Professional Documents
Culture Documents
Dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) boleh diprioritaskan ke
daerah rawan pangan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Selain itu, 2.000
warga Kecamatan Bermani Ilir, Kabupaten Rejang Lebong, yang kurang mampu
membeli beras, dapat dimasukkan dalam program Jaring Pengaman Sosial (JPS)
agar mereka dapat membeli beras dengan harga amat murah dan memperoleh
pendidikan gratis.
Seperti diberitakan Rabu, sedikitnya 2.000 warga Desa Kembang Seri, Desa Limbur
Lama, Desa Cinta Mandi, Kecamatan Bermani Ilir, Kabupaten Rejang Lebong,
Bengkulu, sudah empat bulan mengonsumsi gadung atau umbi hutan beracun
karena tak mampu lagi membeli beras. Warga di daerah produsen kopi ini
mengalami kerawanan pangan setelah harga komoditas tersebut jatuh.
Jusuf Kalla menekankan, pemerintah pusat perlu memperoleh data atau informasi
lebih detail tentang kerawanan pangan di wilayah itu. Perlu diketahui pula apakah
kerawanan itu karena gagal panen, tanaman diganggu hama, produk pertanian yang
dihasilkan jatuh harganya, atau ada sebab-sebab lain sehingga sebagian masyarakat
tak mampu membeli beras.
Kalau soal hama, produk dan harga komoditas jatuh, berarti ini bukan kejadian tiba-
tiba. Peristiwa ini mestinya sudah dapat diketahui atau dapat diprediksi sekian lama
sebelumnya. Karena itulah, tambah Kalla, dibutuhkan data lebih lengkap.
"Pejabat berwenang di daerah, misalnya bupati dan gubernur, mestinya juga yang
pertama menangani masalah ini. Dan, kalau soal ini diungkapkan, bukan untuk
menghindari pekerjaan atau memanjangkan birokrasi. Sama sekali bukan begitu.
Akan tetapi, harap diingat, sekarang ini zamannya otonomi daerah," tutur Kalla.
Untuk membantu warga yang terkena rawan pangan ini, Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Bengkulu telah menyalurkan bantuan 7,5 ton beras. Bantuan juga
diberikan Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Rejang Lebong sebanyak 15 ton
dalam dua kali pengiriman.
Namun, bantuan itu hanya cukup untuk meragamkan makanan warga beberapa hari
saja. Kini warga tiga desa di Rejang Lebong itu kembali melewati hari-hari mereka
tanpa beras.
Jual perabot
Barang-barang seperti magic jar, lemari es, televisi, sepeda motor, rela mereka
lepas dengan harga murah. Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh beberapa orang
dari Bengkulu untuk mendapatkan barang-barang murah. Magic jar, misalnya, bisa
dilepas dengan harga Rp 20.000, televisi berwarna 14 inci cuma Rp 100.000.
Padahal, dua tahun lalu barang-barang itu mereka beli dengan sangat mudah,
meskipun harganya mahal.
Bahkan, ada juga warga yang menawarkan rumahnya untuk dijual, dengan
memasang "iklan" rumah dijual di dinding depannya. "Tapi, dalam kondisi seperti ini,
siapa yang mau beli rumah yang jauh dari mana-mana. Itulah gambaran betapa
sudah frustrasinya masyarakat," ungkap Kepala Desa Limbur Lama Syarkawi HD.
"Ini seperti kembali ke zaman Jepang. Dulu orang makan gadung karena memang
tidak ada beras. Sekarang ini beras ada, tapi kami tidak mampu membelinya,"
tambah M Rasyid, tokoh agama Desa Limbur Lama yang memasuki usia 67 tahun.
Ia menambahkan, hanya karena terpaksalah, sejak empat bulan lalu banyak warga
harus makan gadung setiap hari. Kadang gadung itu ditumbuk halus setelah dikerin
gkan, untuk diolah menjadi bubur bagi anak-anak. Tidak jarang gadung dikeringkan
menjadi kerupuk atau dibiarkan basah untuk kemudian dimasak dengan cara
dikukus.
Kondisi desa yang biasanya sepi, karena ditinggal banyak warganya ke ladang, kini
justru ramai karena tidak ada lagi yang bisa mereka dapatkan di ladang. Para bapak
pun kini ikut sibuk mengolah gadung di halaman rumah mereka atau di sungai.
Butuh bantuan
Sekretaris Kecamatan Bermani Ilir Arsan Yasad mengemukakan, dalam waktu dekat
ini tampaknya belum akan ada bantuan dari pemerintah kabupaten. Namun,
masyarakat memang masih menunggu bantuan beras, baik dari provinsi maupun
dari pemerintah pusat.
"Program yang sudah disiapkan pemerintah kabupaten adalah untuk bulan Juni-Juli,
yaitu program penanaman palawija. Untuk sekarang ini, belum ada program karena
sekarang ini warga menghadapi musim panen kopi. Artinya, penghasilan dari kopi
diharapkan akan semakin bertambah meskipun disadari itu tidak bisa mengalahkan
kondisi rawan pangan mereka. Paling tidak, kondisi menjelang panen raya yang akan
jatuh sekitar April-Mei ini bisa membantu mereka untuk sementara waktu," ungkap
Arsan. (as/oki/har)
Hal ini disampaikan Kepala BKP3 Kabupaten Alor, Ir. Johanis B.N.Francis,
melalui Rukiah Oramahi, S.Pt, MP, Kabid Kewaspadaan dan Konsumsi Pangan
BKP3 Kabupaten Alor. Rukiah Oramahi yang ditemui di sela-sela kegiatan Jumat
bersih di Taman Kota Kalabahi, Jumat (8/1/2010) lalu, menjelaskan, program ini
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Propinsi melalui BKP3 Alor.
Pelaksanaan program ini, jelasnya, mempertimbangkan beberapa asapek antara
lain, bencana, kekeringan, banjir, angin taufan, tanah longsor, serangan
organisme penggangu tanaman yang menyebabkan terjadinya gagal tanam,
gagal panen maupun puso dari berbagai komoditi pertanian. Kondisi tersebut
mengakibatkan terjadinya ganguan/ penurunan produksi pangan yang
berimplikasi pada rawan pangan bahkan gisi buruk. Kabid Oramahi,
menambahkan, langkah-langkah penanggulangan darurat di masyarakat yang
mengalami rawan pangan difokuskan pada bantuan pangan maupun sarana
produksi, yang mana disesuaikan dengan penyebab, dampak dan kebutuhan
masyarakat (needs and impact public). Intervensi daerah rawan pangan, kata
dia, merupakan bentuk kegiatan (action) yang diarahkan untuk membantu
memulihkan (rehabilitation) kondisi masyarakat terhadap akses pangan pada
kondisi darurat akibat bencana alam maupun faktor penyebab lainya.
Interfensi daerah rawan pangan, lanjutnya, merupakan wujud kepedulian
pemerintah dalam upaya meringankan beban masyarakat /rumah tangga yang
mengalami rawan pangan dan gisi buruk. Bantuan ini menjadi tanggung jawab
dan di fasilitasi oleh bidang kewaspadaan dan konsumsi pangan BKP3 Alor. Ini
dilakukan setelah diseleksi semua adaministrasi maupun persyaratan dari
kelompok penerima bantuan tersebut. Diharapkan, bantuan intervensi daerah
rawan pangan ini dapat memberikan manfaat (benefit) dalam membantu
penyediaan pangan masyarakat untuk mengatasi kerawanan pangan, gisi buruk
maupun kelaparan.
Kabid Oramahi, mengatakan, tujuan dari program ini adalah membuka akses
pangan kepada masyarakat dan menanggulangi kekurangan pangan di rumah
tangga, memberdayakan kelompok masyarakat rawan pangan melalui usaha
pertanian secara berkesinambungan. Dikatakannya, untuk menghindari
terjadinya keseimbangan sosial (social equibilirium) dan kecemburuan sosial di
masyarakat, maka sasaran kegiatan inteervensi daerah rawan pangan adalah
masyarakat beresiko rawan pangan maupun gisi buruk yang arasnya ditentukan
secara obyektif dan porposional berdasarkan hasil identifikasi/analisi indikator
sistim kewaspadaan pangan dan gisi serta kondisi riil di lapangan atau desa
dengan berpijak pada sejumlah kriteria. Kriteria yang dimaksudkannya adalah
masyarakat/ rumah tangga yang mengalami rawan pangan/ beresiko rawan
pangan hasil analisis indikator seperti kekeringan, banjir, gagal panen, serangan
organisme penggangu tanaman, serta kelompok masyarakat yang belum
mendapat bantuan dari sumber lain.
Ditanya tentang sumber dana untuk kegiatan ini, jelas Kabid Rukiah Oramahi,
bersumber dari APBN tahun anggaran 2009 sebesar Rp. 25 juta dan APBD
Propinsi NTT tahun anggaran 2009 sebesar Rp. 30 juta. Kegiatanya telah di
realisasikan oleh bidang kewaspadaan dan konsumsi pangan pada awal Januari
2010 dengan rincian setelah pengadaan beras maka didistribusikan 20 kg per
kepala keluarga.
Magister Pertanian ini juga menjelaskan tentang enam desa penerima dana
pengadaan beras untuk kegiatan intervensi daerah rawan pangan antara lain;
Desa Elok Kecamatan Alor Timur, Wolwal Tengah Kecamatan Alor Barat Daya,
Pura Utara di Kecamatan Pulau Pura, Mauta di Kcamatan Pantar Tengah,
Baolang di Kecamatan Pantar dan Desa Treweng di Kecamatan Pantar Timur.
Rukiah Oramahi, mengingatkan, agar kita tidak menialai banyak atau sedikitnya
yang diberikan tapi itulah sebuah bentuk kepedulian, perhatian, keberpihakan
dari pemerintah kepada masyarakat.
“Mari kita bangkitkan semangat juang bersama dalam menyukseskan rawan
pangan di daerah ini dengan melestarikan dan memilihara lingkungan. Jika kita
ingin panen maka tanamlah saat musimnya tiba. Jika kita mau panen sepanjang
masa maka tanam lah pohon-pohonan di lingkungan sekitar kita, karena kalau
bukan kita sekarang maka kapan lagi, “ujarnya. ==> oktotefi
Diposkan oleh Silvester Nusa di 20:14
Menyebar Ternak di Titik Rawan Pangan
Kategori: Gurat - Dibaca: 1 kali
Malam itu udara tampak bersahabat. Cahaya temaram beberapa lampu minyak
menyelisik diantara gelapnya malam. Meski langit cerah, tidak ada cahaya bulan yang
datang. Di tengah ruangan masjid, tampak beberapa wanita sibuk menata puluhan
bungkusan nasi dengan aroma khas masakan daging kambing.
Bagi masyarakat Dusun Minte, Desa Dadi Bou, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima,
Propinsi Nusa Tenggara Barat, malam itu merupakan malam yang spesial. Ada amanah
pelaksanaan akikah atas nama ananda Syafiyah Putri Athaya, putri dari Bapak Alamsyah
Tari di Jakarta. ”Ini menunjukkan bahwa sesama muslim adalah saudara, seandainya ada
banyak saudara kami mengirimkan akikah rutin, tidak hanya pas kurban, kondisi kami
akan lebih baik. Masyarakat sini jarang sekali makan daging. Dan suatu kehormatan
diberi kepercayaan untuk pelaksanaan ibadah akikah dari Jakarta” ungkap imam masjid,
Ustadz Muhammad Landa saat memberikan sambutan.
Seusai memanjatkan doa, acara santap dimulai. ”Gembira dan terharu melihat tujuh
puluhan pasang mata menyantap hidangan akikah tersebut. Meski shahibul hajat nun jauh
di kota metropilitan, kekhusyuan dan ketulusan mereka seperti menghadirkan secara
nyata sang shahibul hajat” kenang Abdul Jabbar, manajer Marketing Kampoeng Ternak
Dompet Dhuafa Republika yang ikut hadir dalam acara tersebut.
Lain dari Minte, arah timur menyusuri lautan Flores, tepatnya di Desa Wakat Ehak,
Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata, titik busung lapar. Lebih dari tujuh bulan hujan
tidak turun. Tanaman jagung sebagai bahan makanan pokok sudah mengering saat masih
muda. Untuk memasak saja harus mengambil air dengan perahu di pulau seberang.
Sedangkan untuk mandi, masyarakat Ile Ape mengandalkan air laut.
Saat tim akikah datang, beberapa orang menyambutnya dengan hangat. Maklum, tim ini
sudah kenal dekat dengan masyarakat. ”Desa ini adalah satu-satunya desa di pesisir ini
yang hampir semua penduduknya muslim. Dan teman-teman inilah yang senantiasa
membantu mengembangkan dakwah di daerah ini” jelas tokoh desa kepada anggota tim
dari Jakarta.
Sesaat setelah koordinasi kilat, orang-orang bertebaran. Ada yang mencari kayu bakar,
peralatan dapur, sebagian mencari ternak kambing yang akan dipotong, dan sebagian
menyiapkan ”panggung” untuk acara.
Menjelang malam semua persiapan telah selesai. Tidak kurang dari 50 orang hadir dalam
acara malam itu, terutama anak-anak. Untuk memeriahkan acara, Qashidah anak-anak
pun ditampilkan. Jadilah acara yang meriah, meski tetap sederhana. ”Jauhnya lokasi dan
beratnya medan benar-benar luruh melihat kebersamaan menjalankan amanah dan
kebahagiaan berbagi dengan yang membutuhkan” ungkap Bang Arifudin Anwar, mitra
pemberdayaan peternak di Nusa Tenggara Timur.
Mula Gagasan
Kurun satu dasawarsa ini, menebar hewan kurban sudah menjadi tradisi banyak lembaga
amil zakat (LAZ). Kini, menebar akikah juga mulai ditradisikan. Penggalan kisah di atas
merupakan cermin bahwa menebar ternak tidak harus setahun sekali. Bisa rutin, bahkan
tiap hari.
Dalam momen kurban, berpuluh bahkan beratus ribu kambing-domba, sapi, dan kerbau
menjadi target tiap tahunnya. Jumlah ini terus meningkat tiap tahun. Sementara,
pengembangbiakkan populasi ternak sepenuhnya masih diserahkan pada masyarakat
secara alami, tanpa rekayasa. Jika hal ini terjadi terus menerus, maka akan terjadi krisis
populasi ternak. Yang dipotong jauh lebih banyak dari yang lahir.
Disisi lain, peternakan merupakan media yang cocok untuk pemberdayaan kaum dhuafa
dengan tujuh alasan : Pertama, penopang utama populasi ternak adalah peternakan rakyat
yang didominasi oleh peternakan skala rumah tangga. Kedua, beternak sudah menjadi
keahlian turun temurun. Bukanlah hal yang sulit untuk dipelajari. Ketiga, potensi alam
untuk peternakan sangat melimpah. Keempat, permintaan pasar yang terus meningkat
dari tahun ke tahun. Kelima, ternak bagi petani juga berfungsi sebagai tabungan (saving)
yang dapat digunakan pada waktu kebutuhan mendesak. Keenam, di daerah yang relatif
kering dan tandus seperti daerah rawan pangan di NTT, ternak masih dapat hidup dengan
baik ketika tanaman-tanaman sudah lama mengering. Dalam kondisi seperti ini,
penghasilan dari ternak merupakan satu-satunya solusi. Ketujuh, pengembangbiakan
ternak ini adalah upaya untuk melestarikan kekayaan ternak lokal Indonesia.
Alasan tersebut yang memicu Dompet Dhuafa (DD) merilis Kampoeng Ternak sebagai
jejaring yang mengembangkan pemberdayaan peternak. Hingga paruh pertama 2005 ini
Kampoeng Ternak telah menjangkau 15 propinsi mulai dari Aceh hingga Papua.
Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan peternak dibangun dengan pembentukan kelompok-kelompok peternak di
daerah-daerah bidikan. Kriteria sasaran adalah mustahik, mampu memelihara ternak, dan
lingkungan mendukung untuk pemeliharaan ternak. Selama proses pembentukan
kelompok hingga perjalanan beternak, mereka akan didampingi secara intensif oleh
pendamping yang disiapkan secara khusus.
Sapi dikembangkan di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, dan Papua. Walhasil, di
masa mendatang, daerah-daerah ini diharapkan akan tumbuh menjadi sentra produksi
peternakan yang berbasis pada peternakan rakyat.
Pola kemitraan menggunakan konsep bagi hasil 50:50 atau 60:40. Bagian 40% untuk
Kampoeng Ternak digunakan kembali untuk mengembangkan kelompok dan pembiayaan
kegiatan pendampingan. Pendampingan sendiri tidak terbatas pada pendampingan
peternakan, tetapi juga menekankan pembiasaan etos kerja, pelaksanaan tuntunan agama,
kebiasaan hidup sehat, dan penumbuhan kepedulian serta kebersamaan diantara
kelompok secara khusus dan masyarakat pada umumnya.
Penutup
Dengan program ini saudara-saudara kita di daerah-daerah rawan mendapatkan alternatif
matapencaharian untuk ketahanan pangan mereka. Pun mereka dapat menikmati
kelezatan daging yang seringkali mereka makan hanya pada saat hari raya kurban, itu pun
jika ada ”kiriman” pekurban dari daerah lain.
Semakin banyak jumlah dan sebaran program seperti ini kita berharap nikmatnya Zakat
dapat dirasakan oleh mustahik dan muzakki. Semoga kandang-kandang dan keratan-
keratan daging yang tersebar menjadi saksi kepedulian dan persaudaraan yang semakin
kokoh. Zakat benar-benar menjadi keberkahan.
Pemerintah Salurkan Rp132 Miliar Lebih Untuk Atasi Rawan
Pangan
Posted by Redaksi on Desember 16, 2009 · Leave a Comment
MEDAN (Berita): Sejak diluncurkan tahun 2006 hingga sekarang, pemerintah melalui
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Pusat sudah menyalurkan Rp132 miliar lebih untuk
mengatasi ribuan desa rawan pangan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sekretaris BKP Pusat melalui Kabag Perencanaan Ir Agus Widodo mengatakan hal itu
kepada wartawan di sela acara ‘Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Propinsi
dengan kabupaen/kota se-Sumatera Utara’ di Hotel Madani Medan Rabu [16/12] siang
tadi. Saat itu dia didampingi staf BKP Sumut Ir Erpison.
Hadir disana Kepala BKP Sumut Ir Setyo Purwadi, MM, Ketua Komisi B DPRD Sumut,
Ketua Tim Teknis Dewan Ketahanan Pagan (DKP) Propsu Prof Dr Ir Bilter Sirait, MSc
dan peserta dari BKP maupun DKP kabupaten/kota se-Sumut.
Agus memaparkan dana itu khusus diberikan sebagai sasaran pengurangan rawan pangan
di Indonesia. Tahun ini baru dilakukan kepada 1.750 desa dan tahun 2014 bertambah
menjadi 5.000 desa. Upaya yang dilakukan untuk pengurangan rawan pangan antara lain
melalui pengendalian kelompok-kelompok rawan pangan sebesar Rp100 juta per
kelompok. Satu kelompok terdiri dari 5 sub kelompok beranggotakan sekira 100 orang.
Jadi total dana yang diluncurkan sekira Rp132 juta lebih.
Menurut dia, sejak diluncurkan pengendalian rawan pangan, tercatat hampir 10 persen
sudah dianggap tidak rawan pangan lagi. Dari 1.750 desa maka ada 122 desa yang sudah
selesai rawan pangannya melalui pemberdayaan desa mandiri pangan. Sedangkan untuk
Sumut, ada 60 desa rawan pangan yang kini terus dibina menjadi desa mandiri pangan.
BKP sendiri, jelas Agus, target 2010-2011 antara lain peningkatan swasembada pangan
dan diversifikasi pangan. Untuk berbagai komoditi sudah swasembada seperti beras dan
jagung. Sedangkan gula, daging sapi dan kedelai masih banyak diimpor dari luar negeri,
padahal potensi untuk menanam cukup besar di Indoesia.
“Yang sangat penting lagi, pengembangan cadangan pangan di mana masyarakat melalui
lumbung-lumbung warga dan pemerintah melalui Bulog,” terangnya. Gubsu dalam
sambutan tertulis dibacakan tertulis dibacakan Kepala BKP Sumut Ir Setyo Purwadi
mengatakan kebijakan program peningkatan ketahanan pangan tahun 2011 tak bisa lepas
dari kondisi tahun 2010. Pembangunan ketahanan pangan akan difokuskan untuk
mewujudkan ‘rakyat tidak lapar’, yang merupakan komitmen dasar visi dan misi
Gubsu/Wagub tahun 2008-2012.
Menurut Gubsu, komitmen dasar itu juga telah menjadi komitmen bersama antara
Pemprov dan Pemkab/Pemko yang ditandai dengan kesepakatan bersama Gubsu, bupati
dan walikota pada peringatan hari pangan sedunia tingkat Sumut di halaman kantor BKP
pada 3 Desember 2009. “Perwujudan rakyat tidak lapar di Sumut akan dicapai melalui
aksi Gema Pangan dan swasembada pangan,” tulis Gubsu.
Tahun 2011, kata Gubsu, sasaran pembangunan ketahanan pangan haruslah mampu
menghasilkan ketersediaan energi minimal 2.200 Kkal/kapita/hari sesuai angka
kecukupan gizi dengan skor pola pangan harapan (PPH) minimal 80. Sebab saat ini
masih ditemukan sebagian masyarakat kita dengan konsumsi di bawah 1.400
Kkal/kapita/hari.
Daerah Rawan Pangan Terima Modal Rp40 M
17 Dec 2009
• Berita Kota
• Nasional
BANDUNG. BK
Pemerintan Provinsijawa Barat Pemprovjabar) menyerahkan bantuan modal usaha Rp40 miliar
kepada 1.200 kelompok masyarakat di daerah rawan pangan. Bantuan kepada 850 desa di 26
kabupaten/ kota se-Jabar tersehut untuk program Pemberdayaan Ekonomi Kelompok
Masyarakat (PEKM)
Menurut Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Rabu (16/12), ketersediaan dan ketahanan
pangan merupakan fokus pembangunan di Jabar. Sebab itu, kemandirian pangan menjadi
agenda utama yang harus dicapai. "Mendorong desa mandiri pa ngan dan lumbung pangan
adalah hal yang harus diwujudkan," katanya.
Dijelaskan, saat ini Jabar memberikan kontribusi produksi beras nasional mencapai 18% dan
menjadi produsen beras tingkat pertama nasional pada 2008. Untuk itu, kepada semua
stakeholder. Heryawan meminta supaya memantapkan program ketahanan pangan melalui
pengembangan desa mandiri dan lumbung pangan serta pencadangan pangan pemerintah,
baik provinsi maupun kabupaten kota
Sementara itu. Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Jabar Lucki Rulyaman menjelaskan,
penerima bantuan modal itu adalah 49 Lembaga Distribusi Pangan Mayarakat (LDPM), 767 Ke
lompok Usaha Ekonomi Produktif (KLKP), II kelompok pengolah organik, 165 kelompok
lumbung pangan, 10 komite sekolah dan kerjasama pengadaan beras cadangan pangan
daerah.
Revitalisasi Peran Lumbung Desa untuk Atasi Rawan Pangan
Oleh Posman Sibuea
ENTAH siapa yang paling beruntung dalam bisnis impor beras "Spanyol"-meminjam istilah yang
digunakan Kompas-alias separuh nyolong, tepatnya mendatangkan beras secara ilegal dengan
mencuri tarif impor, yang jumlahnya sekitar 800.000 ton. Yang jelas, rakyat kecil yang konon
makin miskin tak pernah "menikmati" gurihnya beras impor yang kehadirannya di Tanah Air
selalu meninggalkan masalah. Buktinya, impor beras sepanjang tahun 2000 yang jumlahnya
mencapai 2,6 juta ton-yang tercatat di Badan Urusan Logistik (Bulog), lumbung pangan masa
kini-tak cukup tangguh mengatasi rawan pangan yang makin kerap menyengsarakan rakyat kecil.
Mengimpor beras besar-besaran agar rakyat makan nasi tiga kali sehari ternyata tak cukup sakti
menepis rawan pangan yang selalu berulang setiap tahun. Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dan
Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, merupakan contoh daerah yang penduduknya dilaporkan
mengalami rawan pangan (Kompas, 7/4 dan 20/2/2002). Kedua daerah ini hanya merupakan
puncak gunung es, dalam arti yang tampak baru satu dua saja. Padahal, bila ada satu kasus
rawan pangan, itu berarti ada seratus kasus yang sama tidak dilaporkan karena berbagai alasan.
Ketidakmampuan pemerintah mengatasi rawan pangan dan peran Bulog hanya sebatas
stabilisator harga. Dalam konteks demikian ketahanan pangan tradisional lewat lumbung desa
yang dikelola masyarakat desa bisa dihidupkan kembali.
Mengapa hilang?
Sayang, dengan makin merosotnya nilai tukar petani belakangan ini mengakibatkan mereka tak
sempat lagi menyisihkan sebagian padinya untuk disimpan di lumbung desa. Budaya petani
menyimpan padi di lumbung untuk stok pangan saat musim paceklik makin hilang ditelan waktu.
Seharusnya, sebagai institusi sosial ekonomi yang tumbuh dari masyarakat petani, pemerintah
terus membina dan mendorong pengembangan lumbung desa, sebab memiliki potensi besar
sebagai basis perekonomian masyarakat desa. Lantas, mengapa pemerintah tidak mendorong
pengembangan kelembagaan ini? Alasan berikut mungkin menjadi penyebabnya. Pertama,
mitologi Dewi Sri yang konon sakti untuk menaungi tanaman padi sehingga mengondisikan sikap
petani harus sopan dan lemah lembut terhadap padi agar sang dewi padi tidak murka dan selalu
berkenan menganugerahkan hasil panen yang baik dan menjadikan lumbung petani tetap terisi,
makin dilupakan. Kini, petani tidak perlu lagi melakukan upacara adat petik saat akan memulai
panen padi. Kedua, ada anggapan dari pemerintah, dengan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi
pertanian, rawan pangan akan dapat teratasi. Ketiga, introduksi bibit unggul, pemupukan, dan
pemberantasan hama penyakit dapat meningkatkan produksi. Keempat, dengan produksi yang
melimpah ini, lumbung desa tak dibutuhkan lagi, tetapi yang lebih mendesak adalah lumbung
pangan nasional yang dikelola secara modern bernama Bulog.
Namun, Bulog yang diberi berbagai fasilitas dan diharapkan dapat mengganti peran lumbung
desa yang dianggap kuno, jauh dari harapan. Pada saat musim paceklik, Bulog tidak sigap
menjalankan fungsinya menyalurkan beras ke daerah rawan pangan. Dalam arti, tak mampu
menjamin perputaran beras dari desa kembali ke desa. Demikian juga intensifikasi tak mampu
lagi meningkatkan produktivitas lahan sawah padi.
Pertanyaan yang masih mengganjal, bagaimana merevitalisasi lumbung desa (padi dan pangan
lainnya) di tengah makin bertambahnya jumlah petani berlahan sempit alias gurem dan
penggunaan teknologi pertanian yang sudah ketinggalan zaman? Kedua faktor utama inilah yang
menjadi akar kemiskinan di sektor pertanian kita.
Pertama-tama harus dipahami bersama, petani gurem yang pemilikan lahan sawahnya makin
lama makin menyempit tidak bisa dibiarkan terus demikian, tetapi harus diinternalisasi dalam
konsep konsolidasi lahan. Jika tidak, Indonesia akan menghadapi malapetaka di bidang pangan
tiga puluh tahun mendatang, sebab saat itu diperkirakan jumlah penduduk sudah mendekati 400
juta jiwa.
Upaya konsolidasi lahan ini harus didorong pemerintah lewat penyelenggaran corporate farming
(CF) yang realistis. Lahan persawahan yang sempit dikonsolidasikan menjadi suatu hamparan
yang luasnya menjadi puluhan hektar sehingga produktivitas lahan bisa ditingkatkan. Bila ini
terjadi, penggunaan mesin dan peralatan mesin pertanian secara intensif untuk menggantikan
kekurangan tenaga kerja terutama dalam pengolahan tanah dan pemanenan dapat lebih efisien.
Tampaknya tak bisa ditawar lagi, reformasi pertanian harus dilakukan guna mendorong petani
makin produktif mengusahakan lahan sawah lebih luas, didukung penguasaan teknologi
pertanian yang lebih maju. Bila reformasi pertanian dilakukan melalui program corporate farming
akan diperoleh hamparan lahan sawah luas tanpa dibatasi pematang dan memungkinkan
penerapan full mekanisasi pertanian. Konsekuensinya, pertanian modern bermodel CF
membutuhkan investasi besar guna menjamin keniscayaan ketahanan pangan berkelanjutan.
Bila reformasi pertanian seperti ini bisa diwujudkan di tiap daerah di era otonomi ini, ditambah
penguasaan teknologi pascapanen padi dan pelatihan manajemen usaha tani, sejatinya dapat
mendorong kelompok tani membangun lumbung pangan yang perannya sudah diakui amat
berarti menggerakkan perkembangan ekonomi pedesaan. Bahkan di masa datang, dengan
manajemen lebih baik, diharapkan peran lumbung pangan tidak hanya sebagai tempat
penyimpanan saat over produksi, namun juga sebagai sarana penundaan penjualan untuk
sementara waktu sampai harga ada pada tingkat yang memberi keuntungan petani sekaligus
mematikan mata rantai pengijon.
Ini artinya akan ada metamorfosa lumbung desa menjadi lumbung pangan modern yang
langsung dikelola petani. Embrionya sudah muncul di Sumatera Selatan.
Posman Sibuea Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara
Medan
BPM INTENSIFKAN LUMBUNG PANGAN MASYARAKAT DESA