You are on page 1of 5

Nama : SATRIA PRAHAR A.

No : 27
Kelas : X9

BALADA SEBUAH TUGAS STATISTIK


[ Cerpen Deteksi Jawa Pos, Senin, 21 Juli 2008 ]

Oleh Retno Wi

Brakk!!…

Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk
dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu
hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah,
seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya
aku…

Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang
memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku
masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam
dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua
tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku.
Benarkah aku teledor?

Brak!!…

Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras
dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas
memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak
peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik
jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit
terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik
yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.

“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak
banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang
terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di
kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-
bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih
mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi
kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat
mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!

“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang
menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana
bukuku??”

Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan
kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya
mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…,
Dicobanya sekali lagi.

Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus?
Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.

“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum
ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”

“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”
“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir?
Siapa? Emang kucing?!”

“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah.
Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha
ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.

Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.

Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan
badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap
meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak
lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan
buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di
sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat
tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….

Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan
mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu…
Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.

Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan
buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus
mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.

Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang
memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar.
Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu
yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit
antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat
sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.
Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!..
akhirnya kutemukan buruanku.”

****

Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad
yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di
dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan
semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.

“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya
tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang
medok itu?

“Lo sendiri?”

“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”

Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.

“Pulang?”

Laki- laki di depannya mengangguk mantap.

“Trus, tugas statitiskmu?”

“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.

“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya.


Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.
“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang
membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu
ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.

“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”

“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”

“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”

“Maksudnya?”

“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo
masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu
lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”

“Jadi?”

“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”

Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.

You might also like