You are on page 1of 39

LAPORAN PRAKTEK LAPANGAN MK BUDIDAYA HUTAN LANJUTAN DI PT.

SURYA HUTANI JAYA , SEBULU

Disusun oleh : Benteng.H.Sihombing NIM: 06/I-06/001/0007

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2006

KATA PENGANTAR Pengembangan menejemen hutan tropis basah dewasa ini semakin penting bukan saja untuk hutan alam tetapi juga menyangkut menejemen hutan tanaman. Hutan Tanaman di daerah tropis khususnya di Indonesia sudah merupakan satu keharusan diterapkan di lapangan karena pengertian akan tanah hutan yang dianggap selalu given bagi pertumbuhan tanaman adalah merupakan kesalahan besar. Ekosistem hutan monokultur ternyata berbeda signifikan dengan hutan alam tropis sehingga tidak semuanya pengetahuan biologi hutan alam berlaku bagi hutan tanaman. Dengan segala keterbatasan dan peluang yang dimiliki oleh hutan monokultur maka aplikasi lapangan tidak dapat dilakukan tanpa kajian yang mendasar atas unsur pokok seperti jenis, kandungan hara, kebutuhan hara, resistensi hama/ penyakit, analisa resiko dan kelestarian usaha pembangunan HTI memiliki resiko yang sangat tinggi. Studi lapangan seperti yang dilakukan oleh mahasiswa ini di areal HTI PT. Surya Hutani Jaya merupakan salah satu cara mengarahkan mahasiswa kepada persoalanpersoalan nyata di lapangan agar bisa menyiapkan tenaga profesional yang kualified dan handal dalam menghadapi permasalahan serupa baik secara teoritik maupun tehnik di lapangan. Sebagai tugas pelengkap mata Kuliah Budi Daya Hutan Lanjutan maka laporan ini dibuat dengan segala keterbatasan sumber acuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis rendah hati memohon maaf atas kekurangan yang ada. Akhir kata, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kemajuan pengetahuan dan perkembangan ilmu yang dimiliki oleh penulis secara khusus dan ilmu kehutanan secara umum. kegagalan

Samarinda, Januari 2007

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i DAFTAR ISI ...................................................................................................ii I. PENDAHULUAN ...........................................................................................1 A.Latar Belakang ...............................................................................................1 B.Tujuan Field trip ..............................................................................................3 II. DESKRIPSI HPHTI PT.SHJ..........................................................................5 A. Gambaran umum tentang PT. SHJ................................................................5 B. Strategi Perencanaan PT. SHJ......................................................................6 III. HASIL TINJAUAN DAN PEMBAHASAN..................................................... 11 A. Bangunan persemaian..................................................................................11 B. Sumber dan mobilitas tenaga kerja..............................................................16 C. Skala produksi .............................................................................................17 D. Interaksi sosial .............................................................................................25 E. Sumber pembiayaan.....................................................................................26 F. Kendala-kendala pengelolaan.......................................................................28 G. Degradasi lahan monokultur.........................................................................32 IV.KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................35 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... iii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Departemen Kehutanan Republik Indonesia telah menggulirkan program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak tahun 1980 dimana dalam proyeksi rencana jangka panjang ditargetkan pembangunan HTI harus dicapai seluas 4,4 juta hektar. Bahkan dalam perencanaan tahun 2015 diproyeksikan bahwa HTI yang dibangun harus mencapai 6,2 juta hektar dengan kayu hasil pemanenan kira-kira 90 juta meter kubik pertahun. Namun sampai saat ini luas HTI yang terealisir baru mencapai 1,8 juta hektar atau 29,03 % dari luas hutan yang direncanakan dibangun (Anonimous, 2005). Kebijakan pemerintah tentang Hutan Tanaman Industri lebih lanjut telah diatur dalam pasal 13 dan 14 UU No.5 tahun 1967 dan dituangkan dalam PP No. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang memuat prinsip, areal/ lokasi, pemberian hak, kewajiban pemegang hak, pendanaan, pemungutan hasil dan tujuan pembangunan HTI. Secara prinsip pengelolaan HTI merupakan bentuk pengelolaan hutan yang baik karena dikembangkan melalui pertimbangan berbagai aspek pengelolaan seperti aspek kelestarian kelestarian sehingga dapat menunjang tercapainya realisasi kelestarian hutan dan juga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara nyata. Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dan Penentuan areal Hutan Tanaman Industri dinilai sangat baik karena dapat memberikan kesempatan bagi semua bentuk badan usaha untuk ikut serta dalam upaya pengelolaan hutan. Selain itu, pertimbangan peningkatan laju kerusakan hutan alam yang semakin tinggi dewasa ini dan akan terus berlangsung sehingga target pembangunan Hutan Tanaman Industri yang direncanaakan untuk dikelola dengan luasan yang telah ditetapkan sangat sesuai dan cukup baik untuk program rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Propinsi Kalimantan Timur adalah salah satu Propinsi yang memiliki luas sumber daya hutan tropis basah yang dulunya bagus dan kini kondisinya sudah dalam tingkat menghawatirkan. Industri Hutan telah menjadi primadona pada saat hutan alam tropis

basah masih mampu menyangga kebutuhan industri kehutanan dalam negeri maupun untuk eksport. Namun kondisi hutan alam tropis yang sudah dalam keadaan rusak parah ini telah menyebabkan peranan sektor kehutanan sebagai penggerak roda ekonomi daerah maupun Nasional semakin menurun. Pembangunan Hutan Tanaman Industri dianggap sebagai salah satu solusi (mungkin terbaik saat ini) dalam mengembalikan masa jaya pengusahaan hutan alam sehingga hutan sebagai sumber daya alam benar-benar dibuktikan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (Renewable resources). Ide ini hanya bisa dicapai bila didukung oleh kebijakan pemerintah yang kondusif di bidang Pengusahaan Hutan Tanaman Industri plus dukungan dana dari investor yang berkompeten dalam membangun skala Integrited Wood Industries (Industri Kehutanan terpadu). Pembangunan Hutan Tanaman Industri dengan skala besar mempersyaratkan penggunaan bahan tanaman yang memiliki mutu genetik yang superior (unggul). Ini hanya dapat diperoleh melalui program pemuliaan pohon dengan kegiatan awal uji spesies (species trial), uji provenans (provenance trial) dan dari hasil uji provenans ini dibangun secara khusus sumber benih/ sumber bibit superior yang telah teruji sesuai dengan tempat tumbuh (site spesifik) dan dikembangkan di areal yang telah ditentukan melalui konversi uji keturunan (Anonimous, 1980). Pengembangan program pembangunan Hutan Tanaman Industri untuk support industri Pulp/ Mill Khususnya di Kalimantan Timur telah mulai dilaksanakan oleh PT. Surya Hutani Jaya didaerah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur dengan luas konsessi 700.000 ha. Dengan luas area konsessi Hutan Tanaman Industri sebesar ini, PT. Surya Hutani Jaya memasang target akan mengukuhkan diri sebagai perusahaan kehutanan kelas dunia. Dengan penerapan prinsip Sustainable Forest Management (SFM), perusahaan ini akan mampu menjamin berjalannya fungsi produksi, fungsi ekonomi, fungsi sosial, yang tetap mengacu pada prinsip

pembangunan yang Ramah lingkungan (Anonimous, 2006). Untuk mencapai target tersebut maka aspek peningkatan sumber daya manusia sebagai tenaga operasional sekaligus tenaga managerial harus memiliki kwalifikasi dalam hal Skill/ kecakapan melaksanakan pekerjaan, didukung oleh sarana penelitian dan pengembangan jenis seperti Laboratorium, Plot penelitian dan Perpustakaan,

selalu mengadakan peningkatan pengetahuan melalui berbagai kegiatan pelatihan, meningkatkan sarana kerja dan jaminan atas keselamatan pekerja dalam pekerjaannya dan mengadopsi dan menerapkan tehnik dan metode pengembangan jenis yang Up date (terkini) di lapangan seperti klonning system dan tissue culture. Dapat dipastikan bahwa tehnologi kehutanan akan sangat membantu dalam merealisasikan cita-cita sebagai Industri pulp/ mill terbesar di dunia.

B. Tujuan praktek lapangan Praktek lapangan yang dilakukan ke areal Hutan Tanaman Industri PT. Surya Hutani Jaya ini memiliki tujuan antara lain: 1. Mengadakan observasi secara langsung atas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Industri yang meliputi tujuan pengusahaan dan keterkaitan dengan pemilihan jenis tanaman, rotasi tebang, manipulasi silvikultur, produktivitas, pengolahan hasil, pemasaran dan proyeksi profitabilitas yang dapat dicapai oleh perusahaan. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan pembatas pembangunan hutan tanaman di lapangan yang dapat mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan pengusahaan yang telah ditetapkan. 3. Menambah pengalaman lapangan agar lebih peka dan tanggap terhadap masalah HTI yang mungkin bisa terjadi pada daerah dimana mahasiswa berdomisili dalam kaitannya dengan eksistensi hutan tanaman industri.

II. DESKRIPSI HPHTI PT. SHJ A. Profil HPHTI PT. Surya Hutani Jaya 1. Sejarah pemberian izin PT. Surya Hutani Jaya merupakan salah perusahaan pemilik izin usaha yang bergerak di bidang pengusaahaan hasil hutan berupa hutan tanaman didirikan tahun 1992. Pembangunan Hutan Tanaman Industri PT.Surya Hutani Jaya merupakan salah satu usaha pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki, meningkatkan dan memelihara potensi tegakan untuk menjamin kontinuitas suplay bahan baku bagi

industri kehutanan dalam skala pertimbangan jangka panjang. Tujuan lainnya adalah mempertahankan potensi hasil hutan secara berkesinambungan dan untuk

menigkatkan devisa bagi negera berdasarkan prinsip ekologi, sosial dan ekonomi. Pengembangan jenis pada pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. Surya Hutani Jaya meliputi jenis-jenis tanaman yang bersifat cepat tumbuh (fast growth species) dengan tujuan memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp. Beberapa jenisjenis tanaman yang dikembangkan saat itu meliputi sengon (Paraseriantris falcataria), Akasia (Acacia mangium), Leda (Eucalyptus deglupta), Ampupu (Eucalyptus sp), Teak (Gemellina arborea), Tusam (Pinus merkusii) dan Mahoni (Swietenia macrophylla). Dalam perjalanan dan perkembangan Perusahaan, PT. Surya Hutani Jaya telah mengalami perubahan menejemen dimana ada keterkaitan kerjasama dalam Group Sumalindo kemudian di ambil alih sahamnya (60 %) oleh PT. Sinar Mas Forestry pada tahun 2004 paska pencabutan izin operasional HTI melaui Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang dikeluarkan pada tanggal 18 september 2002 atas 30 pemegang izin HTI termasuk karena disebabkan atas penilaian layak tehnis secara tehnis dan sejak itu diambil alih secara resmi oleh Sinar Mas group. Secara keseluruhan areal PT. Surya Hutani jaya Site Sebulu merupakan daerah kawasan hutan yang tergolong dalam type hutan sekunder lahan kering. Hutan ini awalnya adalah hutan primer yang merupakan eks hutan produksi tebang pilih dan pernah mengalami kebakaran besar tahun 1996/1997, sehingga terjadi perubahan komunitas jenis flora dan fauna khas Kalimantan. Kerapatan tegakan pohon yang dulunya tinggi menjadi jarang dan proses pemudaan vegetasi aslinya lebih lambat

sehingga terjadi pergantian vegetasi sekunder dengan komposisi yang sesuai dengan ekologinya sehingga mengakibatkan komposisi vegetasi merupakan campuran antara vegetasi aslinya dengan vegetasi sekunder, dengan tumbuhan bawah yang relative lebih rapat. Penetapan Areal konsessi Hutan Tanaman Industri PT. Surya Hutani Jaya secara keseluruhan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanana No.156/Kpts-II/1996 seluas 183.300 ha dengan luas efektif untuk penanaman 93.234 ha. Dan luas areal yang ditanami/ produktif adalah seluas 90.000 ha dan direncanakan akan diperluas menjadi 100.000 ha, yaitu dengan melakukan terobosan baru dengan program memproduktifkan lahan rawa, pasir dan perbukitan untuk dapat ditanami.

Untuk daerah rawa sudah dilakukan penanaman sebagian dengan pembuatan saluran pembuangan air, agar areal tersebut menjadi kering sehingga bisa ditanami. Sampai saat ini PT. Surya Hutani Jaya masih terbatas menanam dua jenis tanaman berkayu saja yaitu Acasia mangium (Am) dan Eucalyptus pelita (Ep 05) dengan sumber bibit yang diambil dari pusat pengembangan bahan tanaman Grup Sinar Mas di Perawang (Pekan Baru). Penyiapan lahan, pengusahaan hutan tanaman Industri dan pengolahan hasil hutan yang dilakukan oleh PT. Surya Hutani Jaya adalah mengacu pada prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup dengan memperhatikan kualitas tanah, air, udara dan keragaman biologi yang ada serta memperhatikan azas kelestarian alam, sosial dan ekonomi perusahaan dengan pola PLTB (Penyiapan Lahan Tanpa Bakar). Daur tanaman untuk tujuan penghasil bahan baku pulp/ mill ini adalah 6 tahun dengan prediksi diameter batang rata-rata 17-18 cm. Sistem silviculture yang akan diterapkan adalah sistem silviculture intensif dengan selalu memperhatikan

kesinambungan lingkungan, selektif dalam pembukaan lahan dan mengoptimalkan sistem chemical, mekanis dan semi mekanis dengan meminimalkan kerusakan lingkungan. Dari hasil survey tanah secara keseluruhan di areal konsessi HTI PT. SHJ ini antara lain jenis Podzolik Merah Kuning (Ultisols), Alluvial (Entisols) dan Spodosols. Dengan tipe tanah ini maka dapat dipastikan bahwa problem tanah/ lahan untuk

penanaman jenis tanaman exotic dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri ini potensil permaslahan kapabilitas dan kesesuaian lahan bagi pengembangan jenis tersebut. 2. Tujuan Pembangunan HTI Tujuan pembangunan HTI PT. Surya Hutani Jaya antara lain adalah: 1.Mendapatkan profit usaha yang pantas berlandaskan kebijakan Sustainable Forest Management (SFM). 2.Meningkatkan nilai kawasan hutan yang tidak produktif menjadi hutan tanaman yang lebih produktif dan lestari berwawasan ekososial. 3.Mengembangkan areal HTI yang terintergrasi dengan rencana pembangunan pabrik pulp/ mill di Kabupaten Kutai Timur. 4.Membuka/ menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha melalui pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang ditempuh melalui bina kontraktor dan koperasi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5.Memacu laju tingkat pertumbuhan ekonomi daerah kalimantan Timur khususnya di Kabupaten kutai Timur.

B. Strategi Perencanaan PT. SHJ 1. Progress HTI PT. SHJ Pengembangan HTI PT.Surya Hutani Jaya Group bertujuan untuk menghasilkan kayu penghara Industri Pulp Mill sebesar 1,7 Juta metrik ton/ tahun. Untuk mencapai target ini maka perkiraan produksi kayu tahunan adalah sebesar 8,5 juta m/ tahun. Lebih rinci mengenai luas areal hutan siap panen (harvesting area) harus dapat mencapai 70.000 ha/ tahun atau equivalen dengan riap sebesar 125 m/ tahun. Jadi dibutuhkan area siap panen bersih tiap tahun seluas 420 ha dengan daur pemanenan selama 6 tahun. Dan dengan berbagai perhitungan kondisi lahan HTI menyangkut tipe, produktivitas dan prediksi produksi yang harus dicapai maka luas areal konsessi yang harus dibutuhi adalah seluas 700.000 ha. Progress HTI PT. Surya Hutani Jaya Group sampai tahun 2008 secara garis besar dapat dijabarkan seperti pada table 1 berikut: Tabel 1.Tabel Penyebaran Working Progress HTI PT. SHJ Group
Item 1.Lokasi 2.Gross area (ha) 3.Nett Plant (ha) 4.Plant 2007 (ha) 5.Plant 2008 (ha) 6.Plant Harv (ha) 7.Remarks PT.SHJ Kukar 183.300 95.234 26.371 Thn Eks harvest PT.AAU I Kukar 37.000 22.000 8.000 14.000 Thn2014 Fixed ex Lg PT.AAU II Kubar 20.000 12.000 1.000 11.000 Thn 2015 Process Lg PT.KELAWIT Kubar 30.000 18.000 1.000 17.000 Thn 2015 Nego

Sebelum adanya rencana pengembangan HTI Pulp Mill dipaparkan maka luas areal konsessi yang diberi izin masih sekitar 183.300 ha. Dan dengan rencana pengembangan yang demikian diperlukan areal tambahan yang meliputi 3 Kabupaten dengan kekurangan sekitar 429.700 hektar. Sasaran penambahan areal adalah Kabupaten Kutai Timur yang diharapkan mampu menutupi kebutuhan areal seluas 420.000 hektar. Pada era Millenium ke tiga inipun kebutuhan akan bahan baku kayu untuk kertas tetap tinggi bahkan cenderung meningkat terus. Titik berat supply kayu diarahkan kepada pengembangan hutan tanaman industri dalam skala besar-besaran dalam

bentuk kebun kayu (trees farming). Adanya kebutuhan bahan baku kayu yang begitu tinggi ini menyebabkan aspek silvukultural tidak begitu berperan dalam pengelolaannya karena sifat kebun kayu yang monokultur dan rotasi tebang pendek yang menjadi pilihan utama. Dengan daur 5-7 tahun pengusahaan Hutan Tanaman Industri berlagak lebih intensif dan cenderung mengandalkan pemupukan dengan pupuk anorganik yang sifatnya memberikan hara yang instant dalam memacu produktivitasnya. Pengembangan jenis kayu yang sesuai dengan persyaratan Pulp ini telah mengharuskan adanya perhitungan dan analisa yang cermat akan penanaman modal skala besar karena pengusahaan hutan tanaman merupakan usaha kehutanan yang membutuhkan perhatian yang ekstra serius dimana hutan tanaman sangat riskan dengan kegagalan. Kegagalan yang menjadi penyebab utama adalah kegagalan yang disebabkan oleh adanya agen penyakit, hama, kebakaran dan penyebab lainnnya yang bersifat sosial, ekonomi dan keamanan usaha. Industri hutan sebagai pengguna bahan baku kayu dipacu untuk

memperhitungkan harga bahan baku ekonomis karena besarnya investasi modal yang harus ditanamkan dalam pembangunan satu unit industri hasil hutan dengan resiko kegagalan yang tinggi. Tidak mustahil kalau break even point pembangunan hutan industri hutan terpadu ini baru dapat dicapai ratusan tahun. Percepatan pencapaian break even point ini hanya mungkin dapat dicapai melalui akselerasi kecepatan pertumbuhan pohon hutan dengan menggunakan jenis-jenis yang teruji unggul minimal sebagai hasil uji species (species trial). Titik kritis dalam pengusahaan hutan tanaman adalah hasil yang didapatkan melalui pemanenan harus memberikan efek financial yang signifikan bagi pengusahaan secara umum. Ini hanya dapat dicapai dengan tidak menunggu tegakan melebihi daur ekonomisnya. Secara teoritis ini dapat dicapai pada saat tercapainya perpotongan riap CAI dan MAI yang dapat memberikan keuntungan maksimal. Sangat sulit diterangkan dalam perbandingan biomassa antara riap optimal, maksimal dan pasca daur ekonomis. Ada kalanya keputusan lama daur tebang yang dipilih tidak mencerminkan keuntungan yang seimbang dari aspek ekonomis dan ekologis sehingga daur pendek menjadi pilihan yang paling tepat karena alasan keuntungan ekonomis dikondisikan dengan permintaan pasar (Japilus, 1978).

Dalam

penerapan

teknik

silvikultur

khususnya

pada

hutan

tanaman

pengetahuan yang konprehensif tentang tanah/ lahan, iklim, dan vegetasi sebagai faktor tehnis hanya akan efektif sebagai faktor tehnis dan dapat direalisasikan dengan berhasil jika didukung oleh prasyarat fundamental seperti kondisi sosial, ekonomi, budaya, hukum dan Hankamnas (Deddy, 2005). Dukungan prakondisi ini pada praktek pengusahaan hutan tanaman belum sepenuhnya nyata dijamin oleh pemerintah. Sehingga sampai pada saat ini belum ada program pengembangan hutan tanaman yang dapat berjalan dengan baik. Hal ini tercermin dari banyaknya HPHTI yang gulung tikar dan belum sampai kepada masa produksi yang direncanakan dan adapun yang sampai sudah tidak ekonomis lagi untuk dilanjutkan pengelolaannya. Satu kasus yang unik terjadi di Kabupaten Tapanulis selatan dimana HPHTI dalam kondisi baik diambilalih oleh PT.Inhutani IV dari PT, RGM. Namun setelah PT, Inhutani IV mengelola maka keadaan justru bertambah parah sehingga perusahaan tersebut gulung tikar. Kondisi ini menggambarkan dengan jelas bahwa pemerintah sekalipun (BUMN) tidak mampu mengelola hutan tanaman industri bila tidak benarbenar memiliki menejemen yang baik. 2. Program CSR dan CD a. Misi perusahaan HTI PT. Surya Hutani Jaya memiliki misi yang jelas sebagai berikut: 1. Menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat setempat. 2. Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 3. Kesinambungan usaha dengan jaminan keuntungan yang terukur. b. Program kerja perusahaan HTI PT. Surya Hutani Jaya memiliki program kerja sebagai berikut: 1.Aspek ekonomi berupa peningkatan pendapatan masyarakat via: *Labor supply, pembinaan kontraktor dan koperasi lokal. *Pengembangan HTR pola bagi hasil yang terintegrasi dengan HTI. *Demplot pertanian, peternakan, perikanan, lebah madu dll. 2. Aspek Infrastruktur berupa bantuan: *Pembangunan dan meintenance jalan, jembatan sebagai akses ekonomi sosial masyarakat.

*Pembangunan dan perbaikan rumah ibadah, gedung desa, sekolah dan fasilitas umum lainnya. 3. Aspek Sosial Budaya dan Kesehatan masyarakat berupa: *Pengadaan bantuan penyelenggaraan HBN dan HBA. *Bantuan keolahragaan karang taruna dan kepemudaan. *Khitanan massal dan pelayanan kesehatan massal periodik. 4. Aspek Pendidikan dan Pelatihan melalui bantuan: *Bea Siswa SD, SMP, SMU dan honor guru. *Bea Siswa kejuruan dan profesi serta Kesehatan lainnya. *Pelatihan ketrampilan dan studi banding Kelompok Tani binaan.

III. HASIL TINJAUAN DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan HTI secara spesifik tidak terbatas pada bidang kehutanan tertentu (perencanaan, silvikultur, pengelolaan hutan, dll) namun menyangkut semua bidang pertanian secara luas. Dalam arti pengelolaan HTI perlu kolaborasi berbagai disiplin ilmu sehingga pengelolaan HTI tidak hanya menyangkut aspek kehutanan saja melainkan semua aspek (ekonomi, sosial, dan aspek lainnya) tujuan pengelolaan lebih terarah sesuai dengan target yang direncanakan. Khusus dalam praktek lapangan yang dilakukan di PT. SHJ maka kegiatan yang sempat diamati adalah kegiatan lapangan sebagai berikut: A. Bangunan persemaian Persemaian merupakan tempat penyiapan bibit siap tanam yang dikaitkan dengan kegiatan penanaman dengan perhitungan target jumlah dan kualitas bibit yang harus dipenuhi dalam setiap Rencana Karya Tahunan Penanaman. Persemaian yang baik harus mampu memenuhi syarat-syarat seperti memiliki luasan yang cukup bagi setiap tahap kegiatan (perkecambahan, pengisian bahan/ media pot, jalur

pemeliharaan, jalur inspeksi, jalur pengangkutan bibit dan lain-lain). Pada areal persemaian yang dibangun oleh PT. SHJ, hal-hal tersebut sudah dipenuhi secara baik. Sampai pada bedeng-bedeng sapih dan pelebaran jarak polibag sejalan dengan bertambah besarnya bibit tanaman yang dipelihara. 1. Media penyapihan Media yang digunakan bahan isian pot/ polybag adalah berupa campuran sekam padi dengan humus pakis dengan fraksi yang hampir berimbang. Beberapa alsan yang mendasari pemilihan campuran media ini antara lain adalah karena tersedia dalam jumlah yang melimpah dengan harga yang relatif lebih murah dari media lainnya, bersifat anti jamur, memiliki porositas yang baik untuk penyebaran akar tanaman, mampu menyerap air dengan baik, mengandung hara yang diperlukan oleh tanaman yang bisa menyuplai hara bagi tanaman sejalan dengan tingkat usia bibit, tidak menghasilkan limbah bagi lingkungan. Belakangan ini ada kecenderungan bahwa dalam setiap penyiapan bahan/ media penyapihan yang diisikan ke dalam polybag/ pot dimana selalu menyertakan

sekam padi sebagai campurannya. Pada pengadaan bibit dengan sistem Fogging Cooling sistem juga menyertakan sekam padi padi sebagai campuran media penyapihan tetapi dengan serat kelapa (Coco dust) yang sudah dikering openkan atau dijemur selama 3 hari. PT. SHJ memandang lebih sesuai dengan menggunakan humus pakis dimana supply hara yang diberikan oleh media tersebut sesuai untuk penyapihan jenis exotic seperti Eucalyptus pelita dan lain-lain. Pada persemaian PT. ITCI penggunaan media berupa campuran gambut, kapur, pupuk, sekam padi yang mana hasilnya pernah dilaporkan tertular oleh jamur yang dapat merusak bibit tanaman secara mewabah setelah tanaman berumur diatas 1 tahun. Tanaman yang diserang adalah jenis Eucalyptus dasyphylla dan Eucalyptus deglupta. Pada PT. SHJ, penyiapan media sapih bisa mencapai 1,30 x 70.000 x (10.000/ 2x3) pot dengan rincian acuan adalah 70.000 Ha luas penanaman dan 30% untuk penyulaman dengan jarak tanam 2m x 3 m. Data dari perusahaan memperlihatkan besar anggaran untuk menyediakan media bibit sebesar Rp 8,0 M termasuk upah pekerjaan. 2. Pot/ polybag Pot dan polybag digunakan sebagai tempat sapihan ditanam untuk dipelihara sampai tingkat tanaman siap tanam dengan ukuran yang memadai dan mampu menampung perkembangan akar tanaman tanpa terjadinya kekurangan ruang yang diperlukan perkembangan akar tanaman. Pot yang umum digunakan berupa pottrias tunggal dengan peletakan dalam rak gantung pada bedeng sapih. Pot try dipandang lebih sesuai dalam pembangunan hutan tanaman khususnya penyiapan bibit karena akarnya bisa kompak sampai saat penanaman dilakukan dan penyebaran akar hanya sekitar pot try, walaupun keluar cukup dengan menggunting akar yang berlebih untuk menjamin agar bibit tanaman tetapi dalam perakaran yang stabil. Pot try jamak lebih baik untuk bibit yang saat penanaman tidak menghendaki persyaratan tinggi bibit tertentu. Misalnya dalam operasional tinggi bibit jenis Acacia mangium bisa ditanam pada tinggi yang relatif lebih pendek dari jenis Eucalyptus deglupta. Hal ini disebabkan tingkat toleransi bibit jenis Acacia mangium terhadap

lapangan penanaman lebih baik dari jenis Eucalyptus deglupta. Dan dengan kecepatan tumbuh yang berbeda maka pada umur yang sama tinggi bibit dua jenis tanaman yang berbeda akan berbeda pula. Sehingga pada umur yang relatif muda bibit tanaman bisa loyo atau letoi. Sering menjadi kendala di lapangan karena bagian batang dari bibit belum begitu keras sehingga menyebabkan mudah patah. Zipy pot atau zypi pellet yang dulu pernah digunakan oleh PT.ITCI Hutani Manunggal belakangan ini kurang diminati karena mungkin mudah dalam penularan jamur dumping off (lodoh) sehingga menyebabkan kematian semai di lapangan setelah periode penanaman. Secara prinsip PT. SHJ telah memperkirakan dan menggunakan bentuk pot yang lebih efisien dari tipe pot lainnya untuk digunakan dalam pengadaan bibit dimana penanaman yang dilakukan dalam skala besar. Bentuk dan ukuran pot yang dipilih sesuai dengan perencanaan target dan prestasi kerja penanaman dalam skala besar. 3.Jenis tanaman Jenis tanaman yang dikembangkan pada saat ini terfokus kepad 2 jenis saja yaitu jenis Acacia mangium (Am) dan Eucalyptus pelita 05 (Ep 05). Jenis Acacia mangium merupakn lanjutan dari kegiatan pembangunan HTI sebelum diambil alih oleh Sinar Mas Grup dari PT. Sumalindo. Namun, dengan pertimbangan tehnis dan produktivitas maka pengembangan jenis lebih diarahkan kepada jenis Eucalyptus pelita 05 yang didasarkan oleh keberhasilan pengembangan jenis tersebut di Perawang, Riau. Dengan tujuan memperkecil kegagalan pengembangan jenis maka pengadaan bibit jenis Eucalyptus pelita 05 ini maka diperbanyak dengan sistem stek pucuk. Untuk mendapatkan sumber bahan stek lanjutan maka dilapangan dilakukan penanaman jenis tersebut dengan tidak lagi mendatangkan bahan stek dari sumatera. Ada beberapa keunggulan yang ditawarkan oleh sistem stek ini khususnya bagi jenis exotic seperti Eucalyptus pelita 05 ini yaitu adanya satu kekuatan hidup (viabilitas) stek untuk bertahan sampai pembentukan akar baru terjadi, tersedianya hormon penstimulir pertumbuhan akan seperti hormon IBA, AAI dan ROOTON-F. Bukan tidak mungkin jika sistem kloning dan kultur jaringan secara DNA- electrophoresis, terutama akan lebih ekonomis untuk pembangunan HTI skala luas.

Hutan Tanaman Industri skala besar yang dibangun dalam skala besar harus didasarkan atas konsep manajemen QCD (Quantity, Quality, Competitive and Delivery). Artinya manajemen yang mengacu kepada basic management dengan konsep selalu menyediakan bahan baku kayu dalam jumlah (Quantity) yang memadai, menyediakan bahan baku kayu dalam Kualitas (Quality) yang standar, menyediakan bahan baku kayu dalam kondisi yang bisa berdaya saing (Competitive) dan menyediakan bahan baku kayu yang siap (Delivery) kapan saja diperlukan. Pilihan atas persyaratan ini jatuh kepada Jenis Eucalyptus pelita 05 dan dengan investasi yang sangat besar dibangun sumber bahan bibit dengan rancangan prasarana penelitian dan laboratorium secara lengkap. Hal ini juga dipengaruhi oleh semangat yang dipompakan kepada para pekerja untuk selalu memberikan yang terbaik bagi perusahaan. 4. Bedeng sapih Bedeng sapih yang baik adalah bebas dari pembatas ruang perakaran, sirkulasi udara dan bebas naungan. Khususnya untuk jenis exotic seperti Eucalyptus pelita ini dibutuhkan media penyapihan yang setengah terbuka (intensitas 50%) pada saat beberapa hari penyapihan dan secara terbuka penuh setelah sapihan memiliki sistem perakaran yang hidup. Sarlon dan fogging sistem sangat sesuai untuk penyinaran dan penyiraman bagi sapihan yang masih memiliki umur beberapa hari setelah penyapihan. Hal ini ditujukan untuk menjamin sistem jaringan sapihan tetap hidup sebelum mampu beradaptasi dan mengatasi faktor kritis yang dialaminya untuk menumbuhkan sapihan dengan kesuksesan pembentukan akar baru. Karena pada kondisi ini faktor cahaya (sinar) penuh merupakan faktor pembatas yang harus dihindari dan kelembaban (penyiraman) menjadi faktor pembatas yang harus diatasi agar bibit tanaman muda yang baru disapih berada dalam keadaan dingin (Cool) dalam arti sesuai dengan kepentingan sapihan yang dirawat. Kondisi ini sangat sesuai dengan penyiapan bibit tanaman dari stek akar atau stek pucuk. Pada kondisi dimana rooton F yang digunakan untuk menstimulir pertumbuhan akar maka keadaan media pertumbuhan/ penyapihan harus selalu dalam keadaan

kelembaban yang sesuai. Secara prinsip penyapihan akan berhasil dengan baik jika dipenuhi beberapa faktor yaitu: suhu tertentu, kelembaban tertentu dan media porous. Pada bedeng sapih bibit tanaman yang sudah tumbuh (berakar) maka tidak diperlukan naungan karena jenis Eucalyptus pelita tidak memerlukan naungan lagi melainkan menginginkan sinar terbuka secara penuh karena sifatnya sudah mirip dengan jenis pionir. Perlunya bedeng sapih yang lebih luas bertujuan untuk memberikan perawatan yang lebih intensif agar bibit dapat mencapai persyaratan bibit siap[ tanam dalam waktu yang ditentukan seiring dengan program penanaman yang direncanakan. 5. Bedeng pemeliharaan Bedeng pemeliharaan berupa bedeng pelebaran jarak polibag karena ukuran bibit yang makin besar sehingga memerlukan ruang yang lebih luas. Pada kondisi ini tanaman dipacu memanfaatkan cahaya penuh dengan kapasitas dan vigor yang dimilikinya secara genetis. Pada kondisi ini bibit tanaman akan mampu mendapatkan pertumbuhan maksimal di persemaian sebelum bibit dibawa ke lapangan untuk ditanam. Dengan adanyan bedeng pemeliharaan ini maka pertumbuhan bibit tanaman tidak lagi terarah pada tinggi semai melainkan turut kepada perbesaran batang dan pengerasan kayu semai. Pada bedeng ini, bibit tanaman yang siap tanam secara berangsur diadakan penyesuaian dengan lapangan tanam dengan mengkondisikan situasi pada bedeng pemeliharaan dengan di lingkungan areal penanaman. B. Sumber dan mobilitas tenaga kerja Tenaga kerja menjadi inti dari operasinal pembangunan Hutan Tanaman Industri. Tenaga kerja bisa terbagi atas tenaga kerja manegerial, teknis dan operasional. Tenaga kerja yang profesional erat kaitannya dengan sumber tenaga kerja dan tingkat upah yang diterima oleh pekerja. Pada HTI PT. SHJ komposisi pekerja memperlihatkan bahwa tidak ada batasan terhadap penduduk setempat dalam arti selama penduduk setempat dapat dipekerjakan maka akan diterima bekerja sesuai dengan kapasitasnya. Hal ini disebabkan oleh sulitnya untuk mendapatkan tenaga kerja dalam jumlah banyak

dan juga menjaga gejala sosial yang sensitif dengan alasan pendiskreditan penduduk lokal. Sumber tenaga kerja yang menjadi inti adalah dari Pulau Jawa terutama daerah Jawa Tengah, Timur dan DI Jokjakarta. Ada beberapa keunggulan dan kelebihan penggunaan sumber tenaga kerja dari Pulau Jawa yaitu dalam hal ketelatenan dan keseriusan kerja yang ditunjukkan oleh prestasi kerja yang bisa mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan. Data dari Laporan PT. SHJ memperlihatkan bahwa ratarat upah per HOK untuk pekerja dengan sistem borongan adalah Rp 45.000,00. Hasil kotor bulanan yang diperoleh bisa mencapai Rp 2.000.000,00 dengan rincian bersih diatas Rp 1.000.000,00 yang bisa diterima dalam gajian bulanan. Keadaan pendapatan yang demikian sebenarnya sudah bisa mengimbangi gaji/ pendapatan yang dihasilkan dalam satu bulan bekerja sebagai Tenaga Kerja ke Luar Negeri seperti ke malasya, Thailand dan Berunai. Bersama ini dapat dikatakan bahwa bila ada perusahaan yang mampu memberikan pendapatan sebesar ini maka rasanya tidak perlu untuk bekerja sebagai TK illegal atau legal sekalipun kalau memang

jaminan atas hak dan kewajiban sebagai karyawan tidak ada. Dengan skala pendapatan pekerja yang bisa memberikan nilai yang sedemikian maka pihak perusahaan mengharapkan akan terjamin kesinambungan penyediaan tenaga kerja tetap dengan jumlah sekitar 35.100 orang setiap hari. Dengan sistem bina kontraktor yang diterapkan di lapangan maka perusahaan akan berbagi tanggungjawab dalam penyediaan dana awal dan pengaturan kerja secara efisien dimana tanggungjawab kerja bisa dibebankan kepada kontraktor secara psikologis. Untuk mencapai tuntutan ini maka kontraktor yang dipakai harus memiliki rasa tanggungjawab yang besar bagi pekerjaannya. Pada kondisi tertentu perusahaan bisa menggandeng koperasi bentukan penduduk setempat (lokal) dengan pembinaan yang sama dengan kontraktor pekerjaan yang ada. Sektor kegiatan yang paling banyak membutuhkan tenaga kerja dalam hal ini adalah tenaga lapangan seperti persemaian, penanaman, pemeliharaan dan termasuk audit pekerjaan. Bila dikaitkan dengan luas areal penanaman yang akan dilaksanakan dalam satu Rencana Kerja Tahunan maka kesinambungan jumlah tenaga kerja mau tidak mau harus dapat dijamin secara kontiniu.

Penyerapan tenaga terdidik tersebar pada kegiatan Nursery, Plantation, Harvesting, Shipping, Road construction, Planning, R & D, CSR/ CD, Security, Fire control, dan Fungsional (FA/ HRD/ GA/ LOG) dengan total 698 orang tenaga profesional. Penerimaan tenaga terdidik ini melalui jalur recruitment tenaga praktek (magang) maupun hasil pelatihan-pelatihan peningkatan jenjang karir. Jadi dalam operasional ada gambaran jenjang kemajuan karyawan yang memiliki loyalitas dan kemampuan kepemimpinan dan prestasi kerja.

C. Skala produktivitas Produktivitas merupakan indikator utama dalam keberhasilan pekerjaan dalam satu satuan kerja dan tatanan waktu yang ditentukan. Produktivitas kerja atau prestasi kerja akan mempengaruhi keberhasilan realisasi program kerja yang dilaksanakan sehingga bisa menjadi indikator keberhasilan pekerjaan lapangan. Produktivitas dalam arti sempit menyangkut produktivitas hasil berupa kayu yang dipanen dengan tingkat harga yang tertentu. Ini hanya dapat diketahui melalui pemanenan kayu. Untuk menjamin produktivitas yang tinggi maka adalah satu keharusan untuk menggunakan jenis bibit unggul (superior) yang berdasarkan kegiatan pemuliaan pohon telah terbukti unggul secara biomassa dan resistensi terhadap penyakit. Bagi pengusahaan hutan yang bertujua untuk paper/ Pulp Mill maka biomassa merupakan titik perhatian utama. Biomassa yang dimaksudkan adalah dengan tetap memperhatikan bentuk, ukuran, panjang dan faktor bentuk batang yang maksimal sebagai parameter penentu biomassa terbesar. Artinya biomassa yang maksimal adalah biomassa yang dapat dipanen dan digunakan untuk bahan baku yang dipersyaratkan oleh bentuk tujuan pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang dilaksanakan. Sebagai Grup perusahaan Sinar Mas dimana PT.SHJ tidak lepas dari pembinaan Integrited wood Industries dan Pulp Mill HTI PT. Arara dan Indah kiat Pulp & Paper Perawang-Riau serta HTI PT. Wira Karya Sakti & Lontar Papyrus di Jambi dalam hal pengembangan jenis yang merupakan bibit unggul. Ini dibuktikan dengan penanaman percobaan species (Species Trial) jenis Eucalyptus pelita unggul dengan bandingan kontrol dari biji asli.

Prediksi hasil panen akhir adalah diatas 100 m/ ha dengan penggunaan bibit jenis Eucalyptus pelita yang dikembangkan. Target produksi tahunan menjadikan kebutuhan bahan baku untuk pembangunan satu unit industri menjadi mendesak. Dengan rotasi tebang pendek yaitu 5 6 tahun maka diharapkan pada tahun 2008 satu unit industri pulp/ Mill akan dibangun dengan sumber bahan baku dari kegiatan penanaman/ pemeliharaan rotasi I yang sudah mendekati panen yaitu jenis Acacia mangium akan dapat terealisasi. Perangkat perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek sangat diperlukan dalam mendukung kontinuitas dan kelestarian aliran produksi kayu sepanjang waktu dalam menyangga kebutuhan akan bahan baku kayu. Perencanaan yang matang memperhatikan secara siknifikan hubungan antara tanah/ lahan, iklim dan vegetasi awal. Ketiga hal ini penting ditelaah secara seksama untuk menentukan kapabilitas dan kesesuaian lahan areal hutan tanaman yang dipilih dalam arti luas untuk mengetahui neraca hara tanahnya bagi keamanan sumber hara dan keamanan ketersediaan hara selama periode pertumbuhan (Ruchiyat, 2006). Tegakan yang

memiliki produktivitas yang tinggi hanya dapat dihasilkan dari budidaya yang intensif dan manipulasi silvikultur yang didukung oleh tenaga yang professional (Roni, A. 2004). Sesuai dengan visi & misi perusahaan yang telah digariskan maka dengan kehadiran Industri Pulp/ Mill ini akan dapat menstimulir pengembangan pembangunan daerah khususnya ketiga Kabupaten yang tersangkut dengan pengembangan HTI ini dan umumnya bagi Propinsi Kalimantan Timur. Perekonomian daerah akan terimbas maju dan kesempatan bekerja dan berusaha akan memenuhi harapan tenaga kerja potensil yang ada di daerah tersebut juga bagi tenaga kerja dari luar daerah seperti Jawa, Sumatera dan lain-lain. Pembangunan HTI memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penentuan jenis (spesies trial dan provenan trial) yang paling sesuai atas suatu lahan (dengan segala indikator yang indikator yang terkait padanya) tidak dapat didasarkan pada pengalaman karena sifat lokasinya yang spesifik. Apalagi dalam pemilihan jenis tersebut pertimbangan industri juga sangat menonjol. Demikian pula pertimbangan ekologi (environment) dan sosial kemasyarakatan. Pada sisi lain pemeliharaan tanaman

atau tegakan juga memerlukan dukungan teknologi karena setiap usaha perlu menjamin produktivitas lahan dan kontinuitas serta konsistensi hasil. Kolarborasi disiplin ilmu dan unsur HTI perlu diperhatikan karena pertimbangan Sistem Tebang Habis pada HTI karena: (1) jika terjadi kegagalan pemanenan berakibat pengulangan total bila tidak sesuai, mutu benih rendah dan sulit tanpa persiapan biji yang cukup, (2) rentan terhadap penyakit & kebakaran, (3) kerusakan tegakan muda akan dilanjuti oleh invasi jenis pioneer, (4) pemilihan jenis hanya yang tahan cahaya, (5) kelelahan tanah (soil fatique), mudah erosi dan penurunan site quality pada rotasi berikut. Pengusahaan HTI tidak secepatnya dilakukan tetapi mememerlukan persiapan seperti manajemen bibit, manajemen persemaian, manajemen pemeliharaan tegakan muda, manajemen tanah (soil), manajemen pembalakan (logging management), manajemen limbah pembalakan (slash management), manajemen penanaman kembali (reforestation management) yang semuanya memerlukan dukungan THIO (technoware, humanware, infomaware dan orgaware). Antara lain diperlukan bibit dan benih yang superior yan diperoleh dari lembaga litbang maupun dari berbagai teknologi untuk mendukung manajemen HTI tersebut. Perhatian utama pengembangan jenis Eucalyptus pelita 05 telah ditunjukkan oleh PT.SHJ ini dengan membangun persemaian yang baik dan penanaman lapangan sebagai sumber bibit unggul/ superior klonal bagi program penanaman skala besar yang ditanam pada Plot Contoh pengembangan di lapangan dengan bandingan penanaman yang berasal dari biji yang dapat di deskripsikan sebagai berikut: 1. Lokasi Persemaian Petak 32 y Media : Pengadaan media (akar pakis dan gambut) yang berasal dari hutan setempat dan hutan disekitar HTI. Alasan penggunaan bahan media pot ini adalah ekonomis, melimpah dan memenuhi persyaratan sifat fisik media pot penyapihan sapihan maupun stek. y Pengisian Media ( akar pakis + sekam padi ). Rasio fraksi akar pakis dan sekam padi ditetapkan berdasarkan porositas media sapih dengan ancer-ancer 70% : 30 % yang diaduk merata. Kondisi ini menyerupai media KOFFCO SYSTEM

dimana bahan dasar media sapih adalah Cocodust dan sekam padi dengan rasio fraksi yang sama. y Penyusunan Conteiner Pottray (di susun di atas lantai shaded area). Shaded area system yang diaplikasikan dalam persemaian ini dengan penggunaan bahan sarlon hitam dengan efek naungan 30 % atau penyinaran 70 % pada kondisi barus sapih dan tempat terbuka seelah sapihan berakar. y Penyiraman Media (dilakukan pertama kali saat bibit belum ditanam pada media) dan dengan teratur pada saat pemeliharaan sapihan. Penyiraman sapihan yang dirawat dilakukan dengan tehnik manual (embrat), springkle (selang berkisi)dan fan(kipas berputar). y Penaburan Benih (sowing) : Direct sowing untuk benih yang berukuran agak besar langsung disebar begitu saja dan Indirect sowing - benih terlebih dahulu di semai pada bak semai, setelah tumbuh baru disapih ke pottray atau single tube, dan ada pula dengan menggunakan poly bag. y Penanaman (Acacia mangium dan Eucalyptus pelita 05 ada yang menggunakan benih (pada umumnya sebagai Kontrol) dan ada pula yang menggunakan Stek batang dengan penambahan roton F). Dalam penanaman inti maka bahan tanaman yang digunakan merupakan tanaman teruji yang didatangkan dari penyedia bahan tanaman yaitu Perawang, Pakan baru. y Tempat persemaian terbuat dari rangka ulin + Paranet, (2 minggu) tetapi ada juga yang tidak menggunakan paranet ( diluar lebih dari 2 minggu sampai siap tanam). y Pemeliharaan : kegiatan produksi bibit dilakukan pemeliharaan di shaded area dan open area. Pemeliharaan sapihan pada shaded area meliputi : a. Penyiangan dilakukan pada permukaan tanah atau dibawah meja

persemaian secara manual dan kimiawi. b. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan jira ada serangan hama dan penyakit pada bibit secara kimiawi. Pemeliharaan open area meliputi : a. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari pada pagi hari dan sore hari.

b. Pemupukan dilakukan pada bibit berumur sesudah dari shaded area dengan pupuk NPK (1: 1: 1). c. Pemberantasan hama dan penyakit dengan cara kimiawi.

2. Lokasi Penanaman EP 05 (Klonal) Petak 34 y Tanaman EP 05 dengan jarak tanam 3 m X 2 m (kerapatan 1667 bt/ ha) dan mempunyai umur 11 bulan. Kondisi tanaman pada umur ini memperlihatkan keseragaman dalam hal pertumbuhannya baik ukuran batang, tinggi tanaman, kesehatan yang memiliki keunggulan dibandingkan tanaman yang berasal dari biji (kontrol). Namaun diperoleh informasi bahwa hasil ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis ini yang ditanam di Perawang dan lebih tinggi dari tanaman kontrol (Berasal dari biji). y Penanaman jenis EP 05 baru pada tahap rotasi awal karena pada areal yang sama, prioritas penanaman jenias yang dilakukan selama ini terbatas pada jenia Acacia mangium.

3. Lokasi Tanaman EP 05 (Biji; Kontrol) Petak 72 y Tanaman EP 05 yang berasal dari benih memiliki tingkat pertumbuhan tidak merata dan berumur 17 bulan dan dapat dipastikan bahwa hasil fisik penanaman jenis Klonal lebih baik dari biji.

Secara kasar pemilihan jenis yang dikembangkan didasarkan atas sifat jenis yang memiliki keuntungan biotiknya. Contoh sifat botanik jenis Eucalyptus sp dapat disajikan sebagai berikut: Jenis ini merupakan jenis exotic yang tergolong kepada famili Myrtaceae. Genus ini terdiri dari kurang lebih 500 jenis dengan jumlah varietas sekitar 138 varietas. Menurut ramalan ahli botani varietas dan jenis ini masih akan bertambah karena belum semua diketahui secara pasti. Pengembangan jenis ini akan bertambah banyak lagi dengan dihasilkannya varietas yang baru secara persilangan (Hibridisasi) baik secara alami maupun secara buatan (Japilus, 1978). Daerah penyebaran jenis Eucalyptus sp meliputi benua Australia, Tasmania dan dari benua ini menyebar keseluruh pelosok dunia serta telah ditanam (dikembangkan )

di Negara-negara Asia termasuk Asia Tenggara. Di Indonesia, jenis Eucalyptus sp ini dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat di Pulau Sulawesi, Pulau Timor, Pulau Seram dan Pulau Papua (Anonimous, 1980). Eucalyptus sp merupakan jenis yang memiliki kecepatan pertumbuhan yang sangat tinggi dengan hasil kayu yang memiliki bentuk batang lurus. Tinggi pohon dewasa bisa mencapai 33 meter. Pada umur 30 tahun diameter batang setinggi dada bisa mencapai 40 cm dan pada umur 50 tahun, tinggi pohon ini bisa mencapai 52 m dengan diameter setinggi dada 70 cm. Kualitas tempat tumbuh yang baik

memungkinkan bisa mencapai tinggi 100 m (Anonimous, 1980). Jenis Eucalyptus sp tumbuh pada tanah yang tidak memerlukan persyaratan khusus. Jenis ini dapat hidup pada segala kondisi dan jenis tanah baik pada tanah yang berbatu-batu, rawa-rawa, tanah bersolum dangkal, tanah gersang, tanah marginal, tanah kritis atau tanah yang subur sekalipun (Japilus, 1978). Jenis Eucalyptus sp dapat tumbuh pada lahan berelevasi dari 600-2.300 m diatas permukaan laut dan pada elevasi yang lebih tinggi akan dapat membentuk assosiasi dalam bentuk kelompok tegakan hutan murni (pure forest). Jenis Eucalyptus sp hidup baik pada kisaran iklim tipe C, D dan E menurut klassifikasi iklim Schmidt & Fergusson. Jenis ini sangat rentan terhadap bahaya kebakaran. Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri pada jenis ini sehingga merupakan bahan bakar aktif walaupun pada kondisi kayu dalam keadaan mentah. Jenis Eucalyptus sp merupakan jenis yang tergolong pada jenis yang suka tempat terbuka (intoleran) dan merupakan kelas jenis yang selalu hijau (evergreen) dengan pertumbuhan yang sangat tinggi menghasilkan riap diameter maupun tinggi secara seimbang. Sistem perakaran mampu menembus ke dalam tanah secara vertikal sampai kedalaman 4 m sehingga dapat menyebabkan kemampuan adaptasi tumbuh pada tanah yang bersolum tebal. Sementara perakaran horizontalnyapun mampu menyebar melebihi proyeksi tajuk dewasa walaupun ditanam pada tanah yang gersang (Anonimous, 1980).

Jenis Eucalyptus sp memiliki bentuk batang yang monopodial dengan batang yang lurus. Pohon dewasa berbanir kecil, kulit tipis berwarna keputih-putihan dan sedikit hijau. Ranting-ranting mengkilap, serat berpilin dan sulit untuk dibelah secara mekanis. Perpuntiran serat ini banyak ditentukan oleh pengaruh angina dimana dengan kelenturan yang dimilikinya dapat menyebabkan penimbunan kayu reaksi pada bagianbagian yang banyak dipengaruhi oleh tekanan angina (Anonimous, 1980). Jenis Eucalyptus sp memiliki bentuk tajuk dewasa yang umumnya kecil, ringan dan jarang apalagi bila ditanam dengan jarak tanam sempit. Daunnya jarang sehingga menyebabkan penutupan lahan oleh tajuk sangat kecil. Jenis Eucalyptus sp memiliki bentuk daun memanjang serupa arit. Pada masa kecambah daunnya berhadapan dan pada kondisi dewasa agak menggeser seolah-olah menyebar. Bau daun yang muda aromatis dan ini disebabkan oleh adanya kandungan bintil-bintil yang berisi minyak atsiri. Jenis Eucalyptus sp memiliki bentuk bunga yang berupa tangkai atau tidak bertangkai seperti bentuk panjang atau berbonggol dengan benangsari yang sangat banyak dan berwarna putih (Japilus, 1978). Jenis Eucalyptus sp mengalami fenomena berbunga dan berbuah sepanjang tahun kecuali pada bulan basah. Bentuk bunga setengah bulat dengan warna kehijau-hijauan atau kekuning-kuningan dengan ukuran antara 6 16 mm. Bila tutup buah terbuka maka biji-biji akan bertebaran dan terdiri dari dua bagian biji yaitu biji yang asli dan yang palsu. Jumlah biji perkilogram berat kotor adalah sekitar 200.000 600.000 biji yang bercampur atas biji yang asli dan yang palsu. Sebagai perbandingan bagi Jenis Eucalyptus sp seperti jenis E.platiphylla

mengandung jumlah biji per satuan berat sebanyak 860.000 biji per kilogram. Jenis E. deglupta mengandung jumlah biji per satuan berat sebanyak 11.000.000 biji per kilogram. E. saligna mengandung jumlah biji per satuan berat sebanyak 700.000 biji per kilogram. Sedangkan E. alba mengandung jumlah biji per satuan berat sebanyak 2,500.000 biji per kilogram. Jenis Eucalyptus sp memiliki berat jenis yang bervariasi antara 0,30 1,00 dengan kelas awet dari II sampai IV. Penyusutan pada kondisi kering tanur bergerak dari 4,8 % - 4,7 %. Jenis Eucalyptus sp umumnya diperuntukkan sebagai bahan baku

bubur kertas (pulp), vinir, fly wood, bahan konstruksi dan lain-lain. Minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi daunnya banyak digunakan sebagai obat gosok. Daun muda mengandung 50 % zat kimia Sineol yaitu satu jenis zat atsiri yang mempunyai kemiripan dengan minyak kayu putih dimana berfungsi untuk mengobati penyakit masuk angin (perut kembung) dalam bentuk obat gosok (Heyne, 1987). D. Interaksi sosial Lingkungan sosial banyak menentukan kesinambungan usaha dari pada keberhasilan usaha. Hal ini terjadi karena adanya perubahan politik yang mendasar pada negara kita sejak 1997 yang lalu. Aspek sosial banyak menentukan jalan tidaknya satu usaha termasuk usaha bidang kehutanan. Perusahaan tidak dapat menawarnawar atas perhatiannya kepada masyarakat/desa dalam dan sekitar hutan. Perusahaan harus menggandeng masyarakat melalui tokoh adat, pemuka masyarakat, pemuda dan pengusaha daerah yang diharapkan akan mendapatkan pembinaan untuk ikut serta dalam membagi pengalaman pembinaan sosial yang diarahkan kepada usaha yang mendatangkan tambahan penghasilan seperti bina kontraktor dan pengaturan tenaga kerja desa dalam kaitannya dengan usaha menghindari atau memperkecil efek dari gejala sosial yang timbul sebagai akibat sensitivitasnya politik kedaerahan yang dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat sekarang ini. Paradigma baru tentang Bina Desa Hutan diarahkan kepada kegiatan nyata yang dapat membantu penduduk sekitar hutan dengan membina pelbagai kegiatan sosial dan kepemudaan seperti pembentukan karang taruna, pembinaan keolahragaan dan pemberian bantuan khitanan massal yang sifatnya dapat menyentuh langsung kepada kebutuhan masyarakat. Kolaborasi pengembangan HTI saat ini tak bisa ditunda-tunda lagi dan pemerintah melalui Departemen Kehutanan juga telah membuat satu program yaitu Community Development (CD) yang aplikasi lapangannya sering dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm). Tujuan utama program CSR-CD HTI PT. Surya Hutani Jaya adalah untuk pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Ciri-ciri pokok HKm adanya pengakuan terhadap hak dan kewajiban masyarakat lokal, adanya jaminan penggunaan lahan jangka panjang, adanya keterlibatan masyarakat

lokal dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan dan adanya nilai tambah dari apa yang dihasilkan oleh anggota masyarakat dan bagian pokok dari keuntungan akan dikembalikan sebagai modal investasi kembali kepada daerah (Budiningsih, K. 2002). Potensi konflik selama ini adalah terutama dengan masyarakat sekitar hutan ditambah dengan investor baru di bidang perkebunan dan pertambangan batubara. Hal ini merebak setelah adanya perubahan/ peralihan manajemen dari PT. Sumalindo ke PT. Surya Hutani Jaya yang saat ini memberikan pengertian yang salah kepada masyarakat dengan adanya istilah tanah tak bertuan. Pada saat ini, kondisi konflik sosial ini sudah pada tahap membutuhkan ketegasan dari Pemerintah Kabupaten. Berdasarkan keadaan ini maka konflik sosial merupakan satu faktor pembatas yang dapat menghambat kelangsungan usaha pengembangan Hutan Tanaman Industri yang akan mempengaruhi jalannya perusahaan secara keseluruhan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Dan memang prakondisi ini hanya dapat diatasi oleh campurtangan kebijakan pemerintah agar pelaksanaan tehnis lapangan yang menyangkut Silvikultur dapat berlangsung dengan baik. E. Sumber pembiayaan Pembiayaan HTI merupakan pembiayaan yang bersifat skala besar karena unsur-unsur pembiayaan telah dimulai dari penyiapan bibit tanam sampai ke pemeliharaan akhir (penjarangan). Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah pembangunan pada modal dengan resiko kegagalan yang sangat tinggi oleh agen penyebab kegagalan seperti hama, penyakit, api dan illegal occupation lainnya. Selama ini pembangunan HTI masih menggunakan pinjaman modal dari Dana Reboisasi (DR) yang konon menjadi masalah Nasional dimana banyak diselewengkan oleh penguasa yang amoral. Bantuan permodalan yang diberikan sebagai kemudahan dan kepastian pengusahaan HPHTI dalam perkembangannya secara prinsip lambat penjabarannya sehingga awal pengelolaan HTI menimbulkan kurang adanya kepastian bagi pengusaha. Pembangunan HTI dengan Swakarsa merupakan pola tersendiri karena pemegang izin PHTI akan sepenuhnya melaksanakan dengan sungguh-sungguh

usahanya dengan harapan akan menghasilkan. Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak berhasil karena telah ditanamkan modal yang begitu besar untuk pembangunan HTI yang dilaksanakan secara besar-besaran. Konponen pembiayaan dalam pembangunan HTI bisa dijabarkan sebagai berikut: penyediaan sarana/prasarana, pebuatan persemaian, pengadaan tenaga kerja, penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, biaya tenaga kerja (gaji), biaya transportasi, pemanenan dan pemasaran. Anggaran untuk membiayai semua pos pembiayaan dalam kegiatan HTI ini oleh perusahaan masih mengharapkan talangan dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Sampai saat ini kebijakan pemerintah untuk menalangi permodalan makin tidak jelas berekses dari pencabutan izin 30 perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Namun PT. SHJ sebagai anak perusahaan Sinar Mas grup akan mendapat bantuan dari perusahaan induk yang sudah mapan dalam aspek tehnis maupun finansial. Sinar Mas grup adalah Grup Multi usaha yang sudah memiliki kemampuan swadaya dana dalam pengembangan usaha dan kwalifikasi usahanya telah bersifat Go Internasional dengan hubungan kerjasama luar yang luas. Data Sinar Mas Forestry memperlihatkan bahwa dari 4 kegiatan saja seperti pembibitan, media bibit, penanaman dan panen & transportasi kayu, pembiayaan dalam satu masa RKT bisa mencapai Rp 1.772 T. Ini hanya dalam skala upah yang beredar di masyarakat saja. Belum lagi pembangunan industri seperti yang sudah direncanakan. Dengan demikian pembangunan HTI terintegrasi merupakan usaha bisnis yang memerlukan modal usaha dalam skala yang sangat besar. Selama ini sumber modal yang utama bagi pembangunan HTI ini adalah dari Dana Reboisasi dengan perincian status pendanaan sebagai berikut: 14% merupakan asli dari Dana Reboisasi bersih, 21% merupakan penyertaan saham swasta, 32,5% merupakan pinjaman Dana Reboisasi tanpa bunga dan 32,5% merupakan pinjaman komersil Dana Reboisasi. Begitu mudahnya sumber dana yang diperlukan untuk pembanguna HTI namun dengan kemudahan tersebut menyebabkan penyelewengan sehingga terjadi missmanagement yang sisebabkan oleh missmanagement by design, by chance, dan to act being rich (Untung, I. 2003).

F. Kendala-kendala pengelolaan Pengembangan HTI dalam skala besar memiliki banyak faktor pembatas yang dipandang dari berbagai aspek seperti aspek ekologi, ekonomi dan sosial dan keamanan berusaha. Ketiga aspek ini merupakan kesatuan aspek yang harus sejalan dan harmonis agar pengusahaan HTI dapat berjalan baik dengan mendapatkan keuntungan yang maksimal. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengusahaan HTI memang bertujuan untuk mendapatkan kayu penghara industri dengan tujuan yang sudah jelas tetapi sudah disadari bahwa dengan studi yang konprehensif maka tidak boleh ada aspek yang ditinggalkan. Artinya kayu sebagai produk utama harus diperhatikan sejalan dengan akibat pemanenan kayu secara mekanis terhadap lingkungan lahan maupun sekitar hutan lainnya. 1. Kendala aspek ekologi Aspek ekologi yang menjadi faktor pembatas dalam pembangunan HTI antara lain adalah climatis, edafis dan biotis. a. Aspek climatis Aspek climatis berhubungan dengan kesesuain iklim (Curah hujan, kelembaban, tempratur dan penyebaran bulan hujan). Iklim daerah tropis yang diketahui lebih banyak curah hujannya dibandingkan musim kemarau menjadi masalah karena progress kegiatan mulai dari pembuatan bibit sampai ke pemeliharaan harus menyesuaikan diri dengan hari-hari yang bisa melakukan pekerjaan dan hari hujan. Contoh; penanaman biasanya dilakukan pada musim penghujan agar persentase hidup penanaman dapat mencapai target yang ditentukan. Tetapi pada musim penanaman kadangkala hujan berlebihan sehingga penanaman bisa terkendala. Persoalannnya pokoknya terbatas pada penyesuaian pekerjaan pada saat musim penghujan agar pekerjaan tetap dapat mencapai target yang telah ditentukan. Sebaliknya pada musim kering, HTI riskan dengan kebakaran. Apakah yang menjadi penyebabnya? Penyebabnya adalah karena begitu dangkalnya perakaran oleh karena sifat perakaran pada tanah podzolik yang memang demikian maka pada musim kering yang tidak terlalu ekstrimpun tanaman bisa mengering sehingga bila muncul fenomena seperti El Nino maka tanaman yang sudah mengering duluan ini akan menjadi bahan bakar yang potensil bagi kebakaran dalam skala luas. Lagi pula jenis

yang dikembangkan merupakan jenis yang berupa bahan bakar yang sensitif bagi kebakaran hutan. Kandungan minyak atsiri yang ada pada tanaman jenis Eucalyptus pelita dan lain-lainnya merupakan faktor pendukung kebakaran hutan yang lebih luas. Barangkali pada daerah yang memiliki iklim yang basah dengan distribusi curah hujan yang hampir merata maka kebakaran hutan adalah hal yang asing. Namun, kebakaran hutan terjadi bukanlah semata-mata oleh karena kegiatan perusahaan dalam penyiapan lahan. Memang ketika diberlakukan penyiapan lahan dengan sistem tebang, tebas dan bakar maka sumber kebakaran yang meluas merupakan dari kegiatan penyiapan lahan. Tetapi, api bisa saja berasal dari lahan masyarakat di sekitar HTI. Pada belakangan ini, pemerintah telah melarang penyiapan lahan dengan sistem tersebut agar kebakaran hutan dapat ditekan dan dihentikan sama sekali. Akhir-akhir ini curah hujan yang tinggi sudah mejadi satu faktor pembatas bagi HTI karena pada kondisi ekstrim akan menyebabkan kebanjiran lokasi, terutama daerah daerah rendah dan daerah rawa yang dikeringkan dengan sistem pembuatan drainase yang kurang baik. b. Aspek Edafis Aspek edafis berhubungan dengan kesesuain tipe tanah, ketebalan solum, kandungan bahan organik, kapasitas tukar kation dan keasaman tanah. Tanah di Kalimantan Timur khususnya di lokasi lahan HTI PT. SHJ ini bervariasi dari podzolik merah kuning, Alluvia (entisols) dan spodosols. Namun secara umum adalah Podzolik. Ketebalan solum pada tanah-tanah Kalimantan umumnya adalah dangkal sehingga penetrasi akar tanaman akan terbatas dan mengumpul. Gejala yang sama dapat dilihat pada hutan alam dimana sebatang pohon meranti berdiameter 90 cm yang tumbang hanya akan memiliki kedalaman perakran yang hanya sekitar satu sampai dua meter saja dengan diameter sekitar tiga sampai empat meter. Keanehan ini terjadi karena adanya faktor pembatas perakaran berupa ketebalan solum dan kandungan Al dan Fe yang tinggi dalam tanah sehingga akar tidak mampu menembus tanah lebih dalam lagi. Al dan Fe dalam tanah akan menjadi racun (toksik) bagi akar tanaman. Dari hal ini bisa dilihat bahwa perakaran pohon besar saja hanya sedemikian maka tidak mustahil kalau perakaran jenis exotic akan lebih dangkal lagi. Faktornya

sama yaitu adanya kandungan Al dan Fe yang ada pada lapisan solum tanah sehingga menjadi faktor pembatas bagi akar tanaman untuk berkembang. Dengan kondisi demikian maka kapasitas tukar kation tanah dapat dipastikan rendah sehingga sangat sulit dalam mempertukarkan kation Racun seperti Al dan Fe ini dengan Kation lainnya agar tanaman bisa tumbuh dengan baik. Pada kondisi ini pemupukan tidak akan efektif karena akan lebih banyak pencucian yang terjadi dibandingkan dengan jumlah pupuk yang dapat diserap oleh tanaman. Barangkali pupuk lambat urai yang menjadi solusinya karena sesuai dengan ktk yang dimilikinya maka tumbuhan akan memanfaatkan hara secara perlahan-lahan dengan kondisi yang ketersediaanya ada setiap saat tetapi tidak mudah tercuci oleh air hujan atau run off. Tanah yang demikian pasti bersifat asam sehingga tidak direkomendasikan untuk menyiapkan lahan dengan sistem pembakaran. Penyiapan lahan dengan pembakaran kita ketahui memiliki keuntungan ekonomis tetapi tidak ramah lingkungan karena akan menambah konsentrasi gas dalam atmosfir bumi bila dilakukan secara berlebihan. Masalah yang timbul adalah biaya penyiapan lahan dengan tanpa bakar akan berlipat daripada dengan sistem bakar. Penyiapan lahan yang dilakukan dengan kombinasi mekanis dan manual memang merupakan cara yang terbaik secara ekologis namun secara ekonomis masih merupakan cara yang termahal. Sebenarnya akan menjadi kendala apabila penyiapan lahan dalam jumlah lausan yang luas seperti 30.000 hektar. Lagipula penyiapan lahan non bakar ini akan lebih sulit memperhitungkan penyesuaian pekerjaan dengan target kegiatan yang harus dicapai dalam masa satu Rencana Karya Tahunan. Oleh karena penjaminan kesuburan tanah yang sangat mahal maka penyiapan lahan dengan sistem bakar sudah dilarang oleh pemerintah agar bahan organik yang berfungsi sebagai sumber hara dengan peruraian secara lambat tidak tereksport ke luar sistem lahan yang dugunakan untuk penanaman jenis tertentu secara berulang-ulang. c. Aspek Biotis Aspek biotis berhubungan dengan pengembangan jenis tanaman yang dibudidayakan, vegetasi awal, genetis jenis dan pemuliaan tanaman. Aspek ini secara langsung berpengaruh kepada tehnis pekerjaan, pembiayaan dan produktivitas akhir.

Jenis tanaman yang dibudidayakan dalam HTI Pulp/ Mill umumnya exotic seperti Acacia mangium dan Eucalyptus sp. Jenis exotic memang memiliki skala toleransi yang tinggi atas jenis tanah yang bervariasi. Namun jenis yang terpilih sesuai dengan tujuan pengusahaan harus memiliki keunggulan komparatif dari jenis-jenis lainnya misalnya Produktivitas dan resistensi terhadap hama/ penyakit. Vegetasi awal lahan hutan yang dijadikan sebagai areal penanaman dan pengembangan jenis tertentu berhubungan dengan penyiapan lahan menyangkut tehnik dan pembiayaan. Vegetasi hutan sekunder akan berbeda dengan alang-alang dalam hal alokasi kebutuhan dana untuk membiayai penyiapan lahan. Dengan demikian akan mempengaruhi metoda dan intensitas penyiapan lahan dalam arti dibutuhkannya tehnik mekanis atau manual atau harus dikombinasikan dengan pengulangan perlakuan penyiapan lahan. Kesulitan ini akan nyata pada lahan yang bervegetasi berkayu yang tidak dapat dimanfaatkan kayunya karena tidak laku dijual untuk industri. Kondisi vegetasi yang kerdil justru merupakan indikator kesuburan tanah dalam arti produktivitas yang ditunjukkan oleh biomassa vegetasinya. Genetis jenis menjadi sangat penting karena genetis yang tidak diketahui akan memungkinkan prediksi hasil yang tidak pasti. Jenis yang tidak dapat dijamin kualitasnya akan menyebabkan missmanagement dalam hal perencanaan hasil dalam hubungannnya dengan kebutuhan supply bahan baku industri. Oleh karena itu pada pengembangan HTI pemula dengan modal dan pengetahuan yang masih minim disarankan untuk menggunakan jenis yang memiliki keunggulan genetis yang sudah merupakan hasil species trial. Species trial sudah merupakan hal yang cukup baik dalam keterbatasan finansial dan tehnik yang dimiliki oleh perusahaan pemula. Dan ini hanya dapat direkomendasikan bagi perusahaan skala kecil atau investasi kategori kecil sampai sedang. Bagi investasi pembangunan HTI skala besar yang terpadu dengan Industri kehutanan seperti Pulp/ Mill maka penggunaan bibit dari hasil speciea trial tidak lagi direkomendasikan untuk dikembangkan. Tetapi harus merupakan jenis yang telah nyata memiliki keunggulan genetis yang teruji berdasarkan program pemuliaan jenis. Basis keberhasilan pembangunan HTI harus berdasarkan kemajuan tehnologi dan pemuliaan. Thailand sebagai contoh merupakan negara yang dinilai cukup berhasil dalam

pembangunan HTI dari jenis Eucalyptus sp dan Acacia sp dengan aplikasi bioteknologi Klonal dengan stek akar (rooted cutting) dan kultur jaringan dengan membangun makmal DNA- electrophoresis (Somyos, 2000).

G. Degradasi lahan monokultur Degradasi lahan akibat penanaman satu jenis (monokultur) dengan cara berulang-ulang pada lahan hutan yang sama akan menyebabkan penurunan produktivitas pada rotasi tebang berikutnya yang disebabkan oleh apa yang disebut faktor soil fatigue (kelelahan tanah). Degradasi lahan akan diikuti oleh penurunan kualitas kayu yang terjadi karena terjadinya kekurangan unsur hara tertentu dalam kayu hasil pemanenan dan adanya mutasi genetik secara berangsur atau sering disebut dengan istilah Genetic erosion. Secara prinsip bahwa degradasi lahan yang terjadi oleh karena intensitas penggunaan jenis tanaman yang tinggi untuk satu jenis hanya dapat diatasi melalui analisa kandungan hara tanah dan kebutuhan hara tanaman menurut umur tanaman. Potensi hara yang dikandung oleh tanah akan dihubungkan dengan kebutuhan hara bagi jenis tertentu menurut umur tanaman akan memberikan gambaran akan tindakan apa yang harus dilakukan bila terjadi kekurangan hara tertentu dalam tanah baik karena persediaan yang minim maupun karena kehabisan pemakaian oleh tanaman. Fraksi hara yang kurang dalam tanah harus diatasi dengan menambahkan hara baik yang bersifat lambat urai maupun yang instant seperti pupuk anorganik (pupuk buatan). Tetapi penambahan hara ke dalam tanah melalui pemupukan sebaiknya harus berdasarkan analisa kandungan hara tanah dan kebutuhan hara tanaman. Suatu bandingan dengan apa yang sudah pernah dilihat oleh kami di PT.Toba Pulp Lestari Tbk Porsea kabupaten Simalungun Pematang siantar bahwa pada rotasi tebang 7 tahun jenis Eucalyptus sp St Blake pemanenan kayu menghasilkan kayu yang berbeda dengan kayu pada rotasi sebelumnya. Perbedaan yang dapat dilaporkan secara kasat mata adalah penurunan diameter batang, penurunan kesehatan kayu ( gerowongnya kayu pada diameter kecil) dan volume kayu hasil pemanenan rata-rata per hektar menurun. Pada rotasi tebang pertama dilaporkan bahwa produktivitas lahan bisa menghasilkan kayu hasil pemanenan sebesar 240 m/ ha. Pada rotasi tebang ke

dua sekitar 200 m/ ha. Dan pada rotasi tebang ke tiga secara ekstrim turun menjadi 120 m/ ha. Keadaan ini memperlihatkan bahwa penurunan produktivitas yang disebabkan oleh penanaman monokultur tidak dapat dihindari (Roni, A.2004). Di Perawang Riau khususnya pada HTI PT. Arara & Indah kiat dilaporkan bahwa menejemen tanah dan lahan HTI yang diterapkan telah dapat mengatasi penurunan produktivitas dan kualitas hasil dengan melakukan strategi penggunaan jenis tanaman hasil pemuliaan (klon) dan penambahan hara melalui pemupukan. Barangkali analisa kandungan hara tanah dan kebutuhan hara tanaman untuk jenis monokultur yang dikembangkan telah dapat diketahui dan diatasi sepenuhnya oleh tenaga ahli dan teknisi lapangan. Kondisi kesuburan tanah Kalimantan yang didominasi oleh tipe tanah podzolik Merah Kuning (Ultisols) menyebabkan bahwa penambahan bahan organik (hara tambahan) mutlak dilakukan (Daddy, 2006). Tanah ultisols yang mempunyai horizon penciri Argilik memiliki keterbatasan dalam penggunaan lahan kehutanan seperti Kapasitas Tukar Kation yang rendah sampai sedang, mengandung liat yang terlalu tinggi dengan kandungan garam Aluminium dan Besi yang tinggi namun miskin bahan organik dan kejenuhan basa yang rendah (tanah lebih bersifat asam). Jadi perlu kehati-hatian dalam pengelolaan tanah Podzolik dalam

pengembangan jenis Monokultur exotic apalagi bila digunakan untuk pengembangan tanaman jenis monokultur apalagi bila dilakukan dengan intensitas yang tinggi (berulang-ulang). Pada kenyataannya menejemen tanah/ lahan penanaman lebih sulit dari kegiatan lainnya. Karena penambahan hara melalui pemupukan yang tidak didasarkan atas analisa hara yang benar akan menyebabkan kemubajiran supply hara yang diberikan dengan efektifitas dan efisiensi yang sangat rendah. Pupuk akan lebih banyak tercuci keluar sistem hutan daripada yang efektif diserap oleh tanaman untuk digunakan bagi pertumbuhannnya. Bukankah hal ini akan membuang-buang dana yang seharusnya tidak perlu?

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian tersebut di atas maka dalam pengelolaan hutan produksi khususnya di HTI PT.Surya Hutani Jaya dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.HTI PT. Surya Hutani Jaya adalah satu HTI yang terencana jangka panjang dengan misi dan program yang Industri Hutan Terpadu (Integrated Wood Industries). 2.Pembangunan HTI dilaksanakan dengan memperhatikan aspek Ekonomi, Ekologi dan Sosial Kemasyarakatan secara berimbang agar tujuan pengusahaan sejalan dengan visi/ misi perusahaan demi mencapai target profitabilitas dan kelestarian usaha. 3.Aplikasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam pembangunan HTI yang

dilaksanakan mendorong perusahaan lebih lanjut dalam pembangunan Industri Pulp Mill di lapangan untuk mencapai cita-cita sebagai perusahaan HTI terbesar di Indonesia yang berimbas terhadap peningkatan pendapatan daerah Kabupaten Kutai Timur secara khusus dan Propinsi Kalimantan Timur secara umum. 4.Penanaman jenis Klonal teruji seperti jenis Eucalyptus pelita 05 adalah bukti aplikasi ilmiah dalam pertimbangan pencapaian biomassa yang telah ditetapkan untuk kapasitas industri terpasang. 5.Dengan adanya aplikasi pengembangan tanaman monokultur dan rotasi pendek maka degradasi tanah/ lahan hutan dan bahan tanaman akan dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas hasil yang akan dipanen. Dengan adanya faktor pendorong dan faktor pembatas dalam pembangunan HTI monokultur dengan rotasi pendek ini maka disarankan bahwa: 1.Kontinuitas penelitian lapangan harus berlangsung dengan jaminan intensitas dan dana yang memadai. 2.Hasil penelitian lapangan harus dijadikan dasar dari segala pengambilan keputusan aspek apa saja yang akan dihadapi dan tidak merupakan introduksi dari pusat pengelolaan. 3.Perusahaan perlu menjaga dan menjamin kesinambungan usaha dengan metode pendekatan dengan konsep bermitra dengan masyarakat dalam arti keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kegiatan pembangunan HTI.

4.Hal-hal yang bersifat non tehnis harus dipandang sama pentingnya dengan hal-hal yang bersifat non tehnis karena keduanya sama-sama mempengaruhi jalannnya kegiatan dan kesinambungan usaha secara kontiniu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1980. Sedikit bekal mengenai Eucalyptus sp . Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL). Anonimous, 2002. Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Perbenihan dan

Pembibitan) Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departement Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Anonimous, 2005. Cetak biru Kehutanan kita (Indonesia). Warta FKKM. Vol. 8 No.2 (ISSN. 1430-8550). Anonimous, 2006. Alih tehnologi pembuatan bahan tanaman dengan system COFFCO System. Balai Besar Penelitian Hutan Tropis Kalimantan . Samarinda Kalimantan Timur. Anonimous, 2006. Pengembangan areal HTI untuk Support pembangunan Pulp Mill di Kabupaten Kutai Timur. Sangatta Kalimantan Timur. Sinar Mas Group. Anonimous, 2006. Kajian aspek tehnik dan implementasi Hutan Tanaman Industri (HTI). Tugas Mahasiswa Pascasarjana Mata Kuliah Budidaya Hutan Lanjutan, Universitas Mulawarman. Samarinda Kalimantan Timur. Baker, 1950. Prinsip-prinsip Silvikultur (Terjemahan). Edisi ke II. Universitas Gajah Mada. Yokyakarta. Budiningsih, K. 2002. Kajian Model Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kalimantan Selatan. Direktorat Jenderal Pemuliaan Tanaman Hutan Departemen

Kehutanan Republik Indonesia - BPPK. Banjarbaru. Deddy, H. 2005. Bahan kuliah Budidaya Hutan Lanjutan. Program Pasca Sarjana Menejemen Hutan Universitas Mulawarman. Samarinda. Heyne, 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid I-II. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Japilus, 1978). Pengaruh pemberian pupuk kandang pada tanah persemaian terhadap pertumbuhan Eucalyptus urophylla St.Blake. Laporan No.329 BPH. Bogor.

Naiem, 2002. Aplikasi hasil Povenas Trial dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin Kalimantan Selatan. Roni, A. 2004. Model pertumbuhan dan hasil hutan tanaman jenis Eucalyptus urophylla di PT.TPL Tbk, Sumatera Utara. Skripsi Sarjana Jurusan Manajemen Hutan Universitas Simalungun (USI). Pematang Siantar Sumatera Utara. Ruchiyat, D.2006. Bahan Kuliah Ilmu Tanah Hutan. Program Pascasarjana Universitas Mulawarman. Samarinda Kalimantan Timur. Untung, I dkk. 2003. Hutan Tanaman Industri dipersimpangan Jalan. Penerbit Avrico Press.

You might also like