You are on page 1of 5

SUCCES STORY SUNINGSIH

(Pengrajin Bordir dari Kabupaten Malang) Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewirausahaan

OLEH: AMALINA MAHMUDAH NIM:1002410003

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN MALANG JURUSAN KEBIDANAN PROGAM STUDI D IV BIDAN PENDIDIK 2011

DARI DESA KIBARKAN USAHA BORDIR Meski tak tamat SMP, semangat ibu satu anak ini untuk berkarya tak berkurang. Di tempat tinggalnya di Desa Pakisjajar, Kecamatan Pakis, Malang (Jatim) ia berhasil mengibarkan usaha bordir. Ibu berusia 48 tahun ini pun berhasil jadi pengusaha sukses dengan ratusan karyawan. Bagaimana awalnya Anda sampai sukses menjadi pengusaha bordir? Ceritanya memang cukup panjang. Setelah saya menikah dengan suami saya Ruchan tahun 1972, oleh mertua kami diberi bekal untuk mendirikan usaha selep (mesin penggiling padi, Red). Pekerjaan itu bagi saya terasa membosankan. Saban hari cuma melihat tumpukan gabah serta mendengar deru mesin selep saja.Apalagi, mesin selep itu, kan, beroperasi hanya musim panen saja. Jika waktu paceklik tiba atau tidak musim panen, praktis saya sehari-hari ya nganggur saja. Lalu ? Di tengah kejenuhan itu, saya tertarik dengan kerajinan kristik. Waktu itu, yang mahir membuat kristik cuma salah seorang tetangga saya. Saya lihat hasilnya, kok, bagus sekali. Saya pun minta diajari. Celakanya dia keberatan. Katanya pekerjaan tersebut sangat sulit dan tidak semua orang bisa. Wah, dihalangi seperti itu saya malah semakin penasaran. Saya tak kurang akal. Diam-diam saya membeli karyanya, kemudian saya pelajari sendiri. Saya membuat kristik di sela-sela menunggui selep. Bikin apa saja? Semula saya membuat yang sederhana-sederhana saja. Misalnya taplak meja atau sapu tangan. Eh, setelah saya tawarkan ke ibu-ibu di Malang justru ditertawakan. Mereka menganggap hasil kerajinan saya itu sangat jelek. Saya malu, tapi tak putus asa. Kemudian saya menemui seorang ibu yang jadi karyawan tetangga saya itu. Saya minta dia membuatkan taplak yang kemudian saya jual. Pas saat menawarkan dagangan itu ke toko-toko, saya bertemu dengan Bu Marzuki. Belakangan saya tahu beliau adalah pakar membuat kristik. Beliau bersedia mengajari saya membuat kristik. Anda beruntung, dong? Bukan hanya beruntung, tapi berkah. Bayangkan, di saat butuh pengetahuan tentang kristik, tiba-tiba datang orang yang dengan senang hati bersedia mengajari tanpa memungut biaya sepeser pun. Setelah belajar pada Bu Marzuki, kemampuan saya meningkat pesat. Saya pun semakin giat membuat kristik Sejak itu, dagangan saya jadi laris.

Lalu bagaimana dengan usaha penggilingan padi Anda? Setelah usaha kristik berhasil, usaha penggilingan padi saya tutup karena perkembangannya kurang bagus. Semasa kristik jaya, jumlah karyawan saya mencapai ratusan. Selain mengerjakan di tempat usaha saya, mereka juga mengerjakan di rumah masing-masing. Selain di Malang, mereka berasal dari Probolinggo dan Lumajang. Ke mana saja pemasaran kristik karya Anda?Tersebar di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia dan Abu Dhabi segala. Mungkin karena jenuh, lama-kelamaan permintaan pasar menurun. Lalu, apa yang Anda lakukan? Sekitar 20 tahun yang lalu, saya mulai beralih ke usaha bordir. Ceritanya, suatu ketika saya diajak teman sesama perajin ke daerah Bangil, Pasuruan (Jatim) untuk urusan bisnis. Teman saya itu ngobrol dengan relasinya. Saya, kan enggak enak ikut melibatkan diri. Lalu, saya pura-pura izin ke kamar kecil. Nah, saat keluar dari kamar kecil, saya melihat seorang perempuan di dekat dapur. Dia rupanya karyawan relasi bisnis teman saya. Dia tengah menghadap mesin jahit sambil tangannya memegangi bentangan kayu yang menjepit sehelai kain. Saya kagum melihat tangannya yang lincah memainkan mesin, hingga kain tersebut membentuk sebuah gambar. Keterampilan ini belum pernah saya lihat sebelumnya. Tentu saja kesempatan itu tak saya sia-siakan. Dalam waktu singkat, saya bertanya pada dia, bagaimana cara membuat bordir. Anda langsung tertarik usaha bordir, ya? Benar. Dalam perjalanan pulang hati saya tak tenang. Saya memikirkan bagaimana bisa membuat bordir. Keesokan harinya, saya langsung membeli kain dan menggambar seadanya. Saya berusaha semaksimal mungkin membuatnya. Hasilnya, dari sisi kualitas bentuknya tak karukaruan. Akan tetapi, saya terus mencoba sampai hasilnya bagus. Saya yakin usaha ini berkembang dengan baik. Setelah teknik membuat bordir saya kuasai, saya mulai mengarah usaha bordir. Namun, saya cukup kesulitan mendidik karyawan saya yang semula pintar membuat kristik. Saya ekstra keras mengajari sampai ratusan karyawan saya itu mahir. Ternyata usaha saya cepat berkembang. Produk apa saja yang Anda buat? Wah banyak banget. Mulai dari baju muslim sampai seprai. Selain itu, saya juga menerima pesanan dari perajin bordir lain. Karena keterbatasan peralatan, untuk bagian-bagian tertentu mereka pesan pada saya. Misalnya perajin baju takwa, karena tak punya mesin bordir komputer, perajin tesebut hanya membordirkan bagian depan bajunya.

Berapa harga produk Anda? Bermacam-macam. Mulai harga puluhan ribu sampai jutaan, seperti baju berbahan sutra pesanan orang Bali yang sedang kami kerjakan. Harganya memang mahal karena pengerjaannya sangat halus. Untuk ongkosnya saja satu setel mencapai Rp 750 ribu. Sekarang berapa karyawan Anda? Kebetulan sekarang agak sepi order ya. Kalau pas ramai seperti beberapa waktu bisa mencapai 300 orang. Itu belum termasuk yang mengerjakan di rumah masing-masing, baik di Malang, Probolinggo, dan Lumajang. Anda, kok, bisa memimpin karyawan sebanyak itu? Wah, saya susah untuk menjelaskan. Saya, kan, tak tahu banyak tentang teori kepemimpinan. Yang pasti, kepada karyawan saya tidak menempatkan diri sebagai pimpinan. Saya seperti mereka yang sama-sama bertanggung jawab terhadap suatu pekerjaan. Selain itu, itu saya juga harus tahu persis karakter sekian ratus karyawan saya. Masing-masing karakter tentu penanganannya akan berbeda-beda pula. Kalau tidak dengan cara demikian, pekerjaan saya benar-benar jadi kalang kabut. Kalau boleh tahu berapa omzet usaha Anda per bulan? Sekarang, sih, tak terlalau banyak, paling sekitar Rp 600 juta per bualan. Dulu sekitar setahun yang lalu, dalam sebulan saya bisa mencapai omzet Rp 900 juta sampai Rp 1 miliar. Tampaknya Anda tipe pekerja keras dan punya rasa ingin tahu tinggi? Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri. Namun, kalau saya tak kerja keras, tak mungkin saya bisa jadi begini. Pendidikan saya, kan, tidak tinggi. Saya hanya sampai kelas 2 SMP. Soal rasa ingin tahu, memang saya akui. Ibaratnya saya belum bisa tidur pulas kalau rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu belum terpenuhi. Bagaiman peran suami terhadap keberhasilan usaha Anda? Awalnya suami saya tak mengizinkan saya terjun ke dunia bisnis. Maunya, sih, saya jadi ibu rumah tangga saja. Namun, saya jalan terus. Sekarang suami membantu untuk urusan luar. Antara lain urusan surat-menyurat dengan pemda, kirim atau terima uang di bank. Sedangkan urusan ke dalam, semua saya kerjakan sendiri. Ya, kami memang saling mendukung untuk kemajuan bersama. Namun, untuk hal-hal penting dalam urusan bisnis, semua masih saya pegang langsung. Sebelum menentukan langkah, saya menjabarkan kepada suami maupun anak tunggal saya. Kalau terjadi sesuatu, mereka tahu keuntungan maupun kergian yang harus ditanggung. Contohnya? Beberapa waktu lalu saya akan membeli mesin bordir komputer yang harganya Rp 1 miliar lebih. Sebelum membeli saya jelaskan pada mereka, dari mana uang harus saya peroleh. Saya katakan juga, kalau nanti sampai

terjadi kemacetan usaha, harta mana saja yang harus dijual untuk menutupi kekurangan. Itu semua sudah saya jelaskan jauh-jauh hari. Anak Anda juga bekerja di bidang yang sama? Memang benar. Hanya saja dia lebih berkonsentrasi ke bordir komputer. Sedangkan saya selain bordir komputer juga bodir mesin. Dalam urusan bisnis saya saya memang kerja sama dengan dia. Wah KKN dong? Oh sama sekali tidak. Saya punya prinsip ini adalah dagang. Meski sama anak yang tinggal dalam satu atap, tapi kalau soal usaha, meski kecil tetap ada perhitungannya. Misalnya saja suatu ketika dia memberi order pekerjaan kepada saya. Sekecil apa pun pekerjaan itu, dia juga harus memberi keuntungan kepada saya. Kalau tidak, saya juga tak akan mau. Demikian juga sebaliknya Oh ya penghargaan apa saja yang pernah Anda terima? Tahun 1992 saya pernah mendapat Upakarti dari Presiden Soeharto. Pernah juga saya dapat penghargaan dalam hal kendali mutu. Beberapa waktu lalu, saya masuk dalam buku yang ditulis Bu Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Widarto, M.Sc. yang berjudul Leadership Quotient, Perempuan Pemimpin Indonesia. Sebenarnya saat peluncuran buku itu di Jakarta beberapa bulan lalu, saya juga diundang. Tapi saya tak memenuhi undangannya. Kenapa? Terus terang kalau diundang acara-acara semacam itu saya nyaris tak pernah datang. Saya malu karena yang datang, kan, orang pinter-pinter sementara saya cuma gini saja Apalagi, kalau pas sambutan pembicaranya memakai istilah-istilah bahasa Inggris, wah saya malah mumet. Ya maklumlah, pendidikan saya kan tak tamat SMP.

You might also like