You are on page 1of 8

Ablasio Retina pada Laki-laki 67 Tahun dengan Faktor Resiko Miopia

ABSTRAK
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan
sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih
melekat erat dengan membran Bruch. Karena antara sel kerucut dan sel batang retina tidak
terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau epitel pigmen, maka daerah ini
merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Lepasnya retina atau
sel kerucut dan batang dari koroid atau sel epitel pigmen retina akan mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama
akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.
Penderita laki-laki umur 67 tahun datang dengan keluhan penglihatan mata kiri gelap.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan, didapatkan tanda-tanda ablasio retina.

Key word: Ablasio Retina, Retinal Detachment

KASUS
Penderita laki-laki umur 67 tahun datang ke poliklinik mata RSUD Temanggung
dengan keluhan utama penglihatan mata kiri gelap. Kurang lebih 1 minggu yang lalu
penderita menyadari penglihatan mata kiri gelap, mata merah (-), gatal (-), nrocos (-),
mblobok (-), riwayat trauma (-). Penderita sering melihat kilatan cahaya, terkadang ada
klawur-klawur dan seperti ada bayangan hitam yang menutup seperti tirai.
Penderita menggunakan kacamata minus lebih dari 30 tahun yang lalu. Penderita tidak
mempunyai riwayat hipertensi, penyakit ginjal, dan diabetes melitus. Penderita juga tidak
mempunyai riwayat trauma pada mata maupun riwayat pembedahan pada mata. Penderita
juga tidak pernah menderita infeksi mata yang cukup parah. Riwayat keluarga tidak ada yang
mempunyai riwayat hipertensi, penyakit ginjal, dan diabetes melitus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum baik, kesadaran compos mentis.
Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 80x/menit, pernafasan 20x/menit,
suhu afebris. Pemeriksaan subyektif, visus jauh OD 20/70 OS 1/300. Dengan koreksi
kacamata sendiri visus jauh OD menjadi 20/50, sedangkan OS tak ada kemajuan (tetap
1/300). Proyeksi sinar ODS baik. Persepsi warna ODS baik.
Pemeriksaan obyektif, super silia ODS normal, kelopak mata ODS normal (pasangan
simetris, gerakan bebas, kulit normal, tepi kelopak tidak ada sekret), apparatus lakrimalis
ODS normal, bola mata ODS normal (pasangan sejajar, gerakan normal, ukuran normal),
tekanan bola mata ODS normal, konjungtiva ODS normal, sklera ODS normal, kornea ODS
(ukuran, kecembungan, limbus, permukaan) normal, kamera okuli anterior ODS (kedalaman
normal, isi jernih), iris ODS (warna coklat, pasangan simetris, bentuk radier), pupil ODS
(pasangan simetris, ukuran ± 3 mm, bentuk lingkaran, tempat sentral, reflek direk +, reflek
indirek +), lensa ODS jernih.
Pada pemeriksaan funduskopi OS didapatkan gambaran media kurang jernih, papil
detail tak terlihat, retina separuh nasal terangkat ± 6 D,warna kelabu, makula detail tak
terlihat.

DIAGNOSIS
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan funduskopi didapatkan diagnosis dari
penderita adalah OD miopia dan OS suspek ablasio retina.

TERAPI
Pasien ini dirujuk untuk penanganan lebih lanjut.

DISKUSI
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan
sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang
dari koroid atau sel epitel pigmen retina akan mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi
retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan
fungsi yang menetap (Ilyas, 2008).
Ablasio retina lebih banyak terjadi pada usia 40-70 tahun, tetapi bisa terjadi pada
anak-anak dan kejadian pada usia pertengahan (20-30 tahun) umumnya karena trauma.
Secara internasional, faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah miopia 40-50%, operasi
katarak (afakia, pseudofakia) 30-40%, dan trauma okuler 10-20% (Galloway et al., 2006;
Larkin, 2008).
Penderita ini adalah seorang laki-laki yang berumur 67 tahun dan mempunyai
riwayat miopia lebih dari 30 tahun.
Penyebab dan patogenesis dari ablasio retina ini tergantung dari masing-masing
jenisnya. Ablasio retina regmatogenosa terjadi akibat adanya robekan pada retina. Biasanya
terjadi pada retina bagian perifer, jarang pada makula. Miopia tinggi, afakia, degenerasi
laticce dan trauma mata biasanya berkaitan dengan ablasio retina jenis ini. Ablasio retina
traksional terjadi akibat adanya tarikan (traksi) oleh jaringan parut pada badan kaca
menyebabkan retina terangkat dari epitel pigmennya. Jaringan fibrosis pada badan kaca dapat
disebabkan oleh retinopati diabetik proliferatif, vitreoretinopati proliferatif, trauma mata, dan
perdarahan badan kaca akibat pembedahan atau infeksi. Ablasio retina eksudatif terjadi
akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina.
Penimbunan cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan
koroid, misalnya pada penyakit epitel pigmen retina dan koroid. Penyakit degeneratif,
kelainan kongenital, tumor pada koroid, miopia tinggi yang disertai lubang makula (macular
hole) pada pemeriksaan funduskopi, vaskulopati (misalnya hipertensi maligna, toksemia
gravidarum/eklampsia, penyakit kolagen), inflamasi dan infeksi pada jaringan uvea dapat
dikaitkan dengan ablasio retina jenis ini (Hardy, 2000).
Penderita menggunakan kacamata minus lebih dari 30 tahun yang lalu. Penderita
tidak mempunyai riwayat hipertensi, penyakit ginjal, dan diabetes melitus. Penderita juga
tidak mempunyai riwayat trauma pada mata maupun riwayat pembedahan pada mata.
Penderita juga tidak pernah menderita infeksi mata yang cukup parah. Jadi kemungkinan
penderita ini menderita ablasio retina regmatogenosa oleh karena miopia yang dideritanya.

Diagnosis ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi,


dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Gejala yang sering dikeluhkan penderita adalah (Langston, 2002; Galloway et al., 2006;
Kanski, 2007) :
1) Floater: penderita merasakan adanya tabir atau bayangan yang datang dari perifer
(biasanya dari sisi nasal) meluas dalam lapangan pandang. Tabir ini bergerak
bersama-sama dengan gerakan mata.
2) Fotopsia: penderita melihat kilatan cahaya.
3) Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya sebagian seperti
tertutup tirai yang semakin lama semakin luas.
Selain itu, dari anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan
sebelumnya (seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuli), riwayat
penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopa, glaukoma dan
retinopati diabetik), riwayat keluarga dengan penyakit mata serta penyakit sistemik yang
berhubungan dengan ablasio retina, misalnya diabetes, tumor, leukemia, eklamsia dan
prematuritas (Langston, 2002; Galloway et al., 2006).
b. Pemeriksaan Oftalmologi (Hardy, 2000; Jones, et al., 2004; Cassidy & Olver, 2005)
1) Pemeriksaan visus. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila makula lutea ikut
terangkat.
2) Pemeriksaan lapangan pandang. Akan terjadi defek lapangan pandang seperti
tertutup tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasio
retina.
3) Pemeriksaan funduskopi. Retina yang mengalami ablasio tampak sebagai membran
abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid dan terlihat adanya
robekan retina berwarna merah.
4) Pemeriksaan tekanan bola mata. Pada ablasio retina tekanan intraokuli kemungkinan
menurun.
c. Pemeriksaan Penunjang (Larkin, 2008; Wu, 2008)
1) Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta
antara lain glaukoma, diabetes melitus, maupun kelainan darah.
2) Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila retina tidak dapat tervisualisasi oleh
karena perubahan kornea, katarak, atau perdarahan.
3) Teknik pencitraan seperti foto orbita, CT scan, atau MRI tidak diindikasikan untuk
membantu diagnosis ablasio retina tetapi dapat dibutuhkan untuk mendeteksi benda
asing intraokuli dan tumor.

Pada kasus ini, dari anamnesa diperoleh informasi bahwa penderita sering melihat
kilatan cahaya, terkadang ada klawur-klawur dan seperti ada bayangan hitam yang menutup
seperti tirai. Penderita ini pada pemeriksaan didapatkan visus jauh OD 20/70 OS 1/300.
Dengan koreksi kacamata sendiri visus jauh OD menjadi 20/50, sedangkan OS tak ada
kemajuan (tetap 1/300). Proyeksi sinar ODS baik. Persepsi warna ODS baik. Pada
pemeriksaan funduskopi OS didapatkan gambaran media kurang jernih, papil detail tak
terlihat, retina separuh nasal terangkat ± 6 D,warna kelabu, makula detail tak terlihat.
Sedangkan pemeriksaan laboratorium yang menunjang penegakan diagnosis belum
dilakukan. Dengan demikian hasil pemeriksaan mengarah pada diagnosis ablasio retina.
Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali lapisan
neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina, yaitu dengan pembedahan. Namun, pada
ablasio retina eksudatif juga diberikan terapi medikamentosa sesuai dengan etiologinya. Jika
terjadi proses inflamasi seperti skleritis dapat diberikan obat anti inflamasi, jika terjadi infeksi
maka pemberian antibiotik juga dianjurkan (Wu, 2008).
Pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara-cara berikut (Wijana, 1993;
Batterburry & Bowling, 2005):
- Scleral Buckling
Tujuannya yaitu untuk mendekatkan sklera pada retina yang robek, menjadikan
reposisi retina lebih dekat ke RPE dengan mengurangi tarikan vitreus pada retina
yang robek.
- Retinopleksi pneumatik
Retinopleksi pneumatik merupakan cara yang paling banyak pada ablasio retina
regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada 2/3 superior yang
tampak pada fundus. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan
menyuntikkan gelembung gas ke dalam vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi
robekan retina.
- Vitrektomi
Cara ini bertujuan melepaskan tarikan vitreus, drainase internal cairan subretinal,
tamponade intraokuli (udara, gas, silicon oil, cairan perfluorokarbon), dan
membuat adhesi korioretinal memakai endolaser photocoagulation atau cryopexy.
Pada kasus ini pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap
untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Di rumah sakit rujukan kemungkinan akan
mendapatkan terapi pembedahan dengan salah satu teknik yang disebutkan diatas.
Pemilihan teknik pembedahan disesuaikan dengan jenis ablasio retina yang diderita oleh
pasien dan ditentukan berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut pada rumah sakit rujukan.

Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi yang paling


sering terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap gerakan tangan atau
persepsi cahaya (light perception) adalah komplikasi yang sering dari ablasio retina jika
melibatkan makula (Hardy, 2000).
Bila ablasio retina sudah berlangsung lama, maka pada retina timbul gangguan
metabolisme. Zat-zat toksik yang ditimbulkan menyebabkan degenerasi dan atrofi dari retina.
Sel-sel batang dan kerucut menjadi rusak karena tidak mendapatkan makanan oleh karena
pasokan makanan sel-sel tersebut berasal dari kapiler koroid (Wijana, 1993).
Pada penderita ini didapatkan visus OS 1/300, jadi kemungkinan telah terjadi
komplikasi yang melibatkan makula sehingga pasien hanya dapat melihat gerakan tangan.
Jika dibiarkan maka pada penderita ini dapat mengalami kebutaan.

Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio,


diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan. Terapi yang cepat memberikan prognosis
yang lebih baik. Prognosis lebih buruk bila mengenai makula atau jika telah berlangsung
lama. Jika makula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali retina perifer, maka
hasil penglihatan sangat baik dan robekan yang lebih luas pada vitreus dapat dicegah. Jika
makula lepas lebih dari 24 jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya
mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya. Namun, bagian penting dari penglihatan dapat
kembali pulih dalam beberapa bulan (James et al., 2003).
Menurut Wijana (1993), prognosis dari ablasio retina adalah sebagai berikut:
1. Baik sekali, bila pertama kali operasi berhasil, yaitu 50-60 %.
2. Bila operasi pertama tak berhasil, diulang lagi dua kali, prognosisnya 15 %.
3. Operasi yang berulang kali atau ablasio retina yang lama, prognosis buruk sekali.
4. Pada miopia tinggi, karena ada degenerasi retina, maka prognosis buruk.
Pada penderita ini telah terjadi kemungkinan ablasio retina lebih dari 24 jam (± 7
hari) dan menderita miopi lebih dari 30 tahun, sehingga memiliki prognosis yang buruk.
Prognosis ad visam: malam; ad sanam: malam; ad vitam: dubia ad bonam; ad kosmetikam:
dubia ad bonam.

KESIMPULAN
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan
sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Ablasio retina lebih banyak terjadi pada usia
40-70 tahun. Faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah miopia, operasi katarak
(afakia, pseudofakia), dan trauma okuler.
Gejala dari ablasio retina adalah adanya floater, fotopsia, dan penurunan tajam
penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi diperoleh retina yang mengalami ablasio tampak
sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid dan
terlihat adanya robekan retina berwarna merah.
Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali lapisan
neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina, yaitu dengan pembedahan. Namun, pada
ablasio retina eksudatif juga diberikan terapi medikamentosa sesuai dengan etiologinya.
Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio,
diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan. Pada miopia tinggi, karena ada degenerasi
retina, maka prognosis buruk.

KEPUSTAKAAN
1. Batterbury, M., Bowling, B., 2005 Ophthalmology An Illustrated Colour Text, Elsevier
Churchill Livingstone, London.
2. Cassidy, L., Olver, J., 2005 Ophthalmology at A Glance, Blackwell Publishing, Victoria.
3. Galloway, N. R., Amoaku, W. M. K., Galloway, P. H., Browning, A. C., 2006 Common
Eye Diseases and Their Management, 3rd Ed., Springer-Verlag, London.
4. Hardy, R. A., In: Vaughan D.G., Asbury T, Riodan-Eva P (eds)., 2000 Oftalmologi
Umum, 14th Ed., Penerbit Widya Merdeka, Jakarta.
5. Ilyas, S., 2008 Ilmu Penyakit Mata, 3rd Ed., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
6. James, B., Chew, C., Bron, A., 2003 Lecture Notes Oftalmologi, 9th Ed., Erlangga,
Jakarta.
7. Kanski, J. J., 2007 Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 6th Ed., Elsevier,
Inggris.
8. Langston, D. P., 2002 Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 5 th Ed, Lippicott
Williams & Wilkins, Philadelphia.
9. Larkin, G. L., 2008 Retinal Detachment, Diakses pada tanggal 2 Juni 2010, dari
http://www.emedicine.com/EMERG/topic504.htm.
10. Wu, L., 2008 Exudative Retinal Detachment, Diakses pada tanggal 3 Juni 2010, dari
http://www.emedicine.com/oph/byname/Retinal-Detachment–Exudative.htm.
11. Wu, L., 2008 Tractional Retinal Detachment, Diakses pada tanggal 3 Juni 2010, dari
http://www.emedicine.com/oph/byname/Retinal-Detachment–Tractional.htm.

PENULIS:
Ciptaning Sari Dewi Kartika
NIM 2004.031.0111
NIPP 1535.24.08.2008
Homebase: RSUD Temanggung
Bagian Ilmu Penyakit Mata

You might also like