Professional Documents
Culture Documents
BAB I
KASUS
IDENTITAS PASIEN
Umur : 8 bulan
Agama : Islam
Rekam Medis : 44 41 62
Bangsal : Dahlia
3 HSMRS : Pasien BAB cair lebih dari 8 kali sejak pagi dinihari, konsistensi cair, tidak
nyemprot, ada lender, tidak ada darah, dan warna kuning, berampas, sedikit- sedikit tapi
sering. Pasien menangis saat BAB, sedikit mengeluarkan air mata. Anak tampak sedikit
lemas dan tidak ceria seperti biasanya, tapi anak masih mau bermain dengan ibu dan
neneknya. Pasien menetek jadi males- malesan, BAK jarang, 3-4x/ hari. Pasien sudah
makan pasi 1 minggu yang lalu dan menurut ibu, ketika diberikan pasi tidak ada keluhan
apa-apa dan pasi yang diberikan selalu baru. Pasien panas terus-menerus sejak saat itu.
Panasnya turun naik. Pasien tidak batuk, tidak pilek, pasien muntah 2 kali. Orang tua
pasien membawa untuk berobat ke bidan pada pagi harinya, diberi obat penurun panas
dan puyer diare untuk diminum 3 kali sehari, tapi pasien masih tetap BAB cair. Sore
harinya pasien dibawa untuk berobat ke dokter, diberi obat penurun panas, obat untuk
diare dan anti muntah. Malam harinya keluhan berkurang.
HMRS : Pasien kembali BAB cair lagi, 5 kali sejak pagi dinihari, konsistensi cair,
tidak nyemprot, ada lendir, tidak ada darah, dan warna kuning. Pasien muntah 2 kali,
tetapi pasien masih mau menetek. Pasien sedikit rewel, menangis mengeluarkan sedikit
air mata. Ubun- ubun besar pasien agak cekung, mata agak cowong. Ibu mengatakan
bahwa ada ruam merah atau lecet pada anus pasien. Pasien masih mau bermain dengan
orang disekitarnya. Orang tua pasien kemudian membawa pasien ke RSUD Setjonegoro
Wonosobo pada pagi harinya karena keluhan kembali muncul.
Riwayat pernah menderita demam, batuk & pilek beberapa bulan sebelumnya, Tapi
hanya pilek biasa.
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit yang sama saat itu.
1. Riwayat kehamilan
§ Mendapatkan obat penambah darah berbentuk tablet segi tiga warna merah yang
diminum secara teratur 1x/hari
2. Riwayat Persalinan
Ibu (G1 P1 A0) melahirkan pada umur kehamilan 39 minggu, ditolong oleh bidan di
rumah bidan, lahir spontan, bayi lahir langsung menangis, berat bayi baru lahir 3100
gram, tidak ada riwayat perdarahan setelah melahirkan, Asi langsung keluar lancar
setelah melahirkan.
Riwayat makanan :
— Motorik kasar
Bicara
○ Saat ini (8 bulan) sudah dapat mengucapkan ‘ayaya, mak, maem’ kurang begitu
jelas.
Sosial
○ Tersenyum 3 bulan
Riwayat imunisasi
BCG : Usia dibawah 1 bulan di puskesmas. ( Terdapat scar pada deltoid dextra)
Hepatits B: Usia dibawah 1 bulan 1 (bersamaan dengan BCG) , dan usia 5 bulan di
Puskesmas
Campak : belum
Kesimpulan :
Anamnesis Sistem
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Vital sign :
TD : tidak dilakukan
N : 105 x/menit, isi cukup dan tegangan turun, teratur.
S : 39,8°C
Status gizi :
lingkar kepala : 41 cm
Lingkar dada : 43 cm
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya
(+/+)
Thorax
Jantung
Pulmo
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, retraksi tak ada, ketinggalan gerak tidak
ada, tipe pernafasan thorakoabdominal
Perut :
P : timpani
Anogenital
Perempuan , pembesaran limfonodi inguinal (-), sekret (-), udem vulva (-),
gerakan bebas
Tonus normal
clonus (-)
sensibilitas normal
udem (-)
akral hangat
Ekstremitas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
ž Pemeriksaan laboraturium :
ž Darah rutin :
○ AL : 23,10 x 10 9/l
○ HB : 13,0 g/dl
○ AT : 285 x 10 9/l
○ HMT : 39,24%
Diff tell :
Lym : 8,50 x 10 9 /l
Mid : 1,54 x 10 9 /l
— Ly % : 36,8%
— Mi % : 6,7 %
— Gr % : 56,5%
— Urin rutin :
— Warna : Kuning
— pH :5
— Protein :-
— Glukosa :-
— Urobilin :+
— Sedimen
— Leukosit : 1-2
— Eritrosit :-
— Kristal :-
— Silinder :-
— Jamur :-
— Bakteri :-
— Lendir :+
— Eritrosit :-
— Leukosit :-
— Telur cacing :-
— Amuba :-
Pencernaan
— Serat otot :-
— Serat tumbuh-tumbuhan :-
— Globula :+
DAFTAR MASALAH :
Masalah aktif :
BAB cair ≥ 8 kali, tidak ada darah, warna kuning terdapat lender, tidak nyemprot,
Badan panas
VS : t : 39,8 derajat C, suhu raba panas, N : 105 x/mnt, isi dan tegangan menurun,
regular. RR 38 x/mnt
Pemeriksaan Fisik : UUB agak cekung, mata agak cowong, air mata saat nangis sedikit..
Bibir sedikit kering, peristaltik meningkat.
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah
AL : 23,10 x 10 9/l
HB : 13,0 g/dl
AT : 285 x 10 9/l
HMT : 39,24%
Diff tell :
Urin rutin : warna kuning, sedikit keruh, sel epitel 1-2/LBP, leokosit : 1-2/LBP, bakteri -
Masalah inaktif :
DIAGNOSIS KERJA :
Gastroenteritis Akut Dehidrasi sedang et causa infeksi enteral dengan gizi lebih
DIAGNOSIS BANDING :
Gastroenteritis Akut Dehidrasi sedang et causa infeksi parenteral dengan gizi lebih
RENCANA PENGELOLAAN
2. RENCANA TERAPI
— Antibiotik selektif
Terapi edukatif :
· Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit lanjutkan ASI
PROGNOSIS
— Que ad sanam : dubia ad bonam, bila infeksi teratasi dan komplikasi dapat
dicegah
— Que ad fungsionam : dubia ad bonam, bila kualitas dan kuantitas makan tetap
terjaga
Tinjauan Pustaka
DIARE AKUT
Diare akut adalah buang air besar lembek /cair bahkan dapat berupa air saja yang
frekuensinya lebih sering biasanya ( biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari ) dan
berlangsung kurang dari 14 hari. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi BAB lebih
dari 4 kali perhari, sedang bayi umur 1 bulan dan anak BAB lebih dari 3 kali perhari.
Diare ialah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan / tanpa darah dan / atau
lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi pada anak secara mendadak yang
sebelumnya sehat.
Bakteri juga adalah salah satu penyebab gastroenteritis, dan biasanya didapatkan
adanya darah di feses. Bakteri Shigella dan Salmonella menyebabkan infeksi yang
bersifat disenterik, dengan adanya darah dan pus di feses. Disertai nyeri dan tenesmus ani
dan demam. Diare karena E.coli ditandai dengan gejala diare yang profuse dan cepat
sekali menimbulkan dehidrasi. Meskipun demikian, gejala klinis sulit menjadi patokan
etiologi gastroenteritis.
1. Perbandingan permukaan tubuh dan berat badan yang lebih besar dibandingkan
orang dewasa, sehingga mengakibatkan lebih besarnya insensible water loss (IWL) yaitu
300 mL/m2 per hari atau 15 – 17 mL/kgBB/hari
2. Kebutuhan basal cairan yang lebih tinggi yaitu 100 – 120 mL/kgBB/hari atau 10 –
12 % dari berat badan.
1. Faktor Infeksi
a) Infeksi enteral, yaitu infeksi saluran pencernaan. Meliputi : infeksi bakteri & virus
b) Infeksi parenteral, yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan
misalnya : otitis media akut (OMA), Tonsilitis dst.
2. Faktor Malabsorbsi
a) Malabsorbsi karbohidrat
b) Malabsorbsi lemak
c) Malabsorbsi protein
Patogenesisnya :
3. Hipoglikemia
a. Diare sekresi yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, kuman patogen dan
gangguan hiperperistaltik usus halus akibat bahan kimia atau makanan, gangguan psikik,
gangguan saraf, hawa dingin, alergi; dan difisiensi imun terutama IgA sekretorik.
b. Diare osmotik, yang dapat disebabkan oleh malabsorpsi makanan, kekurangan
kalori protein (KKP) atau bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.2
Pada diare akan terjadi kekurangan air (dehidrasi), gangguan keseimbangan asam-basa
(asidosis metabolik), yang secara klinis berupa pernafasan Kussmaul, hipoglikemia,
gangguan gizi dan gangguan sirkulasi.1
Patofisiologi
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada pemasukan
(input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.
· Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan
oleh ginjal (terjadi oligouria / anuria).
Pengobatan pada asidosis metabolik bertujuan untuk mengganti defisit basa. Dosis
natrium bikarbonat berdasarkan kepada volume cairan ekstrasel. Pada bayi hal ini kurang
dari separuh dan pada anak lebih tua 1/3 berat badan. Bila hasil analisis gas darah
menunjukkan defisit basa dapat digunakan perhitungan dosis sebagai berikut :
Pada umumnya hanya perlu diberikan segera separuh jumlah yang diperhitungkan dan
sisanya diberikan infus dalam waktu beberapa jam. Bila tidak terdapat nilai bikarbonat
plasma atau ekses basa (base excess) nya, dosis sebanyak 2 – 4 mEq / kgBB NaHCO3
dapat diberikan intravena. Dosis selanjutnya harus diatur dengan menetapkan kadar
bikarbonat plasma dalam seri. Natrium laktat dapat digunakan kadar bikarbonat.
2. Pernafasan Kuszmaul
Pernafasan Kuszmaul ini merupakan homeostasis respiratorik, adalah usaha dari tubuh
untuk mempertahankan pH darah. Mekanisme terjadinya pernafasan Kuszmaul ini dapat
diterangkan dengan menggunakan ekuasi Henderson – Hasselbach.
(HCO3)
PH = pK + ------------
H2CO3
Untuk nilai bikarbonat, nilai pK ini konstan yaitu 6,1. Hal ini berarti pH tergantung pada
rasio bikarbonat dan karbonat, tidak tergantung dari konsentrasi mutlak bikarbonat dan
karbonat. Dalam keadaan normal NaHCO3 27 mEq/L (= 60 vol%) dan kadar H2CO3 =
1,35 mEq/L (= 3 vol%). Selama rasio 20 : 1 ini konstan, maka pH pun akan tetap 7,4.
Bila kadar bikarbonat turun, maka kadar karbonat pun harus turun pula supaya rasio
bikarbonat : karbonat tetap 20 : 1. Untuk mempertahankan rasio ini maka sebagian asam
karbonat akan diubah cepat menjadi H2O dan CO2 serta kelebihan CO2 akan dikeluarkan
dengan bernafas lebih cepat dan dalam (pernafasan Kuszmaul).
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2 – 3 % dari anak – anak yang menderita diare. Pada anak –
anak dengan gizi cukup / baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada
anak yang sebelumnya sudah menderita KKP. Hal ini terjadi karena :
Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg %
pada bayi dan 50 mg % pada anak – anak. Gejala – gejala hipoglikemia tersebut dapat
berupa lemas, apatis, peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai
koma. Terjadinya hipoglikemia ini perlu dipertimbangkan jika disertai dengan kejang.
4. Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya
penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena :
§ Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare dan / atau muntahnya
akan bertambah hebat. Orang tua sering hanya memberikan air teh saja (teh diet).
§ Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran dan susu yang encer
ini diberikan terlalu lama.
§ Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena
adanya hiperperistaltik.
5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan / tanpa disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi
darah berupa renjatan (shock) hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan
terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak,
kesadaran menurun (soporakomatosa) dan bila tidak segera ditolong penderita dapat
meninggal.3
Pada keadaan dehidrasi, terdapat defisit natrium dan cairan dalam tubuh. Pada
kebanyakan kasus, kehilangan natrium proporsional dengan banyaknya cairan yang
hilang dan natrium dalam plasma tetap dalam kadar normal (dehidrasi isonatremia).
Apabila didapatkan keadaan dimana kehilangan natrium melebihi jumlah cairan yang
hilang, kadar natrium plasma menurun (dehidrasi hiponatremia) dan akan menyebabkan
cairan ekstrasel masuk ke intrasel. Peningkatan volume intrasel akan menyebabkan
volume otak yang bertambah yang kadang dapat menyebabkan kejang.
2. Dehidrasi hipernatremia
Awalnya anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan
berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja makin cair, mungkin mengandung
darah dan / atau lendir, warna tinja berubah menjadi kehijau – hijauan karena tercampur
empedu. Anus dan sekitarnya lecet karena tinja menjadi asam.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan / atau sesudah diare. Bila telah banyak
kehilangan air dan elektrolit terjadilah gejala dehidrasi. Berat badan turun. Pada bayi,
ubun – ubun besar cekung. Tonus dan turgor kulit berkurang. Selaput lendir mulut dan
bibir kering.2
§ Keadaan umum : nilai 0 bila sehat, 1 bila anak cengeng, apatis dan ngantuk. 2 bila
anak mengigau, koma atau syok.
§ Kekenyalan kulit : nilai 0 bila normal. Nilai 1 bila sedikit kurang. Nilai 2 bila sangat
kurang.
§ Mata (palpebra) : nilai 0 bila normal. Nilai 1 bila sedikit cekung. Nilai 2 bila sangat
cekung.
§ Ubun – ubun besar : nilai 0 bila normal. Nilai 1 bila sedikit cekung. Nilai 2 bila sangat
cekung.
§ Mulut : nilai 0 bila normal. Nilai 1 bila kering. Nilai 2 bila kering dan sianosis.
§
Denyut nadi / menit : nilai 0 bila kuat < 120 kali / menit. Nilai 1 bila sedang (120 – 140
kali / menit). Nilai 2 bila lemah > 140 kali / menit.3
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan tinja : makroskopis dan mikroskopis, pH dan kadar gula jika diduga
ada intoleransi gula (sugar intolerance), biakan kuman untuk mencari kuman penyebab
dan uji resistensi terhadap berbagai antibiotika (pada diare persisten).
b. Pemeriksaan darah : darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit
(terutama Na, K,Ca dan P serum pada diare yang disertai kejang).
c. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal.
Penatalaksanaan
Prinsip :
1. Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat
etiologinya. Tujuan terapi rehidrasi untuk mengkoreksi kekurangan cairan dan elektrolit
secara cepat (tanpa rehidrasi) kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya
berhenti (terapi rumatan).
Jumlah cairan yang diberikan harus sama dengan jumlah cairan yang telah hilang
melalui diare dan / atau muntah (previous water loss = PWL), ditambah dengan
banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung
(concomitant water loss = CWL). Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat
badan masing – masing anak atau golongan umur.
· Jumlah cairan (mL) yang hilang pada anak umur <2 tahun (BB 3 – 10 kg) sesuai
dengan derajat dehidrasi.
· Jumlah cairan (mL) yang hilang pada anak umur 2 – 15 tahun (BB 10 – 15 kg)
sesuai dengan derajat dehidrasi.
- ringan 30 80 25 135
- sedang 50 80 25 155
- berat 80 80 25 185
· Jumlah cairan (mL) yang hilang pada anak umur >15 tahun (BB 15 – 25 kg) sesuai
dengan derajat dehidrasi
- ringan 25 65 25 115
- sedang 50 65 25 140
- berat 80 65 25 170
2. Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan
efek buruk pada status gizi.
3. Antibiotik selektif.
Komplikasinya :
§ Kejang
§ Kematian
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan R. Alatas H. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. 1991; edisi
keenam : (16) 283 – 312
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=Gastroenteritis+Akut+Dehidrasi+sedang+et+causa+infeksi+enteral+dengan+gizi+l
ebih
ass...bu, ini tugas anaknya
by Ika Lespini Utami - Friday, 11 April 2008, 01:49 AM
Anggota kelompok :
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Hemofilia merupakan suatu penyakit dengan kelainan faal koagulasi yang bersifat
herediter dan diturunkan secara X - linked recessive pada hemofilia A dan B ataupun
secara autosomal resesif pada hemofilia C. Hemofilia terjadi oleh karena adanya
defisiensi atau gangguan fungsi salah satu factor pembekuan yaitu faktor VIII pada
hemofilia A serta kelainan faktor IX pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia
Secara umum, insiden hemofilia pada populasi cukup rendah yaitu sekitar 0,091% dan 85
% nya adalah hemofilia A. Disebutkan pada sumber lain insiden pada hemofilia A 4-8
kali lebih sering dari hemofilia B. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 dari
penduduk laki-laki yang lahir hidup, tersebar di seluruh dunia tidak tergantung ras,
budaya, sosial ekonomi maupun letak geografi. Insiden hemofilia A di Indonesia belum
banyak dilaporkan, sampai pertengahan 2001 disebutkan sebanyak 314 kasus hemofilia
A. Sedangkan insiden hemofilia B diperkirakan 1:25.000 laki-laki lahir hidup. Hemofilia
C yang diturunkan secara autosomal resesif dapat terjadi pada laki-laki maupun pada
perempuan, menyerang semua ras dengan insiden terbanyak ras Yahudi Ashkanazi.
Manifestasi perdarahan yang timbul bervariasi dari ringan , sedang dan berat. Dapat
berupa perdarahan spontan yang berat, kelainan pada sendi, nyeri menahun, perdarahan
pasca trauma atau tindakan medis ekstraksi gigi atau operasi. Tanpa pengobatan sebagian
besar penderita hemofilia meninggal pada masa anak-anak. 6-8 Pada kaskade koagulasi,
faktor VIII akan mengaktifkan faktor X sehingga menjadi faktor X
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan kasus dan
kasusnya seperti dibawah ini:
KASUS
Seorang laki-laki usia 46 tahun suku Bali dirujuk dari RS swasta dengan keluhan berak
hitam dan muntah darah dengan kecurigaan hemofilia. Berak hitam sejak 13 hari sebelum
masuk rumah sakit dengan konsistensi lengket dan bau khas, dengan volume 3-4 gelas
perhari. Muntah darah kehitaman seperti kopi dan sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, frekuensi 3-4 kali dan volume seperempat gelas tiap kali muntah. Disertai nyeri ulu
hati yang telah lama diderita sebelum timbul keluhan berak hitam. Nyeri ulu hati
dirasakan panas tidak menjalar ke bagian tubuh yang lainnya, nyeri terasa membaik
setelah minum obat sakit maag. Penderita kadang-kadang mengeluh mual. Badan terasa
lemah sejak sakit, sehingga penderita terganggu aktifitas sehari-harinya. Riwayat sakit
sebelumnya, penderita telah dirawat selama 13 hari di rumah sakit swasta dan telah
menerima transfusi darah sebanyak 15 kantung. Terdapat riwayat minum obat-obatan anti
nyeri karena keluhan nyeri sendi lutut. Pada tahun 1984 penderita pernah mengalami
perdarahan yang hebat setelah cabut gigi, saat itu penderita dirawat di RS Sanglah.
Penderita sering mengalami perdarahan sejak usia 5 tahun terutama setelah terbentur atau
terjatuh. Tidak ada riwayat penyakit kuning sebelumnya. Penderita tidak mengkonsumsi
alkohol atau jamu. Riwayat penyakit keluarga, saudara kandung laki-laki penderita
mengalami keluhan perdarahan yang sama dan telah meninggal dunia saat usia anak-
anak. Pada pemeriksaan fisik penderita tampak lemah dengan kesadaran compos mentis,
tekanan darah 80mmHg / palpasi setelah dilakukan pemberian 1 liter cairan tensi
terangkat menjadi 100/70 mmHg, frekuensi nadi 120 kali/menit lemah, respirasi 24
kali/menit dan temperatur axilla 36,70 C. Gambar 1. Pedigree hemofilia A pada kasus ini.
Mata tampak anemis, tidak ada ikterus. JVP : PR + 0 cmH20, tidak ada pembesaran
kelenjar. Bibir tampak pucat, pada lidah tidak didapatkan atropi papil. Inspeksi thorak
tidak didapatkan spider nevi. Batasbatas jantung normal, bunyi jantung pertama dan
kedua tunggal, teratur, tidak ada suara tambahan. Pemeriksaan paru normal. Suara nafas
dasar vesicular dan tidak didapatkan suara nafas tambahan. Pemeriksaan abdomen tidak
ditemukan distensi abdomen, kolateral, asites dan caput meduse. Bising usus normal.
Hati dan limpa tidak membesar. Traube space timpani. Tidak dijumpai adanya defence
muscular dan nyeri tekan epigastrial. Ekstremitas teraba hangat, odema pada kedua
tungkai inferior. Tampak hematom pada lengan atas kiri dengan diameter 5 cm.
Pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus sphincter ani normal, mucosa licin , tidak
ada massa dan terdapat melena. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap
menunjukkan leukosit 10,9 K/uL (normal: 4,5-11 K/uL), hemoglobin 1,7 gr/dl (normal:
13.5-18.0gr/dl), hematokrit 14,3 % (normal: 40-54%), MCV 82,4 fl (normal: 80-94 fl),
MCH 28,7 pg (normal: 27-32 pg), trombosit 66 K/ul (normal: 150-440 K/uL). Hasil
pemeriksaan faal hemostasis : waktu perdarahan (Duke) : 2,0 menit (normal: 1-3 menit),
waktu pembekuan (Lee & White) : 14,0 menit (normal: 5-15menit), waktu protrombin
(PT) : 21 detik (normal: 12-18 detik), APTT : 96 detik (normal: 22.6-35 detik).AST 27
mg/dl (normal: 14-50mg/dl), ALT 33 mg/dl(normal: 11-64 mg/dl), bilirubin total 0,6
mg/dl (normal :0,0-1,0 mg/dl), bilirubin direk 0,1 mg/dl (normal: 0,0-0,3 mg/dl),
cholesterol 26 mg/dl (normal: 110-200 mg/dl), albumin 0,8 mg/dl (normal 4.0-5.7mg/dl).
Pemeriksaan faktor VIII dan IX tidak dikerjakan karena tidak ada fasilitas pemeriksaan.
Dari data tersebut disimpulkan penderita dengan syok hipovolemik et causa perdarahan
akut, observasi hematemesis melena et causa suspek ulkus peptikum di diagnosa banding
dengan gastritis erosif, dengan kondisi anemia berat ec perdarahan akut dan observasi
trombositopeni ec konsumtif, suspek hemofilia dan observasi hipoalbumin. Dilakukan
kumbah lambung dengan hasil stolsel, selanjutnya setelah loading cairan dan syok
teratasi, direncanakan pemberian terapi krioprisipitat loading dose 15 unit, namun
persediaan yang ada hanya 5 unit kriopresipitat. Transfusi Packed Red Cell sampai
dengan kadar Hb >10g/dl, injeksi asam traneksamat 3 x 500 mg, injeksi ranitidin 2x 200
mg, antasida 3xCI, serta sukralfat 3xCI. Pada hari keempat perawatan, hematemesis
teratasi, namun penderita masih melena, terapi kriopresipitat dilanjutkan 5 unit dengan
tetap melanjutkan pemberian terapi injeksi lain. Keluhan perdarahan penderita membaik
pada hari keenam perawatan. Diberikan transfusi albumin 2 kolf untuk atasi
hipoalbuminemia, setelah pemberian transfuse albumin kadar albumin menjadi 2,0 g/dL.
Dilanjutkan dengan pemeriksaan USG abdomen dan EGD. Hasil pemeriksaan EGD
menunjukkan gastritis erosif corpus dan antrum, sedangkan hasil USG menggambarkan
intensitas hepar yang heterogen tanpa ada abnormalitas pada gall bladder, lien, ataupun
ginjal. Kesan : Chronic Liver Disease. Pada hari kesepuluh perawatan, obat-obatan
injeksi dihentikan dan dilanjutkan dengan pemberian per oral, hingga hari ke empat belas
keadaan penderita membaik, dan penderita dipulangkan pada hari ke lima belas
perawatan.
PEMBAHASAN
(iii) pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan hasil : APTT yang memanjang (iv)
penurunan faktor VIII C
Pada penderita (kasus) tersebut diatas, ditemukan tiga dari empat kriteria yang terpenuhi
yaitu adanya:
(i) riwayat perdarahan abnormal yaitu sering terjadi perdarahan sejak usia 5 tahun,
perdarahan hebat post ekstraksi gigi, dan melena.
(ii) riwayat perdarahan anggota keluarga yang berjenis kelamin pria, yaitu saudara
kandung penderita dan cucu laki-laki penderita
(iii) hasil pemeriksaan APTT yang memanjang, yaitu 96 detik. Sedangkan kriteria
Diagnosis banding terdekat hemofilia A adalah hemofilia B dan penyakit von Willebrand
(PvW) . Ketiganya sama-sama mengalami gangguan perdarahan herediter akan tetapi
pola pewarisannya berbeda . Hemofilia A dan B diturunkan secara X linked, sedangkan
PvW secara autosomal resesif. Walaupun tidak dilakukan pemeriksaan factor VIII dan IX
serta secara klinis hemofilia A dan B sulit dibedakan, namun pada penderita tersebut di
atas kemungkinan menderita hemofilia A dengan beberapa alasan yaitu :
Hemofilia A juga perlu dibedakan dengan PvW, dimana pada PvW pola pewarisannya
bersifat autosomal resesif yaitu bila munculnya pada lebih dari satu anggota keluarga,
biasanya terdapat hanya pada kakak atau adik penderita, bukan pada orang tua, anak, atau
kerabat lain dari penderita dan resiko munculnya fenotip pada saudara (kakak atau adik)
penderita sebesar 1:4 serta bisa muncul pada kedua jenis kelamin. Perbedaan lain adalah
adanya waktu perdarahan yang memanjang pada PvW serta factor von Willebrand
rendah. Manifestasi klinis yang timbul pada hemofilia A dapat mengenai seluruh sistem
tubuh, yaitu terutama muskuloskeletal, sistem saraf pusat, gastrointestinal, dan traktus
urinarius. Perdarahan dapat spontan atau post trauma, timbul usia muda ataupun dewasa.
Umumnya menyerang sendi (hemarthrosis) dengan keluhan nyeri sendi berulang disertai
hematom mendominasi perjalanan klinis dan disertai dengan deformitas dan pincang.
Perdarahan hebat dapat terjadi setelah tindakan medis seperti pencabutan gigi, operasi
ataupun ruda paksa. Hematuria lebih umum daripada perdarahan gastrointestinal seperti
hematemesis, melena, perdarahan per rectum. Walaupun insidennya sangat kecil,
perdarahan intraserebral spontan terjadi dapat merupakan sebab kematian penting pada
pasien dengan manifestasi klinis yang berat.
RINGKASAN
Telah dilaporkan seorang penderita laki-laki, umur 46 tahun, suku Bali yang datang
dengan hematemesis melena dengan riwayat hemofillia. Diagnosis ditegakkan melalui
anamnesis yang cermat dengan menelusuri silsilah keluarga penderita, riwayat
perdarahan yang berkepanjangan pada penderita dan keluarganya sejak kecil didukung
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium sederhana dengan ditemukannya APTT
yang memanjang. Berdasarkan sifat pewarisan yang X linked recessive dan penampakan
perdarahan yang tidak berat, kemungkinan penderita termasuk hemofili A dengan
manifestasi klinis ringan, namun saat ini dengan penyakit dasar hati kronik dan adanya
gastritis erosif, perdarahan yang timbul bersifat masif. Penderita memberi respon yang
baik terhadap pemberian krioresipitat, dan transfusi Packed Red Cell.
http://els.fk.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=3758&parent=18275
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AM
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kaliwader RT 01/01 Bener Purworejo
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 13 Agustus 2008
Tanggal periksa : 16 Agustus 2008
Diagnosis masuk : Observasi abdominal pain susp peritonitis
KEPALA
• Bentuk : Mesocephal, simetris
• Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 3 mm, reflek
cahaya (+/+)
• Hidung : Discharge (-/-), deviasi septum (-/-)
• Mulut : Bibir tidak kering, tidak pucat
• Telinga : Tidak ada kelainan bentuk, tidak ada discharge
• Leher : Kelenjar thyroid tidak membesar, kelenjar limfe tidak membesar, JVP tidak
meningkat
THORAX
• Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas SIC II LMC sinistra
Batas kanan atas SIC II LPS dextra
Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra
Batas kanan bawah SIC IV LPS dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I > Bunyi jantung II, reguler, gallop tidak ada.
• Pulmo
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, retraksi (+), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler kanan dan kiri, suara tambahan (-)
EKSTREMITAS
• Superior : Edema (-/-), akral hangat
• Inferior : Edema (-/-), akral hangat
Status Lokalis
REGIO ABDOMEN
• Inspeksi : Perut datar, gerakan pernafasan abdomen (-), darm countour (-), darm
steifung (-), sikatriks bekas operasi (+) di regio kanan bawah
• Auskultasi : Bising usus (+) menurun, metalic sound (-), borborigmi (-)
• Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang, pekak beralih (-)
• Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh lapang abdomen (+), nyeri tekan
lepas (+)
REGIO UROLOGI
• CVA : bulging (-), nyeri ketok (-/-), nyeri tekan (-/-)
• Suprapubik : bulging (+), nyeri tekan (+)
• OUE : terpasang DC no 16, urin warna kuning jernih
DIAGNOSIS BANDING
Observasi Abdominal Pain
DIAGNOSA KERJA
Peritonitis e.c susp perforasi viskus
PLAN
• Usul USG prostat
• IVFD RL : D5 20 tpm
• Diet bebas
• Injeksi Cefotaxim 2 x 1 g
• EKG
• Rontgen thorax AP (usul: rontgen abdomen 3 posisi)
• Pemeriksaan laboratorium darah rutin dan kimia darah
• Konsul UPD untuk sesak napas
EKG : normal
GOL. DARAH : B
BT : 2’50”
CT : 4’05”
DIAGNOSIS BANDING
Observasi Abdominal Pain
DIAGNOSA KERJA
Peritonitis e.c susp perforasi viskus
PLAN
• Cek Hb ulang pre-operasi (hasil 9,7 g/dL)
CITO dengan GAץ Tindakan operatif : PRO Laparatomi eksplorasi
• Non medika mentosa:
20 tpm◊o IVFD D5 : RL = 1 : 3
• Medika mentosa:
o Inj Taxegram 2x1 g
o Inj trichodazol 2x500 mg
o Inj Torasic 2x30 mg
o Inj Ranitidin 2x1 amp
• Persiapkan darah WB 250 cc
LAPORAN OPERASI
• Diagnosa pra bedah : peritonitis e.c perforasi viskus.
• Diagnosa pasca bedah : peritonitis e.c perforasi gaster.
• Tindakan : laparotomi eksplorasi dengan wide excise
• Golongan operasi : CITO, mayor
• Anestesi : general anestesi
REGIO UROLOGI
o CVA : bulging (-), nyeri ketok (-/-), nyeri tekan (-/-)
o Suprapubik : bulging (-), nyeri tekan (-)
o OUE : terpasang DC no 16, urin warna kuning jernih
DIAGNOSIS KERJA
• Post Laparotomi eksplorasi e.c perforasi gaster hari ke I.
PLAN
• Awasi KU dan VS
• Balance cairan + 100
• IVFD Tutofusin OPS : RL = 2 : 1
• Injeksi teruskan, ditambah:
o Inj cernevit 1x1
o Inj neuropain 3x15 mg
DISKUSI
Terminologi abdomen akut telah banyak diketahui namun sulit untuk didefinisikan secara
tepat. Tetapi sebagai acuan adalah kelainan nontraumatik mendadak dengan gejala utama
di daerah abdomen dengan nyeri sebagai keluhan utama dan memerlukan tindakan bedah
segera, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan
strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi
rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
Banyak kondisi yang dapat menimbulkan abdomen akut. Secara garis besar, keadaan
tersebut dapat dikelompokkan dalam lima hal, yaitu:
1. Proses peradangan bakterial-kimiawi;
2. Obstruksi mekanis: seperti pada volvulus, hernia atau perlengketan;
3. Neoplasma atau tumor: karsinoma, polypus, atau kehamilan ektopik;
4. Kelainan vaskuler: emboli, tromboemboli, perforasi, dan fibrosis;
5. Kelainan kongenital
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
DEFINISI
ANATOMI
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada
permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara
kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah
abdomen menjadi usus. Sedangkan kedua rongga mesoderm, bagian dorsal dan ventral
usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian akan menjadi peritoneum.
Area permukaan total peritoneum sekitar dua meter persegi, dan aktivitasnya konsisten
dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak
menuju dua arah. Molekul-molekul yang lebih besar kemudian akan dibersihkan ke
dalam mesotelium diafragma dan sistem limfatik melalui stomata-stomata kecil.
ETIOLOGI
Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infektif (umum)
dan abses abdomen (lokal). Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi
atas:
• Penyebab primer : peritonitis spontan (pada pasien dengan penyakit hati kronik,
dimana 10-30% pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami asites akan mengalami
peritonitis bakterial spontan)
• Penyebab sekunder : berkaitan dengan proses patologis dari organ visera (berupa
inflamasi, nekrosis dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi ulkus
peptikum atau duodenum, perforasi tifus abdominalis, perforasi kolon akibat
divertikulitis, volvulus, atau kanker dan strangulasi kolon asenden).
• Penyebab tersier : infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat,
timbul pada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya, dan pada pasien yang
imunokompromais (riwayat sirosis hepatis, TB).
Bila dilihat dari organ yang menyebabkan peritonitis, maka penyebabnya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
• Esofagus: keganasan, trauma, iatrogenik dan sindrom Boerhaave;
• Lambung: perforasi ulkus peptikum, adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma GIT,
trauma dan iatrogenik;
• Duodenum: perforasi ulkus peptikum, trauma (tumpul dan penetrasi), dan iatrogenik;
• Traktus bilier: kolesistitis, perforasi kolelithiasis, keganasan,ta duktus koledokus,
trauma dan iatrogenik;
• Pankreas: pankreatitis (alkohol, obat-obatan batu empedu), trauma dan iatrogenik;
• Kolon asendens: iskemia kolon, hernia inkarserata, obstruksi loop, penyakit crohn,
keganasan, divertikulum meckel, dan trauma;
• Kolon desendens dan appendiks: iskemia kolon, divertikulitis, keganasan, kolitis
ulseratif, penyakit crohn, appendisitis, volvulus kolon, trauma dan iatrogenik;
• Salping, uterus dan ovarium: radang panggul, keganasan dan trauma.
Sedangkan menurut agen-nya, peritonitis dapat dibedakan menjadi dua kelompok sebagai
berikut:
• Peritonitis steril atau kimiawi: disebabkan karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya
getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung, barium) dan
substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (misalnya
penyakit crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen
• Peritonitis bakterial:
o Peritonitis bakterial spontan, 90% disebabkan monomikroba, tersering adalah bakteri
gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella-pneumoniae, spesies
Pseudomonas, Proteus dan lain-lain. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus
pneumoniae 15%, Streptococcus yang lain 15%, golongan Staphylococcus 3%, dan
kurang dari 5% kasus mengandung bakteri anaerob.
o Peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari
saluran cerna bagian atas, dapat pula gram negatif, atau polimikroba, dimana
mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi bakteri gram negatif.
PATOFISOLOGI
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh yang
melibatkan substansi pembentuk kuman itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen
yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu
lagi mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan
membentuk kompartemen-kompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya
bakteri dalam jumlah besar ini dapat berasal dari berbagai sumber. Yang paling sering
adalah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau intervensi bedah yang
merusak keadaan abdomen.
Selain itu, peritonitis juga terjadi akibat virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu
proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan netrofil. Keadaan makin buruk jika
infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur. Saat ini peritonitis juga
diteliti lebih lanjut karena melibatkan respon imun tubuh hingga mengaktifkan systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).
MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda
rangsangan peritonium. Biasanya diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan
adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas
lokasinya (peritoneum viseral) kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya
(peritoneum parietal).
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan tanda vital perlu diperhatikan status gizi, kemungkinan adanya
gangguan kesadaran, dehidrasi, syok, anemia, dan gangguan napas. Penderita dengan
perdarahan, perforasi atau obstruksi lambung atau duodenum sering datang dalam
keadaan gawat.
• INSPEKSI: kemungkinan adanya peritonitis akibat perforasi perlu dicurigai bila tampak
pernapasan torakal pada penderita yang abdomennya terlihat tegang. Distensi perut
bagian atas disertai peristaltik lambung menunjukkan adanya obstruksi pilorus. Tonjolan
di epigastrium yang tampak jelas sering disebabkan oleh tumor ganas lambung yang
sudah lanjut yang tidak layak dioperasi.
• AUSKULTASI: pada peritonitis akibat perforasi, peristaltik sering lemah atau hilang
sama sekali karena terjadi ileus paralitik. Pada obstruksi pilorus didengar adanya kecipak
air akibat geseran gas dalam lambung yang distensi. Suara ini biasanya terdengar juga
tanpa stetoskop.
• PERKUSI: pekak hati yang hilang pada perkusi menunjukkan adanya udara bebas di
bawah diafragma dan ini menandakan terjadinya perforasi saluran cerna. Perkusi
meteoristik yang terbatas di bagian atas perut biasanya disebabkan oleh obstruksi tinggi.
DIAGNOSIS BANDING
1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior
(AP).
2. Duduk atau setengah duduk (semi erect) atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi
AP.
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto
polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya
usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah:
1. Pada posisi supine, didapatkan pre-peritonial fat menghilang, psoas line menghilang,
dan adanya kekaburan pada cavum abdomen.
2. Pada posisi semi erect, didapatkan free air pada subdiafragma berbentuk bulan sabit
(semilunair shadow).
3. Pada posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling
tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding
abdomen.
Foto kontras barium tetap merupakan pemeriksaan yang penting dalam membantu
menegakkan diagnosis kelainan lambung. Ketepatan diagnosis akan meningkat bila
digunakan kontras ganda, yaitu kontras positif (barium) dan negatif (udara).
TERAPI
Sejak zaman dahulu, peritonitis yang tidak diobati dapat menjadi sangat fatal.
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan
radang di peritoneum. Secara non-invasif dapat dilakukan dengan drainase abses dan
endoskopi perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi
rongga peritoneum. Pada tahun 1926, prinsip-prinsip dasar penatalaksanaan operasi telah
mulai dikerjakan. Hingga kini tindakan operatif merupakan pilihan terbaik untuk
menyelesaikan masalah peritonitis. Selain itu, harus dilakukan pula tata laksana terhadap
penyakit yang mendasarinya, pemberian antibiotik dan terapi suportif untuk mencegah
komplikasi sekunder akibat gagal sistem organ.
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dan
sebagainya) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan
tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil
kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase
bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan
berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Operasi ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri. Insisi yang
dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh
abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan
diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik
(misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi atau terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
• Komplikasi dini
o Septikemia dan syok septik;
o Syok hipovolemik;
o Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
sistem;
o Abses residual intraperitoneal;
o Portal Pyemia (misal abses hepar).
• Komplikasi lanjut
o Adhesi;
o Obstruksi intestinal rekuren.
PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis
umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen. Prognosis ini bergantung
kepada:
• Lamanya peritonitis;
o < 24 jam = 90% penderita selamat;
o 24-48 jam = 60% penderita selamat;
o > 48 jam = 20% penderita selamat.
• Adanya penyakit penyerta;
• Daya tahan tubuh;
• Usia;
o Makin tua usia penderita, makin buruk prognosisnya.
• Komplikasi.
PERFORASI VISKUS
Perforasi alat saluran cerna dapat dibagi dalam:
• Perforasi non-trauma, misalnya pada ulkus ventrikuli, tifoid dan appendicitis;
• Perforasi oleh trauma, akibat benda tajam atau tumpul.
Perforasi pada pasien ini terjadi akibat tukak peptik yang dideritanya. Secara prinsip
tukak adalah kerusakan mukosa akibat ketidakseimbangan antara faktor pertahanan
mukosa dan factor perusak asam lambung dan pepsin. Keadaan akan menjadi makin
buruk mengkonsumsi nikotin, kopi, alcohol, salisilat, OAINS, dan kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
Tim penulis EGC. Kamus kedokteran Dorland. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Tim editor EGC. Buku – Ajar Ilmu Bedah De Jong. 2004. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=PERITONITIS+et+causa+PERFORASI+GASTER+%28ulkus+peptikum%29