You are on page 1of 289

Join today to get your own Multiply site

veronique's Site
HomeBlogCalendarReviewsLinks

About Me Sep 23, 2006
View Profile

Sep 3, '08 1:55 AM


Kajian Genre:Resume Narration in the Fiction Film
for everyone pravdakino

 Photos of
veronique
 Personal
Message
 RSS Feed
[?]
 Report
Abuse

[pretext:tugas yang hanya dikerjakan


dalam tempo 3 hari. Too bad!!!)

Penulis: David Bordwell


Paperback: 384 pages
Publisher: Routledge; 1 edition (February 5, 1987)
Language: English

 PENGANTAR: STUDI GENRE


Sinema populer diorganisasi melalui kategori genre. Genre dalam budaya populer
sebenarnya adalah hal yang baru, karena pada abad 19, genre atau sesuatu yang
bersifat generik yang berlaku pada sastra dan jenis kebudayaan ‘tinggi’. Perubahan
teknologi (dan revolusi industri) di abad 18 telah mengubah formasi ini. Kebutuhan
untuk mengkomodifikasi kebudayaan massa dan target pasar/audiens yang berbeda
membuat budaya populer pun bersifat generik.
Genre sering dilihat sebagai cara mengorganisasi /mengelompokkan
/mengklasifikasi/membedakan film berdasarkan jenisnya. Tetapi sebenarnya genre
bukan hanya cara mengkatalog/mengelompokkan film secara generik. Genre
mengatur proses naratif yang memproduksi koherensi dan kredibilitas film lewat pola
kemiripan dan pembedaan. Genre menstrukturkan proses naratif menggunakan
elemen spesifik tertentu dan kombinasi berbagai elemen untuk memproduksi
kesatuan (unity) dan plausibility. Genre melibatkan pengulangan sistematis dan
terstruktur pada persoalan dan solusi di dalam naratif. Genre menggunakan repetisi
dan variasi untuk menceritakan kisah yang telah akrab dengan karakter dan situasi
yang telah dikenal.  Meskipun demikian, genre harus mengandung pembedaan
tekstual yang cukup untuk memproduksi makna dan kesenangan.
Menurut Neale (1990), genre tidak hanya merujuk pada jenis film tetapi juga pada
harapan (expectation) dan hipotesis penonton (bagaimana film akan berakhir). Genre
juga merujuk pada wacana terlembaga khusus yang dimasukkan ke dalam dan
membentuk struktur generik. Genre harus dilihat dalam proses triparti:produksi,
konsumsi dan pemasaran (distribusi dan eksebisi). Pemasaran mencakup publikasi
film seperti poster, merchandise, siaran pers, dan semua ‘wacana hip’ yang mengitari
peluncuran sebuah film ke pasar. Konsumsi merujuk bukan hanya proses yang dilalui
oleh para penonton tapi juga para kritikus dan peresensi film.
Konvensi generik genre banyak dan bisa berubah karena faktor ekonomi, teknologi
dan konsumsi. Genre mengandung paradoks. Di satu sisi, ia bersifat konservatif
tetapi di sisi lain, ia inovatif karena mereka merespon harapan industri dan penonton.
Dalam konteks industri, mereka mengulangi formula generik yang sama tetapi pada
saat yang sama, memperkenalkan/menggunakan teknologi baru untuk mengubah
dan memodernisasi konvensi generik genre. Hal ini berlaku pula untuk harapan
penonton karena mereka mengharapkan sesuatu yang familiar sekaligus perubahan
dan inovasi.
Dalam hal kajian genre, satu buku yang memiliki kontribusi cukup besar dan
menggunakan pendekatan pembahasan yang berbeda dibuat oleh David Bordwell.
Buku berjudul Narration in the Fiction Film ini diterbitkan pada tahun 1985 dan
memberikan rujukan baru pada studi tentang narasi film.
Bordwell bertujuan untuk membangun sebuah teori tentang bagaimana sebuah film,
baik dalam bentuk naratif maupun operasi stilistik (artistiknya) meminta penonton
untuk membangun dan memahami cerita film. Bordwell melihat bahwa film memiliki
ciri pokok:
1. taktik syuzhet yang memberi isyarat pada para penonton untuk mengambil
kesimpulan atas cerita di dalam film.
2. kemampuan untuk mengetahui, komunikasi, kesadaran diri dan nada yang
menentukan bagaimana penonton mengkonstruksi cerita di dalam film.
3. ciri spasial dan temporal medium film yang dapat berpengaruh pada proses
narasi film.
Studi genre diharapkan dapat mengambil pembelajaran dari studi atas berbagai
strategi narasi yang akan dibahas dalam buku ini.
BAGAIMANA BUKU INI DIORGANISASI?
David Bordwell membagi studinya tentang narasi ke dalam 3 bagian besar yang
terdiri dari:
Bagian Pertama: mengajukan beberapa teori dasar tentang narasi. Bagian ini dibagi
menjadi 2 bab yang membahas tentang 2 teori besar narasi: mimetik dan digetik.
Bagian kedua, Bordwell membaginya menjadi 5 bab dengan pembahasan tentang
aktivitas menonton, prinsip narasi, genre dan narasi, narasi dan waktu, serta narasi
dan ruang.
Bagian 3 merupakan inti dari teori Bordwell. Di bagian yang cukup panjang, Bordwell
mengajukan teorinya tentang bentuk-bentuk/pola/mode narasi. Tulisan ini akan
memfokuskan kajian pada bagian ketiga buku ini, yakni tentang pola/mode narasi.
NARASI DALAM NARRATION IN THE FICTION FILM
Dalam bagian awal bukunya, Bordwell melakukan studi sejarah atas narasi dan ia
menemukan definisi narasi sebagai berikut:
1. sebuah representasi, sebuah dunia cerita, penggambaran ‘beberapa bagian’
dari kenyataan dan maknanya yang lebih luas. Claude Levi Strauss
menganalisis struktur mitos untuk mengungkapkan fungsi
representasionalnya.
2. sebuah struktur, sebuah seni khusus mengkombinasikan bagian-bagian
menjadi satu keseluruhan —dari teori Vladimir Propp dan Todorov
3. sebuah proses, aktivitas menyeleksi, menyusun dan memerankan materi
cerita guna mencapai efek temporal tertentu di benak penerima/penonton –
narasi.
Film narasi sendiri melibatkan 2 komponen dasar film, yakni syuzhet dan gaya
(style/stilistik). Dengan kedua dasar inilah, Bordwell membedakan 4 mode narasi
besar dunia, yakni:
-narasi klasik
-narasi film seni (art-cinema)
-narasi histories materialis
-narasi parametrik
Sebelum masuk ke dalam mode narasi, ada baiknya kita menilik sejarah narasi
sendiri. Beberapa ahli telah memberikan penjelasan dan teori tentang narasi.
TEORI MIMETIK
Teori mimetik merupakan salah satu teori yang paling tua dan masih populer hingga
sekarang. Teori ini berasal dari tulisan Aristoteles di karya Poetic. Menurut
Aristoteles, ia membedakan proses mimesis ke dalam 3 konsep dasar, yakni piranti
mimesis (medium), contohnya, seni;obyek mimesis (beberapa aspek tindakan
manusia), dan cara/mode imitasi (bagaimana sesuatu diimitasi/ditiru). Dalam teori
mimetik, narasi adalah penyajian tontonan. Jadi narasi bersifat menunjukkan. Teori
mimesis –tindakan menunjukkan (act of vision) terjadi ketika obyek persepsi disajikan
terhadap mata yang melihatnya.
Konsep ini berkembang melalui apa yang disebut perspektif. Perspektif yang berarti
melihat melalui, merupakan cara yang paling praktis untuk mengenali obyek dan
subyek (yang melihat) yang diletakkan dalam satu bidang gambar. Perspektif ilmiah
Rennaissance bersifat linear dan sintetis. Perspektif menjadi konsep yang paling
sentral dan paling terperinci dalam narasi tradisi mimetik.  Lubbock membedakan 2
jenis metode narasi:
- gambar (the pictorial): mewakili tindakan dalam cermin kesadaran karakter.
- dramatik (the dramatic):menyajikan fakta yang terlihat dan terdengar
Dalam tradisi mimetik, narasi film sering dibandingkan dengan narasi sastra. Meski
demikian, hal ini tidaklah selalu disetujui oleh orang film. Andre Bazin, misalnya, lebih
mengakui pentingnya pertunjukan visual. Film naratif menyajikan peristiwa-peristiwa
dalam cerita melalui penggambaran yang tak terlihat atau saksi mata yang imajiner.
VI Pudovkin (1926) mengatakan bahwa lensa kamera mewakili mata pengamat yang
tak terlihat. Jadi dalam teori ini, film menyajikan kepada kita, para penonton, melalui
mata pengamat yang bergerak dalam ruang dan waktu film. Hal ini bisa dicapai
dengan editing kontinyu. Pengamat yang tak terlihat inilah yang merupakan narrator
film. Dalam teori ini, terlihat bahwa lensa kamera adalah mata sutradara, sementara
editing/montage mewakili emosi pembuat film, yang sekaligus sudut pandang
narator.
Sudut pandang seperti ini menjadi dasar dari teori film klasik. Teori film klasik
mengandaikan adanya saksi mata yang tak terlihat. Dalam hal ini, shot menirukan
pengalaman sementara montage/editing mewakili proses psikologis.
Ivan Montagu mengatakan bahwa film membuat penonton bertindak sebagai saksi
yang tak terlihat yang dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak akan pernah
dapat terlihat oleh saksi di kehidupan nyata. Kamera merupakan pengamat yang
dapat melihat sebuah obyek atau peristiwa dari berbagai sudut, sisi dan jarak. Maka
penonton ideal harus ditempatkan sebagai penonton yang bisa melihat semuanya.
Teori klasik menjelaskan bahwa film naratif menggunakan narrator yang mahatahu,
tetapi sebenarnya film harus membatasi tingkat kemahatahuan penonton ini.
Penonton yang tak terlihat menjadi padanan sinematik dari penonton yang
diidealisasi dalam gambar perspektif.
Bazin memperlihatkan bahwa long take dan staging in depth (kedalaman, depth
focus) memberi penonton kesempatan untuk melakukan decoupage secara mental.
Penonton bisa membelah-belah dan mengkonstruksi cerita dari gambar-gambar
yang disajikan padanya. Di sini, kamera dan mic menjadi anthropomorphik.
Pengamat imajiner menjadi subyek, bukannya dunia obyektif peristiwa cerita. Käte
Hamburger mengatakan bahwa kenyataan kongkret ada karena ia memang ada,
kenyataan fiksional ada karena hal itu dinarasikan. Semua piranti teknik film,
termasuk peristiwa profilmis (perekaman, peristiwa di luar film), berfungsi secara
naratif. Ia memiliki fungsi untuk mengkonstruksi dunia cerita. Pengamat tak terlihat
hanyalah satu dari berbagai gaya/piranti teknik yang dipakai film. Ia bukanlah dasar
dari seni film.
Dalam salah satu pernyataannya, Eisenstein mengikuti tradisi mimetik dengan
menjelaskan bahwa film merupakan tontonan yang sengaja dibuat untuk penonton.
Naration merupakan proses untuk memperlihatkan kualitas emosional cerita. Film
juga memiliki kualitas ekspresi, konsep dasar untuk atraksi/daya tarik (aktor, setting,
pencahayaan, suara, dll.). Ekspresi ini penting dalam membentuk satu kesatuan utuh
melalui montage/editing. Hal ini penting untuk menyetimulasi penonton. Bagi
Eisenstein, film merupakan perkembangan dari teater.
Eisenstein menjelaskan bahwa peristiwa profilmis telah bersifat naratif. Baginya,
semua instrumen film bisa berfungsi secara sepadan. Dan penonton mengkonstruksi
cerita dari stimuli yang disediakan film. Komposisi grafis dan faktor visual lain dapat
menciptakan konflik yang akan berpuncak pada konflik antar-shot. Metode montage
seperti ini akan bekerja di psikologi penonton untuk menciptakan efek sehingga
penonton tertarik.
TEORI DIEGETIK
Di bagian bab dua bukunya, Bordwell bicara tentang teori diegetik. Teori ini
didasarkan pada pernyatan Plato bahwa narasi secara mendasar merupakan
aktivitas linguistik/bahasa. Menurut Plato ada 2 jenis cara bercerita:
-naratif sederhana/murni, di mana penulis adalah pembicara. Misalnya, dalam puisi.
-naratif imitatif (mimesis), di mana penulis berbicara melalui karakter-karakternya.
Contohnya, drama.  
Dalam teori diegetik, narasi terdiri dari aktivitas verbal, yakni menceritakan. Diegesis
sendiri berarti cerita yang dikisahkan, atau bisa pula, dunia fiksional sebuah cerita.
Michail Bakhtin (1930) menuliskan bahwa teks sastra membentuk berbagai diskursus
(wacana) secara historis. Ia mencontohkan novel yang bersifat polifoni. Novel
merupakan montage dari berbagai suara. Perkembangan teori diegetik ini bisa
terlihat dengan kedekatannya pada perubahan teori strukturalisme. Berbagai ahli
membagi periode perkembangan strukturalisme ke dalam dua tahap. Pertama, pada
dekade 1960-an ketika Roland Barthes menuliskan teori-teori semiologinya. Menurut
Barthes, seni adalah sistem bahasa. Dalam bukunya, The Structural Analysis of
Narratives, ia mengatakan bahwa setiap narasi  tergantung pada kode bahasa
(linguistik) yang digunakan. Teori ini agak berubah pada tahap kedua, atau yang
disebut semiologi tahap kedua. Teori ini menjelaskan bahwa narasi merupakan
transmisi (perpindahan pesan) dari pengirim ke penerima.
Tulisan Barthes ini juga merupakan perubahan yang signifikan dari studi tentang
signifikasi (penanda, berkonsentrasi pada persoalan denotasi dan konotasi) ke dalam
studi enunsiasi (berkonsentrasi pada persoalan subyektivitas dalam bahasa). Proses
enunsiasi tidak mempersoalkan pragmatik. Enunsiasi menyentuh persoalan deiksis,
sebuah kategori gramatikal untuk menyebut orang, temapt, waktu, atau konteks
sosial pengujaran.
Yuri Tynianov menyamakan shot dalam film dengan larik dalam puisi. Ia hendak
mencari persamaan sinematik dari simile, metafor, dan piranti puitik lainnya.
Menurutnya, teknik (style) film mesti berdasar pada sintak filmis.
Colin McCabe menyamakan film naratif dominan dengan novel realis abad 19. Di
sini, konsep metabahasa menemukan relevansinya. Metabahasa bicara tentang
bahasa-obyek sehingga bisa dibedakan antara bahasa-obyek dan aplikasinya.
Metabahasa menghubungkan 3 hal:
        dengan menyertakan bahasa obyek, metabahasa menciptakan hirarki
wacana
        metabahasa mengatakan kebenaran  kemampuan empiris hingga
disebut nyata
        metabahasa bersifat transparan  pembicara tidak bisa diidentifikasi
Beberapa hirarki wacana juga mengatur proses narasi dalam film klasik. Karakter
berbicara, tetapi diskursus mereka selalu dibingkai oleh kamera (metabahasa).
Kamera memperlihatkan kepada kita apa yang terjadi. Kamera menyajikan
kebenaran, melawan apa yang bisa kita lihat dalam wacana. Narasi dalam film arus
utama tergantung pada oposisi antara diskursus yang terkatakan yang mungkin saja
salah dan diskursus visual yang menjamin kebenarannya –karena mengungkapkan
semuanya. Sebagai strukturalis, McCabe percaya bahwa di dalam teks ada tingkat
penyandian (coding) tertentu. Tanda linguistik terdiri dari berbagai operasi yang
berbeda. Maka ia berpandangan bahwa diskursus/wacana merupakan seperangkat
oposisi yang penting.
Teks-teks klasik menganggap kenyataan sebagai terberi dan bahasa adalah hal lain.
McCabe mengidentifikasi bahasa obyek sebagai diskursus langsung, kata-kata yang
berada di antara tanda kutip. Narasi menyangkut hubungan struktural antara teks-
teks dan cerita yang direpresentasikan. McCabe mengabaikan dimensi semantik dan
sintaktis dari prosa fiksional. Ia mengesampingkan manipulasi waktu, ruang, dan
sudut pandang. Pada akhirnya narasi adalah soal tipografi.
Hal ini bertentangan dengan pandangan Bakhtin. Bagi Bakhtin, novel adalah
serangkaian diskursus (bukan hanya yang bersifat kutipan langsung/ucapan
langsung). Ciri tradisi baru adalah dialog atau heteroglossia. Novel merupakan
ekspresi persepsi bahasa suku Galia, suku yang menolak absolutisme bahasa
tunggal dan menyeluruh. Dari sini, kita bisa melihat bahwa seluruh bahan/materi film
berfungsi secara naratif, bukan hanya kamera, tapi juga ujaran, gerak/bahasa tubuh,
bahasa tulis, musik, warna, pencahayaan, proses optik, kostum, ruang offscreen dan
suara offscreen.
METANARASI SEBAGAI ENUNSIASI
Enoncè (ujaran) adalah seperangkat teks, sekumpulan kata-kata, frase atau kalimat
yang dihubungkan oleh prinsip koherensi dan diterima sebagai satu kesatuan.
Enunsiasi adalah proses umum untuk menciptakan ujaran. Enunsiasi terdiri dari
pertama, tindakan itu sendiri, termasuk pembicara yang membuat kode linguistik
berfungsi, pendengar, partner dialog, dll., dan yang kedua, situasi atau konteks
ujaran.
Setiap penggunaan teks bahasa lisan maupun tertulis melibatkan ujaran dan
enunsiasi. Menurut Benveniste, ujaran menyangkut: tindakan, konteks, dan bentuk
linguistik/bahasanya. Konsep discourse mengandaikan setiap enunsiasi memiliki
pembicara dan pendengar dan di pembicara ada tujuan untuk mempengaruhi
pendengarnya.  Sementara histoire merupakan penyajian fakta-fakta yang diamati
dalam waktu tertentu, tanpa intervensi pembicara yang bercerita.  Dalam konteks
histoire, bahasa melepaskan diri dari situasi komunikasi kongkret. Tidak ada narator.
Teori Benveniste ini menawarkan metode untuk melacak jejak-jejak subyektivitas
dalam teks.
Sementara Genette mengatakan bahwa diskursus merupakan mode yang umum dan
alami dari bahasa. Histoire/récit merupakan subrangkaian yang ditandai oleh ekslusi.
Dalam bukunya yang berpengaruh, Histoire/Discours, Christian Metz menjelaskan
bahwa film adalah sebuah institusi yang memiliki dimensi enunsiaatif karena film
dibuat oleh pembuat film yang memiliki tujuan. Ia ingin mempengaruhi publik
penontonnya. Film tradisional menyajikan dirinya sebagai histoire, meski ini bersifat
ilusi. Film bersifat diskursis karena ia menyamarkan diri sebagai histoire.
Lain lagi dengan Nick Browne. Menurutnya, setiap peletakan kamera selalu
membentuk penanda enunsiasi. Jacqueline Suter justru mendefinisikan diskursus
sebagai posisi ideologis di mana subyek berbicara (bertindak dan berinteraksi) di
dalam tatanan sosial. Dalam konteks perdebatan ini, Alain Bergala menandaskan
bahwa énoncè merupakan peristiwa profilmik atau tindakan yang difilmkan, sedang
enunsiasi adalah kerja kamera dan editing. Ropars mengatakan bahwa énoncè yang
paling kecil dalam film adalah  shot.
Metz menentang Bazin dengan mengatakan bahwa editing menciptakan intervensi
yang lebih besar pada subyek fim daripada long take.  Bagi Bellour, kamera dan
variasi jarak antara kamera dengan obyek akan memberikan akses pada enunsiasi.
Browne menandaskan bahwa kamera memiliki kekuatan enunsiasi yang besar.
“Siapa” yang melihat melalui kamera?
 Bellour: subyek yang memproduksi diskursus –enunsiator –kino-eye

 Ropars: narrator –suara – pandangan/tatapan narrator

 Nash: pengarang
Bagi Heath:
 semua representasi hanyalah persoalan diskursus

 diskursus adalah organisasi citraan, definisi pandangan-pandangan, dan


konstruksinya.
Jadi posisi dapat didefinisikan sebagai:
1. tempat yang menguntungkan secara fisik yang diciptakan oleh
sebuah citraan dalam perspektif linear
2. totalisasi ruang oleh berbagai citraan.
3. sudut pandang naratif yang koheren
4. posisi subyek yang mengacu pada stabilitas dan kesatuan konstruksi
itu sendiri
NARASI DAN BENTUK FILM
Aktivitas penonton
Teori mimetik memberikan beberapa ciri mental pada penonton. Sementara, teori
konstruktivis melihat bahwa memahami dan melihat adalah proses yang aktif dan
berorientasi tujuan. Organisasi data sensorik terutama ditentukan oleh harapan,
pengetahuan, proses pemecahan masalah dan aktivitas kognitif lainnya. Persepsi
merupakan soal identifikasi dunia tiga dimensi dengan dasar isyarat-isyarat. Persepsi
melibatkan proses aktif pengujian hipotesis.
Dalam proses perseptual/kognitif ini, sekumpulan pengetahuan yang terorganisasi
akan memandu proses pembuatan hipotesis kita. Inilah yang disebut schemata.
Schemata menciptakan hipotesis tentang apa yang akan terjadi nantinya. Teori
konstruktivis mengatakan bahwa proses melihat film sebagai proses psikologi yang
dinamis, melibatkan berbagai faktor, yakni:
a. Kapasitas memahami/perseptual:
 fenomena phi: melihat yang murni, gerakan mewujud.

 fenomena beta: melihat cahaya yang bergerak  

b. Pengetahuan dan pengalaman sebelumnya


c. Bahan/materi dan struktur film itu sendiri  
Dalam film naratif, film menawarkan struktur informasi –sistem naratif dan sistem
teknik (style) film. Film naratif dibuat untuk mendorong penonton melakukan kegiatan
konstruksi cerita. Film menyediakan isyarat-isyarat, pola-pola, dan celah/jarak (gap)
yang membentuk proses aplikasi penonton dalam membentuk schemata dan
menguji hipotesisnya. Dalam film naratif, penonton memiliki tujuan untuk menyusun
peristiwa-peristiwa dalam rangkaian temporal dan spasial.
Pemahaman Naratif
Sebuah cerita terdiri dari peristiwa-peristiwa yang bisa dibedakan, yang dilakukan
oleh agen-agen/pelaku teretntu dan dihubungkan dengan prinsip tertentu. People
bekerja untuk memahami cerita. Untuk memahami film naratif, penonton berusaha
menangkap rangkaian kesatuan filmis sebagai serangkain peristiwa yang terjadi
dalam setting tertentu dan disatukan oleh prinsip temporalitas dan kausalitas.
Kecenderungan-pusat atau prototip schemata melibatkan proses identifikasi
anggota-anggota kelas secara individu menurut norma tertentu. Dalam pemahaman
naratif, prototip schemata sangat relevan dalam mengidentifikasi agen/pelaku
individual, tindakan-tindakan, tujuan-tujuan dan lokasi-lokasi.
Format cerita yang bersifat baku biasanya seperti ini:
a. pengenalan, penjelasan tentang karakter dan situasinya  tindakan menjadi
kompleks  peristiwa-peristiwa berikutnya  hasil  akhir
b. setting dan karakter  tujuan  usaha-usaha  hasil  resolusi
 Menurut Hastie, schemata prosedural merujuk pada protokol operasional yang
secara dinamis mendapat dan mengorganisasi informasi. Penonton  akan menilai
materi/bahan itu dalam hal relevansinya dengan isi cerita. Inilah yang disebut
motivasi komposisional. Motivasi yang lain bersifat realistik. Ini merupakan faktor
tambahan, untuk menguatkan harapan yang telah ada sebelumnya. Alasan lain
bersifat transtekstual. Contohnya, genre.
Kaum konstruktivis menyebutnya motivasi artistik. Sebagian besar film akan meminta
penontonnya memberlakukan motivasi komposisinal dan transtekstual. Kebanyakan
naratif akan menggunakan mediumnya (bahasa, film, seni grafis) sebagai kendaraan
untuk menyampaikan informasi naratif. Ketika penonton berhadapan dengan film
yang menekankan ciri-ciri teknis (style)-nya, mereka tetap akan mencari isyarat agar
dapat membangun cerita. Penonton kadang terpaku pada jenis gaya/tradisi tertentu
dapat menggunakan schemata prosedural untuk memahami pilihan-pilihan teknis
film.
Penonton memiliki asumsi tertentu. Mereka juga akan berusaha mengambil
kesimpulan. Ingatan harus dilihat bukan semata sebagai reproduksi dari persepsi dia
sebelumnya, tapi sebagai tindakan mengkonstruksi, dipandu oleh schemata.
Penyusunan hipotesis melibatkan penonton yang membingkai dan menguji harapan-
harapannya tentang peristiwa yang akan datang. Hipotesis mungkin menyinggung
peristiwa masa lampau. Ini sering disebut hipotesis keingintahuan. Hipotesis
ketegangan (suspense hypothesis) merupakan salah satu hipotesis tentang peristiwa
yang akan terjadi.  
Fokus utama pembentukan hipotesis adalah ketegangan –mengantisipasi dan
memberi bobot pada kemungkinan peristiwa yang terjadi di masa depan. Pelambatan
merupakan hal pentin dalam struktur naratif. Teks naratif sebagai sistem dinamis
untuk menyaingi dan menutup pola-pola pelambatan. Penonton menerapkan
schemata naratif yang mendefinisikan peristiwa naratif dan menyatukannya dengan
prinsip kausalitas, waktu dan ruang. Film naratif mendorong dan mencegah
pembentukan hipotesis dan kesimpulan. Sebuah film mungkin saja berisi isyarat-
isyarat dan struktur yang mendorong penonton untuk mengambil kesimpulan secara
salah.
 Prinsip Narasi  
Sistem formal film (narasi dan style) menginsyaratkan dan membatasi konstruksi
cerita penonton. Tetapi bagi Bordwell, narasi merupakan aktivitas formal. Narasi
menebarkan bahan-bahan dan prosedur bagi setiap medium.
Fabula, Syuzhet, dan Style
Cerita yang direpresentasikan dan representasi actual dari sebuah cerita adalah dua
hal yang berbeda. Disajikan dengan 2 peristiwa naratif, kita akan mencari hubungan
kausal, spasial dan temporal. Konstruksi imajiner yang kita buat disebut fabula
(cerita). Fabula mewujud dalam tindakan yang berupa rangkaian sebab-akibat
peristiwa yang bersifat kronologis yang terjadi dalam ruang-waktu tertentu. Fabula
lalu berupa pola di mana penonton/penerima menciptakan asumsi dan kesimpulan.
Penonton mencitpakan fabula dengan dasar prototip schemata, schemata formal
(cerita baku), dan schemata procedural (pencarian motivasi yang tetpat dan
hubungan sebab-akibat, ruang-waktu). Fabula tidak pernah terlihat di layar atau
terdengar sebagai suara. Fabula hanya dapat diterka, tidak terberi.
Sementara syuzhet (plot) mengacu pada urutan actual dan penyajian fabula dalam
film. Pola syuzhet bersifat independen terhadap medium. Style berfungsi untuk
menandai ciri-ciri strukru atau tekstur yang sering muncul dalam film. Style berarti
penggunaan sistematis piranti-piranti sinematik dalam film. Style seluruhnya
merupakan unsur dari medium. Ia berinteraksi dengan syuzhet dengan berbagai
cara. Syuzhet terdiri dari berbagai pola peristiwa yang khusus (tindakan-tindakaan,
perubahan, twist).
Narasi  sistsem: syuzhet  == fabula
                 excess   : style
Syuzhet mewujud sebagai proses dramaturgi di dalam film, sementara style mewujud
dalam pilihan-pilihan teknik. Menurut Meir Stenberg, seluruh medium naratif
menggunakan logika ekstraverbal, termasuuk di dalamnya pengembangan ganda
tindakan, secara obyektif dan langsung maju ke dunia fiksional dari awal hingga akhir
(di dalam fabula) dan yang dibongkar dan dipolakan di dalam pikiran kita selama
proses pembacaan (di dalam syuzhet).
Perbedaan fabula/syuzhet tidak sama seperti perbedaan “histoire/discourse”.. Fabula
adala seperangkat kesimpulan. Sedang syuzhet menyusun situasi dan peristiwa
cerita menurut beberapa prinsip tertentu. Ada 3 prinsip dasar yang menghubungkan
syuzhet ke fabula, yakni:
1. Logika naratif. Dalam mengkonstruksi fabula, penonton mendefinisikan
beberapa fenomena sebagai peristiwa dan membangun hubungan di antara
fenomena-fenomena ini (ini disebut membangun hubungan kausal). Logika
naratif termasuk prinsip yang lebih abstrak seperti kemiripan dan perbedaan
yang disebut pararelisme.
2. Waktu. Syuzhet dapat memberi isyarat supaya kita membangun peristiwa
dalam rangkaian. Ini adalah persoalan urutan. Syuzhet dapat mendorong
dibentuknya peristiwa fabula seperti yang terjadi dalam waktu tertentu
(durasi). Syuzhet juga akan mendorong isyarat peristiwa fabula dalam
frekuensi tertentu.
3. Ruang. Peristiwa fabula harus direpresentasikan dalam ruang tertentu
(dimensi spasial).
Syuzhet merupakan dramaturgi dari film fiksi, seperangkat isyarat yang diorganisasi
guna mendorong penonton untuk memahami dan menyusun informasi cerita. Piranti
teknis film biasanya diberikan untuk melakukan tugas syuzhet –menyediakan
informasi, memberi isyarat bagi hipotesis, dll. Dalam film ‘konvensional’, sistem
syuzhet mengontrol sistem teknik (style)-nya. Dalalm film fiksi, narasi adalah proses
di mana syuzhet film dan style berinteraksi guna memberi isyarat dan mengarahkan
proses pembangunan fabula. Jadi style merupakan bagian dari narasi. Narasi
menjadi interaksi dinamis antara proses penyampaian informasi dan gerakan syuzhet
serta naik-turunnya piranti teknis (style) film.   
 Roland Barthes telah bicara tentang makna ketiga, yakni maknya yang tersembunyi
antara denotasi dan konotasi: dunia di mana garis, warna, ekspresi dan tekstur
menjadi sama pentingnya dengan cerita. Kristin Thompson mengidentifikasinya
sebagai “excess”, materi yang menonjol secara perceptual tetapi tidak cocok disebut
bagian dari pola naratif maupun style. Hal ini akan dibahas di bagian berikutnya.
Taktik Pembangunan Syuzhet
Tugas dasar syuzhet dalah menyajikan logika cerita dan logika ruang-waktu. Syuzhet
membangun pemahaman kita akan fabula dengan mengendalikan:
 jumlah informasi fabula yang bisa kita/penonton akses

 tingkat ketepatan informasi yang disajikan

 hubungan formal antara penyajian syuzhet dan data fabula


Seleksi akan menciptakan celah (gap), kombinasi menciptakan komposisi. Stenberg
menunjukkan bahwa celah dapat bersifat tetap maupun sementara. Ia juga bersifat
fokus maupun tersebar. Syuzhet dapat memperbesar maupun memperkecih celah di
dalam fabula. Jika celah ini ditekan/diperkecil, maka muncullah kejutan (surprise).
Celah diciptakan dengan memilih informasi fabula tertentu untuk disajikan dan
menyembunyikan informasi fabula lainnya.
Dalam film, narasi can menyusun informasi fabula secara temporal maupun spasial.
Dua prinsip dasar yang mengatur komposisi fabula di medium mana pun adalah
pelambatan (retardation) dan pengulangan (redundancy). Prinsip dasar pelambatan
adalah meminta kita/penonton membuat sejumlah pembedaan. Pelambatan terjadi
ketika syuzhet menunda memberikan informasi fabula tertentu.
Sementara dalam hal pengulangan, Susan R. Suleiman mengajukan beberapa
kemungkinan pengulangan dalam narasi.:
1. Peristiwa, karakter, kualitas, fungsi cerita, lingkungan dan komentar karakter
dapat saling tumpang tindih  di dalam fabula.
2. Di level syuzhet, narasi dapat melakukan pengulangan (redudancy) dengan
mengulangi hubungannya dengan penonton
3. Dalam hubungan syuzhet dan fabula, redundancy dapat dicapati dengan
menyajikan sebuah peristiwa lebih dari satu kali atau dengan menciptakan
peristiwa, karakter, kualitas, fungsi cerita, lingkungan dan komentar karakter
dalam fabula berulang dengan komentar naratif.
Harus diingat bahwa dalam teks naratif berbagai medium, syuzhet mengendalikan
jumlah dan tingkat ketepatan informasi yang kita terima.
Pengetahuan, Kesadaran Diri, dan Ke-komunikatif-an (Communicativeness)
Narasi film dapat bersifat lebih atau kurang mengetahui fabula yang ia
representasikan. Setiap film akan memiliki norma pengetahuan sehingga kita bisa
mengkonstruksi fabula. Misalnya dalam hal genre. Penonton film genre akan
diberikan informasi tentang pola-pola tertentu dari naratif dengan memberikan
informasi mengenai genrenya. Film naratif memang bermain di natara tingkat dan
lingkup pengetahuan narasi ini. Semua narasi filmis bersifat sadar diri. Sudut
pandang merujuk pada bidang optikal dan audio karakter. Shot sudut pandang (point
of view shot) sinonim dengan shot subyektif karakter.  
Narator dan Pengarang
Teori diegetik mengidentifikasi narrator sebagai enunsiator, atau pembicara film.
Tetapi teori ini gagal karena narasi harus dimengerti sebagai pengorganisasian
seperangkat isyarat untuk mengkonstruksi cerita. Proses narasi kadang menirukan
situasi komunikasi. Narator menjadi produk dari seperangkat pengorganisasian
secara khusus, faktor sejarah dan mental penonton. Kita akan melihat contohnya
dalam bagian berikut.
Film Detektif
Ciri pokok narasi film detektif adalah bahwa syuzhet menyembunyikan peristiwa
penting yang terjadi di dalam fabula. Penjelasan tentang proses investigasi biasanya
lebih menjadi konsentrasi syuzhet. Film detektif membenarkan celah yang ia buat
dengan mengendalikan pengetahuan, kesadaran dan ke-komunikatif-an syuzhet.
Rangkaian kredit (teks) menjadi piranti naratif yang penting. Pergantian antara
pembatasan dan ke-mahatahuan, variasi dalam kesadaran diri merupakan ciri
penting film naratif klasik.
Prosa dalam fiksi detektif bergerak di natara deskripsi eksternal murni, sudut
pandang menengah di mana kita bisa melihat apa yang detektif lihat, tetapi tidak
pada apa yang ia amati. Film detektif memberi ilustrasi bahwa film klasik telah
memecahkan persoalan naratif yang kita hadapi.  
Melodrama
Melodrama adalah sebuah genre yang memfokuskan segalanya pada emosi. Narsi
dalam melodrama bersifat sangat komunikatif, terutama informasi mengenai keadaan
emosi karakter. Kalau film detektif menekankan investigasi peristiwa yang telah
terjadi, melodrama bermain dengan dampak peristiwa di masa depan. Ia mendorong
kita untuk penasaran akan apa yang terjadi berikutnya, terutama reaksi karakter
terhadap apa yang akan terjadi.
Adegan penting dalam melodrama adalah ketika narasi ingin mengkomunikasikan
segalanya. Semua sumber daya ekspresif mise en scene –bahasa tubuh,
pencahayaan, setting, kostum –digunakan untuk memperlihatkan kondisi emosional.
Musik sebagai dasar melodrama, secara klasik telah diterima sebagai piranti
komunikasi persepsi dan tingkah laku karakter. Syuzhet bekerja dalam celah
temporal yang tidak fokus. Syuzhet dalam melodrama akan memberi informasi pada
penonton rangkaian peristiwa dan menyembunyikan/menunda peristiwa tertentu
untuk kembali menjelaskannya.
Film detektif mensyaratkan emosi yang stabil tapi tersembunyi. Melodrama bersifat
sebaliknya. Oleh karena itu, piranti syuzhet penting dalam melodrama adalah
perubahan karakter: bagaimana sebuah peristiwa bisa mengubah sifat karakter. Hal
ini penting untuk narasi dan efek. Kebetulan menjadi sesuatu yang penting pula
dalam melodrama. Kebetulan dapat menjadi  twist plot yang baru. Ia menjadi unsur
kohesif, yang mengkombinasikan dan menyatukan beberapa peristiwa dan intrik dan
membuat situasi dramatik tertentu. Stilisasi dalam film melodrama berakar dari narasi
yang bersifat sadar diri dan begitu komnikatif, terutama dalam hal kondisi emosional
dan efeknya.
Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ciri dasar narasi dipenuhi oleh
proses pembagunan syuzhet dan pewujudannya dalam style film. Semua hal mulai
dari celah, pelambatan, konstruksi ruangan hingga pengurutan kronologi waktu dapat
berfungsi secara naratif. Semua piranti teknis dalam film memiliki fungsi naratif..
Narasi dan Waktu
Dalam film, banyak proses naratif tergantung pada manipulasi waktu. Ritme dalam
film naratif berasal dari proses memaksa penonton untuk membuat kesimpulan
dalam kecepatan tertentu. Narasi mengatur dan bagaimana kita mengambil
kesimpulan.
Ciri-ciri Konstruksi Temporal
Hubungan temporal dalam fabula berasal dari proses mengambil kesimpulan.
Penonton mencocokkan schemata dengan isyarat yang diberikan narasi dan proses
ini melibatkan 3 kategori waktu: urutan waktu, frekuensi dan durasi. Dalam hal
urutan, kebanyakan film, narasi mewakili peristiwa fabula dengan urutan kronologis.
Flashback dan flashforward bukanlah sesuatu ayng umum. Meski dua piranti ini
digunakan, narasi akan tetap membangun  fabula dalam urutan waktu tertentu.
Konsep waktu yang kedua, durasi fabula merupakan waktu yang dibutuhkan sebuah
peristiwa terjadi. Syuzhet terdiri dari serangkain durasi di mana film mendramatisasi
peristiwa tertentu. Durasi fabula dan syuzhet tidak mewujud di dalam stilistik film.
Durasi film merupakan citi stilistik medium film di mana seluruh aspek film  —mise en
scene, sinematografi, editing dan suara— membangun ciri ini. Dalam film sering
terjadi reduksi, dimana durasi fabula sama dengan durasi film dan durasi syuzhet.
Semnetara ekspansi terjadi ketika durasi fabula dinarasikan secara lebih lama.
Narasi film mampu mengurangi waktu fabula. Hal ini bisa dilakukan dengan piranti
ellipsis dan piranti-piranti naratif lainnya.
Narasi dan Ruang:Mengkonstruksi Ruang
Teori Perspektif merupakan pendekatan tradisional pada narasi. Teori ini diajukan
oleh  James Gibson. Isinya: pemahaman penonton terhadap bidang visual secara
unik ditentukan oleh optik geometrik. Sebuah film dapat dengan tepat
menggambarkan berbagai struktur pandangan optik penonton. Kaum perspektif
percaya bahwa stimulus mendahului pemahaman. Persepsi merupakan seleksi
terhadap berbagai stimuli yang ditawarkan.
Teori yang kedua adalah Gestaltist, yang diajukan oleh Rudolf Arnheim. Menurut
Arnheim, pikiran manusia dapat menstrukturkan visi/pandangan melalui gestalten
(konsep visual). Semua gambar bersifat artifisial karena mereka bersandar pada
kondisi dua dimensi medium untuk menyampaikan dan mengekspresikan
makna.Persepsi merupakan pembebanan mental dari dunia.
Teori yang ketiga adalah konstruktivis. Penonton dianggap selalu aktif. Ia memahami
dan melakukan prototip, membuat struktur makro, menguji dan merevisi prosedur
untuk memahami semua hal. Proses pentingnya terdapat pada penyajian celah oleh
syuzhet dalam informasi fabula. Konstruktivis percaya bahwa stimulis tidak efisian
untuk memberikan pengalaman visual. Persepsi merupakan proses pengambilan
kesimpulan dengan mengolah stimuli. Jadi ia bersifat temporal.
Dalam teori yang terakhir, penonton menciptakan peta skematik gambar di ingatan.
Menciptakan ruang untuk film harus menggunakan harapan, keputusan dan
pengetahuan-pengetahuan yang telah didapat sebelumnya. Kita akan melihat dan
memindai citraan-citraan dan focus pada informasi yang kita butuhkan –wajah, mata,
dll., yang disebut nodus visual. Editing dalam film dapat diintegrasikan dalam peta
kognitif tentang bagaimana kita membangun raung. Dalam film naratif, dorongan
untuk membangun fabula yang koheren dari apa yang kita lihat dan dengar akan
membuat kita mencari isyarat spasial tertentu. Di sinilah penonton membangun
schemata spasialnya.
Ruang di dalam film baik yang berupa shot space, editing space, sonic space,
bahkan offscreen space dapat mendorong penonton untuk membuat hipotesis ruang.
Film klasik menerjemahkan kemahatahuan narasi menjadi kehadiran di mana-mana.
BERBAGAI MODE NARASI
Mode dan Norma
Narasi melibatkan berbagai  bentuk dan prinsip abstrak. Penonton menciptakan
mekanisme mental untuk memahami cerita. Format cerita konvensonal (penjelasan,
situasi, pengenalan protagonist, dll.) dapat dipelajari. Harapan dan bagaimana narasi
bisa memanipulasi ruang dan waktu tergantung pada tradisi tertentu.
Salah satu tradisi yang penting adalah genre. Genre merupakan mode yang bersifat
mendasar dan meluas, artinya dipahami atau diterima banyak orang. Meski
demikian, genre tidak bersifat tetap. Ia berubah seiring waktu dan perubahan sosial.
Pola/mode narasi yang akan diteorikan dalam buku ini akan memperluas kajian
genre pada bentuk dasarnya, yakni narasi. Oleh karena itu, mode narasi yang
diajukan di sini akan melampui kategori genre, aliran, gerakan dan sinema nasional.
Pendekatan mode narasi ini bersifat leblih plural sehingga membuat kita mampu
menampung berbagai sistem konvensi yang berbeda karena pendekatan ini bersifat
jauh lebih mendasar.
Mode/pola narasi secara histories merupakan serangkaian norma dalam
mengkonstruksi dan memahami narasi. Norma di sini bersifat ketat, serangkaian
standar yang koheren yang dibangun oleh teori dan praktik yang kuat. Di sinilah, kita
melakukan pembacaan sejarah karena sejarah seni pada dasarnya adalah sejarah
pemberontakan melawan norma.
Jan Mukarovsky membedakan antara norma yang konvensional/kanonik dan yang
melawannya. Di dalam norma konvensional ini pun terjadi berbagai perbedaan. Di
luar itu pun, tidak ada homogenitas. Pemberontakan terhadap norma konvensional
mensyaratkan adanya norma lain, meski minoritas. Bagi B
ordwell, pilihannya kemudian menjadi: narasi yang menguatkan norma konvensional,
atau melawannya, atau justru keduanya. Dan stabilitas dan koherensi norma inilah
yang memungkinkan penonton mempelajari dan menerapkan berbagai schemata
untuk memahami naratif. Norma ini juga menyediakan pola pembangunan narasi
bagi para pembuat film.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mode/pola narasi meletakkan seperangkat norma bagi
tindak menonton dan membuat film. Mode/pola ini menyediakan harapan bagi
penonton. Dengan konsep ini, kita bisa mempelajari narasi sebagai fenomena yang
dinamis. Ia juga menyediakan berbagai variasi pilihan/komposisi karena setiap
proses narasi menyediakan pilihan-pilihan paradigmatik. Pola ini juga melibatkan
schemata yang dibangun oleh para penonton. Jadi pola narasi menyediakan teori
bagi aktivitas menonton dan memberikan sumber utama dari harapan formal
penonton.
Dalam perkembangan sinema awal, pembuat film membuat konvensi narasi yang
konvensional. Lalu dalam perkembangannya muncul narasi sinema seni
internasional yang berusaha memberikan alternatif jenis narasi lain dan mendidik
penonton yang telah biasa memahami sastra dan teater modernist.
Secara singkat, Bordwell mengajukan 4 jenis mode/pola narasi sebagai berikut:
 narasi klasik (Hollywood)

 narasi sinema seni internasional (the international art cinema)

 narasi historis materialis  (film-film Soviet)

 narasi parametrik. parametric cinema


Setiap jenis narasi memiliki serangkaian konvensi pembentukan syuzhet dan style
film yang berbeda dan konvensi inila yang dipakai untuk membuat dan memamami
film. Tapi harus ditekankan bahwa mode ini telah banyak berkembang dan ia sangat
terpengaruh dengan waktu. 
 NARASI KLASIK (Hollywood)
Narasi klasik ini terutama berbasis pada studi film produksi studio Hollywood dari
tahun 1917-1960. Film klasik Hollywood menyajikan individu yang memiliki sifat
psikologis tertentu yang berjuang untuk memecahkan persoalan tertentu, atau
berjuang untuk mencapai tujuan tertentu. Di dalam perjuangan ini, karakter akan
menghadapi konflik dengan orang lain maupun dengan situasi. Cerita akan berakhir
dengan akhir yang jelas –baik menang atau pun kalah. Persoalan akan
terselesaikan. Tujuan akan tercapai –atau tidak tercapai. Semuanya serba jelas dan
tertentu.
Agen kausalitas dalam film Hollywood adalah karakter. Karakter adalah seorang
individu yang memiliki sifat/karakter, kelebihan maupun kekurangan dan tingkah laku
tertentu. Karena Hollywood memiliki sistem bintang, ia dapat menciptakan prototip
karakter tertentu yang nantinya akan disesuaikan dengan kebutuhan karakter.
Karakter yang paling menonjol dan ‘lengkap’ dalam film Hollywood adalah
protagonist, sang agen kausalitas, target dari pembatasan narasi dan obyek
identifikasi penonton. Dalam fabula, ciri penting narasi ini adalah kausalitas yang
berpusat pada tokoh/karakter dan usaha/tindakan tokoh untuk mencapai tujuan
tertentu. Itulah motivasi dalam film klasik Hollywood. Di level syuzhet, narasi klasik
menghormati pola kanon:menggambarkan seluruh situasi, terjadi
persoalan/penyimpangan, lalu situasi menyimpang ini dikembalikan ke kondisi
semula. Dalam penulisan skenarionya, narasi Hollywood berpegang pada prinsip
plot:  kondisi aman damai tanpa gangguan, gangguan/persoalan, perjuangan dan
penghilangan persoalan/gangguan.
Dalam proses pembangunan fabula, kausalitas menjadi prinsip utama. Analogi
antarkarakter, setting dan situasi selalu dihadirkan, tetapi di level denotative,
paralelisme dikesampingkan di bawah kausalitas. Konfigurasi spasial dimotivasi oleh
realisme dan kebutuhan komposisi. Kausalitas memotivasi prinsip pengorganisasian
waktu: syuzhet mewakili urutan, frekuensi dan durasi peristiwa fabula. Hal inilah yang
membentuk hubungan kausal (sebab-akibat). Hubungan ini paling terlihat dalam
piranti narasi klasik: deadline. Deadline merepresentasikan kekuatan structural
dalam mendefinisikan durasi dramatik dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
sebuah tujuan.
Syuzhet dalam film klasik menyajikan struktur sebab-akibat ganda, 2 plot yang saling
berhubungan: yang satu melibatkan hubungan heteroseksual romantis, yang satunya
melibatkan bidang lain, misalnya pekerjaan, eksistensi diri, dan lain-lain. Syuzhet
selalu diturunkan ke dalam segmen-segmen. Hanya ada 2 jenis segmen dalam film
Hollywood: sekuens montage dan adegan.  Narasi Hollywood dengan jelas
membatasi adegan dengan criteria neoklasik –kesatuan waktu (kontinyu atau durasi
yang sebentar-sebentar), ruang (jelas), dan tindakan (fase sebab-akibat).  Hubungan
antarsekuens akan ditandai oleh ‘tanda-tanda baca’ yang baku (dissolve, fade, wipe,
sound bridge). Segmen klasik juga cenderung bersifat mikrokosmik (melalui
pengulangan bahan cerita atau style) atau secara makrokosmik (parallel dengan
segmen lain dengan besaran yang sama).
Sekuens montage cenderung berfungsi sebagai kesimpulan/catatan transisional,
menyatukan bangunan sebab-akibat, dengan adegan tindakan karakter terbangun
secara lebih kompleks. Akhir (ending) dalam film klasik bersifat dua, yakni:
1). ‘mahkota’ struktur, kesimpulan logis dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi,
dampak akhir dari sebab awal, pengungkapan kebenaran.
2).  tidak semua akhir klasik memang secara struktural baku. Hollywood melihat akhir
sebagai bentuk konvensional, atau kadang seperti permainan.
Epilog dalam film bersifat perayaan bagi kondisi yang aman-terkendali yang berhasil
dicapai oleh karakter utama. Karakterisasi bersifat generik, meski kadang melakukan
variasi. Perkembangan temporal dari syuzhet membuat narasi menyebar di seluruh
film.
Narasi klasik cenderung maha mengetahui, komunikatif, dan cukup sadar diri. Dalam
narasi klasik, maha mengetahui didefinisikan dengan kehadiran secara spasial di
seluruh film. Kamera bersifat mengetahui apa pun dengan memilih persoalan dan
posisi kamera  yang tepat. Ia berada di pusat peristiwa dan memiliki posisi yang
menguntungkan bagi penonton. Jadi dapat dilihat bahwa film klasik bersandar pada
konsep pengamat yang tak terlihat. Proses produksi film disembunyikan. Fabula
sepertinya hadir di sana secara otomatis, tidak dikonstruksi.
Narasi dari pengamat tak terlihat pun kadang sengaja dihilangkan untuk kepentingan
stilistik. Dengan begitu, narasi klasik dengan cepat memberikan isyarat-isyarat bagi
penonton untuk segera membangun logika cerita (sebab-akibat, paralelisme), ruang
dan waktu sehingga peristiwa yang direkam di dalam kamera menjadi nara sumber
pengetahuan kita. Sebagian besar informasi disampaikan melalui dialog karakter
atau sikap. Narasi sangat dibangun sehingga karakter dan tingkah lakunya
menghasilkan dan mengulangi data/informasi cerita. Dalam film klasik, flashback
sering digunakan tapi ia bersifat obyektif. Ingatan tokoh merupakan pengantar bagai
penyusunan syuzhet secara non-kronologis.
Style Film Klasik
Pada dasarnya, narasi klasik memberlakukan teknik/stilistik film sebagai kendaraan
untuk menyampaikan informasi fabula di dalam syuzhet. Narasi klasik merupakan
narasi yang paling ketat memotivasi stilistik secara komposisional, berfungsi untuk
membentuk pola syuzhet. Teknik/style film dibangun untuk mendukung struktur
adegan film klasik.
Dalam narasi klasik, style biasanya mendorong penonton untuk membangun dimensi
ruang-waktu yang koheren dan konsisten untuk membangun tindakan dalam fabula.
Hollywood banyak menggunakan komposisi dan gerakan kamera antisipatif. Style
klasik juga terdiri dari serangkaian piranti teknik yang terbatas, diorganisasi ke dalam
paradigma yang stabil dan bertugas memenuhi kebutuhan syuzhet. Contohnya,
editing kontinyu.
Sekuens montage dapat bersifat transisional, tapi juga bisa menerangkan,
membangun dimensi waktu/periode maupun tempat tertentu. Montage kadang
dipakai untuk menerangkan situasi karakter yang membingungkan atau kacau.
Narasi klasik Hollywood sendiri hanya memiliki dua unit decoupage: adegan dan
ringkasan.
Membagi syuzhet ke dalam flashback biasanya diidentikkan dengan film Hollywood
periode 1940-an. Misalnya, film noir. Film noir bukanlah perlawanan terhadap narasi
klasik Hollywood. Ia berada dalam kode narasi klasik Hollywood, serangkaian taktik
syuzhet dan ciri stilistik klasik. Narasi klasik bukanlah resep, tetapi serangkaian
pilihan, paradigma. “Authorial” dalam film Hollywood bukanlah perlawanan,
melainkan ‘hanya’ mendramatisasi pilihan dan batas paradigma narasi klasik.
Aspek paradigmatik inilah yang membuat style klasik, bukan sebuah formula abadi
apalagi resep, tapi secara histories membatasi pilihan-pilihan stilistiknya. Faktor-
faktor yang telah disebutkan tadi menjelaskan mengapa Hollywood sangat patuh
pada norma-norma ekstrinstiknya yang mengatur proses pembangunan syuzhet dan
pola stilistik.
Penonton Klasik
Fabula film Hollywood merupakan produk dari serangkaian schemata, hipotesis, dan
kesimpulan tertentu. Motivasi transtekstual dalam film klasik Hollywood adalah
mengenali persona seorang bintang yang muncul dari film ke film dan mengenali
konvensi generiknya.
Penonton membangung ruang dan waktu fabula menurut schemata, isyarat-isyarat
dan bingkai hipotesis. Penggunaan narasi jarang dilakukan dalam film klasik. Film
klasik secara jelas juga berhubungan dengan ide tentang film biasa di banyak
Negara di dunia. Perkembangan narasi klasik Hollywood bisa dibagi ke dalam dua
tingkatan, yakni pada tingkatan prosedur (normalisasi, praktik mayor/umum) dan
pada tingkatan prinsip narasi.
NARASI FILM SENI (ART CINEMA)
Narasi film seni ditandai oleh adanya celah (gap) yang permanent. Penjelasan
tertunda atau didistribusikan dengan tingkat tinggi. Narasi cenderung tidak terlalu
bermotivasi.
Secara umum, narasi film seni berdasar pada 3 schemata procedural yang saling
berhubungan:
 realisme obyektif

 realisme subyektif/ekspresif

 penjelasan narasi
Obyektivitas, Subyektivitas, dan Authority
Dalam film klasik, kenyataan dianggap koheren. Identitas individual bersifat konsisten
dan jelas. Sebaliknya, narasi film seni mempertanykan arti kenyataan dan nyata ini.
Kenyataan dalam film seni adalah sebuah dunia aleatorik kenyataan obyektif dan
kondisi mengambang yang mencirikan kenyataan subyektif. Film kontemporer
mengikuti neorealisme dalam usaha menggambarkan kehidupan nyata,
mendedramatisasi naratif dengan menunjukkan baik klimaks maupun hal remeh-
temeh dan menggunakan teknik baru bukan sebagai konvensi baku tapi sebagai
media ekspresi yang bersifat fleksibel.
Film berurusan dengan kenyataan dari imajinasi. Ia memberlakukan imajinasi itu
sebagai kenyataan dunia. Realisme film seni tidak lebih nyata dari film klasik. Ini
sekadar perbedaan kanon dalam memahami motivasi realistik, sebuah ‚kebenaran’
baru, guna membenarkan pilihan komposisional dan efek yang lain. Serangkaian
realisme yang memotivasi sebab-akibat secara lebih longgar, konstruksi syuzhet
yang lebih episodic dan penggunaan dimensi simbolis secara lebih intensif dengan
penekanan pada fluktuasi kondisi psikologis karakter.  
Realitas film seni bersifat multifaset. Film mengangkat persoalan nyata, persoalan
psikologis kontemporer. Mise en scene menekankan pada kebenaran tingkah laku
dan kebenaran ruang-waktu. Hubungan sebab-akibat yang ketat dalam film
Hollywood digantikan oleh rangkaian peristiwa yang lebih renggang. Fragmen cerita
mengungkapkan banyaknya ellipsis, atau kadang lubang yang besar. Kebetulan
adalah piranti sinematik lain untuk memberi celah pada penyajian syuzhet di dalam
fabula. Adegan dibangun di antara pertemuan-pertemuan yang serba kebetulan. Ia
bersifat episodik.
Film klasik berfokus pada harapan penonton akan rangkaian peristiwa yang terjadi.
Film seni tidak memiliki piranti seperti itu, apalagi deadline. Film seni menciptakan
celah yang tidak fokus dan hipotesis yang lebih longgar. Ia memfasilitasi pendekatan
yang terbuka (open ended). Film seni memamerkan karakterya. Prototip karakter
dalam film seni biasanya kurang memiliki sifat yang jelas, tidak/kurang memiliki motif
dan tujuan. Hubungan sebab-akibat dalam fibula melemah. Paralelisme menjadi
penting. Film memepertajam alienasi yang dialami karakter.
Situasi batas digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat yang mengarah
pada episode di mana karakter mulai sadar akan persoalan kemanusiaan yang
paling mendasar.Motivasi sebab-akibat dalam film seni biasanya terjadi ketika
protagonist menyadari bahwa ia mengalami krisis eksistensial. Hal ini dilakukan
dengan memampatkan durasi dan membatasi ruang. Film seni menyajikan dampak
psikologis untuk mencari penyebabnya. Dalam dunia fabula, realisme psikologis
terdiri dari proses pengungkapan diri karakter pada dirinya sendiri lalu kepada
kita/penonton.  
Narasi film seni menggunakan berbagai piranti subyektif, seperti mimpi, ingatan,
halusinasi, dll. Tingkah laku karakter di dalam fabula dan dramatisasi syuzhet tidak
hanya menjadi tema utama, tetapi menjadi sumber utama harapan, keingintahuan,
ketegangan dan kejutan.
Konvensi realisme ekspresif dapat membentuk penyajian ruangnya, shot sudut
pandang (optical POV shots), penceritaan kembali suatu peristiwa, modulasi warna,
cahaya, suara. Semuanya dimotivasi oleh psikologi karakter. Distorsi dalam film
modern kadang tidak dimotivasi oleh waktu Newtonian, melainkan oleh waktu
psikologis Bergsonian. Film seni berfokus pada batasan pengetahuan karakter.
Ia ditandai pula oleh uraian/narasi yang berlebihan. Narasi menginterupsi
penyampaian informasi fabula dan menonjolkan perannya sendiri. Yang dimaksud
dengan narasi/uraian ini termasuk sudut pengambilan gambar yang tidak biasa,
editing yang mendapat porsi besar, gerakan kamera yang aneh, perpindahan setting
atau pencahayaaan yang tidak realistis, dll. Film seni bersifat sadar diri, ia
menciptakan dunia fabula yang koheren sekaligus menghadirkan ‘pengarang’
eksternal yang terasa dengan jelas. Film seni bermain dengan ambiguitas dan
schemata alternatif.
Film seni mengajukan pertanyaan yang akan memandu kita menyesuaikan materi
dengan struktur yang sedang berlangsung. Konstruksi narasi menjadi obyek dari
hipotesis penonton. Narasi film seni kadang mengisyarakatkan bahwa peristwa
profilmik juga bersifat konstruksi. Syuzhet dan style selalu mengingatkan kita bahwa
ada pengantara tak terlihat yang menstrukturkan apa yang kita lihat. Kesadaran diri
yang besar dalam narasi ini diparalelkan dengan penekanan ekstratekstual pembuat
film sebagai narasumber. Pengarang merupakan sumber utama operasi film.
 Film seni memberi tempat bagi narasi satir. Penonton film seni memahami film seni
dengan memberlakukan konvensi realisme obyektif dan ekspresif, serta ke-
pengaranganan. Film seni berusaha memecahkan persoalan dengan cara yang
canggih: lewat ambiguitas. Ambiguitas merupakan strategi estetik, ia menjadi sentral
dalam narasi. Film seni pada akhirnya terlihat mengambil sikap bahwa kebenaran
adalah ahl yang relatif.
Film seni bersifat anti-klasik dalam hal ia menciptakan celah narasi dan meminta
perhatian pada proses pembangunan fabula. Narasi film seni meminta bukan hanya
pemahaman denotative, tapi juga pembacaan konotatif, level interpretasi yang lebih
tinggi. Ia menjanjikan kompleksitas dan kedalaman. Ia memberi perhatian pada
realitas, neurotic, karakter, pengarang sebagai dalang. Film seni bermain di antara
berbagai kecenderungan: penyimpangan dari norma klasik, norma film seni, dan
penciptaan norma intrinsik yang inovatif.
Sebagai mode/pola narasi, film seni membentuk paradigma, terutama pada saat
kemunculannya, yakni pada masa setelah Perang Dunia Kedua. Film seni memiliki
oposisi langsung dengan Hollywood. Ia berasal dari tradisi sinema nasional, dan
sastra serta teater modern. Gerakan Impresionis di Perancis meletakkan dasar bagi
piranti visual untuk merepresentasikan situasi psikologis karakter. Film seni
internasional merupakan sebuah fenomena baru dengan kemunculan penonton jenis
baru: berpendidikan tinggi, kelas menengah pecinta film yang mencari film dengan
ide-ide yang sejalan dengan ide-ide modernisme dalam seni dan sastra.
Dalam periode ini, proses formal dan ekonomi bergabung: kemunculan
kecenderungan untuk bermain dengan penonton, untuk memodifikasi operasi teks,
sesuai dengan kebutuhan ‘industri’ untuk mencari produk yang berbeda yang bisa
dijual. Film seni menguatkan oposisi antara (industri, penciptaan kolektif, hiburan)
dan Eropa (kebebasan dari komersialisme, genius yang kreatif, seni). Film seni
menyediakan suaka para kritikus untuk mencari ekspresi personal. Kekuatan sinema
seni Eropa bukanlah genre, tapi karya personal pengarang.
  
NARASI HISTORIKAL-MATERIALIST :FILM-FILM SOVIET PERIODE 1925-1933
Narasi sebagai Retorik
Narasi historikal-materialis memiliki resonansi retorik yang kuat. Ia menggunakan
prinsip naratif dan piranti yang berlawanan dengan norma Hollywood. Narasi ini
bertujuan untuk kebutuhan didaktif dan persuasi/propaganda. Lunacharsky dan
Slavinsky mengatakan bahwa seni merupakan alat yang kuat untuk mempengaruhi
penonton/pendengar agar percaya pada ide, perasaan dan mood kita. Dalam sinema
Soviet, fabula didasarkan pada fakta.  Narasi ini mengubah teori fabula dengan
mengubah konsepsi karakternya. Hubungan sebab-akibat dalam naratif dibangun
sebagai supraindividual. Ia berasal dari kekuatan sosial. Karakter didefinisikan
menurut posisi kelas, pekerjaan, tindakan sosial dan pandangan politik mereka.
Mereka tidak unik seperti yang diperlihatkan film klasik maupun film seni. Mereka
menjadi prototip dari keseluruhan kelas, keturunan atau epos/peristiwa historis.
Jenis peran yang dimainkan karakter biasanya terikat dengan motivasi yang bersifat
generic. Di sinema Soviet, ada 2 genre yang berkembang. Pertama, genre revolusi
baik dalam setting historis maupun setting kontemporer. Film-film dari genre ini
menceritakan tentang perjuangan/revolusi yang sukses/berhasil. Genre yang kedua
adalah genre persoalan sosial di masyarakat Soviet, biasanya melibatkan sisa-sisa
sistem kapitalis atau feodal. Ada juga genre yang berupa adaptasi dari novel, dengan
cerita-cerita seperti pembangunan waduk, program pertanian, dan semacam itu.
Menurut Suleimen, film-film historikal-materialis Soviet mengikuti pola-pola sebagai
berikut:
      struktur konfrontasi: pahlawan yang secara psikologis tidak berubah, ia
mewakili sekelompok orang yang berjuang melawan kesulitan/penderitaan
      struktur magang: individu yang berubah dari abai/apatis menjadi
berpengetahuan/peduli, dari pasif menjadi aktif/bertindak.
Hubungan sebab-akibat bekerja untuk mengubah karakter-karakter ini agar disiplin
sesuai doktrin sosialisme. Retorik bertujuan untuk mendefamiliarisasi norma klasik
atas ruang dan waktu. Film Soviet mengandung lebih banyak intertitel (teks yang
muncul di antara adegan, kadang dianggap adegan tersendiri) yang berfungsi untuk
menerangkan sebuah peristiwa.  Narasi yang berlebihan juga menginsyarakatkan
adanya piranti non-linguistik. Teknik sinematografi, misalnya pergerakan kamera
yang dinamis, memperlihatkan bahwa ada kehadiran narasi di luar peristiwa yang
difilmkan. Hal inilah yang oleh Pudovkin disebut pengamat yang tak terlihat.
Pengadeganan juga menginsyaratkan narasi yang sadar diri. Tokoh sering
ditempatkan di tengah latar belakang yang netral untuk dapat menonjolkannya. Film-
film Soviet menempatkan tindakan secara frontal di dalam layar. Karakter kadang
melihat ke kamera –penyebutan langsung ke kamera. Narasi memasukkan pula
peristiwa profilmis. Manipulasi peristiwa profilmis nampak dalam montage di dalam
shot, montage sebelum pemfilman, dan montage dalam penampilan aktor. Narasi
menyatakan sifatnya yang mahakuasa.
Teknik dalam film Soviet disatukan oleh montage. Montage mengisyaratkan
kehadiran subyek kreatif yang memilih secara hati-hati efek yang hendak dihasilkan.
Montage adalah sebuah tindakan (bukan melihat), tindakan menginterpretasi realitas.
Seniman mengkonstruksi obyeknya, ia tidak mereproduksinya. Pembuat film Soviet
percaya bahwa  tanpa editing akan mengubah suzhet dari konstruksi retorik ke
dalam deskripsi palsu. Montage membuat narasi bersifat sadar diri.
 Penonton Film Soviet
Penonton film Soviet telah menyiapkan schemata –yang berasal dari sejarah, cerita,
mitos atau kehidupan sehari-hari. Narasi cenderung menghilangkan ambiguitas
dalam hubungan sebab-akibat (motivasi, tujuan, prakondisi) atau hingga di level
retorik. Sebab dan persoalan sejarah diambil begitu saja. 
Filmhistorikal-materialist mengganti keterbatasan naratif ini dengan konstruksi
spasial dan waktu yang beragam dan inovatif. Narasi menjadi lebih ellipsis, citraan
menjadi lebih singkat, celah menjadi lebih besar, peristiwa fabula mengalami
ekspansi dan amplifikasi. Editing cepat menjadi usaha sadar diri untuk
mengendalikan kecepatan pembentukan hipotesis.
Dalam film seni, narasi yang berlebihan digunakan untuk mempermainkan
ambiguitas dengan penonton.. Dalam sinema Soviet, narasi cenderung terus-
menerus berlebihan. Ia menggunakan bentuk mosaic yang terspasialisasi dan dialog
dalam ruang yang berbeda.
Dapat disimpulkan bahwa ciri penting sinema Soviet adalah:
= mengisi konstruksi spasial dengan sejumlah abstraksi
= menyamakan dan membedakan unsur-unsur lewat jukstaposisi
=tunduk pada tekstur kasar
=bergulat dengan ketimpangan kognitif
= syuzhet dan style film menciptakan narasi yang berlebihan, maha mengetahui,
sangat komunikatif, sadar diri hingga penyebutan langsung ke penonton dan sikap
serta kesimpulan yang pasti dan tidak ambigu.
Narasi historikal-materialist menyediakan jalan bagi perkembangan realisme sosialis
dalam penggunaan perujukan, pahlawan yang tipikal dan pola magang, kecuali
dalam hal kehadiran narasi yang berlebihan dan retoriknya. Di luar Soviet, mode
narasi ini berpengaruh pada pola pembuatan film politik. Montage menjadi piranti
seni yang populer karena bisa membongkar apa yang disebut norma borjuis kecil.
Montage adalah piranti modern dan secara sosial bersifat kritis.  
NARASI PARAMETRIK
Parametrik bisa diartikan sebagai teknik/stilistik film, bisa pula narasi yang berpusat
pada stilistik/teknik film yang bersifat dialektik, permutasi, dan puitik. Dalam
mengajukan gagasan tentang narasi parametrik, Bordwell melihat peran baru yang
dimainkan oleh teknik/stilistik film. Dalam narasi-narasi lailn, teknik/stilistik film
bersifat tak terlihat untuk mendukung fungsi syuzhet dan mengikuti prosedur serta
prinsip konvensional. Dalam narasi film seni dan historikal materialist, stilistik lebih
terlihat karena penyimpangan/perlawanannya terhadap narasi klasik. Tetapi stilistik
tetap berfungsi untuk mendefinisikan syuzhet: menciptakan realisme, subyektivitas
ekspresif, narasi pengarang, atau bermain dengan faktor-faktor itu (untuk film seni),
atau untuk menciptakan peningkatan pemahaman perceptual dalam konstruksi
narasi/retorik dalam film historikal materialist.
Padahal sistem stilistik menciptakan pola yang khas yang berbeda dengan
permintaan sistem syuzhet. Narasi parametrik merupakan seni campuran. Gaya
sinematik, pengulangan dan pengembangan film teknik menjadi aspek dominan
dalam narasi ini. Film yang sangat stilistik dapat menciptakan pola yang independent
dari kebutuhan naratif. Struktur besar dalam narasi ini sangat dipengaruhi oleh
pilihan stilistik. Stilistik mungkin saja bersifat independen dari struktur di dalam teks.
Stilistik hanya boleh diatur oleh koherensi internal, bukan fungsi representasionalnya.
Pemahaman soal narasi parametric sebenarnya berasal dari teori strukturalisme dan
serialisme yang menganggap bentuk teks sebagai fenomena spasial. Teks
fenomenal diberlakukan sebagai konfigurasi yang bagian-bagiannya berada secara
bersamaan. Urutan bagian-bagian itu bisa dilihat sebagai distribusi unsur-unsur.
Sintagmatisknya merupakan kombinasi serangkaian unsure yang hadir di dalam
teks. Mitos, misalnya, merupakan cerita khas yang terdiri dari berbagai unit/unsure.
Bentuk fenomenal teks kemudian dilihat sebagai distribusi permutasi serangkaian
unsur yang tak terlihat. Serialisme adalah piranti komposisi, sementara
strukturalisme adalah metode analisis. Strukturalisme cenderung menekankan norma
ekstrinsik yang membatasi sintagmasi dan paradigmanya.
Noel Burch menyusun stilistik film ke dalam parameter atau prosedur stilistik.
Parameter teknis berfungsi sama pentingnya dengan keseluruhan naratif film. Film
mulanya dibuat dengan citraan dan suara, ide datang belakangan.
Struktur syuzhet –seleksi dan organisasi peristiwa cerita –tidak selalu menentukan
penyajian stilistiknya. Dalam film parametrik peristiwa stilistik dapat diperhatikan
dalam hubungannya seperti syuzhet dengan hipotesis. Narasi parametrik memenuhi
kriteria:
1. pengulangan yang cukup (sufficient redundancy): narasi parametric tidak
seluruhnya bersifat serial, tetapi hanya beberapa parameternya yang ditonjolkan dan
menyebar di seluruh film. Suzhet kadang menyediakan dasar bagi perubahan
stilistik.
2. schemata sebelumnya: narasi parametric tidak seluruhnya menolak schemata
sebagau sumber urutan dan harapan penonton.
3. pengakuan pada kecenderungan alami: parameter tertentu lebih mendasar dari
yang lain.
4. pengakuan akan keterbatasan kapasitas saluran stilistik
Meski demikian, stilistik harus memiliki koherensi internal, yakni:1). pilihan yang
sedikit. Film membatasi normanya pada prosedur yang sedikit dan
mengkodifikasinya dalam norma ekstrinsik. 2).Norma intrinsik penuh menciptakan
serangkaian pilihan paradigmatik. Dalam narasi parametric, syuzhet akan memiliki
bentuk keseluruhan secara kumulatif, kadang dengan simetri struktural yang
besar,tetapi pola stilistik cenderung terbuka dan berupa tambahan, tanpa titik akhir
yang terkira. Narasi parametrik dapat membuat syuzhet dan style berinteraksi 
melalui 3 cara: style mungkin tetap mendominasi syuzhet, sebaliknya, atau sama-
sama mendominasi.  
Di kebanyakan film bernarasi parametrik, perubahan syuzhet dan fabula menjadi
penting. Parametrik membangun norma instrinsik yang khas, kadang melibatkan
berbagai pilihan stilistik yang tidak biasa. Narasi parametric merujuk pada
keterbataan norma ekstrinsik film dan membiarkan kita mengetahui kekayakaan
tekstur film dan menolak interpretasi. Narasi menstilisasi peristiwa yang
direpresentasikan. Pola stilistik berbeda dengan pola syuzhet. Stilistik tidak bisa
digunakan untuk schemata. Syuzhet disubordinasikan ke dalam pola stilistik. Film
parametric mengeksploitasi batas-batas kapasitas penonton. Hal inilah yang
dilakukan oleh pembuat-pembuat film seperti Alain Resnais melalui La guerre est
fini atau Bresson melalui The Pickpocket.  
KESIMPULAN: APA YANG BISA KITA PELAJARI
Teori yang diajukan Bordwell merupakan pendekatan baru dalam mengkonsepkan
narasi dalam film. Dengan berpegang teguh pada asek-aspek formal film (naratif dan
style), Bordwell pada kesimpulan bahwa ada pola-pola naratif yang memandu
penonton dalam melihat dan pembuat film dalam membuat film tertentu.
Ia mengelompokkan 4 mode narasi besar yang melampaui kategori genre, aliran,
gerakan, dan sinema nasional. Dalam sumbangannya terhadap kajian genre,
pembahasan dalam buku Narration in the Fiction Film ini memperluas kajian genre
ke bentuknya yang justru paling mendasar, yakni naratif. Genre sebagai bagian dari
tradisi klasik Hollywood menjadikan dirinya contoh yang paling baik bagi kontestasi
dan hubungan antara naratif dan style film. Pola-pola dan norma-norma instrinstik
konvensional yang diajukan Bordwell memberikan gambaran betapa kajian genre
harus melihat aspek-aspek di dalam naratif dan proses produksi naratif secara
global. Di sinilah, buku ini memberikan pencerahan bagi kajian genre yang lebih baru
dan lebih kuat.
REFERENSI
Bordwell, David, Narration in the Fiction Film, The University of Wiscosin Press,
1985.
Bordwell, David, dan Kristin Thompson, Film Art, 8th ed., McGraw Hill, 2008
Bordwell, David, On The History of Film Style, Harvard University Press, 1997.
Cook, Pam dan Mieke Bernink (ed.), The Cinema Book, BFI Publishing, 1985.
Grant, Barry K., Film Genre: From Iconography to Ideology, ShortCuts,
Wallflower, 2007.
Hayward, Susan, Key Concept to the Cinema Studies, Routledge, 2006.

2 comments share

Sep 3, '08 1:36


Kandang dan Gelanggang, Sinema Asia Tenggara
AM
Kontemporer
for everyone
Category: Books
Genre: Arts & Photography
Author: Eric Sasono (ed.)
Resensi buku:
Kandang dan Gelanggang, Sinema Asia Tenggara Kontemporer
Penyunting: Eric Sasono
Penerbit: Kalam dan HIVOS
Tebal: 139+vi halaman

Denys Lombard dalam bukunya yang terkenal, Nusa Jawa:Silang Budaya,


Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (1990) mengatakan bahwa kukuhnya
konsep geohistoris dan geopolitik Asia Tenggara berakar dari kesejajaran
sejarah lampau kawasan ini yang melampaui ratusan tahun bahkan lebih dari
seribu tahun. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban di Pulau Jawa
seiring seirama dengan perkembangan di kawasan lain di Asia Tenggara,
yakni Angkor, Pagan, dan Sukhotai. Di cekungan sungai Tonle Sap di
Kamboja, lembah Kyaukse dan tepian sungai Irawaddi di Birma, daerah
Menam Tengah di Thailand, dan lembah Bengawan Solo serta Brantas di
Indonesia terbentuk kerajaan yang berbasis teokratis, dengan masyarakat yang
kurang lebih hirarkis dan berbudaya padi yang terencana.

Kesamaan ini menghasilkan sebuah ciri kultural yang mirip di antara


masyarakat kawasan ini, antara lain penggunaan tulisan yang cukup intensif,
terbentuknya golongan pegawai, terutama di sektor pertanian, munculnya
berbagai golongan istimewa di piramida sosial, dan terbentuknya kota-kota
agraris.

Ciri-ciri ini kemudian mempengaruhi bentuk-bentuk ungkap seni di mana seni


drama tradisional dengan naratifnya yang kuat seperti wayang dan sandiwara
menjadi sebuah karakter definitif seni di Asia Timur dan Tenggara. Alasan-
alasan ini pula yang membuat para sejarawan sinema dunia seperti Roy Armes
dan Shohini Chaudhuri menganggap sinema Asia Tenggara sebagai kesatuan
geopolitik yang relatif koheren.

Roy Armes (1987) dalam kajian tentang sinema negara dunia ketiga, melihat
bahwa perkembangan sinema Asia Tenggara bukan hanya ditandai oleh
kesamaan teori estetik, yakni negasi prinsip imitasi seni atas kenyataan, tetapi
juga sejarah kolonialisme yang dimiliki negara-negara ini. Kalau Denys
Lombard melihat bahwa akar terjauh dari kesaman masyarakat Asia Tenggara
adalah kerajaan-kerajaan konsentris, Roy Armes melihat bahwa faktor
determinan dalam perkembangan sinema Asia Tenggara adalah masa
kolonialisme. Dengan perkecualian Thailand, seluruh masyarakat Asia
Tenggara adalah masyarakat terjajah. Indonesia dijajah oleh Belanda,
Vietnam, Kamboja, dan Laos dijajah oleh Prancis, Filipina oleh Spanyol dan
Amerika Serikat, sementara Malaysia, Singapura dan Burma dijajah oleh
Inggris.

Sebuah buku sangat penting dan seminal tentang kajian geopolitik sinema,
termasuk di dalamnya sebuah bab tentang salah satu sinema di Asia Tenggara,
Filipina, diterbitkan oleh British Film Institute di tahun 1995. Buku berjudul
The Geopolitic Aesthetic:Cinema and Space in the World System ditulis oleh
Fredric Jameson justru mengkritik pendekatan ‘kolonialis’. Ia melihat bahwa
konstruksi kajian kawasan sinema, seperti kawasan Asia Tenggara dalam
konteks besar Kajian Film Dunia selalu bersifat ekstra-estetik. Kajian sinema
negara-negara ini selalu diletakkan dalam konteks kajian tentang sinema post-
kolonial dan negara dunia ketiga di mana sinema kawasan ini selalu dianggap
sebagai ruang untuk mencari alternatif baru. Padahal, kebudayaan negara
dunia ketiga sekarang ini telah terintegrasi dengan industri hiburan
internasional. Imaji dalam sinema-sinema ini menampilkan pluralisme sosial
sebuah kota kapitalis lanjut.

Meski demikian, harus diakui bahwa di kawasan Asia Tenggara, sinema


dibawa oleh para kolonialis. Seperti yang terjadi di Indonesia, pemutaran film
pertama di Jakarta (Batavia, saat itu) pada tahun 1900 digunakan terutama
untuk menghibur para pegawai kolonial Belanda yang bekerja di Hindia
Belanda (Indonesia). Di Filipina, film hadir terlebih dahulu pada tahun 1897,
2 tahun setelah Lumiére mempresentasikan filmnya di Paris, yang dibawa oleh
seorang fotografer, Senor Pertierra. Semenjak itu, kehadiran film di Filipina
terutama disponsori oleh para pembuat film Hollywood. Vietnam sebagai
jajahan Prancis dengan cepat menyerap perkembangan baru sinema di Prancis.
Pada tahun 1898, surat kabar-surat kabar Vietnam telah menayangkan
berbagai iklan film di halamannya. Tahun 1920, perusahaan film Prancis
Pathé bahkan telah membuka kantor cabang di Hanoi (Pham Ngoc Truong,
2001).
Sama seperti Vietnam, Kamboja menerima film juga di masa penjajahan
Prancis, sekira tahu 1909. Sementara, pemutaran film pertama di Thailand
dilakukan oleh S.G. Marchovsky pada tahun 1897 yang memutar film-film
dari Prancis yang kemudian dengan cepat diadopsi oleh keluarga kerajaan.
Malaysia dan Singapura mengadopsi film sejak tahun 1930-an sebagai sesama
warga yang dijajah Inggris, seperti juga Burma yang mempertunjukkan film
sejak tahun 1920-an.

Perkembangan selama kurang-lebih seratus tahun semenjak film


diperkenalkan di kawasan Asia Tenggara telah menghasilkan para pembuat
film yang dikenal dunia (Barat) lewat festival-festival. Selama beberapa tahun
terakhir, sejak perubahan politik dan ekonomi cukup penting di kawasan ini
pada tahun 1997, festival film internasional telah membawa nama-nama
seperti Garin Nugroho, Nia Dinata, Riri Riza, Amir Muhamad, Tan Chui Mui,
Royston, Pen-ek Ratanaruang dan Aphichatpong Weerasethakul ke dalam peta
sinema dunia. Perkembangan sinema Asia Tenggara semakin dirasa
signifikan. Banyak festival film internasional di Eropa dan Amerika Serikat
mulai menjadikan sesi Asia Tenggara sebagai sesi penting. Produksi film-film
di Asia Tenggara juga mulai mendapatkan sorotan.

Meski demikian, studi dan tulisan tentang perkembangan sinema Asia


Tenggara masih terhitung langka. Buku-buku atau tulisan-tulisan yang dibuat
oleh para penulis Barat terbatas hanya melihat kawasan ini sebagai kawasan
dengan tingkat produktivitas dan estetika film terbatas. Pembahasan baik di
level akademis maupun populer terbatas pada sinema-sinema yang menonjol,
misalnya sinema nasional Thailand, para sutradara auteurs, seperti Garin
Nugroho dan Aphicatphong Weerasatakhul, serta sekarang ini, film-film
independen Malaysia yang merajai festival-festival di Eropa. Terbatasnya
akses ke film-film Asia Tenggara dan terpusatnya kultur akademis di negara-
negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Prancis membuat
kajian sinema Asia Tenggara menjadi hal yang terlupakan. Jurnal-jurnal film
bergengsi macam Cahiers du Cinema, Sight and Sound, dan jumpcut memiliki
ruang terbatas untuk memberi perhatian pada kajian sinema Asia Tenggara.

Sementara kajian dari Asia Tenggara sendiri terbatas, baik dalam jumlah
maupun perkembangannya. Dalam konteks inilah, sebuah buku yang
diterbitkan Kalam dan HIVOS hadir pada akhir tahun 2007. Buku berjudul
Kandang dan Gelanggang:Sinema Asia Tenggara Kontemporer, merupakan
sebuah buku yang berusaha secara populer membahas perkembangan sinema
Asia Tenggara kontemporer. Berbeda dengan buku yang pernah dieditori oleh
David Hanan di tahun 2001, berjudul Film Southeast Asia:A View from the
Region, buku ini tidak ingin membahas perkembangan sejarah sinema Asia
Tenggara sejak mula keberadaannya. Justru, buku yang dibuat dengan bahasa
Indonesia ini ingin melihat perkembangan sinema Asia Tenggara terkini,
ketika formasi dan konsep tentang kawasan Asia Tenggara sendiri mendapat
banyak tantangan dari kekuatan globalisasi dan perkembangan teknologi
informasi.

Buku ini terdiri dari 8 tulisan dan satu tulisan pengantar yang dieditori oleh
Eric Sasono. Meski membahas Asia Tenggara, buku ini hanya membahas
sinema Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan sedikit sinema Filipina
dalam dua tulisan. Jadi penulis-penulis dalam antologi ini tidak selalu
mewakili sebuah kajian negara (sinema nasionalnya). Sinema Indonesia
misalnya, ditulis oleh tiga orang dengan pendekatan yang cukup berbeda. John
Badalu yang membuka antologi buku ini, menulis tentang bibit-bibit muda
dalam perkembangan sinema Asia Tenggara kontemporer.

Dengan ringan dan langsung, John Badalu melihat para pembuat film muda di
Singapura lewat Royston Tan, Filipina via Khavn de la Cruz, Auraues Solito,
Brilliante Mendoza dan Raya Martin. Untuk sinema Malaysia, John Badalu
membahas sinema para pembuat film Malaysia keturunan Tionghoa.
Sementara dari Thailand dan Indonesia, ia melihat hadirnya para pembuat film
muda yang berjaya di festival-festival Eropa, seperti Aphicatphong
Weerasathakul, Pen-ek Ratanaruang dari Thailand dan Rhavi Bharwani serta
Edwin untuk Indonesia. Karena latar belakangnya, John Badalu memang
menggunakan tolok ukur festival-festival film internasional sebagai indikator
keberhasilan pembuat film-pembuat film muda ini. Indikator serupa
digunakan oleh Ben Slater yang membahas dua film yang dibuat oleh seorang
sutradara muda, Tan Pin Pin. Kedua film itu adalah Singapore Gaga dan
Invisible City. Tan Pin Pin merupakan generasi paling muda di sinema
Singapura yang berhasil menembus festival-festival internasional seperti
Rotterdam dan Pusan, selain populer di negeri sendiri. Ben Slater secara
nostalgis melihat relevansi kedua film Tan Pin Pin dalam konteks dan
arsitektur urban Singapura.

Tulisan Hassan Abdul Muthalib bisa jadi merupakan salah satu tulisan paling
komprehensif tentang perkembangan sinema baru Malaysia. Sinema Malaysia
bisa dibilang merupakan sinema yang sekarang ini paling seksi di Eropa.
Pembuat-pembuat film Malaysia seperti James Lee, Deepak Kumaran Menon,
Ho Yuhang, Tan Chui Mui, Amir Muhammad, dan Yasmin Ahmad berjaya di
festival-festival Eropa dan pasar film seni (art-house) internasional dengan
film-filmnya yang realis, dibuat dengan budget rendah, dan pendekatan
independen yang kental. Sinema Malaysia pinggiran ini, seperti yang ditulis
Hassan Abdul Muthalib dengan baik sekali, merupakan ekspresi dari
pemberontakan dan protes kaum muda dan kaum berpendidikan terhadap
pemerintahan otoriter dan konservatif Malaysia. Tinjauan yang hampir sama
juga dapat dijumpai dalam tulisan Anchalee Chaiworaporn dari Thailand.

Dengan gaya tulisannya yang ringkas dan cerdas, Anchalee melihat


konfigurasi sinema kontemporer Thailand, baik sinema seni yang berjaya di
festival maupun sinema populer yang kini dirajai oleh film-film genre horror,
komedi, drama, dan laga. Anchalee mencoba melihat latar belakang para
pembuat film muda yang kini mendominasi struktur industri film Thailand.
Pembuat-pembuat film muda ini kebanyakan berasal dari industri kreatif
televisi dan iklan yang membuat film dengan modal sendiri maupun investasi
dari perusahaan-perusahaan film dan iklan di Thailand.

Fokus tentang sinema kontemporer dan para pembuat film muda juga diambil
oleh para penulis Indonesia. Lisabona Rahman mencoba melihat
perkembangan film dan penonton film di Indonesia lewat film tentang film
yang diproduksi setelah 1998, ketika Kuldesak berhasil meruntuhkan
hegemoni pembuatan film konvensional.

Telaah yang bisa dibilang tidak baru, ditulis oleh Eric Sasono dan Budi
Irawanto. Budi Irawanto tak bisa melepaskan latar belakang akademisnya
untuk menulis tentang estetika mayor dalam film-film Indonesia. Ia berusaha
melihat hubungan antara keindonesiaan dengan estetika populer yang terlihat
dari pendekatan genre dalam produksi film-film kontemporer Indonesia.

Mengulangi permusuhan yang sama dengan film-film genre populer, Eric


Sasono mencoba meletakkan perdebatan tentang politik dan estetika dalam
film Indonesia melalui protes Masyarakat Film Indonesia. Sebenarnya
perdebatan ini sudah sedemikian menjemukan dalam kajian sinema dunia.
Tetapi momen bangkitnya protes para pembuat film Indonesia karena sikap
pemerintah dan kemenangan Ekskul pada Festival Film Indonesia tahun 2006
membawa perdebatan ini ke dalam ranah yang sebenarnya menarik. Meski
demikian, seperti yang telah diajukan oleh Jinhee Choi (2006), perdebatan
tentang estetika dalam sinema nasional gelombang baru, tak bisa dilihat
sebagai semata-mata sebagai dikotomi estetika dan politik karena estetika
hadir sebagai konstruksi sosial. Jinhee melihat bahwa sinema nasional yang
disebut dengan gelombang baru (new wave), seperti yang terjadi dalam kasus
Indonesia, menandai dirinya sebagai film-film yang diproduksi di dalam
negara-bangsa itu, karena terjadinya perubahan dalam industri film dan kultur
film. Meski tidak memiliki konsistensi/koherensi stilistik, gelombang baru
memiliki karakteristik yang bisa dilihat dengan jelas, seperti kesamaan tema
film, munculnya genre baru, dan perubahan mode/cara produksi. Maka proses
melihat estetik hanya dalam teks film bisa jadi menyesatkan.

Aspek ideologi, ekonomi, dan kultur merupakan hal-hal yang harus


diperhitungkan dalam kajian sinema yang demikian—dan tidak harus
dianggap saling berlawanan. Dan jawaban memuaskan dari dahaga tulisan
yang demikian kritis mengungkap tentang hal itu didapat dari tulisan menarik
Anchalee Chaiworaporn tentang munculnya sineas perempuan di Korea
Selatan dan Asia Tenggara. Tulisan yang merupakan hasil riset bertahun-
tahun ini membuktikan bahwa tulisan populer bisa jadi sangat kaya dengan
fakta dan analisis, tanpa harus terlihat akademis dan rumit dibaca.
Meski terdengar berbicara tentang kemunculan film-film yang dibuat oleh
perempuan dan bertema perempuan, Anchalee justru menganalisis asal-
muasal kemunculan generasi pembuat film muda perempuan di Asia Tenggara
yang posisinya dalam industri film semakin menentukan. Dengan
membandingkannya dengan Korea Selatan, Anchalee berhasil
mengetengahkan sebuah analisis kritis dan sejauh ini, genuin, tentang sifat
industri film di Asia Tenggara dan bagaimana perempuan-perempuan ini
berperan dalam industri film yang masih didominasi oleh laki-laki, dengan
perkecualian Indonesia. Indonesia, misalnya, merupakan sebuah negara di
mana industri film kontemporernya didorong dan menjadi kembali produktif
berkat sutradara-sutradara dan produser perempuan. Mira Lesmana, Nan T.
Achnas, Nia Dinata, Shanty Harmayn, dan lain-lain, menggunakan berbagai
cara untuk berproduksi, mulai dari memproduksi film-film seni yang berlaga
di festival-festival, maupun film-film populer yang menarik kembali para
penonton untuk menonton film lokal.

Sementara sutradara-sutradara dan produser film perempuan Thailand dan


Filipina berasal dari industri iklan dan televisi. Sementara, perempuan di
Malaysia bekerja dengan rekan pria mereka di pembuatan film independen,
meski satu-dua perempuan bekerja di industri film arus utama.

Secara garis besar, antologi tulisan tentang sinema Asia Tenggara ini
merupakan sebuah sumbangan berharga bagi proses penulisan sejarah sinema
Asia Tenggara. Meski tidak terlalu lengkap dengan tidak menghadirkan
sinema Filipina yang merupakan salah satu sinema paling tua dan paling
penting di Asia Tenggara, sinema Vietnam, Laos, dan Kamboja yang memiliki
pola perkembangannya sendiri, buku ini telah berusaha memberikan referensi
bagi para peminat film Asia Tenggara di Indonesia. Meski beberapa ditulis
dengan pendekatan akademis yang sedikit rumit, tapi secara umum, buku ini
mudah dicerna dan bisa menjadi pendorong bagi studi lanjutan tentang sinema
Asia Tenggara. Aktualitas tulisan-tulisan ini yang berfokus pada generasi baru
perfilman Asia Tenggara merupakan hal yang belum bisa ditandingi oleh buku
mana pun, kecuali sebuah atlas sinema yang diterbitkan oleh jurnal Prancis
terkenal, Cahiers du Cinéma.

Sebagai referensi bagi pembaca Indonesia, hanya satu dari delapan tulisan
yang sulit dimengerti terjemahannya. Sisanya merupakan tulisan-tulisan yang
cukup berisi dan diterjemahkan dengan baik. Persoalan yang melanda sebuah
antologi biasanya terulangnya pembahasan oleh beberapa penulis, tetapi
karena buku ini ditulis oleh 7 orang yang berbeda dengan subyek yang
berbeda pula, maka pengulangan seperti itu tidak terjadi. Buku ini juga ditulis
oleh para penulis dengan latar belakang yang cukup variatif, mulai dari
akademisi, kritikus independen, hingga kurator/programmer festival, yang
memungkinkannya menampilkan berbagai perspektif yang kaya. ***
0 comments share

Jul 14, '08 11:35


Geopolitik Sinema dalam Sinema
PM
Hongkong
for everyone
Start:      Jul 16, '08 3:00p
Location:    IKJ
(scroll down for French)
Klub Kajian Film IKJ mengundang anda dalam diskusi/ngobrol:
hari / tanggal : Rabu, 16 Juli 2008
Jam : 15.00- selesai
Tempat : GA 2A FFTV-IKJ
Bersama : Frederic Monvoisin (mahasiswa doktoral program Sinema
Universitas Paris III)

Metode geopolitik sinema dipelajari melalui kasus-kasus yang spesifik, dan


salah satunya ada pada sinema Hongkong. Geopolitik, globalisasi,
modernisasi merupakan terminologi-terminologi yang saling bercampur satu
dengan yang lain. Setelah menjelaskan garis besar mengenai apa itu
geopolitik, kita dapat melanjutkannya untuk memasuki wacana geopolitik
dalam film. Dengan menggunakan beberapa kasus tertentu dalam sinema
Hongkong dan menganalisanya secara sederhana, kita akan mencoba
mengajukan cara pandang baru untuk melihat lebih jauh konsep geopolitik
dalam sinema.

Proposition méthodologique pour une géopolitique des formes filmiques à


travers une étude de cas spécifique : le cinéma de Hongkong. Géopolitique,
globalisation, mondialisation sont des termes qui s'enchevêtrent et se
mélangent les uns aux autres. Les travaux de quelques uns de nos ainés nous
assurent que parler de géopolitique des formes filmiques n'est pas une chose
aisée. Après une brève présentation de quelques uns de ces travaux, et un
rappel des origines de la géopolitique nous verrons qu'une géopolitique des
formes filmiques est bien plus un champ d'étude. Cependant, en utilisant le cas
spécifique du cinéma de Hongkong et en usant d'une méthode d'analyse
simple, nous essaierons de proposer une nouvelle voie pour élargir la réflexion
autour de la géopolitique des formes filmiques.
0 comments share

Dari Workshop 'Semiotic and Documentary' Jun 30, '08 11:34 PM


for everyone
Semiotics and Documentary
Roger ODIN, Université de Paris III - Sorbonne Nouvelle
Ruang Syumanjaya, FFTV –Institut Kesenian Jakarta
2-6 Juni 2008
 

The purpose of the seminar is to propose some methodological tools to


understand how documentary films communicate, how they produce meaning
and affects, how they address their spectators, how they are read by these
spectators, and under what conditions those films are able to fulfill the work
for which they were made. As such, this seminar addresses all those who feel
concerned with this kind of communicational questions.

You will find hereunder a list of the major topics I will deal with during my
lectures. Except for the description of the general problematics, all these
topics will be discussed through film analysis.  

General problematics : what is semiotics ?


From textual  semiotics towards the study of texts in context (the semio-
pragmatic approach).
Some remarks about the notion of communication. What communicational
model ? How does meaning come to films ? Meaning is produced under the
constraint of a bundle of determinations : linguistic determinations, cultural
determinations, social determinations, local determinations, universal
determinations : biological, psychoanalytical determinations (for instance, the
fictional drive).
Notion of  space of communication. 

Documentary and the Fictional drive

We cant' study documentary films without taking into account the


fictional drive which is inside us.

That leads us to try to understand what are the processes at stake inside this
fictional drive (= fictionalization):
 - building the filmic space as a world (versus a symbolic space, a pictural
space)
- building the filmic structure as a story, narrating (versus building the filmic
structure as a discourse, as a poem).
- producing a specific emotional effect : making the spectator vibrate at the
rythm of the represented events (“putting in phases”).
- building the enonciator (= the one we consider as responsible of the filmic
text ) as unquestionable in terms of identity, actions and truth (that's the
fictional reading contract) . 
What's making or reading a film as a documentary? The documentary
mode.

- The main process, the only one to be compulsory, is the building of the
enunciator as part of the same world as the spectator (notion of “real
enunciator”) and as questionable in terms of identity, of actions and of truth.
That's the documentary reading contract. What makes a film a documentary
(and not a fiction) is not the fact that what it shows is real  (vs invented) or
true (vs false), but that we are invited to ask questions to its enunciator.
Fiction vs hypothesis, errors, lies, fake documentaries.
Fiction, documentary and reenactment of events.
- The other processes are optional : a documentary can invite us to build the
filmic space as a world or not, to build the filmic structure as a narrative or
not,  to be emotionaly in phases with the represented events or not. 
 

How do we know that we have to use the documentary mode ?

- Textual informations : credit, stylistic figures (the system of stylistic figures


is historical).
- External informations.
- Contextual or institutional constraints. 

The discursive documentary (the documentary form which is the more


different from the fiction film)
The discursive documentary form : Heterogeneity. Diversity of signs and
structures. Great role of the voice-over.
The role of the institutional or contextual determinations.
Different kinds of discursive documentaries : informational, didactic,
polemical documentaries ... 

Some attempts to negociate with the fictional drive: the narrative


documentaries
Combination of fiction and documentary.
Using some fictional processes (building a world, narrating, putting in phases)
with the documentary reading contract.
Using the fictional structure with a documentary purpose : the story is seen as
a fiction, but the discourse is taken as a document. Exemplification and
categorisation. 

Documentary and description


Description versus narration : relations of simultaneity versus succession
(Metz). Description as “pause” (Genette).
Focus on spatial relations, on categorial relations (versus focus on temporal
relations).
List and description. “Descriptif” and description (Hamon). Representation
and description.

Film portrait and description. 

Documentary and enunciation


When reading a film, we have to look at the traces of the enunciation  inside
the film : traces of the film maker, of the implied spectator, of the genre, of the
institution and of the society in which the film was made ...

The question of the inscription of the enunciator's body inside the film;
Gender and documentary. 

Documentary and poetics.


Document and documentary : the question of Art. 
Fiction film and documentary mode
Possibility of reading any kind of film, using the documentary mode.
This reading can be done at different levels: the author, the film language, the
society, the set, ... 
 
 

Bibliography 

Semiotics

Umberto Eco, A theory of Semiotics, Indiana University Press, 1977.


Robert Hodge and Gunther Kress, Social Semiotics, Cambridge, Polity,1988. 

Film semiotics

Sol Worth, “ The Development of a Semiotic of Film ”, Semiotica, 1969, I-3.


Christian Metz, Essais sur la signification au cinéma, Klincksieck, 1968.
Langage et cinéma, Larousse, 1971. Le signifiant imaginaire, 10/18, UGE,
1977. L'énonciation impersonnelle ou le site du film, Méridiens-Klicksieck,
1991.
Roger Odin, Cinéma et production de sens, A. Colin, 1990.

Fiction

Gérard Genette, Fiction et diction, Seuil, 1991.


Kate Hamburger, Logiques des genres littéraires, (Die Logik der Dichtung, E.
Klette, J.G. Cotta, 1957), Seuil, 1986.
Roger Odin, De la fiction, De Boeck, 2000.
Thomas Pavel, Univers de la fiction, Seuil, 1988 (Fictionnal Worlds, Harvard
University Press, 1986).
Paul  Ricoeur : La métaphore vive, Seuil, 1975. Temps et récit I, Seuil, 1983,
Temps et récit II. La configuration dans le récit de fiction, Seuil, 1984.Temps
et récit III, Le temps raconté, Seuil, 1985.
Jean Marie Schaeffer : Pourquoi la fiction ?, Seuil, 1999.

Description

Christian Metz, Essais sur la signification au cinéma, Méridiens Klincksieck.


Gérard Genette, Figures 3, Seuil.
Philippe Hamon, Introduction à l'analyse du descriptif, Hachette Université,
1981
Seymour Chatman, Coming to terms The Rhetoric of Narrative in Fiction and
Film, Cornell University Press, 1990
André Gardies, Décrire à l'écran, Méridiens Klincksieck, Nota Bene, 1999

Documenatary

Eric Barnouw, Documentary : A History of the Non-Fiction Film, Oxford


University Press, 1974.
André Bazin, Qu'est-ce que le cinéma ? , Cerf, 1969.
Gianfranco Bettetini, L'Indice del  realismo, Bompiani 1971.
Jean-Paul Colleyn, Le regard documentaire, éd. du Centre Pompidou, 1993.
Guy Gautier, Le documentaire, un autre cinéma, Nathan, 1995 (réédition
1998).
William Guynn, A Cinema of Nonfiction, Associated University Press, 1990.
Geneviève Jacquinot, Image et Pédagogie, PUF, 1977.
Jean-Luc Lioult, A l'enseigne du réel. Penser le documentaire, PUP, 2004.
J. Ch. Lyant et R. Odin éd., Cinéma et réalités, Travaux XLI, CIEREC,
Université de Saint-Étienne, 1984.
Bill Nichols, Representing Reality, Indiana University Press, 1991.
François Niney, L'épreuve du réel à l'écran, Essai sur le principe de réalité
documentaire, De Boeck, 2000.
Roger Odin (éd.), L'âge d'or du documentaire. Europe années 50, 2 volumes,
1998, L'Harmattan.
Roger Odin, De la fiction, De Boeck, 2000, chapitre 12 : « Lecture
documentarisante et problème du documentaire ». 

 
Hari I. Senin, 2 Juni 2008
 
Acara dibuka pukul 9.49 oleh Dekan FFTV IKJ, Marselli Soemarno.
Kerjasama antara  IKJ dan Universitas Paris III Prancis telah berlangsung
selama 2 tahun. Kerjasama ini akan ditingkatkan ke pertemuan pakar.
Universitas Lyon akan membantu program S2 profesional. Jadi akan ada
serangkaian workshop teknis, ex. penyutradaraan, suara, editing, dan
cinematography. Hal ini dilakukan karena banyak teman di luar sana yang
membutuhkan workshop-workshop profesi. IKJ sendiri sekarang sedang
berjuang untuk akreditasi, terutama Film S1 dan D3.
 
Pak Tanete Pong Masak
Kita berterimakasih pada prof. Roger Odin, raja terakhir dari semiotik film
dari Prancis. Semiologi film adalah temuan Prancis, melalui strukturalisme
Christian Metz. Dia bicara saat itu, “Sudah tiba saatnya, semiotika film mati.”
Kami sangat bersedih. Tetapi ternyata semiotik film tidak mati karena masih
ada nabinya yang bertahan, yakni Prof. Roger Odin. Sekarang ini, fenomena
Prancis agak menyedihkan. Tetapi negara-negara lain, ex. Italia, AS, Inggris,
dll, semiotik tetap berkembang.
 
Indonesia sedang berkembang, dengan adanya lingkar semiotic di UI, yang
diakui di berbagai bidang, ex. sastra, arsitektur, antropologi, dll. Dengan
kerjasama UI, semiotika film diharapkan berkembang.
 
Semiotika hadir di mana-mana di Prancis karena tradisi mereka kuat sekali. Di
bidang estetika /sejarah film, konsep-konsep estetika itu tetap hidup. Penetrasi
semiotik kuat sekali di buku-buku estetika film. Roger Odin akan terasa
sangat Lacanian/Freudian dan Metzian, dan sosiologi, terutama Emille
Durkheim. Penting untuk memahami konteks sosial di mana wacana semiotik
itu berlangsung. Perkembangan strukturalisme yang mengintegrasikan
psikoanalisis dan sosiologi-antropologi akan menjadi penting bagi Pak Roger
Odin. Konsep stage of communication juga akan dipakai. Rodin merupakan
raja semiotik.
 
 
Roger Odin
Saya berterimakasih karena telah bisa berada di sini. Saya bisa mengerti
bahasa Inggris. Pertukaran antara IKJ dan Universitas Paris III diinisiasi oleh
Prof. Dubois dan Pak Tan karena beliau yang menetapkan tema-tema seminar
yang akan diangkat. Saya memiliki presentasi dalam USB saya (dalam bahasa
Inggris).
 
Film-film yang akan ditampilkan dalam film ini adalah film-film dokumenter
1950-an, karena masa itu merupakan masa emas dokumenter Prancis. Kita
akan menggunakan karya sutradara-sutradara besar dalam produksi
dokumenter Prancis.
 
Melihat film dokumenter yang dibuat tahun 50-an, membuat kita seperti balik
ke zamannya. Kita akan melihat perbedaan film dokumenter saat itu dan
sekarang, bagaimana sejarah melihat dokumenter dari zaman ke zaman.
Sebagai ringkasan, tujuan saya adalah:
1. menyampaikan prangkat dari semiologi untuk melihat film
dokumenter, tapi ini bisa juga digunakan untuk menganalisis hal-hal
lain
2. memperkenalkan dokumenter Prancis produksi 1950-an.
 
Kita bisa kembangkan teori ini dari pengalamangan kita sendiri. Mengapa
saya membicarakan documenter dan semiotik? Saya lahir di kota St. Ettiene
yang menyimpan arsip terkaya dan terbesar film dokumenter, termasuk
dokumenter pendidikan, dll. Pada awalnya, saya bukan ahli semiotic. Saya
seorang professor linguistic di St. Ettiene. Saya juga membimbing satu
kelompok pembuatan film documenter. Saya lalu bertemu Christian Metz dan
berkat beliau, dua kegiatan yang saya lakukan bisa dikombinasikan. Dan itu
bisa jadi bahan pemikiran bahwa linguistic bisa menjadi satu perangkat untuk
membuat analisa film documenter dan bagaimana berfungsinya sinema.
 
Mengapa saya bicara soal personal? Karena semua orang saya  harapkan bisa
mengenal saya. Kerja seorang peneliti sudah masuk kehidupan pribadi
peneliti, tidak bisa dipisahkan. Saya harus mengakui bahwa tanpa keinginan
untuk hidup sebagai peneliti kita tidak bisa jadi peneliti. Karena penelitian
adalah pekerjaan setiap saat. Setiap detik untuk penelitian.
 
(presentasi)
 
The purpose of the seminar is to propose some methodological tools to
understand:
 how documentary film communicate
 how they produce meaning and affects
 how they address their spectators
 how they are read by these spectators
 and under what conditions those films are able to fulfill the
work for which they were made
 
General problem:
1. what is semiotic?
 
 
Dalam bahasa Prancis, yang sering dipakai adalah istilah semiologi, yang
menurut bahasa Yunani kuno (etimologis) adalah ilmu tentang tanda/wacana.
Tujuan semiologi mencoba memahami bagaimana kita memahami. Atau bisa
juga disebut ilmu produksi makna.
 
Untuk memproduksi makna kita memiliki bahasa. Untuk memproduksi
makna, kita memiliki beberapa bahasa. ex. saya menggunakan bahasa Prancis,
saya menggunakan bahasa gerakan, saya menggunakan tulisan di powerpoint,
dan sebentar lagi saya akan menggunakan gambar. Inilah yang disebut bahasa.
 
Ada ilmu yang telah lama yang meneliti bahasa, ie. bahasa Indonesia, bahasa
Prancis, dll. Ini disebut linguistic. Tujuan linguistic adalah meneliti satu
bahasa hingga memproduksi makna. Misalnya, untuk memproduksi makna,
saya harus mengetahui fonetik (bunyi-bunyi)-nya. Kalau saya sempat belajar
bahasa Indonesia, saya harus belajar bunyi yang tidak ada dalam bahasa
Prancis.
 
Linguistik meneliti grammar/tata bahasa yang memperlihatkan bagaimana
menggunakan bahasa untuk jamak, gender, dll. Yang ketiga, sintaktis,
bagaimana menyusun kalimat. Bahasa Indonesia tampaknya lebih mudah dari
bahasa Prancis. Dan yang keempat, semantic, mengkaji kata dan maknanya.
 
Mengapa saya membahas linguistic? Karena saya berawal dari linguistic dan
karena linguistic merupakan asal-muasal semiologi. Semiologi pada dasarnya
sama dengan linguistic dalam memperlakukan bahasa alam. Semiologi
melakukan hal yang sama tapi pada bahasa-bahasa lain, misalnya gambar,
sinema, ruang, dll. Perangkat ini bisa dilakukan sebagai metodologi, misalnya
pada musik, seni lukis, dan sinema.
 
Semiologi meminjam dari linguistic pemahaman dan metodologi dan yang
paling banyak pendekatan mereka. Para semiolog meminjam satu posisi yang
sangat menarik, yaitu deskripsi. Ketika berhadapan dengan linguistik ada satu
pendekatan yang dipakai: pendekatan tata bahasa. Peran tata bahasa adalah
mengajar pada anak bagaimana menguasai bahasa dengan baik sesuai dengan
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan, ie. dikte, belajar tata bahasa, bagaimana
menyusun kalimat dengan baik. Ini yang disebut tata bahasa. Tata bahasa
bersifat normatif. Kita harus belajar menggunakan bahasa yang baku. Di
Prancis ada buku tata bahasa:Menggunakan bahasa Prancis yang baik dan
benar.
 
Linguis akan mendeskripsikan penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa yang
baik dan benar yang ditanamkan di otak kita bersifat sastra. Apabila kita lagi
minum kafe, bahasa itu akan kedengarannya aneh. Jadi linguis akan melihat
bagaimana bahasa yang digunakan. Bahasa apa yang digunakan saat minum
kopi, saat mengajar, saat menulis laporan ilmiah, dll. Yang disebut tadi
disebut tingkat bahasa. Linguistik juga tertarik dengan bahasa prokem, bahasa
daerah, dialek, dll.
 
Tujuan linguistik bukanlah menentukan sebuah bahasa baik atau buruk, benar
atau tidak benar, tapi mendeskripsikan beraneka ragam bahasa yang
digunakan sehari-hari. Linguistik akan bertanya, mengapa kita menggunakan
bahasa demikian untuk konteks demikian. Ia akan bertanya, mengapa kita
tidak menggunakan bahasa yang sama di sekolah, atau saat minum kopi
bareng teman-teman. Jadi deskripsi cara bahasa dilakukan oleh linguistik.
Sama saja dengan semiolog yang akan menggunakan pendekatan deskriptif
ini.
 
Misalnya, saya akan memiliki pertanyaan yang lain dalam hal estetika.
Seorang kritikus film akan menilai film dari estetikanya, akan menyatakan
film ini bagus, indah, dll, seperti ahli tata bahasa. Seorang semiolog akan
membuat analisa suatu film tanpa menambah penilaian sendiri mengenai
produksi film itu. Di lingkungan sekolah film, orang-orang akan berteriak kok
bisa. Bagi semiologi, sama-sama menarik mempelajari sinema amatir dan
mempelajari film-film profesional. Itu bahasa yang lain.
 
Semiolog mengamati semua jenis film, semua bentuk film untuk memahami
bagaimana berfungsinya film. Sering disebut, film keluarga itu jelek. Kalau
tidak dibuat dengan baik, pasti tidak akan laku. Dalam perspektif itu, seorang
semiolog berhadapan dengan artikulasi dua konteks:film itu sendiri dan
konteks bagaimana film itu dibuat, dilihat, atau didengar. Jadi ada 2
enuciation (paham): film dan konteks. Mereka saling terikat. Cara melihat
semiolog: kita berhadapan dengan artikulasi 2 unsur, berlawanan dengan satu
bentuk tahun 60-an: strukturalisme. Dalam periode strukturalisme, teoritisi
hanya berkonsentrasi pada teks. Alasannya bersifat sejarah. Saat itu, cara
melihat sastra atau film lebih membahas biografi yang membuat, daripada
film itu sendiri.
 
Misalnya, dalam buku pelajaran sastra Prancis dulu, banyak lembar tentang
sejarah pengarangnya, sementara karyanya sendiri hanya ditampilkan sebagai
kutipan pendek. Strukturalisme mendukung/mendorong supaya kembali pada
teksnya, dengan gagasan: setiap teks menawarkan satu struktur. Bahwa
struktur itu yang memproduksi makna. Strukturalisme sangat menarik karena
bersifat positif daripada pendekatan biografis. Ia melihat bagaimana
enunciation sebuah karya.
 
Strukturalisme melihat bahwa teks harus dilihat dan diamati secara teliti. Ada
gagasan bahwa teks hanya memiliki satu makna, jadi setiap teks hanya
memiliki satu makna. Misalnya, satu film satu makna. Itu sama sekali keliru.
Film akan memiliki makna yang berbeda setiap berada di konteks yang
berbeda. Saya memperlihatkan film-film Prancis di beberapa negara dan cara
melihatnya berbeda dengan Prancis. Di Prancis pun, film dimaknai berbeda,
misalnya diputar di Paris, pedesaan atau TV. Jadi konteks sendiri sangat
penting.
 
Kalau kita memproduksi karya film, etc., kita harus mempelajari hubungan
dengan konteksnya. Tidak ada teks tanpa konteks. Kita merasa teks yang kita
baca dalam satu film, tapi orang di dekat kita bisa memiliki teks yang lain dari
kita. Jadi daripada menggunakan istilah semiologi, saya lebih suka
semiopragmatik.
 
Pragmatik adalah ilmu yang meneliti atau membahas penggunaan bahasa. Kita
sering menciptakan istilah-istilah yang rumit, padahal intinya sih sederhana.
Maka saya menggunakan istilah semiopragmatik, yang artinya bagaimana
memahami semiologi/semiotik. Sebuah pesan dipahami dalam hubungannya
dengan pemakaian bahasa, dengan konteks di mana komunikasi itu
berlangsung. Penggunaan bahasa harus selalu dikaitkan dengan konteks di
mana produksi pesan itu berlangsung. Pragmatik berkembang di negara
Anglo-Saxon, sebagai bagian dari linguistik dan filsafat.
 
Pada awalnya, kita mulai menyadari hubungan antara teks dan konteks. Saya
memprovokasi, film tidak memiliki makna jika tidak dalam konteks. Karena
kita semua membagi konteks bersama, bahwa kita semua manusia. Pada
tingkat tertentu, ada sifat yang universal untuk semua manusia. Jadi paling
tidak, dalam satu konteks tertentu, semua orang menuju arah tertentu.
 
Hubungan antara teks dan konteks adalah persoalan komunikasi. Model
komunikasi klasik, anda sudah tahu, adalah sebagai berikut.
 
Sender                                             Message              Receiver
 
 
Message bisa mencakup film, novel, dll. Pesan disampaikan. Misalnya, saya
sedang bicara dan saya menyampaikan satu pesan. Dalam kenyataan bukan
demikian. Saya mengacu pada dua buku berikut: Sol Worth, the development
of a semiotic of film, semiotica, 1969, 1-3.
 
Worth adalah etnolog dan pembuat film Navao. Ia menemukan bahwa Navao
tidak membuat film seperti yang kita bikin. Dalam menceritakan suatu kisah,
kita bisa melihat orang berjalan saja. Event-event penting dianggap sudah
diketahui orang. Jadi kita bisa melihat orang berpindah dari efek satu ke efek
lain tapi efeknya sendiri tidak ditampilkan. Seperti dalam Ramayana, epos-
epos sudah diketahui oleh orang. Yang belum diketahui barulah disampaikan
kepada orang secara baru.
 
Ada kaidah-kaidah lain yang tergantung pada budaya. Jarak kebudayaan
kadang sangat jauh, kadang dekat sekali. Maka model yang tadi harus diganti
dengan model yang sekarang. Sekarang kita memiliki dua ruang produksi
makna yang terpisah. Misalnya, saya di ruang produksi, saya coba
memproduksi makna. Dekodifikasi: membongkar kode-kode bahasa sehingga
bisa memahami maknanya.
 
Menggunakan istilah dekodage dan codage itu menimbulkan kesan, kita
menggunakan kode yang sama, padahal tidak selalu begitu. Karena dalam
ruang pembacaan, ada produksi makna lainnya. Apa yang terjadi di sini adalah
contoh nyata. Saya bicara Prancis, dan penerjemahnya orang Prancis. Itu
masalah pertama karena pembicara dan penerjemah tidak memiliki latar
belakang konteks yang sama.
 
Jadi wajar jika dalam proses penyampaian pesan, tidak ada komunikasi, tidak
ada pemahaman antara yang mengirim dan menerima pesan. Walaupun wajar,
tapi pasti ada sedikit hal yang bisa dipahami. Jadi ada komunikasi, meski
hanya sedikit komunikasi. Komunikasi sebenarnya pekerjaan yang rumit.
Kedua medan produksi ini bisa memiliki makna yang berdekatan, tapi
biasanya sangat berlainan. Jadi apa yang bisa kita mengerti bisa jadi
hambatan. Sebagai produser makna, kita memiliki satu jariangan hambatan
yang membuat kita meproduksi.
 
Hambatan:
1. bahasa yang digunakan. Bahasa bukan hanya untuk pengungkapan-
pengungkapan, tapi juga untuk pembacaan. Etnolog menginterpretasi
gambar melalui bahasa. Kita menginterpretasi dunia dengan bahasa.
Itu yang disebut vectorisasi pembacaan. Bahasa Prancis dibaca dari
kiri ke kanan. Di Arab, sebaliknya. Hal ini ada pengaruhnya pada
bagaimana melihat gambar. Misalnya, dalam menerbitkan komik di
Arab, susunannya harus berubah. Ini sangat penting dalam pembacaan
gambar, iklan, atau film karena harus disesuaikan dengan pembacaan
suatu, misalnya, bangsa. Misalnya, iklan di Prancis mereknya selalu di
bawah kanan karena sesuai dengan sistem pembacaan di Prancis, suatu
sistem yang tak berlaku di Arab. Di perfilman dan teater, vectorisasi
sangat penting. Ketika masuk suatu tokoh dalam film/teater, masuk
adegan itu dari kiri, ini yang paling wajar. Masuk dari kanan
dampaknya akan berbeda. Hal ini mungkin tidak berlaku di negara
yang sistemnya berbeda. Jadi kita bisa melihat bahwa sutradara
Prancis menggunakan panoramik dari kanan ke kiri, untuk
mengganggu penonton. Misalnya dalam film Costa Grava mengenai
terorisme saat terjadi peledakan bom. Polisi menghentikan mobil yang
sedang antri. Costa Grava memfilmkan antrian dari kanan ke kiri untuk
menambah tekanan penonton. Penting untuk komunikasi bahasa
sendiri dan membaca gambar.
 
2. Determinasi yang penting adalah sosial dan budaya.
 
Hal ini bisa dikaji dalam tingkat-tingkat yang berbeda. Seperti Hints yang
beranggapan ada sejumlah individu menggunakan cara produksi yang
sama, yang keseluruhannya bisa membentuk gaya. Ketika kita pindah
bahasa, kita berubah ruang produksi makna sehingga komunikasi adalah
pekerjaan yang susah. Kalau kita lihat dari satu budaya ke budaya lain, ada
produksi makna yang berbeda. Di dalam satu budaya, juga ada produksi
makna yang berbeda.
 
Ada berbagai cara/tingkat cara produksi, tergantung dari lingkungan dan
usia kita. Inilah tugas seorang sosiosemiolog untuk memahami dan
mempelajari ini.Hambatan-hambatan yang disebut tadi menimbulkan
proposisi bahwa ada paham-paham/ruang yang disebut tadi. Sangat rumit
mendaftar persoalan komunikasi, jadi akan bagus untuk menyusun teori
tentang alat komunikasi.
 
Misalnya, melihat satu kasus secara lokal, sehingga kita bisa mengatasi
sejumlah persoalan dalam ruang itu. Rintanganlah yang memungkinkan
adanya komunikasi. Membentuk pengirim dan penerima dalam konteks
yang sama. Tanpa rintangan, komunikasi tidak berfungsi. Paham ruang
komunikasi itu bersifat teori karena teoritisi harus bisa menyatakan apa
yang bisa dia lakukan dan apa yang tidak. Ruang komunikasi bukanlah
kenyataan riil karena saya menyusunnya sesuai dengan kemampuan
sendiri. Artinya, ada batas. Misalnya, saya bukan psikoanalisa, jadi saya
tidak akan menganalisis menggunakan psikoanalisa.
 
Salah satu hal penting yang akan dibahas adalah fictional drive. Semua
manusia ingin mendengar cerita. Fictional drive ada di dalam diri semua
orang, ini mempermudah komunikasi fiksi. Fiksi berjalan dengan baik di
mana-mana, karena di semua ruang budaya dan sosial karena ada drive-
nya. Bukan berarti kita memahaminya dengan cara yang sama. Pertanyaan
kita atas documenter, bagaimana kita bisa bernegosiasi dengan fictional
drive ini padahal kita menawarkan film documenter? Karena tidak ada
pilihan karena setiap penonton documenter memiliki fictional drive.
 
Bagaimana film documenter bisa beredar di suatu konteks tertentu? Ini
sangat paradoks. Kita akan mulai dari fiksi. Memang fiksi dalam diri
kita.Film dokumenter di dalam ruang komunikasi sendiri jadi harus
mendapat jalna keluar.
Nanti kita akan membahas dengan lebih mendalam.
 
 
Pak Tanete Pong Masak
Hubungan antara teks dan konteks menjadi sesuatu yang penting. Berbeda
dengan strukturalisme yang hanya berfokus pada teks, populer tahun
1960-an, beliau menawarkan konsep baru di mana konteks/lingkungan itu
memberi hal yang menentukan dalam komunikasi. Ini pengaruh dari
sosiologi. Saussure adalah murid dari Emille Durkheim, dosen pertama
sosiologi, yang sangat mementingkan konteks.
 
Saussure mendefinisikan semiologi yang mempelajari tanda-tanda dalam
kehidupan sosial. Sosial menjadi penting. Setelah itu, linguistik
mengembangkannya dan cenderung ke strukturalisme. Definisi
komunikasi beliau merevisi komunikasi klasik, dengan pembentukan dua
ruang pembacaan.
 
Untuk memproduksi mode of production, kita harus memahami
kebudayaan, kelas sosial, pribadi, etc. Saussure menawarkan konsep
parole yang bersifat personal/pribadi, berdasarkan asal-usul genetic, kelas
sosial, sejarah, dll. Tidak mungkin menemukan pemahaman yang sama
pada setiap orang. Ini adalah tugas dari sosiosemiolog, yakni seorang
semiolog yang memahami sosiologi. Fictional drive berasal dari Jacques
Lacan, seorang psikoanalisa. Setiap orang memiliki dorongan fiksi,
termasuk dalam pembuatan film documenter.
 
 
Pertanyaan/Diskusi
 
Evi
Anda membedakan film semiolog and film critic. Film Semiolog asks
different question. Tetapi apakah hasil dari kedua cara ini akan sama atau
memberikan posisi politik yang berbeda?
 
Roger Odin
Karya semiotician menerangkan tentang bagaimana sebuah karya di dalam
konteks. Kadang anda harus berhubungan dan menjawab pertanyaan
politis dan ideologis. Semiolog harus melihat determinasi ini. Ini
merupakan pertanyaan yang penting dalam lapangan kebudayaan.
 
Di dalam ruang komunikasi, berbagai determinasi bercampur sangat
kompleks. Politik dan ideologi merupakan determinasi yang penting,
sangat penting. Dan semiologi harus memempertimbangkan ini.
 
Renal
Apakah problem mendasar dari pendekatan semiotik ini dalam
hubungannya dengan semiotik Pearce?
 
Roger Odin
Tentu saja karena Pearce juga seorang semiolog. Tapi saya menggunakan
pendekatan yang berbeda. Saya percaya bahwa semiotik digunakan untuk
memahami teks dan konteks. Pearce lahir dari pragmatisme Amerika, yang
sangat berbeda dengan tradisi Prancis. Saya memahami sosiologi Prancis
lebih baik. Kita memiliki pertanyaan yang sama. Tetapi kita memiliki
tools yang berbeda. Ini persoalan kompetensi. Pearce tidak bicara banyak
tentang sosiologi.
 
Pak Tanete Pong Masak
Pearce kuat sekali dengan pragmatisme AS. Di dalam semiotika Prancis,
dia tidak terlalu digunakan karena tradisi semiotika Prancis berasal dari
linguistik struktural, yang terpengaruh psikoanalisa dan sosiologi. Ini
merupakan suatu persaingan.
 
Yudha
Proses tadi memiliki persamaan dengan coding dan decoding?
 
Roger Odin
Dalam teori encoding dan decoding, ada anggapan bahwa kode yang
dipertukarkan adalah kode yang sama. Saya tidak setuju dengan ini. Saya
lebih suka membicarakan proses ganda produksi makna, di mana ada dua
ruang yang malah bisa bertentangan. Komunikasi jarang menawarkan
makna secara langsung. Ada makna yang dipahami secara sama di antara
manusia (universal) tapi saya melihat bahwa ada bagian pemaknaan yang
berasal dari penerima/pembaca. Makna yang diproduksi pembaca sama
pentingnya dengan makna yang diproduksi sutradara/penulis. Saya tidak
suka istilah reseptor/penerima, karena pada dasarnya penerima itu
memproduksi makna.
Ada peran aktif dari reseptor/penerima, jadi saya lebih suka bicara tentang
proses produksi makna yang berganda. Karena pembuat dan pembaca
memproduksi makna yang kadang bertentangan.
 
Prof. Oka
Saya lebih suka Saussure, tapi Pearce belum bisa dipahami sepenuhnya.
Dalam bahasa yang sama, kadang tidak terjadi komunikasi karena latar
belakang berbeda. Jadi ada pengetahuan yang dimiliki bersama, ada
pengetahuan yang tidak dimiliki bersama. Pengetahuan inilah yang jadi
rintangan.
 
Bagaimana dengan vectorisasi? Vectorisasi adalah rintangan. Misalnya,
saya lahir dari Prancis. Saya memiliki vectorisasi dari kiri ke kanan.
Seandainya saya lahir di Aljazair/Mesir, vectorisasi dari kanan ke kiri. Jadi
ini semacam arah membaca.
Rintangan ini lebih ke keharusan-keharusan.
 
Tanete Pong Masak
Ini merupakan istilah sosiologi Emmille Durkheim, yang bisa
diterjemahkan ke dalam rintangan/hambatan (constraint). Individu itu
merdeka, tetapi ternyata bagi Durkheim, seorang individu itu sama sekali
tidak bebas. Ada batasan-batasan sosial dan tidak bisa dilangkahi oleh
individu, dan tergantung dari kelas, agama, usia, dll. Dan inilah yang
membatasi orang. Menurut Durkheim, yang menentukan adalah sosial,
bukan individu. Hal ini penting untuk memahami kehidupan individu di
dalam masyarakat. Constraint yang dipakai Durkheim diacu oleh
Saussure.
 
Lisa
Unsur-unsur yang disebut di tengah, hanya disebut hambatan. Unsur-unsur
itu bisa menjalankan berbagai fungsi sekaligus, bisa menghambat atau bisa
memperlancar proses pemaknaan.
 
Roger Odin
Dalam pilihan kosakata, saya memiliki masalah karena dalam bahasa
Prancis, kata ini ada unsure negatifnya. Saya kadang memakai kata
determinasi tapi belum puas juga.
 
Seseorang
Film itu kan bahasa yang komunikatif. Bagaimana dengan film
dokumenter?
 
Roger Odin
Saya akan menjawab setelah makan siang.
 
Sesi I selesai jam 12.28.
 
Makan siang.
 
Sesi II. Dimulai jam 13.54
 
 
Roger Odin
Saya ingin melanjutkan mengenai hasrat akan fiksi. Pertanyaannya adalah apa
yang dilakukan seorang penonton dalam memproduksi makna?
 Menyusun suatu dunia.
Fiksi membuat kita masuk ke dalam satu dunia. Ini cara khas untuk menyusun
suatu ruang. Dunia bisa didefinisikan sebagai ruang yang bisa dihuni. Jadi
ruang hidup di mana ada tokoh di dalamnya, alien, manusia, binatang, dll.
Belum tentu itu bisa dapat dihuni, belum tentu itu dihuni. Jadi bisa saja film
memperlihatkan dunia tanpa tokoh. Tapi bisa saja ada sesuatu yang hidup di
dalamnya. Misalnya, di power point , ruang yang bersifat grafis.
 
Ruang bisa disusun secara simbolis juga, ex. simbol dewa-dewi. Mereka
hanya hadir sebagai simbol. Misalnya, kita lihat di candi, ada dewa-dewi yang
diukir. Itu suatu dunia. Tetapi ada juga dewa-dewi yang diukir tapi hanya
sebagai simbol. Jadi misalnya, lukisan abstrak. Itu merupakan suatu ruang
dengan rupa. Tidak ada dunia, tidak ada simbol, tapi satu ruang dengan warna
dan tanda. Jadi ada beberapa cara untuk menyusun ruang, tetapi dalam film
hanya ada satu cara yakni fiksi. Fiksi menciptakan dunia, di mana bisa
dimasukkan satu simbol. Bisa juga memasukkan ruang tekstual, misalnya
tokoh yang membaca surat. Menyusun satu dunia bisa saja menciptakan
berbagai ruang. Itulah kekhasan ruang dunia, bisa mengintegrasikan ruang
lainnya. Itu tidak berlaku untuk ruang-ruang lainnya.
 
Masuk ke ruang fiksi pertama-tama berarti masuk ke ruang dunia. Jadi melihat
sebuah fiksi masuk ke sebuah dunia di mana ada suatu cerita. Strukturnya
khas, yakni struktur naratif. Kekhasan struktur naratif adalah ada titik awal
dan titik akhirnya. Membuat cerita dari awal dan kemudian berubah di akhir.
Ada cerita, kalau ada perubahan.Kadang-kadang perubahan tidak jalan, tapi
setidaknya ada usaha untuk transformasi. Jadi saya kembali, tidak wajib
keadaan terakhir berbeda dari yang awal, tapi setidaknya ada usaha untuk
perubahan. Supaya ada cerita:
a. ada poros dimana ada kejadian-kejadian (poros waktu/temporer)
b. ada usaha untuk mengubah keadaan di awal.
 
Misalnya, ada tokoh yang miskin lalu mencari emas di sungai. Ada usaha
untuk menemukan emas. Jadi membuat struktur waktu, dengan semua
kejadian yang ada. Karena ada struktur yang tidak memiliki unsur
naratif/bercerita. Misalnya, kuliah/seminar hari ini. Di sini saya membuat
artikulasi dan coba menyampaikannya. Tapi saya tidak ingin membuat
transformasi, apalagi saya tidak terjadi di sebuah ruang/dunia yang sengaja
diciptakan.
 
Cara lain untuk membentuk struktur naratif adalah lewat puisi. Puisi bisa
menciptakan sebuah dunia, dalam batas tertentu. Jacobson membedakan yang
bersifat puisi dan poetik. Ada puisi yang tidak poetik, tetapi ada poetik dalam
cerita/prosa.
Jadi untuk membuktikan apa yagn ia sampaikan, ia menggunakan contoh
dalam iklan. Misalnya, presiden Eisenhower sedang berkampanye, I love
Aike. Ini poetic karena ada permainan bunyi. Jadi menonton fiksi itu
membentuk ruang dunia.
Berikutnya, fiksi membangun hubungan emosi dengan penonton.
Jadi sebuah fiksi akan berusaha membuat penonton menggetarkan/melibatkan
emosi penonton setiap kali ada kejadian. Mise en face: metaphor yang diambil
dari istilah listrik, ketika kurva arus sama.
 
Akan ada usaha stilistik supaya penonton merasakan hal yang sama dengan
tokoh. Hubungan ini yang khusus dalam fiksi antara karya dan penontonnya.
Dalam penyusunnya ada yang disebut penutur (enunciator), ini bukan hanya
pencipta/penulis saja. Tapi semua pihak yang membangun dunia fiksi.
Enunciator bukan hanya penulis novel, tapi misalnya, desainer/lay outer, dll.
Mereka semua bertanggung jawab atas hasil dunia fiksi itu. Mereka semua
saya sebut enunciator. Jadi semua orang yang berpartisipasi dalam
memproduksi sebuah teks disebut enunciator. Misalnya, masyarakat di mana
bukunya dibuat, juga termasuk yang saya sebut enunciator. Misalnya, satu
teks ditulis Prancis abad 17 sangat berbeda dengan teks Indonesia yang ditulis
masa kini.
 
Enunciator bukan hanya individu, tapi masyarakat juga. Misalnya, unsure-
unsur teknik yang termasuk dalam unsure enunciator tadi. Satu film yang
dibuat dengan film 35 mm pasti akan berbeda dengan film yang dibuat dengan
video karena perbedaan dalam kecermatan gambar yang mengubah hubungan
antara karya dan penonton. Jadi enunciator sebenarnya adalah struktur yang
kompleks. Enunciator termasuk semua hal, individu, masyarakat, teknik,
modal, dll., termasuk penonton. Penonton juga memproduksi makna.
Enunsiasi: pembuatan hubungan enunciator ini. Jadi kalo film sebagai fiksi,
ada konstruksi enunciator yang khas/khusus. Dan ini sangat penting dalam
pemahaman tentang documenter.
 
Aturan dalam fiksi: jangan mengajukan pertanyaan ke enunciator karena telah
ada kesepakatan antara penonton dan pencipta dalam membacanya. Kalau
saya nonton film fiksi, saya tidak boleh menanyakan kepada enunciator
tentang kebenaran fiksi itu. Kalau saya bilang, itu bohong, berarti saya keluar
dari medan enunciation. Tetapi kita boleh menanyakan kebenaran dalam
cerita. Tapi dalam fiksi, kita tidak boleh menanyakan identitas enunciator.
 
Jadi harus membedakan antara film yang dibuat dan cara membaca oleh para
penonton. Jadi jika kita menonton film, tanpa mempertimbangkan siapa
pembuatnya, jenisnya, kita tetap melihatnya sebagai fiksi. Kita harus
membedakan sisi produksi dan sisi pembacaan film. Jadi saya memberikan
makna yang lebih luas dalam pengertian fiksi. Fiksi diartikan sebagai istilah
sehari-hari dan seni.
 
Pembacaan teks sebagai fiksi tanpa mempertanyaakn kebenaran yang
disampaikan dan kenyataan, atau mengenai identitas enunciator. Saya keluar
dari fiksi ketika saya menanyakan produksi/cara pembuatan film, dll. Kita
harus percaya untuk tidak mempertanyakan. Jadi itu sangat penting. Nonton
film sebagai fiksi berarti masuk ke sebuah dunia, mengikuti dan menjadi
selaras alur cerita dan kejadian, dan tidak mengajukan pertanyaan ke
enunciator.
 
Kita akan nonton film Partie de Compagne (1945). Kita akan melihat awal
sebuah fiksi karena di dalam awal film, ada kesepakatan dengan penonton.
Karena filmini pengen dilihat sebagai fiksi, poem, etc.
 
Nonton film.
 
Film tadi dibuka dengan gerakan kamera yang panoramic, dari jembatan ke
kereta. Panoramik (vectorasasi) sudah kuat dan menyatakan inilah keluarga
yang akan kita kenal. Panoramik berikutnya dari kiri ke kanan, jadi tidak
terlalu memperkenalkan dengan menekankan keluarga tsb. Panoramik
berhenti pada seseorang yang memancing ikan. Inilah tema yang akan
diangkat film: memancing ikan dan memancing perempuan. Metafora
memancing wanita itu dikembangkan secara eksplisit di dalam film.
Lanjutannya, POV menjadi subyektif. Kita berada di dalam kereta dan rumah
makan. Kita melihat apa yang dilihat oleh keluarga itu.
 
POV subyektif itu kita memiliki pandangan yang sama dengan tokoh
keluarga. Kemungkinan kita melihat dua tokoh laki-laki yang tertarik dengan
kehadiran dua tokoh perempuan. Dan cerita sudah mulai saat salah satu tokoh
membuka jendela untuk bisa memandang perempuan2. Begitulah struktur
naratifnya.
 
Cara pandangnya dari orang yang mengintip. Untuk menimbulkan efek
penonton mengikuti kejadian, film menempatkan kedua tokoh laki-laki
sebagai penonton dan jendela menjadi layarnya.  Jadi seolah-oleh kedua laki-
laki itu sedang duduk dan menonton tayangan di mana ada perempuan sedang
bermain. Penonton mengikuti ini. Jadi, yang disebut kesepakatan enunsiasi
sudah ditetapkan di awal, saat ada tulisan karya Maupassant.
 
Dan kontrak/kesepakatan adalah fiksi dengan sendirinya sudah ada ketika
penonton sudah datang untuk menonton. Karena bioskop, fiksi tidak perlu
menyatakan diri. Dengan sendirinya, bioskop membuat penonton menonton
fiksi. Justru film-film yang tidak fiksi, harus membuat penonton keluar dari
dunia fiksi sehingga penonton merasa itu sebagai fiksi. Apalagi kita memiliki
fictional drive. Jadi secara spontan, kita pasti akan menonton fiksi sebagai
fiksi. Pengajar/dosen film selalu meminta mahasisawanya untuk keluar dari
fiksi ini.
 
 The discursive documentary
contoh: Notre Planete, la terre
 
Film documenter diambil karena ia jauh dari fiksi dan kesepakatan fiksi.
Dokumenter tidak berenunsiasi seperti fiksi. Dokumenter berlawanan dengan
fiksi. Ini merupakan dokumenter pedagogi/pendidikan yang ditonton anak-
anak. Ini contoh film yang tidak yang keluar dari kontrak fiksi karena
membuat orang harus belajar. Jadi ini diskursif.
 
Film ini dibuat oleh Institut Ilmiah yang berteman dengan kaum Surealis.
Surealis ingin memutus hubungan dengan realitas. Produksi yang bukan karya
seni bisa dijadikan seni. Benda sehari-hari yang ditandatangani bisa menjadi
seni.
Film ini menggunakan peralatan yang dibuat seperti oleh anak-anak. Ada
lukisan2 yang bersifat naif. Saya ingin anda melakukan pembacaan ganda.
Dokumenter ini memberikan informasi tentang dunia kita, dan permainan
juga, bahwa dalam film itu akan mencari referensi/aliran Surealis.
 
Menonton film.
 
Film ini memunculkan pertanyaan tentang dokumenter.
 
Tanya Jawab
 
Evi
Karena anda mempelajari film sebagai seorang scholar, apakah masih
mungkin melihat film sebagai fiksi?
 
Roger Odin
Sebuah pertanyaan yang bagus karena sebagai scholar, saya banyak
mengajukan pertanyaan pada film. Tetapi hal ini juga yang membuat saya
menghargai film. Fictional drive sangat kuat. Ada kompetisi di dalam saya
sendiri.
 
Yudha
Apakah ilustrasi musik dalam film documenter juga merupakan upaya dari
fiksi?
 
Roger Odin
Musik menambah fiksionalisasi. Hampir selalu musik mendorong penonton
untuk masuk ke ruang fisik, terutama di bagian terakhir film yang kita tonton.
Musik kadang-kadang mengarahkan kita ke fiksi dalam momentum-
momentum tertentu.
 
Ikhsan
Sekarang ini tidak ada beda lagi antara film fiksi dan dokumenter. Bagaimana
ini?
 
Roger Odin
Film fiksi dan dokumenter tetap berbeda. Ada dokumenter yang menggunakan
cara fiksi. Saya sangat terganggu dengan pernyataan bahwa film dokumenter
sudah semakin fiksi. Itu sangat berbahaya karena menyangkut ideologi. Ada
unsur-unsur yang nanti saya presentasikan bahwa dokumenter tetap bisa
dipertahankan. Film dokumenter harus dibaca sebagai dokumenter. Karena
kalau tidak, kita keluar dari kontrak.
 
Stefan
Musik dari film ini tidak alami, jadi seperti fiksi. Kedua, voice-over. Saya
ingin tahu siapa dan peran apa yang ia mainkan. Saya meragukan ini jadi
documenter. Lalu teks juga jadi persoalan.
 
 
Roger Odin
Anda benar sekali dalam hal musik. Musik dalam film ini mendorong ke
fiksionalisasi. Voice-over adalah ciri khas dari film-film yang diproduksi pada
masa itu. Voice-over itu memberi banyak informasi dan ini bersifat didaktis.
Karena film ini digunakan untuk sekolah (pendidikan).
 
Budi Wibawa
Saya menggolongkan pendekatan anda ke dalam post-strukturalisme karena
anda menolak strukturalisme (struktur sebagai teks). Apa pendapat anda
tentang post-strukturalisme yang tidak membedakan realitas fiksi dan realitas
yang sesungguhnya?
 
Roger Odin
Saya tidak suka post-strukturalisme karena mereka cenderung mencampur
semuanya. Padahal saya ingin membedakan antara seni dan pendekatan
estetik. Post-struktulisme itu bahaya karena tidak jelas. Posisi saya sebagai
profesor di bidang akademik, tetapi dengan membuat deskripsi, saya
melakukan sesuatu yang civilised dan bermanfaat bagi masyarakat.
 
Pak Tanete Pong Masak
Di post-strukturalisme, ada berbagai perdebatan, misalnya tentang adanya
kebenaran. Foucault masih mengacu pada konsep verite. Kalau ia bicara
tentang seksualitas, power, dll., akhirnya tetap pada permasalahan yang sangat
kental: apakah seks itu sesuatu yang tabu atau tidak?  Bahwa ia mati karena
AIDS, ini adalah hal yang mengerikan. Saya kagum pada Foucault dan
Derrida yang berani mempertanyakan hal-hal yang tidak mungkin. Roger
Odin mengatakan ada batasan2 yang di dalam masyarakat sulit untuk kita
lawan. Ada kebenaran yang tetap kita pertahankan sebagai sebuah wilayah
kebudayaan/keilmiahan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hari I. Selasa, 3 Juni 2008
 
Workshop dibuka pkl.10.03.
Kemaren kita menyelesaikan hari pertama dengan film Notre Plannette karena
ada bebearpa hal yang bisa dibahas dari film documenter tsb. Jadi, kita semua
sebagai manusia memiliki hasrat akan fiksi. Dalam melihat dokumenter, kita
harus bernegosiasi dengan hasrat itu.
 
Saya memilih film dokumenter kemaren paling jauh dari film fiksi. Walaupun
judulnya Planet Bumi Kita, kita diperlihatkan sebuah dunia. Jadi, kita lihat di
dalam film, ada peta, gambar, maket, tapi sedikit sekali tentang dunia. Jadi
yang kita dapat dari film itu adalah ruang didaktik. Karena peta, maket sudah
merupakan komentar tentang dunia. Film di bagian terakhir ada cerita tentang
dunia, tetapi bersifat dokumenter dan didaktik. Jadi tidak ada cerita seperti di
dalam fiksi. Ada beda antara narasi dan diskursus.
 
Dari segi emosi, tidak ada yang disebut mise en face: membuat penonton
tegang dan beremosi. Memang sempat disinggung soal musik yang membuat
ketegangan/emosi, tapi itu tidak terus-menerus hadir untuk memberikan
ketegangan. Dalam film fiksi ada pembentukan enunciator. Berbeda dengan
fiksi, dalam dokumenter, penonton dituntut bertanya tentang kebenaran dari
segi ilmu dan kebenaran yang disajikan film. Dan kita boleh bertanya tentang
enunciator dan kita sudah diberitahukan sejak awal bahwa film ini di bawah
institut ilmiah. Jadi kita pasti tahu bahwa itu dibuat secara ilmiah oleh institusi
itu.
 
Dalam non-fiksi kita boleh bertanya pada enunciator:siapa dia, bagaimana
proses enunciation, bagaimana enunciator membuat film? Dalam documenter
ini, ada konstitusi dunia lewat maket:bagaimana membuat filmnya. SEkarang
kita bisa membangun suatu model film documenter. Bagaimana membuat satu
film documenter menurut  berbagai operasi seperti yang dilakukan oleh film
fiksi?
 
Fiksi:penceritaan ruang dunia, ada emosi, ada cerita, tidak boleh mengajukan
pertanyaan pada pengujar. Hal apa saja yang bisa dilakukan dalam film
documenter? Sisi khasnya adalah bagaimana membentuk enunciator. Pengujar
dalam film dokumenter dibentuk seperti satu sisi/dunia dengan penonton. Jadi
berbeda dengan fiksi, enunciator dalam dokumenter bisa ditanya. Jenis
pertanyaan apa bisa disejajarkan dengan fiksi:identitasnya, siapakah anda,
kompetensinya apa sampai anda bisa menyampaikan informasi ilmiah seperti
itu? Jawabannya sudah ada: saya adalah institusi ilmiah. Kita bisa bertanya,
bagaimana filmnya dibuat. Misalnya, apakah anda betul2 berada di tempat
kejadian itu terjadi? Atau anda merekonstruksinya? Dan dalam hal itu, film
kemaren tidak menutupi dalam menggunakan gambar, maket, dll. Tidak ada
usaha untuk menutupinya.
 
Bagaimana anda membuat film adalah pertanyaan penting. Bisa saja ada
siaran2 yang orang berhak mempertanyakan kebenarannya. Dan pertanyaan
paling penting: apakah yang disampaikan benar atau rekayasa?
 
Saya ingin menggarisbawahi masalah kebenaran itu. Yang membuat sebuah
film disebut dokumenter bukan karena ia menyampaikan kebenaran. Sebuah
film disebut dokumenter karena kita bisa menanyakan kebenarannya.
Misalnya di bagian terakhir film. Ada perkiraan bumi akan menyerang seperti
bulan dan meletus. Tidak ada yang bisa menyatakan persis ini akan terjadi.
Apakah ini bisa diantisipasi dengan benar oleh pembuat film dalam membuat
perkiraan seperti itu?
 
Wacana yang disampaikan dalam film tidak benar, maka kita tidak masuk ke
dunia fiksi. Itu keliru. Misalnya, ada film yang menyampaikan kebohongan
untuk tujuan propaganda. Kita masih bisa mempertanyakan kebenaran dalam
film seperti ini. Jadi ada film yang memiliki kesalahan, tapi kita tetap
mempertanyakan/memberikan jawaban yang lebih benar. Wacana yang
disampaikan kemaren itu kuno dan sekarang kita mengetahui kebenarannya.
Film dokumenter kemaren meski memiliki kesalahan tetap merupakan film
dokumenter.
 
Jadi dalam dokumenter, kita masih bisa mempertanyakan kebenarannya.
Tidak berarti bahwa dokumenter secara implisit menyajikan kebenaran. Cara
membentuk enunciator ada hubungan erat dengan penonton. Kalau kita
nonton fiksi, kita tenang karena kita tidak bertanya. sementara dokumenter
memaksa penonton untuk bertanya. Kita sebagai penonton tidak selalu ingin
bertanya. Hal itu menjadikan dokumenter kurang diminati dibandingkan
dengan fiksi. Jadi sebagai penonton film dokumenter, kita tidak tenang, kita
bukan penonton biasa yang berhadapan dengan para enunciator. Tentu kita
tidak  siap membayar untuk bertanya.
 
Bukan berarti bahwa nonton film tidak menimbulkan pertanyaan. Tetapi
ketika masuk ke fiksi, kita tidak boleh bertanya dulu. Kita sudah masuk dunia
fiksi. Dalam fiksi, seolah-oleh ditutupi bahwa ada pertanyaan suatu saat.
Inilah kekuatan ideologis film fiksi. Bisa memanipulasi. Kesepakatan bahwa
kita berhadapan dengan fiksi, mengajak penonton untuk mengikuti cerita
karena fiksi menyajikan nilai yang riil. Nilai-nilai disampaikan tersamar di
belakang fiksi dan itu memberikan kekuatan yang sangat besar pada fiksi
secara ideologis. Sementara dalam dokumenter menyampaikan wacana
ideologis, kita sudah akan tahu/jelas. Sudah jelas akan ada wacana ideologis.
Karena dalam fiksi, sangat sulit melihat wacana ideologis karena tersamar di
belakang peristiwa/action.
 
Di Cinema du Reel, saya sempat menonton film Garin Nugroho. Sudah jelas
dalam filmnya bahwa film2nya militan karena film2nya bersifat politik. Tapi
kesepakatan sudah jelas karena penonton sudah tahu akan menonton film-film
dengan nilai politik. Penonton bisa setuju atau tidak. Di dalam fiksi, penonton
sangat sulit untuk tidak setuju.
Karena sistem nilai disampaikan secara tersamar dalam peristiwa/fiksi. 
Ideologi ditutup-tutupi.
 
Jadi pertanyaan mengenai kebenaran adalah pertanyaan yang mutlak diajukan
untuk membedakan film fiksi dan dokkumenter.Ini adalah salah satu operasi
enunciation. Untuk fiksi ada 3 tga lagi: menciptakan sebuah dunia,
menciptakan suatu cerita, dan merancang sedemikian rupa ketegangan emosi.
Film kemaren tidak ada penciptaan suatu dunia. Dari segi wacana, kadang
sedikit ada narasi. Jadi jauh lebih sulit dalam film dokumenter. Bisa aja film
dokumenter yang menyampaikan emosi kepada penonton. Tapi dalam video
pedagogi, mereka tidak peduli hubungan dengan penonton.
 
Kontraknya jelas kalau dalam fiksi. Setiap nonton film dokumenter, kita tidak
pernah tahu apa yang akan kita hadapi. Mungkin kita akan membentuk suatu
cerita, atau wacana,kita belum tahu. Kita tidak tahu apakah akan diajak ke
dalam suatu dunia, atau disajikan maket, peta, dll. Itu salah satu unsure lagi
bahwa penonton tidak begitu ramai dalam film documenter karena kita tidak
tenang karena kita tidak tahu harus melakukan apa, baik afektif, kognitif, dll.
Kedua hal ini lebih rumit dibentuk dalam film documenter karena semua
mungkin terjadi. Yang jelas, pembentukan enunciator. Yang jadi masalah,
operasi 2 lain yang kita tidak tahu. Pembentukan enunciator satu-satunya
unsure yang stabil dalam proses menghadapi sebuah film documenter.Dan
posisi enunciator tidak menenangkan penonton karena dia harus bertanya
banyak.
 
 
Dalam pembentukan documenter, kita mengerti mengapa film documenter
hidup di lngkungan fiksi. Akibatnya, kalau kita melihat documenter, kita harus
bernegosiasi hasrat akan fiksi. Kalau documenter ingin diterima penonton,kita
harus ssesuai dengan fictional drive. Bahayanya, documenter dibaca sebagai
fiksi. Untuk menghindarinya, kita harus bilang bahwa ini film documenter.
Kita bisa diskusi tentang apa yang akan diberikan oleh film documenter itu.
 
Kita sering membicarakan kesepakatan pembacaan, tidak cukup hanya saperti
ini karena tidak cukup dalam perspektifnya. Yang penting adalah janji yang
diberikan film. Hal ini terasa sekali dalam TV. Jadi film dokumenter, apa yang
dijanjikan?
 
Misalnya, enunciator berjanji akan membahas apa yang dia pahami. Jadi dia
berkompetensi. Apakah karena ia menyaksikan sendiri peristiwa di dalam
filmnya, ia sebagai ahli, apakah ia memiliki kompetensi ilmiah. Dokumenter
menjanjikan bagaimana film itu dibuat. Bisa saja kita berhak membuat
rekayasa, tapi harus dengan sadar dan menyatakan bahwa itu rekayasa.
 
Apa yang saya sampaikan itu benar tapi dalam rekayasa. Jadi di tingkat mana
kita baisa memperatnyakan kebenaran. Yang penting: bagaimana
menyampaikan secara jelas. Dan janji terakhir: saya berusaha untuk sebaik
mungkin menyatakan bahwa apa yang saya tahu itu benar. Ada juga
documenter yang tidak memenuhi janji. Saya tidak akan sebut siapa.
 
Jadi bagaimana terjadinya penyampaian janji tersebut? Bagaimana membuat
penonton merasa/mengerti bahwa ia menonton film documenter? Jadi ada
unsur2 di dalam film itu sendiri yang menyatakan bahwa film itu documenter.
Misalnya, tulisan credit, gambar/kamera, etc. Contoh, gerakan kamera
documenter bisa goyang (shaking) tapi sekarang ini dalam fiksi juga begitu.
Pada film dokumenter 1950-an, ada kekhasan soal voice-over yang ada
sepanjang film. Jadi tanda/unsur2 tertentu yang dipakai documenter tapi
sekarang sudah tidak dipakai lagi.  textual information:credit, stylistic
figures (the system of stylistic figures is historical)
 
Unsur2 penting dalam dokumenter: unsur-unsur di luar teks (ekstratekstual)
 external information. Lalu contextual and institutional constraint ( teks
institusional). Misalnya, documenter pendidikan dibatasi oleh penggunaannya
untuk pendidikan di sekolah. Hal ini penting karena mengarahkan kita pada
fictional drive. Dokumenter populer pada saat terjadi festival film documenter.
Dokumenter laris di TV karena TV sumber informasi. TV menjadi ensiklopedi
aktual. Di pedesaan di Prancis, mereka diberi buku tebal yang ada kunci
pertanyaan (buku pintar). TV menjadi buku pintar, selain sebagai hiburan.
 
Some attempts to negotiate with the fictional drive:
(nonton film Georges Rouquier, Le Tommelier, 1942).
 
Bagaimana film ini bernegosiasi dengan hasrat akan fiksi dalalm diri kita?
Ketika film mulai, kita masuk ke dunia para pembuat tong. Pintu menjadi
tanda awal masuk ke dunia. Kita berfokus pada tokohnya. Kita diperkenalkan
pada tokohnya. Tokoh itu diajak bicara dan bicara dengan bahasa daerah. Ada
unsur2 di mana penonton bisa mengidentifikasi diri dengan tokoh film.
Sepanjang film, kita semakin mengetahui tokoh itu. Film ini dekat dengan
fiksi. Jadi tidak ada pertanyaan dari sisi itu.
 
Tapi ada saat2 dunia menghilang, ada gambar-gambar dan skema yang
bererak yang secara sangat didaktik menyampaikan bagaimana membuat tong.
Bagian itu memaksa penonton untuk bertanya dan menganggap film ini
sebagai dokumenter. Bukan hanya skema, tapi juga kita melihat bagaimana
tukang tong membuat tong. Tapi karena kita mengenalnya tokohnya, kita akan
akrab dan segi dimensi fiksi akan membuat penonton menerima dengan lebih
baik nilai-nilai dokumenter. Jadi cara penonton menerima film dokumenter
dengan lebih mulus/santai adalah dengan memasukkan unsur-unsur
dokumenter dalam sebuah fiksi. Tapi yang jelas, unsur-unsur didaktik jelas
tidak bersifat fiksi. Jadi kita bisa bayangkan betapa membosankan apabila
film-film hanya berisi skema. Bagian fiksi untuk memberikan sedikit
kemanusiaan/manusia didalam dokumenter. Teknik2 yang disampaikan sangat
rinci tentang pembuatan tong.
 
 
Kita mendapatkan informasi yang sangat rinci karena semua alat diberi nama,
diberi angle cermat untuk melihat cara pembuatan tong, tetapi ada segi
kemanusiaan.
 
Bandingkan dengan film
Jacques Demy, Le sabotier de val de Loire, 1956, the clogmaker.
 
Jacques Demy akan memberikan informasi rinci tentang bagaimana membuat
clog. Film ini berkisah tentang perajin (curhat) tentang keluarga, teman, dll.,
sambil mendapatkan informasi tentang bagaimana membuat the clog.
Di film ini perajin memainkan dirinya-sendiri. Tak banyak yang membedakan
film ini dengan film fiksi. Voice-over bercerita tentang pikiran tokoh tentang
anak, istri, kondisi senang, sedih, dll. Kita mengetahui kisah hidup tokoh itu.
Tapi sekaligus, kita belajar pembuatan sandal/sepatu karena ditampilkan
tahap2nya. Berbeda dengan film sebelumnya, kita bisa mendengar bunyi dan
suara, sesuatu yang jarang dilakukan oleh pembuat film documenter saat itu
karena alat perekam suara yang berat.
 
Penting untuk melihat usaha Demy yang merekam suara langsung, karena
itulah yang membuat documenter memiliki segi otentisitas. Dan kita lebih
mengerti bunyi2 yang direkam secara langsung oleh Demy. Suara-suara ini
mengingatkan kita pada suatu gambar. Suara ini menambah unsur-unsur
kenyataan yang kuat di dalam film. Hubungan fiksi: tingkat pembacaan
dokumenter. Pertanyaan pertama, mengenai pembuatan sepatu rakyat? Yang
kedua, apakah kehidupan pengrajin yang kita lihat di layar benar-benar
demikian? Dan sangat menarik, tidak ada jawaban atas pertanyaan ini.
 
Jadi kita tidak pernah tahu apakah ini benar-benar seperti itu atau rekayasa
Demy kecuali kita mengenal keluarga itu. Kita hanya bertumpu pada
kesepakatan bahwa kita melihat film dokumenter karena kita percaya saja
bahwa Demy bercerita tentang hal benar. Tapi kita nggak bisa yakin karena
Demy sangat terpengaruh pembuatan fiksi. Jadi ada beberapa kasus di mana
kita tidak bisa memisahkan apakah kita dalam proses membaca fiksi atau
dokumenter, kecuali kita datang ke desa itu dan mengenal tokoh.
 
Sisi fiksi dan non-fiksi ada di sini supaya lebih mudah menyampaikan
informasi atau semua yang bersifat ilmiah. Kita lebih bisa mengetahui tentang
pembuatan sepatu itu karena kita diberitahu bukan hanya soal teknik, tetapi
ada juga kehidupan sepenuhnya di sekitar pembuatan sepatu. Di situ
ketrampilan Demy sebagai sineas kelihatan sekali karena ada hubungan antara
kayu dan para perajin. Ini yang disebut sinestesi karena kita seolah-oleh
mengingat bau kayu yang dibelah oleh perajin.
 
Nonton film Georges Rouquier, Farrebique, 1946.
 
Dari awal, penonton diundang untuk menonton film dokumenter. Tetapi kalau
dilihat, tidak ada bedanya dengan film fiksi. Kita diperkenalkan dengan tokoh-
tokoh satu persatu. Dengan cara menyunting, kita melihat ada beberapa alur
cerita yang berjalan bersama-sama. Dan itu memang milik fiksi. Tapi masing-
masing alur berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda (bahasa daerah). Dan
ada dialog-dialog mengenai perbaikan rumah. Strukturnya seperti fiksi, tapi
tokohnya benar-benar ada. Jadi penggunaan struktur fiksi untuk film
dokumenter kita temukan juga dalam film Nannook of the North oleh
Flaherty. Jadi mereka pembuat film yang sudah mengerti kalau dokumenter
mudah dicerna oleh penonton, strukturnya fiksi tapi dengan kesepakatan
dengan penonton. Dan kita berada benar-benar di dalam dokumenter, kita
boleh bertanya soal kebenaran fakta Eskimo dalam filmnya.
 
Pembuat film tidak dituntut untuk menyampaikan kebenaran misalnya pelaut
melaut saat badai. Tapi kita bisa mempertanyakan kebenarannya. Jadi ini
merupakan contoh pembuat film harus bernegosiasi dengan mode fiksi untuk
memberikan unsur dokumenter supaya penonton bisa lebih bisa menerima.
Film dokumenter pedagogi tidak perlu membuat negosiasi tersebut. Misalnya,
company profile yang hanya dipakai terbatas. Tetapi dengan Flaherty, bisa
diputar di bioskop.
 
Pak Tanete Pong Masak
Hubungan antara fiksi dan dokumenter: negosiasi antara gaya dokumenter
dengan pendekatan fiksional, negosiasi struktur fiksi dengan kontrak
dokumenter. Ini sebuah konseptualisasi yang sangat canggih.
 
Diskusi/Tanya Jawab
Andi
Di tempat saya bekerja, para reporter dan cameraman memproduksi sebuah
cerita dari fakta/data di lapangan/kejadian. Apa yang membedakan sebuah
berita televisi dengan dokumenter? Apakah berita termasuk dokumenter?
Bagaimana dengan investigasi televisi karena ia mempertanyakan kebenaran?
 
Roger Odin
Secara teoritis, tidak ada beda antara berita televisi dan film dokumenter.
Dalam produksi makna, operasi yang berlangsung itu sama. Yang sering
dibedakan: berita dari wartawan, dan dokumenter dari pembuat film
dokumenter. Itu bisa diterima saja, tapi itu di luar persoalan. Berita TV
menetapkan diri sebagai penonton film dokumenter. Kita bisa
mempertanyakan kebenaran. Dalam peliputan investigasi, jelas ada
pembacaan yang bersifat dokumenter. Kita berhak bertanya tentang perjanjian
kebenaran. Film dokumenter berjanji untuk memberikan kebenaran. Kita bisa
bertanya. Ada film dokumenter yang berbohong tapi tetap film dokumenter.
 
Pak Tanete Pong Masak
Cinema verite dari kinopravda Rusia, Jean Rouch, menyebut alirannya sebagai
sinema kebenaran. Tapi tidak berarti mereka memperkenalkan sinema yang
benar, tapi sinema yang mempersoalkan kebenaran. Jadi selalu bertanya:
apakah ini benar atau tidak?
 
Oka
Adakah film dokumenter yang berbohong?
 
Roger Odin
Memang ada persoalan soal aliran. Ada film documenter yang menyampaikan
kebohongan yakni film propaganda. Faux-documentaire: seorang pembuat
film Canada yang membuat seri dokumenter palsu mengenai kejadian yang
tidak pernah ada. Tujuannya, berhati-hatilah penonton film dokumenter bahwa
banyak dokumenter itu berbohong. Baru di akhir film muncul orang yang
bilang bahwa seri film ini bohong belaka.
 
Oka
Apa ada hubungan dengan POV (sudut pandang)?
 
Roger Odin
Nanti akan dibahas di seminar ini. Selalu ada sudut pandang dalam
dokumenter.
 
Lisa
Saya tidak menemukan unsur dokumenter dalam kedua film yang diputar.
Dalam kasus dua dokumenter, apakah ada textual reference untuk film itu?
Apakah komunikasi dalam film dokumenter memerlukan teks eksternal
sebagai penjelas?
 
Roger Odin
Tentu saja anda bisa mencari textual reference yang bilang bahwa ini
dokumenter, tapi bisa jadi anda melihatnya dari stylistic figure, dll. Tetapi
anda juga bisa mempertimbangkan determinasi2 lain. Anda telah masuk ke
institusi tertentu, misalnya, seorang sejarawan yang menonton film fiksi.
Institusi ini telah menempatkan anda dalam pembacaan film fiksi sebagai film
dokumenter. Anda bisa menemukan kredit di dalam film untuk menentukan
apakah itu dokumenter atau fiksi. Kita bisa membaca seluruh hal, termasuk
fiksi sebagai dokumen. Ada dua hal yang berbeda: pembedaan dan bagaimana
film selalu menekankan suatu mode tertentu. Dan ini merupakan proses
negosiasi terus-menerus.
 
 
Sesi II.
Dimulai pukul 14.42
 
Film Alain Resnais, C.Marker dan A. Heinrich
„Misteri Bengkel No. 15“
Film ini merupakan film pesanan untuk memperlihatkan pentingnya dokter
untuk para pekerja. Premis intinya: dokter menangani beberapa pabrik untuk
memeriksa apakah pabrik dan peralatannya bisa memiliki dampak buruk bagi
pekerja dari segi kesehatan. Tahun 1950-an, ada kepentingan untuk
menyadarkan pemilik pabrik akan pentingnya dokter perusahaan. Film ini
juga bertujuan untuk memberi penyadaran bagi buruh agar mengetahui fungsi
dokter ini bagi kepentingan mereka. Pesan film ini berasal dari Departemen
Kesehatan Prancis. Kita akan melihat bagaimana Resnais sebagai pembuat
film dan Heinrich sebagai pembuat teks menyampaikan pesannya.
 
Alain Resnais memilih suatu kisah untuk menyampaikan pesannya. Jadi kisah
seorang buruh yang setiap pulang dari kerja, merasa mual dan tidak sehat, tapi
tidak tahu penyebabnya. Jadi di lingkungan pabrik sering terjadi kecelakaan
kerja. Setiap orang berusaha mencari sebab dari penyakit itu: insinyur,
mandor, ahli kimia, dokter pribadi buruh, dll. Tapi tidak ada satu pun yang
berhasil menemukan persoalannya karena setiap orang mencari berdasarkan
bidangnya sendiri (parsial). Jadi peran dokter dari lingkungan kerja:
menggabungkan semua informasi untuk mengambil tindakan kesehatan.
Dokter muncul dalam film sebagai suara dan menggunakan kata saya. Jadi
cerita pun sudah fiksi. Bagaimana Resnais membuat film ini menjadi sangat
menarik.
 
Pengambilan gambar di awal ada musik, kontras, banyak asap, gambar
gedung-gedung pabrik. Jadi kita masuk ke sebuah dunia secara dramatis.
Kalau pernah menonton film Alan Resnais, kita pasti teringat alur yang
lambat/dramatic dalam film-film dia. Musik dan gerakan kamera, kontras
gambar membuat sifat dramatic kisah yang disampaikan. Perangkat fiksi
digunakan untuk menyampaikan pesan documenter. Ada beberapa unsure
yang menjadi perhatian film. Pada awalnya, pekerja mengangkat sepeda yang
dibantu oleh temannya. Renard tidak bisa mengangkat sepeda karena lelah.
Penonton sudah dibawa ke dalam cerita. Yang diusahakan dalam film:supaya
penonton mengambil sudut pandang dokter perusahaan. Film ini sebuah fiksi
yang menceritakan kisah, sebagai contoh untuk membuktikan pentingnya
dokter di lingkungan kerja.
 
Film ini berjanji untuk menjelaskan secara benar pentingnya dokter di
lingkungan kerja. Film mengajak penonton untuk membaca dengan 2 cara:
pada tingkat kisah Renard, kita masuk ke fiksi. Dari sisi kedokteran, kita
berada di mode documenter. Bahwa kisah Renard itu benar atau tidak, tidak
terlalu penting dan tidak mengurangi pesan pentingnya peran dokter di dunia
kerja. 2 film dokumter demy dan roqouier, ada wacana documenter di dalam
fiksi, sementara yang ini, adalah fiksi yang berada di dalam documenter. Fiksi
itu sendiri yang berfungsi documenter. Dengan mengikuti kisah Renard, kita
jadi tahu pentingnya dokter perusahaan.
 
Di sini film tidak menceritakan kisah nyata dari Renard, tapi menggunakan
kisah Bpk. Renard untuk menyampaikan kebenaran tentang pentingnya dokter
di dunia kerja. Jadi itu hubungan fiksi dan dokumenter yang sangat khas di
sini. Ada sejumlah fiksi yang berfungsi seperti itu. Ada beberapa fiksi yang
menyampaikan pesan melalui kisah yang diceritakan. Makanya kita bisa
berkata, fiksi berakhir dengan dokumenter. Kisah yang disampaikan menjadi
contoh dari suatu masalah. Kisah yang disampaikan di sini menekankan
pentingnnya dokter di dunia kerja. Dibaca dari sisi yang demikian, ada fiksi
yang bisa dilihat dengan cara dokumenter.
 
Penndekatan yang bersifat dokumenter selalu menggunakan siasat2
komunikasi untuk membuat penonton terlibat. Dari fiksi ke dokumenter, kita
melalui pengelompokkan/mengangkat satu contoh/kategorisasi. Kisah menjadi
contoh dari semua kategori masalah. Tapi kita tetap bisa bertanya tentang
kebenaran dan kemampuan enunciator. Jadi dalam film tadi, kita tidak akan
mepertanyakan benar tidaknya kisah Renard, kita bisa tanya tentang informasi
kedokteran di dunia kerja.
 
Saya mau melihat hubungan dokumenter dan deskripsi. Ada hubungan erat
antara dokumenter dan deskripsi karena dokumenter mendeskripsikan suatu
peristiwa, proses, momen, dll. tapi saya ingin membahasnya lebih detail. Ada
beberapa bibliografi yang bisa dilihat.
 
Christian Metz, Essais sur la signification au cinema, Meriediens Kincksieck.
etc
 
Description vs. Narration
 
Deskripsi dianggap selalu post di tengah narasi. Dalam narasi, ada pause
untuk mendeskripsikan rumah, tokoh, etc. Kisah itu pada intinya seperti garis
yang susun-menyusun, silih berganti. Peristiwa satu disusul peristiwa kedua,
dlb. Itu yang disebut struktur naratif. Dalam deskripsi yang diutamakan adalah
deskripsi spasial (ruang). Deskipsi bukan semata-mata obyek, tapi kita bisa
menceritakan apa saja. Misal di pasar. Ada petani yang tiba dengan ayam,
menyusul kemudian benda2 lain. Klien datang dan akhirnya mereka kembali,
pulang ke rumah.
Dengan mengatakan ini saya menceritakan kepada anda tentang pasar. Ini
yang disebut naratif. Kalau sekarang, saya menceritakan lokasi pasar di plasa
gereja, di pintu kiri ada ayam, pintu kana nada burung2, di pintu belakang, ada
manusia. Dengan mendeskripsikan seperti ini saya menceritakan pada anda,
apa itu pasar. Di satu pihak saya menekankan hubungan temporal, di lain
pihak saya menekakan deskripsi spasial/ruang. Sinema pada dasarnya
memiliki sifat khusus dalam hal deskripsi. Dalam film, waktu itu mengalir.
Film bisa berdurasi 10 atau 20 menit, selalu ada waktu. Kalau seorang editor
mengedit film, maka dia harus menyusun shot-shot satu persatu dan itu adalah
cara membaca suksesi (urutan).
 
Kita memiliki urutan peristiwa yang saling susul-menyusul. Kalau kita ingin
mengatakan dan meyakinkan bahwa yang paling penting hubungan spasial
dan bukan waktu, ada suatu kerja khusus yang harus kita perhatikan.
Bagaimana meyakinkan penonton? Itu hal yang sulit sekali. Bagaimana
menceritakan shot 1, 2, 3, 4 terjadi pada waktu yang bersamaan?Dan bukan
peristiwa 2 datang sebelum peristiwa 3, dst?
 
Deskripsi di sinema sangat khusus, daripada sastra. Kita ingin meyakinkan
penonton bahwa yang kita ceritakan itu adalah hubungan spasial yang bersifat
tetap, tetapi ada urutan waktu di dalam narasi. Dalam sastra, itu bisa terjadi.
Tapi dalam sastra, kita hanya bisa mengutamakan hubungan spasial. Hal ini
sulit di sinema karena adanya temporalisasi medium film.
 
Ada hal yang sangat jelas di film yang bekerja sebagai struktur: mode daftar.
Daftar artinya enumerasi. Daftar merupakan tingkat zero dari deskripsi. Yang
ditunggu dari deskripsi adalah daftar yang terstruktur. Setiap shot adalah
sebuah deskripsi karena satu shot memperlihatkan benda, dan unsure-unsur
dunia. Tapi kita harus lihat dari segi teoritis, apakah itu representasi atau
deskripsi?
 
Untuk beralih ke deskripsi, kita akan menyusun struktur. Mengambil gambar
dari puri bukan deskripsi puri itu. Kalau saya membuat deskripsi, saya harus
membuat struktur. Hal ini terjadi juga dalam sastra. Dalam deskripsi, bisa
perkategori tematik. Karena tidak ada hubungan temporal, kita ada dalam
deskripsi.
 
 
 Relations of simultaneity vs.successions (Christian Metz)
 description as pause (Berard Genette)
 focus on spatial or categorical relations vs. focus on temporal relations
 list and description
 descriptif and description (Hamon)
 
Film Agnes Varda, Oh saisons, oh chateaux.
 
Film ini merupakan film pesanan, documenter pariwisata tentang puri-puri di
sepanjang sungai Loire. Anda bisa menyaksikan bagaimana Agnes mengejek
secara halus kode-kode documenter pariwisata konvensional. Di satu sisi, ia
memperlihatkan puri-puri secara rinci, di sisi lain, ia memasukkan unsure-
unsur ironic dalam film documenter pariwisata. Jadi ini bukan film
documenter pariwisata yang tradisional.
 
Varda menggunakan hubungan spasial dan kategori tematik. Agnes
membelokkan pariwisata ini. Karya ini dimulai dari koreografi para tukang
kebun. Satu cara untuk mengangkat para tukang kebun yang biasanya kelas
paling bawah di puri. Jadi dia memperlihatkan tangan kaum pekerja karena
mereka bekerja keras. Dalam dokumenter pariwisata, hal ini jarang/tidak
pernah ditampilkan. Ini provokasi Agnes untuk mengangkat kelas pekerja di
film pariwisata. Bagaimana Agnes menghadirkan di tengah reruntuhan puri,
model dan ada permainan karena model yang pertama kali muncul adalah
seorang petani dengan keranjang buah dan sayur. Film itu ada usaha untuk
mendekonstruksi film turistik. Film itu merupakan film pariwisata karena
memberikan informasi lengkap tentang situs pariwisata, tapi Varda membuka
pembacaan yang lebih luas. Deskripsinya bersifat ironis. Komentar film diisi
oleh seluruh klise film dokumenter pariwisata. Di gambar sendiri, ada klise
dokumenter pariwisata. Anda melihat di samping pelukis, ada bocah yang
membawa roti baguette. Jadi itu stereotip orang Prancis. Jadi dengan
menggunakan stereotip, satu cara untuk mengejek dan menggugatnya.
 
Film ini memainkan kode satu genre, yakni genre film pariwisata. Itu yang
membedakan film Varda dengan film-film pariwisata yang lain. Tadi pagi ada
persoalan soal POV. Inilah film dokumenter bersudut panjang. Ini bukanlah
deskripsi yang bersifat netral. Ini pangandan ironis mengenai satu jenis film.
Film ini deskriptif dan klasik tapi film ini jauh dari kata tradisional.
 
[A descriptive and informative documentary and an ironical approach of the
turistic documentary]
 
Diskusi/Tanya Jawab
 
Ibaw
Saya masih kebingungan membedakan antara deskripsi dan narasi. Kalau
disebutkan perbedaan, yang satu lebih ke temporal dan yang satu spasial,
bukankah keduanya mengandung 2 dimensi itu.
 
Roger Odin
Tentu saja narasi dan deskripsi mengandung dimensi temporal dan spasial.
Narasi menjadikan temporer sebagai hal yang mendasar. Tentu saja narasi
berlangsung dalam satu ruang. Tapi tujuannya adalah mengadakan dalam
ruang itu, unsur temporer (alur waktu). Dari segi deskripsi, sedikit lebih rumit.
Dalam deskripsi, bisa hanya ada hubungan spasial atau hanya hubungan
tematik tanpa ada hubungan temporal. Tetapi ada juga yang membuat rumit:
tapi ada deskripsi yang ditemporalkan. Yang paling sering di temukan di
sinema karena sinema adalah media yang temporal. Jadi dalam deskripsi
temporal yang ditekankan adalah relasi spasial dan hubungan tematik. Ada
waktu yang mengalir, tetapi tidak penting, tidak perlu ditekankan, tetapi
penonton diajak berpusat pada relasi spasial dan kategorial tematik.
Tidak ada referensi ke teori Deleuze. Hubungan waktu dan ruang, tidak
mengacu padanya.
 
Saya pernah menulis tentang film La Jetée. Film ini merupakan novel foto,
gambar yang  menceritakan kisah. Contoh yang menarik sekali untuk
menjelaskan cerita dengan gambar still. Kita sudah agak keluar dari sinema.
Christ Marker memainkan dengan science-fiction. Itu satu paradoks untuk
mempertanyakan lewat gambar still (foto still). Saya menggunakan pertanyaan
dalam teori ini untuk  menganalisis film ini. Film ini bisa jadi bahan analisis
yang baik. Jadi dalam penelitian, bahan penelitian yang mengajukan
pertanyaan.
 
Frederic
Dua film, Last Year in Marienbad dan Hiroshima Mon Amour, berisi daftar
akibat peledakan bom atom.
 
Pak Tanete Pong Masak
Resnais mentransformasikan gambar menjadi sesuatu yang membingungkan
dan malaise yang tidak kita temukan dalam film documenter. Dan itu yang
mampu menggugah orang.
 
Semiotik merupakan pendekatan rasional yang deskriptif. Estetika bisa
mengambil alih ketika semiotik telah tidak mampu.
 
Roger Odin
Semiotik tidak menjelaskan semuanya. Saya merasa saat semiotika tidak
menjelaskan, teks poetik bisa menjelaskan. Misalnya, sejarawan bertumpu
pada kesaksian individu dan menonjolkan perasaan2. Semiotik merupakan
wacana ilmiah, atau berusaha ilmiah, tapi tetap memiliki batas. Etnolog tidak
bisa bertumpu pada metode deskripsi etnologi yang tradisional. Mereka harus
tinggal lama bersama etnis yang diteliti karena keterlibatan dan perasaan itu
penting, ada hal-hal yang tidak bisa dipahami hanya dengan teori saja. Saya
berpegang teguh prinsip bahwa untuk belajar film kita harus memiliki latar
belakang lain di luar film. Kita bisa menjadi peneliti film kalau kita memiliki
latar belakang, estetik, sosiologi, antropologi, dll.
 
Forum diakhiri jam 16.47.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hari III. Kamis, 5 Juni 2008
 
 
Diskusi dibuka oleh Pak Tanete Pong Masak
 
 
Prof. Roger Odin
Ringkasan kemarin: Saya menggaris bawahi hasrat akan fiksi dimana film
dokumenter harus bernegoisasi dengan itu. Saya juga menjelaskan bagaimana
cara membaca film dokumenter dimana kekhasan utamanya adalah cara
membentuk enunciateur/pengujar. Kita bisa mengajukan pertanyaan pada
enunciateur mengenai kemampuan dan kompetensinya juga cara pembuatan
filmnya. Pertanyaan mengenai mise-en-scene, juga apakah film itu benar dan
level kebenarannya. Bisa jadi tidak benar, tetapi masalah yg diangkat benar.
 
 
Deskripsi vs Narasi
 
Saya juga akan menjelaskan bagaimana dokumenter berhubungan dengan
deskripsi dengan beberapa cuplikan film. Yang pertama Les Charmes de
L’existence oleh Jean Gremillon dan Pierre Kast. Film ini hanya
memperlihatkan lukisan yang memperlihatkan kaum borjuis di abad ke-18 di
Prancis. Bagaimana lukisan bisa memperlihatkan suatu zaman. Dan film ini
membuat kategori dengan membuat struktur yang dibuat untuk
menggambarkan citra masyarakat masa itu. Jadi kita diajak masuk ke ke
dalam dunia pada masa itu melalui pembacaan sang pelukis yang memiliki
sudut pandang tertentu. Dan pembuat film pun memiliki sudut pandang
terhadap sang pelukis. Sehingga ada dua sudut pandang meskipun yang
mendominasi tentu saja sudut pandang filmmaker. Sudut pandang sang
pelukis ironis di mata sang filmmaker. Gerak kamera cenderung memberikan
unsur kehidupan terhadap lukisan itu. Jadi di sini gerakan kamera yg membuat
deskripsi. Dan kamera lah yg akan menceritakan sebuah kisah dari lukisan itu
(unsur narasi). Komentar bersifat ironis dari gerak kamera itu yang
menjadikan film ini kuat.
 
Yg menarik dari film dokumenter itu adalah pembacaan terhadap makna pada
lapisan kedua. Lukisan-lukisan ini adalah lukisan-lukisan representasi resmi
masyarakat abad 18. Namun, film ini tidak hanya mengungkapkan apa yg
sudah diungkapkan oleh lukisan itu. Film ini melakukan analisa yg bersifat
puitis terhadap citra apa yg muncul mengenai masyarakat abad 18 pada
lukisan itu. Dengan kata lain merupakan semiologi yg bersifat puitis.
Meskipun tidak dilakukan secara gaya akademik, tetapi perlakuannya sama.
 
Jadi film dokumenter yg tidak menggambarkan sebuah dunia, tetapi justru
khayalan atau cara pikir suatu masyarakat. Ini sebuah dokumenter yg
memasuki khayalan terhadap suatu masa. Film dokumenter tidak berfungsi
semata untuk memberikan realitas secara langsung, tetapi bisa
memperlihatkan bagaimana subyektifitas suatu masa. Ini adalah suatu cara
untuk mengungkapkan kebenaran dengan beberapa filter yg akan mengubah
kebenaran itu. Kalau kita mempertanyakan kebenaran dalam film itu, akan
sulit untuk menjawabnya karena ada dua filter. Yaitu lukisan dan pembuat
film. Apakah lukisna benar-benar menyampaikan kebenaran suatu masa dan
apakah film mengungkapkan kebenaran akan lukisan itu. Yg penting bukan
apakah kita bisa menjawab pertanyaan itu, tetapi bahw pertanyaan itu muncul.
Itu yg menjadikan film ini adalah film dokumenter.
 
Film kedua. Toute la Memoire du Monde, Alain Resnais. Film yg
mendeskripsikan perpustakaan nasional. Kita akan melihat bagaiman
perpustakaan ini pun membuat kategori-kategori sesuai seksi-seksi tertentu.
Termasuk ruangan-ruangan tempat membaca, menyimpan buku, dan
menyortir buku baru. Kategori ini lah yg membuat struktur dalam film ini.
 
Resnais kemudian juga membuat deskripsi yg metaforis dari perpustakaan
nasional dimana tempat ini menerima semua buku dari berbagai tempat di
dunia dan Resnais melihatnya sebagai tempat berkumpulnya unsur-unsur lain
di luar dunia. Seperti dunia kecil yg mewakili dunia nyata. Sebuah
mikrokosmos. Sebuah ruangan kecil tertutup dimana semua terwakili di
dalamnya. Mengumpulkan semuanya ini seperti mengumpulkan memori
seolah perpustakaan nasional itu berfungsi seperti otak kita dimana kita
mengumpulkan data-data. Dan metafora itu digunakan Resnais untuk
menggambarkan perpustakaan itu seperti labirin dalam otak kita yg terhubung
oleh jaringan-jaringan.
 
Bagian awal film ini sangat menarik. Kita melihat adanya kamera, lampu-
lampu, dan mikrofon. Dari awal penonton diberitahu adanya sudut pandang
sinematografis terhadap perpustakaan itu. Perpustakaan diceritakan kembali
secara sinematografis. Ini adalah kesepakatan dokumenter dengan penonton
bahwa ini adalah perpustakaan yg dibuat oleh sinema dengan sudut pandang
subyektif Alain Resnais sbg sineas. Seperti film (Misteri Bengkel 15)
kemarin, kita tahu adanya kekhasan gaya Resnais seperti panoramic pan-nya
dan tema akan memori atau ingatan, yg merupakan tema faforit Alain Resnais.
Jadi ini adalah seorang perpustakaan yg dilihat seorang sineas dengan
pandangan khusus.
 
Di awal film juga tampak keinginan menarik perhatian penonton. Resnais
menggunakan cara ’eye catcher’ . Suatu teknik yg menutupi sesuatu agar
penonton melihatnya. Seperti Lacan yg suka mengatakan ‘menstimulasikan
hasrat optik mata untuk  melihat’. Seperti yang kita lihat dalam filmnya
dimana kamera bergerak melewati pilar-pilar yg menghalangi pandangan
penonton. Ini teknik yang menggerakan kepenasaran penonton untuk melihat.
Cara lain dengan memainkan apa yg penonton telah ketahui tentang film.
Bagaimana perpustakaan nasional digambarkan bak sebuah penjara dimana
pengetahuan dikumpulkan dan ditawan di dalamnya. Bagaimana manusia
menghadapai kepanikan akan begitu banyaknya pengetahuan dan merasa akan
lebih baik jika diamankan dalam sebuah tempat tertutup.
 
Muncul gambar-gambar yg menampilkan ’kepenjaraan’ dari perpustakaan itu
dimana kita mengalami deja-vu terhadapnya. Seolah ada hubungan erat antara
penonton film dokumenter dan fiksi. Ini adalah cara lain untuk bernegoisasi
dengan hasrat akan fiksi. Film ini juga menggunakan emosi untuk
mendeskripsikan. Sebuah aliran mise en face yg mengangkat tema memori.
Dengan semua teknik yg dilakukan dengan panoramic pan, travelling shot,
musik, dll tidak membuat kita teridentifikasi dgn perpustakaan nasional, tetapi
dengan masalah pengangkatan memori dalam film itu. Berlawanan dengan
dokumenter yg bersifat didaktik, film ini menggabungkan semua cara untuk
menghasilkan emosi pada penonton.
 
Penjelasan teoritis. Semiologi berhubungan makna. Saya pernah memberikan
judul buku saya, (Sinema dan Produksi Makna) dan membuat saya sempat
menyesal karena kalau kita mengacu pada kata makna, kita mengacu langsung
pada produksi intelektual. Padahal saya merasa antara intelektual dan emosi
tidak bisa dipisahkan. Karena pemaknaan bisa muncul dari emosi. Jadi judul
yg lebih cocok sebenarnya (Sinema dan Produksi Makna Afeksi). Jadi
semiolog juga harus melengkapi perangkat mereka dengan emosi itu. Metz
sangat memahami hal ini, karena itu dia lalu beralih ke psikoanalisa untuk
mengkaji masalah yg berhubungan dengan emosi ini (ilmu kognitif). Yg
mengkaji masalah hubungan emosi dan tubuh/ raga, bagaimana proses emosi
keluar masuk tubuh apakah bersifat biologis atau kultural. Intinya, produksi
makna perlu mempertimbangkan pula keberadaan emosi. Maka itu banyak
sekali film dokumenter pedagogis yg bersifat didaktik membosankan karena
tidak mempertimbangkan masalah emosi itu.
 
Kita akan melihat bahwa pengujar adalah subyek produksi makna, dan di
sinilah terletak apa yg disebut produktifitas. Dari sini kita akan menonton juga
film Chris Marker. Marker suka menggunakan banyak media untuk karya-
karyanya. Film yg akan dibuat ini memakai bahan baku 16 mmyg dibuat di
Beijing atas undangan pemerintah Cina. Ia sendiri kemudian menjadi jatuh
cinta pada Cina dan partai Komunis-nya pula. Judul film ini Dimanche a
Peking. Film ini menarik karena subyektifitasnya sangat kental.
 
Saya ingin bicara sedikit ttg sejarah perfilman di Prancis. Ada sekelompok
sutradara yg  berkumpul (sekitar 30 org) membela film-film dokumenter
bermutu di tahun 1950an. Mereka sering bekerja sama dan muncul dalam
credit title. Kelompok ini menekan pemerintah untuk mengambil kebijkan
agar mutu film dokumenter meningkat. Mereka memberi dana bantuan kepada
yg berusaha terus meningkatkan mutu film dokumenter. Mereka kemudian
berhasil sehingga film-film itu bisa diputar di bioskop. Usaha itu menandai
tahun 50an sebagai masa keemasan film dokumenter. Mereka menganggap
sinema sebagai wahana komunikasi artistik yg serius dan bernilai.
 
Tentang Dimanche a Peking. Awal film penting untuk membaca kesepakatan
film dengan penonton. Dan di sini Chris Marker memakai cara yg tidak terlalu
aneh untuk mengajak penonton masuk ke dalam filmnya. Kita melihat shot
berbagai suvenir khas Cina, sehingga penonton mengira sudah berada di
Beijing. Tapi kemudian kamera bergerak memperlihatkan menara eiffel. Dari
sini ia memberi peringatan pada penonton untuk berhati-hati dengan
kebenaran gambar. 
 
Cara yg sama untuk menimbulkan pertanyaan pada kebenaran gambar ini juga
pernah ia lakukan dalam filmnya ttg wisatawan yg harus berlindung di
kedutaan karena terjadi kudeta di tempatnya melancong. Dan di dalam
kedutaan tsb terdapat beberapa orang yg berasal dari tempat yg berbeda-beda.
Penggambilan gambar yg terkesan amatir dengan gerak kamera cepat
sehingga terkesan realistis. Penonton mengira ini terjadi di amerika latin.
Sampai ketika di akhir film muncul lagi gambar menara eiffel. Ini adalah cara
Marker untuk memberitahukan bahwa kudeta bisa terjadi di sebuah tempat yg
tidak terkira. Juga peringatan bagi para penonton dalam memberikan makna
pada gambar. Film sama sekali tidak memberi petunjuk kejadian terjadi di
Amerika Selatan, penonton lah yang berasumsi. Ini juga adalah ego-cinema.
Film yang memakai POV ’saya’ atau orang pertama sehingga sangat
subyektif.
 
Marker di awal menceritakan gambar-gambar tentang Beijing yg pernah ia
lihat saat kecil dan selalu ia ingat. Dan ketika ia di Cina, ia menemukan
pemandangan yg sama dengan gambar-gambar itu. Maka saat ia berjalan-jalan
ke Cina, juga adalah ia sedang berjalan-jalan ke ingatan masa kecilnya. Jadi
ini adalah film tentang Cina oleh Chris Marker. Ada gambaran imajinasi di
atas gambar dalam film. Superposisi antara gambar real dan gambar mental.
Jadi kita mendapatkan gambar akan Beijing dan gambar Beijing menurut
Marker. Film ini memiliki sudut pandang yang sangat kental sehingga di akhir
hampir mirip propaganda. Film ini berakhir dengan euforia dengan gambar-
gambar barisan besar tentara dengan komentar subyektifnya mengenai Cina
pada masa itu. Ada hubungan antara gambar dan kebenaran.
 
Penonton tidak kan salah kaprah karena dari awal sudah ada perjanjian bahwa
ini adalah film mengenai Cina dari sudut pandangan Marker. Ini bukti pula
bahwa sebuah film propaganda bisa jadi juga jujur karena penonton sudah
tahu bahwa film ini adalah pendapat Chris Marker. Kalaupun kita tidak setuju,
toh kita tahu itu hanya satu POV dari seseorang. Ia juga bercerita dengan gaya
humor dan ironis atas wacana tentang Cina pada saat itu.
 
Ada beberapa saat dalam komentar dimana ada percakapan antara Marker dan
orang-orang yg ia filmkan. Misalnya dijelaskan bagian anak-anak yg sekolah
yg menanyakan padanya tentang tulisan-tulisan Cina di buku yg terlihat
eksotik. Film ini hanya memakai Voice Over saja, tanpa wawancara langsung.
Komentar itu merupakan upayanya ’menyempurnakan’ apa yg terjadi pada
wawancara sebenarnya. Film ini dianggap mempioniri cinema verite/ direct
cinema yg baru muncul di tahun 60an.
 
 
Tanya Jawab
 
Affandi:
Saya lebih fokus pada masalah imaji dan kebenaran. Kita tahu dokumenter
bersifat subyektif dan deterministik. Terutama saat ia bicara soal realitas.
Karena realitas bersifat kompleks. Sementara saat ia mengungkapkannya ia
memilih. Ia juga bersifat redustik karena ia juga memilih beberapa aspek saja.
Ia juga hiperealistik karena realita ditambahkan dengan unsur artistik dgn
cahaya, musik, dll. Realitas jadi terdistorsi. Apakah mungkin dgn karakter
seperti itu, dokumenter menjadi metodelogi yg obyektif atau bersifat scientifik
obyektif untuk mengungkap realita?
 
 
Roger Odin
Dalam pembacaan dokumenter harus dilihat dalam institusi apa dia hadir.
Kalau kita melihat film pertama ttg Planet (judul?) dibuat oleh lembaga sains,
kita tentu saja punya hak untuk mempertanyakan ilmu yg disampaikan. Kita
bisa setuju atau tidak setuju dan itu berarti pertanyaan akan ilmu pengetahuan.
Jika kita melihat dokumenter yg bersifat didaktik, kita bisa bertanya tentang
kebenaran yg diungkapkan. Kita bisa menanyakan apakah itu sejarah yg benar
dan apakah itu info yg benar di dalam sains, kita berada dalam kebenaran yg
obyektif. Bahwa ada unsur-unsur yg bisa diperiksa kebenarannya. Artinya
bahwa apa yg disampaikan sesuai dengan teori ilmu yg ada saat itu.
Obyektifitas selalu bersifat historis karena ada perkembangan. Ilmu selalu
berkembang sesuai masa.
 
Film Marker tidak masuk dalam kaidah itu. Ini masuk ke dalam sinema yg
memiliki unsur politis sekaligus artistik. Tetapi itu dinyatakan dengan jelas
dimana ada kesepakatan utuk menonton film itu. Mengenai film itu ada
seperangkat teori dalam sebuah buku karya Kate Hamburger berjudul Logic
de Discourse (Jerman) ada suatu konsep ’aku lirik’. Kalau misalnya saya
bilangs saya suka film Resnais, tidak bisa dinyatakan itu salah. Dan itu
kebenaran milik saya, hanya saya yg bisa menyatakan kebenarannya. Kasus
Marker sama. Film Marker sangat khas karena komentar ia memakai ’saya’. Ia
menyatakan kebenaran miliknya sendiri. Di satu sisi ada ’aku-lirik’ dan ’aku-
historis’ dimana aku merupakan saksi. Dalam film Marker ada saat dimana
film berpindah-pindah dari ’aku-lirik’ ke ’aku-historis’. Ini cocok untuk
mempertanyakan kebenaran dengan lebih jitu.
 
Kita harus melihat ada beragam cara menyampaikan kebenaran. Ada beragam
level dalam menyatakan kebenaran dan ada beraneka kebenaran. Misalnya
kebenaran ’aku-lirik’ berbeda dengan ’aku-historis’.
 
 
Multazam
Sinema direct itu juga biasa dibuat dalam jurnalisitik TV. Tapi saya pernah
melihat film tanpa narasi apapun. Menurut saya film bernarasi itu sgt
membosankan karena penonton terlalu diarahkan. Apa ada bentuk lain dari
sinema direct yg tidak seperti ini?
 
 
Roger Odin
Jean Rouch misalnya, menyatakan bahwa ia lebih suka tanpa Voice Over. Itu
pendapat dia, kita bisa setuju atau tidak. Tapi banyak pula filmmaker
dokumenter yg mementingkan VO untuk memberikan jarak dengan gambar.
Itu debat antara pembuat dokumenter, bukan masalah teoris seperti saya.
 
Bahayanya orang yg bekerja dengan film Jean Rouch adalah dia selalu
membuat film dengan gaya a la Jean Rouch.Mereka tidak membuat film
mereka sendiri. Saya lebih suka film pedagogis sekalian yg lebih terbuka. 
Saya lebih suka pendekatan yg pribadi. Saya juga menjadi dosen di jurusan
seni rupa selama beberapa tahun. Menurut saya berbahaya untuk memaksa
mahasiswa mengikuti kita karena pedagogisnya bersifat reproduksi, bukan
kreasi. Dari segi pedagogis saya tidak setuju dengan Jean Rouch.
 
 
Renal
Ada impresi yang saya dapat dari film dokumenter selama ini bersifat
pedagogis. Dalam film dokumenter yg bersifat ini apakah ada sudut pandang
subyektif dibandingkan film-film dengan pendekatan fictional drive?
 
 
Roger Odin
Memang selalu ada, tetapi tidak dinyatakan. Jadi wacananya seolah sangat
obyektif dan pasti bersifat membosankan karenanya, tetapi sekaligus pasti ada
sudut pandang. Para ilmuwan fisika misalnya tahu bahwa ada sudut pandang
karena sebagai ilmuwan mereka termasuk dalam satu aliran mengenai suatu
ilmu pada suatu saat tertentu dalam perkembangan ilmu tersebut. Dan para
ilmuwan suka menyatakan bahwa yg mereka lakukan bersifat obyektif
meskipun mereka tahu sebenarnya tidak. Jadi selalu ada sudut pandang.
Permasalahannya adalah bagaimana cara menyatakan sudut pandang tersebut.
 
Saya misalnya, mengembangkan teori dengan cara yg sejelas mungkin. Tetapi
yg membentuknya tetap saya. Ini adalah subyektifitas. Banyak pakar lain yg
membangun perangkat teori mengenai bidang yg sama tetapi mereka
memproduksi konsep-konsep yg berbeda. Jadi pertanyaan saya justru apakah
kerangka teori yang saya berikan berguna dan membuat orang lebih
memahami. Kalau tidak,berarti saya harus mengganti perangkat itu. Itu yg
disebut dimensi euforistik dalam konsep. Memungkinkan adanya pertanyaan.
 
 
Sesi II
 
Pak Tanete Pong Masak
Kita akan membahas film Les Maitres Fous karya Jean Rouch.
 
 
Roger Odin
Kita akan lanjutkan masalah hubungan film dokumenter dan subyektifitas.
Jean Rouch adalah seorang etnolog yg membuat film. Lalu menjadi lebih
sering membuat film dari pada berkarya sebagai seorang etnolog. Film ini
tentang deskripsi masyarakat di Senegal.
Pada awalnya Jean Rouch kesulitan diterima oleh kelompok etnolog. Namun,
sekarang sinema etnografik justru sangat dikenal dan berkembang berkat Jean
Rouch. Sangat menarik untuk melihat adanya perlawanan untuk menggunakan
sinema sebagai alat ilmu pengetahuan meskipun dulu dianggap tidak serius.
Namun, banyak perubahan sejak tahun 1950an. Sekarang film sudah diterima
sebagai alat bagi penelitian ilmiah.
 
Dalam film ini Jean Rouch memakai Voice Over, cara yang biasanya ia
hindari. Dalam hal ini, VO menjadi penting karena tidak semua penonton bisa
memahami bahasanya (Senegal kolonisasi Prancis). Selain VO ada juga suara
yang direkam secara langsung untuk menghadirkan kesan yg lebih kuat atas
masing-masing tokoh. Dan perekaman langsung dilakukan saat shooting
karena pada masa ini belum ditemukan alat perekam yang terpisah dari
kamera.
 
Di Credit Title ada tulisan bahwa film ini di bawah naungan pusat studi ilmu
di Prancis. Permasalahan kebenaran di sini mengundang perdebatan di bidang
etnografi. Saya tertarik melihat Jean Rouch melakukan pendekatan
sinematografik yang berbeda. Unsur baru ini adalah bahwa Jean Rouch ’hadir
sendiri’ melalui kameranya/ di belakang kamera. Kamera bergerak-gerak
seperti gerak tubuh Jean Rouch dan ini membuat penonton ’menyadari’
keberadaan kamera (dan Jean Rouch). Dalam dunia perfilman, gerak kamera
seperti ini sering dianggap amatir. Namun ’kesalahan’ ini bisa dibicarakan
dalam konteks tertentu. Seperti saat membuat rekaman video keluarga yg
sering memakai gerak seperti ini. Kehadiran perekam ’tampak’ dari gerak
kamera.
 
Jean Rouch menganggap bahwa ’hadir’ dengan sengaja sebagai ’pengamat’
dalam film bisa mengubah anggapan. Ini membuat film tidak netral. Ini adalah
ranah dimana kita bisa membaca film dokumenter tersebut. Kita lihat bahwa
Rouch mengambil gambar sangat dekat sehingga ada kesan kamera ikut serta
dalam kegiatan yg direkam. Ia menyebutnya cine-transe. Seolah Rouch (dan
kamera) masuk dalam ritual ’kesurupan’ yg sedang direkam.
 
Untuk mempertahankan subyektifitasnya, komentar dalam film itu
dimodifikasi. Ia merekam komentarnya sambil memutar film. Terasa
komentarnya merupakan sebuah bahasa lisan, bukan bahasa tulis yg sudah
disiapkan sebelumnya. Penggunaan bahasa lisan ini juga ikut menguatkan
kehadiran Rouch dalam filmnya.
 
Roland Barthes pernah menulis tentang kekhasan suara, bahwa kita bisa
mengenal org hanya dari suaranya. Suara itu menandai kehadiran seseorang.
Jadi Rouch ingin tidak hanya suaranya yang dikenali, tetapi juga bahasa
lisannya. Ini adalah bagian dari identitas sang pengujar. Film ini adalah
dokumenter yg bersifat linear karena ia sangat cermat dalam mengatur
strukturnya (dgn cara yg subyektif). Sisi subyektifitas ini tidak merusak
wacana, justru mem-validasinya karena Rouch hadir sebagai seorang etnolog.
 
Mungkin subyektifitas dianggap berlawanan dengan sifat ilmiah dokumenter.
Namun, kehadiran subyektifitas ilmuwan dalam ilmu sosiologi atau etno-
metodelogi dianggap sebagai sebuah kejujuran. Kehadiran sang ilmuwan
justru memperkaya wacana. Ada keikutsertaan dalam pengamatan. Rouch
menganggap bahwa dalam rangka memahami suatu masyarakat, kita harus
ikut serta ke dalamnya. Rouch muncul sebagai pelopor karena pada saat itu
belum ada perangkat teori etno-metodelogis. Ini adalah suatu contoh
subyektifitas dokumenter dalam film yang ilmiah.
 
Film selanjutnya karya Georges Clouzot, Le Mystere Picasso (1956). Film ini
bertemakan memperlihatkan kerja kreatif Picasso. Film ini termasuk film
d’art. Film yang dibuat mengenai seniman. Clouzot menciptakan cara baru
yang sangat menarik untuk film yg bertemakan seniman. Dari awal kita
mengetahui bahwa di satu sisi ada Picasso, dan di belakang masih ada kamera.
Ada kunci sebelum credit title dimana ada gambaran dimana Picasso dan
dimana kamera. Ini adalah kesepakatan bagaimana kita membaca film
dokumenter ini. Penting melihat Picasso di awal film karena dalam film ia
tidak tampak, hanya karyanya. Ada semacam pengadeganan yang mengarah
ke enunciation.
 
Sudah jelas pengujar film ini adalah Clouzot. Clouzot hadir dari titik awal
sampai Picasso mulai bekerja. Ia hadir melalui suaranya. Clouzot pengujar di
awal, lalu mengalihkan posisinya ke Picasso. Maka kemudian tidak ada
pengujaran secara sinematografis. Ia hanya mengambil gambar ruang dimana
Picasso berkarya. Picasso benar-benar melukis dan ini menunjukkan sikap
humble filmmaker. Seniman yg memberikan tempatnya pada seniman lainnya.
Yang penting adalah cara menyerahkan/mengalihkan peran pengujar ini.
 
Namun di tengah film Clouzot sempat sesekali (2 atau 3 kali) mengambil alih
tempat sebagai pengujar untuk menjelaskan beberapa hal (perubahan tata
cara). Ia melakukannya dengan sangat halus dan singkat lalu kembali
mengalihkan perannya ke Picasso.
 
Ada yg bertanya, apakah kesepakatan selalu ada di awal film? Film ini adalah
contoh dimana kesepakatan bisa terjadi beberapa kali di tengah-tengah film.
Bukannya ada beberapa kesepakatan dalam film, tetapi intervensi Clouzot
untuk ’mengingatkan’ selama beberapa kali. Jadi film ini memiliki dia
pengujar dan kita berhak untuk bertanya kepada kedua pengujar. Bisa saja kita
menanyakan apakah Picasso benar-benar menulis dengan cara seperti itu?
Ataukah ia menulis seperti itu hanya di depan kamera Clouzot? Kita juga bisa
bertanya pada Clouzot apakah ia bisa memenuhi janji untuk menggambarkan
Picasso dalam sebuah kerja kreatif.
 
Paling tidak Clouzot menyatakan dengan jelas pilihannya meletakkan Picasso
dalam ruangan yang terisolasi sementara ia bekerja dan direkam. Di bagian
awal Clouzot juga menjelaskan membuat film tentang penulis atau musisi
akan lebih sulit dibandingkan tentang pelukis, karena kreatifitas pelukis
berada di tangan. Ini sudut pandang Clouzot yg selalu bisa diperdebatkan
karena ada juga yg berpendapat kreatifitas seniman ada di kepalanya sebelum
diproduksi. Mengacu pada pertanyaan yg juga penting mengenai film, apakah
film telah dibuat dulu (dalam pikiran) sebelum dibuat dalam proses produksi.
 
Pilihan Clouzot dianggap tepat karena karateristik Picasso sebagai pelukis
yang suka berimproviasai atas kerangka apa yang sudah ia pikirkan
sebelumnya. Seni-nya seorang pelukis ada di tangan karena tanda yang
ditinggalkan kuas dalam karyanya. Sapuan kuas tiap seniman adalah sebuah
signature-mark. Clouzot juga menambahkan suara kuas sebagai background
yg memperkuat otentisitas pada gambar. Padahal bunyi bersifat lebih primitif
dibandingkan musik yg lebih terstruktur. Dan ini menekankan bahwa kita
berada dalam tingkat penciptaan/kreasi. Jadi berkarya adalah menguasai hasrat
yang ada dalam tubuh kita. Dan ketika lukisan sudah mulai terstruktur, bunyi
berubah ke musik. Ada yg disebut musik konkret (musik yg dibuat dari bunyi-
bunyian).
 
Clouzot melakukan kerja sinematografis yg sangat jelas saat beralih dari bunyi
ke musik. Ada sebuah usaha pemaknaan agar penonton lebih memahami kerja
Picasso. Bahwa awalnya pelukis membuat noktah atau tanda-tanda seperti
bunyi dalam musik. Dimana itu satu tahap dimana Picasso mencari inspirasi.
Ia lalu beralih ke lukisan, seperti juga bunyi beralih menjadi musik. Dan
musik juga bisa menyampaikan semangat dari kerja Picasso. Musik menjadi
penting karena dinamikanya membawa kita ke dinamika seorang Picasso yg
sedang membentuk karyanya. Dan kita bisa mendengarkan musik yang
iramanya seperti irama Picasso yang sedang melukis, selaras dengan gerakan
kuasnya.
 
Ini adalah salah satu contoh bahwa kehadiran filmmaker hadir dalam bunyi
dan suara daripada gambar. Dalam sisi gambar yg hadir adalah Picasso dan
Clouzot hadir dalam suara. Jadi subyektifitas Picasso hadir lewat gambar-
gambarnya dan kenetralan Clouzot lah yang hadir di situ. Subyektifitas
Clouzot hadir lewat keputusannya membuat struktur dalam filmnya dan
pilihannya menekankan kreatifitas Picasso terletak di tangannya. Ini adalah
contoh film seni dimana ada dua pengujar yang hubungan keduanya telah
dengan jelas dipaparkan.
 
Dari 2 contoh film terakhir menunjukkan bahwa film dokumenter dibuat dari
kerja kolaboratif pembuat dan yang difilmkan.
 
 
Pak Tenate Pong Masak
Sesi pertanyaan berikutnya akan dilakukan besok.
 
 
Hari IV, Jumat, 6 Juin 2008
 
Georges Clouzot, Le mystere Picasso, 1956.
 A specific apparatus
 delegation of enunciation from the filmmaker to the painter
 the painter’s hand, the sound of the hand, working in the white sheet
 the process of creation at stake
 
Sesi dimulai jam 10.01 dan dibuka dengan Q+A
 
Yudha
Bagaimana pengaruh etnometodologis dalam film dokumenter?
Dalam penggunaan etnometodologis, ada keterlibatan filmmaker dalam
keseharian si subyek. Bukankah itu sangat berpengaruh dalam proses
pembuatan film?
 
 
Roger Odin
Ciri pendekatan metodologi, baik dalam film maupun media lain, peneliti
menjadi partisipan dalam struktur yang dikajinya. dengan demikian,
etnometodolog mengkaji subyek yang dekat dengan mereka. Pascal,
contohnya, mengkaji kampung halamannya sendiri.
Dengan demikian, ia bisa mendapatkan hal-hal yang tidak bisa didapatkan
orang dari luar kampung halamannya. Dia bisa memahami jaringan sosial di
desa itu, hubungan antarwarga, dia bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat
orang dari luar. Itu suatu pendekatan dari dalam. Saya sempat menonton
beberapa film Garin Nugroho, terlihat bahwa Garin mengenal secara dekat
subyek-subyeknya. Dimensi dari implikasi itu dilakukan lewat film. Tapi saya
nggak tau apakah Garin seorang etnolog, tapi dia menggunakan
etnometodologi, baik sadar maupun tidak. Tapi yang penting adalah implikasi
dalam film, yang memperlihatkan hubungan pembuat film, film dan subyek-
subyek film. Ada mahasiswa yang membuat film tentang keluarga dan itu
termasuk etnometodologi. Film yang demikian, bisa jadi sangat menarik
karena yang membuat film adalah anggota keluarga, karena pasti di dalamnya
ada konflik. Dan bahwa ada konflik berarti positif karena ia bisa memberikan
informasi.
 
Affandi
Saya ingin mengingatkan kembali soal deskripsi. Bagaimana konteks dalam
pembuatan gambar dan film dokumenter? Apakah dalam pembuatan film
dokumenter, pembuat film boleh melakukan rekayasa/skenario sebelum
shooting?

Roger Odin
Hubungan deskripsi dan konteks, pembuat film pada bagian awal menjelaskan
konteksnya. Jadi kita melihat dalam film Cluozot, dikatakan konteksnya. Ini
yang disebut konteks sinematografis. Ada film yang hanya memperlihatkan
konteks geografis, misalnya dalam film pembuat tong. Kita diperkenalkan
dengan konteks tempat, ie. desa. Ada beberapa tipe/jenis konteks, dan
tergantung filmnya menekankan konteks tertentu. Dalam film dokumenter
yang hanya menggunakan lukisan, semua lukisan dibuat oleh pelukis yang
pernah ikut pameran di Paris di abad 19. Awalnya, kita melihat gedung
pameran itu. Dengan kata lain, ada 2 jenis besar konteks: konteks
sinematografis (dimana dibuat, dalam keadaan bagaimana). Harus diakui
konteks jarang dijelaskan oleh pembuat filmnya sendiri. Untuk dokumenter
yang lain, banyak yang menekankan konteks kejadian dan tokoh yang
diangkat. Misalnya, kita mengetahui tempat tinggal pembuat tong, kita tahu
berlangsung ritus yang dideskripsikan oleh Jean Rouch, etc.
 
Apakah perlu membuat skenario? Tidak ada jawaban yang pasti. Setiap
pembuat film dokumenter memiliki cara kerja sendiri. Alain Resnais membuat
rencana kerja yang sangat rinci dan menggambar setiap shot secara rinci. Jean
Rouch tidak pernah membuat skenario, kecuali pasti mendengar dengan
sangat baik dan dari segi etnologis, dia ’mempelajari’ etnis yang akan
dijadikan subyek. Kecenderungan dokumenter meminta pembuat film
menulisnya lebih dulu. Kalau ingin mendapatkan dana dari TV karena 90%
didanai oleh TV, pembuat film harus memiliki rancangannya dulu. Dan itu
cukup mengganggu. Kadang hasil filmnya agak lain.
 
Tidak ada acuan sebenarya, tapi ada batasan2 institusional, misalnya harus
menulis skenario, rancangan film, dll, untuk mendapatkan dana.
 
Affandi
Secara etis, apakah boleh men-direct subyek?
 
Roger Odin
Bisa saja, tapi harus dinyatakan dulu. Yang jadi masalah etika, pembuat film
menutupinya. Atau semua tokoh direkam dengan kamera tersembunyi. Dalam
film dokumenter, apa saja bisa dilakukan dan yang penting mengakuinya.
Yang penting harus jujur dalam kesepakatan. Harus bisa dipertanyakan
kepada pembuat film, bagaimana cara pembuatan? Pembuat film harus bisa
menjelaskan dengan jelas tentang ’kebenaran’-nya. Misalnya, di festival film
Cannes, ada film Basyir, ketika di Libanon, orang Israel membantai orang
Palestina. Film dokumenter tapi dibuat dalam format animasi, jadi bisa
menggunakan cara apapun. Tapi yang jelas, peristiwa itu jelas terjadi, jadi
bukan fiksi.
 
 
Andi
Sejak kemaren, tidak ada soal wawancara, misalnya terhadap saksi dan ahli.
Apakah ada alasan mengapa tidak ada wawancara? Karena saya menganggap
wawancara itu masih penting untuk mememperkuat nilai ’ilmiah’-nya.
 
Roger Odin
Wawancara dengan ahli bisa jadi jaminan bahwa yang disampaikan adalah
’kebenaran’ karena kita melihatnya bicara di depan kita. Dan kini memang
ada banyak sekali wawancara dalam film-film yang bersifat ilmiah. Tapi di
tahun 1950-an, bukan demikian. Televisi pun belum ada. Sangat sulit
merekam wawancara langsung dan sulit dari segi teknik sinematografi karena
kesulitan teknis/perekaman suara langsung masih sulit. Harus melihat bahwa
ada sejarah/kisah bagaimana film dokkumenter diterima. Dulu tahun 1950-an,
tidak dilihat seperti sekarang. Tahun 1950-an, voice-over merupakan jaminan
dari kebenaran. Sekarang, mungkin tidak cukup. Kita membutuhkan informasi
yang lebih lengkap, misalnya ahli/orang yang memiliki kompetensi.
Hubungan kita dengan film dokumenter juga berubah. Dan televisi memiliki
andil yang besar di situ. TV membuat banyak wawancara dalam dokumenter,
sampai kadang film dokumenter hanya berisi serangkaian wawancara. Saya
tidak bisa menilai cara yang lebih baik untuk bercerita. Yang penting sejarah
penggunaannya. Kalau 2008, kita menonton film 1950-an, kita sulit
meletakkan diri dalam konteks tahun 1950-an. Kita cenderung menilai film
dengan kriteria2 masa kini, tetapi situasinya berbeda dengan tahun itu.
 
Sastha Sunu
Saya menonton film Belanda, Mother Dow. Film ini diambil dari arsip-arsip
berbagai negara tentang Indonesia di masa Hindia Belanda. Dia mengedit
seluruh arsip yang didapat dan membuat sebuah film. Apakah film semacam
ini bisa masuk dalam wacana semiotik dokumenter? Pembuat film tidak
berhubungan dengan subyeknya.
 
 
Roger Odin
Pertanyaan penting karena semakin lama semakin banyak film dokumenter
yang dibuat berdasarkan arsip. Dan bisa saja satu seminar khusus untuk
membahas film dokumenter berdasarkan arsip karena menimbulkan
perdebatan yang penting. Dan itu lebih kompleks lagi ketika yang ditanyakan
film dibuat oleh bukan orang pribumi, tapi bangsa penjajahnya. Mungkin film
yang saya lihat, saya ingat waktu di Amsterdam, saya menonton film tentang
zaman Belanda di Indonesia. Film itu mendekati sebagai film propaganda,
bukan dokumenter. Itu propaganda tersamar. Kita diajak membaca film itu
sebagai dokumenter, tapi sebenarnya sudah ada wacana yang hendak
disampaikan. Itu dokumenter propangada. Tapi itu tetap dokumenter karena
kebenaran wacananya bisa dikritik tapi itu dokumenter yang tidak mengatakan
kebenaran. Belum tentu penonton saat itu memiliki kemampuan untuk
mengkritik film itu. Yang mereka saksikan mereka rasakan sebagai kebenaran.
Padahal banyak yang bohong. Itu yang membuatnya jadi film dokumenter
propaganda. Tapi anda sebagai orang Indonesia anda memiliki kompetensi
untuk mengkritik film itu. Anda bisa membongkar imajinasi kolonial dalam
film itu.
 
Dan justru semiologi memiliki perangkat untuk membongkar diskursus itu,
menganalisa celah/pergeseran antara kenyataan dan wacana. Dan itu bisa
dilakukan dengan mengumumkan 2 wacana: wacana filmnya dan wacana
sejarah penjajahan Indonesia oleh Belanda. Jadi kita bisa menilai dua hal ini
dan memperlihatkan  bahwa wacana film itu tidak sesuai dengan kenyataan
dan historis.
 
Sastha
Tapi bagaimana hubungan antara pembuat film dengan subyeknya?
 
Roger Odin
Mereka yang membuat film ada di posisi penjajahan sebagai penjajah. Mau
tak mau mereka terbentuk dalam konteks itu. Jadi mereka membawa sudut
pandang tentang Indonesia saat itu baik sadar maupun tidak. Film yang saya
lihat, sengaja karena film yang saya tonton, di bawah naungan Departemen
Angkatan Bersenjata/Perang.
 
Mudah-mudahan kita sempat menonton dekonstruksi kolonisasi melalui arsip.
Film itu buatan Alain Resnais, Patung Pun Bisa Mati, dibuat mengenai
penjajahan Prancis tentang Afrika. Jadi hubungan enunciator dan arsip bisa
didekatkan dengan film penggunaan lukisan Clouzot. Kita harus memiliki
pembacaan di tingkat kedua. Jadi arsip memiliki wacana, enunciator juga
memiliki wacana. Lukisan punya wacana, tetapi Clouzot juga menyampaikan
wacana tentang lukisan itu. Jadi wacana yang di film, bersifat subyektif dan
membuat dekonstruksi. Yang dilakukan dalam film itu adalah analisa dalam
semiologi. Dan sineas menyampaikan wacananya lewat film. Jadi enunciator
benar-benar penyunting karena ia yang akan membuat strukturnya. Jadi inilah
yang terjadi pada film hasil penyuntingan belaka.
 
Ikhsan
Apakah dalam film etnologi kita bisa menggunakan struktur fiksi?
Dalam film Jean Rouch, struktur apa yang digunakan?
 
Roger Odin
Itu bisa saja dokumenter menggunakan struktur fiksi. Jean Rouch
menggunakan struktur fiksi. Tetapi ada kontrak untuk bilang bahwa ini
dokumenter. Itu fiksi yang memiliki dokumenter yang memperlihatkan
kejadian dengan bangsa Afrika sebagai contoh. Jadi ada mise en scene dengan
pemain-pemain tapi yang membuat itu menjadi film dokumenter,
memperlihatkan kekhasan suku bangsa Afrika.
 
Struktur Jean Rouch kemaren pertama-tama memperkenalkan tokoh-
tokohnya. Kita masuk ke ritus dan ritus itulah yang memberikan struktur pada
film. Bukan Jean Rouch yang menciptakan struktur, tapi ritus Afrikalah yang
memberikan struktur film. Dan pada kesimpulan, Jean Rouch memperlihatkan
tokoh-tokohnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi yang diperlihatkan, ada
tokoh2 yang memiliki kehidupan sehari-hari dan mendapatkan perlakuan yang
aneh. Jadi strukturnya hendak memperlihatkan perubahan yang terjadi dan
memiliki ritus yang aneh. Jadi ada 2 jenis struktur: struktur perubahan,
struktur yang dibuat mengikuti struktur ritual. Jadi Jean Rouch bersikap ganda
sebagai etnologi dan filmmaker. Etnolog: mengikuti ritual Afrika. Filmmaker:
meletakkan ritus dalam satu konteks dengan memperlihatkan penonton bahwa
orang biasa bisa berubah saat mengikuti ritus.
 
Vero
Regarding Werner Herzog statement
 
Roger Odin
Penonton film tidak akan bertanya apakah itu benar atau tidak dalam film
fiksi. Tapi dalalm dokumenter pembuat film harus bertanggung jawab. Ini
merupakan posisi yang berbeda. Ini sangat sulit untuk menjadi pembuat film
dokumenter. Ketika anda berbicara sebagai subyek, dalam kasus ini ada
kontrak antara penonton dan pembuat film. Tetapi ketika anda bicara ini
kebenaran, bukan kebenaranku, ini sesuatu yang berbeda. Dalam fiksi, anda
mencoba untuk melibatkan penonton dalam ’kebenaran’ anda. Ketika anda
membuat dokumenter, anda berperan sebagai true person. Ketika anda
membuat fiksi, itu dunia yang berbeda, dunia yang lain dengan dunia anda.
Jadi dalam dokumenter, selalu ada pertanyaan.
 
Bu Ari
Bagaimana dengan calon penonton dalam film Jean Rouch karena film ini
tidak diterima di Barat dan di Timur. Karena di Barat, terlalu vulgar dalam
menggambarkan Afrika. Di Afrika ditolak karena dianggap tidak
menggambarkan tentang Afrika.
 
Roger Odin
Saya bisa paham orang Afrika tidak bisa menerima citra mereka dalam film
Jean Rouch. Tapi film ini dibuat karena pesanan. Citra yang diberikan oleh
film ini adalah Afrika seram, mitos, dll, dan ini tidak bisa diterima orang
Afrika masa kini. Film ini sulit diterima oleh etnolog karena dimensi
emosionalnya bisa merusak dimensi ilmiahnya. Saya juga setuju dengan
kurang menerima film dari segi etnolog dan Afrika. Tapi harus meletakknya
film ini dalam konteks. Saya yakin akan kejujuran Jean Rouch dalam film ini.
Tapi saya rasa dia tidak terlalu memikirkan dampak dari film ini. Dari satu
sisi, film itu memperkokoh wacana kolonial zaman itu tanpa dikehendaki oleh
Jean Rouch. Itu bukti bahwa Jean Rouch kurang semiopragmatik. Ia tidak
menilai kuasa konteks penerimaan film itu, baik di Eropa dan Afrika. Jean
Rouch malah masuk ke konteks etnografis. Kalau film ini diputar di bioskop,
bisa memunculkan semua stereotip kolonisasi. Saya pikir itu kelemahan para
pembuat film yang tidak menilai/mengantisipasi penerimaan/resepsi filmnya.
Kalau kita membuat film, kita harus mempertanyakan diri bagaimana film itu
diterima. Pemaknaan apa yang mungkin akan ada? Kalau kita hanya
memikirkan film itu, kita akan luput dari hal-hal lainnya. Pekerjaan seorang
pembuat filmnya adalah menonton film dari pandangan penontonnya. Itu
rumit sekali karena jenis penonton ribuan. Dalam film Jean Rouch, ada
penonton Eropa dan penonton Afrika.
 
Forum ditutup 11.26.
 
Forum II dimulai pada jam 13.42.
 
Pertanyaan
Reality show masuk ke kategori apa ya?
 
Roger Odin
Reality show bisa dibaca dari segi dokumenter. Melalui reality show, kita bisa
mengetahui kehidupan suatu masyarakat. Tetapi membuat kategori tertentu
reality show itu agak khas. Di dalamnya, ada istilah show. Jadi itu
menyangkut terutama televisi, tidak begitu dengan film/sinema. Itu satu cara
untuk meletakkan program satu jenis ini di dalam program TV. Jadi untuk
memberi petunjuk pembacaan. Dan petunjuk itu ada di istialh sendiri:reality
dan show. Ada pertunjukan dengan realita. Jadi ada 2 cara produksi makna:1.
menjadikan program itu sebagai pertunjukan, 2. program itu dilihat sebagai
dokumenter.
 
Jadi di dalam program TV-nya sendiri, ada jenis reality show terikat pada 2
siaran:siaran show, dan di sisi lain, terkait dengan siaran
dokumenter/pemberitaan. Jadi itu yang bisa disebut produksi hibrida,
pertunjukan sekaligus dokumenter. Dan jenis siaran hibrida banyak karena
kita melihat banyak yang memiliki 2 tingkat pembacaan. Saya melihatnya
demikian.
 
Pertanyaan
Jadi itu semacam Lost, Survivors, etc.
 
Pak Tanete Pong Masak
Ada buku yang diterbitkan oleh salah satu dosen di Universitas Paris III.
Dalam disertasinya, ia menulis tentang hubungan Jean Rouch dan reality
show. Jean Rouch adalah penemu reality show.
 
Roger Odin
Reality show mengacu pada kenyataan. Saya setuju sekali kalau Jean Rouch
dianggap bapak reality show karena ia memulainya ketika orang lain belum
melakukannya. Jadi reality show tidak berdasarkan teori, tetapi hadir di
televisi karena ada tuntutan dari TV. Secara teoritik hal ini bisa dikaji. Saya
bukan pakar TV, meskipun saya pernah kaji media itu. Istilah reality show
sudah mengungkapkan dirinya.
 
Pertanyaan
Saya belum jelas siapa itu enunciator dalam film Clouzot karena dikatakan
adanya penutur ganda. Pemahaman saya, enunciator adalah director, pembuat
film, eksekutor. Ketika ia menyerahkan enunciator pada pelukis, Clouzot juga
bekerja sebagai seorang director. Ia mengisi narasi, musik, etc.
 
 
Roger Odin
Memang sudah dipahami betul apa yang saya maksud. Picasso sebagai
penutur, ia lebih hadir, tapi Clouzot tetap hadir. Misalnya dari peralihan dari
bunyi ke musik. Cluozot selalu ada sebagai penutur sepanjang film. Dan kita
memang cenderung, seolah-olah satu penutur selalu satu orang. Padahal
bukan. Enunciator adalah satu struktur. Makanya alangkah penting
mencampur antara auteur dan enunciator. Walaupun dalam menganalisa film,
kadang kita mencampurnya. Enunciator tidak ada dalam kenyataan. Itu hanya
perangkat teori. Enunciator: penutur, sutradara/pembuat film, penyunting,
musisi, teknisi, masyarakat, dll.
 
Pertanyaan
Mengapa dalam contoh-contoh yang dibahas, bukan film baru.
 
Roger Odin
Jadi alasannya: seminar ini kesempatan yang jarang untuk melihat film-film
Prancis produksi tahun 1950-an. Ini zaman emas dokumenter. Alasan kedua,
lebih teoritik. Itu menyangkut pertanyaan pada obyek karena kita tidak
memiliki pengalaman menonton film2 1950-an. Menjadi lebih mudah untuk
bertanya pada sesuatu yang lebih asing/jauh. Film-film aktual bisa
menghadirkan pertanyaan2 yagn sama, tapi mungkin sulit muncul. Saya
sampaikan saya banyak perangkat home-movie karena itu menimbulkan
pertanyaan, daripada saya melihat film fiksi dan dokumenter yang lebih akrab.
Saya harus akui pula saya pernah ragu dalam memilih sample dokumenter
1950-an. Saya memutuskan karena alasan2 yang tadi sudah dikemukakan.
 
Memutar film
Agnes Varda, Opera Mouffe, 1958.
Penonton harus menempatkan diri dalam gender studies: hubungan antara
laki-laki dan perempuan, homoseksualisme, dll. Dan itu sangat jarang. Kita
akan berhadapan dengan film yang benar-benar perempuan. Enunciatornya
perempuan dan sangat terasa dalam film. Dan jarang film yang
memperlihatkan dengan jelas, dibuat oleh perempuan. Banyak sekali
sekarang, tapi tahun 1950-an masih jarang. Pada saat itu sutradara perempuan
di Prancis sedikit sekali.
 
Jadi ini benar-benar unik karena film jelas dibuat oleh perempuan dan
membawa dengan jelas semangat anak perempuan.
Roger Odin
Alasan keempat adalah karena saya suka sekali film-film ini dan terutama film
Agnes Varda karena di perbatasan film fiksi dan dokumenter. Ini dokumenter
yang bersifat poetic. Film ini terlihat referensi sinema eksperimental.
 
Kembali ke pertanyaan soal gender. Agnes Varda membuat film dalam
keadaan hamil dan ia berusaha menyampaikan pada penonton perasaan wanita
yang sedang hamil. Jadi dokumenter ini tentang sesuatu yang khas wanita:
hamil, termasuk rasa lelah. Misalnya, waktu kita lihat wanita hamil yang lelah
sedang jalan dan keinginan untuk lebih bebas ketika ada wanita yang sedang
menari. Kita bisa ikut resah karena kehilangan janin. Terlihat dalam shot telur
dan bola lampu yang pecah. Membagi perasaan mual dengan lengking.
Ngidam juga:terlihat dalam adegan makan bunga. Dan memang itu
subyektivitas Agnes Varda untuk menyampaikan keadaan hamil. Dan film
dokumenter tentang Jl. Moustard, tempat tinggal Agnes Varda. Jalan ini kecil,
sangat ramai di pusat Paris, dekat dengan tempat kami kerja. Jadi film ini
termasuk film tentang tetangga. Itu bukan home-film/film keluarga, tapi lebih
luas karena di lingkungan tempat kita tinggal. Dalam dimensi puitik, kita
harus menekankan perang musik. Musik beraneka tapi ada instrumen yang
paling banyak digunakan adalah akordeon karena ia menekankan kehidupan
masyarakat bawah. Akordeon dijuluki sebagai organ kaum papa. Kita lihat
bagaimana Agnes Varda ingin mengangkat orang seperti itu. Saya ingin
menyampaikan alasan mengapa suka film seperti ini.
 
 
Saya merasa kehilangan sesuatu dalam film yang direkam secara langsung.
Karena kita sudah tidak lagi melihat dengan begitu rinci. Dengan sinema yang
suara direkam langsung, suara menjadi fokus perhatian. Dan dengan close up,
kita bisa melihat wajah orang seperti pemandangan, kita bisa membaca
banyak orang. Jadi ada nilai tambah dari nilai seperti itu, yang bersifat lebih
manusiawi. Tapi hilang dalam film bersuara (suara direkam langsung). Jadi
bagaimana film memperhatikan gerak-gerik wajah. Close up satu tokoh cukup
panjang hingga kita suka dengan orangnya. Jadi ada dimensi orang.
 
Jadi ini alasannya mengapa saya memilih film tahun 1950-an dan karena
faktor usia. Menonton film 1950-an itu nostalgia. Ada hal penting yang
diperoleh dengan sistem suara langsung, tapi ada juga yang hilang. Saya
merasa alangkah baiknya, film masa kini berhenti sejenak merekam suara
langsung.
 
 
Film kedua
Alain Resnais, Ch. Marker,
Les statues meurent aussie
Film ini bersifat polemikal dan politis.
 
Film ini menampilkan hal yang buruk dari kolonialisme, melawan gambaran
kolonisasi orang Eropa. Film ini dimulai dengan penjelasan mengenai patung-
patung yang juga mati dan ketika mati/tidak memainkan peran, mereka
dikirim ke museum. Jadi anda lihat dalma museum ada pameran obyek2 yang
digunakan oleh orang Barat.
Itu untuk menyadarkan pengunjung, bagaimana perasaan anda jika apa yang
anda pakai sehari-hari dimasukkan ke museum. Itu tanda bahwa benda2 itu
sudah mati. Sudah tidak punya fungsi lagi. Jadi melihat seni afrika dari segi
estetisnya yakni mencabut fungsinya. Ketika di Paris kita pergi ke museum
primitif yang baru diresmikan, kita diperlihatkan segi estetik dari seni Afrika.
Jadi memandang benda2 dari segi estetik saja berarti dangkal/permukaan.
Sedangkan benda-benda itu diciptakan untuk hidup di sebuah ruangan di mana
seni dan agama hidup bersama.
 
Topeng dan patung hidup di dalam masyarakat. Dan fungsi tsb sulit
dibayangkan. Dalam museum, kita menaruh topeng dan patung dengan
melupakan hal-hal lain yang memainkan peran besar dalam masyarakat.
Bahwa sisir, kotak, kursi juga termasuk dalam seni Afrika. Jadi pendekatan
orang Barat memiliki sifat sempit dalam menilai dan melihat seni Afrika.
Apalagi film itu menjelaskan dalam ruang di Afrika, semua bersifat seni
sekaligus agama, termasuk setiap benda dalam kehidupan sehari-hari. Itu yang
bisa menjelaskan mengapa setiap benda diukir dengan banyak semangat dan
perasaan. Tapi pemandangan orang Barat tidak bisa menjangkau pembacaan
tersebut. Kita berada pertanyaan semiopragmatik yakni hubungan teks dan
konteks. Jadi film itu bertujuan untuk meletakkan dalam konteks Afrika
benda-benda yang biasa kita lihat di Barat sebagai seni.
 
Pemahaman tentang seni di Barat lebih bersifat historis dan dari segi tempat,
terbatas. Seni sebagai ruang yang khusus yang terpisah dari kehidupan sehari-
hari. Bukan berarti tidak ada seni di tempat lain, tapi pemahamannya lain.
Dilihat dari apa yang saya baca tentang Indonesia, pemahaman seni di sini
sama dengan yang di Afrika. Banyak benda yagn dibuat dengan seni dan
merupakan benda-benda sehari-hari yang untuk orang Barat, sulit diterima
sebagai benda seni. Bahwa kita sulit menerimanya sebagai benda yang
memiliki fungsi karena perbedaan pandangan estetik.
 
Itu suatu film yang memiliki wacana yang menimbulkan polemik dan
membuat penonton untuk mempertanyakan diri-sendiri. Itu yang ditekankan
pada adegan pengunjung di museum dan kita berfokus pada pengunjung.
Dokumenter ini benar-benar menuntut penonton bertanya dan penonton
merasa kurang nyaman. Bisa mengganggu negara Prancis. Film ini disensor
selama 20 tahun karena membuat tidak nyaman pemerintah Prancis. Baru
diputar di TV Prancis tahun 1984.
 
Itu yang saya bilang, film dokumenter merupakan tantantang juga karena
berisiko. Lebih banyak daripada membuat fiksi. Film itu dilarang, hal ini
memperlihatkankan bahwa wacana film ini mengganggu wacana dan ideologi
Prancis saat itu. Dan juga film ini memperlihatkan akibat dari kolonisasi
terhadap seni Afrika. Jadi seni Afrika berubah menjadi kerajinan. Jadi
pembuatan dalam jumlah banyak dengan tujuan untuk dijual. Dengan
demikian, benda-benda itu sudah kehilangan fungsi sebelumnya. Fungsinya
:hanya untuk mendapatkan uang. 
 
Jadi seperti diketahui, uang memanggil uang. Yang penting menjual sehingga
benda-benda itu dibuat dengan cepat, agak sembarang, yang penting ada
bentuknya. Yang penting bisa dijual, bisa menarik turis dan orang asing, tidak
dibuat dengan perasaan yang dulu pernah dirasakan saat membuat benda itu.
Dan di dalam film, bukan hanya seni tapi budaya Afrika menjadi hancur
karena penjajahan. Misalnya, di Afrika, dibangun monumen dengan bentuk
Prancis. Sementara hubungan dengan dunia kematian di Afrika berbeda
dengan hubungan kematian Prancis.
 
Muncul rumah yang dibangun dengan bahan yang tidak cocok dengan iklim
Afrika, yakni dengan semen/bata. Rumah Afrika memakai tanah sebagai
isolasi terhadap panas. Ritus-ritus Barat menggantikan ritus Afrika. Misalnya,
defile tentara. Jadi sepanjang film, diperlihatkan dampak penjajahan bagi
Afrika. Jadi kita bukan berhadapan dengan film dokumenter netral, tidak
memihak. Ada sebuah wacana tentang gejala sejarah dan bersifat politis. Tapi
tetap dokumenter. Dan kebenaran bisa dipertanyakan. Kita bisa
memeprtanyakan bagaimana film memperlihatkan semua yang ingin
diperdebatkan pembuat film. Dan kita lihat film ini menggunakan dokumen
arsip tetapi digunakan untuk mengkritik hal itu. Dilihat dengan sudut pandang
kritis. Dan sebaliknya semua usaha dilakukan agar penonton menyukai seni
Afrika. Misalnya, pencahayaan benda-benda itu bagus. Semua dilakukan agar
penonton dapat menilai tinggi seni Afrika dan seni itu sama mutunya dengan
seni Barat, ex. seni Yunani, Romawi, etc.
 
Itu yang Alain Resnais sebut sebagai film stimulasi. Propaganda tidak mau
digunakan karena bersifat peyoratif, apalagi kalau propaganda artinya mengisi
otak dengan ide-ide. Jadi sebaliknya dari film propaganda, kita harus pasif dan
menerima gagasan2, film stimulasi mengajak/membawa penonton untuk
berpikir dan punya pertanyaan. Satu pertanyaan yang sangat mendasar:
bagaimana saya memandang orang Afrika? Dan dalam film itu sudah jelas,
pertanyaan itu bukan hanya berlaku untuk orang Afrika.
 
Saya ingin sekali mempertunjukkan film itu karena kita bisa mengajukan
pertanyaan yang mendasar: tentang peran film dokumenter. Apa peran dalam
kehidupan masyarakat? Apa peran dalam politik dan hubungan antarbangsa?
Itulah kemuliaan dari film dokumenter yang bisa menimbulkan pertanyaan
tentang masalah mendasar dan memiliki andil dalam mengubah hubungan
antarmanusia dan antarbangsa. Tapi itu sendirinya pada pembuat film
dokumenter tanggung jawab yang sangat besar.
 
Pak Tanete Pong Masak
Analisis semiopragmatik sangat menekankan tentang konteks sebuah film. Ini
dekat dengan sosiologi dan pendekatan analisis wacana yang dekat dengan
Marxist. Silakan pertanyaan.
 
Evi
Saya agak bingung memahami kontrak antara pembuat film dan penonton.
Ada satu adegan dalam film Resnais yang menarik:ketika di museum,
pengunjung melihat topeng. Kamera menyorot dari depan. Bisakah saya
menafsir adegan tsb sebagai bentuk kontrak, si topeng yang melihat ke
pengunjung?
 
Roger Odin
Benar sekali. Film itu menyatakan kepada penonton, lihatlah, bagaimana anda
biasa melihat. POV kamera ini sebagai pemihakan. Memang itu adegan kunci
yang merupakan kontrak antara penonton dan enunciator. Enunciator
memanggil perhatian penonton soal pertanyaan ini.
 
Lisa
Bagaimana dengan interview sebelum credit?
 
Roger Odin
Ini merupakan interview film dengan pembuat film Afrika, tetapi ini tentang
film sekarang. Saya pikir menarik untuk memberi pengantar interview yang
dibuat tahun 2000. Film ini diapresiasi bagi orang Afrika sekarang.
 
Lisa
Interview dimasukkan ke dalam film sehingga ini memberi konteks tambahan
dan ini merupakan kontrak tambahan.
 
Roger Odin
Pembuat film ini memberikan konteks bagaimana film ini harus dilihat. Film
ini diantarkan oleh seorang pembuat film Afrika terkenal.
 
Renal
Mengapa film ini disensor begitu lama? Saya melihat ada komodifikasi seni
dari kolonial. Saya ingat teori Adhorno tentang komodifikasi. Bagaimana
kontribusi semiopragmatik terhadap proses ini?
 
Roger Odin
Bagaimana film itu bisa disensor begitu lama? Prancis pernah memiliki
masalah mengerikan dengan NAZI tapi berhasil mengatasinya. Hubungan
dengan kolonialisme tidak pernah bisa diatasi Prancis. Persoalan kolonialisme
menjadi sumber perdebatan hingga sekarang di Prancis. Dan kalau kita lihat
bahwa Parlemen Prancis malah mengadopsi satu UU di mana disebut bahwa
kolonialisme memiliki aspek2 positif terhadap bangsa penjajah. Tapi masih
ada seperti itu.
 
Jadi kita bisa memahami dalam konteks politik sikap institusi Prancis yang
menyensor film ini. Mengenai institusi2 itu bukan hanya tentara, tapi juga
semua kelembagaan Prancis menyensor film itu. Film itu disensor di sisi lain
membuat bahwa film memiliki peran dan kekuatan yang besar. Dan itu yang
membuat para filmmaker tetap membuat film.
 
Theodor Adorno selalu mengkritik seni massa, seni yang hanya dijual/produk.
Tapi saya tidak setuju dengan pemikiran Adorno dll., kita diajak untuk tidak
menyukai seni massal. Saya tidak menganggap bahwa TV itu jelek sama
sekali. Bukan karena itu seni massal lalu dianggap jelek. Dan sebaliknya seni
elitis lalu menjadi sesuatu yang bagus. Saya tidak memiliki pendapat yang
sama dengan mereka. Justru kita harus mengkaji seni massa. Dan saya
menyesal sekali bahwa pengkajian terhadap film dilakukan terhadap film-film
sineas besar. Saya merasa harus mengkaji produksi2 besar, biaya besar dan
jutaan orang nonton di bioskop. Pasti ada yang menarik yang bisa dikaji.
Dalam konteks itu, saya lebih setuju dengan cultural studies. Tidak semua,
tapi dalam konteks ini. Kita harus memperhatikan seluruh jenis produksi. Kita
harus menaruh perhatian pada seluruh produksi, bukan hanya pada karya yang
dilabel seni. Saya sudah lama mengkaji film keluarga karena film ini lebih
banyak diproduksi. Dan yang dikritik di sini bukanlah seni massal. Yang ia
kritik, dari seni menjadi kerajinan yang bertujuan dijual.
 
Lisa
Beberapa film terakhir sangat sulit dihubungkan dengan deskripsi.
 
Roger Odin
Film Varda melakukan deskripsi dengan melakukan kategori-kategori. Ini bisa
dilihat dari sub-title yang memberi judul pada masing-masing bagian. Ada
beberapa perbedaan.
Alain Resnais memang bukan deskriptif yang penuh, tapi ada bagian2 yang
mempresentasikan/menggambarkan patung-patung. Itu deskripsi. Ada
deskripsi tapi tidak selalu mudah dipahami.
 
Anita
Apa beda dokumentasi dan dokumenter?
 
Roger Odin
Dokumentasi bermakna banyak.Bisa diartikan dokumen untuk membuat film.
Dokument adalah bersifat mentah dibanding dokumenter. Misalnya, saya
bikin penggalian arkeologi lalu saya menemukan sesuatu. Itu adalah dokumen
saya. Dan berangkat dari film arsip itu saya bisa membuat film dokumenter
dengan membuat struktur. Jadi ada kerja yang dilibatkan untuk mengubah
dokumentasi menjadi dokumenter. Film dokumenter bisa jadi dokumentasi. Di
Paris, ada perpustakaan di mana ada ribuan film dokumenter yang bisa jadi
dokumentasi.
 
Misalnya, kita mo bikin dokumenter, kita bisa mencari dokumentasi di sana.
Jadi film dokumenter dibuat dari satu dokumentasi, bisa jadi dokumentasi.
 
Pertanyaan
Terkait dengan pernyataan bahwa film dokumenter masih bisa membuat
beberapa pihak merasa takut. Faktor apa yang membuat hal ini terjadi?
 
Roger Odin
Yang membuat film dokumenter itu menakutkan karena film dokumenter
mengajak penontonnya bertanya. Penonton adalah pemilih dalam Pemilu.
Kalau penonton mengikuti wacana film, mereka tidak akan memilih, apalagi
TV. Film bisa ditonton jutaan orang. Tapi saya pribadi berpendapat para
politisi itu berlebihan. Tentu saja satu film bisa mempengaruhi penonton tapi
kalau sampai mengubah banyak hal, saya kira tidak. Film yang disensor
mendapatkan iklan tambahan.
 
Forum ditutup pukul 16. 16.
Pidato penutupan dari Dekan FFTV-IKJ.
0 comments share

Feb 3, '08 8:26 AM


Pusat Dokumentasi Seni: Bidang Film
for everyone
Link: http://jibis.pnri.go.id/sinema/

sebuah website penting yang berusaha mendokumentasikan film dan tulisan


tentnag film Indonesia
0 comments

Jan 29, '08 5:37 AM


SINEMA CHINA KONTEMPORER
for everyone
PENDAHULUAN

Persoalan geopolitik merupakan persoalan dasar dalam pembahasan sinema


China. Apakah sinema China itu? Bagaimana batas-batasnya? Apakah sinema
China menyangkut pula Taiwan, Hongkong dan film-film yang diciptakan
secara transnasional oleh para diaspora China? Pertanyaan-pertanyaan seperti
ini telah menjadi persoalan tersendiri bagi banyak penulis sinema China.
Perkembangan sinema China daratan, Hongkong, dan Taiwan meski tidak bisa
dikatakan saling lepas sama sekali, menempuh jalur yang sangat berbeda.
Hongkong sejak dahulu telah membangun sistem industri yang sangat kuat.
Sementara Taiwan memiliki kondisi yang khas yang sangat berbeda dengan
perkembangan sinema di China daratan dan Hongkong.

Meski demikian, perdebatan tentang perkembangan sinema di China


(daratan), Hongkong, dan terutama dalam hubungannya dengan Taiwan lebih
mengambil jalan politik. Persoalan menjadi problematis terutama dalam
mendefinisikan sinema China (daratan) dan sinema Taiwan karena secara
politik, kedua negara ini memimpikan satu China –meski dengan basis
ideologi yang sangat berbeda. Taiwan memimpikan satu China sebagai negara
nasionalis, sementara China daratan –sejauh ini—masih memimpikan satu
China di bawah bendera Komunis –meski mengadopsi ekonomi kapitalis.

Bicara tentang sinema China pun mau tak mau harus berbicara tentang
nasionalisme dan bagaimana film menjadikan dirinya sebagai artefak
imajinasi nasional. Sinema nasional, seperti banyak ahli menyebut, menjadi
sebuah istilah yang membakukan sinema sebagai produk kebudayaan yang
membentuk dan merepresentasikan identitas nasional atau ‚kebangsaan’.

Dalam banyak perdebatan, sinema nasional kemudian mengandaikan gagasan


tentang sinema yang koheren dan menyatu, yang mewakili keunikan atau ciri
nasional sebuah bangsa. Pengertian ini menjadikan sinema nasional sebagai
konsep yang baku dan stabil.

Padahal negara-bangsa sebagai basis dan manifestasi dari nasionalisme


(komunitas terbayangkan) telah mengalami krisis oleh globalisasi dan
teknologi informasi. Batas-batas nasional dan definisi kebudayaan nasional
telah jauh melemah akibat menguatnya peran perusahaan transnasional,
konsolidasi pasar global, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,
dan menguatnya ekonomi finansial di atas ekonomi industri. Arjun Appadurai
(1990) menggarisbawahi bahwa telah terjadi perkembangan luar biasa pada
proses deteritorialisasi karakter dari komunitas terbayangkan supranasional,
yang kini menggantikan konsep negara-bangsa. Dalalm tulisannya, Appadurai
melihat bahwa ada 5 dimensi aliran kultural global yang membuat konsep
nasional menjadi semakin tergerus, yakni ethnoscape (menyangkut
perpindahan manusia via turisme, imigrasi, pengungsian, dan lain-lain),
mediascape (menjelaskan tentang produksi dan diseminasi informasi dan
citraan melalui media, termasuk film), technoscape (yang diinisiasi oleh
perusahaan transnasional, distribusi teknologi yang memperumit hubungan
politik, ekonomi, dan sosial), finanscape (perpindahan uang/modal dalam
jumlah besar melintasi batas negara-bangsa), dan ideascape (menyangkut
ideologi). Kelima dimensi ini telah memberi kontribusi besar pada semakin
tidak memadainya konsep negara-bangsa di kondisi kontemporer sekarang ini.

Maka perdebatan tentang sinema nasional kemudian mengemuka dengan


kritik tajam pada pendasaran teritorial, yakni film yang diproduksi di dalam
suatu negara-bangsa. Padahal (dan karena), pada dasarnya, konsep sinema,
bangsa dan sinema kebangsaan (sinema nasional) semakin bersifat
terdesentralisasi dan terasimilasi dengan struktur hiburan global yang bersifat
transnasional. Oleh karena itu, Jinhee Choi mengajukan sebuah pendekatan
baru sinema nasional. Menurutnya, sinema nasional bisa didekati dengan tiga
pengertian. Pertama, sinema nasional dapat digunakan sebagai label untuk
membedakannya dengan sinema Hollywood dan sinema nasional lain dalam
genre yang sama. Kedua, sinema nasional dapat dilihat sebagai subkategori
yang merujuk pada film-film yang dibuat oleh para pembuat film yang
memiliki kerangka estetik atau ideologi dalam momen sejarah yang spesifik.
Terakhir, sinema nasional yang disebut dengan gelombang baru (new wave)
menandai dirinya sebagai film-film yang diproduksi dalam negara-bangsa itu,
karena terjadinya perubahan dalam industri film dan kultur film. Meski tidak
memiliki konsistensi/koherensi stilistik, gelombang baru memiliki
karakteristik yang bisa dilihat dengan jelas, seperti kesamaan tema film,
munculnya genre baru, dan perubahan mode/cara produksi. Di sini, aspek
ekonomi dan ideologi menjadi latar belakang bagi pertimbangan teritorial
(negara-bangsa) dan fungsi sinema nasional.
 

Dalam konteks terakhir inilah, pembacaan atas sinema China akan


ditempatkan. Bukan hanya karena sinema Taiwan dan Hongkong telah
berkembang sedemikian rupa menciptakan ruang dan sejarahnya sendiri yang
cukup panjang, namun aspek ekonomi dan ideologi sinema China daratanlah
yang sangat menarik untuk dibahas. Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan
berfokus pada perkembangan sinema di China daratan, dengan demikian
mengeluarkan Taiwan dan Hongkong dari pembahasan ini.

Tetapi bukan berarti pembahasan sinema China (daratan) akan menjadi lebih
mudah. Sebagai sebuah negeri terbesar di dunia dengan tradisi sejarah yang
sangat panjang, China telah menjadi ajang pertarungan politik banyak
kepentingan. Sejak awal abad 20, pemerintahan Komunis menguasai China
dan memaksakan sistem kontrol yang ketat pada semua jenis ekspresi seni,
film tak terkecuali, sehingga perkembangan sinema China sangat dipengaruhi
oleh perkembangan politik rezim ini. Bahkan dalam banyak pembahasan
tentang sinema China, faktor politik menjadi faktor determinan.

Sinema kontemporer China (daratan) ditandai dengan bangkitnya para


pembuat film muda bawah tanah. Pembuat-pembuat film ini membuat film
secara ilegal, di luar sistem pemerintah, dan mengedarkannya lewat festival-
festival internasional. Selama beberapa tahun terakhir, terutama sejak akhir
tahun 1980-an, sinema China sebenarnya telah mendapatkan posisi penting
dalam festival film dan pasar film seni Barat. Hal ini pulalah yang
menyebabkan kajian tentang sinema China mulai berkembang. Selama tahun
1990-an hingga sekarang, China diwakili oleh para pembuat film muda yang
berjaya di tiga festival terbesar di dunia: Berlin, Cannes, maupun Venice.
Nama seperti Jia Zhangke, Wei Jei, Wang Xiaoshuai, Zhang Yuan,  Li Yang
dan Lou Ye mulai masuk wacana film internasional –yang artinya Barat. Oleh
banyak orang, generasi pembuat film muda ini disebut Generasi/Angkatan
Keenam, sebuah label yang dibuat dengan melihat bangkitnya
Generasi/Angkatan Kelima, beberapa tahun sebelumnya.

Meski demikian, seperti kecenderungan generasi pembuat film sebelum


mereka, film-film China kontemporer ini dinilai dengan bobot politiknya yang
kental. Hal ini tak mengherankan mengingat film merupakan produk sosial-
politik-historis lingkungan di mana film itu diproduksi. Meski demikian,
penilaian ini bukannya tanpa problem sama sekali. Dalam bagian-bagian
berikut, akan dilihat konteks perkembangan generasi keenam ini dalam
konteks perkembangan produksi film di China dan pentingnya pandangan
Barat atas perkembangan wacana sinema kontemporer China.  

SEJARAH PRODUKSI FILM DI CHINA

Film diperkenalkan pertama kali di China pada tahun 1896, setahun setelah
Lumiére melakukan pemutaran film pertama di Paris. Pemutaran film pertama
terjadi di kota Shanghai pada 11 Agustus 1896. Film China pertama
merupakan rekaman dari Opera Beijing, berjudul Pertempuran
Dingjunshan, dibuat pada November 1905. Selama dekade berikutnya, film-
film mulai banyak diproduksi di Shanghai, meski sebagian besar perusahaan
produksi masih dimiliki oleh orang asing. Industri film lokal baru berkembang
pada tahun 1916 dengan Shanghai sebagai pusat.
 

Selama tahun 1920-an, banyak ahli film Amerika yang datang ke Shanghai
untuk melatih para teknisi dan kameramen Shanghai. Pengaruh Amerika
terasa sekali selama dekade ini. Hal ini terlihat dari jumlah produksi film lokal
China yang hanya berjumlah 10% dari total film yang beredar di tahun 1929.
Sisanya adalah film impor Hollywood. Di masa ini, perusahaan-perusahaan
film penting China mulai berproduksi, seperti Mingxing Film Company
("Star" Pictures) dan Tianyi Film Company ("Unique").

Mingxing didirikan oleh Zheng Zhengqiu dan Zhang Shichuan, yang mulanya
berfokus memproduksi film-film pendek komedi, antara lain Laborer's Love
(1922). Sebentar kemudian, industri film China mulai memproduksi film-film
panjang, terutama drama, seperti Orphan Rescues Grandfather (1923).
Sementara itu, Tianyi berfokus memproduksi film-film drama berdasarkan
legenda rakyat dan mulai mengekspor filmnya ke luar negeri, terutama ke
Asia Tenggara di mana komunitas China diaspora banyak tersebar.
Contohnya, film White Snake (1926).

Selain kedua perusahaan itu, muncul pula beberapa studio film kecil macam
Yihua (1932), Diantong (1934), dan Xinhua (1935). Studio-studio ini banyak
memproduksi melodrama, genre yang populer di kalangan penonton China.
Pada tahun 1927, Jiang Jie-shie (Chiang Kai-shek) yang bersifat nasionalis,
melakukan kudeta berdarah pada tahun 1927 dan mendirikan pemerintahan
sayap kanan, Goumindang (Koumintang. Kekuatan ini bersaing dengan
kekuatan progresif kiri di politik China yang dipimpin oleh Mao Ze-dong.
Pada tahun 1931, Jepang menyerang Manchuria dan menguasai beberapa
daerah lain di China.

Pemerintahan sayap kanan memberlakukan sensor yang ketat pada produksi


lokal, sementara kekuatan kiri mulai masuk ke studio untuk membuat film-
film progresif seperti Spring Silkworms (1933) karya Cheng Bugao, The Big
Road (1935) karya Sun Yu, dan The Goddess (1934) arahan sutradara Wu
Yonggang.  Film-film ini mengangkat isu-isu perjuangan kelas dan invasi
Jepang. Mereka juga mengangkat cerita orang-orang biasa, contohnya,
keluarga peternak ulat sutra di Spring Silkworms dan seorang pelacur di The
Goddess. Periode ini banyak menghasilkan film ‘penting’ dan oleh banyak
pihak sering disebut masa keemasan film China yang pertama.

Tiga perusahaan besar yang mendominasi pasar film China di pertengahan


tahun 1930-an adalah Lianhua ("United China"), Mingxing dan Tianyi. Bisa
dikatakan Mingxing berorientasi kiri, Lianhua di sayap nasionalis, sementara
Tianyi lebih moderat. Periode ini menghasilkan bintang-bintang film terkenal
masa itu, antara lain Hu Die, Ruan Lingyu, Zhou Xuan, Zhao Dan dan Jin
Yan. Film lain yang juga terkenal pada masa itu adalah New Women (1934),
Song of the Fishermen (1934), Crossroads (1937), dan Street Angel (1937).
Perebutan pengaruh di dalam studio-studio film antara kekuatan kiri dan
kekuatan nasionalis terus berlangsung. Diantong yang berorientasi ke kiri
segera dibabat oleh pemerintahan nasionalis, sementara Xinhua yang didirikan
tahun 1935 menjadi corong kelompok sayap kanan.  

Invasi Jepang ke China, terutama pendudukan Shanghai telah menghabisi


masa keemasan sinema China di tahun 1937. Semua perusahaan film kecuali
Xinhua Film Company ("New China") tutup dan banyak pembuat film lari
dari Shanghai menuju Hongkong, wilayah nasionalis Chongqing, dan lain-
lain.

Selama masa pendudukan ini, Shanghai mencoba mempertahankan diri


sebagai pusat produksi film China. Beberapa sutradara dan artis mencoba
memproduksi film dengan tema nasionalis. Contohnya sutradara Bu Wancang
yang membuat  Mulan Joins the Army (1939). Film ini bercerita tentang
seorang petani muda China yang hendak melawan kekuatan asing. Ketika
pendudukan Jepang semakin ketat, industri film Shanghai praktis berada di
bawah kontrol mereka. Pada saat itu, Jepang mendorong produksi film-film
propaganda, seperti The Greater East Asia Co-Prosperity Sphere-
Promoting Eternity (1943). Saat itu Jepang mengotorisasi perusahaan
Manchukuo Film Association untuk terus berproduksi.

Setelah perang berakhir di tahun 1945 –ditandai pengeboman Hiroshima dan


Nagasaki--, industri film Shanghai mulai bergeliat lagi. Lianhua dan Mingxing
kembali hidup. Pada tahun 1946, Cai Chusheng kembali ke Shanghai dan
mengubah nama Lianhua menjadi  "Lianhua Film Society." Perkumpulan ini
kemudian menjadi studio Kunlun yang kelak akan menjadi satu dari studio
paling penting dalam sejarah sinema China. Kunlun memproduksi Myriads of
Lights (1948), The Spring River Flows East (1947), dan Crows and
Sparrows (1949). Banyak film masa itu mengekspresikan kekecewaan pada
kekuasaana opresif Partai Nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-shek. Film
The Spring River Flows East berdurasi 3 jam dan disutradarai oleh Cai
Chusheng dan Zheng Junli, merupakan box-office saat itu. Film ini
menceritakan perjuangan orang-orang China kebanyakan melawan Jepang.
 

Sementara itu, perusahaan film Wenhua Film Company ("Culture Films"),


beranjak dari tradisi kiri ke arah drama. Drama romantis berjudul Spring in a
Small Town (1948), disutradarai Fei Mu dianggap salah satu film China yang
paling penting. Film ini dianggap reaksioner dan kanan serta segera dilupakan
oleh rezim Komunis yang mulai menguasai China pada tahun 1949. Ketika
kaum kiri berkuasa, Jiang Jie-shie dan Goumindangnya lari ke Taiwan dengan
dukungan Amerika Serikat. Mao Ze-dong mendirikan Republik Rakyat China
dengan dukungan Rusia.

PRODUKSI FILM PASCA-1949

Pemerintah Komunis melihat film sebagai seni massal yang penting dan bisa
dijadikan piranti propaganda. Mereka segera menasionalisasi industri film
China. Studio Film Beijing dan Biro Film didirikan. Sejak tahun 1951, semua
film China yang diproduksi sebelum tahun 1949, film Hollywood, dan film
Hongkong tidak boleh diputar di China. Kontrol terhadap media massa
diperketat. Produksi film mulai mengambil tema-tema ‘komunis’ seperti
kehidupan petani, tentara dan buruh, seperti film Bridge (1949) dan The
White Haired Girl (1950). Salah satu perusahaan film yang bertahan adalah
Changchun Film Studio.

Pemerintah Komunis membangun infrastruktur eksebisi sinema di desa-desa


dan wilayah petani yang merupakan 80% dari seluruh wilayah China saat itu.
Pada masa ini, jumlah penonton film meningkat tajam, dari 47 juta di tahun
1949 menjadi 415 juta di tahun 1959. Tingkat kehadiran bioskop
membukukan rekor tertinggi hingga saat ini, yakni 4,17 milyar tiket pada
tahun 1959. Selama 17 tahun mulai dari pembentukan Republik Rakyat China
dan Revolusi Kebudayaan, 603 film panjang dan  8.342 reels film dokumenter
dan newsreels diproduksi dan disponsori pemerintah. Tak heran, hampir
semuanya berisi propaganda komunis. Pada masa ini, banyak pembuat film
China dikirim ke Moscow untuk belajar membuat film. Pada tahun 1956,
Akademi Film Beijing dibuka. Tahun 1956-1957, Mao meluncurkan
kebijakan Seratus Bunga yang bisa disamakan dengan masa Italian atau
Prague Spring di Eropa. Pada masa ini, Mao memberikan sedikit kebebasan
pada para intelektual dan para seniman. Tetapi masa ini segera berakhir.
Tahun 1957, Mao mencanangkan kebijakan  ’Great Leap Forward’
(Lompatan Jauh ke Depan), yakni akselerasi pembangunan ekonomi China.
Film juga mengalami akselerasi. Pada masa ini, China banyak membangun
studio film di tingkat daerah, seperti di Guangzhou, Xi’an, dan Emei. Film
layar lebar berwarna pertama diproduksi di China pada tahun 1960. Film
animasi yang menggunakan berbagai seni lokal, seperti wayang, wayang
kertas, dan seni lukis tradisional, mulai berkembang dan populer sebagai
hiburan dan sarana pendidikan anak-anak. Salah satu contohnya, Havoc in
Heaven (1961). Film ini dibuat oleh Wan Laiming dan memenangkan film
terbaik di London International Film Festival. Selain Wan Laiming dengan
Wan bersaudaranya, Xie Jin merupakan pembuat film terkenal yang
menyutradarai The Red Detachment of Women (1961) dan Two Stage
Sisters (1965).

Tahun 1966, Mao sekali lagi membuat sebuah kebijakan yang sangat
kontroversial: revolusi kebudayaan. Ketua Partai Komunis, Liu Shaoqui dan
sekretaris jenderal Deng Xiaoping yang relatif liberal dicopot dari jabatannya.
Istri Mao, Jiang Qing yang tergabung dalam Geng Empat (Gang of Four)
praktis menjadi pemegang kekuasaan akibat kesehatan Mao yang tidak stabil.
Selama revolusi kebudayaan, film sangat dikontrol oleh pemerintah. Sensor
diberlakukan dengan sangat ketat. Film asing dan film sebelum 1966 dilarang
beredar. Tema-tema film semakin menyempit pada kultus individu Mao dan
komunisme. Bahkan ada guyonan bahwa bintang film paling populer saat itu
adalah Ketua Mao sendiri. Tema-tema ‘borjuis’ dan kontra-revolusioner
segera dihabisi, termasuk artis-artisnya. Semua film bersifat propaganda dan
tidak ada adegan flash-back dalam film-film ini. Pada tahun 1971, pemerintah
memproduksi film The Red Detachment of Women (1971), sebuah film
balet tentang revolusi. Selama tahun 1967-1972, produksi film tidak
berkembang.  

Setelah kematian Mao Ze-dong di tahun 1976, Deng Xiaoping yang telah
direhabilitasi namanya, memegang kembali tampuk kekuasaan. Gang of Four
dihukum. Setelah masa ini, produksi film baru berkembang lagi. Pasca-
Revolusi Kebudayaan berakhir, banyak film mengangkat kisah-kisah
traumatis masa ini. Film Evening Rain (Wu Yonggang, Wu Yigong, 1980)
dan Legend of the Tianyun Mountains (Xie Jin, 1980) misalnya. Xie Jin
menyutradarai Hibiscus Town (1986) yang dibuat ulang oleh pembuat film
generasi kelima, Tian Zhuangzhuang dengan judul The Blue Kite (1993).
Pada tahun 1977, produksi film China hanya mencapai 19 film panjang
sementara pada tahun 1986, produksi film meningkat pesat menjadi 125 film.

CHINA DAN GENERASI KELIMA

Di awal 1980-an, Deng Xiaoping memulai proyek liberalisasi ekonomi. Ia


mulai mengundang investor asing untuk menanam modal di China.
Industrialisasi menjadi intensif, kepemilikan pribadi juga mulai direhabilitasi
kembali. Di bidang media, China menyaksikan munculnya televisi sebagai
medium yang paling pervasif. Pada tahun 1980, China memiliki 9 juta unit
televisi di 9 juta rumah tangga. Tetapi pada awal tahun 1990, 200 juta televisi
tersebar di seluruh China.

Munculnya televisi mempengaruhi jumlah penonton film di bioskop. Selama


tahun 1980-1983, tingkat kehadiran penonton di bioskop menurun sebanyak 2
milyar. Bahkan, beberapa sumber mengatakan bahwa sejak tahun 1979,
tingkat kehadiran bioskop menurun 1 milyar pertahun. Pada tahun 1979, 29,3
milyar tiket terjual tetapi pada tahun 1987, jumlah tiket yang terjual hanya
21,1 milyar. Penurunan ini diakibatkan pula oleh kemunculan VCD/DVD
bajakan serta teknologi lain (internet) yang memungkinkan akses film tanpa
harus ke bioskop.

Di sisi lain, pemerintah mulai memprivatisasi studio-studio film. Wu


Tianming diangkat menjadi kepala studio film Xi’an yang kelak akan
memiliki kontribusi besar dalam kebangkitan pembuat film muda China.
Tahun 1978, Akademi Film Beijing dibuka kembali. Pada tahun 1982,
luluslah sebuah angkatan yang kelak akan disebut angkatan atau generasi
kelima. Angkatan ini merupakan angkatan pertama yang lulus dari Akademi
Film Beijing.

Penyebutan Generasi/Angkatan Kelima ini dibentuk oleh pasar wacana yang


beredar di kalangan intelektual China. Generasi pertama dan kedua para
pembuat film China dianggap bekerja pada masa-masa keemasan sinema ini 
sebelum tahun 1949. Sementara, generasi ketiga bekerja di tahun 1950-an
hingga awal 1960-an, dengan pendidikan mayoritas dari Rusia. Kemudian,
generasi keempat bekerja di awal Revolusi Kebudayaan. Dan Generasi
Kelima merupakan produk langsung dari revolusi kebudayaan.

Generasi ini membawa sinema China ke dalam peta sinema dunia dengan
memenangkan berbagai penghargaan di berbagai festival di tingkat
internasional. Generasi ini, termasuk di dalamnya Zhang Yimou, Tian
Zhuangzhuang, Chen Kaige, Zhang Junzhao, dan lain-lain banyak
meninggalkan cara penuturan tradisional dan beralih dengan cara penuturan
yang lebih baru.  Film Zhang Junzhao berjudul One and Eight (1983) dan
Yellow Earth (1984) karya Chen Kaige dianggap merupakan film-film awal
Generasi Kelima ini. Dua pembuat film paling terkenal dari angkatan ini,
Chen Kaige dan Zhang Yimou, yang memproduksi film King of Children
(1987), Ju Dou (1989), Farewell My Concubine (1993) dan Raise the Red
Lantern (1991), yang dikagumi oleh penonton dan para kritikus film Barat.

Periode ini merupakan kebangkitan sinema China di mata Barat. Pada tahun
1988, film Red Shorgum memenangkan Golden Bear di Berlin. Pada tahun
1992, Golden Lion dari Venice Film Festival diberikan kepada film The
Story of Qiu Ju, karya Zhang Yimou. Cannes 1993 menganugerahkan Palme
d'Or kepada Farewell My Concubine. Film ini juga mendapatkan nominasi
sebagai film berbahasa asing terbaik di ajang Academy Awards. Dengan cara
inilah, sinema China dikenal dan mendapatkan  biaya produksi.

Zhang bekerja untuk proyek One and Eight (Zhang Junzhao, 1984) dan
Yellow Earth (Chen Kaige, 1984) sebagai sinematografer di Guangxi Film
Studio. Ia kemudian pindah ke Studio film Xi’an dan menjadi sutradara.
Debut penyutradaraannya adalah Red Sorghum (1987). Film ini mendapatkan
tanggapan bagus, baik di dalam China maupun di kalangan festival
internasional. Film ini dibuat dengan plot minimal, dengan kekayaan visual
yang luar biasa, sebuah ciri Zhang Yimou yang khas. Ia lalu menyutradarai
Judou (1990) dan Raise the Red Lantern (1991). Kedua film ini dilarang
oleh pemerintah China. Dengan film The Story of Qiu Ju (1992), ia
mendapatkan kembali restu pemerintah untuk membuat film.

Generasi Kelima menantang sistem produksi film sebelumnya, baik secara


langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, para pembuat film
generasi ini tidak mau lagi memproduksi film-film propaganda. Karena sistem
sensor masih ketat, film-film generasi ini banyak menggunakan alegori,
simbol, dan metafor dengan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Tak heran,
bahasa visual generasi ini banyak mempesona bagi Barat karena
penggambaran China yang sangat eksotik, indah, dengan mise en scéne yang
penuh dengan tradisi visual China yang kaya dan kompleks.

Film-film Generasi Kelima memiliki berbagai perbedaan dan variasi, baik


dalam gaya maupun tema film. Huang Jianzin lewat film The Black Cannon
Incident (1985) menggunakan komedi pekat untuk mengungkapkan
ceritanya. Sementara Chen Kaige mencoba jalan yang lebih sunyi melalui film
Life on a String (1991). Tetapi bisa dikatakan bahwa pembuat film generasi
ini menolak kecenderungan realisme sosialis para pembuat film di era
Komunis.

Para pembuat film generasi ini seperti Wu Ziniu, Hu Mei, dan Zhou Xiaowen
mencoba mencari jalan yang lebih berbahaya dengan membuat film-film
kritis, yang akhirnya dilarang oleh pemerintah China. Pembuat film generasi
sebelumnya, seperti Wu Tianming, turut berperan dalam Generasi Kelima ini.
Dengan perusahaan filmnya,  Xi'an Film Studio, ia membantu secara finansial
produksi film-film Generasi Kelima dan membuat film sendiri, antara lain Old
Well (1986) dan The King of Masks (1996).

Gerakan Generasi kelima ini praktis berakhir pada tahun 1989 ketika terjadi
insiden Tiananmen. Ketika itu, demonstrasi mahasiswa yang meminta
kebebasan dan demokrasi ditindas dengan kejam. Setelah peristiwa ini,
pemerintah China segera memberlakukan sensor yang amat ketat pada seluruh
bentuk ekspresi seni. Meski demikian, sutradara-sutradara generasi ini masih
berkarya hingga sekarang. Zhou Xiaowen membuat The Emperor's Shadow
(1996), sementara sutradara lain seperti Wu Tianming dan Huang Jianxin
beremigrasi ke Amerika Serikat dan Australia.

Menurut Tony Rayn, film-film Generasi Kelima ini melawan kecenderungan


film generasi sebelumnya dengan komposisi, lokasi nyata dan gambar-gambar
yang indah, plot minimum dan akhir yang ambigu. Rey Chow
menggarisbawahi bahwa film-film Generasi Kelima, terutama Zhang Yimou
merupakan pertunjukan visual (visual display), sebuah pertunjukan yang
memfetishisasi sinematografi. Gender memiliki posisi penting dalam film-film
ini dengan Gong Li merupakan penanda sistem bintang generasi ini.

Bagi Paul Clark (Ruby Cheung, 2006), film-film generasi kelima


merefleksikan nasionalisme yang sangat ambivalen. Hal ini sangat mudah
dimengerti. Film-film seperti Red Sorghum (Zhang Yimou, 1988) dan The
Go Master (Tian Zhuangzhuang) menyajikan sebuah gambaran nasionalisme
yang ambivalen. Menurut Clark, film ini berkenaan dengan pertanyaan
tentang asal mula. Film ini menggunakan kultur penceritaan lokal (folklore)
seperti legenda. Narator mencoba mempertanyakan asal-muasal bangsa China
yang dilambangkan dengan sorghum merah.  Ketidakyakinan sang narrator
(nenek) akan suaminya mewakili keraguan generasi ini pada bangsa China
yang telah tercabik-cabik. 

Secara garis besar, film-film Generasi Kelima ini berfokus pada struktur
masyarakat yang melawan perubahan. Gejala ini begitu nyata terlihat pada
tema-tema dan tampilan naratif film-film Generasi Kelima yang berfokus pada
upacara-upacara dan ritus-ritus tradisional China. Melodrama, sebagai sebuah
karakter definitif sinema China, diolah kembali oleh generasi ini dengan
tampilan modern tapi dengan subject-matter tradisional. Hal ini, oleh Sheila
Cornelius dan Ian Haydn Smith, dibarengi oleh perubahan yang sangat
fundamental di level ekonomi dan politik masyarakat China. Maka
menurutnya, melodrama film-film Generasi Kelima ini berfungsi kalau tidak
menjadi subversi, maka menjadi eskapisme. Hal inilah yang kelak akan
dikritik keras oleh pembuat-pembuat film yang oleh banyak orang, disebut
Generasi Keenam.

Film-film dan para pembuat film Generasi Kelima juga segera dianggap
konservatif dan mendukung pemerintah. Bukan kebetulan bahwa pada
akhirnya, para pembuat film generasi ini, seperti Zhang Yimou, semakin
moderat dan malah bekerja dalam sistem pemerintah. Tahun 2008 ini, Zhang
Yimou terlibat dalam komisi pembuatan film untuk kepentingan Olimpiade
Beijing 2008.
 

BANGKITNYA SEBUAH GENERASI: GENERASI KEENAM

Wacana mengenai bangkitnya generasi baru perfilman China merupakan


sebuah diskursus yang beredar di pasar festival dan film-film seni di awal
1990-an. Di Barat, film-film generasi kontemporer China selalu diidentikkan
dengan nilai politiknya, terutama subversi. Meski dikritik sebagai konsep yang
terlalu spekulatif dan bersandar pada pembacaan politik, yang ektra-sinematik
dan bersifat rekahan/fragmentaris, dalam banyak hal, penilaian ini memiliki
relevansi. Semakin ketatnya gunting sensor pemerintah akibat peristiwa
Tiananmen (1989) membangkitkan pembuatan film di luar arus utama.

Shaoyi Sun (2000) mendeskripsikan tiga kelompok utama pembuat film yang
kini bekerja di China. Pertama, Chen Kaige dan Zhang Yimou, pembuat film
generasi kelima yang berbasis pada pendanaan asing karena memiliki reputasi
internasional. Kelompok kedua, adalah para pembuat film yang berada dalam
sistem pemerintah, seperti Xie Jin dan Wu Ziniu. Kelompok ketiga adalah
pembuat film yang mempertimbangkan kesuksesan komersial di dalam negeri.

Di antara dominasi tiga kelompok dengan tiga mode produksi yang berbeda
ini, muncullah film-film China kontemporer  yang  dibuat secara bawah tanah.
Film-film ini banyak menggunakan teknologi murah, macam video, dengan
kandungan dokumenter yang kental. Diproduksi oleh para pembuat film
amatir, film-film bawah tanah ini menggunakan long take, kamera cangking
(handheld) dengan suara sekitar/lingkungan yang direkam secara langsung.
Berlawanan dengan Generasi Kelima, film-film generasi ini terlihat lebih
mentah dengan tema, kehidupan kelas bawah China di perkotaan. Beberapa
sutradara generasi ini dapat disebut antara lain Wang Xiaoshuai (The Days,
Beijing Bicycle), Zhang Yuan (Beijing Bastards, East Palace West Palace),
Jia Zhangke (Xiao Wu, Unknown Pleasures, Platform, The World, Still
Life), Li Yang (Blind Shaft) dan Lou Ye (Suzhou River).

Pembuat film generasi ini banyak bekerja dengan budget kecil, baik dengan
uang sendiri maupun dana asing. Film Xiao Wu karya Jia Zhangke dibuat
dengan 16mm dan dana 400.000 won (sekira US$50,000). Karena tema dan
kualitas pemutaran yang demikian, mereka tidak mendapatkan jatah
pemutaran di China. Pasar DVD [bajakan] dan festival menjadi cara distribusi
yang populer di antara generasi ini.

Tokoh-tokoh penting dalam generasi ini antara lain Jia Zhangke. Jia Zhangke
menjadi juri festival Cannes 2007 di seksi kompetisi. Pembuat film ini
dilahirkan di Fengyang, Shanxi, China, pada tahun 1970. Belajar seni lukis,
merasa tertarik dengan fiksi, pada tahun 1995, ia mendirikan grup film muda
eksperimental yang banyak menggunakan medium video. Pada tahun 2007, ia
lulus Akademi Film Beijing, dan film pertamanya, Xiaou Wu (1998) sukses
di Festival Film Berlin, Nantes dan Vancouver. Film keduanya Platform
(Zhantai, 2000) dan Ren Xiaou Yao (Unknown Pleasures, 2002) maju ke
kompetisi film pendek Cannes dan Venice. Ia mendirikan Xstream Pictures di
tahun 2003 untuk mempromosikan sutradara muda berbakat China. Film
terbarunya, Shijie (The World, 2004) dan Sanxia haoren (Still Life, 2006)
menerima Golden Lion Award di Festival Film Venice 2006.

Wang Xiaoshuai lahir di Shanghai, China, 22 Mei 1966. Merupakan salah satu
figur sutradara generasi keenam yang populer, selain Zhang Yuan, Jia
Zhangke, Zhang Ming. Wang Xiaoshuai merupakan generasi yang tidak harus
menghadapi Revolusi Kebudayaan yang berdarah-darah, tetapi besar di tengah
perubahan kebijakan ekonomi China menuju kapitalis. Wang tidak pernah
dipaksa tinggal di desa oleh Partai Komunis sehingga seluruh pengalamannya
adalah kehidupan kota. Seperti sutradara-sutradara generasi seangkatannya, ia
tak banyak membahas peralihan dan sejarah yang terjadi pada pemerintahan
komunis di masa revolusi, tetapi lebih melihat konstelasi masyarakat China
kontemporer, dengan pendekatan realis, dokumenter, dengan gaya yang
berbeda dengan perfilman China sebelumnya.

Meski dilahirkan di Shanghai, Wang dibesarkan di Guiyang, ibukota propinsi


Guizhou. Pada tahun 1979, keluarganya pindah ke Wuhan di propinsi Hubei.
Pada tahun 1981, ia pergi ke Beijing untuk  belajar di Sekolah Menengah Seni
Pusat sebagai pelukis. Selanjutnya ia tercatat sebagai mahasiswa
penyutradaraan di Akademi Film Beijing. Setelah lulus, ia  bekerja ke Studio
Film Fujian dan bekerja sebagai asisten selama dua tahun. Tahun 1990, ia
kembali ke Beijing, namun tidak bekerja untuk pemerintah. Ia mulai
memfokuskan diri untuk membuat film. Filmnya antara lain The Days (1993)
yang bercerita tentang kisah cinta dua pekerja seni di Beijing. Film keduanya,
Frozen (1995), disusul So Close to Paradise, yang dikerjakan di dalam
sistem studio pemerintah. Film ini bercerita tentang dua orang urban di kota
Beijing. Film yang membuatnya dikenal dunia internasional adalah Beijing
Bicycle, berkisah tentang kehidupan seorang anak muda Beijing yang datang
dari keluarga petani yang berurbanisasi ke kota. Film ini meraih Grand Jury
Prize (Silver Bear Award) di Festival Film Berlin 2001.

Tokoh lain yang menonjol adalah Li Yang. Filmnya, Blind Shaft, sebuah film
bawah tanah yang merupakan karya tugas akhirnya untuk kuliah di Akademi
Seni dan Media di Cologne, Jerman. Sebelumnya, Li Yang bekerja sebagai
pembuat film dokumenter. Teman-teman SMA-nya merupakan pembuat-
pembuat film Generasi Kelima.  Li sendiri pernah mendaftar di Institut
Penyiaran Beijing dengan jurusan penyutradaraan film di tahun 1985, dengan
teman-teman seangkatannya kini menjadi para pembuat film Generasi
Keenam China.  Setelah lulus di tahun 1987, ia pindah ke Jerman untuk
bekerja sebagai aktor di TV Jerman, sambil belajar drama dan penyutradaraan.
Li Yang sendiri akhirnya menjadi warga negara Jerman.

Film Blind Shaft merupakan sebuah film yang berlokasi di pertambangan


batubara China, yang merupakan penambangan terbesar dan paling korup di
dunia, dengan ribuan pekerja mati karena kecelakaan kerja. Film yang pernah
diputar di Jakarta international Film Festival (JiFFest) ini mengetengahkan
problem yang dihadapi pekerja-pekerja kasar yang hidup di bawah tekanan
yang besar di bawah sistem industrialisasi-kapitalis China. Film ini
memenangkan penghargaan di Hong Kong International Film Festival dan
Festival Film Berlin. Li Yang sendiri tidak diakui sebagai sutradara China.

Selain fiksi, dokumenter juga mengemuka dalam perkembangan sinema China


kontemporer. Wu Wenguang membuat Bumming in Beijing: The Last
Dreamers (1990) yang menandai bangkitnya Gerakan Dokumenter Baru/
"New Documentary Movement" (NDM) di China. Wang Bing membuat kisah
9 jam deindustrialisasi, Tie Xi Qu: West of the Tracks (2003). Li Hong,
seorang pembuat film perempuan pertama di gerakan ini membuat Out of
Phoenix Bridge (1997) yang bercerita tentang 4 perempuan muda yang
pindah dari desa ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik. 
 

Secara estetik, pembuat film generasi ini banyak dipengaruhi oleh gerakan
neorealisme Italia dan para pembuat film auteurs, seperti Hou Hsiao Hsien,
Yasujiro Ozu, atau Miklos Jancso. Jia Zhangke, salah satu eksponen generasi
ini, mengatakan bahwa ia terpengaruh oleh Hou Hsiou Hsien, Yasujiro Ozu,
Robert Bresson, Federico Fellini dan Vittorio De Sica. Terlihat bahwa
globalisasi membentuk estetika film-film generasi keenam. Film-film Jia,
misalnya, selalu mendedahkan hal global di antara keanehan dan kegagapan
hidup lokal oarng muda China.

Generasi Keenam dianggap lebih menggunakan pendekatan individualis, anti-


roman/melodrama, menyorot kehidupan sehari-hari, dan banyak mengangkat
tema-tema urban China yang ditandai dengan disorientasi. Film-film seperti
Platform, Beijing Bastard, Still Life menampilkan dampak negatif
kapitalisme dan industrialisme China kontemporer.  Dengan kebijakan yang
lebih liberal, China kontemporer telah terintegrasi dengan sistem
pasar/kapitalisme dengan industrialisasi dan urbanisasi sebagai salah satu
elemen penting.

Kalau Generasi kelima memenuhi filmnya dengan tontonan dan


legenda/sejarah China di masa lalu, maka Generasi Keenam memenuhi
filmnya dengan potret dan gambaran China kontemporer yang suram, sedih,
dan tercabik industrialisasi. Film-film generasi ini banyak mengambil
persoalan dan setting urban, menandai dirinya sebagai perekam fenomena
urbanisme dan industrialisasi China kontemporer.

 
Membuat film secara bawah tanah, tanpa adanya jaminan pemutaran di China,
membuat sutradara-sutradara China dituduh hanya melayani selera dan
harapan Barat, yang akan menang di festival, tapi tidak merepresentasikan
China yang ‚sebenarnya’. Pembuat film Generasi keenam lainnya, Li Yang
bahkan menolak label generasi keenam karena menurutnya, tidak pernah ada
kesamaan platform apalagi kesepakatan di generasi ini. Menurut Li Yang,
Generasi Kelima dan Keenam hanya mengandalkan perbedaan usia, tapi tidak
pendekatan sinematik. Tidak ada pernyataan pembangkangan pada generasi
sebelumnya. Setiap sutradara bekerja sendiri-sendiri. Padahal, ungkapnya,
sebuah generasi dibentuk oleh beberapa konsep film, moralitas dasar yang
menjiwai generasi itu.

Meski demikian, Generasi Keenam memiliki kesamaan dalam hal tema dan
pendekatan film. Film-film generasi ini ditandai dengan keterasingan,
dislokasi, persoalan-persoalan urban, seperti kriminal, kemiskinan, dan
kesunyian. Film-film generasi ini didominasi lanskap-lanskap perkotaan
seperti jalan-jalan, perempatan-perempatan dengan kendaraan yang lalu
lalang, gedung-gedung pencakar langit, gelandangan, pabrik-pabrik dan
cerobong-cerobongnya, anak-anak muda yang menganggur, mendengarkan
musik rock sambil berkendaraan motor, dengan rambut dicat, orang-orang
bertelepon genggam, serta neonsign-neonsign iklan. Film-film generasi ini
ditandai dengan perubahan dan krisis nilai yang melanda China akibat
masuknya kapitalisme/industrialisasi.

Menurut James Clifford, kalau generasi kelima asik dengan pertanyaan


tentang akar (root), maka generasi ini mengajukan pertanyaan tentang jalan
(route). Perjalanan dan perpindahan menjadi sesuatu yang khas bagi generasi
ini, karena menandakan dirinya dengan masyarakat China kontemporer yang
sedang mencari jalan ke arah masa depan. Apakah kapitalisme adalah jalan
terbaik?

Bukan kebetulan bahwa film-film ini banyak mengungkapkan konflik antara


generasi tua dan generasi muda, dengan generasi muda tampak terasing dan
penuh masalah (dan masalahnya bukanlah percintaan antarsekte perguruan
kungfu, melainkan seksualitas, kriminalitas, masa depan, hal-hal semacam
itu). Mereka tidak menggunakan metafor dan simbolisme ketat yang
digunakan oleh Zhang Yimou atau Chen Kaige, misalnya, karena mereka
tidak memiliki banyak uang. Film-film mereka sangat real,dengan ciri-ciri
neorealis, seperti disyuting di lokasi sebenarnya, tidak menggunakan aktor
profesional, dengan gaya naratif modern, dipengaruhi oleh televisi dan iklan.

Dibanding pendahulunya, pembuat film generasi keenam ini lebih berani


dalam mengambil tema-tema kontroversial, seperti korupsi, seksualitas,
pengangguran, kemiskinan, dan prostitusi. Tidak seperti pendahulunya yang
membuat film di studio dengan budget luar biasa, dengan tampilan mise en
scéne mewah dan eksotik, generasi pembuat film yang bekerja sejak tahun
1990-an ini menggunakan pendekatan realis dalam mendekati tema maupun
karakter masyarakat China kontemporer.

Jia Zhangke berkata,

“In the 80s, the fifth generation filmmakers were real heroes: they managed to
break Chinese cinema out of its closed little mould and try something new.
But they've changed a lot: in their current films, you're no longer seeing the
experience of life in China. While my way of filming allows me to describe
Chinese reality without distortion.”(Kevin Lee, 2003).

[Pada tahun 1980-an, pembuat film Generasi Kelima benar-benar pahlawan.


Mereka benar-benar ingin memecah kebuntuan sinema China dan membuat
sesuatu yang baru. Tetapi mereka telah berubah: dalam film-film baru mereka,
anda tidak dapat melihat pengalaman hidup di China. Sementara cara saya
membuat film, membuat saya bisa menggambarkan kenyataan masyarakat
China tanpa distorsi].

Pernyataan ini merupakan manifesto sekaligus kritik yang sangat keras pada
Generasi Kelima. Zhang Yuan bahkan menimpali ungkapan Jia Zhangke
dengan mengatakan, “Mereka [Generasi Kelima] punya slogan:’tidak seperti
masa lalu’. Hal itu memotivasi kami untuk membuat slogan kami
sendiri:’tidak seperti Generasi Kelima’.” Generasi Kelima dianggap tidak lagi
bisa menggambarkan China yang sebenarnya. Pertikaian antarsekte kungfu,
intrik di kalangan bangsawan dalam sejarah dinasti-dinasti di China, atau
ritual pemanggilan hujan di pedesaan, bukanlah kenyataan kontemporer
masyarakat China.

Masyarakat China kontemporer adalah para buruh batubara yang memakai


telepon genggam untuk berkomunikasi, memasang nada sambung pribadi
lagu-lagu cengeng China populer, anak-anak muda yang mendengarkan lagu
rock dan lebih menghargai dollar Amerika, melaksanakan 8 hal yang harus
dimiliki oleh orang China menurut Deng Xiaoping, yakni televisi berwarna,
kulkas, stereo, kamera, sepeda motor, furnitur, mesin cuci, dan kipas angin.

Di sini terlihat bahwa Generasi Keenam berusaha merebut hegemoni


pembuatan film pemerintah dan Generasi Kelima yang mulai bekerja sama
dengan pemerintah. Mereka mencoba menciptakan ruang representasi.
Berkaitan erat dengan gerakan di level akar rumput, ‚gerakan’ Generasi
Keenam ini berusaha memproduksi film-film yang dapat menyajikan ‚China
yang sebenarnya’, sebuah pengertian otentik tentang ‚China kontemporer’.
Meskipun demikian, proses negosiasi generasi ini bukannya tanpa persoalan.
Persoalan label Generasi Keenam ini sangat problematis karena
mengandaikan perkembangan yang linear dalam sinema China. Penamaan ini
lebih bersifat dan terkait dengan kondisi sosial-politik-historis yang
melingkupinya. Generasi urban ini menampilkan apa yang disebut Kochan,
realisme urban. Tetapi film-film karya sutradara Generasi Keenam terus
berkembang dan tidak selalu linear atau bahkan sama, baik dalam pendekatan
artistik maupun tematik. Sutradara seperti Ning Ying dan Huo Jianqi secara
kronologis sebenarnya lebih dekat dengan Generasi Kelima. Kalau Generasi
Kelima lahir dari sekolah dan angkatan yang sama, bekerja sama dalam
beberapa proyek, Generasi Keenam berasal dari berbagai sekolah dan disiplin
ilmu, dan bekerja secara individual.  

Dalam hal mode produksi, memang telah terjadi perubahan mendasar dalam
kelahiran generasi ini. Pembuatan film independen a la Generasi Keenam ini
baru dikenal di China pada akhir tahun 1980-an. Tetapi penekanan aspek
politik dalam mode produksi ini tidak selalu benar. Pembuat film China
kontemporer menggunakan mode independen maupun bekerja di dalam sistem
studio pemerintah sesuai kebutuhan, sehingga menilai film mereka sebagai
subversi bersifat reduktif.

Wang Xiaoshuai sendiri berpendapat,  “Underground or above, it all depends


on the subject matter. If what I wanted to do were not allowed, then I would
consider going underground. The different approaches require different
frames of mind. When shooting above ground, getting approval is a constant
concern, and it affects the way one thinks about a film. After a while, it turns
into restriction. This is not good for a director. Shooting underground is a
mode of production which gives more freedom. Independent of any
established production structures, it results in more and more production
units, each seeking its distribution market and each searching for its own
definition. Under the present system, shooting underground allows for more
versatility and independence. But as long as it is illegal, the scale of the
projects will remain small and you have to work in conditions that are not
natural .”

[Bawah tanah maupun tidak, semua tergantung dari tema film. Jika apa yang
saya ingin lakukan tidak diperbolehkan, maka saya mempertimbangkan untuk
bekerja secara bawah tanah. Pendekatan yang berbeda membutuhkan
perbedaan kerangka pikir. Ketika membuat film secara legal, mendapatkan
persetujuan pemerintah adalah hal yang harus dipikirkan dan itu
mempengaruhi bagaimana seseorang membuat film. Setelah beberapa saat, itu
akan menjadi penghalang. Ini tidak baik untuk seorang sutradara. Membuat
film secara bawah tanah adalah mode produksi yang lebih memberikan
kebebasan. Independen dari berbagai struktur produksi, membuat unit
produksi semakin banyak dan setiap unit berusaha mendapatkan pasar
distribusi dan mencari definisinya sendiri. Di bawah sistem yang sekarang,
membuat film bawah tanah lebih menjamin kebebasan dan kita pun harus
pintar dalam banyak hal. Tetapi dalam sistem yang ilegal, skala film kita akan
tetap kecil dan anda harus bekerja dalam sistem yang tidak alami.]

Ucapan ini menguatkan gejala yang terjadi sekarang di sinema China


kontemporer. Pembuat film bawah tanah seperti Jia Zhangke mulai ‚keluar’
dan mengikuti prosedur legal pembuatan film dengan film Still Life. Hal ini
juga dilakukan oleh Jiang Wen dengan film The Sun Rises Again.
Sebaliknya, pembuat film yang dulunya bekerja di bawah pemerintah bekerja
secara independen. Contohnya, Wang Qian’an yang membuat film Tuya’s
Marriage (2007).

Fenomena ini menampakkan perkembangan sinema China yang lebih


beragam, lebih tak terprediksi, dan mengalami krisis. Sheldon Lu (1997)
menyebut masa ini sebagai transisi dari sistem yang sangat dikontrol
pemerintah ke mekanisme pasar. Di satu sisi, pemerintah mendorong
privatiasi dan integrasi ke sistem kapitalis, di sisi lain pemerintah tetap
menggunakan kontrol dan sensor untuk mengendalikan para pembuat film. Di
saat yang sama, sinema nasional China mengalami kemunduran dalam hal
permodalan dan tingkat kehadiran penonton di bioskop.

Maka tak pelak, pasar internasional terutama Barat (Amerika dan Eropa) via
festival dan distribusi film-film seni menjadi satu-satunya katup penyelamat
para pembuat film bawah tanah. Sebuah jalan pintas yang masih tidak disukai
pemerintah China dan dikritik oleh para kritikus film China sendiri. Diaspora
para pembuat dan pelaku industri China di luar pun masih menghadirkan
debat tersendiri, apakah mereka masih bisa dianggap eksponen sinema
nasional China atau tidak.

KESIMPULAN

China dengan sejarah panjangnya dalam hal sinema ternyata belum bisa
menghindari pandangan eksotisme (fethisisasi) dan komodifikasi Barat.
Perkembangan yang sangat pesat pada studi sinema China sejak bangkitnya
Generasi Kelima hingga sekarang didorong oleh studi-studi atas sejarah
politik/ideologi yang berperang di China yang dalam beberapa hal,
membentuk perkembangan sinema China kontemporer. Meski demikian, bagi
Reynaud, sinema China selalu bersifat kontradiktif, yakni film yang
diproduksi oleh dan untuk [bangsa] China, sekaligus film-film itu merupakan
bagian dari sejarah sinema dunia di mana China dan Barat telah saling
mengkonstruksi sebagai tontonan yang eksotik. Di sini, sinema nasional China
harus dilihat dalam konteks situs pertarungan antar-diskursus, atau ruang
representasi,  di mana perubahan sosial dan pemaknaan kultural dikonstruksi
dan terus bertarung.

Alih-alih melihat perkembangan sinema China, hingga bangkitnya Generasi


Keenam hanya sebagai hasil perkembangan sinema nasionalnya, sinema
China kontemporer harus dilihat dalam konteks pertarungan diskursus tentang
negara-bangsa yang terartikulasi dalam teks film. Dalam konteks ini, kekuatan
global seperti kapitalisme, teknologi, dan konsep-konsep pembuatan film,
seperti Hollywood dan film seni (art-house cinema) memiliki perang yang
sangat besar dalam menjelaskan dan membatasi apa yang disebut sinema
nasional China. Kebangkitan para pembuat film dengan pandangan dan gaya
estetik baru, menampakkan bukan hanya situs pertarungan itu, tetapi juga
bahwa pengertian sinema nasional adalah sebuah konstruksi yang harus terus-
menerus dinegosiasi dan dimaknai kembali. ***

 
BIBLIOGRAFI

Archibald, Mike, Treading on East Asian Cinema: An Interview with Tony


Rayns, jurnal offscreen, 2007.

Armes, Roy, Third World Film Making and the West, University of
California Press, 1987.

Bren, Frank, A Century Of Chinese Cinema:The 25th Hong Kong


International Film Festival and Beyond, jurnal Sense of Cinema, 2001.

Cardullo, Bert,  Beyond the Fifth Generation: An Interview with Zhang


Yimou, 2007.

Carroll, Noel dan Choi, Jinhee Choi (ed.), Philosophy of Film and Motion
Pictures, An Anthology, Blackwell Publishing, 2006.

Case, Liza, Cheng the Fruit Seller:A Century of Sino-Cinema, jurnal Sense of
Cinema, 2005.

Chaudhuri, Shohini, Contemporary World  Cinema, Edinburg University


Press, 200x.

Cornelius, Sheila dan Smith, Ian Haydn, New Chinese Cinema:Challenging


Representations, Wallflower, 2002.

Dissanayake, Wimal (ed.), Colonialism and Nationalism in Asian Cinema,


Indiana University Press, 1994.

During, Simon (ed.), The Cultural Studies Reader, Routledge, 1993.


Farquhar, Mary, Zhang Yimou, jurnal Sense of Cinema, 2002.

Feng, Xu, Chine:L’underground remonte a la surface, dalam Atlas 2007,


jurnal Cahiers du Cinéma, 2007.

Garrett, Daniel, International Cinema, and Chen Kaige and Zhang Yimou’s
school days:

Memoirs from the Beijing Film Academy, jurnal offscreen, 2006. 

Hayward, Susan, Cinema Studies:The Key Concept, third ed., Routledge,


2006

Hill, John dan Gibson, Pamela Church (ed.), The Oxford Guide to Film
Studies, Oxford University Press, 1998.

Jaffee, Valerie, Bringing the World to the Nation: Jia Zhangke and the
Legitimation of Chinese Underground Film, jurnal Sense of Cinema, 2004.

Kleinhans, Chuck, Introduction to the Special Section of Chinese Cinema,


jurnal jump-cut, 2007. 

Kochan, Dror, Wang Xiaoshuai, jurnal Sense of Cinema, 2003.

Kraicer, Shelly, Springtime in a Small Town Chinese Films at the 27th


Toronto International Film Festival:A Report, jurnal Sense of Cinema, 2002.

------------, Film Industry in China, 1996-2002.

Lee, Kevin, Jia Zhangke, jurnal Sense of Cinema, 2003.

Neo, David,  Red Sorghum:A Search for Root, jurnal Sense of Cinema, 2003.

--------------, The “Confusion Ethics” of Raise the Red Lantern, jurnal Sense
of Cinema,  2004.

Teo, Stephen, The Lin Family Shop: A Chinese Melodrama of Capitalist


Existentialism, jurnal Sense of Cinema, 2003.

---------------, "There Is No Sixth Generation!" Director Li Yang on Blind


Shaft and

His Place in Chinese Cinema, jurnal Sense of Cinema, 2003.

Thompson, Kristin dan Bordwell, David, Film History:An Introduction,


McGraw-Hill, Inc., 1994.

Totaro, Donato, The Golden Age of Chinese Cinema: 1933-1949, 1999.

Vasudev, Aruna; Padgaonkar, Latika dan Doraiswamy, Rashmi (ed.), Being


& Becoming:The Cinemas of Asia, Macmillan India Lmt., 2002.

Wright, Elizabeth, Riding Towards the Future: Wang Xiaoshuai's Beijing


Bicycle, jurnal Sense of Cinema, 2001.

Zhang, Yingjin, Chinese National Cinema, Routledge, 2004.

Chris Berry, A Nation T(w/o)o: Chinese Cinema(s) and Nationhood(s),


dalam Wimal Dissanayake (ed.), Colonialism and Nationalism in Asian
Cinema, Indiana University Press, 1994.

Jinhee Choi, National Cinema, the Very Idea, dalam Noel Carroll and
Jinhee Choi (ed.), Philosophy of Film and Motion Pictures, An Anthology,
Blackwell Publishing, 2006. Bandingkan dalam Roy Armes, Third World
Film Making and the West, University of California Press, 1987, terutama
bagian Culture and National Identity.
Stephen Crofts, Concepts of National Cinema, dalam John Hill dan Pamela
Church Gibson (ed.), The Oxford Guide to Film Studies, Oxford University
Press, 1998.

Arjun Appadurai, Disjuncture and Difference in the Global Cultural


Economy dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader,
Routledge, 1993.

Jinhee Choi, ibid.

Bandingkan Wimal Dissanayake, Issues in World Cinema, dalam John Hill


dan Pamela Church Gibson (ed.), ibid.

Bérénice Reynaud, Chinese Cinema dalam  John Hill dan Pamela Church
Gibson (ed.), op.cit.

Kristin Thompson dan David Bordwell, Film History:An Introduction,


McGraw-Hill, Inc., 1994.

Kristin Thompson dan David Bordwell, ibid., hal. 781.

Paul Clark, China:Reframing History dalam Aruna Vasudev, Latika


Padgaonkar and Rashmi Doraiswamy (ed.), Being & Becoming:The
Cinemas of Asia, Macmillan India Lmt., 2002.

Paul Clark, ibid.

Sheila Cornelius and Ian Haydn Smith, New Chinese Cinema:Challenging


Representations, Wallflower, 2002.

Shohini Chaudhuri, Contemporary World  Cinema, Edinburg University


Press, 200x.

Bukan hal yang baru bahwa semua gerakan sinema selalu meminjam konvensi
formal dari tempat lain untuk diadaptasi di konteks kebudayaannya. Lihat
Stephen Crofts, ibid.

Gerai Kentucky Fried Chicken pertama di Beijing dibuka pada Oktober 1987
dan McDonalds pada bulan April 1992.

Film Still Life (2007) oleh Jia Zhangke.

Sheila Cornelius dan Ian Haydn Smith, ibid.

Pada tahun 2007, China menarik kembali kebijakan penjualan saham


kepemilikan perusahaan audiovisual. Dalam aturan yang berlaku sebelumnya,
pihak asing bisa menguasai 75% kepemilikan perusahaan audiovisual, mulai
dari produksi hingga eksebisi. Karena adanya perubahan, Warners menjual
jaringan bioskopnya kepada China Film Group di tahun 2008. Mulanya
mereka akan membuka 40 bioskop di China. Cahiers du Cinéma, Atlas 2007.

2 comments share

Jan 29, '08 5:07 AM


Bicara tentang Iklan Rokok
for everyone
Tugas              : Kapita Selekta

Selama rentang waktu 1965 hingga 1971, pemerintah Inggris dan Amerika
Serikat telah melarang penayangan iklan rokok di televisi. Sebelum tahun
1990, Indonesia melarang semua iklan melalui televisi. Tetapi pada tahun
1990, pemerintah mencabut larangan iklan di televisi dan sejak itulah
pembatasan iklan tembakau mulai hilang. Pada tahun 2003, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP No. 19 tahun 2003) yang melarang
pengiklanan rokok/tembakau pada siang hari, yakni mulai jam 05.00 hingga
21.30. UU Penyiaran tahun 2002 tidak memberikan larangan spesifik pada
iklan rokok/tembakau, kecuali larangan untuk tidak memperlihatkan wujud
rokok.

 Indonesia sendiri merupakan negara dengan populasi perokok terbesar kedua


di dunia setelah China dan 70% populasi perokok itu memulai kebiasaan
merokok saat mereka belum berusia 19 tahun (remaja). Menurut survei yang
dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, rokok memiliki kontribusi yang
cukup signifikan terhadap pendapatan media, terutama dari televisi dan media
luar ruang (billboard, banner, dll). Pada tahun 1996, penerimaan dari iklan
rokok untuk media luar ruang mencapai 6,9% dari total pendapatan iklan.
Sementara pada tahun 2002, iklan rokok di televisi menyetor 7% dari total
pendapatan iklan televisi.

Sekarang ini, iklan dan promosi rokok/tembakau banyak dilakukan melalui


sponsorship kegiatan kesenian, musik, dan olahraga. Menurut Global Youth
Tobacco Survey, 73-80% remaja terpapar iklan berbagai jenis rokok melalui
berbagai media. Media yang paling banyak digunakan untuk mengiklankan
produk tembakau adalah kegiatan olah raga, kegiatan-kegiatan remaja dan
papan reklame/billboard (80%). Meski Pemda DKI Jakarta telah
mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2004 mengenai
Penyelenggaraan Reklame, 93,9% remaja Jakarta melihat iklan di billboard,
88,7% melihat iklan di televisi dan bahkan lebih banyak lagi (92,4%) melihat
iklan selama kegiatan olah raga dan acara remaja.

Paparan iklan rokok secara tak terbatas ini dirasa meningkatkan minat remaja
untuk merokok. Data yang dilansir Kompas mengatakan pada tahun 2001,
terjadi peningkatan  konsumsi tembakau para remaja secara drastis. Tahun
2001 perokok remaja mencapai  mencapai 24,2% dari semula 13,7% pada
1995. Persentase peningkatan itu terjadi pada remaja laki-laki 15-19 tahun
yang kemudian menjadi perokok tetap.

Kondisi ini tentu dilematis. Tingkat kematian perokok mencapai 50% untuk
penyakit yang berhubungan dengan tembakau. Sebuah angka yang cukup
mengerikan. Lalu bagaimana melihat persoalan pemasangan iklan produk
rokok/tembakau di media? Pertanyaan ini bisa membuahkan jawaban yang
pelik dan sangat rumit. Industri rokok yang banyak berbasis di Indonesia
merupakan penyerap tenaga kerja yang cukup besar. Pendapatan negara dari
cukai rokok pun bisa dibilang luar biasa.

Tetapi melihat dampak kesehatan yang terjadi, tentunya kita semua tidak bisa
diam. Tetapi mengurangi iklan rokok di televisi bisakah mengurangi risiko
persoalan? Pemerintah sebenarnya telah berkali-kali mengamandemen
peraturan tentang penayangan iklan rokok di televisi. Tetapi sampai sekarang,
pelarangan itu tidak menimbulkan dampak seperti yang diharapkan. Iklan
rokok di televisi telah dibatasi tetapi tingkat prevalensi merokok tetap tinggi.

Dari sini terlihat bahwa peraturan yang dibakukan untuk televisi ini bersifat
ambigu dan tidak akan berhasil mengatasi persoalan besar rokok. Televisi
melakukan pembatasan, tetapi para calon perokok sebenarnya mendapatkan
paparan iklan justru dari media lain, seperti billboard yang hingga sekarang
tidak pernah tegas diatur. Pemda DKI Jakarta memang telah melarang
pemasangan billboard rokok di kawasan kendali ketat. Tetapi aturan itu
(Perda No 7/2004 khususnya Pasal 18 Ayat 2) sama sekali tidak diikuti.
Berdasarkan laporan BPOM, selama tahun 2006 terdapat 54,79 persen iklan
rokok di media cetak, 77,80 persen iklan rokok di media elektronik, dan 57,23
persen iklan rokok di media luar ruang tidak memenuhi ketentuan.

Bagi saya pribadi, pemerintah seharusnya memberlakukan peraturan tegas


dengan tidak membolehkan sama sekali iklan rokok di media luar ruang
maupun lewat sponsorship yang bisa diakses oleh anak-anak di bawah 18
tahun. Memang semua perusahaan bahkan individu, termasuk perusahaan
rokok memiliki hak yang sama sebagai warga negara  dan hak untuk berusaha,
tetapi karena merokok adalah pilihan yang mendatangkan risiko, maka orang
yang bisa dikenai promosi rokok haruslah orang-orang dewasa yang memiliki
rasionalitas dan kesadaran untuk memilih.

Bagi saya, tidak mungkin kita benar-benar melarang perusahaan rokok untuk
berpromosi sama sekali. Saya masih percaya pada pilihan bebas. Merokok
merupakan pilihan bebas sejauh perokok sadar akan konsekuensi dan tidak
merugikan orang lain. Membebaskan perusahaan rokok untuk berpromosi
mengandung bahaya bahwa produk itu akan diakses oleh anak-anak di bawah
umur dan usia rentan lainnya. Tetapi pelarangan sama sekali rokok dan
promosinya bisa menjadikan merokok sebagai aktivitas yang tidak terkontrol
dan justru menjadikannya ‘primadona’ di pasar gelap, sama seperti narkotika
dan obat-obatan.

Sekarang ini, pemerintah harus bersikap konsisten dengan menerapkan semua


peraturan tentang promosi rokok, baik di televisi, media cetak, internet,
maupun di media luar ruang, termasuk sponsorship dengan tegas. Konsistensi
ini diperlukan karena selama ini pemerintah bersifat mendua. Di satu sisi,
pemerintah menikmati cukai dari rokok dan bahkan berteman dekat dengan
para pemilik perusahaan rokok  --yang notabene adalah orang-orang terkaya
di Indonesia—tetapi di sisi lain, mencoba menolak rokok dengan aturan yang
tidak jelas. ***

3 comments share

Jan 29, '08 5:05 AM


Metro TV
for everyone
Tugas              : Kapita Selekta

Metro TV merupakan satu-satunya televisi Indonesia yang mengedepankan


berita sebagai sajian utamanya. Metro TV resmi mengudara sejak 25
November 2000. Televisi ini mengudara selama 24 jam. Meski masih
didominasi program berita, Metro TV kini juga secara terbatas juga
menyiarkan program-program hiburan dan dokumenter.

Kehadiran Metro TV sebagai saluran berita bisa dibilang merupakan suatu


angin segar bagi dunia pertelevisian Indonesia yang didominasi oleh program-
program sinetron dan melodrama televisi lainnya. Selain itu, Metro TV juga
tidak menggunakan sistem rating, seperti yang berlaku di televisi-televisi lain.

Berita-berita yang ditampilkan oleh Metro TV biasanya mengupas hal-hal


terkini dan penting bagi masyarakat, seperti korupsi, pelanggaran hak asasi
manusia dan lain-lain. Dalam konteks ini, Metro TV memberikan ruang bagi
isu-isu yang selama ini tenggelam dari perhatian televisi swasta lainnya.  Perlu
dicatat bahwa Metro TV merupakan televisi Indonesia pertama yang memiliki
program berita berbahasa Mandarin (Metro Xinwen), sebuah terobosan di
tengah diskriminasi dan stigmatisasi orang Tionghoa dalam masyarakat
Indonesia. Karena berfokus pada berita, Metro TV bisa dibilang lebih
informatif. Ia juga memiliki akses ke banyak tempat dan isu yang sulit didapat
oleh televisi-televisi maupun sumber berita lain, seperti radio atau surat kabar.

Meski demikian, Metro TV bukannya sebuah media yang netral dan lepas dari
berbagai kepentingan. Sebagai media, Metro TV memiliki banyak
kepentingan dan menjadi medan perebutan kepentingan itu sendiri. Pada tahun
2005, saya pernah mendengar dari seorang karyawan Metro TV tentang
insiden blog karyawan. Pada saat itu, ada seorang karyawan Metro TV yang
menulis blog tentang situasi kerja di Metro TV. Karyawan ini dianggap telah
membocorkan rahasia perusahaan Metro TV dan akhirnya dipecat.

Insiden ini mengingatkan saya pada beberapa ‚insiden’ lain terkait dengan
campur tangan pemilik media pada kebijakan redaksional Metro TV. Seperti
yang pernah saya katakan pada kuliah terdahulu, beberapa program Metro TV
sarat dengan kepentingan pemilik televisi ini, yakni Surya Paloh. Kasus
pemberitaan FKKPI dan bencana tsunami di Aceh merupakan contoh.

Dalam kasus bencana tsunami di Aceh, stasiun Metro TV memberitakan


kejadian ini hingga berbulan-bulan. Sebagai sebuah informasi publik,
peristiwa tsunami memang wajib disiarkan oleh Metro TV. Tetapi dalam
banyak kasus, pemberitaan ini ditujukan untuk kepentingan/publisitas Surya
Paloh. Misalnya, pemberitaan sumbangan dari Yayasan Sukma, milik Surya
Paloh.

Pemberitaan saat Surya Paloh mengikuti konvensi nasional pemilihan calon


presiden partai Golkar di tahun 2004 merupakan contoh lain. Ketika konvensi
berlangsung, Surya Paloh menggunakan Metro TV sebagai corong
propagandanya, sesuatu yang terdengar tidak menyenangkan.

Padahal dalam visi dan misi Metro TV sendiri, Surya Paloh menekankan
peran media dalam mendorong terwujudnya masyarakat yang lebih
demokratis. Bahkan melalui jenjang karir yang ia lalui, dari menerbitkan
harian Prioritas (1988) dan Detik (1991), Surya Paloh dikatakan selalu
berusaha independen dan mendorong nilai-nilai demokratis –meski ia tetap
berada di partai Golkar yang notabene partai berkuasa.

Dalam biografinya, Surya Paloh juga mengatakan bahwa ia akan terus


memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, khususnya kemerdekaan pers. Tetapi
dalam kebijakan pemberitaan, istilah-istilah ‚independen’, ‚kemerdekaan pers’
dan demokrasi hanya berhenti di lips service. Beberapa program berita bahkan
dengan jelas mengkhianati prinsip independen, kemerdekaan pers dan
demokrasi. ***

0 comments share

Jan 29, '08 5:03


Konglomerasi Media dalam Grup MNC (Media
AM
Nusantara Citra)
for everyone
Tugas              : Kapita Selekta

Menurut Ben H. Bagdikian (1997), selama dekade 1980-an, Amerika Serikat


menyaksikan semakin terpusatnya kepemilikan media di tangan sedikit
orang/perusahaan. Tidak pernah terjadi sebelumnya, korporasi-korporasi
media ini memiliki kekuasaan yang sangat besar hingga dapat membentuk dan
mempengaruhi lanskap sosial di Amerika.

Seiring dengan terjadinya revolusi teknologi penyiaran dan informasi,


korporasi-korporasi media terbentuk dan menjadi besar dengan cara
kepemilikan saham, penggabungan dalam joint-venture, pembentukan
kerjasama, atau pendirian kartel komunikasi raksasa yang memiliki puluhan
bahkan ratusan media.

Selama dekade 1980,-an jumlah perusahaan media semakin mengecil. Di


Amerika Serikat pada tahun 1984, ada 50 perusahaan media yang beroperasi
di tingkat nasional dan lokal. Jumlah ini berkurang drastis pada tahun 1987
menjadi 26. Pada tahun 1990, jumlah ini menurun menjadi 23 perusahaan.
Sementara 3 tahun setelahnya, jumlahnya tidak mencapai angka 20. Sejak
tahun 1996, media semakin terpusat pada 5 perusahaan besar yang menguasai
lanskap media Amerika Serikat, dan berarti dunia. Kelima perusahaan itu
adalah Time-Warner, Viacom, News Corp., Bertelsmann Inc., dan Disney.

Bagi Bagdikian, fenomena ini bukanlah semata-mata fenomena bisnis,


melainkan fenomena ekonomi-politik yang melibatkan kekuasaan.
Kepemilikan media, bukan hanya berurusan dengan persoalan produk, tetapi
berkaitan dengan bagaimana lanskap sosial, citraan,berita, pesan dan kata-kata
dikontrol dan disosialisasikan ada masyarakat. Bagdikian menyebut contoh.
Lima korporasi media terbesar di AS berhasil mengajukan sebuah UU baru
untuk meningkatkan dominasi korporat mereka dan menghilangkan UU atau
peraturan yang membatasi kontrol atas media. Misalnya, UU Telekomunikasi
tahun 1996.

Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Sejak lama,
media terutama televisi telah menjadi ajang pertarungan kepentingan bisnis
dan politik para penguasa.  Soeharto, presiden Indonesia selama 32 tahun,
mengizinkan berdirinya televisi swasta pada tahun 1988. Semenjak itu dan
setelah 1998, ketika Soeharto turun dari kekuasaannya, dunia televisi
Indonesia semakin ramai dengan kehadiran televisi-televisi baru. Beberapa
televisi bisa disebut, seperti SCTV, Global TV, LaTV, TransTV, TV7, Metro
TV dll. Kehadiran berbagai televisi ini mengakibatkan persaingan antartelevisi
menjadi semakin tajam. Setelah tahun 1998, banyak televisi yang akhirnya
bergabung dengan televisi lain. Banyak pula yang melalukan konsolidasi guna
membentuk konglomerasi media yang lebih besar. Menurut Satrio
Arismunandar (2006), sekarang ini telah terbentuk setidaknya tiga kelompok
konglomerasi media. Konglomerasi media pertama adalah PT Media
Nusantara Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki Hary Tanoesoedibjo yang
membawahi RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia), dan Global TV (PT Global Informasi
Bermutu). Kelompok kedua berada di bawah PT Bakrie Brothers (Group
Bakrie) yang dipimpin oleh Anindya N. Bakrie, anak menteri dan pengusaha
kontroversial, Aburizal Bakrie.

Grup Bakrie ini membawahi ANTV (PT Cakrawala Andalas Televisi) yang
kini berbagi saham dengan STAR TV (News Corps., menguasai 20% saham)
dan Lativi (PT Lativi Media Karya). Kelompok yang ketiga adalah PT Trans
Corpora (Grup Para). Grup ini membawahi Trans TV (PT Televisi
Transformasi Indonesia) dan Trans-7 (PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh).
Ketiga televisi swasta lainnya, yakni SCTV, Metro TV dan Indosiar, berdiri
sebagai perusahaan sendiri. Saat ini, SCTV dan Indosiar dalam proses
evaluasi untuk merger dalam grup Surya Citra Media.

PT Media Nusantara Cipta (PT MNC Terbuka) merupakan salah satu


konglomerasi media terbesar di Indonesia. Perusahaan media ini memiliki
bisnis di bidang produksi program, distribusi program, saluran televisi
terrestrial, saluran program televisi, surat kabar, tabloid dan jaringan radio.
Perusahaan ini boleh dikatakan sebagai perusahaan media yang terintegrasi
secara raksasa. (lihat bagan)

Jaringan televisi MNC merupakan yang terbesar di Indonesia dengan nama


perusahaan/stasiun: RCTI, TPI dan Global TV.  RCTI (PT Rajawali Citra
Televisi Indonesia) merupakan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia.
Berdiri pada tanggal 21 Agustus 1987, televisi ini mulai mengudara pada
Agustus 1989. RCTI dengan cepat menjadi televisi swasta terbesar karena
fasilitasi bisnis dari keluarga Cendana (Soeharto) di masa Orde Baru. Stasiun
ini, bukan kebetulan, dimiliki dan dipimpin oleh Bambang Trihatmojo, anak
ketiga Presiden berkuasa saat itu. Hingga saat ini, RCTI masih merupakan
televisi nomor satu di Indonesia dalam hal perolehan iklan dan jumlah
audiens. AGB Nielsen mengemukakan bahwa audience share RCTI sebesar
20%. Data menunjukkan bahwa kepemilikan televisi di Indonesia sekarang ini
mencapai 59 rumah tangga yang berarti sekitar 231 juta penonton. Ini
merupakan kue ekonomi yang sangat besar (Bill Guerin, 2005).  

Televisi kedua adalah Global TV (70% saham). Televisi ini didirikan pada
tahun 1999 tetapi baru mengudara pada Oktober 2001. Dengan target audiens
kaum muda, Global TV merupakan televisi lokal dengan isi program-program
musik dari MTV Asia (Music Television), sebuah perusahaan televisi kabel
dari Viacom. Program ini mulai disiarkan tahun 2006. Selain dengan MTV,
Global TV juga menjalin kerjasama dengan Nickelodeon. Global TV
mendapatkan lisensi ekslusif untuk program-program dari MTV, VH1 dan
Nickelodeon.

Televisi ketiga adalah TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia), yang
didirikan pada tahun 1991 oleh anak tertua Soeharto, Siti Hardiyanti
Rukmana. Televisi ini diakuisisi oleh MNC pada tahun 2006 dengan
kepemilikan saham mencapai 75%. Pendapatan bersih selama 9 bulan pertama
di tahun 2007 meningkat 51% dari nilai tahun lalu, mencapai 326 miliar
rupiah atau sekira $51 juta. Total pendapatan kotor naik 51% menjadi 2,2
triliun rupiah atau sekira $350 juta.

Hary Tanoesoedibjo adalah presiden direktur dan CEO MNC. Hary telah
berkiprah di industri televisi sejak 2003 ketika ia menjadi presiden grup dan
CEO RCTI yang merupakan anak perusahaan grup Bimantara, sebuah grup
perusahaan yang dimiliki putra mantan penguasa Orde Baru, Bambang
Trihatmojo. Selain di industri televisi, Hary meniti karirnya dari perusahaan-
perusahaan investasi milik grup Bimantara.

Kalau kita perhatikan, grup MNC ini merupakan salah satu grup televisi
Indonesia yang dengan jelas dikontrol oleh orang-orang Soeharto. Televisi
seperti RCTI dan TPI merupakan televisi-televisi yang hadir saat Soeharto
berkuasa dan mendapatkan banyak fasilitas dari kekuasaan Orde Baru. TPI,
misalnya, pada kehadiran pertamanya menggunakan saluran transmisi TVRI
yang merupakan saluran televisi pemerintah.

Grup perusahaan media ini memiliki lobi dan pengaruh yang sangat besar
pada proses politik Indonesia. Pada tahun 1996-1997, perusahaan-perusahaan
televisi menolak RUU Penyiaran yang membatasi transmisi siaran televisi
secara nasional. RUU Penyiaran ini akhirnya disahkan pada tahun 1997
dengan menghilangkan larangan transmisi secara nasional.

Dalam hal isi siaran, berita merupakan hal yang paling dikontrol. Krishna Sen
dan David T. Hill membandingkan pemberitaan media-media ini terhadap
kasus 27 Juli 1996 (penyerangan kantor PDI Perjuangan di Jl. Diponegoro,
Jakarta) dan terbukti bahwa media-media seperti RCTI lebih menampilkan
narasumber pemerintah dan militer dalam menanggapi kasus ini.

Selama tahun 2000-2007, RCTI dan TPI merupakan televisi yang merajai
rating acara, baik yang ditujukan untuk kelas menengah maupun kelas bawah.
Program unggulan televisi-televisi ini adalah sinetron dan reality show yang
bagi banyak orang memiliki kontribusi besar pada ‚proses pembodohan’
massa. Acara-acara drama, sinetron, reality show dan gossip merupakan
jualan utama stasiun seperti RCTI, Global TV dan TPI. Hal ini bukanlah hal
yang terjadi begitu saja.

Bagi David Barsamian, seorang jurnalis, acara-acara ini bukan semata-mata


bertujuan bisnis, yakni mengumpulkan pendapatan iklan sebanyak-banyaknya
(total pendapatan iklan televisi lokal mencapai US$1,4 miliar), tetapi acara ini
dibuat agar penonton merasa tidak berdaya dan lumpuh. Acara-acara ini
bermaksud menjadikan penonton sebagai konsumen yang baik, untuk
membuat orang merasa terisolasi dan merasa bahwa tidak ada kemungkinan
untuk sebuah perubahan sosial.

Di sinilah, terlihat bagaimana korporasi media, seperti MNC memiliki peran


besar dalam menyaring apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh
masyarakat, apa yang baik dan tidak baik, serta bagaimana masyarakat
harusnya bersikap. Seperti yang terjadi di AS, media yang dikontrol elit, akan
semakin memiliki pengaruh besar baik bagi masyarakat maupun pemerintah.
***

Bahan Bacaan

Bagdikian, Ben H., The New Media Monopoly, Beacon Press, 1997

Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, Manufacturing Consent, Pantheon


Books, 1988.

Guerin, Bill, Indonesia Watching Foreign TV Ownership, Asia Times Online,


2005.

Munandar, Satrio,

Sen, Krishna dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia,
ISAI, 2001, terutama bab 4. Televisi:Lintas Batas, Transmisi dan Citra Lokal.

Wardhana, Veven SP., Televisi dan Prasangka Budaya Massa, ISAI, 2001.

 
 

4 comments share

Jan 29, '08 4:52 AM


Lima Perusahaan Media Terbesar di Amerika Serikat
for everyone
Saat ini ada 5 perusahaan media yang menguasai Amerika Serikat (dan oleh
karena itu bisa pula disebut menguasai dunia). Kelima perusahaan itu adalah
Bertelsmann Inc., News Corp., Time-Warner, Walt Disney, dan Viacom.

BERTELSMANN INC.

Bertelsmann Inc. merupakan korporasi yang mulai dirintis oleh Carl


Bertelsmann sejak tahun 1835.  Didirikan pertama kali di Gütersloh, Jerman,
sebagai perusahaan percetakan kecil,  Bertelsmann kini telah menjadi salah
satu perusahaan transnasional di bidang media paling besar. Perusahaan ini
beroperasi di 63 negara dan mempekerjakan lebih dari 100.000 orang.
Pendapatan kotor perusahaan ini menjadi € 19,3 billion.
 

Pada mulanya, Bertelsmann hanya berkonsentrasi pada penerbitan buku-buku


misi (agama Kristen), tetapi kemudian di bawah pimpinan Heinrich
Bertelsmann, generasi kedua keluarga Bertelsmann, perusahaan ini mulai
menerbitkan novel.  Pada masa NAZI, perusahaan ini ikut terlibat dalam
percetakan dan penerbitan buku-buku nasionalisme-sosialisme (ideologi
fasisme Hitler), bahkan buku-buku bernada anti-Semit. Keterlibatan mereka
ini diakui ketika Bertelsmann hendak mengakuisisi Random House, sebuah
penerbitan besar Amerika, di tahun 1998.

Sejak tahun 1980-an, Bertelsmann memang telah mengembangkan bisnisnya


ke level internasional. Tahun 1979, Bertelsmann membeli Arista, sebuah label
musik, tahun 1980, Bantam Books, sebuah penerbitan buku, tahun 1986, RCA
dan penerbitan Doubleday. Tahun 1996, Bertelsman mengambil kontrol atas
Windham Hill Records. Di masa inilah, label musik mereka terintegrasi
dengan nama BMG (Bertelsmann Music Group). Label musik Bertelsmann ini
melakukan merger dengan perusahaan Sony, membentuk Sony-BMG.

Sekarang ini, Bertelsamann Inc. meliputi perusahaan:

1. RTL Group, grup penyiaran yang beroperasi di Eropa.

2. Gruner + Jahr, penerbit majalah terbesar di Eropa.

3. BMG (Bertelsmann Music Group, perusahaan rekaman musik internasional,


memiliki 50% saham Sony BMG).

4. Random House, penerbit buku terbesar di dunia.

You might also like