah pada trauma abdomen
adalah tenderness pada palpasi, rebound. Namun, tidak adanya adanya
tanda diatas tidak menyingkirkan diagnosa trauma abdomen
 pada kasus yang dicurigai mekanismenya mengarah pada trauma abdomen
tapi dengan gejala yang tidak spesifik, kirim ke ED(?) untuk evaluasi lebih
lanjut
 pada pasien dengan gejala shok, segera pasang infus kristaloid dan panggil
ambulan untuk dikirim ke RS

Managemen
 pasien harus dirawat di area perawatan kritis
 pemeriksaan fisik dan resusitasi harus berjalan simultan
 prinsip ATLS harus diikuti dengan prioritas pada:
 airway: pertahankan airway
 breathing: pada pasien sadar berikan O2 dosis tinggi. Pada pasien tidak
sadar, pasang ETT dengan ventilasi mekanis
328

 sirkulasi: pasang 2 IV line dengan jarum besar.bila pasien hipotensi,


resusitasi cepat cairan. Mulai dengan NS (sampai 2liter), lanjutkan
dengan darah
 periksa GXM, DL, ureum/creatinin/elektrolit
 pemeriksaan harus meliputi:
 dada: memar, fraktur costae, luka tusuk
 abdomen: luka luar, memar, tanda peritonitis
 pelvis: tenderness dan ketidakstabilan yang mengarah pada kecurigaan
fraktur
 GE: bleeding / hematom
 Status neurologis
 pasang NGT dan kateter kecuali terdapat dugaan ruptur uretra pada saat
pemeriksaan
 pemeriksaan Ro diperuntukkan bagi yang diizinkan: thorax, pelvis,
cervikal
 luka tikam pada abdomen dengan implementasi in-situ tidak boleh
dipindah kecuali di ruang operasi
 kirim ke dokter ahli bedah segera

Indikasi laparotomi Cito:


 eviserasi
 luka tusuk dengan hemodinamik tidak stabil/ iritasi peritoneum
 dugaan kuat trauma abdomen dengan shok atau hemodinamik tidak stabil
 dugaan kuat peritonitis
 pada RT didapatkan darah segar
 darah persisten dari NGT, dengan kemungkinan trauma orofaring
disingkirkan
 dari Ro didapatkan pneumoperitoneum atau ruptur diafragma

investigasi
 pada selain keadaan diatas, berikut terdapat tabel yang dapat dipakai untuk
pertimbangan pada pasien stabil
Tabel 1 model investigasi pada pasien dengan dugaan trauma abdomen

Penilaian hemodinamik

Tidak
stabil
stabil

Bedside USG dan / Bedside USG dan /


CT abdomen DPL

 pasien yang dikirim ke ruang CT harus ada continuous monitoring vital sign dan
harus diikuti dokter
 CT scan abdomen:
329

 indikasi: trauma tumpul dengan hemodinamik


stabil yang tidak memerlukan laparotomi cito, dugaan fraktur pelvis,
retroperitoneal, diafragma dan trauma urogenital
 sensitifitasnya diatas 90%
 DPL tidak perlu dikerjakan pada pasien stabil
 Manfaat: dapat menentukan lesi intraabdominal
preoperatif, dapat mengefaluasi retroperitoneum, dapat mendeteksi
luka yang tidak perlu operasi, tidak invasiv
 Kerugian: mahal, membutuhkan banyak waktu,
membutuhkan transport ke radiologi, membutuhkan kontras
 DPL
 indikasi:
 pasien tidak stabil dengan dugaan trauma abdomen
 hipotensi pada multipel trauma
 trauma tumpul yang membutuhkan op segera untuk luka eksternal
 pasien stabil dengan dugaan trauma intestinal
 kontraindikasi:
 indikasi absolut laparotomi
 riwayat operasi abdomen/infeksi
 uterus gravid
 obesitas
 koagulopati
 sebelum pelaksanaan: dekompresi buli-buli dan perut dengan kateterv dan
NGT
 tehnik dengan insisi dibawah umbilikus. Alternatifnya, metode perkutan
dengan tehnik Seldinger
 indikasi positif:
 gross hematuria
 cairan lavas terlihat keluar dari drain dada/kateter urin
 eritrosit > 100.000/mm3, leukosit > 500 / mm3, bakteri gram positif
 DPL biasanya sensitif
 Keuntungan:
 DPL dapat mengetahui perdarahan intraabdomen pada pasien tidak
stabil dengan multipel trauma
 DPL sangat bermanfaat pada pasien potensial perforasi abdomen yang
sekiranya jauh dari observasi klinis secara serial
 Kerugian:
 morbiditas, walaupun kecil. Meliputi: komplikasi luka (hematom,
infeksi, 0,3%), trauma intraperitoneal, kesalahan tehnik
 false negatif (2%), berasal dari kegagalan untuk menampung cairan
lavage, luka pada rongga viseral, injuri diafragma, injuri pada organ
retroperitoneal
 FAST ( focussed assesment using sonographi in trauma ):
 merupakan sarana untuk mengobservasi pada penderita trauma abdomen.
Indikasi sama dengan DPL
 kususnya dipergunakan apabila DPL merupakan kontraindikasi
330

 akurasinya tergantung operator sebagaimana ketergantungan pada alat.


Kumpulan cairan bebas dijumlahkan tergantung dari gambaran USG, yang
memberi gambaran sesuai dengan beratnya perdarahan intraabdominal.
 Untuk mendeteksi adanya kumpulan cairan dengan melihat 4 kuadran:
 subxipoid: pericardium
 RUQ: morison’s pouch(ruang potensial antara liver dan ginjal
 LUQ: recessus splenorectaldan antara limpa dan diafragma
 Pelvis; cavum douglas
 Keuntungan:
 Alatnya portable
 Pemeriksaan memakan waktu singkat
 Dapat digunakan secara serial
 Tidak ada dampak radiasi
 Kerugian:
 Tidak dapat menggambarkan kerusakan parenkim, retroperitoneal,
defek diafragma dan luka usus secara sempurna
 Tehniknya lebih pada pasien tidak kooperatif, gelisah, obesitas, gas
substansial pada usus, udara subcutan
 Kurang sensitif dan tergantung kemampuan operator dibanding dengan
DPL
 FAST tidak dapat mendeteksi kerusakan parenkim apabila tidak ada
darah bebas intraperitonealsebagaimana injuri subkapsular limpa
 Pada pasien trauma tumpul abdomen dengan hasil FAST yang positif,
diperlukan pemeriksaan CT scan sebelum dikirim ke ahli bedah

Investigasi: trauma tembus


Pada keadaan tidak ada indikasi untuk laparotomi cito, berikut ini merupakan
pertimbangan tergantung dari kestabilan pasien:
1. luka tusuk: eksplorasi luka. Bila tidak ada penetrasi fascia: KRS. Terdapat
penetrasi: perlu tindakan bedah
2. luka tembak: periksa luka masuk dan luka keluar atau pergunakan X-ray bila
tidak ditemukan luka keluar.apabila menembus cavum peritoneum, laparotomi
cito.
331

97. Trauma, Dada

Caveats
• Manajemen trauma dada mengikuti protocol ATLS :
1. Amankan ABC merupakan protocol.
2. Berikan penanganan secepatnya untuk mendeteksi lesi
3. keterlibatan tim trauma dari RS harus segera dilakukan.
• Selama Primary Survey, dokter harus mendeteksi kondisi yang
mengancam nyawa namun bersifat reversible, a.l:
1. Obstruksi jalan nafas (karena laryngeal injury atau fraktur dislokasi
sternoclavicular joint posterior).
2. Tension Pneumothorax (sucking chest wound)
3. Pneumothorax terbuka
4. Flail Chest
5. Hemothorax massif
6. Tamponade jantung

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


• Selalu pertimbangkan dx tension pneumothorax pada px dengan tanda simple
pneumothorax, instabilitas hemodinamik, distress respiratori severe, dan neck
vein distension.
• Pasang needle thoracostomy secepatnya, terutama menggunakan ukuran
14G/16G IV venula pada ICS2 midklavikular line.
• Keterlambatan melakukan tindakan ini akan menyebabkan pasien mati! Salah dx
hanya akan menyebabkan px memiliki chest tube insertion, namun tidak akan
membunuh pasien!
• Pada pasien dengan pneumothorax terbuka, lindungi luka dengan kassa steril
yang dilekatkan hanya pada ketiga sisi saja untuk mendapatkan efek flutter-
valve. Jangan merekatkan kassa pada keempat sisinya karena dapat
menyebabkan tension pneumothorax!
• Jangan melakukan splinting pada segment flail chest, karena merupakan tindakan
yang controversial. Namun bila dilakukan pada saat proses pengiriman px,
tindakan ini dapat dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri.
332

Manajemen Awal
• Rujuk px pada Critical care atau area resusitasi pada ED.
• Aktifkan in-house Trauma Team menurut protocol institutional
• Tangani px sesuai protocol ATLS
• Pertimbangkan intubasi pada px menggunakan teknik RSI dengan kondisi:
1. airway compromised
2. ventilasi inadekuat
3. SpO2 tidak dapat dipertahankan diatas 94% walaupun telah menggunakan
non-rebreathing mask.
Catatan : Jika mungkin, perikardiosentesis harus dilakukan sebelum intubasi
karena adanya excessive ventilation pressure yang mengurangi venous return
dapat menyebabkan serangan jantung.
• Pasang jalur IV ukuran besar (14G/16G) pada kedua fossa cubiti.
Pilihan pertama cairan resusitasi awal adalah kristaloid (Hartmann’s atau NS).
• Cek darah untuk :
1. GXM 6 unit WB
2. FBC, urea/elektrolit/Kreatinin, dan BGA

Indikasi Chest Tube Insertion setelah trauma


• Pneumothorax, Hemathorax, atau luka terbuka pada dada
• Fraktur tulang iga yang membutuhkan ventilasi tekanan positif
• Px dengan suspek severe lung injury, terutama mereka yang
ditransfer melalui jalur udara atau kendaraan darat.
• Pasien yang akan menjalani general anestesi dalam rangka terapi
injury yang lain (cth : cranial, atau ekstremitas), yang dicurigai mengalami
lung injury yang signifikan.

Indikasi Thorakotomi di ruang ED pada trauma setting


• Kehilangan darah pada ED yang tidak berespon terhadap infus kristaloid cepat
• Witnessed arrest atau deteriorasi akut
• Trauma penetrating dengan tanda vital atau tanda kehidupan (refleks cahaya
pupil, respirasi spontan, respon gerakan terhadap nnyeri, non-agonal cardiac
rhythm) pada ED.
• Luka penetrasi pada thorax bahkan tanpa tanda kehidupan pada tempat
kejadian atau pada ED (yang terbaik bila disertai dengan short duration of
CPR).
ED thoracotomy yang tidak direkomendasikan
• Trauma penetrasi non-thoracic tanpa tanda kehidupan yang vital di tempat
kejadian.
• Trauma tumpul tanpa tanda kehidupan di ED.

Diagnosa 3 Kondisi yang potensial Mengancam Nyawa:


• Trauma dada dan hipotensi. Pertimbangkan 3 penyebabnya:
333

1. Haemothorax massif
2. Tension pneumothorax
3. Tamponade pericardial
• Sangat penting untuk mengatasi keadaan tersebut dalam hitungan
menit Karena dapat menyebabkan kematian ! tidak ada waktu untuk
melakukan pemeriksaan investigasi.

Terapi untuk Kondisi dada yang Spesifik


Tension Pneumothorax
• Kunci Gambaran Diagnostik : tanda trauma dada, tanda pneumothorax,
hipotensi, severe respiratory distress dan neck vein distension.
• Terapi Immediate:
1. Lakukan Needle Thoracotomy : jarum 14G, pada ICS 2 midklavikular line.
2. diikuti dengan Tube Thoracotomy pada ICS 5, antara anterior dan
midaxillary line.
• Poin penting:
1. Diagnosa didasarkan pada klinis, dan keputusan terapi sangat bergantung
pada Kecurigaan yang tinggi.
2. Melakukan CXR untuk mengkonfirmasi dx akan menyebabkan
keterlambatan dan kematian.
Catatan: sebuah simple traumatic pneumothorax jangan diacuhkan karena
dapat berkembang menjadi tension pneumothorax.

Pneumothorax terbuka
• Patofisiologi : defek dinding dada yang luas dengan adanya kesamaan tekanan
intrathoracic dan tekanan atmosfer akan menyebabkan ‘sucking chest wound’.
• Manajemen :
1. Berikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat
2. tutup defek dengan kassa steril, dengan merekatkan di 3 sisi untuk
menghasilkan efek ‘flutter-valve’.
3. Jangan merekatkan pada keempat sisi karena dapat menyebabkan tension
pneumothorax.
4. kemudian lakukan insersi chest tube.
Catatan: Chest tube tidak boleh diinsersikan melalui luka penetrasi karena
akan secara tepat mengikuti traktus yang terbentuk menuju paru atau
diafragma sehingga akan merusak organ tersebut atau menyebabkan
perdarahan yang massif.

Flail Chest
• Definisi : terjadi ketika ada 2 atau lebih tulang rusuk yang fraktur pada 2
tempat yang berbeda.
• Diagnosis didasarkan pada :
1. Gerakan paradoksikal segment dinding dada (keadaan ini saja tidak akan
menyebabkan hipoksia).
2. Distress respirasi
3. bukti eksternal adanya trauma dada
4. nyeri pada usaha bernafas
catatan : penyebab utama hipoksia pada flail chest adalah karena underlying
kontusi pulmonal, walaupun adanya nyeri dan restriksi gerakan dinding dada
334

serta underlying lung injury juga memberikan kontribusi dalam menyebabkan


hipoksia.
• Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat
2. Pastikan ventilasi yang adekuat
Catatan : pasien dengan isolated flail chest injury dapat ditangani tanpa
support ventilatory, terutama jika nyeri dada dapat dikurangi secara
adekuat.
3. Berikan terapi cairan dengan bijaksana.
Catatan : overload cairan harus dihindari atau cepat dikoreksi pada px flail
chest dengan kontusio pulmonum atau pada adult respiratory distress
syndrome.
4. Analgesik adekuat yang diberikan melalui IV.
• Indikasi Early Mechanical Ventilation pada Flail Chest:
1. Syok
2. ≥ 3 asosiated injuries
3. Cedera kepala Berat
4. Penyakit paru sebelumnya
5. Fraktur tulang rusuk ≥ 8
6. usia > 65 tahun
Catatan : ketika px membutuhkan ventilatory support, lebih aman untuk
mengaplikasikan ‘prophylactically’ sebelum kegagalan nafas yang sebenarnya
terjadi.
• Terapi Kontroversial : Splinting flail segment dapat memperburuk
ventilasi

Haemothorax Massif
• Definisi : kehilangan darah > 1500 ml ke dalam cavum dada pada
initial output.
• Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi adekuat (berikan oksigen 100%)
2. Pasang 2 jalur IV besar dan lakukan resusitasi cairan
3. transfuse darah dan koreksi koagulopati
4. Tube thoracocentesis
5. Waspada terhadap penghentian mendadak dengan drainase, cek untuk
blocked tube.
• Indikasi Thorakotomy (konsul TKV secepatnya):
1. Drainase darah awal > 1500 ml
2. ongoing drainase > 500 ml/jam pada jam pertama, 300ml/jam pada 2 jam
berikutnya atau 200 ml/jam pada 3 jam berikutnya.
3. kasus yang membutuhkan transfusi darah persisten
4. retained pneumothorax besar, terutama jika terkait dengan perdarahan
yang terus menerus.
5. instabilitas hemodinamik yang terus-menerus
6. kecurigaan injury esophageal, cardiac, pembuluh darah besar atau bronkus
utama.
Catatan : pikirkan kemungkinan kerusakan pembuluh darah besar, struktur
hilar dan jantung pada luka penetrasi dada bagian anterior, sebelah medial dari
nipple line dan luka dada posterior medial dari scapula.
335

Tamponade jantung
• Dx membutuhkan kecurigaan yang tinggi. Kombinasi dari keadaan dibawah
ini akan membawa kita pada kemungkinan dx.
1. Trauma dada dan hipotensi
2. Trias Beck’s (hipotensi, muffled heart sound/suara jantung yang terdengar
jauh, distensi pembuluh vena di leher)
Catatan : Trias Beck’s hanya terlihat pada 50% kasus. Vena di leher yang
mengalami distensi tidak akan didapatkan pada tamponade jantung sampai
paling tidak terjadi koreksi parsial hipovolemi. Muffled heart sound
merupakan tanda yang paling sedikit terjadi pada trias Beck’s.
3. Trauma dada dan pulseless electrical activity
4. Tanda Kussmaul (peningkatan neck distension selama inspirasi dan pulsus
paradoksus)
• Bukti lain yang menyokong dx, a.l:
1. pembesaran jantung yang terlihat pada CXR (jarang) atau
2. Voltase EKG yang rendah (tidak lazim) atau
3. Cairan pericardial yang terlihat pada 2D Echo atau FAST (definitive)
• Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat (O2 100%)
2. pasang jalur IV ukuran besar
3. Berikan Cairan IV bolus 500 ml
4. lakukan perikardiosentesis dengan :
a. Panduan EKG (dengan Lead EKG yang terhubung dengan
jarum perikardiosentesis)
b. Panduan 2D Echo. Dapat bersifat diagnostic atau terapetik.
Catatan : Resusitasi cairan yang agresif akan membantu mempertahankan
cardiac output dan memberikan waktu untuk px. Jangan melakukan
tusukan dengan jarum tanpa panduan karena resiko iatrogenic cardiac
injury sangatlah tinggi.

Kontusio Pulmonal
• Injury yang terjadi akibat rusaknya susunan jaringan paru, kerusakan
membrane alveoli dengan perdarahan dan edema pada alveolar space.
• Manifestasi kontusio pulmonum bisaanya butuh waktu untuk timbul.
• Penyebab, a.l:
1. trauma tumpul atau penetrasi
2. blast injury
3. compressive injuries
• Tanda klinis yang mungkin, a.l:
1. Distress respiratori
2. penurunan suara nafas
3. krepitasi pada lapang paru yang terkena
4. Hipoksemia
• Manajemen :
1. Berikan supplementasi O2
2. berikan support vantilasi, jika diperlukan
3. Lakukan terapi cairan dengan bijaksana

Tracheobronchial Injuries
336

• Sulit diketahui pada px trauma.


• Etiologi yang mungkin:
1. Trauma penetrasi
2. dorongan akselerasi-deselerasi
3. blast injuries
• tanda klinis meliputi:
1. Haemoptysis
2. Emfisema subkutaneus
3. Tension pneumothorax
4. pnumothorax persistent setelah terapi
• Manajemen :
1. berikan suplementasi O2
2. berikan support ventilasi
3. px mungkin membutuhkan lebih dari 1 buah chest tube
4. konsultasi TKV dini

Blunt Cardiac Injury (BCI)/ Kontusi Miokard


• Pertimbangan khusus :
1. secara klinis hanya ada beberapa tanda dan gejala yang reliable untuk BCI
2. Adanya fraktur sternum tidak dapat menjadi prediktor adanya BCI.
3. analisa CK-MB atau cardiac troponin T juga kurang berguna dalam
memprediksi keadaan ini.
4. EKG yang abnormal (perubahan ST dan gelombang T) sensitive terhadap
BCI.
• Manajemen
1. triage px ke dalam area critical care
2. Amankan ABC, berikan O2
3. lakukan pemeriksaan EKG
• keputusan penanganan:
1. Jika EKG normal, px dapat dipulangkan (diasumsikan bahwa tidak ada
alas an lain bagi px untuk MRS).
2. Jika EKG abnormal /disritmia, perubahan segmen ST, perubahan iskemik,
AV block, sinus takikardi yang tidak terjelaskan) px harus di-MRS-kan
untuk monitoring kardiak lanjutan.
3. jika hemodinamik px tidak stabil, echocardiogram harus dilakukan.
Catatan: Nuclear medicine studies hanya sedikit membantu jika dibandingkan
dengan Echo sehingga tidak bermanfaat jika Echo telah dilakukan.

Traumatic Aortic disruption


• sebagian besar px dengan traumatic aortic Disruption mati pada tempat
kejadian.
• Px yang selamat sampai RS mungkin mengalami contained haematoma dan
secara potensial akan mengalami deteriorasi secara cepat.
• Telltale sign:
337

1. trauma tumpul/penetrasi pada dada atau acceleration/deceleration injury


2. hipotensi tanpa adanya sumber perdarahan eksternal
3. Haemothorax massif
4. pulsasi perifer yang lemah atau negative
5. gambaran CXR yang prinsip :
a. pelebaran mediastinum
b. efusi pleural left sided
c. blunting of left aortic knuckle
• Manajemen :
1. sesuai protocol ATLS
2. CT thorax jika memungkinkan
3. GXM setidaknya 6unit WB : hubungi TKV dan bedah umum

Fraktur Costae
• Manajemen dipengaruhi oleh level dan jumlah costae yang terkena
juga pada underlying visceral injuries.
Catatan : banyak fraktur costae yang tidak terlihat pada CXR. Tujuan utama
CXR pasien dengan kemungkinan fraktur costae adalah untuk mengeliminasi
haemothorax yang terkait, pneumothorax, kontusio paru, serta injury organ
lain.

• Fraktur costa atas (1-3) dan fraktur Skapula


1. Akibat dari large Force
2. meningkatnya resiko trauma kepala dan leher, spinal cord, paru, pembuluh
darah besar
3. mortalitas sampai 35%
• Fraktur Costae tengah (4-9) :
1. peningkatan signifikansi jika multiple. Fraktur kosta simple tanpa
komplikasi dapat ditangani pada rawat jalan.
2. MRS jika pada observasi :
a. Px dispneu
b. Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan
c. Px berusia tua
d. Memiliki preexisting lung function yang buruk.
• Fraktur Costae bawah (10-12) : terkait dengan resiko
injury pada hepar dan spleen
Catatan : insersi chest tube sebagai profilaksis harus dilakukan pada semua px
trauma yang diintubasi pada adanya fraktur kostae. Associated injuries sering
terlewatkan meliputi :kontusio kardiak, rupture diafragmatik dan injury
esophageal.

Traumatic Diafragmatic Rupture


• Indikator :
1. distress respirasi yang persisten atau progresif
2. Bising usus pada dada
3. gambaran CXR
a. Vague dan bayang diafragmatik yang tidak dapat dibedakan
b. Herniasi organ abdominal ke dalam cavitas dada
c. Displacement NGT ke dalam cavitas dada lebih sering terjadi di
sisi kiri
338

• Diagnosa membutuhkan kecurigaan yang tinggi


• Semua px harus dirujuk pada bedah umum untuk
laparotomi

Crush Injuries pada Dada


• Prognosis tergantung pada aplikasi crushing force:
1. < 5 menit (transient force applied dan prognosis bagus)
2. > 5 menit (prognosis buruk)
• Crush injury pada dada menyebabkan traumatic asphyxia
1. Plethora pada tubuh bagian atas
2. Petekiae pada tubuh bagian atas
3. Edema serebral
• Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi
2. Berikan ventilasi
3. terapi associated injuries
4. MRS untuk observasi

Trauma penetrasi pada Dada


• Yang harus diingat adalah :
1. jangan memindahkan benda asing dari luka
2. Untuk luka penetrasi dibawah garis nipple, selalu pertimbangkan
intraabdominal injuries.

Subkutaneus emfisema
• Etiologi:
1. Injury jalan nafas
2. Injury paru dan pleural
3. injury esophagus dan faringeal
4. Blast Injury
• Tanda :
1. Krepitus
2. Pembengkakan wajah, leher dan jaringan yang terlibat.
• Manajemen : emfisema subkutaneus jarang membutuhkan terapi.
Tangani penyebab dasarnya. Asumsikan bahwa emfisema subkutaneus
memiliki penyebab dasar pneumothorax walaupun tidak terlihat pada CXR.
Sehingga tindakan insersi chest tube harus dilakukan sebelum ditempatkan
pada ventilator.

Trauma Esofageal
• Indikasi adanya trauma esophageal:
1. Emfisema subkutaneus
2. udara mediastinum tanpa adanya pneumothorax
3. Udara retrofaringeal pada x ray leher lateral
4. Left-side pleural effusion : tes drainase positif untuk amylase
5. left pneumo atau haemothorax tanpa fraktur kosta.
6. hantaman yang kuat pada bagian bawah sternum atau epigastrium dan
pasien mengalami nyeri atau shock out proportion terhadap injury yang
terlihat.
339

7. adanya cairan pada chest tube setelah darah menjadi jernih.


• Px harus dirujuk ke bedah umum untuk penanganan lebih lanjut.

Trauma Laring
• Walaupun merupakan injury yang jarang terjadi, yang dapat terjadi bersamaan
dengan obstruksi jalan nafas akut.
• Diagnosis berdasarkan trias sbb:
1. Hoarseness (suara parau)
2. emfisema subkutaneus
3. Fraktur yang dapat terpalpasi
• Manajemen :
1. jika jalan nafas px mengalami obstruksi total atau jika px berada dalam
keadaan distress respiratori hebat, maka lakukan intubasi
2. jika intubasi tidak berhasil dilakuakan, emergency tracheostomi
merupakan indikasi.
3. surgical cricothyroidotomy, walaupun tidak disukai pada situasi ini, dapat
menyelamatkan nyawa jika terdapat kegagalan trakeostomi.
4. kontak spesialis THT dan ahli anestesiologi secepatnya.

98. Trauma dan Infeksi, Tangan

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


• Simpan bagian yang mengalami amputasi dengan
dibungkus lembaran kain bersih yang dilembabkan
saline, kemudian tempatkan bungkusan tersebut pada
Nail Bed Injuries Akut
• Klasifikasi
1. Laserasi simple nail bed dan hematoma subungual
2. laserasi crushing (hancur) nail bed
3. Laserasi avulse nail bed
4. Laserasi disertai dengan fraktur
5. Laserasi dengan hilangnya kulit dan pulp
6. amputasi fingertip (ujung jari)
• Nail bed injuries bisaanya dapat membaik setelah primary repair
atau bahkan dapat menurun setelah rekontruksi. Sehingga dengan
mengecualikan kasus (1), semua nail bed injuries harus dirujuk pada RS untuk
repair di OT yang memiliki instrument dan loupe magnification.
• X ray dapat dilakukan untuk semua injury yang terjadi pada
fingertip dan nail bed. Adanya fraktur phalanx distal menambahkan 2
pertimbangan penanganan:
1. membutuhkan Reduction : fraktur yang unstable mungkin membutuhkan
K-wire fixation
340

2. Resiko infeksi fraktur terbuka : berikan antibiotik broad spectrum.

Hematoma Subungual
• Klasifikasi : persentase area dibawah kuku yang menunjukkan
adanya darah
• Terapi : trephine dengan sebuah red hot tip dari unfolded paper
clip (gambar1).
1. Blok digital tidak diperlukan kecuali pada px yang ketakutan. Nail plate
akan terbakar dan mengalami evaporasi saat ‘tip’ yang telah dipanaskan
dipenetrasikan. Ujung klip kertas yang telah dipanaskan kemudian akan
menjadi dingin secara langsung karena aliran darah, dan penetrasi yang
lebih jauh serta cedera nail bed jarang terjadi. Jangan melakukan tekanan,
namun biarkan panas berpenetrasi ke nail plate karena keadaan ini akan
menghindarkan keadaan benturan klip kertas ke dalam nail bed (resiko
osteomielitis).
2. usap jari yang terluka dengan povidone iodine (bukan alcohol karena
bersifat mudah terbakar).
3. tempatkan 2 lubang pada dua sisi disebelahnya untuk memfasilitasi
drainase. Hematoma dievakuasi dengan memijat lembut diikuti dengan
menghisap povidone iodine.
• Follow up dengan salep antibiotik, kassa dan protective splint
• Untuk hematoma subungual lebih dari 50%, disarankan untuk
melepaskan kuku, eksplorasi dan suturing nail bed.

Laserasi simple dari Nail Bed


• Prinsip terapi : debridemen minimal, sisakan jaringan lunak sebanyak
mungkin, dan splinting dengan nail plate.
1. Block digital dengan lignokain 1% (biarkan 10 menit untuk efek
maksimal).
2. tempatkan pembalut karet atau penrose tourniquet pada basis jari.
3. ujung jari dibersihkan
4. nail plate harus diangkat lembut dengan forcep tumpul dan perlahan
pindahkan dengan haemostat menggunakan tekanan yang tetap.
5. Laserasi diperbaiki dengan benang 6/0 plain catgut atau dexon suture.
6. nail plate diirigasi dengan NS dan bebat pada nail bed yang telah di-repair.
Non-absorbable suture, cth prolene, ditempatkan melalui nail plate dan
kemudian pada proksimal nail sulcus sebagai sebuah ‘anchor/jangkar’
(suture diangkat 3 minggu kemudian).
7. Jika nail plate tidak tersedia, kertas perak pembungkus suture dapat
digunakan untuk membiarkan lipatan kuku tetap terbuka.
KIE : nail plate tumbuh membutuhkan waktu 6-12 bulan, dan deformitas kuku
mungkin tidak dapat dihindari.
• Penempatan : rujuk ke Hand surgery untuk follow up dalam 2-3
hari.

Amputasi Ujung jari


Dengan hilangnya kulit/pulp saja
341

• Untuk diameter defek < 1 cm, terapi konservatif, dengan


pembersihan yang cermat serta dibalut dengan non-adherent gauze. Epitelisasi
spontan simple dan cost effective.
• Control pada Hand surgery dalam 2hari.
• Untuk defek lebih dari 1cm, MRS ke bagain hand surgery untuk
skin graft atau rekontruksi flap.
Dengan tulang yang terekspos
• MRS pada bagian Hand surgery
• Simpan bagian yang teramputasi, yang mungkin bisa digunakan untuk
replantasi.
• Pasang IV plug pada lengan yang tidak terluka.
• Berikan IV Cefazolin 1 g jika tidak ada kontraindikasi. Ambil swab untuk
kultur sebelum pemberian antibiotik.
• Berikan profilaksis untuk tetanus.
• Bagian yang teramputasi disimpan sesuai dengan cara yang telah dijelaskan
sebelumnya.
• X ray bagian yang teramputasi : AP dan lateral.

Cedera Tendon Fleksoris


Sering terlihat di ED. Mekanisme yang sering menjadi penyebab adalah laserasi.
Waspada terhadap tanda kecil yang terkait dengan laserasi parsial dimana dapat
berakibat pada disabilitas jangka panjang.

Cara memeriksa integritas flexor digitorum superficialis (FDS) dan Flexor Digitorum
Profundus (FDP)
• Cara memeriksa fungsi FDS (gambar 2a), dengan jari yang berdekatan
ekstensi penuh (menghambat gerakan FDP), usaha fleksi jari menghasilkan
gerakan isolated FDS, dimana diindikasikan dengan adanya solitary flexion
PIP joint.
• Cara memeriksa fungsi FDP (gambar 2b). isolated DIP flexion anya dapat
dilakukan dengan intake-nya FDP muskulotendinous unit.

Catatan : terlihatnya tendon yang intake pada lacerated sheath tidak berarti
bahwa tendon tidak cedera. Tendon mungkin berada pada posisi yang lain ketika
cedera terjadi juga pada saat pemeriksaan dilakukan. Bagian tendon yang
mengalami laserasi telah pindah kebagian proksimal atau distal. Periksa dan
dokumentasikan integritas nervus digital yang terlibat (menggunakan 2-point
discrimination dengan menggunakan ujung klip kertas, dengan jarak sekitar
5mm).

Riwayat/anamnesa :
• Mekanisme injury : laserasi dan trauma tertutup/tumpul.
• Okupasi
• Tangan yang dominant
X ray jari dengan tujuan :
• Eksklusi FB pada luka laserasi
• Eksklusi avulse FDP insertion pada bagian dasar distal phalanx pada fraktur
yang tertutup (lateral film).
342

Implikasi ‘zoning’/pembagian wilayah


• Waktu perbaikan
1. Primary repair (dalam 24 jam) direkomendasikan. Jika hal ini terlambat
dilakukan sampai 3 minggu, repair mungkin membutuhkan tendon graft.
2. Zona III, IV dan V (gambar 3) membutuhkan pembedahan/repair segera,
karena sering berkaitan dengan cedera pada daerah disekitarnya.
• Outcome
1. Zona II dikenal sebagai ‘no-man’s land’ karena sulit untuk diperbaiki.
Output yang buruk ketika 2 tendon yang diperbaiki (FDS dan FDP)
diharapkan untuk dapat digerakkan secara luwes sebuah fibrous sheath.
2. Zone III bisaanya memiliki outcome yang baik setelah primary repair.

Manajemen cedera tendon fleksoris pada ED


• MRS pada bagian ‘hand surgery’ untuk primary repair.
• Tetanus toxoid menurut regimen.

Laserasi Tendon fleksoris Partial


• Diagnosa : mungkin sulit
• Petunjuk : nyeri yang bertambah pada gerakan yang aktif
• Signifikansi
1. delayed rupture
2. Nyeri dan restricting tenosynovitis
• Semua laserasi parsial dari tendon akan membutuhkan eksplorasi.
Cedera yang melibatkan kurang dari 25% dapat diterapi dengan ‘trimming’
bagian ujung laserasi. Laserasi > 50% membutuhkan formal repair.
• Manajemen di ED : MRS untuk eksplorasi.

Cedera Tendon Ekstensor

Mallet Finger
• Rusaknya insersi tendon ekstensor pada bagian terminal phalanx
• Mekanisme injury :
1. Trauma tumpul via fleksi akut dari DIPJ dengan beban dari aksila
bertumpu pada terminal phalanx, cth : menangkap bola.
2. Laserasi, yang lebih jarang terjadi
• Manifestasi klinis:
1. Nyeri, bengkak dan nyeri tekan DIPJ
2. ketidakmampuan untuk meluruskan DIPJ
3. Subluksasi volar DIPJ
• X ray jari : cari fraktur pada basis distal phalanx.
• Manajemen tergantung dari tipe cedera:
1. cedera tertutup tanpa fraktur : mallet splint (gambar4) selama 6 minggu.
Follow up di bagian Hand Surgery setelah 5 hari.
2. Avulsi tendon dengan fragment tulang kecil (< 33%) : mallet splint.
Follow up di bagian Hand Surgery setelah 5 hari.
3. Avulsi tendon dengan fragment tulang besar : MRS untuk surgical repair.
4. Cedera terbuka : MRS untuk surgical repair.
343

Mallet splint
• Pemasangan volar splint pada distal phalanx, yang menjaga DIPJ
agar berada pada posisi sedikit hiperekstensi smentara PIPJ dan MCPJ bebas
bergerak.

Deformitas Boutonniere
• Kerusakan central slip dari tendon ekstensor PIPJ. Lateral band
yang secara normal berada pada dorsal dari aksis rotasi sehingga dapat
membuat gerakan meluruskan jari, saat ini menjadi jatuh ke volar dari aksis
tersebut dan gerakan yang dihasilkan jadi berkebalikan yaitu menyebabkan
fleksor PIPJ.
• Mekanisme cedera:
1. pukulan langsung pada dorsum PIPJ.
2. Beban aksila yang memaksa fleksi PIPJ saat jari sedang ekstensi.
3. Laserasi di sepanjang atau distal dari PIPJ.
• Presentasi klinis:
1. Nyeri dan pembengkakan PIPJ
2. Pasien awalnya dapat melakukan ekstensi penuh dari PIPJ (karena lateral
slip functioning) walaupun kebanyakan px dengan cedera seperti ini
menunjukkan kelemahan pada saat ekstensi PIPJ.
3. deformitas Boutonniere bisaanya tidak muncul langsung setelah cedera
namun sering timbul setelah 10-14 hari.
4. kebanyakan memiliki associated dislocation yang telah direduksi sebelum
datang ke ED; ditunjukkan dengan pergerakan yang terbatas akibat nyeri.
• X ray jari: jika terdapat fraktur avulse dari dorsal basis middle
phalanx.
• Diagnosis: membutuhkan kecurigaan yang tinggi, dx bisaanya
tidak terlihat saat itu karena adanya pembengkakan akut.

• Manajemen :
1. Cedera tertutup : boutonnire splint. Follow up pada hand surgery dalam 5
hari.
2. cedera terbuka : MRS untuk primary repair.

Boutonniere Splint
• pasang volar splint pada PIPJ, posisikan pada ekstensi penuh, DIPJ
dan MCPJ bebas. (gambar 5).

Kerusakan Ekstensor MCPJ


• Bisaanya merupakan cedera terbuka
• Penting untuk mengeksklusikan gigitan manusia/pukulan kea rah
gigi (px sering mengingkari riwayat ini), karena:
1. resiko tinggi septic arthritis jika tooth wound terlewatkan.
2. Debridement luka, berikan antibiotik.
3. penutupan sekunder dipertimbangkan daripada penutupan primer.
• Penemuan : Ekstensi MCPJ dapat terus terjadi karena sagittal
bands pada sisi tendon.
• X ray MCPJ untuk mencari :
344

1. FB, cth : fragment gigi


2. Radiolusensi pada MCPJ
3. cedera pada metacarpal head
• MRS untuk surgical repair
• Mulai pemeberian antibiotik IV dan beri profilaksis tetanus

Isolated Thermal Burns pada tangan


Luka bakar minor
• Derajat 2 dan 3 (ketebalan superficial dan superficial partial)
• Profilaksis tetanus
• Berikan analgesic
• Terapi local :
1. Pembalutan TG dengan atau tanpa krim silver sulfadiazine (kontra indikasi
pada kehamilan dan alergi sulfa)
2. tangan dibalut dalam polythene bag yang bersih untuk mendorong
mobilisasi.
3. Elevasi tangan dalam arm sling untuk mereduksi pembengkakan.
• Control pada Hand surgery dalam 1-2 minggu.

Deep Dermal Burns


• Derajat ke-3 dan ke-4 (ketebalan deep partial dan full thickness)
• Profilaksis tetanus
• Cedera full thickness sirkumferensial dari limb dapat menginduksi cedera
kompresi di bagian distalnya; penting untuk memeriksa status neurovascular.
Escharotomy urgent mungkin diperlukan.
• Pnempatan : MRS pada bagian Hand Surgery untuk perawatan luka, dan
kemungkinan skin grafting.

Catatan : (1) antibiotik sistemik profilaksis secara rutin tidak disarankan. (2)
cedera partial thickness dapat dibedakan dari full thickness dengan hilangnya
sensasi pada pin prick test, dan (3). Pertimbangkan cedera non-accidental pada
anak.

Luka bakar Akibat bahan kimia pada tangan


• Dalamnya luka bakar secara langsung terkait dengan lama kontak dengan
agent penyebab.
• Dokumentasikan: bahan kimia yang terlibat, lama paparan, terapi awal yang
diberikan pada luka, cth : pencucian luka/antidote.
• Manajemen :
1. bubuk kimia harus dibersihkan
2. Irigasi denganm saline atau air bersih dalam jumlah yang banyak
3. elevasikan tangan
• Luka bakar Hidrofluorik acid : sebuah keadaan emergency pada
tangan! Lihat Burns, Minor
1. Nyeri yang sangat
2. Menyebabkan kerusakan yang dalam samapi ion fluoride dinetralisisr oleh
Ca2+.
3. Untuk cedera superficial, aplikasikan topical calsium gluconate dicampur
dengan KY gel yang steril.
345

4. Untuk cedera yang dalam dan ekstensif, pertimbangkan injeksi


subkutaneus 10% kalsium glukonat dalam basa dan sekitar luka bakar
menggunakan jarum 27G. usahakan untuk menghindari melakukan digital
block sebagai maneuver analgesic karena tindakan ini memang dapat
mengurangi nyeri, tapi sekaligus menghilangkan satu parameter untuk
menentukan efikasi terapi dengan kalsium glukonat, yaitu : nyeri.

Luka Bakar Elektrik Pada Tangan


• Ada 2 elemen yang dipertimbangkan :
1. flash burn, yang menyebabkan luka bakar deep dermal.
2. jalur lewatnya aliran elektrik di dalam tubuh. Komplikasi yang mungkin
adalah kardiak disritmia dan mioglobinuri dengan resultan ARF.
• Riwayat : membedakan aliran listrik tegangan rendah dengan
supply domestic (240 V 50 MHz) dengan aliran tegangan tinggi dari
industri.
• Pemeriksaan
1. Cari luka masuk dan luka kelur
2. dapat mengalami thermal burn sekunder akibat terbakarnya pakaian.
3. periksa sirkulasi ekstremitas dan status neurovascular.
• Manajemen saat di ED:
1. EKG 12 lead, monitoring jantung terhadap aritmia.
2. cek urea/elektrolit/kreatinin, kreatinin kinase, LDH
3. X ray pada suspek dislokasi sendi dari kontraksi katatonik otot sekunder
terhadap listrik tegangan tinggi.
4. terapi luka bakar dermal
• Penempatan : MRs pada bagian General medicine untuk
monitoring jantung jika terjadi disritmia atau kollaps kardiovaskular.

Infeksi Tangan
Paronychia
• Abses nail fold
• Pembengkakan jaringan subungual dan kemerahan dengan atau tanpa frank
pus.
• Screening untuk DM
• Terapi :
1. Awal : antibiotik oral, cth cloxacilin (versus S. aureus) dan rendam air
hangat setiap hari.
2. Lanjut : antibiotik oral dan I&D abses dibawah blok digital.
• Metode drainase (lihat gambar 6 dan 7)
1. Iris mess/blade ke dalam nail sulcus di dekat titik dengan nyeri tekan yang
paling maksimal.
2. Hilangkan sebuah potongan longitudinal kuku jika terdapat abses
subungual.
• Penempatan : rujuk ke Hande sugery untuk follow up pada hari
kerja berikutnya untuk dibalut.
346

Gambar 6 : Drainage paronychia


(a). lipatan eponychial dielevasi dari kuku dengan simple paronychium, (b). kuku
lateral dihilangkan jika terdapat pus dibawahnya. Insisi eponychial yang kecil
mungkin diperlukan, dan (c). kuku bagian proksimal dihilangkan jika pus terdapat
dibawahnya. Dua insisi akan diperlukan untuk menghilangkannya.

Gambar 7 : Terapi Abses Subungual Proksimal


(a). ekspos tepi kuku bagian proksimal, (b). elevasi dan insisi 1/3 bagian proksimal
nail plate dan bersihkan nail bed. (c) tinggalkan 2/3 bagian distalnya untuk berfungsi
sebagai pembalut fisiologisnya. Perawatan harus dilakukan agar jangan sampai
merusak matriks kuku. Dan (d) gunakan sebuah bismuth impregnated gauze sebagai
sumbu selama 48 jam.

Felon
• Infeksi distal pulp space dari sebuah jari.
• Pembengkakan, nyeri dan kemerahan dari ujung jari
• X ray : singkirkan FB dan keterlibatan tulang
• Terapi : insisi dan drainase dibawah block digital
• Metode drainase
1. Insisi high lateral (hindari neurovascular bundle) dimulai 5mm distal dari
lipatan kulit DIPJ dan teruskan sampai bagian akhir nail plate.
2. insisi palmar longitudinal : pilihan insisi tergantung penemuan titik nyeri
tekan yang paling maksimal.
3. Septa fibrous pada finger pad harus diinsisi secara tajam untuk
menghasilkan drainase yang adekuat dari space yang tertutup.
• Antibiotik : Cloxacilin (versus S.aureus)
• Penempatan
1. control ke Hand surgery untuk follow up setelah I&D.
2. MRS pada Hand suregery untuk amanajemen adanya komplikasi seperti
osteitis atau osteomielitis dari phalanx distal, piogenik arthritis DIPJ,
pyogenic Flexor tenosynovitis.
347

Suppurative flexor tenosynovitis


• Infeksi pada fleksor tendon sheath yang bisaanya terjadi setelah
penetrating injury.
• Manifestasi klinis : Kanavel’s 4 cardinal sign
1. Pembengkakan yang seragam pada jari
2. resting position jari yang semifleksi
3. Nyeri tekan pada semua bagian sheath
4. nyeri pada seluruh sheath dengan ekstensi pasif dari jari
• pengenalan dini serta terapi penting untuk menghindari nekrosis
tendon dan penyebaran ke proksimal.
• X ray jari untuk meneksklusi benda asing.
• Penempatan : MRS pada bagian Hand surgery untuk antibiotik IV
dan surgical drainase.

99. Trauma, Kepala

Caveats
• Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas setelah
trauma.
• Walaupun bisaanya tidak ada terapi spesifik untuk mengatasi primary brain
injury, beberapa secondary brain injury dapat dicegah atau diterapi.
Catatan : Primary brain injury merupakan kerusakan yang terjadi secara langsung
oleh trauma/gerakan mekanikal. Secondary brain injury terjadi setelah initial
trauma.
• Hipoksemia dan hipotensi merupakan penyebab sistemik yang paling
sering menyebabakan secondary brain injury.
• Jangan mengasumsikan AMS pada px trauma kepala terjadi karena
intoksikasi alcohol. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh hipoglikemi,
hiperkarbi, hipotensi atau concomitant dengan intoksikasi obat.
348

• Fraktur tulang tengkorak meningkatkan kecenderungan adanya


underlying cedera otak (tabel 1).
• Lucid interval harus menjadi penanda untuk menyingkirkan adanya
hematoma ekstradural yang akut.
• Semua px dengan trauma mayor harus dianggap mengalami cedera kepala
atau fraktur cervical spine sampai terbukti tidak.
• Seorang pemeriksa tidak dapat mengandalkan hasil pemeriksaan
neurology sebelum perfusi dan oksigenasi yang adekuat telah diberikan.
• Observasi px cedera kepala meliputi pemeriksaan neurology yang
berulang.
• Jangan menganggap hipotensi yang terjadi pada px trauma timbul hanya
akibat cedera kepala. Sumber perdarahan lain tetap harus dicari.
• Hipertensi dan bradikardi (Cushing reflex) menunjukkan adanya
peningkatan tekanan intracranial.
• Dilatasi pupil unilateral atau respon cahaya yang lemah mengindikasikan
adanya massa yang berkembang pada sisi yang sama dengan pupil yang
berdilatasi. Tanda ini terjadi pada tahap akhir keadaan peningkatan
intracranial.

Tabel 1 : Resiko Hematoma Intrakranial setelah cedera kepala


Resiko Hematoma Intrakranial
Orientasi cukup tidak ada Skull fracture 1 dari 6000 kasus
Disorientasi tidak ada Skull fracture 1 dari 120 kasus
Orientasi cukup Skull fracture 1 dari 30 kasus
Disorientasi Skull fracture 1 dari 4 kasus
• Deficit motorik fokal baru merupakan tanda yang penting yang menunjukkan
bahwa px membutuhkan perawatan yang agresif dan immediate.
• Jangan pernah memberikan sedasi pada pasien cedera kepala yang gelisah
sebelum mengetahui hasil CT scan karena hal tersebut dapat meningkatkan
perkembangan hematoma intrakrnial.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


• Tidak semua px dengan cedera kepala ringan atau
laserasi kepala membutuhkan X ray kepala. Lihat
criteria yang akan disebutkan dibawah.
• Harus ada pengawas di rumah untuk mengamati px
bila KRS dilakukan.

Manajemen
Skull X ray (SXR)
• Indikasi: controversial. SXR bisaanya tidak diindikasikan untuk cedera kepal
aringan yang akan di MRSkan untuk observasi dengan pengecualian pada
keadaan berikut:
1. Large boggy scalp hematoma yang menghalangi palpasi akurat terhadap
adanya depressed skull fracture (dimana CT scan kepala juga harus
dilakukan).
2. Suspek benda asing radioopaque pada laserasi kulit kepala (cth : karena
pecahan kaca).
349

50% abnormalitas intrakranial yang terdapat pada kasus trauma kepala, tidak
berkaitan dengan adanya fraktur tulang tengkorak. Sehingga dengan adanya
fraktur tulang tengkorak akan meningkatkan kecurigaan adanya lesi
intracranial, namun dengan tidak adanya fraktur tengkorak tidak akan
menghilangkan pentingnya CT scan untuk dilakukan.
Catatan : simple scalp laceration bukan merupakan criteria dilakukannya
SXR. Luka harus dipalpasi terlebih dahulu sebelum T&S dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan fraktur.
• Apa yang harus dicari pada sebuah SXR
1. fraktur tulang tengkorak linear atau depressed
2. posisi midline dari kalsified glandula pineal. Pergeseran > 3mm pada satu
sisi menandakan adanya hematoma intracranial yang besar.
3. Air-fluid level pada sinus (termasuk sinus sphenoidal)
Catatan : fluid level pada sinus sphenoidal terdeteksi pada SXR lateral yang
diambil dengan horizontal beam menunjukkan basal skull fracture. Base of
skull fracture bukan indikasi urgent untuk dilakukannya CT scan kepala jika
GCS 15, namun merupakan indikasi untuk MRS. Penelitian terbaru
menunjukkan tidak adanya bukti penggunaan profilaksis antibiotik pada basal
skull fracture. Hal ini karena occult CSF leakage dapat berlanjut berbulan-
bulan dan bertahun-tahun serta delayed meningitis dapat muncul kadang-
kadang pada beberapa tahun setelah cedera. Antibiotik diberikan apabila
terdapat posttraumatic meningitis, bisaanya karena infeksi Streptococcus
pneumoniae, yang umumnya sensitive terhadap benzyl penicillin.
4. aerocele
5. fraktur facial
6. Benda asing
7. diastasis (pelebaran) sutura.

CT scan
• Indikasi emergent CT scan setelah cedera kepala
1. GCS ≤ 13 tanpa adanya intoksikasi alcohol atau fraktur tulang tengkorak.
2. GCS ≤ 14 dengan adanya fraktur tulang tengkorak
3. Pupil yang berdilatasi unilateral pada keadaan AMS
4. depressed skull fracture
5. Defisit neurologik fokal
6. pasien cedera kepala yang membutuhkan ventilasi
7. pasien cedera kepala yang membutuhkan anestesi general untuk operasi
lainnya.
Catatan: CT scan emergent masih controversial. Menurut ATLS, semua px
bahkan dengan cedera kepala ringan membutuhkan CT scan kepala, namun
akan sangat membutuhkan biaya yang besar.

Resusitasi
Prioritas resusitasi menurut ATLS, a.l :
• control jalan nafas dan cervical spine
• pernafasan
Catatan : penyebab respiratory impairment meliputi : (1) penyebab sentral
seperti obat-obatan dan brain stem injury, (2) penyebab perifer seperti
obstruksi jalan nafas, aspirasi darah/vomit, trauma dada, adult respiratory
distress syndrome dan edema pulmonary neurogenik.
350

• Sirkulasi
1. Pemeriksaan darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, GXM
± kadar serum etanol.
Catatan : kadar alcohol darah < 2g/l menunjukkan bahwa AMS yang
terjadi adalah akibat cedera kepala bukan karena intoksikasi alcohol.
Namun tingginya kadar alcohol tidak dapat dikatakan sebagai penyebab
terjadinya keadaan AMS pada px cedera kepala tersebut.
2. lakukan pemeriksaan GDA pada semua px cedera kepala dengan
penurunan kesadaran untuk mengeksklusi adanya hipoglikemi.
• Pemeriksaan neurologik
• Indikasi Intubasi pada cedera kepala
1. Koma (GCS <8)
2. deteriorasi GCS yang cepat ≥ 2.
3. GCS ≤ 14 dengan adanya dilatasi pupil unilateral.
Catatan : dilatasi atau fixed pupil pada px trauma bisaanya disebabkan
oleh hematoma atau kerusakan otak, namun juga disebabkan oleh
expanding trauma mata, cedera langsung pada nervus kranialis ketiga,
bermacam-macam obat, aneurisme intracranial, hipoksia, hipotensi,
kejang dan expanding aneurisme intrakrnial.
4. distress respirasi secara klinis, RR > 30x/menit atau < 10x/menit,
abnormalitas pola pernafasan atau hipokemia yan gtidak terkoreksi dengan
O2 100% yang diberikan melalui non-rebreather mask.
5. concomitant maxillofacial injuries
6. konvulsi berulang
7. concurrent edema pulmonal berat, cedera kardiak atau abdominal bagian
atas.
Catatan : hiperventilasi harus digunakan untuk mencapai PCO2 antara
30-35 mmHg jika ada indikasi peningkatan tekanan intrakrnial. Dalam
keadaan bisaa, PCO2 harus berada pada kisaran 34-40 mmHg. Cek
ulang BGA 10-15 menit setelah hiperventilasi.
• Indikasi penggunaan Mannitol pada cedera kepala :
1. pasien koma yang awalnya memiliki pupil yang normal dan reaktif namun
kemudian berkembang menjadi dilatasi disertai atau tanpa adanya
hemiparesis.
2. Dilatasi pupil bilateral dan nonreaktif tetapi tidak hipotensive.
Dosis Mannitol : 1g/kgBB, cth [5x BB (kg)] ml larutan mannitol 20%
dalam infus cepat selama 5 menit.

Perhatian sebelum menggunakan mannitol :


a. Pasang kateter urinary
b. Pastikan px tidak hipotensi
c. Pastikan px tidak menderita gagal ginjal kronis
Catatan : hiperventilasi dan IV mannitol akan membutuhkan waktu
selama 2jam, dan tidak boleh ada waktu yang terbuang dalam
pembuatan keputusan terapi definitive.

Kriteria Merujuk px ke Bedah Saraf


Dapat berbeda menurut institusi, a.l:
• Cedera kepala dengan deteriorasi GCS
• Depressed skull fracture
351

• Pneumokranium
• Penetrating skull injuries
• Penemuan yang positif pada CT scan

Kriteria MRS pada cedera kepala ringan


• Hilang kesadaran > 10 menit
• Amnesia
• Kejang post traumatic
• Tanda klinis fracture basis cranii
• Sakit kepala moderate atau severe, atau vomiting
• Intoksikasi alcohol
• Penetrating injury
• Fraktur tulang tengkorak
• Associated injuries yang signifikan
• Tidak adanya pengawas yang dapat diandalkan dirumah

Instruksi pada cedera Kepala


Sebelum KRS, berikan KIE bahwa px harus segera kembali ke RS bila mengalami :
• Sakit kepala hebat
• Muntah yang sering
• Keluarnya cairan dari hidung atau telinga
• Kebingungan yang tidak appropriate
• kejang

100. Trauma, Tungkai bawah

Caveats
• Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam
nyawa dan termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
• Semua dislokasi bisaanya bukan merupakan kasus serius dan hanya
membutuhkan analgesic yang adekuat, kecuali pada 3 kasus sbb, yang
membutuhkan reduksi secepatnya:
1. Dislokasi lutut (karena popliteal artery compromise)
2. dislokasi pergelangan kaki (karena nekrosis kulit)
352

3. Dislokasi panggul (karena avaskular nekrosis panggul)


• Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan
reduksi pada ED, jangan berikan opioids IM, namun berikan secara IV.
Karena opioid yang diberikan lewat IM absorbsinya baik. Sehingga ketika
dibutuhkan conscious sedation, seseorang harus memastikan dosis efek
penghilang nyerinya. Hal ini akan menyebabkan supresi pernafasan dan
hipotensi ketika dosis total opioid IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.

Tips khusus Bagi Dokter Umum :


• X ray pergelangan kaki tidak selalu dibutuhkan pada cedera pergelangan
kaki. Lihat bagian : Indication for Ordering X ray in Ankle Injury.
Dislokasi Panggul (pangkal Paha)
• Mekanisme cedera
1. Dashboard injury
Catatan : hal ini terjadi karena simultannya fraktur patella, fraktur femoral
shaft dan dislokasi panggul posterior.
2. jatuh bertumpu pada kaki menyebabkan dislokasi panggul posterior jika
kaki mengalami fleksi dan adduksi pada pangkal paha, dislokasi anterior
terjadi jika pangkal paha terlalu abduksi dan dislokasi sentral terjadi jika
femur berada pada posisi antara abduksi atau adduksi.
3. jatuh dengan berat badan bertumpu saat kaki sedang melebar/terbuka, lutut
lurus dan punggung membungkuk ke depan menyebabkan anterior hip
dislocation.
4. melakukan ‘split’ menyebabkan dislokasi panggul anterior.
5. jatuh pada satu sisi menyebabkan dislokasi panggul sentral.

• Manifestasi klinis
1. dislokasi panggul posterior : panggul fleksi ringan, adduksi dan rotasi ke
dalam, kaki terlihat lebih pendek, femoral head terpalpasi pada bokong.
2. Dislokasi panggul anterior : panggul fleksi ringan, abduksi dan rotasi ke
luar, tonjolan dislocated head di bagian anterior terlihat dari arah samping.
3. Dislokasi panggul sentral : kaki dalam posisi yang normal, nyeri tekan
pada trochanter dan pangkal paha, serta masih terdapat gerakan yang
kecil/terbatas.

• X Ray : foto AP yang menunjukkan pelvis, serta lateral view yang


menunjukkan pangkal paha yang terlibat.
Catatan: sangat penting untuk diingat bahwa pada semua nyeri pangkal paha,
harus difoto AP pelvis, serta lateral view dari pangkal paha yang terlibat untuk
alasan sbb:
1. fraktur ramus pubis dapat muncul dengan nyeri pada panggul. Hal ini bisa
terlewatkan apabila hanya melakukan foto AP dari pangkal paha yang
terkena, bukan AP pelvis.
2. AP pelvis memberikan kesempatan untuk membandingkan shenton’s line
pada kedua sisi serta membantu mencari abnormalitas yang lain.
• Komplikasi
1. Foot drop dari sciatic nerve yang terlibat dalam dislokasi pangkal paha
posterior.
353

2. Paralisis nervus femoralis dan kompresi arteri femoralis pada dislokasi


pangkal paha anterior.
• Terapi/penempatan
1. analgesic dengan narkotik melalui IV dan bukan IM sebelum X ray.
2. Reduksi secepatnya dibawah sedasi yang sadar pada ED.
3. Cek X ray setelah reduksi dan MRS untuk pemasangan traksi
4. jika tidak dapat direduksi, MRS untuk reduksi dibawah general anestesi.

Fraktur Femoral Neck dan Fraktur Trochanter


• Mekanisme trauma : bisaanya pada lansia yang jatuh
• Manifetasi klinis :
1. tidak mampu menahan berat badan setelah jatuh, disertai atau tanpa nyeri
pada pangkal paha.
2. rotasi eksternal dan pemendekan tungkai bawah
3. nyeri tekan pada daerah fraktur
4. nyeri pada saat mencoba melakukan gerakan
5. bruising merupakan tanda yang muncul terlambat pada fraktur
ekstrakapsular dan akan absent pada saat terjadi cedera akut.
• X ray
1. foto pelvis AP dan lateral view dari pangkal paha yang terlibat
2. ingat untuk melakukan X ray pada pasien lansia sebelum MRS
• Komplikasi : bisaanya tidak ada
• Terapi : analgesi sebelum X ray. Pasang internal fixation.

Fraktur Femoral Shaft


• Mekanisme trauma : bisaanya karena kekerasan kecuali pada fraktur
patologik. Bisaanya terdapat pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian
atau crushing injuries.
• Manifestasi klinis : weight bearing tidaklah mungkin.
1. mobilitas yang abnormal pada tungkai setinggi fraktur.
2. rotasi kaki eksternal, abduksi dan pemendekan pada pangkal paha.
• X ray : AP dan lateral view dari femoral shaft (meliputi sendi
panggul dan lutut).
• Terapi :
1. IV drip dengan GXM karena walaupun hanya terjadi simple fracture,
terjadi kehilangan darah sebesar ½ - 1 liter ke dalam jaringan dengan
sering disertai syok.
2. berikan analgesic, cth femoral nerve block, narkotik IM atau IV.
3. Aplikasikan Donway’s air Splint
4. pasang traksi atau intramedullary nailing.

Fraktur Patellar
• Mekanisme
1. Kekerasan langsung cth akibat kecelakaan lalu lintas dengan dashboard
injury, jatuh pada permukaan yang keras, serta jatuhnya benda yang berat
diatas lutut.
2. dengan kekerasan tidak langsung sebagai akibat kontraksi otot yang
mendadak.
• Manifestasi klinis
354

1. ketidakmampuan untuk mengekstensikan lutut.


2. bruising dan abrasi di atas lutut
3. catat lokasi nyeri tekan
4. ada celah yang terpalpasi diatas atau dibawah patella.
5. displacement yang jelas dari bagian proksimal patella
• X ray : AP dan lateral view lutut
• Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
2. jika tidak terdapat pergeseran, aplikasikan cylinder backslab dan KRS
dengan diberikan analgesic, serta crutches kemudian dirujuk pada klinik
bedah.
3. jika terdapat pergeseran, aplikasikan cylinder backslab dan MRS untuk
fiksasi

Dislokasi Patellar
• Mekanisme
1. riwayat khas : saat sedang berlari, lutut terbentur dan px jatuh. Px sering
memperlihatkan tonjolan di bagian medial yang prominent dari condilus
medialis femur (walaupun patella bisaanya mengalami dislokasi ke
lateral).
2. dislokasi patella dapat berkurang secara spontan
• Manifestasi Klinis
1. effuse mild knee
2. nyeri tekan pada bagian medial lutut
• X ray : AP, lateral dan skyline view. Skyline view digunakan untuk
menyingkirkan fraktur lain pada kondilus lateral dari femur.
• Terapi :
1. berikan analgesic dan reduksi dislokasi
2. Aplikasikan cylinder backslab selama 6 minggu pada dislokasi yang
pertama untuk mencegah dislokasi yang rekuren.
3. jika terjadi dislokasi rekuren, aplikasikan pressure bandage selama 1-2
minggu.

Dislokasi Lutut
Merupakan Keadaan yang Emergensi!
• Mekanisme trauma : bisaanya karena kecelakaan lalu lintas, terutama dash
board injury
• Manifestasi klinis : pembengkakan, deformitas yang besar, sering dengan
marked posterior sag.
• X ray : AP dan lateral view dari lutut
• Komplikasi :
1. Cedera arteri popliteal : cari keadaan pucat, dingin, pulseless atau parestesi
pada tungkai bawah.
2. Palsy nervus peronealis
• Terapi
1. berikan analgesic IV
2. Reduksi dislokasi secepatnya, terutama jika terdapat keterlambatan dalam
X ray.
3. Aplikasikan cylinder backslab.
355

4. hubungi bedah TKV dan ortopedi serta atur angiogram.


• Penempatan
1. MRSkan semua pasien

Haemarthrosis Lutut/effusi
• Mekanisme trauma : bisaanya karena trauma pada daerah lutut.
Haemarthrosis pada lutut yang terjadi cepat disebabkan oleh :
1. robeknya ligament cruciatum
2. Robeknya ligamentum collateral
3. Fraktur osteokondral
4. peripheral meniscal tear
Effusi yang terlambat bisaanya terjadi akibat meniscal tear
• Manifestasi klinis: pembengkakan yang besar dari haemarthrosis
atau effuse.
• X ray :
1. AP dan Lateral View dari lutut. Catat bahwa fat fluid level pada bursa
suprapatellar mengindikasikan adanya fraktur intraartikular walaupun
fraktur tidak terlihat. (gambar 2).
2. skyline view digunakan pada subtle fracture dari condilus femoralis
(terutama pada dislokasi lateral patella) dan patella.
• Komplikasi : hati-hati bahwa px mungkin tidak mengalami
dislokasi lutut atau concomitant fraktur lutut.
• Terapi :
1. jika haemarthrosis lutut tidak tegang, px dapat KRS dengan istirahat, es,
kompresi (aplikasikan crepe bandage) dan terapi elevasi (RICE).
2. berikan analgesic
• Penempatan
1. rujuk ke klinik ortopedi dalam 24-48 jam
2. jika terdapat tense haemarthrosis, px harus MRS untuk aspirasi.

Fraktur Tibial Plateau


• mekanisme trauma : bisaanya akibat severe valgus strees
• Manifestasi klinis
1. haemarthrosis
2. Bruising di lateral
3. Abrasi
4. Deformitas valgus pada lutut
• X ray : AP dan lateral view dari lutut
• Komplikasi : dx subtle tibial tabel fracture mungkin terlewatkan.
Jika berat badan px terus menerus bertumpu pada daerah tsb, maka fraktur
akan memburuk.
• Terapi : berikan analgesic dan aplikasikan cylinder backslab.
• Penempatan : fiksasi atau traksi tergantung beratnya fraktur

Fraktur Tibia/Fibula
• Mekanisme trauma :
1. tekanan torsional (cedera olahraga)
2. Kekerasan yang ditransmisikan melalui kaki (cth : jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas)
356

3. Hentakan langsung (cth kecelakaan lalu lintas, tertimpa benda yang berat)
Isolated fracture tibia atau fibula dapat terjadi akibat kekerasan secara
langsung walaupun relative jarang. Kekerasan tidak langsung menyebabkan
fraktur pada tibia sekaligus fraktur fibula.
• Manifestasi klinis :
1. nyeri
2. pembengkakan
3. Deformitas
4. Nyeri tekan
5. Fraktur krepitus
6. sering berupa fraktur terbuka karena 1/3 tibia adalah subkutaneus
• X ray : AP dan Lateral view dari tibia/fibula (harus meliputi lutut
dan pergelangan kaki)
• Komplikasi : compartment syndrome pada fraktur tertutup dan
infeksi pada fraktur terbuka.
• Terapi:
1. fraktur tertutup undisplaced dari tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV sebelum X ray
b. aplikasikan backslab diatas lutut
c. ulangi X ray untuk mengecek final position dari fraktur.
d. MRS untuk observasi
2. Fraktur tertutup displaced dari tibia dan fibula
a. Berikan narkotik IV sebelum X ray
b. Dibawah conscious sedation dengan IV Midazolam dan
narkotik, coba untuk mereduksi fraktur.
c. Aplikasikan backslab diatas lutut
d. Ulangi X ray sebelum MRS
3. Fraktur terbuka tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV
b. lakukan swab c/s dari luka
c. tutup luka dengan dibalut
d. cek status immunisasi tetanus px.
e. Berikan antibiotik (Cefazolin)
f. Aplikasikan long leg backslab atau temporary splint
g. Rencanakan debridemen luka
4. Isolated Closed Fracture of Fibula
a. Berikan analgesic IM
b. Singkirkan fraktur tibia dengan cedera pada sendi pergelangan kaki
c. Crepe bandage
d. KRS dengan diberikan analgesic
e. Rujuk ke klinik ortopedi.
Catatan : pasien dapat diijinkan untuk menahan berat badan.

Cedera Ankle (pergelangan kaki)


• Mekanisme trauma : ketika pergelangan kaki mengalami deformitas, harus
curigai adanya dislokasi ankle. Ini merupakan keadaan emergency!
Catatan : Dislokasi ankle harus direduksi secepatnya untuk mencegahg nekrosis
kulit.
• Manifestasi klinis : pada suspek cedera ankle, lakukan palpasi 4 bagian tulang,
sbb:
357

1. Malleolus medialis
2. Malleolus lateralis
3. Seluruh bagian panjang fibula
4. Basis metatarsal ke-5
• X ray : tidak harus dilakukan pada kasus sprained ankle
Indikasi X ray pada cedera ankle :
1. Nyeri tekan pada tepi posterior (distal 6cm) atau ujung malleolus lateralis.
2. Nyeri tekan pada tepi posterior (distal 6cm) atau ujung malleolus medialis.
3. tidak mampu untuk menahan berat badan
4. pada kasus dimana terdapat pembengkakan yang nyata sehingga tidak
memungkinkan palpasi yang akurat.
5. pada kasus dimana terdapat instabilitas klinis.
6. pada px usia > 50 tahun dimana menurut penelitian klinis mengindikasikan
kemungkinan insiden fraktur sekitar 30%.
7. untuk alasan social, cth : pada seorang atlit.
Catatan: Kriteria 1 sampai 3 dikenal sebagai Ottawa Ankle Rules.
X ray yang disarankan:
1. AP dan lateral view dari ankle untuk suspek fraktur ankle.
2. Seluruh fibula jika terdapat nyeri tekan pada fibula yang dapat
menyingkirkan fraktur Maissoneuve.
3. Posisi PA dan lateral dari kaki jika terdapat nyeri tekan pada basis
metatarsal ke-5.
• Komplikasi : Nekrosis kulit pada delayed reduction dislokasi ankle.
• Terapi :
1. sprained ankle :
a. berikan analgesic pada ED
b. KRS dengan terapi RICE dan analgesic
c. Rujuk ke fisioterapi untuk strapping ankle pada severe sprain.
2. Fraktur ankle :
a. Aplikasikan backslab dibawah lutut
b. MRS untuk fiksasi internal kecuali pada isolated stabel fracture
of lateral malleoulus dibawah ankle mortise yang dapat diterapi
secara konservatif.
3. Dislokasi ankle
a. Pasang heparin plugdan berikan narkotik IV sebelum
dilakukannya X ray
Catatan : dislokasi ankle harus direduksi secepatnya dibawah
conscious sedation dengan midazolam dan narkotik, atau inhalasi
Entonox (N2O/O2) untuk mencegah nekrosis kulit. Sehingga, jika
terdapat katerlambatan X ray > 10-15 menit atau jika terdapat tanda
circulatory compromise, ankle tersebut harus direlokasi bahkan
sebelum X ray dilakukan.
b. Aplikasikan short leg backslab setelah reduksi
c. Lakukan post reduksi X ray
d. MRS untuk fiksasi internal.

Fraktur Calcaneum
• Mekanisme trauma : jatuh dari ketinggian pada tumit
Catatan : ingat untuk menyingkirkan fraktur calcaneal bilateral dan wedge
fracture of spine.
358

• Manifestasi klinis :
1. tumit ketika dilihat dari arah belakang akan
nampak melebar, memendek, mendatar atau miring ke lateral membentuk
valgus.
2. Pembengkakan yang menegang pada tumit
3. Nyeri tekan local yang jelas
4. Jika px muncul kemudian, mungkin akan timbul
bruising yang dapat menyebar ke sisi medial telapak kaki dan proksimal
dari betis.
• X ray : AP, lateral, dan axial view dari
calcaneum
• Terapi :
1. jika sendi subtalar tidak terlibat
a. aplikasikan firm bandaging over wool
b. KRS dengan crutches (tongkat penyangga), analgesic, dan
sarankan untuk melakukan elevasi tungkai di rumah.
2. Jika fraktur kalkaneum bilateral ada, sarankan untuk istirahat.
3. Jika kalkaneum mengalami pergeseran atau ‘crushed’:
a. aplikasikan backslab di bawah lutut
b. MRS

FOOT INJURY
Catatan : yang paling sering terjadi a.l :
• Fraktur kalkaneum
• Dislokasi Tarso-metatarsal
• Fraktur metatarsal
• Fraktur phalangeal/dislokasi
Dislokasi Tarso-metatarsal (Lisfranc’s)
• Mekanisme trauma:
1. jatuh pada plantar flexed foot
2. Hantaman pada forefoot seperti pada kecelakaan lalu lintas
3. hantaman pada tumit ketika berada pada posisi berlutut/bersujud
4. run over kerb side accident
5. Inverse, eversi atau abduksi dari forefoot yang dipaksakan.
• Manifestasi klinis : bengkak dan ‘penyimpangan’ dari kaki
• X ray : AP dan Oblique view dari kaki (gambar 3)
Catatan : Lisfranc’s dislocation tidak selalu menyediakan bukti yang
jelas pada radiografi, dan tetap menjadi fraktur kaki yang paling sering
mengalami missdiagnosa
• Komplikasi : arteri dorsalis pedis atau anastomosis medial plantar dapat
berada dalam ancaman.
• Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
2. Aplikasikan backslab
3. MRS untuk open reduction and Internal Fixation (ORIF)
Fracture Metatarsal
• Mekanisme : sering disebabkan karena Crushing injury
• X ray : AP dan Oblique view dari kaki
• Prinsip manajemen :
359

1. Jika fraktur undisplaced tanpa kerusakan jaringan lunak


a. bereikan analgesic sebelum X ray
b. Terapi simptomatik dengan crepe bandage atau short backslab dari
bagian distal sampai atas jari kaki
c. KRS dengan non-weight bearing crutches (NWB) dan analgesic.
d. Rujuk ke klinik ortophedi
2. Jika fraktur multiple dan undisplaced, terapi konservatif seperti diats.
3. Jika fraktur multiple dan displaced :
a. MRS untuk operasi jika fraktur terbuka
b. Aplikasikan backslab dan KRS dengan analgesic dan crutches
NWB kemudian rujuk segera ke klinik ortopedik untuk review
ORIF, jika fraktur tertutup.

Phalangeal Fracture/dislokasi
• X ray : AP dan oblique view dari kaki
• Prinsip manajemen :
1. tangani cedera jaringan lunak serta nail bed injury terlebih dahulu.
2. Reduksi dislokasi menggunakan digital block atau Entonox.
3. Immobilisasi Fraktur dan dislokasi menggunakan adhesive strapping pada
jari kaki yang berdekatan.
4. KRS dengan analgesic dan rujuk ke klinik ortopedik.
5. Untuk dislokasi jari kaki multiple, MRS untuk reduksi.

101 Trauma, maxillofacial


Peter Manning Shirley Ooi

PERHATIAN
• Perhatikan adanya suatu komplikasi luka pada wajah: utamanya komplikasi
obstruksi saluran napas, perdarahan, tulang leher, dan perlukan mata.
360

• Sejak beberapa perlukaan yang diakibatkan trauma tumpul, pemeriksaan


sekunder survey dapat menjadi dasar menyingkirkan perlukaan multisistem
(terjadi dalam 60% kasus trauma wajah yang berat)
• Jangan terlalu memaksakan penderita dengan patah mandibula pada posisi
terlentang karena mungkin terjadi gangguan jalan napas: usahakan penderita
setengah duduk jika penderita memerlukannnya.
• Jika tidak ada perdarahan luar yang siknifikan tidak menyingkirkan penyebab
perdarahan dalam sebagai penyebab shok hipovolumik sejak posisi penderita
terlentang mungkin menelan darah. Hanya kemudian, selama muntah, derajat
perdarahan dapat ditentukan.
• Lakukan pemeriksaan lengkap pada wajah, komponen pemerikasaan mata dan
status sumbatan jalan napas.
• Keuntungan pada tulang anak-anak lebih lunak di banding dewasa, lebih besar
tenaga yang diperlukan untuk patah tulang wajah anak dengan kejadian
banyak terjadinya bersamaan perlukaan intracranial.

Tip khusus untuk dokter umum


• Jangan memaksakan penderita dengan kecurigaan patah tulang mandibula
pada posisi terlentang sejak kemungkinan gangguan jalan napas.
• Ketika mengevaluasi penderita dengan kecurigaan patah tulang hidung , salah
satu perhatian cari septal hematom. Hal ini benar-benar THT emergensi yang
membutuhkan insisi dan drainase.
• Anak –anak muda mempunyai peningkatan insiden perlukaan tulang frontal
sebab lebih menonjol, yang mana perlukan wajah sebelah tengah lebih sering
terjadi. Selalu mencurigai perlukaan bukan karena kecelakaan pada jika
seorang anak dengan frenulum yang robek, trauma bibir, dan memar pada
wajah.
• Jika patah pada gusi hal ini merupakan emergensi Ellis klas III, identifikasi
adanya perdarahan dari pulpa.

PENATALAKSANAN
Secara umum dikatakan, penderita dapat dibagi dalam 2 kelompok :
• Kelompok perlukaan maxillofasial sekunder pada relative trauma kecil,
misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area
terapi biasa pada ruang gawat darurat.
• Kelompok perlukaan maxillofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul
berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau
jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada rawat
darurat :
1. Trauma maxillofasial berat harus di rawat pada kristis area diikuti
dengan teknik ATLS.
2. Yakinkan dan jaga patensi jalan napas dengan immobilisasi tulang
leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal,
atau jika penderita perlu melakukannya.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : 1. dengan jari 2. O-slik suture 3. dengan handuk
361

d. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau


krikotiroidotomi (lihat tatalaksana jalan napas/ RSI untuk
detailnya)
3. Berikan oksigenasi dengan masker non-reabreating .
4. Monitor : tanda vital stiap 5 – 10 menit, ECG, pulse oximetry.
5. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian
cairan.
6. Laboratorium : crossmatcs golongan darah, darah lengkap,
ureum/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
7. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.
a. Penekanan langsung
Jepitan hidung
Tampong hidung atau tenggorokan
b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron)
Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 – 10 menit.
c.

8. Foto rongen: waktu foto rongen wajah tidak prioritas dalam multiple
injury. 2 posisi radiografi adalah :
a. occipitomental atau posisi OM (water’s).
b. posteroanterior atau posisi PA (Caldwell)
c. posisi lateral
d. posisi submentovertical (SMV) atau ‘jughandle’
e. posisi towne

Catatan : posisi a,b, dan c diatas digunakan sebagai posisi standard wajah. Yang mana
Goh et al (2002) menunjukan bahwa posisi 30 derajat tunggal OM seharusnya cukup
untuk melihat trauma maxillofacial. Meningkat, jika dicurigai patah tulang wajah,
suatu posisi 30 derajat OM tungal seharusnya diminta dan tidak posisi wajah.

Posisi OM (water’s)
Lihat figur 1: baik untuk wajah bagian tengah, memperlihatkan rongga mata dan dasar
dan darah dalam sinus maxillary.

Posisi PA (Caldwell)
Lihat figur 2 : tampak tulang frontal dan sinus paranasal. Dapat kadang-kadang
tampak tsebelah atas suture frontal zygomaticus diastasis dalam patah tripod lebih
baik pada foto OM. 3

Posisi Lateral ( Cross-table or upright)


Lihat figure 3 : memudahkan gambaran darah dalam sinus.

Posisi Submentovertical (or ’jughandle)


Lihat figur 4 : tampak sudut zygomatic

Posisi Towne
Lihat figure 5 : tampak ramus mandibula dan condyles.

Sistem posisi OM mengunakan garis McGrigor’s.


lihat figur 6 : ikuti 3 garis pada posisi OM
362

• seperti tarikan garis , bandingkan bagian luka dengan yang bukan.


• Jaringan lunak sekitar dan dibawah garis harus diperiksa.

Figure 1 : Figure 2 : PA Figure 3 :


OM (posisi (posisi posisi lateral
water) Caldwell)

Figure 4 : Figure 5 :
SMW (posisi posisi Towne
jughandle)

Garis 1 (figur 7) : mulai sisi luar wajah, mengikuti lewat celah antara tulang
frontal dan zygomatic pada tepi lateral mata melintang dahi, penilaian tepi
orbita superior dan sinus frontal disisi luar. Bandingkan sisi bagian perlukaan
dan bukan. Cari :
1. Patah tulang.
2. Pelebaran suture zygomatikus.
3. Garis pada sinus frontal.

• Garis 2 (figur 8) : mulai sisi luar wajah, telusuri keatas sepanjang dinding tepi
sudut zygoma (atas elephant’s trunk), melintang badan zygoma, kebawah tepi
orbita, mengarah bentukan hidung ke sisi lain dari wajah. Bandingkan pada
perlukaan dengan sisi yang bukan. Amati patah tulang sudut zygoma melalui
tepi bawah mata bayangan jaringan lunak pada dinding atas antrum maxillaris
(blow out fracture).

• Garis 3 (figur 9) : mulai luar wajah, mengikuti sepanjang tepi sudut zygoma
( bawah elephant’s trunk), dan bawah lateral dinding antrum maxillaris ke
dinding inferior dari antrum, melintang sepanjang maxilla garis gigi kesisi
lainnya.

Figur 6 : McGrigor’s 3 lines


363

Figur 7 : McGrigor’s line 1

Figur 8 : McGrigor’s line 2 Figur 9 : McGrigor’s line 3

Syarat dari computed tomography


• Bukan prioritas dalam tatalaksana gawat darurat.
• Harus menilai untuk patah tulang komplek, khususnya yang termasuk sinus
frontal, daerah nasoethroid dan orbita.
• Standart foto rongen wajah lebih berguna untuk kasus rutin, misalnya
penganiyaan, jatuh pada lantai dll.
• CT diperlukan untuk memastikan C-spine.

PATAH TULANG SPESIFIK

Patah tulang frontal


• Pemeriksaan fisik : palpasi tulang periorbita ; uji untuk anastesi; pengujian
EOM.
• Pencitraan : foto skull/posisi Caldwell.
• Disposisi : rawat inap untuk patah tulang posterior dan patah tulang depresi
(IV antibiotik ,kontroversial). Kedua patah tulang ini sepertinya melewati
dura dengan kemungkinan terjadi intrakranial infeksi.

Patah tulang NEO (naso-ethmoidal-orbital)


• Pemeriksaan fisik seharusnya mencari :
1. Nyeri tekan medial cantal.
2. Cerebrospinalfluid rhinorhea
3. telechantus
• Pencitraan : CT wajah
• Disposisi : rawat jalan (IV antibiotik kontroversi). Patah tulang NEO harus
perhatikan dasar dari tulang. Hal tersebut sulit untuk melihat secara klinik atau
pada foto rongen . jika terdapat harusnya berhubungan dengan dura dengan
meningkatnya kemungkinan infeksi intrakranial.

‘Blow out’ patah tulang orbita


• Hasil dari tekanan langsung ke bola mata ( misalnya dari bola squas) lihat
figur 10 dan 11.
364

Figur 10 : mekanisme injury yang menyebabkan blow out frakture pada dasar mata.
Trauma lurus pada mata meningkatkan tekanan intraorbita. Patah tulang mata adalah
bagian yang paling lemah – dinding orbita – daripada bola mata. Alternative, trauma
pada dinding inferior mata menyebabkan dinding orbita mengeser dan patah.

Figur 11 : Blow out fracture


Bayangan hitam tampak sebagai ’tear-drop’

Catatan : suatu patah tulang Blow out pada mata tidak termasuk pada dinding mata.
Kenyataannya , adanya patah tulang dinding mata seharusnya diamati adanya patah
tulang ‘tripode’ pada zygoma.

• Titik paling lemah adalah dinding inferomedial mata (lamina papyracea).


• Herniasi pada komponen mata kedalam antrum maxillaries melalui dinding
(‘tear-drop’ sign).
• Pemeriksaan fisik :
1. uji untuk anestesi orbita dengan menekan untuk mencari perbedaan
sensasi.
2. uji gerakan extraoculer.
3. uji visual.
• Pencitraan : posisi water’s
• Disposisi : rujuk ke bedah plastic

Catatan : Hanya diplopia bukan indikasi untuk rawat inap.

• Pembedahan emergency indikasi pada :


1. penekanan empisema orbita.
2. perdarahan retrobulbar.
3. trauma tusuk bola mata.
• Penderita dipulangkan : hindari adanya
1. compressive orbital emphysema
a. nyeri mata yang bertambah.
b. Bola mata proptopsis
c. Opthalmoplegi
d. Bola mata yang tegang
e. Hilangnya pandangan
Untuk mencegah compressive orbita emphysema penderita seharusnya
diberi larangan agar tidak bersin hidungnya.
2. perdarahan retrobulbar
365

a. sebagai tambahan pada compressive orbital


emphysema.
b. Dilatasi pupil.
c. Discus optic pucat

Patah tulang hidung.

• Paling sering patah tualng wajah.


• Pemeriksaan fisik : cari hematome septal atau deformitas.
• Pencitraan : posisi nasal (bukan wajah lateral)
• Disposisi : SOC follow-up 4 – 7 hari kemudian. Konsul/rawat inap untuk
septal hematome jika gagal drainase hematome septal akan menyebabkan
septal perforasi.

Patah Zygoma: ‘tripode’


• Konsistensi patah tulang lantai dan dinding orbita, arcus zygoma, dan dinding
lateral dari antrum maxilla. Lihat figur 12.

Figur 12: patah tulang zygomaticomaxillary komplek. (tripod fracture)


Terdapat patah tulang melalui jaringan penyangga tulang molar : (1) sudut zygoma (2)
dinding mata lateral (frontozygomatic suture), (3) dinding mata inferior dan dasar
mata, dan (4) dinding anterior dan lateral dari sinus maxillaris.

• Pemeriksaan fisik :
1. cari perdarahan subconjunctival lateral.
2. cari drooping cantus lateral
3. uji anestesi infraorbita
4. periksa secara terbuka

• pencitraan : posisi OM (water’s)


• disposisi : patah tulang tripod dapat di kirim ke bedah plastik SOC. Saran
dipulangkan termasuk datang kembali secepatnya jika ada pandangan kabur
atau patah tulang blow out. Penderita seharusnya rawat inap jika terdapat:
1. dipoplia berat.
2. trismus
3. gangguan penglihatan

Patah tulang Zygoma : ‘arch’


• pada umumnya hanya pada arch.
• Pemeriksaan fisik : palpasi intra oral; worm’s eye/posisi bird’s eye
• Pencitraan : posisi submental vertex (SMV)
366

• Disposisi : follow-up SOC

Patah tulang LeFort


• Perlukaan pada Bilateral mid-face.
• Perlukaan dg tenaga berenergi tinggi 100x . hati-hati perlukaan multisistem.

Catatan : alur patah tulang mungkin gabungan. Misalnya Lefort II pada satu sisi, dan
Lefort III pada sisi lainnya.

• Pemeriksaan fisik : cari mobilitas mid-face memanjang dan pemeriksaan


terbuka.
• Pencitraan : foto rongen posisi OM/PA/lateral (tabel 1). CT rencana operasi
yang paling baik.
• Disposisi : rawat inap (hati-hati injury multisistem).

Patah tulang mandibula


• Kedua terbanyak dari fraktur wajah. Penderita mengeluh malocclusi dan nyeri
pada pergerakkan rahang yang disertai dengan robekan TM/ patah tulang
temporal.
• Pemeriksaan fisik :
1. nilai pada robekan intraoral.
2. rahang ROM.
3. uji spatula: letakan 1 spatula antara gigi dan penderita disuruh mengigit
berlahan.
4. berputaran berlahan akan menghasilkan nyeri pada patah tulang
mandibula.
5. pemeriksaan gigi.
6. uji untuk anestesi bibir bawah.

Table 1 : tanda radiologi pada patah tulang LeFort

Posisi water
Patah tulang mid-face bilater adalah ciri khas semua patah tulang LeFort
Level udara pada sinus maxillaris bilateral atau bayangan opaq sering kali ada.

LeFort I
Patah tulang dinding lateral sinus maxillaris bilateral.
Patah tulang dinding medial sinus maxillaris bilateral (sulit untuk dilihat).
Patah tulang septum nasal (inferior).

LeFort II (patah tulang piramid)


Patah tulang Nasion
Dinding orbita inferior bilateral dan patah tulang dasar orbita.
Patah tulang dinding sinus maxillaris bilateral.
367

LeFort III (terpisahnya craniofacial)


Patah tulang Nasion.
Patah tulang dindng lateral orbita bilateral (suture frontozygomaticus)
Patah tulang arcus zygomatic bilateral.

Sumber : Tabel dihasilkan dengan ijin perusahaan McGraw-Hill, dari Schwartz dan
Reisdorff (2001) ; page 361, table 15-5.

• Pencitraan : Posisi Towne, mandibula lateral obliqe dan panorex.


• Disposisi : Rawat inap patah tulang terbuka untuk antibiotik I.V. patah tulang
tertutup rawat jalan di klinik atau rawat inap tergantung derajat membuka
rahang.

Patah tulang Gigi

• Lihat figur 13.


• Patah pada mahkota gigi: klasifikasi Ellis
• Patah tulang akar : <7% perlukaan gigi.

Figur 13: patah tulang Gigi

Ellis klas I
• Patah hanya enamel : nyeri minimal.
• Disposisi: ahli gigi pada hari berikutnya.

Ellis klas II
• Patah pada enamel dan tampak berwarna merah muda atau gigi kuning
• Disposisi: langsung ke doker gigi jika seorang anak: hari berikutnya jika
dewasa.

Ellis klas III


• Patah tulang dilihatkan dengan perdarahan atau merah muda pada sisi patah
tulang pulp yang terkena. Termasuk enamel, dentin, dan pulpa.
• Disposisi : lengsung ke dokter gigi. Merupakan hal emergensi gigi sebab
penyangga pulpa segera terkontaminasi. Jika ahli gigi tidak memungkinkan,
sepotong gumpalan kapas dapat diletakkan diatas pulpa yang terkena dan
ditutupi dengan sepotong kasa kering atau pelapis dengan pelapis rongga
akar sementara.

102. Trauma, Pelvik

Caveats
368

• Kesulitan yang paling banyak terjadi dalam manajemen trauma


pelvic meliputi:
1. Kegagalan mempertimbangakan fraktur pelvic pada px dengan trauma
multisistem.
2. kegagalan untuk memberikan resusitasi yang adekuat
3. kegagalan untuk mengenali injury lain yang terkait.
• Terdapat kehilangan darah yang sangat banyak pada fraktur pelvic
terbuka (berkebalikan dengan yang tertutup) karena efek tamponade
peritoneum hilang.
• Wanita tua sering menderita fraktur pelvic dengan trauma jatuh
yang minimal karena adanya osteoporosis.
• Mekanisme trauma:
1. Simple falls, avulsi dari attachment muscular.
2. hantaman/pukulan secara langsung
3. jatuh dari ketinggian, kecelakaan sepeda motor, tabrakan mobil
berkecepatan tinggi
• Trauma lain yang terkait : mortalitas dan morbiditas yang terjadi
pada fraktur pelvis kebanyakan terkait dengan trauma lain yang
mempengaruhi pembuluh darah, nervus, genitourinary, dan traktus
gastrointestinal bagian distal.
• Penyebab kematian: perdarahan yang tidak terkontrol
Tips Khusus Bagi Dokter Umum:
• Pertimbangkan dx fraktur ramus pubis pada lansia
dengan nyeri pangkal paha/panggul setelah terjatuh.

Manajemen
• ABC merupakan manajemen yang utama
• Koreksi hipovolemia : paling tidak 2 jalur IV ukuran besar terpasang pada px.
• Kirim darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, dan GXM
4-6 unit rapid matched blood.
• Lakukan pemeriksaan Fisik :
1. Pembengkakan area suprapubik atau groin area.
2. ekimosis pada genitalia eksterna, paha bagian medial dan area flank.
3. darah dari urethra.
4. abrasi, kontusio dari tulang yang menonjol
5. step-off, instabilitas
6. krepitus pada palpasi bimanual iliac wing
catatan :
(1) jangan mencoba untuk melakukan spring/menutup pelvis untuk
medapatkan stabilitas karena hal ini tidak reliable, tidak diperlukan dan
dapat menyebabkan perdarahan tambahan.
(2) laserasi perineum, groin atau buttock setelah trauma
mengindikasikan adanya fraktur pelvic terbuka kecuali terbukti bukan.
(3) pemeriksaan neurology harus dilakukan dimana injury pleksus
sakralis dapat terjadi.

• Injury lain yang terkait :


1. inspeksi perineum untuk mencari luka terbuka
369

2. lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan posisi prostate, merasakan


spikula tulang dan mencari adanya darah.
3. lakukan pemeriksaan vagina untuk mencari luka terbuka.
4. jika ada bukti injury uretra, misalnya darah pada meatus, memar pada
skrotum atau prostate letak tinggi, hati-hati pada fraktur pelvic yang dapat
tidak stabil.
• Jangan masukkan kateter. Konsulkan pada urologist untuk
kemungkinan pemasangan kateter suprapubik.
• Lakukan X ray pelvic untuk mencari kerusakan dan asimetri dari
simphisis pubis.
• Berikan analgesic yang adekuat.
• Mulai pemberian antibiotik pada kasus fraktur terbuka.
• Gunakan Sandbags untuk mensupport fraktur pelvic yang tidak
stabil.
• Rujuk ke orthopaedics untuk mengurangi dan meng-imobilisasi
fraktur dengan C-clamp external fixator.
• Jika control perdarahan gagal, pertimbangkan angiografi dan
embolisasi.
370

103. TRAUMA PADA KEHAMILAN

PERHATIAN
Selalu ingatlah akan adanya perubahan anatomis dan fisiologis dalam kehamilan.
• Pertimbangan kondisi jalan nafas (pada primary survey)
1. Intubasi mungkin sulit dilakukan dengan adanya edema jalan nafas
2. Terdapat peningkatan resiko aspirasi akibat berkurangnya tekanan esofagus
bagian bawah disertai peningkatan tekanan gaster akibat tekanan uterus.
• Pertimbangan kondisi pernafasan (pada primary survey)
1. Peningkatan konsumsi oksigen sebesar sekitar 15%, mengakibatkan
menurunnya cadangan oksigen.
2. Peningkatan ventilasi per menit yang mengakibatkan hipokarbia fisiologis.
Keadaan normocarbia, jika terdeteksi, bisa jadi sesungguhnya menunjukkan
kondisi hipoventilasi.
3. Keterbatasan gerak diafragma yang terjadi selama kehamilan mengakibatkan
menurunnya kapasitas residual fungsional dan menyebabkan pneumothoraks
dan heamtothoraks lebih mengancam nyawa.
4. Tekanan ventilasi dapat meningkat akibat berkurangnya compliance dinding
dada dam keterbatasan gerak diafragma.
5. Karena diafragma dapat berubah ketinggiannya sampai 4 cm, pemasangan
chest tube sebaiknya dilakukan diatas ICS IV.
• Pertimbangan kondisi ventilasi (pada primary survey)
1. Tekanan darah ibu berkurang sebanyak 5-15 mmHg dan
denyut jantung meningkat sebanyak 15-20 denyut/menit selama trimester II,
tetapi tanda vital ini sebaiknya tidak serta merta dianggap normal sampai
dievaluasi secara menyeluruh kemungkinan adanya perdarahan.
2. Kehilangan darah pada ibu sampai 35% (sekitar 1.5 liter)
dapat ditoleransi sebelum tanda syok menjadi jelas.
3. Bukti adanya gawat janin bisa jadi merupakan tanda pertama
adanya syok perdarahan pada ibu karena aliran darah uterus dialihkan untuk
mendukung sirkulasi ibu.
4. Syok hipovolemik yang tidak tertangani dengan baik dapat
mengganggu sirkulasi plasenta. Syok pada ibu berkaitan dengan tingkat
mortalitas janin yang mencapai 80%. Juga dapat menyebabkan infark
hipofisis, yang secara normal bertambah besar ukurannya selama kehamilan
(sindrom Sheehan).
5. Sindroma hipotensi pada posisi telentang terjadi (biasanya
sejak usia kehamilan 20 minggu) bila uterus menekan vena cava inferior dan
dapat memperburuk syok pada ibu.
6. Anemia fisiologis terjadi akibat peningkatan volume darah
ibu sekitar 50% tetapi hanya disertai dengan peningkatan masa sel darah
merah sebesar 25%.
• Pertimbangan kondisi anatomis (pada secondary
survey)
1. Uterus mencapai pelvis pada usia kehamilan 12 minggu, mencapai umbilicus
pada 20 minggu, xyphisternum pada 36 minggu, dan dapat mempersulit
penilaian abdomen.
371

2. Struktur tulang penyusun pelvis lebih jarang mengalami fraktur akibat


peningkatan kelenturan ligamen.
3. Simfisis pubis dan sendi sakroiliaka bisa jadi melebar, menyerupai diastasis
pada pemeriksaan radiologis. Korelasi klinis dengan mekanisme cedera dan
adanya nyeri tekan diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
4. Kompresi vena cava inferior selama kehamilan mengakibatkan peningkatan
kongesti pelvis, yang dapat menyebabkan perdarahan retroperitoneal atau
pelvis yang hebat.

) Tips Khusus Untuk Dokter Umum


• Pencegahan lebih baik daripada mengobati
1. Sarankan pada pasien hamil agar menggunakan sabuk pengaman
dengan benar saat dalam mobil: bagian bahu harus terletak di atas
rahim dan bagian yang melintang di pangkuan harus terletak di atas
panggul, di bawah rahim.
2. Sarankan penggunaan alas kaki yang tepat untuk mencegah
terjatuh: bertumit datar dengan alas yang berdaya cengkram baik.
• Pertolongan dasar yang dapat diberikan bila Dokter Umum sebagai
penolong pertama meliputi:
1. Memposisikan pasien dengan tepat (lihat komentar di atas)
2. Kendalikan perdarahan lokal
3. Suplementasi oksigen (jika tersedia)
4. Pemberian cairan IV dini (jika tersedia)

TATA LAKSANA
Prinsip-Prinsip Umum
• Prioritas masalah dan ABC dalam tata laksana trauma tidaklah berbeda oleh
adanya kehamilan.
• Terdapat 2 pasien yang harus distabilisasi, tetapi lakukan stabilisasi terhadap
ibu terlebih dahulu.
• Libatkan secara dini seorang ahli Obstetri dalam tim Trauma.
• Tangani pasien di area yang dilengkapi dengan monitor (perawatan
intermediat):
1. Berikan oksigen
2. Awasi: EKG, pulse oximetry, tanda-tanda vital setiap 5-10 menit, CTG
secara terus menerus untuk pasien dengan kehamilan >20 minggu.
• Posisi pasien:
1. Bila dicurigai terjadi trauma spinal, posisikan pasien dengan
memletakkan kantong pasir atau baji (baji Cardiff) dibawah bokong kanan dan
pindahkan uterus secara manual ke sebelah kiri.
2. Jika tidak, tangani pasien dengan posisi lateral kiri.

Primary Survey
• Bebaskan jalan nafas seperti pada pasien yang tidak hamil.
• Lakukan penekanan krikoid untuk mengurangi aspirasi gaster pada pasien
dengan penurunan kesadaran yang kehilangan refleks protektif jalan nafas.
• Pasang NGT untuk dekompresi lambung.
• Lakukan intubasi bila perlu.
372

• Lakukan resusitasi dengan cairan kristaloid IV secara agresif. Pertimbangkan


tranfusi dini. Hindari penggunaan vasopressor sedapat mungkin, yang dapat
mengakibatkan penurunan aliran darah uterus.
• Resusitasi pada keadaan henti jantung sebaiknya mengikuti acuan seperti
halnya pada pasien yang tidak hamil.
• Akan tetapi, bila tidak kembali terjadi sirkulasi spontan setelah 5 menit, harus
dipertimbangkan dilakukan sectio caesarea cito bila janin masih hidup.

Secondary Survey
• Secondary survey dilakukan dengan cara yang sama seperti pada pasien yang
tidak hamil.
• Indikasi pemasangan chest tube adalah sama. Akan tetapi, jangan lakukan
pemasangan chest tube dibawah ICS IV.
• Selain itu, penilaian terhadap uterus dan kondisi fetus harus meliputi:
1. Pengawasan CTG secara kontinu terhadap iritabilitas uterus,
penurunan denyut jantung janin maupun hilangnya variabilitas denyut jantung
janin.
2. Tinggi fundus uteri dan adanya nyeri tekan.
3. Gerakan janin.
4. Adanya darah di jalan lahir, cairan ketuban (pH>7.5), effacement
cervix dan ancaman persalinan.
• Cedera dan komplikasi yang khas pada kehamilan:
1. Abruptio placentae
a. Penyebab utama kematian janin setelah trauma
tumpul.
b. Terjadi sebagai akibat regangan total oleh
trauma tumpul atau deselerasi mendadak.
c. Trias klinis terdiri dari nyeri perut, perdarahan
per vaginam, iritabilitas uterus, walapun mungkin samar.
d. Dapat terjadi akumulasi darah ibu di uterus
sampai 2 liter.
e. Berkaitan dengan peningkatan resiko terjadinya
DIC.
2. Ruptur uterus
a. Jarang terjadi
b. Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul abdomen.
c. Resiko lebih tinggi pada wanita dengan riwayat SC.
d. Gambaran klinis meliputi peritonismus, uterus asimetris dan teraba
bagian janin.
3. Partus prematurus
a. Peningkatan iritabilitas uterus dapat terjadi sebagai akibat trauma
uterus.
b. Disebabkan oleh peningkatan asam arakidonat.
c. 90% terjadi abortus spontan.
4. Cedera janin
a. Jarang terjadi, karena janin lebih sering mengalami gangguan akibat
hipoksia atau hipovolemik pada ibu.
b. Dapat terjadi akibat trauma tajam maupun tumpul.
5. Sensitisasi Rh
373

a. Terjadi bila darah dari janin Rh positif masuk ke dalam sirkulasi ibu
yang rh negatif.
b. Perlu dipertimbangkan pemberian Imunoglobulin Rh (IM RhoGAM
300mg) pada semua ibu Rh negatif yang mengalami trauma abdomen,
dengan konsultasi ke ahli Obstetri.
6. Emboli cairan ketuban
a. Jarang terjadi dan dengan prognosis yang buruk
b. Dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler, distres nafas, kejang atau
DIC.

Pemeriksaan
• Darah lengkap, ureum, creatinin, elektrolit
• Faal hemostasis
• Persediaan darah yang telah dilakukan Uji Silang (jangan
lupa mencantumkan status Rh ibu).
• Tes Kleihauer (bagi ibu Rh negatif).
• Pemeriksaan sinar X dan CT yang diperlukan tidak boleh
ditunda, gunakan pelindung timbal yang sesuai, walaupun dapat dipertimbangkan
sarana diagnostik lain seperti DPL dan USG.
• Indikasi dilakukannya DPL tetap sama. Akan tetapi, tindakan
ini harus dilakukan di lokasi yang terletak lebih tinggi dari fundus uteri, atau
setidaknya di atas umbilikus. Karena usus terdorong ke superior oleh uterus,
terdapat peningkatan resiko terjadinya perforasi pada kasus trauma tumpul
abdomen atas, dan harus digunakan jumlah sel lekosit yang lebih rendah
(5000/mm3) sebagai batasan untuk menentukan nilai positif pemeriksaan ini.
• Pemeriksaan ultrasonografi (FAST) sangat berguna dalam
mendeteksi hemoperitoneum, serta mendeteksi gerakan janin dan abruptio
plasenta.

Penanganan Definitif
• Keputusan untuk penanganan definitif cedera yang terjadi harus dibuat oleh
ahli Bedah maupun Obstetri yang terlibat.
• Situasi yang mungkin memerlukan terminasi segera kehamilan meliputi:
1. Abruptio plasenta
2. Gawat janin
3. Henti jantung ibu
• Sekalipun tidak terjadi cedera yang bermakna pada ibu, pasien harus menjalani
pengawasan CTG secara kontinu selama setidaknya 4 jam. Karena cedera yang
sepele saja dapat menyebabkan separasi plasenta.

Disposisi
• Pasien dengan trauma mayor secara umum harus dirawat di ICU Bedah Umum
atau HDU.
• Pasien dapat pula dirawat di ruangan subspesialis bedah sesuai dengan jenis
cedera yang dialami ibu (misalnya ibu hanya mengalami trauma kepala, dapat
dirawat di bagian Bedah Syaraf; atau di bagian Ortopedi jika mengalami patah
tulang semata).
• Jika tidak terdapat cedera yang nyata dan bermakna, pasien dapat dirawat di
ruang bersalin untuk dilakukan pengawasan.
374

104. Trauma, Ekstremitas Atas

Caveats
• Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam
nyawa dan termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
• Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan
reduksi pada ED, jangan berikan opioids IM, namun berikan secara IV.
Karena opioid yang diberikan lewat IM absorbsinya baik. Sehingga ketika
dibutuhkan conscious sedation, seseorang harus memastikan dosis efek
penghilang nyerinya. Hal ini akan menyebabkan supresi pernafasan dan
hipotensi ketika dosis total opioid IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
• Untuk setiap cedera ortopedi, selalu ingat untuk mencatat status
neurovascular sebelum dan sesudah manipulasi/reduksi atau aplikasi gips.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


• Ingat untuk memberikan analgesic dan splint fraktur atau dislokasi sebelum
merujuk px ke ED. Ingat bahwa splingting merupakan salah satu cara untuk
mengurangi nyeri.
• Jangan berikan opioid IM jika anda tidak yakin apakah px membutuhkan M
& R untuk fraktur atau dislokasinya.

Fraktur Klavikular
• Mekanisme trauma
1. Sebagian besar terjadi karena jatuh dengan tangan yang terulur.
2. Dapat juga terjadi karena hantaman langsung pada bahu, cth: terjatuh pada
posisi samping.
• Manifestasi klinis :
1. Nyeri Tekan pada lokasi fraktur
2. Deformitas dengan pembengkakan local.
• X Ray: bisaanya Foto AP bahu cukup adekuat.
• Komplikasi : jarang, fragment fraktur dapat membahayakan
struktur neurovascular subklavial.
• Terapi: Broad arm sling dan control ke klinik ortopedik 5 hari
kemudian.
375

Dislokasi Sternoklavikular
• Mekanisme trauma : bisaanya akibat jatuh atau hantaman pada daerah anterior
bahu:
1. Asimetri dari inner end klavikula
2. Nyeri tekan local
• Manifestasi klinis:
1. Nyeri tekan dan bengkak pada sendi sternoklavikular
2. Nyeri pada saat lengan digerakkan dan pada saat kompresi bahu ke lateral.
3. Dengan cedera berat, klavikula medial bergeser relative terhadap
manubrium.
4. Dispneu, disfagi, atau tersedak (pada px dengan dislokasi posterior karena
kompresi struktur mediastinal).
• X ray : AP dan Oblique view sulit untuk diinterpretasi. Dx
bisaanya berdasarkan pemeriksaan klinis. Namun tomogram atau CT mungkin
dapat dilakukan.
• Komplikasi : jarang, dislokasi mungkin dapat membahayakan
pembuluh darah posterior dari klavikula.
• Terapi:
1. Subluksasi minor : Broad arm sling, Analgesic dan control ke klinik
ortopedi setelah 3 hari.
2. Gross Displacement : MRS dibagian Ortopedi untuk eksplorasi / reduksi di
bawah GA.
Catatan : Cedera yang mengancam nyawa, bila mengenai struktur didekatnya
terjadi pada 25% kasus dislokasi posterior.

Cedera Sendi akromioklavikular


• Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan menumpu pada bahu
dengan lengan teraduksi atau jatuh pada lengan yang terulur.
• Manifestasi : penonjolan lateral end dari klavikula dan adanya nyeri local.
• X Ray : Foto AP dari sendi AC (bagian/sisi inferior dari akromion dan
klavikula harus membentuk suatu garis lurus).
Catatan : Weight Bearing view menunjukkan hasil tambahan yang hanya
sedikit, dan hanya akan menyebabkan nyeri serta tidak akan mengubah terapi
yang diberikan.
• Terapi : Broad arm sling dan control ke klinik ortopedi setelah 5 hari.

Fraktur Skapula
• Mekanisme trauma : bisaanya karena trauma langsung pada dada
posterolateral.
• Manifestasi klinis : nyeri local dan pembengkakan serta adanya
associated injury.
• X ray : AP bahu, dengan atau tanpa Scapular View.
• Komplikasi : Fraktur scapular bisaanya terkait dengan cedera
intrathorax yang signifikan seperti kosta, fraktur vertebral, fraktur klavikular,
cedera pembuluh darah pulmonal dan pleksus brachialis.
376

• Terapi :
1. Isolated Scapular Fracture : Broad arm sling dan analgesic, control ke
klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. Bersamaan dengan cedera intratoraks yang lain: MRS ke bedah umum.

Dislokasi bahu
Secara statistic : 96% dislokasi anterior, 3,4% posterior, 0,1% inferior (luxatio ercto).

Dislokasi Anterior
• Mekanisme trauma : jatuh yang menyebabkan rotasi eksternal bahu.
• Manifestasi :
1. Khas : px bisaanya menyangga lengan yang cedera pada bagian siku
dengan menggunakan tangan sebelahnya .
2. lengan dalam posisi abduksi ringan
3. Kontur terlihat ‘squared off’
4. Nyeri yang sangat.
• X ray : AP dan axial atau Y-Scapular view akan membantu
membedakan dislokasi anterior dengan posterior.
Catatan : X ray sangat penting menurut standar medikolegal untuk
menyingkirkan fraktur lain yang terjadi sebelum dilakukannya manipulasi dan
Reduksi ( M & R). ada peningkatan bukti yang menunjukkan bahwa dislokasi
bahu yang rekuren dan atraumatis tidak membutuhkan pre-M&R X ray.
Namun, keadaan ini tidak diterima secara luas dalam kalangan ahli ortopedi.
• Komplikasi :
1. Rekuren
Catatan : Hill-Sachs lesion (fraktur kompresi aspek posterolateral dari humeral
head) dapat terlihat pada px yang sebelumnya menderita dislokasi anterior.
2. Avulsi Tuberositas mayor (banyak terjadi pada px > 45 tahun).
3. Fraktur anterior Plenoid lip
4. Kerusakan arteri aksilaris dan pleksus brakialis.
Catatan : Harus memeriksa :
1. Fungsi Nervus axillaris dengan memeriksa sensasi jarum pada deltoid atau
‘regimental badge’area.
2. Pulsasi pada pergelangan tangan
3. Fungsi Nervus radialis.
• Terapi :
1. Isolated anterior dislocation : M&R (dengan bermacam-macam teknik)
dibawah conscious sedation.
2. Dislokasi anterior dengan fraktur tuberositas humerus mayor atau minor :
M&R dibawah conscious sedation.
3. dislokasi anterior dengan fraktur proksimal shaft humeral : M&R dibawah
GA, pertimbangkan ORIF.
• Manajemen lanjutan : analgesic IV, BUKAN IM (tempatkan IV
plug untuk antisipsi M&R), kemudian X ray yang diikuti M&R dibawah
conscious sedation.
• M&R : merupakan teknik traksi yang disukai untuk digunakan
daripada teknik terdahulu seperti maneuver Hippocratic/Kocher’s.
377

Traksi harus dilakukan pada area critical care atau intermediate care dimana
px dapat dimonitoring, dan px berada pada kondisi conscious sedation (lihat
bab Conscious sedation).
1. Teknik Cooper-Milch
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px pada posisi supine
dengan siku fleksi 90o.
b. Luruskan siku dan dengan sangat perlahan pindahkan lengan pada
posisi abduksi penuh yang ditahan pada traksi lurus dimana
seorang asisten mengaplikasikan tekanan yang lembut pada sisi
medial dan inferior dari humeral head.
c. Adduksi lengan secara bertahap.
d. Pasang collar dan cuff, kemudian lakukan X ray post reduksi.
2. Teknik Stimson’s
Metode yang memanfaatkan gaya gravitasi, yang sering dilakukan pada
ED yang sangat sibuk.
a. berikan analgesic IV dimana px berbaring pada posisi pronasi
dengan lengan tergantung di sebelah trolley dengan beban seberat
2,5-5kg terikat pada lengan tersebut.
b. Perlahan setelah 5-30 menit, lakukan relokasi bahu.
c. Pasang collar dan cuff, periksa x ray post reduksi.
3. Teknik Countertraction
Bermanfaat sebagai sebuah maneuver back-up ketika cara-cara diatas
gagal.
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px berbaring supine dan
tempatkan rolled sheet dibawah aksila dari bahu yang terkena.
b. Abduksi lengan sampai 45o dan aplikasikan sustained in line
traction sementara. Asisten memasang traksi pada arah yang
berlawanan menggunakan rolled sheet.
c. Setelah relokasi, paang collar dan cuff, periksa X ray post reduksi.
d. Penempatan : klinik ortopedik setelah 3 hari.
4. Teknik Spasso, walaupun teknik ini tidak dikenal secara luas, namun
teknik ini telah digunakan pada departemen kami, dan kami anggap bahwa
metode ini merupakan metode yang paling mudah dilakukan dengan angka
keberhasilan yang tinggi.
a. Dibawah conscious sedation, letakkan lengan yang sakit dengan
dengan dinding dada.
b. Fleksikan lengan pada bahu, dan lakukan rotasi eksternal secar
simultan. Pada kebanyakan kasus, sebelum bahu mencapai fleksi
kedepan 90o, akan terdengar bunyi ‘clunk’, dan head humerus telah
kemabali pada posisinya.
c. Adduksi lengan
d. Pasang collar & cuff dan periksa X ray post reduksi.

Dislokasi posterior
• Mekanisme Trauma
1. Bisaanya karena jatuh pada tangan yang terotasi ke dalam serta terjulur
atau karena hantaman pada bagian depan bahu.
2. Terkait dengan kontraksi otot saat kejang atau cedera akibat tersetrum
listrik.
• Manifestasi
378

1. Lengan terletak berotasi internal dan adduksi


2. Px merasakan nyeri, dan terdapat penurunan peregerakan dari bahu
• X ray : AP (Gambar 2a) dan Y scapular view (Gambar 2b)
Catatan : sangat mudah terjadi missdiagnosa dislokasi bahu posterior pada
bahu AP. Suspek dislokasi posterior jika terdapat ‘light bulb sign’ karena
rotasi internal bahu dan terdapat overlap antara head humerus dan glenoid
labrum pada foto bahu AP.
• Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
• Terapi : prinsip sama dengan dislokasi anterior
1. Untuk isolated dislokasi posterior, coba M&R dibawah IV conscious
sedation.
2. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur tuberositas, coba M&R dibawah
conscious sedation.
3. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur humeral shaft, MRS untuk M&R
di bawah GA, pertimbangkan ORIF.
• Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, pasang traksi pada lengan pada
posisi abduksi 90o.
2. Kadang countertraction dengan seorang asisten menggunakan rolledsheet
dibawah aksilla perlu dilakukan.
3. Secara perlahan lengan dirotasikan ke eksternal.
4. Setelah relokasi dilakukan pada kasus yang pertamakali terjadi pada
seorang dewasa muda, aplikasikan strapping bersama dengan collar dan
cuff.
5. Setelah relokasi pada lansia, aplikasikan collar & cuff dan pertimbangkan
early mobilization.
• Penempatan : Klinik ortopedi setelah 3 hari.

Dislokasi Inferior
• Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan lengan berada pada posisi
abduksi.
• Manifestasi klinis :
1. Abduksi lengan atas dengan posisi ‘hand over head’
2. Hilangnya kontur bulat dari bahu.
• X ray : foto AP cukup untuk mendiagnosa.
• Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
• Terapi : prinsipnya sama dengan dislokasi yang lain:
1. Untuk dislokasi dengan atau tanpa fraktur tuberosita, coba M&R dibawah
IV conscious sedation.
2. Untuk dislokasi dengan fraktur humeral neck, coba M&R dibawah GA,
KIV ORIF>
• Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, aplikasi traksi yang steady pada
lengan yang dibduksi.
2. kadang diperlukan counter traction dengan seorang asisten menggunakan
rolled sheet yang ditempatkan pada akromion.
3. Setelah relokasi, pasang collar & cuff.
• Penempatan : control ke poli ortopedi setelah 3 hari.
379

Fraktur Humeral Proksimal


Fraktur ini mungkin melibatkan struktur anatomi neck humeral juga tuberositas atau
dengan kombinasi yang bermacam-macam.
• Mekanisme trauma : jatuh pada satu sisi, pukulan langsung pada area tersebut,
atau jatuh dengan tangan yang terulur.
• Manifestasi klinis:
1. Nyeri tekan, pembengkakan pada proksimal humerus.
2. Lebih lanjut, akan terdapat memar yang besar yang menuju pada bagian
bawah lengan karena gravitasi.
• X ray : foto AP dan lateral humerus
• Komplikasi :
1. Adhesive capsulitis (frozen shoulder)
2. Cedera struktur neurovascular
3. Nekrosis avascular humeral head.
• Terapi : pasang collar & cuff
• Penempatan :
1. Fraktur displaced tuberositas mayor yang berat mungkin membutuhkan
MRS untuk ORIF dengan GA.
2. Fraktur displaced yang ringan dapat KRS, kemudian control ke klinik
ortopedik dalam 3 hari.

Fraktur Shaft Humeral


• Mekanisme trauma: bisaanya karena indirect force, seperti jatuh
pada saat tangan terulur, atau hantaman langsung pada area tersebut.
• Manifestasi :
1. Nyeri tekan local dan pembengkakan
2. Mungkin dapat timbul deformitas.
• X ray : Foto AP dan lateral humerus
• Komplikasi : Palsy nervus radialis (drop wrist) dan vascular
compromise.
• Terapi :
1. untuk fraktur angulasi minimal, pasang U slab, lebih mudah dilakukan
pada saat px duduk pada trolley daripada pada saat px berbaring
terlentang, kemudian diikuti dengan collar& cuff, serta control ke klinik
ortopedi setelah 3 hari.
2. Untuk fraktur displaced yang parah, lakukan M & R dibawah IV conscious
sedation, pasang U salb dan Collar & cuff, kemudian rujuk ke klinik
ortopedi setelah 3 hari.
3. Untuk kasus dengan komplikasi kerusakan neurovascular, MRS dibagian
ortopedi.

Fraktur Shaft Humerus Supracondylar


• Mekanisme trauma : jatuh dengan tangan terulur, bisaanya pada
anak kecil.
• Manifestasi klinis :
1. Nyeri tekan dan bengkak pada distal humerus dan siku.
2. Deformitas mungkin terjadi
3. Bentukan segitiga yang disusun oleh olekranon, epikondilus lateral dan
medial.
380

• X ray : AP dan lateral siku (waspada terhadap adanya fraktur


kondilus lateralis, sarankan ORIF). Cari tanda ‘fat pad’ (gambar 3).
• Komplikasi :
1. Kerusakan arteri brakialis
a. Cek pulsasi radialis dan capillary refill.
b. Cari adanya kepucatan dan dingin pada ekstremitas, nyeri, parestasi
atau paralysis pada lengan bawah.
2. Cek jari dan ibu jari untuk mencari deficit neurologist terkait dengan
kerusakan Nervus radialis, ulnaris atau medianus.
Catatan : Dokumentasikan hasil pemeriksaan tersebut.
• Terapi :
1. Jika terdapat displacement minimal (<10-15o) pasang long arm back slab
dan control ke klinik ortopedi setelah 1-2 hari. Berikan KIE yang jelas
mengenai ancaman Compartment syndrome (gejala dan tandanya).
2. Jika terdapat pembengkakan pada daerah siku dengan minimal angulated
fracture. Pertimbangkan meng-MRS-kan px untuk observasi sirkulasi.
3. Jika displacement > 15o, pasang long arm backslab dan rencanakan M&R.
4. Fraktur Epicondilus Medialis Humerus
• Mekanisme trauma :
1. dapat terjadi avulse oleh ligamentum collateral ulnaris ketika siku
dipaksakan untuk berposisi abduksi.
2. Avulsi karena kontraksi otot fleksor lengan bawah secara mendadak.
3. trauma langsung
• manifestasi klinis : pembengkakan dan nyeri tekan local.
• X ray : AP dan lateral siku
• Komplikasi : disposisi/terapi cedera nervus ulnaris.
1. jika minimal atau tidak ada displacement, pasang long arm back slab dan
control ke poli ortopedi setelah 3 hari.
2. Jika fraktur disertai displaced yang lebih parah, pertimbangkan M&R
dibawah GA, KIV ORIF.

Fraktur Condilus Lateralis Humerus


Catatan : sering terlewatkan karena dikaburkan dengan fraktur suprakondiler.
• Mekanisme trauma : cedera adduksi pada siku
• Manifestasi : nyeri tekan dan pembengkakan local
• X ray : AP dan lateral siku
• Komplikasi : tidak ada komplikasi akut, komplikasi yang terlambat, a.l:
1. mal-union dan non-union menyebabkan posisi cubitus valgus dan tardy
ulnar nerve palsy.
2. Kekakuan siku terutama pada dewasa.
• Terapi :
1. Fraktur undisplaced atau minimal displaced, pasang long arm backslab :
control ke klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. jika fraktur displaced > 2mm atau terotasi, MRS pada bagian ortopedi
untuk M7R di bawah GA, ORIF.

Dislokasi Siku
• Mekanisme trauma : karena pada posisi tangan terulur, yang paling
sering ditemukan adalah dislokasi posterolateral.
381

• Manifestasi :
1. Deformitas siku dengan nyeri tekan dan bengkak
2. Bentukan segitiga antara olekranon, epicondilus lateral dan medial
mengalami kerusakan.
• X ray : AP dan lateral siku.
• Komplikasi : cedera arteri brakialis, nervus ulnaris atau medianus
• Terapi : M & R di bawah IV conscious sedation
1. Dengan posisi px supine, paang traksi pada garis lengan
2. Fleksi ringan siku mungkin dipelukan selama mempertahankan traksi.
3. setelah relokasi, pasang long arm back slab
4. Jika tidak ada bukti kerusakan neurovascular, control ke klinik ortpedi
setelah 3 hari.
5. jika terdapat kerusakan neurovascular walaupun sangat ringan, MRS di
bagian ortopedi untuk observasi.
6. pastikan bahwa sendi telah tereduksi, X ray kadang bisa menipu.

Pulled Elbow (Subluksasi Radial head)


• Mekanisme trauma : bisaanya terjadi pada anak usia 9 bulan-6
tahun, karena tarikan yang kuat pada tangan yang terulur, yakni adanya tenaga
yang menarik dengan kuat pada ligament annular di radial head.
• Manifestasi :
1. Lengan tergantung lemah
2. Anak mengeluh nyeri pada lengan dan tidak mau menggerakkannya.
3. Nyeri tekan local pada bagian proksimal lengan bawah.
4. Nyeri yang ditimbulkan sat memfleksikan siku atau men-supinasikan
lengan bawah.
5. tidak ada pembengkakan dan deformitas
• X ray : pada situasi klasik tidak dibutuhkan, namun bila terdapat
riwayat jatuh atau adanya hantaman langsung pada lengan bawah pada posisi
foto AP dan lateral siku.
• Terapi : manipulasi tanpa anestesi dapat dilakukan.
1. Pegang tangan dari lengan yang cedera dengan posisi berjabat tangan
sementara tangan pemeriksa yang lain memegang belakang siku dengan
ibu jari terletak pada head radius.
2. Secara lembut dan perlahan, dorong lengan bawah ke dalam siku, dan
paksa untuk mensupinasikan lengan atau secara cepat ganti ke posisi
pronasi dan supinasi sampai mendengar atau merasakjan bunyi ‘pop’.
Tidak diperlukan sling karena anak akan mulai menggunakannya secara
normal dalam 5-10 menit.
3. jika maneuver tersebut tidak berhasil, lengan harus diistirahatkan pada
sebuah sling, dan reduksi spontan bisaanya terjadi dalam waktu 48 jam.
4. Tidak dibutuhkan control ke klinik ortopedi. KIE pada keluarga bahwa
mereka jangan mengangkat anak mereka secara langsung dengan menarik
lengannya.

Fraktur Olekranon
382

• Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh pada siku, juga karena


kontraksi yang kuat pada otot trisep.
• Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak/bruising
(memar) di daerah olekranon.
• X ray : AP dan lateral siku.
• Terapi :
1. Jika tidak terdapat displacement dari fraktur, atau ada tapi minimal, pasang
long arm back slab dan control ke klinik ortopedi setelah 5 hari.
2. Jika fraktur displaced, pasang long arm back slab dan MRS untuk M&R
dibawah GA, KIV ORIF

Fraktur Radial Head/Neck


• Mekanisme trauma : karena jatuh dengan tangan terulur atau
hantaman langsung pada lengan bawah.
• Manifestasi klinis : nyeri local dan nyeri tekan, dengan
pembengkakan pada siku lateral.
• X ray : AP dan Lateral siku
Catatan : Occult fracture dari radial neck/head mungkin hanya menunjukkan
‘positive posterior fat pad sign’ pada foto lateral (Gambar 3), selalu carilah
tanda ini !
• Terapi :
1. Jika fraktur undisplaced, pasang long arm backslab dan control ke klinik
ortopedi setelah 5 hari.
2. Jika fraktur displaced, pasang long arm back slab dan MRS ke bagian
ortopedi untuk M & R dibawah GA, KIV ORIF.

Fraktur Lengan Bawah


• Mekanisme trauma : bisaanya karena trauma langsung, namun juga
karena jatuh dengan tangan terulur.
• Manifestasi klinis : Nyeri tekan dan pembengkakan lengan bawah,
dengan deformitas jika fraktur displaced.
• X ray : AP dan lateral view lengan bawah
Catatan : Pastikan bahwa film menampakkan siku dan peregelangan tangan
sehingga fraktur monteggia atau Galeazzi dapat dieksklusi. Jangan pernah
memebrikan terapi pada single fore arm bone fracture sampai anda telah
menyingkirkan fraktur-dislokasi yang tersebut di atas.
1. Fraktur-dislokasi Monteggia adalah fraktur pada ulna disertai dengan
dislokasi radial head.
Catatan : banyak gugatan hukum diajukan karena missed dx bowed ulna
(green stick)!
2. fraktur-dislokasi Galeazzi adalah fraktur radius dengan dislokasi pada
inferior radio-ulnar joint.
• Komplikasi : cedera vascular atau compartment syndrome.
• Terapi :
1. untuk fraktur dengan minimal atau tidak ada displacement, pasang ong arm
back slab dan rujuk ke klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. Untuk fraktur displaced, lakukan M&R di bawah Bier Block.

Fraktur Colle’s
383

• Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan tangan terulur.


• Manifestasi klinis : khas : Deformitas bentuk ‘dinner fork’ dengan
nyeri tekan local.
• X ray : lateral (gambar 4a) dan AP (gambar 4b) pergelangan
tangan.
• Komplikasi : malunion : delayed rupture dari M. Extensor pollicis
longus; kompresi nervus medianus; sudeck’s atrophy.
• Terapi reduksi :
1. pasang longitudinal traction untuk ‘disimpact’ fracture.
2. Kemudian pasang flexion and ulnar deviation force pada fragmen
menggunakan jari atau ibu jari.
3. Setelah reduksi pasang short arm backslab dengan posisi lengan bawah
pronasi, ulnar deviasi dan fleksi ringan pada pergelangan tangan.
4. Jika X ray ulang menunjukkan reduksi yang memuaskan, pasang sling
dansarankan px untuk mobilisasi bahu, siku dan jari.
• Penempatan :
1. jika reduksi memuaskan : control ke klinik ortopedi dalam 2 hari.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk
M&R dibawah GA atau ORIF.

Fraktur Smith’s (Reverse Colle’s)


• Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh pada punggung tangan,
dan fragmen distal miring ke depan.
• Manifestasi klinis : nyeri tekan local, bengkak dan deformitas.
• X ray : AP (gambar 5a) dan lateral (gambar 5b) dari pergelangan
tangan.
• Terapi :
1. Reduksi di bawah Bier’s block, jika fraktur tertutup dan bukan
intraartikular.
2. Membutuhkan monitoring tanda vital dan EKG
• Teknik reduksi :
1. traksi dengan lengan pada posisi supinasi sampai dis-impaksi tercapai.
2. Aplikasikan tekanan ke arah dorsal dari fragmen.
3. Pasang short arm volav slab dengan lengan bawah pada supinasi penuh,
pergelangan tangan pada posisi dorsiflexion dan siku dalam posisi
ekstensi, kemudian pasang long arm backslab dengan siku fleksi 90o.
Penempatan :
1. Jika reduksi memuaskan control ke klinik ortopedi setelah 2 haru.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk M
& R dibawah GA atau ORIF.

Fraktur Barton’s
Merupakan bentuk fraktur Smith dimana hanya bagian anterior radius yang terlibat.
• Mekanisme trauma : karena jatuh pada saat tangan terulur.
• Manifestasi klinis: nyeri tekan local, pembengkakan dan deformitas.
• X ray : foto AP dan lateral pergelangan tangan.
• Terapi : pasang short arm volar slab dan MRS pada bagian ortopedi untuk
ORIF.
384

Fraktur Scaphoid (Carpal Navicular)


• Mekanisme trauma :
1. bisaanya karena jatuh pada posisi tangan terulur
2. kadang karena ‘kickback’ ketika menggunakan ‘starting handle’, pompa
atau kompresor.
• Manifestasi klinis
1. Nyeri pada tepi radial pergelangan tangan
2. nyeri tekan pada anatomical snuffbox dan aspek ventral serta dorsal dari
scapoid.
• X ray : AP dan lateral view dari pergelangan tangan (gambar 7b),
juga Scaphoid view (gambar 7a).
Catatan : Scaphoid view harus dilakukan pada semua px dengan nyeri tekan
pada ‘snuffbox’ area.
• Komplikasi : nekrosis avaskular nekrosis/ non-
union/osteoarthritis/suddeck’s atrophy.

• Terapi :
1. pada kasus fraktur scaphoid definitive : pasang scaphoid spica splint dan
control pada klinik ortopedi setelah 5 hari.
2. Pada kasus dengan kecurigaan fraktur scapoid namun tidak ada gambaran
fraktur pada X ray, maka paang scaphoid spica splint dan control pada
klinik ortopedi setelah 10-14 hari.

Dislokasi Lunate
• Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan tangan yang
terulur.
• Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak
• X ray : AP dan lateral pergelangan tangan (gambar 8)
• Komplikasi : palsy nervus medianus/avaskularnekrosis/sudeck’s
atrophy.
• Terapi :
1. Reduksi dibawah Bier’s Block
2. Monitor tanda vital dan EKG.
• Teknik Reduksi
1. Pasang traksi untuk mensupinasi pergelangan tangan
2. Luruskan pergelangan tangan, pertahankan tarikan tersebut.
3. Aplikasikan tekanan dengan ibu jari pada lunate.
4. Fleksikan pergelangan tangan secepatnya ketika anda merasakan lunate
masuk ke dalam tempatnya.
5. Pasang short arm back slab pada posisi pergelangan tangan agak fleksi.
• Penempatan
1. bila reduksi berhasil, control ke klinik ortopedi setelah 2 hari.
2. Jika percobaan reduksi tidak berhasil, pasang backslab dan MRS untuk
ORIF

Dislokasi Perilunate
385

• Mekanisme trauma : karena jatuh saat tangan terulur atau hantaman


langsung pada tangan.
• Manifestasi klinis : nyeri tekan local, bengkak, dan deformitas.
• X ray : AP dan oblique view dari metacarpal.
• Terapi :
1. Jika fraktur undisplaced, pasang short arm backslab dan control ke klinik
ortopedi dalam 2-3 hari.
2. Jika fraktur displaced, coba reduksi di bawah Bier’s block, diikuti dengan
aplikasi backslab. Control ke klinik ortopedi dalam 2-3 hari.
3. Jika fraktur melibatkan metacarpal neck, splint harus diluruskan diluar
PIPJ dengan MCJP pada saat fleksi 90o. control ke klinik ortopedi dalam
2-3 hari.

Fraktur Rennett’s
Merupakan fraktur metacarpal ibu jari, dimana ada fragmen medial kecil dari tulang
yang miring, namun tetap terhubung dengan ‘trapezium’.
• X ray : AP dan Lateral view dari metacarpal ibu jari.
Catatan : garis vertical fraktur melibatkan trapezo-metacarpal joint dan
terdapat subluksasi proksimal dan lateral dari metacarpal ibu jari.
• Terapi : pasang scaphoid thumb spica backslab dan MRs pada bagian hand
surgey untuk ORIF.

Fraktur Phalang proksimal dan tengah dari jari


• Jika fraktur displaced, lakukan M&R dengan Entonox atau digital block.
• Kemudian pasang alumunium splint, dari bagian pergelangan tangan sampai
ke ujung jari, dengan MCJP pada posisi fleksi 90o dan IPJ diluruskan.
• Jika fraktur undisplaced, pasang alumunium splint tanpa M&R.

Fraktur Phalang terminalis


• Terapi cedera jaringan lunak harus diutamakan.
• Fraktur tertutup : tidak butuh M&R; pasang short alumunium splintpada
bagian posterior jari.
• Fraktur terbuka (hanya pada bagian terminal tuft) :
1. Irigasi dengan saline minaml 500ml.
2. berikan IV Cefazolin 1 g dalam 1 jam sejak kedatangan px, sebelum
dilakukannya X ray.
3. pasang short alumunium splint pada bagian posterior, control ke klinik
Hand surgery dalam 3 hari.
• Fraktur terbuka (shaft atau basis) : berikan antibiotik IV seperti
diatas, pasang kassa atau alumunium splint dan MRS ke bagian Hand surgery
untuk ORIF.
386

105. Urolithiasis

Caveats
• Kolik ureter menyebabkan pasien gelisah daripada posisi diam.
• Kebanyakan dapat diterapi dengan konservatif, missal dengan meningkatkan
intake cairan.
• Analgesik adekuat dengan NSAIDS atau agonis opioid.
• Obstruktif uropati dan infeksi merupakan emergency urology dan perlu
opname.
• Sebanyak 75-80% batu dapat keluar spontan
• Faktor kontribusi:
1. Dehidrasi, diet tinggi protein dan tinggi natrium.
2. Hipertensi esensial.
3. Hipercalsiuria. Diet kalsium dan oksalat tidak meningkatkan pembentukan
batu.
4. Pria lebih sering dari wanita.
• Kolik renal pada pasien > 50 tahun, tanpa riwyat masalah ginjal sebelumnya,
mungkin robeknya aneurisma aorta abdominal atau diseksi aorta abdomen.
Tips khusus
387

• Batu ginjal kebanyakan dapat diterapi konservatif


• Nyeri pinggang sampai paha dengan hematuria indikasi batu ginjal.
• Pria dengan nyeri pada fossa iliaca kanan diduga appendicitis sampai
dibuktikan tidak
• Waspada kehamilan ektopik pada wanita dan lihat riwayat menstruasi dan
HCG urine.
• Berikan analgesik adekuat dengan NSAIDs atau narkotik opioid.
• Batu ginjal disertai demam merupakan emergency urology dan harus dikirim
ke rumah sakit segera.

Differential Diagnosis dari kolik renal/ ureter


Appendicitis, Salpingitis, Diverticulitis, Pyelonephritis, Torsio ovarium, Prostatitis,
Kehamilan ektopik, Obstruksi usus, Karsinoma

Evaluasi tes laboratorium


• Urinalisa untuk hematuria mikroskopis. Adanya hematuria mikroskopik pada
urolithiasis dengan tes dipstik urine 95,4%. Tidak adanya hematuria dengan
nyeri fossa iliaca kanan atau kiri, harus diperhatikan diagnosis alternatif.
• Jika memungkinkan, lakukan hitung darah lengkap, khususnya dengan demam
tinggi. Peningkatan leukosit berhubungan dengan demam menunjukkan abses
atau infeksi merupakan emergency urology.
• Radiologi: KUB dan rujuk ke klinik urology untuk IVU
Terapi
• Peningkatan intake cairan, meningkatkan disolusi batu. Dianjurkan intake
cairan adekuat 3000 – 4000 ml per hari (cukup untuk produksi 2 quarts urine
tiap 24 jam). Hati-hati pada pasien tua dengan riwayat gagal jantung kongestif.
• Terapi citrate chelates kalsium dalam bentuk kompleks terlarut.
• Diet serat memiliki efek tidak langsung mencegah batu ginjal.
• Untuk kolik renal akut berat beri analgesik. NSAIDs seperti diklofenak
menghambat produksi prostaglandin-E2 pada tempat obstruksi. Narkotika
seperti pethidine dapat meningkatkan spasme otot polos, memperberat nyeri.
Kedua obat tersebut kontraindikasi relatif pada kehamilan dan ibu menyusui.
388

Pada kehamilan, batu mudah keluar karena dilatasi normal dari ureter.
Allopurinol untuk batu asam urat.
Disposisi
• Rujuk ke urology
1. Nyeri menetap setelah analgesik
2. Ukuran batu > 8mm pada KUB
3. Pasien dengan batu solid
4. Adanya infeksi, khususnya dengan obstruksi
• Rujuk pasien hamil untuk poliklinik dini.

106. PERAWATAN LUKA

PENTING
• Anamnesis yang baik mengenai kejadian sangatlah penting untuk menentukan
kemungkinan cedera penyerta dan derajat kontaminasi, misalnya punch bite,
cedera akibat injeksi tekanan tinggi, crush injuries.
• Pemeriksaan yang menyeluruh terhadap adanya benda asing, fungsi tendon,
fungsi neurovaskuler, kontaminasi dan infeksi sangatlah penting.
• Luka harus dieksplorasi dengan pemberian anestesi yang memadai untuk
memungkinkan penilaian yang menyeluruh.
• Jangan mengeksplorasi luka di leher di IRD, sesuperfisial apapun luka itu
terlihat.
• Catat ada tidaknya abnormalitas. Pengambilan foto dapat berguna pada kasus
tertentu, misalnya penyiksaan.
• Pada kasus berikut ini harus dilakukan pemeriksaan X-Ray (AP/lateral):
1. Semua kasus dengan luka yang diakibatkan oleh kaca
2. Kasus tertentu untuk menyingkirkan adanya fraktur terbuka,
keterlibatan sendi dan menyingkirkan adanya benda asing.
• Petanda radioopak (misalnya penjepit kertas) yang dilekatkan pada luka dapat
membantu untuk identifikasi hubungan antara benda asing dengan luka.
• Pemeriksaan apusan luka tidak diperlukan pada cedera yang baru terjadi
kecuali berkaitan dengan adanya fraktur.
• Perdarahan harus dikontrol dengan bebat tekan dan elevasi tungkai: jangan
gunakan forsep arteri atau tourniquet.
• Jangan pernah mencukur alis.
389

• Jangan berusaha melepaskan benda asing berukuran besar yang tertancap pada
luka.
• Jangan meresepkan antibiotika pada pasien dengan status imunitas normal
dengan kontaminasi luka yang minimal.
• Antibiotika tidak dapat menggantikan debridement luka yang baik.
• Pergunakan kesempatan untuk mengevaluasi status tetanus pasien (riwayat
imunisasi, booster terakhir)

TATA LAKSANA
• Jika perdarahan hebat:
1. Amankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
2. Pasang jalur intravena ukuran besar dan lakukan resusitasi cairan.
3. Sediakan darah yang telah diuji silang 2-4 unit.
4. Elevasi anggota gerak yang mengalami perdarahan dan berikan bebat
tekan.

) Tips Khusus Untuk Dokter Umum


• Rujuk kasus ke IRD bila tidak dapat dilakukan debridement luka yang baik
akibat keterbatasan waktu atau kondisi non-steril.
• Waspadalah terhadap luka yang terlihat ‘jinak’ tetapi dapat terjadi
keusakan jaringan yang luas, misalnyacedera akibat tekanan tinggi atau
crush injury.
• Waspadalah terhadap luka “kecil” di plantar pedis. Luka seperti itu tidaklah
sederhana (lihat hal 509).

• Teknik
1. Pembersihan luka merupakan bagian terpenting perawatan luka. Luka
sebaiknya dibersihkan dengan larutan chlorhexidine kecuali luka di daerah
wajah (larutan salin normal steril).
2. Jika luka terjadi pada daerah berambut, harus dilakukan pemotongan rambut di
sekitarnya dengan gunting, pencukuran dapat menjadi predisposisi infeksi
pada luka melalui kerusakan epidermis.
3. Buang semua debu dan benda asing yang terlihat; luka dalam harus diirigasi
dengan setidaknya 200 cc larutan steril salin normal.
4. Untuk anestesi lokal gunakan lignocaine 1%, yang digunakan untuk infiltrasi
lokal dan blok saraf.
5. Lakukan eksplorasi luka bila (a) kecurigaan adanya benda asing dan (b) dari
riwayat terdapat kecurigaan kerusakan yang dalam tanpa didapatkan
konfirmasi klinis.
• Metode penutupan: jika terdapat keraguan, penjahitan luka merupakan pilihan
terbaik
1. Steristrips
a. Cara ini relatif tidak terlalu nyeri, dan jarang menyebabkan iskemia
jaringan.
b. Hemat waktu
c. Sesuai untuk anak-anak, laserasi flap pada orang berusia lanjut dan
penutupan kulit setelah dilakukan jahitan pada lapisan yang lebih dalam.
d. Tidak untuk digunakan di daerah persendian.
390

2. Perekat jaringan
a. Sesuai untuk luka kecil dan laserasi pada anak-anak dan paling sesuai
untuk laserasi dengan jarak antara kedua tepi luka <3mm.
b. Teknik: bersihkan luka dan lakukan hemostasis dengan baik. Dekatkan
kedua tepi luka dan aplikasikan perekat di sepanjang tepi luka dalam
bentuk satu garis yang tak terputus. Rekatkan kedua tepi luka dan tahan
selama setidaknya 30 detik sampai perekat melekat erat. Jangan
meletakkan perekat ini di dalam luka, karena bahan tersebut berperan
sebagai benda asing.
3. Teknik penjahitan
a. Gunakan teknik 2 lapis (kulit dan subkutan) pada luka dalam
untuk menghasilkan penyembuhan luka yang lebih baik.
b. Gunakan benang yang dapat diserap, misal Dexon atau Vicryl
untuk jaringan subkutan: untuk badan dan ekstremitas: 4/0; untuk wajah:
5/0.
c. Gunakan benang yang tidak dapat diserap untuk kulit, misal
Prolene atau Silk: untuk scalp: silk 2/0; badan dan ekstremitas: Prolene
4/0; wajah: Prolene 6/0.
d. Secara umum, dapat digunakan benang dengan satu ukuran
lebih kecil untuk anak-anak dan jahitan dapat dibuka lebih dini.
• Disposisi: pertimbangkan rawat inap atau rujukan pada
kasus berikut:
1. Jika luka meluas sampai otot, terkontaminasi hebat atau terdapat bukti
adanya gangguan motoris atau sensoris, atau tidak dapat memastikan
debridement luka yang adekuat, rawat inap di bagian Orthopedi.
2. Rawat inap untuk semua pasien dengan kerusakan tendon. Pasien
dengan cedera di distal bahu harus dirawat inap di bagian Bedah Tangan.
Kasus lainnya dirawat di bagian Orthopedi.
3. Pasien immunocompromise, misal diabetes, GGK dan pasien onkologi.
4. Luka yang besar: perlu waktu lebih dari 30-60 menit untuk
menanganinya.
5. Rujuk luka khusus, seperti laserasi kelopak mata, ke bagian Bedah
Plastik.

LUKA YANG TIDAK SESUAI UNTUK PENUTUPAN PRIMER


• Luka akibat gigitan, kecuali di bagian wajah.
• Luka yang terkontaminasi hebat.
• Luka yang telah terinfeksi.
• Luka yang usianya sudah >12 jam, kecuali di bagian wajah.

Perawatan luka
• Luka harus dibalut dengan pembalut yang tidak melekat, misal Sofra-tulle.
• Tidak diperlukan pembalutan untuk luka di daerah wajah dan scalp.
• Luka harus dijaga tetap bersih dan kering selama setidaknya 48 jam setelah
penutupan primer.
• Pengangkatan jahitan:
1. Scalp: 7 hari
2. Wajah: 3-5 hari
3. Tungkai: 10-14 hari
391

4. Tubuh: 10 hari
• Periksa kondisi luka yang terkontaminasi setiap hari; luka
bersih dapat diperiksa setelah 3-5 hari.
• Pertimbangkan pemberian profilaksis antibiotik:
1. Fraktur ujung jari
2. Luka gigitan
3. Luka pada penderita berisiko tinggi, yaitu: penyakit katup jantung dan
pasca splenektomi
4. Cedera tembus yang tidak ter-debridement dengan baik
5. Luka yang berusia >6 jam
6. Luka intraoral
7. Pekerja dengan resiko tinggi, misalnya petani, nelayan.
8. Pilihan antibiotika: cloxacillin dan penisillin (organisme yang tersering
menimbulkan infeksi adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus beta-
hemolytic) adalah pilihan yang efektif dari segi biaya, atau Augmentin®.

LUKA KHUSUS
Luka tusuk pada telapak kaki
• Walaupun luka tidak terlihat serius, ingatlah bahwa persendian pada kaki ridak
terletak dalam, sehingga mungkin terjadi penetrasi luka ke dalam sendi dengan
peluang terjadinya komplikasi infeksi serius. Area dari collum metatarsal ke distal
jari merupakan daerah paling berisiko terjadinya infeksi.
• Komplikasi meliputi:
1. Infeksi jaringan lunak oleh Staphylococcus dan Streptococcus pada
sebagian besar pasien.
2. Osteomyelitis (90% osteomyelitis diakibatkan oleh Pseudomonas
aeruginosa)
• Lakukan pemeriksaan X-Ray untuk menyingkirkan adanya benda asing
dan penetrasi sendi.
• Tata laksana luka tusuk merupakan hal yang kontroversial. Berikut ini
adalah acuan tata laksana pada berbagai presentasi klinis:
1. Luka tusuk sederhana
 Biasanya diakibatkan oleh benda yang bersih seperti paku payung,
jarum, paku kecil yang tidak berkarat. Jika tidak satupun dari berikut ini
terlihat, yaitu:
a. Indikasi adanya benda asing yang tertahan dalam jaringan
b. Tepi luka yang kotor dan non vital, dan
c. Lokasi tusukan yang meninggi atau sangat nyeri
 Pembersihan luka dan pemberian salep antibiotika, diikuti dengan
penutupan luka dengan plester sudah memadai
 Berikan profilaksis tetanus
2. Luka tusuk dengan benda asing yang tertahan di dalam jaringan
a. Luka tusukan seringkali lebih besar dari yang disebutkan
sebelumnya. Tepi luka terkontaminasi, dengan bentuk yang tak beraturan.
b. Biasanya akibat paku yang sudah lama dan benda tidak bersih
yang saat menusuk patah, atau kemungkinan bagian dari kaus kaki atau
sepatu yang terdesak masuk ke dalam luka.
c. Setelah diberikan anestesi, lakukan insisi paralel dengan garis
kerutan kulit melalui lokasi tusukan dan buang benda asing tersebut.
392

d. Lakukan irigasi luka.


e. Jangan menjahit luka. Cukup berikan salep antibiotik dan
dekatkan dengan plester.
f. Berikan profilaksis tetanus.
g. Gunakan tongkat penyangga selama 2-3 hari.
h. Pulangkan dnegan pemberian antibiotika, misal Augmentin®.
i. Beri petunjuk pada pasien untuk mengenali tanda-tanda infeksi.
j. Segera periksa ulang keadaa luka.
3. Luka tusuk dengan komplikasi
a. Curigai adanya benda asing yang tertinggal bila lokasi tusukan
mengalami infeksi.
b. Lakukan pemeriksaan X-Ray untuk menyingkirkan benda asing
radioopak.
c. Berikan antibiotika spektrum luas IV, misal Unasyn® atau Uagmentin®.
d. Berikan profilaksis tetanus.
e. Rawat inap untuk tata laksana lebih lanjut, yaitu debridement dengan
pembedahan.
Catatan:
• Penggunaan antibiotika profilaksis pada luka tusuk yang tak
terinfeksi tidak didukung oleh hasil penelitian klinis. Penggunaan antibiotika
sebaiknya dipertimbangkan hanya pada pasien dan luka yang berisiko tinggi.
• Debridement jaringan vital secara ektensif, pemberian irigasi
dengan tekanan tinggi atau eksplorasi yang dalam tidak menunjukkan perbaikan
hasil akhir.

Luka flap
• Suplai darah pada luka flap seringkali terganggu, terutama pada flap distal.
• Luka flap sesuai untuk penjahitan primer bila terjadi pada daerah wajah, atau
pada pasien muda dimana kualitas kulitnya masih baik.
• Kulit pada pasien usia lanjut tipis, sehingga flap seringkali tidak dapat hidup
jika dilakukan penjahitan dengan tegangan. Pada kasus ini luka harus dibersihkan
dan didekatkan dengan steristrips dan dievaluasi dini. Metode ini meliputi eksisi
primer dan tandur alih, terutama bila flap berukuran besar.

Luka pada scalp


• Scalp memiliki kecenderungan untuk berdarah sampai pada derajat yang
sampai memerlukan resusitasi cairan. Cara terbaik untuk mencapai hemostasis
pada luka scalp adalah dengan membersihkan kontaminan kasat mata dan segera
bersihkan luka. Setelah itu gunakan benang sutera 2/0 untuk melakukan jahitan
langsung pada ke-5 lapisan scalp. Tindakan ini akan menghentikan perdarahan.
Tidak diperlukan penjahitan atau diatermi pada titik perdarahan.
• Seringkali laserasi scalp disertai dengan hematom luas dibawahnya. Hematom
tersebut merupakan sumber potensial terjadinya infeksi, dan harus dibuang
sebelum dilakukan penutupan luka.
• Jangan mencukur rambut. Lebih baik pendekkan saja dengan gunting sedekat
mungkin dengan scalp. Tindakan mencukur merusak epidermis dan folikel
rambut, dan merupakan predisposisi terjadinya infeksi pada luka. Teknik aposisi
rambut (HAT), dimana rambut pada kedua sisi laserasi didekatkan dengan satu
393

simpul dan ditahan dengan perekat jaringan, merupakan teknik baru untuk
menangani laserasi scalp.

Luka pada mata


• Diperlukan pemeriksaan lengkap mata, termasuk tajam penglihatan.
• Pemeriksaan X-Ray orbita diperlukan jika dicurigai adanya benda asing
intraokuli, seperti bila terdapat riwayat masuknya benda asing tetapi tidak terlihat
adanya benda asing di permukaan kornea atau bila terdapat distorsi bentuk iris.
• Laserasi kelopak mata yang melewati tepi kelopak mata, baik yang melalui
kedua permukaan kelopak mata, dan yang mungkin disertai kerusakan kelenjar
atau duktus lakrimalis, harus dirujuk ke bagian Penyakit Mata atau Bedah Plastik,
tergantung dengan kebiasaan setempat.
Luka pada hidung
• Periksa kemungkinan adanya hematom septum nasi. Jika terdapat hematom,
perlu dilakukan drainase segera.
• Lakukan pemeriksaan X-Ray untuk menyingkirkan adanya fraktur untuk
menentukan kebutuhan antibiotika profilaksis.
• Laserasi fell-thickness akan memerlukan penjahitan luka lapis demi lapis yang
teliti. Jika hebat, sebaiknya dirujuk ke bagian Bedah Plastik.
• Prinsip utamanya adalah untuk mendekatkan dengan tepat tepian kulit dan
mukosa.

Luka pada bibir


• Yang amat sangat penting adalah secara akurat menyatukan bagian perbatasan
antara kulit dan mukosa bila garis luka melewati perbatasan kulit dan mukosa.
• Luka yang dalam harus diperbaiki lapis demi lapis.

Luka pada lidah


• Harus diperiksa apakah ada gigi yang tertanam.
• Pertimbangkan oenggunaan X-Ray untuk menyingkirkan adanya benda asing.
• Luka kecil tidak memerlukan penjahitan.
• Jika terdapat perdarahan yang bermakna, rujuk pasien ke bagian Bedah Mulut
atau Bedah Plastik.
• Gunakan benang yang dapat diserap dengan waktu serap yang singkat,
misalnya catgut 5/0.

Luka pada telinga


• Gunakan anestesi blok melingkar.
• Periksa apakah bagian tulang rawan terkena, karena jika ya perlu dilakukan
penjahitan terlebih dahulu sebelum menutup kulit.
• Selalu berikan bebat tekan (dengan tampon pita) setelah pembersihan dan
penjahitan, untuk mencegah akumulasi hematoma subperikondrium. Jika hal ini
tidak dilakukan, dapat terjadi fibrosis dan pembentukan jaringan parut pada pasien
(‘cauliflower ear’).
• Selalu berikan antibiotik dan periksa ulang keadaan luka setelah 1-2 hari.

107. .................
394

108 BRONCHIOLITIS

PERHATIAN
• Istilah bronchiolitis mengacu pada suatu sindroma virus pada bayi (< 2 tahun)
yang ditandai dengan:
1. Diawali dengan riwayat gejala common cold, misalnya, batuk,pilek, 2-
3 hari.
2. Diikuti dengan gejala saluran nafas bawah: dyspnoea,wheezing, sulit
makan, dan gelisah karena obstruksi jalan nafas.
395

3. Gambaran klinis ,meliputi takipnea, nasal flaring, retraksi intercostal


atau subcostal, ekspirasi memanjang dengan rhonchi dan creps,
sianosis.
• Organisme penyebab:
1. RSV merupakan causa paling umum (50-90%)
2. Parainfluenza, influenza,mump, adenovirus,echovirus, rhinovirus,
Mycoplasma pneumoniae,Chlamydia trachomatis.
CATATAN: Mycoplasma adalah agen prinsip pada anak usia sekolah dengan
bronchiolitis.
• Differential Diagnosis :
1. Pneomonia
2. Benda asing
3. Gastroesophageal reflux
4. Congenital heart disease dengan gagal jantung, yang tidak tediagnose
sebelumnya
5. Abnormalitas anatomi jalan nafas yang tidak terdiagnose sebelumnya,
misalnya fistula tracheooesophageal.
6. Asthma dini
• Identifikasi kelompok resiko tinggi untuk komplikasi apnoe dan pemburukan
akut, misalnya:
1. Bayi prematur dengan disertai penyakit paru-paru kronis atau
bronchopulmonary dysplasia.
2. Congenital heart disease
3. Cystic fibrosis

Tips khusus untuk dokter umum

MANAJEMEN
Sebagian besar kasus bronchiolitis sembuh sendiri. Monitoring yang cermat pada
apnoea, hypoxia, dan perawatan supportive yang baik tetap merupakan pokok dari
management.
• Bacaan SpO2 : <92% menunjukkan bahwa terjadi distress nafas yang sedang
sampai berat.
396

• Nilai hidrasi: Intake per oral yang jelek akibat sesak dan muntah akibat batuk
mengakibatkan dehidrasi.
• Nilai beratnya distress nafas:
1. Ringan: tidak ada retraksi
2. Sedang :retraksi intercostal, tanpa sianosis
3. Berat: sianosis, apnoea, hypoxia(<92%), dehidrasi, retraksi intercostal
yang berat.
• Foto rontgent thorax diindikasikan pada bayi yang sakit, dengan tanda yang
tidak khas, dan pemeriksaan respirasi yang sulit pada bayi yang menangis.
• Indikasi rawat inap:
1. Bayi dalam kelompok resiko tinggi (jika tidak gejalanya sangat ringan
dan orangtuanya konfiden menangani pasien di rumah)
2. Bayi muda < 4 bulan yang beresiko apnoea dan berkembang cepat
menjadi penyakit yang lebih parah.
3. Makanan buruk, dehidrasi, agitasi/gelisah.
4. Pada mulanya terlihat oleh beberapa dokter umum selama penyakit ini
berlangsung dengan potensial pemburukan kondisi khususnya dalam 3-
4 hari onset penyakit.
• Pasien yang dipulangkan:
1. Jika tidak distress sedang atau berat, bisa makan dan hidrasinya baik.
2. Orang tua dapat mengerti dan mengenali tanda-tanda pemburukan:
makan buruk, gelisah.
3. Review follow up di klinik pediatri dalam 1-2 hari

Terapi supportif :
• Terapi oksigen yang dilembabkan
• Hidrasi (jaga jangan sampai over hidrasi)

Terapi spesifik:
• Bronchodilator:
1. Sering digunakan tetapi manfaatnya diperdebatkan.
397

2. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa oba ini efektif, dan pada
beberapa kasus bisa disertai dengan efek yang memburuk (hypoxia dari
peningkatan V/Q mismatch khususnya jika nebulasi tanpa oksigen).
3. Pada bayi yang lebih tua dimana bisa jadi sulit membedakan
bronchiolitis dari bentuk lain wheezing akibat virus, suatu trial
bronchodilator ternyata beralasan karena proporsi pasien tersebut
memberi respon.
4. Pada umumnya hindari peresepan untuk pasien yang dipulangkan
(alternatifnya mocolitik, misalnya bisolvon, bisa jadi pilihan yang lebih
baik)
• Steroids: tidak ada aturan konsisten dalam menajemen bronchiolitis pada fase
akut.
• Antibiotika:
1. Tidak diindikasikan secara rutin jika tidak ada kecurigaan infeksi
ganda (misal RSV dan infeksi bakteri) tetapi ini tidak umum
2. Hindari penggunaan empiris dari antibiotika pada pasien rawat jalan.
Untuk pasien dimana diperlukan antibiotika , pertimbangkan rawat
inap .
• Ribavirin tidak secara rutin digunakan tapi bisa memberikan peran pada pasien
resiko tinggi tertentu.

109. Kejang Demam

Definisi :
-Pengalamam kejang pertama pada anak-anak dihubungkan suhu lebih dari 38o C
dan biasanya dalam 24 jam pertama sakit, seringkali cepat meningkat.
- Anak antara 6 bulan dan 6 tahun
- Tidak ada infeksi atau inflamasi CNS
- Tidak ada kelainan metabolik sistemik akut.
398

Kejang Demam Benign :


- Ketika kejang berakhir kurang 15 menit
- Kejang tidak punya gambaran fokal yang signifikan
- Kejang tidak terjadi dalam serial dalam total durasi > 30 menit.

Kejang demam kompleks


- Jika kejang demam lebih lama durasinya dari pada kejang demam benign dan
gambaran fokal.
- Jika kejang terjadi berkepanjangan.

Perhatian
- 4% anak normal umur 6 bulan – 6 tahun akan mengalami kejang demam
- Kejang berulang lebih banyak terjadi pula riwayat keluarga mengalami kejang
demam, atau kejang demam pertama muncul diatas satu tahun.
- Riwayat : Maloxon merangsang okulogirik krisis yang menyerupakan kejang
demam dan mempunyai managemen yang berbeda sama sekali, misalnya
benzotropin IM/IV (cogentin)
- Ingat untuk mencatat sejarah alergi akibat pemberian panadol rktal atau
voltaren.
- Catat postur dan temperamen anak:
1. postur opistotonik pada anak yang gelisah yang dicurigai peningkatan
tekanan intra kranial
2. anak yang iritabel sulit diperiksa bisa mengalami iritasi meningeal :
catat ada perbedaan antara iritabilitas dan crankiness yang ditujukkan
oleh anak yang merasa tidak baik.
3. Anak dengan palasia post ictal lebih menyerupai mengalami tanda-
tanda neurologis abnormal.
- Ingat kaku kuduk menjadi tidak bisa pada bayi atau sulit disingkirkan pada
anak yang tidak kooperative
- Sianosis bisa menunjukkan adanya obstruksi atau aspirasi jalan napas.
- Ingat untuk menilai hepaomegali, yang biasanya umum ditemukan pada anak
dengan sepsis atau sindroma reye.
- Rujuk semua pasien dengan kejang demam pertama ke ED.
399

- Berikan antipiretik dan lakukan kompres dingin sebelum mengirim pasien ke


ED.

Managemen
Anak dengan kejang aktif
- Amankan jalan napas
- Beri oksigen dengan masker
- Berikan diazepam 0,1-0,25 mg/Kg BB dengan kecepatan tidak lebih dari 2
mg/menit atau berikan diazepam perrektal (valium/stesolid). Cara i8ni
lebih baik untuk praktek dokter umum :
1. 5 mg > 1 tahun
2. 2,5 mg untuk bayi

Catatan : jika kejang melampau 30 menit tangani sebagai status epilepsi, yang
meliputi infus phenitoin IV dalam NS 20 mg/kgBB dsengan kecepatan tidak melebihi
50 mg/ menit dibawah monitor ECG
- Monitor : ECG, pulse oximetri.
- Pasang IV line pherifer
- Laborat : segera gula darah kapiler, ureum – creatinin, kalsium dan
magnesium.
- Ukur dan catat suhu dan nadi.
Anak tidak kejang
- Ukur nadi dan suhu : jika suhu > 38,5 oC , berikan antipiretik atau kompres
dingin.
- Berikan oksigen dengan masker jika cyanosis.
- Pertimbangkan pemeriksaan urinalisa (UC9) untuk menyingkirkan UTI

Disposisi
Kriteria MRS
- Kejang demam pertamasetelah keluarga atau pengasuhnya terlalu stress untuk
menangani di rumah.
- Kecurigaan penyakit intrakranial atau metabolik
- Anak mengalami lebih dari satu kali kejang selama sakit berlangsung.
- Kejang status epileptikus
400

- Riwayat baru mengalami cidera kepala( dalam 72 jam)

Kriteria dipulangkan
- MRS tidak diperlukan jika seluruh kriteria berikut ditemukan :
1. barusaja terjadi (<15 menit) kejang demam sederhana dengan pulih
sepenuhnya dan tidak ada tanda neurologis abnormal. Hal ini berarti
bahwa jika anda mereview anak dalam satu jam terakhir, anak menjadi
normal dan dapat bicara, berjalan atau berlari sekitar ruangan.
2. anak diatas 2-3 tahun (yang lebih mudah memeriksa anak lebih tua,
dan anda lebih konfiden dengan tanda-tanda klinisnya).
3. kejang muncul dalam 24 jam pertama demam.
4. anda konfiden bahwa kausa demamnya dikarenakan virus (misalnya
anda telah menyingkirkan meningitis otitis media, pneumonia dan
bahwa anaknya bukan sepsis).
5. orang tua percayadiri, tenang dan berkeinginan mengobservasi di
rumah secara tertutup, dan follow up rawat jalan diarahkan dalam 24-
48 jam berikutnya.
6. anda telah memberikan instruksi yang jelas bagaimana memberikan
antipiretik dan stesolit rektal (catatan:jangan resepkan NSAID untuk
lebih dari 48 jam).
Kadang-kadang , orangtua yang melaporkan bahwa pasien sibling
mengalami menyerupai kejang demam yang lalu bisa menggantikan tidak
meng MRS kan anak. ini tanggung jawab anda bahwa diatas 6 kriteria
ditemukan sebelum anda memulangkan pasien.
401

110. Cedera non kecelakaan pada anak

- Definisi WHO : kekerasan pada anak atau salah asuh baik dalam bentuk fisik
dan emosional, penyimpangan seksual, penelantaran atau komersial atau
eksploitasi pada anak, dimana hal ini mengakibatkan potensial membahayakan
kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan atau harkat martabat anak.
- Diperlukan pertimbangan budaya, perilaku, dan nilai-nilai masyarakat untuk
mendiagnosa cedera non kecelakaan pada anak. Tipe-tipe cedera selain
kecelakaan :
1. Kekerasan fisik
402

2. Kekerasan emosional
3. Penelantaran dan kelalaian
4. Penyimpangan seksual
5. Eksploitasi
Beberapa tips untuk dokter umum
- Jika dijumpai kecurigaan yang kuat terjadinya hal tersebut diatas , rujuk segera
- Pengetahuan tentang perkembangan anak adalah penting untuk mendeteksi hal
tersebut di atas, seperti anak usia 1 tahun jatuh dari tempat tidur dan
ditemukan fraktur tulang kepala
Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas kecurigaan yang kuat dan disertai temuan pada pemeriksaan
fisik yang tidak jelas hubungan dengan anamnesa, jenis cederanya yang mengarah
pada kekerasan, serta ciri dan kebiasaan dari anak dan keluarga

Indikator sosial cedera non kecelakaan


- Kekerasan anak
1. Tidak diinginkan
2. Terpisah dari ibunya setelah lahir
3. Hubungan tidak harmonis dengan orang tuanya
4. Kekecewaan, karena jenis kelamin atau cacat
5. Mudah marah dan tuntutan yang tinggi
6. Berbeda dengan anggota keluarga lain
- Kekejaman orang tua
1. Kurangnya pengalaman orang tua dalam mengasuh
2. Lemahnya dukungan keluarga dan ketakutan dalam merawat anak tanpa
alasan yang jelas
3. Kurangnya ketrampilan dan pengetahuan tentang perkembangan anak
4. Kurang dapat mengendalikan emosi dan terlalu otoriter
5. Orang tua terlalu muda
6. Mempunyai ganguan jiwa

- Keluarga
1. Stres terhadap jumlah anggota keluarga dan keuangan
2. Konflik perkawinan dan masalah pribadi
403

3. Kejadian luar biasa seperti kejadian yang membuat stres misalnya


kemayian anggota keluarga, perpindahan tempat tinggal, perkelahian
4. Kesepian atau terisolasinya ibu ketika suami pergi atau kerja jauh dari
rumah, beban berat dalam mengasuh anak
5. Terisolasi karena faktor geografis, tidak ada sarana transportasi, dan
fasilitas umum

Gejala klinis
- Cedera pada anak tidak sesuai atau berlawanan dengan anamnesa
- Terlambat untuk segera memeriksakan anak
- Respon orang tua yang kurang tanggap dalam mengasuh nak
- Anak tidak diimunisasi
- Gagal dalam perkembangan anak baik disertai keterlambatan atau tidak
- Tingkah laku dan pengetahuan seksual anak seusianya tidak sesuai
- Cedera multipel tidak sesuai dengan usia
- Bentuk memar atau luka bakar, misalnya 3 atau 4 memar oval kemungkinan
dari tamparan pada wajah atau bekas genggaman pada anggota badan
- Memar pada pantat, payudara, abdomen bagian bawah, atau pada bagian
tengah paha
- Tanda melingkar pada pergelangan tangan atau kaki kemungkinan akibat
ikatan
- Cedera pada genital dengan anamnesa yang tidak jelas
- Cedera kepala dengan anamnesa tidak jelas
- Hematon subdural disertai dengan perdarahan bilateral retina pada bayi,
kemungkinan “Shaken Baby Syndrome”
- Fraktur pada tepi metafise, fraktur sternum, fraktur iga posterior dan fraktur
spiral tulang panjang pada anak
- Anggota badan bawah dan abdomen terkena air mendidih dengan tidak ada
tanda-tanda tamparan, bentuk seperti donat, sarung tangan dan stoking;
kemungkinan luka bakar karena tersiram air panas
- Luka bakar puntung rokok
- Penyakit menular seksual pada anak
404

- Perlu disingkirkan beberapa penyakit yang mirip dengan cedera non


kecelakaan seperti osteogenesis imperfecta, hemofilia dan idiopatik
trombositopenia, Ehlers- Danlos syndrome

Munchausen Syndrome by Proxy (MSP)


Waspadai tanda-tanda :
- Penyakit yang tidak dapat dijelaskan , berkepanjangan atau jarang terjadi
- Tanda dan gejala pada temporal yang sama dengan ibunya
- Hasil terapi yang tidak efektif dan tidak sembuh
- Saudara kandung lainnya mempunyai gejala yang sama dan mungkin telah
terjadi cedara non kecelakaan atau kematian tidak wajar pada anak yang lain

Manajemen
- Ketika kekerasan anak dicurigai, anak sebaiknya dirujuk ke ahli anak
- Disarankan rawat inap. Ini untuk menggali lebih dalam lagi anamnesa dan
pemeriksaan fisik sementara anak berada di lingkungan yang aman
- Tegas, sopan, dan ramahlah terhadap orang tuanya untuk menggali lebih
dalam tentang cedera anak demi masa depan anak tersebut
- Jika keselamatan anak terancam, atau orang tua tidak kooperatif dan menolak
berbagai saran medis, maka staff medis dapat menghubung departemen sosial
atau kepolisian untuk memaksa anak tersebut tetap berada di rumah sakit
- Rawat anak di bagian yang terkait untuk mengatasi problem medis yang
ditemukan seperti bagian orthopedi untuk frakturnya. Anak tersebut sebaiknya
langsung dirujuk ke bagian ahli anak pada saat itu. Dokter anak bersama
timnya akan merawat dan mengobati selama di rumah sakit.
- Kekerasaan seksual pada anak :
1. Korban wanita dirujuk ke bagian ginekologis dan diperiksa sesegera mungkin di
IRD. Ahli Bedah anak biasanya memeriksa korban pria, sesuai protokol yang
berlaku
2. Anamnesa dan pemeriksaan medis dilakukan seminimal mungkin untuk
menghindari trauma pada anak
- Polisi mempunyai hak untuk mengambil foto seluruh cedera yang ada sebagai
bukti. Mereka sebaiknya segera dihubungi.
- Buatlah catatan yang baik.
405

111. Trauma, Pediatrik

Caveats
• Anak dengan cedera multisistem dapat mengalami deteriorasi yang cepat serta
akan mengalami komplikasi yang serius.
• Karakteristik anatomic yang unik membutuhkan pertimbangan yang khusus
dalam pemeriksaan dan tatalaksananya.
• Tulang pada anak lebih lentur, sehingga kerusakan organ dalam dapat terjadi
tanpa adanya fraktur. Sehingga bila didapatkan adanya fraktur kosta, dapat
406

dipastikan anak tersebut telah mengalami high impact injury yang multiple,
sehingga harus dicurigai adanya cedera pada organ lain yang serius.
• Waspada terhadap kemungkinan non-accidental injury sebagai penyebab
cedera yang terlihat.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


• Ingat ABC. Buka dan pertahankan jalan nafas dengan tetap mengkontrol
cervical. Berikan oksigen aliran tinggi jika anak dapat bernafas spontan. Atau
jika tidak, mulai bag-valve-mask ventilasi.
• Jika mungkin, pasang akses vena dengan kanul ukuran 22G sebelum ambulan
datang.
• Hubungi ambulan secepatnya.

Manajemen
Jalan Nafas
• Intubasi orotrakeal dibawah direct vision dengan immobilisasi yang adekuat
serta proteksi terhadap cervical spine.
• Preoksigenasi sebelum melakukan intubasi.
• Gunakan uncuffed endotracheal tubes (ETT) untuk intubasi anak-anak.
Ukuran ETT dapat diperkirakan dengan mengukur diameter external nares
atau jari kelingking anak tersebut. Lihat Bab Paediatrics Drugs Equipment
• Atropin (0,1-0,5mg) harus diberikan sebelum intubasi untuk mencegah
bradikardia selama intubasi.
• Ketika akses dan control jalan nafas tidak bisa dipenuhi oleh bag-valve mask
atau orotracheal intubation, maka needle cricothyroidotomy merupakan
metode yang dipilih. Surgical cricothyroidotomy jarang digunakan, jika ada,
harus ada indikasinya.

Bernafas
• Respiratory Rate (RR) pada anak menurun seiring usia
Bayi : 40-60 x/menit
Anak yang lebih besar : 20 x/menit
407

• Pemberian Ventilasi berlebihan dengan high tidal volume dan airway pressure
dapat berakibat pada iatrogenic bronchoalveolar injury. Volume tidal : 7
sampai 10ml/kg.
• Dekompresi pleural dilakukan dengan tube thoracostomy, sama seperti dewasa
yakni pada ICS 5, anterior dari midaxillary line. Chest tube ditempatkan pada
cavum thorax dengan memasukkan tube melewati kosta pada lokasi kulit yang
telah diinsisi.
Sirkulasi
• Peningkatan physiologic reserves pada anak memberikan kemungkinan untuk
mempertahankan tanda vital berada pada kisaran normal, walaupun px berada
pada keadaan severe shock. Tanda awal adanya syok hipovolemik pada anak
adalah takikardia dan perfusi kulit yang buruk. Penurunan volume darah
sirkulasi minimal sebesar 25% akan menunjukkan tanda/manifestasi syok:
1. Takikardi
2. Perfusi kulit yang buruk
3. Penurunan pulse pressure
4. Skin mottling
5. ekstremitas dingin bila dibandingkan dengan kulit bagian torso.
6. penurunan tingkat kesadaran dengan respon yang tumpul terhadap nyeri.
7. penurunan BP
8. urin output yang sedikit
• Hipotensi pada anak menunjukkan keadaan shock yang tidak
terkompensasi dan mengindikasikan kehilangan darah yang banyak > 45%
dari volume darah sirkulasi. Takikardi akan berubah menjadi bradikardi sering
disertai dengan keadaan hipotensi serta tanda lainnya :
SBP = 70 + (2x usia dalam tahun)
DBP = 2/3 x SBP

Resusitasi Cairan
• Resusitasi cairan pada anak didasarkan pada berat badan anak. Gunakan
Broselow resuscitation measuring tape.
• Untuk syok, bolus cairan 20ml/kg kristaloid yang hangat dapat diberikan.
Mungkin akan diperlukan total cairan sebesar 3 bolus 20ml/kgBB jika terjadi
408

kehilangan darah 25% volume darah sirkulasi.jika sedang memberikan bolus


cairan yang ketiga, pertimbangkan untuk pemeberian 10ml/kg darah dengan
tipe yang spesifik untuk px. Rujuk ke bagian bedah jika tidak ada perbaikan
setelah pemberian bolus cairan yang pertama.
• Lokasi akses vena pada anak a.l:
1. perkutaneus peripheral (2 percobaan)
2. intraosseus (anak usia < 6 tahun)
3. Venous cutdown : vena saphena pada pergelangan kaki.
4. perkutaneus placement : vena femoralis
Infus intraosseus harus dihentikan ketika akses peripheral yang baik telah
didapatkan. Lokasi infus intraosseus yang disarakan adalah pada permukaan
anteromedial tibia proksimalis, 2 cm dibawah tuberoseus tibia. Lokasi ini tidak
disarankan bila terdapat fraktur pada bagian proksimalnya; kanulasi kemudian
dapat dilakukan pada bagian distal femur. Output urin yang diharapkan pada
px yang telah mendapatkan resusitasi adekuat adalah 1-2ml/kg/jam.

Manajemen Cedera yang Spesifik


Trauma dada
• cedera pada dada merupakan petunjuk adanya cedera organ yang lain karena
lebih dari 2/3 anak dengan cedera dada juga mengalami cedera system organ
yang lainnya.
• Fraktur kostae menunjukkan adanya severe injuring force.
• Cedera spesifik serta penatalaksanaannya sama seperti pada dewasa.

Trauma Abdominal
• Cedera penetrasi pada abdomen membutuhkan perhatian yang besar dari ahli
bedah.
• Pemeriksaan abdomen pada anak dengan trauma tumpul dapat sulit dilakukan
karena anak bisaanya tidak kooperatif, terutama bila mereka mengalami
ketakutan akibat trauma yang telah dialami.
• Dekompresi gaster dan urinary dapat memfasilitasi evaluasi.
• Alat pembantu diagnostic a.l:
1. Computed tomography (CT)
409

e. bermanfaat pada anak dengan hemodinamik yang normal


dan stabil.
f. Harus dilakukan dengan menggunakan double atau triple
contrast.
g. Bisaanya membutuhkan sedasi.
h. Tindakan ini tidak boleh sampai menunda terapi yang lain
i. Dapat menunjukkan identifikasi cedera secara tepat.
2. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
a. digunakan untuk mendeteksi perdarahan intraabdominal pada anak
yang hemodinamikanya abnormal.
b. Digunakan NS hangat 10ml/kg (sampai 1000ml) selama 10 menit.
c. Cedera organ retroperitoneal tidak dapat dideteksi
d. Definisi hasil lavage yang positif sama dengan dewasa.
e. Adanya darah pada peritoneum saja tidak menjadikannya sebagai
indikasi untuk dilakukannya laparotomi.
f. Harus dilakukan oleh ahli bedah anak.
3. Focus Assessment using Sonography in Trauma (FAST)
a. Hanya sedikit penelitian mengenai efikasi ultrasonografi pada anak
yang telah dilaporkan.
b. Selektif, manajemen non-operatif pada anak dengan trauma tumpul
pada abdomen dilakukan pada berbagai trauma center. Telah
ditunjukkan bahwa perdarahan yang berasal dari cedera spleen, liver
dan ginjal bisaanya bersifat self limiting.
c. Anak-anak ini harus dimonitor secara ketat pada intensive care
dengan pemeriksaan yang berulang oleh ahli bedah.

Trauma Kepala
• Manajemennya sama seperti pada orang dewasa. GCS
sangat bermanfaat. Namun komponen skor verbal pada anak harus
dimodifikasi :
Respon Verbal Skor V
1. kata-kata yang terarah, atau tersenyum, menurut 5
2. Menangis, namun dapat dihibur 4
410

3. ‘lekas marah/irritabel’ yang persisten 3


4. Gelisah, agitasi 2
5. Tidak ada respon 1
• Sama seperti dewasa, hipotensi jarang terjadi, jika ada,
kemungkinan disebabkan oleh cedera kepala itu sendiri, serta penyebab
lainnya. Pada bayi, sekalipun jarang terjadi, hipotensi akibat kehilangan darah
terjadi akibat perdarahan di sub galeal atau epidural space, karena sutura
krnialis dan fontanella yang masih terbuka pada bayi.
• Restorasi yang cepat dan adekuat dari volume darah
sirkulasi harus dilakukan, juga harus menghindari terjadinya hipoksia.
• Pada anak kecil dengan fontanella terbuka dan garis
sutura cranial yang mobile, tanda expanding mass mungkin tidak terlihat
sampai timbul dekompensasi yang cepat. Sehingga harus diterapi sebagai
cedera kepala berat.
• Vomiting, kejang dan amnesia sering terjadi pada anak
setelah cedera kepala. Selidiki anak yang mengalami vomiting persisten atau
memburuk, atau kejang yang berulang dengan CT scan kepala.
• Obat-obatan yang sering digunakan pada cedera kepala
anak a.l:
1. Fenobarbital 2-3 mg/kg
2. Diazepam 0,25 mg/kg, bolus Iv pelan
3. Fenitoin 15-20 mg/kg, diberikan pada 1mg/kg/menit sebagai loading dose,
kemudian 4-7 mg/kg/hari untuk maintenance
4. Mannitol 0,5-1,0g/kg (jarang diperlukan). Obat ini dapat memperburuk
hipovolemi dan harus diberikan hati-hati pada awal resusitasi pada anak
dengan cedera kepala.

Cedera Spinal Cord (Spinal Cord Injury)


• Cedera spinal cord pada anak jarang terjadi.
• Anak dengan Spinal Cord Injury Without Radiographic
Abnormalities (SCIWORA) lebih banyak ditemukan daripada pada dewasa.
Hasil radiografi spine yang normal ditemukan pada sekitar 2/3 anak dengan
411

spinal cord injury, sehingga hasil yang normal tersebut tidak dapat digunakan
untuk menyingkirkan dx spinal injury yang signifikan.
• Cedera spinal cord pada anak diterapi sama seperti pada orang
dewasa. Untuk spinal injury non-penetrating yang terjadi dalam 8 jam sejak
cedera, dapat diberikan methylprednisolone 30mg/kg dalam 15 menit pertama,
dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg per jam untuk 23 jam selanjutnya.

BAB 112
PENATALAKSANAAN TRANSFUSI DI IRD

Pemberian darah dan produk darah hanya diberikan saat dibutuhkan saja.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian transfusi darah;
1. pemberian awal 2 unit labu WBC atau PRC bisa langsung diberikan setelah
disimpan di kulkas .Penghangatan diperlukan untuk pemberian dalam jumlah
volume besar dan cepat kira-kira > 50 mg /kg/jam
2. Komponen darah harus ditransfusi sesuai standar filter dimana mengeluarkan
clothing dan debris
412

3. Umumnya darah tidak ditransfusikan menggunakan alat infus biasa tapi


dengan infus khusus.Dalam banyak kasus terjadi haemolisa pada D5% dan
terjadi clotting pada cairan Hartmann.Hanya dgn NS bisa dipakai tanpa
gangguan
4. Kecepatan tekanan tinggi dan digunakan jarum 18/19G
5. Selama pemberian cairan dimonitoring tanda-tanda reaksi transfusi

PRODUK DARAH DAN DARAH


Whole blood: Pada penderita perdarahan akut penting diberikan darah dlm jumlah
cukup daripada sel darah merah saja.Kristaloid atau koloid dapat dipakai jika
tidak ada darah

Indikasi transfusi dgn Whole Blood


A. Perdarahan acut dgn HB normal dan normal hematokrit
1. Pasien beresiko untuk diberikan volume intravascular:
1. Pasien IMA
2. Penyakit koroner
3. Penyakit katup
4. CHF
5. Ischaemia cerebral
6. Riwayat TIA
7. Stroke trrombotic
2. Gejala dan tanda pada pasien beresiko dengan normo volemik
1. Syncope
2. Sesak
3. Postural hipotensi
4. Takikardi
5. Anginal
6. TIA
Pada pengeluaran darah akut, HB dan hematokrit biasanya normal dan bisa dikoreksi
jika hilangnya 20% dengan kristaloid.
413

B. Kehilangan 25% darah dari total cairan tubuh


C. Pasien dengan resiko dan pasien dengan gejala dan tanda beresiko

Tabel 1 dan 2

Sel darah merah


Indikasi pemberian sel darah merah
1. Kehilangan darah yang lambat
2. Acut dan kronik leukemia
3. Kronik anemia dengan kegagalan sumsum tulan, uraemia, gejala yang berat dari
kekurangan besi atau anemia megaloblastik.
WB kontraindikasi untuk pasien kronik anemia karena resiko overload.
Satu unit sel darah merah dapat meningkatkan Hb 1 gr/dl atau 3% hematokrit

PLATELET
1. Indikasi :
- Trombositopeni berat mengancam jiwa diberikan 20 X 10 9/l
- Setelah tranfusi 15 – 20 unit WB /RBC
Hitung plateled sebelum 80 –100 X 10 9 /l karena pemberian plateled indikasi untuk
keadaan hemostasis yang adekuat dengan trauma mayor bedah atau pengobatan
trauma yang berat.
Penting memperhatikan keadaan klinis pasien dan bukan hasil lab saja.

Fresh frozen plasma (FFP)


Diberikan jika terjadi gangguan faktor pembekuan darah
Indikasinya :
1. Menggantikan satu faktor kekurangan dengan spesifik atau gangguan konsentrai
tidak dianjurkan .
2. Pasien dengan warfarin beresiko jika diberikan.
414

Pada tranfusi masif dimana mengganti total kebutuhan pasien selama 24 jam maka
bisa diberikan FFP dengan perdarahan abnormal. Jadi FFP hanya diberikan jika ada
gangguan faal hemostasis berupa bleeding dan coagulasi.

Cryoprecipitale
Cryoprecipitale adalah faktor VIII, fibronogen dan von Willebrond’s. Faktor dimana
digunakan untuk terapi pada pasien Willebrond’s sindrom atau hemophili A tapi jika
penyebabnya virus tidak dianjuarkan.

Faktor VIII & IX


Virus menginaktifkan faktor VIII & IX sehingga dipakai untuk mengobati hemofili A
dan B.

Hemophili A
Faktor VIII (IU) dibutuhkan = Berat (kg) X level 1 X 0,5
1 Vial faktor VIII = 250 IU

Hemophili B
Fakto IX (IU) dibutuhkan = Berat (kg) x level 1
1 Vial faktor IX = 500 IU
pasien hemophlili dikonsulkan penyakit dalam

1 level konsentrasi faktor


Perdarahan ringan Sedang Berat
30% 50% 75-1005
1. Minor/perdarahan 1. Mayor/multiple 1. Perdarahan intracranial
sendi tunggal perdarahan sendi
2. Perdarahan otot 2. Perdarahan leher 2. Operasi besar
lidah atau paring.
3. Epistaxis 3. Perdarahan abdomen 3. Trauma besar
4. Perdarahan gusi ------------- 4. Compartemen syndrn
5. Haematuri 5. Trauma kepala 5. Perdarahan leher
415

tanpa defisit neorologi lidah dan paring.

Transfusi Gawat Darurat


- Golongan darah O tidak bisa digunakan untuk tranfusi gawat darurat dengan
beban lebih aman dengan kristaloid atau koloid baru darah.
- Golongan O positif biasanya pada etnis Cina dan Malaysia.
- Golongan O negatif biasanya pada India dan Kaukrasia terutama wanita.
Kategori darah untuk keadaan urgen :
1. Tidak ada kecocokan darah ( Golongan darah dan antibodi tidak sama)
2. Kecocokan cepat 5 - 10 menit ( gol. Daarah cocok tapi antibodi tidak)
3. Semua cocok 30 – 45 menit (gol darah dan antibodi cocok)

Komplikasi Transfusi
Reaksi hemolitik (0,03% dari 10 – 40 % mortality rate) tanda-tanda :
a. Pasien dengan panas
dingin, nyeri punggung atau sendi dan dada serta sensasi terbakar pada tempat
infus bisa manifestasi shock
b. Pengobatan awal sebelum
shock dan renal cortical hipoperfusi adalah:
1. Melepas transfusi.
2. Memberi infus cairan dan furosemide 80 – 100 mg untuk keluarnya
kencing 30 mg/jam.
3. Injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5mg/kg untuk anak).
4. Konsul haematologi
Reaksi panas (3 – 4 %) dan kurang gawat dibanding reaksi tranfusi
Tandanya :
a. Pasien mengeluh panas dingin lemas.
b. Pengobatan
1. Lepas transfusi
2. Beri antipiretik
3. Injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5 mg/kg untuk anak).
4. Konsul hematologi.
416

Reaksi alergi (1%) sedikit terjadi sebelum 10 ml darah ditransfusikan


a. Pasen kedinginan dan seluruh tubuh gatal.
b. Tanda : hipotensi, kulit memerah, urtikaria, agioedema.
Penatalaksanaan
- Infus lambat terutama jika urtikaria terjadi transfusi dihentikan saja juga jika
panas, angioedema dan hypotensi menghebat.
- Pemberian injeksi anatihistamin
- Pemberian injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5mg/kg untuk anak).

113. Airway ( Manajemen Jalan nafas/ Rapid sequence Intubation )

Definisi
Rapid sequence Intubation (RSI) merupakan pemberian agen induksi potensial yang
secepatnya diikuti dengan rapidly acting neuromuscular blocking agent untuk
menginduksi penurunan kesadaran serta paralysis motorik untuk intubasi trakea pada
px dengan resiko aspirasi gastric. Asumsi pada RSI:
• Pasien tidak berpuasa sebelum dilakukannya intubasi, sehingga merupakan
factor resiko terjadinya aspirasi.
• Pasien tidak diketahui atau tidak pernah diperiksa mengenai apakah akan
terdapat kesulitan dalam intubasinya.
• Pemberian obat-obatan didahului dengan fase preoksigenasi (lihat pada ‘P’
yang kedua pada RSI untuk lebih detailnya) untuk memungkinkan
terlewatinya periode apneu dengan selamat selama pemberian obat-obatan dan
intubasi trakea tanpa memberikan bantuan ventilasi tambahan.
• Gunakan tekanan pada krikoid atau Sellick’s manoeuvre untuk mencegah
aspirasi cairan gaster.
Indikasi
• Keputusan intubasi berdasarkan 3 hasil pemeriksaan klinik yang fundamental :
1. Apakah ada kegagalan mempertahankan atau memproteksi jalan nafas?
Catatan: jalan nafas yang adekuat dikonfirmasi dengan kemampuan px
untuk bicara/mengeluarkan suara. Kemungkinan adanya jalan nafas yang
inadekuat adalah ketidakmampuan px untuk mengeluarkan fonasi
sederhana, stridor, serta AMS. Gag reflex juga tidak sensitive atau spesifik
digunakan sebagai indicator hilangnya refleks proteksi jalan nafas.
2. Apakah ada kegagalan Ventilasi (cth status asmatikus) atau oksigenasi (cth
severe pulmonary oedema)?
3. Apa manifestasi klinik lain yang harus diantisipasi?
Px akan dapat mengalami deteriorasi dalam usaha nafas bila mengalami
multiple major injuries.
• Jika laringoskopi tidak berhasil, pertimbangkan:
1. apakah posisi px optimal?
2. gunakan straight blade jika epiglottis panjang, terkulai, atau ‘in the way’
3. apakah petugas yang melakukan sellick’s manoeuvre menekan airway
keluar dari midline yang mengaburkan lapang pandang?
417

4. BURP (Backward, Upward, Rightward, Pressure) displacement dari laring

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


• Jika initial atau standard bag-valve-mask gagal, pertanyakan 4 hal ini:
1. Apakah saya telah memposisikan px pada optimum sniffing position? Hati-hati pada
px trauma.
2. Apakah saya telah menggunakan semua perlengkapan tambahan untuk jalan nafas
bagian atas?
3. Apakah saya telah melakukan optimum mask seal? Yakni:
a. Aplikasikan KY jelly pada ‘beard/janggut’
b. isi rongga pipi yang cekung dengan kassa/kain tipis yang ditempatkan antara
gigi dengan mukosa bukal.
c. Pasang kembali gigi palsu px.
4. Apakah saya telah merekrut seorang asisten untuk membantu mengoptimalisasikan
teknik BVM?
Pedoman kapan kita tidak Menggunakan Intubasi
• Jika tidak nyaman menggunakan teknik intubasi yang dibutuhkan,
dan ventilasi masih adekuat
• Jika kondisi px membaik selama percobaan dilakukannya intubasi
• Jika respiratory arrest bersifat reversible dengan obat-obatan
(nalokson, flumazenil).
• Jika px memiliki deformitas pada jalan nafas atau lehernya (serta
keadaannya stabil).
• Jika px memiliki ‘do not resuscitate order’.

Manajemen
Ingat 7 Ps RSI.
• Preparation (persiapan)
1. Px harus ditangani pada area resusitasi
2. Monitoring EKG, pulse oximetry, tanda vital tiap 5 menit.
3. Sediakan obat sedative dan obat paralyzing yang dapat dijangkau
segera.
4. Persiapkan perlengkapan airway meliputi stylets, Mess berbagai
ukuran, orofaringeal airway atau cricothrotomy tray yang dapat
dijangkau segera.
5. susun rencana alternative bila gagal melakukan intubasi.
6. harus memiliki asisten yang terampil.
7. Pasang setidaknya 2 jalur IV peripheral: Hartmann’s atau NS.
8. selalu antisipasi vomiting pada semua pasien trauma. Jika px
muntah, lakukan 3 manuver berikut ini :
a. lakukan suction segera dengan large bore yankauer sucker
b. putar pasien ke posisi lateral atau pada posisi recovery.
c. Letakkan px pada posisi trendelenburg (jika mungkin).
9. pemeriksaan pada ‘jalan nafas yang sulit’ harus dilakukan.
Gunakan ‘LEMON law’ :
L Look externally (cth trauma maksilofasial, trauma penetrasi
pada leher, trauma tumpul leher, dan identifikasi kesulitan
ventilasi seperti pasien yang berjenggot, obesitas morbid,
418

cachexia yang ekstrim, ‘edentulous mouth dengan pipi yang


cekung, struktur wajah yang abnormal).
E Evaluate ‘2-3 rule’ yakni paling tidak 2 jari pemeriksa dapat
melewati mulut atau Patil’s test (indikasi pembukaan mulut
yang adekuat), sedangkan 3 jari harus bisa ditempatkan antara
tepi atas kartilago tiroid dan tepi dalam mentum, yang
merupakan jarak thyromental (mengindikasikan bahwa lokasi
laring pada leher cukup rendah untuk dilakukannya akses
melalui jalur oral).
M Mallampati Score (gambar 1) dan Grade dari laryngeal view
(Gambar 2) untuk memprediksi kesulitan airway. Skor
Mallampati (oropharyngeal visualization) berkorelasi dengan
laryngeal visualization.
Skor Mallampati :
Kelas I : pallatum molle, uvula, fauces, pillars
terlihat : Tidak ada kesulitan
Kelas II : pallatum molle, uvula, fauces
terlihat : Tidak ada kesulitan
Kelas III : Pallatum molle, basis uvula terlihat :
kesulitan Moderate
Kelas IV : Hanya terlihat pallatum durum :
Kesulitan Berat
Grade Laringeal view: Cormack-Lehane Laryngoscopic
grading system
Grade 1 : terlihat seluruh aperture glottis
Grade 2 : hanya terlihat kartilago arytenoid atau
bagian posterior aperture glottis.
Grade 3 : Hanya terlihat epiglottis
Grade 4 : Hanya terlihat lidah dan palatum molle
Mallampati kelas I dan II berkaitan dengan superior
laryngeal exposure (laryngeal grade 1 dan 2) pada saat
intubasi serta kegagalan intubation yang rendah.
Mallampati view kelas III dan IV berkaitan dengan poor
laryngeal visualization (laryngeal grade 3 dan 4) dan
dengan angka kegagalan intubasi yang tinggi. Pada ED,
Assessment skor Mallampati formal, sering tidak
mungkin untuk dilakukan walaupun pemeriksaan pasien
pada posisi supine dengan tongue blade dapat
bermanfaat.
O Obstruction (cth adanya benda asing pada jalan nafas,
kerusakan integritas jalan nafas).
N Neck Mobility : untuk keberhasilan ventilasi, leher px harus
diposisikan pada ‘sniffing morning air position’, yaitu fleksi
pada cervical spine, dan ekstensi pada atlanto-occipital joint.
Terdapat penurunan mobilitas leher pada px trauma yang
diimmobilisasi serta px dengan systemic arthritis.
• Preoksigenasi
1. Merupakan usaha untuk membuat ‘oxygen reservoir’ didalam paru
dan jaringan tubuh untuk memberikan waktu beberapa menit pada
419

keadaan apneu yang terjadi, tanpa arterial oxygen desaturation.


Hal ini sangat esensial pada prinsip ‘no bagging’ dalam RSI.
2. Pemberian oksigen 100% dengan non-rebreathing mask’ selama 5
menit menggantikan nitrogen yang terdapat dalam udara ruang
pada Functional Residual Capacity (FRC) pada paru dengan
oksigen, memberikan keadaan apneu selama beberapa menit (pada
dewasa sehat dengan BB 70kg, dan waktu apneu sampai 8 menit)
sebelum SpO2 < 90%.
3. Jika px tidak bisa dilakukan preoksigenasi selama 5 menit sebelum
mendapatkan obat paralitik, biarkan px untuk mendapatkan 3-5
vital capacity breaths dalam rapid sequence dengan oksigen 100%.
• Pretreatment
1. Merupakan tindakan pemberian obat-obatan (Tabel 1) untuk
mengurangi efek samping yang terkait dengan intubasi. Lignokain
(1,0-1,5mg/kg) Atropin (0,02 mg/kg)
2. Diberikan 3 menit sebelum intubasi.
• Paralysis dengan Induction (lihat tabel 2 untuk ringkasan
obat induksi)
1. Merupakan langkah yang paling vital/penting
2. Agen induksi diberikan sebagai bolus cepat diikuti dengan bolus
cepat succinylcholine : 1 mg/kg atau rokuro 0,6 mg/kg
• Thiopentone
i. Lansia : 2,5-3mg/kg
ii. Dewasa : 3-4mg/kg
iii. Anak-anak : 5-6 mg /kg
• Midazolam 0,1mg/kg
• Etomidate 0,3mg/kg (vena besar)
• Ketamin 2mg/kg

• Protection dan positioning


1. Sellick’s maneuver atau aplikasi tekanan pada cricoid harus
dilakukan sejak awal secara cepat dimana pada saat observasi px
menunjukkan penurunan kesadaran.
2. pasien kemudian diposisikan untuk dilakukan laringoskopi.
• Placement dan Proof
1. penempatan tube di dalam trakea harus dikonfirmasi menggunakan
monitoring end tidal CO2 dan teknik aspirasi seperti oesofageal
detection device.
2. Tekanan pada cricoid dilepaskan setelah ketepatan penempatan
tube dikonfirmasi dan endotracheal tube telah diamankan
• Postintubation management
1. Amankan endotracheal tube
2. Mulai ventilasi mekanik
3. Lakukan CXR untuk memastikan bahwa mainstem intubation tidak
terjadi. Cara lain yang dilakukan secara cepat adalah memastikan
bahwa proximal end dari Cuff ditempatkan pada 2-3 cm distal dari
vocal cord atau dimana black marking dari ETT telah ditempatkan.

Tabel 1: Obat-obatan Pretreatment untuk RSI


420

Lignokain (1,0-1,5mg/kg) Untuk airway disease yang reaktif (tight lung)


atau tekanan intracranial yang tinggi (ICP) atau
‘tight brains’.#
Opioid (Fentanyl 2µg/kg Ketika respon simpatetik harus ditahan (ICP yang
diberikan selama 30-60 detik) tinggi, diseksi aorta, rupture aortic atau berry
aneurysm, ischaemic heart disease)*.
Atropin (0,02 mg/kg) Untuk mencegah suksinil kolin menginduksi
bradikardi. Untuk anak ≤ 10tahun dan dewasa
dengan preexisting bradikardi.
Defasikulasi : non-depolarizing Untuk ICP yang tinggi, trauma penetrasi pada
muscle relaxant mata.
# hanya terdapat sedikit bukti yang menyatakan bahwa IV lignokain mensupresi
peningkatan ICP yang terkait dengan RSI pada pasien HI.
* Tidak ada perbedaan respon hemodinamik yang signifikan terhadap intubasi
orotracheal dengan laryngoskopi yang menggunakan pretreatment IV Fentanil.
atau tidak menggunakannya.

Tindakan Pencegahan Terhadap Keadaan ‘Difficult Airway’ yang Telah Diprediksi


Jangan terburu-buru melakukan RSI. Pertimbangkan melakukan ‘awake Oral
Intubation’. Sedasi px dengan IV Midazolam 1-2 mg. Semprot faring dan laring
dengan lignokain. Lakukan Laringoskopi dan coba untuk melihat laring/vocal cords.
Semprot juga vocal cord. Intubasi bila ada kekhawatiran terjadinya deteriorasi. Jika
tidak, bersiaplah untuk RSI. Sedasi berikutnya mungkin dibutuhkan dengan
menggunakan IV succinilkolin 1,5mg/kg pada dewasa.

Teknik Alternatif jika terjadi Kegagalan Intubasi


Terdapat 2 teknik untuk mempertahankan SpO2 > 90% berdasarkan kemampuan
BVMnya.
• Jika BVM mampu untuk mempertahankan SpO2 > 90%, pertimbangkan
teknik jalan nafas sbb:
1. Intubasi laryngeal mask airway
2. Lighted Stylets
3. Intubasi retrograde
4. Krikotirotomy
• Jika BVM tidak dapat mempertahankan SpO2 > 90%,
krikotirotomi merupakan prosedur pilihan

Terapi Obat
Obat Induksi
Penting bagi px yang sadar ketika RSI dilakukan untuk mengurangi efek fisiologi dan
efek memori dari prosedur yang dilakukan terhadap diri px. (lihat ringkasan obat-
obatan induksi pada tabel 2).
421

Tabel 2: Ringkasan Obat-obatan Induksi


Obat Induksi (Dosis) Onset Pemulihan Keuntungan Kerugian Efek Penggunaan Khusus
Penuh Samping/peringatan
Thiopentone 15-30 detik 3-5 menit Serebroprotektif Depresi respirasi Hipotensi, asma, Cedera kepala dengan
Lansia : 2,5-3mg/kg sentral, porfiria intermittent peningkatan ICP
Dewasa : 3-4mg/kg Hipotensi, akut, variegate porfiria
Anak-anak : 5-6 histamine
mg /kg releasing

Midazolam 30-60 detik 0,5-2 jam Amnestik, Hipotensi, supresi


0,1mg/kg sedative pernafasan

Etomidate 0,3mg/kg 15-30 detik 15-30 menit Serebroprotektif Nausea, vomiting, Merupakan obat induksi
(vena besar) stabilitas nyeri saat injeksi, dengan hemodinamik yang
hemodinamik gerakan mioklonik, paling stabil, cedera
hiccups kepala, px hipotensi

Ketamin 2mg/kg 15-30 detik 15-30 menit Pelepasan Peningkatan ICP Peningkatan ICP Px bronkospastik, px
katekolamin hipotensi tanpa cedera
Analgesic, kepala, instabilitas
amnestik hemodinamik karena
tamponade jantung atau
penyakit miokard.
422

Tabel 3 : Hipotensi pada Periode Post intubasi


Penyebab Deteksi Tindakan
Tension Peningkatan peak Thoracostomy immediate
pneumothorax inspiratory Pressure (PIP),
kesulitan Bagging,
penurunan suara nafas

Penurunan Venous Bisaanya terlihat pada px Bolus cairan, terapi resistensi


return dengan PIPs yang tinggi jalan nafas (bronkodilator),
sekunder karena tekanan peningkatan expiratory time,
intratorakik yang tinggi coba menurunkan volume
tidal.
Agen induksi Penyebab lain disingkirkan Bolus cairan, expectant

Kardiogenik Bisaanya pada compromised Bolus cairan (dengan hati-


pasient, EKG, singkirkan hati), pressors
penyebab lain

Scenario Intubasi yang berbeda


• Hipovolemia (dengan BP yang rendah) : etomidate atau ketamine. Jangan berikan obat
jika syok berat. Hindari thiopentone dan midazolam.
• Isolated Closed Head injury dengan ICP yang tinggi, BP yang normal atau tinggi
(tujuannya adalah untuk menurunkan konsumsi oksigen serebral dan aliran darah
serebral sehingga tekana intracranial akan menurun); thiopentone, etomidate atau
midazolam. Hindari ketamin.
• Closed Head injury (ICP yang tinggi) dan hipovolemi (dengan BP yang rendah, tidak
responsive terhadap cairan): etomidate atau ketamine,. Hindari Thiopentone dan
midazolam.
• Asma : ketamin, etomidate atau midazolam. Hindari thiopentone.

Obat Paralyzing
Obat yang optimum memiliki onset yang cepat dan durasi yang pendek. Agen depolarizing
lebih superior daripada agent non-depolarizing untuk RSI.
• Suksinil kolin : agen utama yang digunakan untuk paralysis emergency yang
bertujuan mengontrol jalan nafas. Efek samping yang signifikan:
1. Bradikardi (terutama pada anak dan px dengan preeksistensi bradikardi).
2. Peningkatan tekanan intraocular /intraoccular (kontraindikasi pada penetrating
globe trauma).
3. Peningkatan tekanan intragastrik (dapat mencetuskan emesis).
4. Hiperkalemi (terutama pada px dengan paralysis otot kronik, cth cerebrovascular
accident dan spinal cord injuries).
Catatan : peningkatan potassium plasma setelah pemberian suksinilkolin (bisaanya
< 0,5 mmol/l).
5. hiperkalemia pada px gagal ginjal kronik sebelum potassium serum diketahui.
Catatan : ada bukti terbaru yang menyebabkan suksinilkolin cukup aman pada
hiperkalemia, walaupun resiko akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar
potassium. Tindakan terbaik adalah menghindari penggunaan suksinilkolin pada
px dengan serum K+ > 6 mmol/l; rocurium merupakan alternative yang baik pada
kasus tersebut. Jika kadar K+ tidak diketahui dan EKG normal, penggunaan
suksinilkolin dapat dilakukan, walaupun px menderita ESRF. Suksinilkolin
423

dieliminasi secara independent terhadap renal secretion, suatu kondisi yang


diinginkan dalam ESRF.
6. Fasikulasi : agravasi trauma musculoskeletal tambahan
7. jarang terjadi hipertermi malignan
Dosis suksinilkolin : 1,0-1,5mg/kgBB IV (2mg/kg pada anak).
Catatan : Rocuronium dipertimbangkan sebagai alternative untuk suksinilkolin
karena onset yang cepat sekitar 1 menit. Namun, memiliki durasi aksi yang lebih
panjang dibandingkan dengan suksinilkolin.
• Rocuronium : non-depolarizing agent yang digunakan untuk mencegah fasikulasi otot
yang diinduksi suksinilkolin, atau untuk menghasilkan efek paralysis yang lebih
panjang selama prosedur, cth CT scan.
Dosis: 0,6mg/kgBB IV bolus sebelum suksinilkolin. Durasi kerja efektif adalah 20-45
menit.
• Atracurium (Tracium) : non-depolarizing agent.
Dosis : 0,3-0,6mg/kg IV bolus. Kerugian obat ini adalah bahwa ia menyebabkan
pelepasan histamine; hati-hati pada px yang menderita asma.

Tahapan Tindakan dengan menggunakan Mode Hitung Mundur


Waktu (menit)
- 5.00 : Preparasi
- 5.00 : Preoksigensi
- 3.00 : Pretreatment (pertimbangkan ‘LOAD’) Lignokain (1,0 mg/kg)
0.0 : Paralisis dengan Induksi Midazolam (0,1 mg/kg)Rocuronium (0,6 mg/kg)
+ 0.30 : Proteksi
+ 0.45 : Placement dan proof
+ 1.00 : Postintubasi manajemen
+ 10.00 : CXR untuk memeriksa kedalaman penempatan ETT

Penempatan
Pasien yang menjalani RSI merupakan kandidat untuk masuk pada ICU atau langsung menuju
ke OT sesuai konsultasi yang telah dilakukan.

114...................
424

115. Cervical Spine Clearance

Caveats
• X ray dari C-spine tidak dibutuhkan jika terdapat criteria sbb:
1. Pasien sadar, bangun dan tenang
2. tidak ada keluhan nyeri pada leher
3. tidak ada distracting injuries pada tubuh atau nyeri selama pemeriksaan
4. tidak ada nyeri tekan pada pemeriksaan Spine.
5. dapat menggerakkan leher kekanan dan kekiri serta melakukan fleksi dan ekstensi
tanpa nyeri
6. Tidak ada deficit neurologist
• Jika memenuhi criteria diatas, banyak penelitian yang menyatakan bahwa
pasien tidak mengalami C-spine injury yang bermakna.
• Pada px trauma yang lainnya, lakukan pemeriksaan:
1. Foto polos C-Spine
c. posisi AP
d. Posisi lateral atau swimmer’s view : basis oksiput sampai batas atas
T1 harus terlihat
e. Open Mouth Odontoid View. Tidak mungkin dilakukan bila px tidak
kooperatif untuk melakukan foto dengan mulut terbuka. Posisi
oblique dari proscesus odontoid atau gambaran foramen magnum
dapat diperiksa untuk melihat densitas.
2. CT scan : diindikasikan sebagai pengganti foto polos C-spine pada area yang
mencurigakan atau area yang tidak adekuat untuk dilihat.
• C-collar harus dipasang pada situasi sbb:
1. ada keraguan pada pemeriksaan foto polos
2. Adanya masalah pembedahan akut lain yang membutuhkan pengiriman pasien ke
OT yang mendesak sebelum pemeriksaan Spine selesai dilakukan.
3. koma, AMS dan pasien pediatric (yang terlalu muda untuk menyatakan
keluhannya), sampai mendapatkan evaluasi yang tepat oleh orthopaedics atau
neurosurgeon.
425

Gambar 1 : Cervical Spine Clearance di ED

Periksa Pasien

Tidak
Apakah Px sadar,
bangun dan tenang ?

Ya
Periksa adanya deficit Neurologikal

Tidak
Defisit neurologik Lepaskan C-collar

Ya

Biarkan pasien Supine


Asumsikan Unstabel dan C-spine netral
Spine

Lihat Bab Spinal Cord


Injury
Tanyakan adanya Suruh px untuk
nyeri leher dan Tidak menggerakkan leher
periksa nyeri tekan • Dari kiri ke kanan
pada C-Spine • Fleksi - ekstensi

Ya

Tidak
Ya Nyeri atau
Tidak perlu
Nyeri tekan
X-ray
positif?
Lepaskan C-Collar

Pemeriksaan Radiologis:
1. C-spine X ray
• Wajib pada posisi lateral. Coba untuk menekan bahu kebawah untuk
mendapatkan paparan yang adekuat terhadap T1. lakukan swimmer’s view jika
paparan tidak adekuat.
• Posisi AP jika mungkin
• Open mouth Odontoid view jika mungkin
2. C-Spine lateral view dimana px secara sukarela melakukan fleksi dan ekstensi
dari lehernya
• Dipertimbangkan bila screening 3 view C-spine normal, namun px
mengeluhkan nyeri leher yang bermakna.
• Maneuver ini harus dilakukan dibawah pengawasan dokter yang
berpengalaman.
426

116. Commonly used scoring system

manfaat
• membantu kita untuk menilai secara kwantitatif berat ringannya injury pada pasien-
pasien trauma.
• Membantu kita untuk memperkirakan hasil akhir trauma tersebut. Bahkan sangat
berguna dalam pemeriksaan klinis dan untuk penelitian.
• Trauma score dilakukan di triage dan keputusan klinis dapat dipakai untuk
menentukan kemana pasien akan di transfer.

Score fisiologis
Glasgow Coma Score (GCS)
• GCS banyak dipakai untuk menilai kesadaran pasien melalui 3 respon yaitu; respon
membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.

Table 1: Glasgow coma score


__________________________________________
Respons score
__________________________________________
Membuka mata
* spontan 4
* dengan suara 3
* dg rangsangan nyeri 2
* tidak ada respon 1

Respon verbal
* orientasi bagus 5
* bicara bingun 4
* hanya berupa kata-kata 3
* hanya keluar suara saja 2
* tidak ada respon suara 1

Respon motorik
* sesuai dengan perintah 6
* dengan rangsangan mampu melokalisir nyeri 5
* dg rangsang nyeri, respon witdrawl 4
* dg rangsang nyeri, respon gerakan fleksi 3
* dg rangsang nyeri, respon gerakan ekstensi 2
* tidak ada respon 1
________________________________________________________________
Total GCS poin (1+3+3) 3 s/d 15
_______________________________________________________

• GCS ini dapat dipakai untuk mengelompokkan pasien;


1. coma: pasien dikatakan koma bila respon membuka mata (E) = 1, respon verbal
(V) = 1 sp 2, dan respon motorik 1 sp 5. artinya pasien dengan GCS = atau < 8
dapat dikatakan koma.
2. beratnya trauma kepala. Berdasarkan GCS pasien dapat dikelompokkan menjadi;
427

a. trauma kepala berat bila GCS < 8


b. trauma kepala sedang bila GCS = 9-13
c. trauma kepala ringan bila GCS = 14-15

• GCS juga dapat diterapkan pada anak-anak.namun untuk verbal pada anak < 4 tahun
harus dimodifikasi (table 2).
• GCS dapst dikorelasikan dengan mortalitas dan dengan Glasgow outcome score, yang
dapat mengukur tingkat kerusakan fungsi otak. Score ini digunakan luas untuk
prehospital triage dan untuk membedakan tingkat kesadarn setelah pasien MRS.

Revised trauma score (RTS)


• RTS pada table 3 didasarkan pada GCS, tekanan darah sistolik dan respiratory rate. Ini
telah digunakan luas di triage, dengan variable antara 4 (normal) sampai 0. dan dengan
code nilai tertentu yang berhubungan dengan prognosa.

Table 2: pediatric verbal score


____________________________________________
Respon verbal score
__________________________________________________________________
Kata-kata yg sesuai atau senyuman, pegangan dan mengikuti 5
Menangis, tetapi dapat di redakan 4
Rewel yg sulit diredakan (irritable) 3
Anak malas, agitasi 2
Tidak ada respon 1

__________________________________________________________________

Tabel 3: RTS
______________________________________________
GCS SBP RR code value
___________________________________________________________
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1 – 49 1-5 1
3 0 0 0
___________________________________________________________
RTS=0.9368 GCS + 0.7326 SBP + 0.2908 RR.

Score Anatomi
Abbreviated Injury Scale (AIS)
• score AIS berkisar antara 1- 6 untuk masing-masing individu yang mengalami trauma.
(table 4). Score ini muncul sejak th 1971.
428

Injury Severity Score (ISS)


• ISS dibagi berdasakan 6 bagian region tubuh;
1. kepala / leher
2. wajah
3. dada
4. abdomen dan pelvis
5. extremitas
6. struktur luar/kulit

system scoring lain


TRISS. Metode ini dipakai secara kwantitatif untuk menilai kemungkinan harapan hidup
pasien berdasarkan beratnya trauma, dan secara luas telah dipakai untuk perbandingan antara
satu rumah sakit dengan RS yang lainnya. Pasien dinilai berdasarkan nilai kombinasi antara
ISS dan RTS serta ditambahkan faktor umur. Pasien dengan nilai survive < 0.5 dikatakan
‘unsuspected survivor’ (tidak harus hidup) dan pasien dengan nilai > 0.5 dikatakan
‘unsuspected deaths’ (tidak seharusnya mati).

Table 4: abbreviated injury scale


__________________________________
Scale attributes of injury
____________________________________________
AIS 1 minor injury
AIS 2 moderate injury
AIS 3 serious injury
AIS 4 severe injury
AIS 5 critical injury
AIS 6 fatal injury
_____________________________________________

******************************
429

117. CONSCIOUS SEDATION

DEFINISI
• Terminologi ini mengacu pada depresi minimal tingkat kesadaran dimana reflek
proteksi jalan nafas dan jantung pasien masih dapat dipertahankan, dan pasien masih
mampu memberi respon dengan tepat terhadap stimulasi fisk dan atau perintah verbal.
Agen yang digunakan untuk mencapai keadaan ini termasuk obat sedasi, dengan rentang
keamanan yang cukup lebar yang jarang menimbulkan hilangnya kesadaran seperti
midazolam dan analgesic, yaitu agonis opiate, yang memiliki efek samping sedasi dan
menimbulkan depresi nafas.
• Istilah lain yang diajukan saat ini adalah sedasi dan analgesia prosedural, yangs erring
disingkat PSA.

PERHATIAN
• Diasumsikan bahwa pasien telah dinilai kelayakan dan kesesuaian untuk sedasi, yang
meliputi dokumentasi akan adanya alergi, terapi medikamentosa yang sedang dijalani
serta abnormalitas patensi jalan nafas.
• Pada keadaan tidak adanya dokter emergensi senior atau ahli anestesi, pertimbangkan
rawat inap untuk anestesi general pada pasien anak berusia <5 tahun.
• Jika terdapat keraguan terhadap kemampuan anda melakukan sedasi sadar pada
seorang pasien, anda dapat merawatinapkan pasien tersebut atau meminta advis dari
dokter emergensi yang bertugas jaga.
• Penggunaan ketamin memerlukan dua operator. Operator pertama akan melakukan
prosedur sementara yang lain bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan secara
konstan status jalan nafas dan hemodinamik pasien.

INDIKASI
• Pasien dengan dislokasi sendi sedang dan besar
• Abses yang akan dilakukan insisi dan drainase
• Laserasi pada lokas yang secara anatomis rumit, misalnya pada wajah anak berusia <5
tahun.

) Tips Khusus Untuk Dokter Umum


• Conscious sedation bukan merupakan prosedur yang harus anda
pertimbangkan untuk dilakukan kecuali rancangan di tempat kerja anda
meliputi kemampuan monitoring hemodinamik dan bantuan anesthesia
segera

TATA LAKSANA
Penanganan suportif
• Pasien harus ditangani di area yang dilengkapi dengan monitor tanpa memandang usia
dan kondisi fisik yang terlihat baik ataupun riwayat medis lampau yang baik. Reaksi
alergi dan idiosinkrasi sulit untuk diprediksi
• Monitoring: EKG, pulse oximetry dan tanda-tanda vita setia 5-10 menit.
• Suplementasi oksigen
• Peralatan resusitasi yang harus segera tersedia meliputi:
1. Alat bantu jalan nafas oral
430

2. Peralatan bad-valve-mask (BVM)


3. Pipa endotrakea
4. Defibrillator
5. Obat reversal: naloxone dan flumazenil

Terapi medikamentosa
• Benzodiazepin, mis. midazolam memiliki keuntungan akibat efek
amnesia selain sedasi dan pelemas otot. Akan tetapi obat ini tidak memiliki efek analgesia.
Karenanya obat ini paling baik digunakan bersamaan dengan analgesic agonis opiate.
• Analgesik opiate/obat sedasi, mis. morfin, meperidin, fentanyl: dari
ketiga obat yang serupa ini fentanyl memiliki keuntungan nyata yaitu tidak menimbulkan
pelepasan histamin (reaksi anafilaktoid).
• Ketamin: obat sedasi dengan efek amnesia disosiasi dan anagesik
yang lemah, terutama digunakan pada anak-anak.

Komplikasi conscious sedation


• Depresi nafas akibat midazolam dan agonis opiat. Ditangani dengan:
1. Oksigen
2. Ventilas dengan BVM
3. Obat reversal: flumazenil dan naloxone
• Laringospasme akibat ketamin. Ditangani dengan
1. Ventilasi tekanan positif (VTP)
2. Suksinilkolin 1-2 mg/kgBB IV atau 4 mg/kgBB IM jika laringospasme menetap
setelah VTP
3. Tata laksana jalan nafas dengan BVM atau intubasi setelah paralisis
• Hipotensi akibat midazolam dan agonis opiat. Ditangani dengan:
1. Posisi Trendelenburg
2. Infus NS 20 ml/kgBB
3. Obat reversal
• Kekakuan dinding dada akibat fentanyl. Ditangani dengan:
1. Naloxone
2. Suksinilkolin 1-2 mg/kgBB IV atau 4 mg/kgBB IM jika naloxone tidak berhasil
3. Tata laksana jalan nafas setelah paralisis
• Reaksi alergi. Ditangani dengan:
1. Adrenaline (1:1,000 SC sebanyak 0.01 ml/kgBB atau 1:10,000 IV sebanyak 0.05-0.1
ml/kgBB)
2. Antihistamin, mis diphenhydramin 1mg/kgBB IM atau IV
3. Hidrokortison (5 mg/kgBB IV)

Penggunaan obat reversal


• Penggunaan yang tidak tepat: lebih disukai untuk membiarkan pasien
kembali sadar penuh secara alami tanpa menggunakan antidotum seperti naloxone dan
flumazenil karena waktu paruh obat yang digunakan pada conscious sedation lebih
panjang dari antidotum nya. Karenanya penggunaan antidotum yang tidak tepat dapat
mengakibatkan tingkat kesadaran yang berfluktuasi.
• Penggunaan yang tepat: antidotum naloxone dan atau flumazenil diberikan
bila pasien menjadi bradypneu atau bahkan apneu selama prosedur dilakukan atau menjadi
tidak sadar. Dosis:
Naloxone: Anak: 0.01 mg/kgBB IV setiap 1 jam
431

Dewasa: 2 mg IV setiap 1 jam


Flumazenil: Anak: 0.1 mg IV
Dewasa: 0.5 mg IV, dapat diulang 2 kali dengan interval 5 menit.

Setelah prosedur dilakukan


• Amankan tungkai atau pasangkan pembalut pada bagian yang dioperasi.
• Tempatkan pasien dalam posisi pemulihan dengan Trendelenburg ringan.
• Lanjutkan monitoring sampai pasien sadar penuh, dapat batuk (atau menangis) dan
bergerak terarah.
• Atur pasien untuk pulang ke rumah dengan pengawasan keluarga atau teman.

Disposisi
Saat pasien dipulangkan, perlu diberikan instruksi bahwa untuk 24 jam berikutnya pasien
sebaiknya tidak:
• Mengendarai kendaraan bermotor maupun sepeda
• Memanjat di ketinggian
• Berenang
• Mengkonsumsi alcohol ataupun obat-obatan yang menyebabkan kantuk.
432

• Tabel 1. Dosis dan panduan obat-obatan

Obat Dosis Keuntungan


Dewasa Anak
Midazolam 0.1 mg/kgBB IV dalam Dosis awal 0.05 mg/kgBB Onset cepat, durasi kerja De
(Dormicum dosis terbagi, bergantian IV kemudian ditingkatkan singkat, dapat dititrasi SS
®) dengan analgesia sampai 0.1 mg/kgBB dig
dalam dosis terbagi, dg
bergantian dengan
analgesic
Morfin 0.1-0.2 mg/kgBB IV 0.01-0.04 mg/kgBB IV Telah diuji coba selama De
dalam dosis terbagi, dalam dosis terbagi, bertahun-tahun, dapat SS
bergantian dengan obat bergantian dengan obat dititrasi em
sedasi sedasi de
pa
pe
Meperidine 1.0 mg/kg IV dalam Sama dengan dewasa Durasi lebih singkat dan Sa
(Pethidine ®) dosis terbagi, bergantian efek depresi kardiak efe
dengan obay sedasi lebih ringan rin
dibandingkan morfin, leb
dapat dititrasi
Fentanyl 1-2 μg/kgBB IV dalam Dosis awal 0.5 μg/kgBB Onset cepat, kerja De
(Sublimaze ®) dosis terbagi, bergantian IV; sampai maksimal 2 singkat, pemulihan cepat, ke
dengan obat sedasi μg/kgBB dalam dosis pelepasan histamine se
terbagi, bergantian dengan minimal be
obat sedasi
Ketamine 1-2 mg/kgBB IV 3 mg/kgBB IM Tidak menyebabkan La
1 mg/kgBB IV bolus pelan depresi kardiorespiratori, do
bronkodilator dan sia
berguna pada pasien pa
asma pe
da
Atropine 0.6 mg IM atau IV 0.02 mg/kg BB IV atau IM Antisialogogue
Tambahan sampai dosis 2.4 mg
pada ketamine

433

118.terapi cairan pada anak

*Terapi IV untuk pasien tidak syok 8 jam pertama


Total cairan yang dibutuhkan Replacemant DS ( R ) (%dehidrasixBB)ltr
( cc/ 24 jam)

DS (R) = Dextrose 2,5% Salin 0,45%


DS (M) = Dextrose 3,75% Salin 0,23%

Sebagian diberikan cairan hasil penjumlahan replacement dan maintenance 8 jam pertama

Contoh: Anak 1 tahun, 10 kg dengan dehidrasi 3%


Volume replacement = (3%x10 kg) lt = 300 cc
Volume maintenance = 10 kg x 100cc/kg = 1000 cc
Yang diberikan di UGD dalam jam I = (300/2 + 1000/2 ) / 8 jam = 650/8 jam = 81 cc/ jam

*Resuitasi untuk pasien syok

Kristaloid (NS atau Hatmann’s) = 10-20 cc/kg secepat mungkin dalam 15 menit untuk
mengisi volume extrasel ( ulangi jika dibutuhkan )
434

119. DAFTAR OBAT YANG HARUS DIHINDARI PADA DEFISIENSI G6PD

ANALGESIK
• Asam asetilsalisilat (aspirin)
• Acetophenetidin (Phenacetin®)

SULFONAMID DAN SULFON


Suphanilamide Dapsone
Sulphapyridine Sulphoxone
Sulphadimidine Glucosulfone sodium
Sulphacetamide Co-trimoxazole
Sulphafurazone

KOMBINASI ANTIBAKTERIAL LAIN


Nitrofurans: nitrofurantoin, furazolidone, Chloramphenicol
nitrofurazone
Asam nalidiksat Asam p-aminosalisilat

ANTIMALARIA
• Primakuin
• Pamakuin
• Klorokuin

KARDIOVASKULER
• Prokainamid
• Kuinidin

LAIN-LAIN
Vitamin C Biru metilen
Analog vitamin K Arsine
Naphthalene (kapur barus) Phenylhydrazine
Probenecid Biru toluidin
• Dimerkaprol (BAL) • Mepacrine
435

120. list of drugs to avoid in pregnancy

CAVEATS
Sebelum meresepkan pada ibu hamil, selalu pertimbangkan keuntungan maupun resiko
pengobatan. Daftar obat-obat berikut biasanya hanya digunakan dalam ED. Ada beberapa
obat yang mempunyai efek merugikan pada ibu hamil dan hanya ada beberapa yang aman
keselamatan ibu lebih diprioritaskan daripada janinnya.
436

121. Paparan jarum/ cairan tubuh

Definisi
Kontaminasi ini biasanya akibat kecelakaan, potensial mengenai pelayan kesehatan atau
anggota masyarakat.
Caveats
• Di rumah sakit, luka akibat memindahkan jarum dari satu orang kelainnya selama
injeksi, punctie vena atau kanulasi IV hampir sepertiga luka terjadi jauh dari waktu
dan tempat perawatan pasien, misalnya luka pada kulit dari jarum terbuka di tempat
sampah..
• Paramedis mengalami paparan baik parenteral maupun non parenteral.
• Resiko hepatitis lebih besar dari HIV.
• Tipikal, infeksi HIV pada paramedis akibat sekunder dari kecelakaan dengan darah
dari pasien HIV.
• Seorang dengan tes negatif untuk anti HIV serokonversi dapat lambat atau tidak ada
setelah inokulasi virus.
Tip khusus
• Kemoprofilaksis antiretroviral post paparan merupakan standar dan harus segera
diberikan setalah paparan HIV positif.
Penatalaksanaan
• Perawatan pasien:
1. Paparan percutaneus: cuci tempat inokulasi secepatnya dengan air mengalir.
Desinfeksi dengan Chlorhexidine atau Povidone iodine dan balut jika perlu.
2. Paparan membran mukosa; irigasi secepatnya dengan sejumlah besar air.
3. Paparan kulit non intak: cuci dengan sabun dan air atau antiseptik. Kemudian
desinfeksi dengan Chlorhexidine atau Povidon iodine.
Catatan: untuk semua kontak mengikuti kebijakan dan prosedur institusi.
• Darah/ cairan tubuh dari pasien yang teridentifikasi
1. Kirim darah paramedis yang terpapar untuk HbsAg, anti-HBS, dan anti HIV
2. Kirim darah dari pasien untuk HbsAg dan anti HIV
437

a. Identifikasi pasien sumber HbsAg negatif


i. Paramedis dengan imunitas alami HBV, tidak perlu tindakan.
ii. Paramedis dengan imunisasi HBV lengkap: tidak perlu tindakan
iii. Paramedis dengan imunisasi HBV tidak lengkap: mulai/ lengkapi
imunisasi HBV.
iv. Paramedis dengan HbsAg positif: tidak perlu tindakan
b. Identifikasi pasien dengan HbsAg positif
(1) Paramedis dengan imunitas alami HBV: tidak perlu tindakan
(2) Paramedis dengan imunisasi HBV lengkap: dosis booster vaksin
hepatitis B
(3) Paramedis dengan imunisasi HBV tidak lengkap: hepatitis B
spesifik HIGdalam 72 jam dan mulai/ lengkapi imunisasi HBV
(4) Paramedis dengan HbsAg positif: tidak perlu tindakan.
c. Identifikasi pasien sumber HIV antibody positif
(1) menentukan status hepatitis B pasien.
d. Identifikasi pasien sumber anti bodi HIV positif
 Paramedis dengan antibody HIV positif; tidak perlu tindakan
 Paramedis dengan antibody HIV negatif: berikan profilaksis post
paparan segera dan rujuk ke institusi.
 Menentukan status virus hepatitis B pada pasien sumber dan proses
seperti disebutkan diatas.

• Darah/ cairan tubuh pasien yang tidak diidentifikasi


1. Paramedis dengan imunitas alami pada HBV: tidak perlu tindakan
2. Paramedis dengan imunisasi HBV lengkap: dosis booster vaksin hepatitis B
3. Paramedis dengan imunisasi HBV tidak lengkap: berikan hepatitis B spesifik HIG
dalam 72 jam dan mulai/ lengkapi imunisasi hepatitis B.
• Profilaksis post paparan: jika paramedis terpapar darah atau cairan tubuh dari pasien
HIV positif, beri kemoprofilaksis post paparan dapat mengurangi serokonversi.
Penelitian menunjukkan profilaksis yang diberikan dalam 24 jam paparan menurun
kan transmisi HIV.
1. berikan profilaksis segera: jangan tunggu dalam 3 hari atau lebih
2. Zidovudine (AZT, ZDV, retrovir). Dosis 200 mg peroral 3 kali dalam 3 hari
3. jika status HIV pasien sumber tidak diketahui tapi termasuk dalam resiko tinggi:
a. lakukan spesimen darah seperti diatas
438

b. rujuk untuk pengawasan < 48 jam.

122. OBAT-OBATAN DAN PERALATAN PADA ANAK

FORMULA UNTUK MEMPERKIRAKAN NILAI NORMAL


• Perkiraan berat (kg):
1. 2 x umur (thn) + 9 untuk umur < 9 thn
2. 3 x umur (thn) untuk umur > 9 thn
• Luas permukaan tubuh(m2): tinggi(cm) x berat badan(kg) /3600
• Tekanan darah sistolik terendah:
1. Neonatus: 60 mmHg
2. Bayi : 70 mmHg
3. Selanjutnya : 170 + (2xumur(thn)) mmHg

Umur ( tahun ) Nadi/menit Pernafasan


<1 110 - 160 30 - 40
2-5 95 - 140 20 -30
5 - 12 80 - 120 15 -20
> 12 60 -100 12 -16

Ctt.: Jika <5 th, nadi >180 pastikan sinus takikardi


Jika >5 th, nadi >160 pastikan sinus takikardi
Semua umur HR >220 pastikan SVT
Perkiraan jumlah darah anak (ml): 80 x BB (kg)

ALAT
• Ukuran ETT anak : 4 + umur(thn) /4 ( diatas umur 2 th )
• Panjang ETT anak (cm) dari mulut: 12 + umur(th) /2 tambahkan 3 cm bila melalui hidung
( untuk anak > 2 th ), atau ukuran ETT x 3
1. Kardioversi untuk gangguan irama atrium:
1 joule/kg
2. Kardioversi untuk gangguan irama
ventrikel: 2-4 joule/kg
umur lahir 1 bln 3 bln 6 bln 1 thn
439

Ukuran ETT 3mm 3mm 3,5mm 4mm 4mm


Panjang ETT 9cm 10cm 10,5cm 11cm 12cm
Tube dada 8F 8F 10F 10F 10F
Kateter urin 5F 5F 8F 8F 8F
440

DAFTAR HALAMAN.
1. AMS…..4
2. …..
3. …..
4. ….
5. …….
6. …..
7. …….
8. ……
9. …..
10. ……
11. ….
12. …..
13. …..
14. …
15. …
16. …14
17. ……16
18. ….18
19. …..
20. …20
21. ..25
22. …30
23. …..
24. …32
25. ….39
26. ….
27. …48
28. ….50
29. …53
30. …56
31. …60
32. …
33. …
34. …66
35. …72
36. …
37. …
38. …74
39. ….78
40. …
41. …
42. …81
43. ….
44. …
45. ….
46. …
47. .
48. …84
49. ….
441

50. …86
51. …88
52. …93
53. …
54. ..
55. …
56. …95
57. …
58. …
59. …99
60. …101
61. …103
62. …105
63. …
64. …
65. …
66. …
67. …
68. …
69. …
70. …
71. ..
72. ..
73. …
74. …
75. ..
76. ..
77. ..
78. ..
79. ..
80. ..
81. ..
82. ..
83. ..
84. ..
85. ..
86. ..
87. ..
88. ..
89. ..
90. ..
91. ….
92. …
93. …
94. ….
95. …
96. …
97. …
98. ..
99. ..
442

100. …
101. ..
102. ..
103. ..
104. ..
105. ..
106. ..
107. ..
108. …
109. ..
110. ..
111. ..
112. ..
113. ..
114. ..
115. ..

You might also like