You are on page 1of 35

GLIBENCLAMIDE SEBAGAI OBAT ANTI DIABETES

Disusun oleh:

1. Kristian Indah K
2. David L.G 3. Arie Jimmy R.R 4. Veronica Dida 5. Wulan Wulyana

06700191 06700201 06700211 06700202 06700247 08700344

6. Putri Astiti W.

Pembimbing : Dr. Haryanto Husein

DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TAHUN 2010

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyusun makalah farmasi yang berjudul Glibenclamide Sebagai Obat Anti Diabetes.

Upaya mencapai tujuan pembelajaran di bagan farmasi merupakan tanggung jawab bersama dan harus dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan pembelajaran yang memadai dan standar. Berkaitan dengan upaya mencapai tujuan pembelajaran, maka bersama ini kami membuat makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu saran, kritik dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi seluruh mahasiswa dan semua pembaca. Mengakhiri tulisan ini, penulis berharap mudah-mudahan mendapatkan perhatian dan renungan untuk selanjutnya disikapi dan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait.

Penulis

Daftar Isi

I.

Pendahuluan3

II.

Farmasi Farmakologi...6

III.

Farmakodinamik9

IV.

Farmakokinetik12

V.

Toksisitas15

VI.

Penelitian yang dilakukan orang lain..16

VII.

Pembahasan...19

VIII.

Kesimpulan26

IX.

Daftar pustaka27
3

I.

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal. Apabila dibiarkan tidak terkendali, diabetus mellitus dapat menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal, misalnya terjadi penyakit jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan dan lain-lain. Menurut data stastistik tahun 2010 dari WHO terdapat 220 juta penderita diabetes mellitus di seluruh dunia. Tahun 2030 jumlah penderita diabetes mellitus diperkirakan akan melonjak lagi mencapai dua kali lipat dari jumlah sekarang.(1) Saat ini penyakit diabetes mellitus banyak dijumpai penduduk Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan, jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia menduduki ranking empat setelah India, China, dan Amerika Serikat.(1) Dokter memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Membantu penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, memberikan rekombinasi penyesuaian rejimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas seorang dokter. Dokter dapat juga memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi dan pengelolaan diabetes. Diabetes mellitus sendiri didefinisikan sebagai suatu penyakit dan gangguan metabolisme kronis dengan multi etilogi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau difisiensi produk insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang reponsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (1)
4

SASARAN TERAPI Diabetes mellitus terjadi karena gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan meningkatnya atau tingginya kadar glukosa darah, sehingga yang menjadi sasaran terapi yang paling utama diabetes mellitus adalah upaya pengendalian atau mengendalikan kadar glukosa darah dengan menjaga kadar glukosa darah berada dalam kisaran normal. TUJUAN TERAPI Terapi diabetes melitus hendaklah bertujuan untuk mencegah akibat-akibat defisiensi insulin yang akan segera timbul, yang meliputi hiperglikemia simptomatik (yaitu : polyuria, polydipsia dan penurunan berat badan), ketoasidosis diabetika (KAD) dan sindroma hyperosmolar non-ketotic (SHNK) dan mencegahkan atau meminimalkan komplikasikomplikasi penyakit yang berlangsung lama yang timbul akibat diabetes mellitus. (2) Terdapat petunjuk-petunjuk yang menyarankan bahwa komplikasi-komplikasi kronis diabetes mellitus berasal dari kelainan-kelainan metabolik dan bahwa pengendalian hiperglikemia dapat menurunkan insidensi bagi terjadinya komplikasi-komplikasi itu. Dokter sebaiknya membuat rancangan terapi untuk setiap pasien sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh pengendalian kadar glukosa plasma yang sebaik-baiknya tanpa mendorong timbulnya hiperglikemia yang berat atau terlampau sering. STRATEGI TERAPI Strategi terapi (penatalaksanaan terapi) untuk penderita diabetes mellitus secara non farmakologi dan farmakologi. a. Non Farmakologi Pendidikan pada Pasien Agar pengobatan diabetes mellitus dapat optimum pasien perlu diberikan pengetahuan tentang segala hal yang berkaitan dengan diabetes mellitus. Tetapi tidak hanya untuk pasien juga untuk keluarganya harus mendapat pengetahuan yang cukup mendalam mengenai
5

peyebab dan strategi terapi diabetes mellitus. Pengobatan akan diperudah bia pasien mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat dalam perawatan penyakitnya sehari-hari.(2) Diet Diet merupakan hal penting pada semua jenis diabetes mellitus dan juga bermanfaat bagi pasien yang menderita gangguan toleransi glukosa. Tujuan terapi diet hendaknya diberitahukan kepada pasien dan ahli gizi yang merawat dan sasaran pemberian diet supaya ditelaah ulang secara teratur. Rencana makanan harus dibuat dengan mempertimbangkan kesukaan, penghasilan dan kebutuhan masing-masing pasien. Perencanaan modifikasi diet mulai dari sasaran kalori, konsistensi, komposisi makanan dengan karbohidrat 50-60%; protein 10-20%; lemak 25-30%; serat 25 g/1000 kkal; pemanis buatan, dan penggunaan alkohol harus dibatasi.(2) Olah Raga Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar glukosa darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat tetapi olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olah raga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur). Disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Ctoh olah raga yang disarankan seperti jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang dll. (2) b. Farmakologi Terapi obat dengan obat antidiabetik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes mellitus tipe II. Sedangkan pada pasien diabetes tipe I biasanya diberikan Insulin. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antidiabetik oral terbagi menjadi 4 golongan. Salah satu terapi obat antidiabetik oral adalah golongan sulfonylurea.

II.

Farmasi Farmakologi

Sulfonilurea adalah turunan sulfanilamid tetapi tidak mempunyai aktivitas antibakteri. Golongan ini bekerja merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel -pankreas masih dapat berproduksi. Golongan sulfonilurea dibagi 2, yaitu generasi I (acetihexamide, chlorpropamid, tolazamid, tolbutamid) dan generasi II (glipizide, glibenclamide, glimepirid). Glibenclamide/Glyburide

Gambar 1 : struktur glibenclamide

Nama & Struktur Kimia : 1-[[p-[2-(5-chloro-o-anisamido)-ethyl]phenyl]-sulfo-nyl]-3cyclohexylurea Sifat Fisikokimia : Serbuk kristalin putih, BM 493,99 Sintesis N-acetyl derivat dari -phenethylamine bereaksi dengan chlorosulfonic acid sehingga membentuk derivat para sulfonyl chloride. Kemudian terjadi ammonolysis, diikuti oleh katalisasi pemindahan acetamide. Kemudian di-alkil dengan 2-methoxy-5-chlorobenzoic acid chloride untuk memberi amida hubungan . Pada akhirnya akan direaksikan dengan cyclohexyl isocyanate untuk membentuk sulfonylurea glibenclamide (3)

Farmasi umum

Dosis : Terapi glibenclamide selalu dimulai dari dosis rendah 1 kali pemberian per hari, setelah itu dosis dapat dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat. Dosis awal 2,5 mg bersama sarapan, maksimal 15 mg per hari. Nama Dagang : - Abenon - Diacella - Glimel - Glyamid - Latibet - Prodiamel - Semi Gliceta - Clamega - Euglucon - Glimel - Glynase Pres Tab - Libronil - Renabetic - Tiabet - Condiabet - Fimediab - Gliseta - Harmida - Merzanil - Samclamide - Glibenclamide (Generik) - Daonil - Glidanil - Gluconic - Hisacha - Prodiabet - Semi Euglucon

Bentuk sediaan Kaptab 5 mg, Tablet 2,5 dan 5 mg Stabilitas Penyimpanan Stabil jika disimpan dalam keadaan kering, jauh dari sinar matahari langsung. Farmakologi Umum

Indikasi : Diabetes Melitus Tipe II ringan-sedang

Kontraindikasi Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO golongan sulfonilurea lainnya. Porfiria. Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma. Penggunaan OHO golongan sulfonilurea pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal merupakan kontraindikasi, namun glibenklamid dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan. Diperkirakan mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Komplikasi diabetes karena kehamilan. (4)

III.

Farmakodinamik
9

Mekanisme Kerja Kerja utama sulfonylurea adalah meningkatkan rilis insulin dari pankreas. Diduga terdapat dua mekanisme kerja tambahan-suatu penurunan kadar glucagon serum dan suatu efek ekstrapankreatik dengan mengadakan efek potensiasi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran-tetapi kemaknaan klinisnya masih dipertanyakan.

Gambar 2 : mekanisme kerja sulfonylurea pada pankreas


A. Rilis Insulin dari Sel-sel B pankreas: Sulfonylurea berikatan dengan suatu reseptor

sulfonylurea yang berdaya afinitas tinggi 140 kDa yang dihubungkan dengan suatu kanal kalium yang sensitif ATP yang menyebabkan aliran ke dalam sel B. Dengan mengikat satu silfonylurea berarti menghambat aliran ion kalium ke luar melalui kanal dan menyebabkan terjadinya depolarisasi. Sebaliknya, depolarisasi membuka kanal kalsium yang dibuka oleh voltase dan menyebabkan aliran kalsium ke dalam dan terjadi rilis insulin. Penyakat kanal kalsium dapat mencegah kerja sulfonylurea in
10

vitro, tetapi diperlukan 100-1000 kali konsentrasi penyakat kalsium dari kadar terapeutik biasa untuk mencapaiefek penyakat seperti yang simaksud tersebut, diduga karana kanal kalsium sel-sel B tidak serupa dengan kanal kalsium tipe L dari sistem kardiovaskular. Lebih jauh, diazoxide, suatu pembuka kanal kalsium yang menyerupai thiazide, menetralisasi efek insulinotropik sulfonylurea (seperti pula glukosa). Pengamatan tersebut juga memberikan suatu penjelasan mengenai efek hiperglikemia dari diuretika thiazide. Selain menyebabkan depolarisasi sel B melalui hambatan kalan kalium,sulfonylurea mungkin memiliki fungsi selular tambahan, karena hingga 90% protein yang mengikat sulfonylurea terletak pada membran intraseluler, termasuk granul sekretori. Telah dibuktikan bahwa sulfonylurea mengadakan potensiasi eksositosis pada granul yang mengandung insulin dengan langsung bekerja pada protein pengikat tersebut.
B. Penurunan Konsentrasi Glucagon Serum: Sekarang telah diterapkan bahwa

pemberian sulfonylurea pada diabetes tipe 2 secara kronis dapat menurunkan kadar glucagon serum. Keadaan tersebut dapat berperan terhadap efek hipoglikemik dari obat. Mekanisme efek supresi sulfonylurea pada kadar glucagon tersebut tidak jelas tetapi diduga melibatkan hambatan tidak langsung yang disebabkan oleh peningkatan rilis baik pada insulin maupun somatostatin, yang menghambat sekresi sel A. Dengan tidak adanya sel B, seperti pada pasien dengan diabetes tipe 1 atau pada tikus dengan diabetes yang diinduksi oleh streptozosin, maka sulfonylurea sesungguhnya menghasilkan sedikit peningkatan glucagon. Telha dibuktikan bahwa reseptor sulfonylurea berhubungan dengan suatu kanal ion kalium dalam membran selA. Diduga ketika sulfonylurea berikatan dengan reseptor tersebut, kanal ion menutup untuk mendepolarisasi sel, sehingga menyebabkan aliran masuk kalsium dengan rilis glucagon. Keberadaan sel-sel B yang bersebelahan dalam pulau-pulau yang utuh mencegah respons tersebut, karena sulfonylurea merilis sejumlah besar insulin yang hasil akhirnya merupakan penghambat sel-sel A.
C. Potensiasi Kerja Insulin pada Jaringa Sasaran: Terdapat bukti bahwa terjadi

peningkatan ikatan insulin pada reseptor jaringan selama pemberian sulfonylurea pada pasien dengan diabetes tipe 2. Suatu peningkatan jumlah reseptor akan meningkatkan efek yang dicapai pada suatu konsentrasi agonis yang diberikan; kerja sulfonylurea yang demikian diharapkan memberikan efek potensiasi pada kadar insulin pasien
11

yang rendah seperti pula pada pemberian insulin eksogen. Namun, efek in vivo tersebut tidak terbukti apabila insulin ditambahkan secara in vitropada jaringan sasaran insulin. Tambahan lagi, pada diabetes tipe 1 tanpa sekresi insulin endogen, terapi dengan sulfonylurea perlu dibuktikan meningkatkan kontrol glucosa darah, meningkatkan sensitivitas pemberian insulin ataupun meningkatkan ikatan reseptor dengan insulin. Pemgamatan tersebut dengan tegas menolak suatu efek potensiasi langsung sulfonylurea terhadap kerja insulin. Lebih tepatnya, pengamatan tersebut menimbulkan dugaan terjadinya suatu manfaat sekunder efek metabolik yang dihasilkan dari penurunan glikemia atau kadar asam lemak seperti sulfonylurea meningkatkan rilis insulin pada pasien diabetes tipe 2. (5)

IV.

Farmakokinetik
12

Semua golongan sulfonilurea diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral. Dapat diminum bersama makanan. gliburid lebih efektif diminum 30 menit sebelum makan. Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar terikat pada protein plasma terutama albumin (70-99%). Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan bahwa, glibenklamid diserap sangat baik (84 9%). Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah pemberian kadar dalam plasma hanya tinggal sekitar 5%. Masa kerja sekitar 15 = 24 jam. Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif. Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3cis, sedangkan metabolit lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang diakumulasi. Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam. Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam tubuh, walaupun dalam pemberian berulang.

Glibenclamide memiliki sedikit efek yang tidak diinginkan selain dari potensinya untuk menyebabkan hipoglikemia. Warna kemerahan pada wajah (flushing) jarang dilaporkan setelah mengkonsumsi ethanol. Gliburide tidak menyebabkan retensi air-seperti yang terjadi pada chlorpromide-tetapi sedikit meningkatkan klirens air bebas. (5)

13

V.

Toksisitas

Efek samping Efek samping glibenclamide umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung. Gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obatobat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang. Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan. Adverse reaction Hipoglikemik, CNS (asthenia, tremor, nyeri, insomnia, depresi, konfusi), dermatologik (reaksi alergi kulit, eksema, pruritis, urtikaria), GI (mual, rasa terbakar), hematologi (leukopenia, agranulositosis, eosinofilia). (4)

Pengaruh

- Terhadap Kehamilan : Faktor risiko kehamilan FDA : Kategori C Penggunaan OHO golongan sulfonilurea tidak dianjurkan pada wanita hamil Glibenklamid tidak terbukti secara signifikan dapat melintasi plasenta, namun sebuah penelitian retrospektif menunjukkan bahwa risiko terjadinya eklampsia pada penggunaan

14

glibenklamid lebih tinggi dibandingkan penggunaan insulin,juga meningkatkan insidensi fototerapi pada neonatus.

- Terhadap Ibu Menyusui : Penggunaan OHO golongan sulfonilurea tidak dianjurkan pada ibu menyusui, walaupun tidak terkumpul bukti signifikan yang menunjukkan glibenklamid dapat memasuki ASI jika diberikan pada ibu menyusui. Interaksi - Dengan Obat Lain :

Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik Analgetika sulfonilurea. (azapropazon, fenilbutazon, dan lain-lain): meningkatkan efek

Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang mengganggu toleransi glukosa. Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik Antibakteri (kloramfenikol, kotrimoksasol, 4-kuinolon, sulfonamida dan trimetoprim): meningkatkan efek sulfonilurea

Antibakteri rifampisin: menurunkan efek sulfonilurea (mempercepat metabolisme) Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik Antijamur: flukonazol dan mikonazol menaikkan kadar plasma sulfonilurea Anti ulkus: simetidin meningkatkan efek hipoglikemik sulfonilurea Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral) antagonis efek hipoglikemia Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai efek aditif terhadap OHO Penyekat adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik dan menutupi gejala peringatan, misalnya tremor Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik Urikosurik: sulfinpirazona meningkatkan efek sulfonilurea. (4)

15

VI.

Penyelidikan yang telah/pernah dilakukan orang lain

1. Kerja glibenklamid pada fungsi jantung dan insiden aritmia pada jantung yang

sehat dan diabetes

Saluran Myocardial kalium ATP-dependent sarcolemmal (KATP), yang biasanya tertutup oleh tingginya konsentrasi ATP, terbuka selama iskemia ketika ATP menurun mengakibatkan efflux K +. Hal ini akan mengurangi durasi potensial aksi(APD) akhirnya mengurangi waktu masuknya Ca2 + dan Ca2 + overload. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian itu mungkin terlibat dalam perlindungan terhadap aritmia dan dalam mekanisme preconditioning iskemik. Sulfonilurea, digunakan sebagai agen hipoglikemik untuk pengobatan diabetes tipe 2 juga memblokir saluran miokard KATP memperpanjang APD selama iskemia, yang dengan membiarkan Ca2 + entri untuk jangka waktu yang lama, berpotensi membahayakan jantung. Temuan kontroversial telah dilaporkan mengenai efek perlindungan dari sulfonilurea. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Negroni, Del Valle, dan Lascano menemukan fungsi klinis pada jantung model hewan besar yang relevan. Pengaruh glibenklamid, sebuah sulfonilurea, telah dipelajari dalam hewan domba yang mengakibatkan iskemia selama 12 menit. Glibenclamide (0,4 mg / kg) benar-benar memblokir saluran KATP, menghasilkan efek yang merugikan pada reperfusi-induced aritmia dan pemulihan miokard dari berhentinya jantung pada hewan normal. Efek Adverse tersebut lebih terlihat pada domba diabetes yang diinduksi aloksan, dimana dosis yang lebih rendah (0,1 mg / kg) menghambat pembukaan saluran KATP yang memperburuk pemulihan mekanik dan kejadian aritmia. Namun, glibenklamid tidak menghapus preconditioning iskemik terhadap aritmia yang henti jantung pada hewan normal. Karena domba dengan diabetes tidak mempunyai cardioprotective fenomena, mungkin karena disfungsi saluran KATP, tidak mungkin untuk menilai efek glibenklamid pada preconditioning dalam kondisi patologis. Sebagai kesimpulan, pada hewan besar, glibenklamid mengganggu terbukanya saluran KATP selama iskemia-reperfusi akut baik pada hewan normal dan diabetes. Oleh karena itu, meskipun beberapa penelitian mengklaim ada penambahan risiko kardiovaskular karena glibenklamid, Negroni dan peneliti lainnya menyimpulkan farmakologis agen ini harus diselidiki lebih lanjut untuk memastikan administrasi aman pada pasien dengan penyakit jantung. (6)
16

Glibenclamide menurunkan inflamasi, vasogenic edema, dan aktifasi caspase-3 setelah perdarahan subarachnoid Perdarahan subarachnoid (SAH) menyebabkan cedera otak sekunder karena vasospasme dan peradangan. Penelitian ini mempelajari model tikus dari SAH ringan-sampai sedang ditujukan untuk meminimalkan iskemia / hipoksia untuk mengetahui peran reseptor sulfonilurea 1 (SUR1) dalam respon inflamasi disebabkan oleh SAH. mRNA untuk Abcc8, yang mengkode SUR1, dan SUR1 protein terdapat banyak di korteks yang berdekatan dengan SAH, dimana tumor necrosis factor- (TNFa) dan faktor nuklir (NF) kB memberi sinyal yang menonjol. Dalam percobaan in vitro ditemukan bahwa transkripsi Abcc8 dirangsang oleh TNFa. Untuk mengetahui konsekuensi fungsional SUR1 setelah SAH, mereka mempelajari pengaruh inhibitor SUR1 selektif, yaitu glibenklamid. Peneliti memeriksa permeabilitas barier (imunoglobulin G, IgG ekstravasasi), dan ternyata berkorelasi dengan lokalisasi protein persimpangan ketat, zona occludens 1 (ZO-1). SAH menyebabkan peningkatan besar dalam permeabilitas barier dan mengganggu lokalisasi junctional normal ZO-1. Glibenklamid secara signifikan mengurangi kedua efek tersebut. Selain itu, SAH menyebabkan kenaikan besar dalam tanda peradangan, termasuk TNFa dan NFB, dan tanda cedera sel atau kematian sel, termasuk endositosis IgG dan aktivasi caspase-3, dengan glibenklamid secara signifikan mengurangi efek ini. Peneliti (Simard et al) menyimpulkan bahwa blok SUR1 oleh glibenklamid dapat memperbaiki beberapa efek patologis yang berhubungan dengan peradangan yang mengarah pada disfungsi kortikal setelah SAH. (7)

Observasi

pembelajaran

prospektif

untuk

menentukan

ukuran

keberhasilan

glibenclamide pada wanita dengan gestational diabetes melitus

Sebuah penelitian dilakukan untuk menentukan parameter yang terkait dengan keberhasilan terapi pada penderita diabetes gestasional yang diobati dengan glibenclamide.

Penelitian ini meneliti 69 penderita diabetes gestasional yang gagal terapi diet diobati dengan
17

glibenclamide. Tidak memadainya kontrol glikemik pada glibenclamide dosis maksimum (10 mg b.i.d) dianggap kegagalan pengobatan. Tingkat kegagalan glibenclamide dihitung dan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi keberhasilan dengan glibenclamide dianalisis antara kelompok keberhasilan dan kegagalan menggunakan chi2 atau Student'st tes. Hasilnya tingkat kegagalan glibenclamide adalah 18,8%. Usia kehamilan pada inisiasi glibenclamide (p <0,01), gula darah puasa perlakuan awal (p <0,001), dan nilai 1-jam postprandial (p <0,001) adalah satu-satunya faktor signifikan secara statistik antara kedua kelompok. Keberhasilan glibenclamide diansumsikan jika gagal diet terjadi setelah 30 minggu, atau gula darah puasa adalah <110 mg / dl dan 1-jam postprandials adalah <140 mg/dl (sensitivitas 98%, spesifisitas 65%). Chmait member kesimpulan penderita diabetes Gestational yang gagal terapi diet setelah 30 minggu kehamilan atau gula darah puasa <110 mg / dl dan 1-jam postprandials <140 mg / dl melakukannya dengan baik pada terapi glyburide. (8)

2. Pengobatan jangka panjang pada Type 2 Diabetic dengan Glimepiride

(Amaryl): perbandingan dengan Glibenclamide Sebuah internasional prospektif, percobaan double-blind yang membandingkan nilai terapeutik jangka panjang glimepirid dengan glibenklamid pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Pasien yang stabil dengan glibenklamid secara acak diberikan glimepirid 1mg (524 pasien) atau glibenklamid 2,5 mg (520 pasien). Kelompok perlakuan dibandingkan sehubungan dengan usia (60,2 tahun), indeks massa tubuh (26.5 kg/m2), durasi diabetes (5,0 tahun) dan kadar glukosa darah puasa (163 mg / dl [9.0 mmol / l]). Dosis yang diberikan meningkat bertahap, sampai dengan 8 mg untuk glimepirid (sekali sehari) dan 20 mg untuk glibenklamid (> 10 mg sebagai dosis terbagi), sampai kontrol metabolik (glukosa darah puasa 150 mg / dl [8.3 mmol / l]), atau dosis maksimum tercapai. Setelah satu tahun pengobatan, pasien memasuki penelitian lebih lanjut. Hasil laboratorium untuk evaluasi kontrol metabolik, ditemukan rata-rata hemoglobin terglikasi dan rata-rata glukosa darah puasa, adalah 8,4% dan 174 mg / dl (9,7 mmol / l) untuk glimepirid dan 8,3% dan 168 mg / dl (9,3 mmol / l) untuk glibenklamid. Perbedaan antara kelompok perlakuan tidak dianggap relevan secara klinis
18

menurut peneliti. Secara statistik rendahnya insulin puasa dan rendahnya nilai C-peptida ditemukan pada pasien glimepirid dibandingkan dengan glibenklamid (perbedaan: / [p = 0,04] insulin, -0,92 U ml; C-peptida, -0,14 ng / [p = 0,03] ml). Kedua kelompok perlakuan menunjukkan profil keamanan setara. Adverse effect konsisten dengan sifat populasi pasien diabetes yang telah dipelajari. Lebih sedikit terjadi reaksi hipoglikemia dengan glimepirid dibandingkan dengan glibenklamid (105 banding 150 episode). Pada 457 follow up pasien ditemukan glimepiride (1 - 8 mg) sekali sehari memberikan kontrol metabolik setara dengan dosis lebih tinggi (2,5-20,0 mg) glibenklamid. (9)

VII.

Pembahasan
19

Patofisiologi Diabetes Melitus type 2 (DMT2) dan implikasi klinis Diabetes mellitus tipe 2 adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan adanya kelainan permanen dari sistem metabolisme tubuh berupa kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia). Hal ini dapat terjadi karena insulin tubuh tidak dapat bekerja dengan efektif atau tubuh (sel pankreas) tidak mampu menghasilkan hormon insulin yang memadai atau kedua-duanya. Dengan demikian kelainan patologi yang mendasari yang terjadi pada penderita diabetes adalah kegagalan memproduksi insulin (defisiensi insulin) atau kegagalan memanfaatkan insulin ( resistensi insulin) ataupun keduanya akan menimbulkan peningkatan kadar gula darah serta hasil metabolisme lainnya. Patofisiologi DMT2 sangat kompleks; Pada awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin dalam upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel pankreas akan mensekresikan insulin lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini toleransi glukosa dapat masih normal, dan suatu saat akan terjadi gangguan dan menyebabkan Gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes. Selanjutnya, apabila keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai beban glukosa yang terus menerus terjadi, sel pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah, disertai peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak yang mempengaruhi kadar gula darah puasa dan pospandrial yang sangat karakteristik pada DMT2. Akhirnya sekresi insulin oleh sel pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia yang bertambah berat dan terus menerus berlangsung. Dalam perjalanan terjadi DMT2 sel beta pankreas pada awalnya mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan sensitifitas terhadap insulin. Mekanisme adaptasi ini diduga melalui peningkatan proses neogenesis atau pembentukan sel sel baru, atau terjadi peningkatan kelompok sel beta menjadi hipertrofi, atau mungkin akan terjadi kehilangan sel beta melalui proses apoptosis bahkan terjadi nekrosis. Pada keadaan terakhir ini sel beta sudah tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah. Disfungsi sel dalam sekresi insulin merupakan salah satu dari 4 gangguan metabolic pada penderita DMT2. Gangguan metabolic lain adalah obesitas, kegagalan aksi insulin dan peningkatan glukosa endogen (EGO). Meskipun demikian, kenyataannya disfungsi sel beta, kegagalan aksi insulin dan obesitas merupakan substansi gangguan metabolic utama yang terjadi pada individu sebelum terjadi DMT2 yang berpengaruh dalam perkembangan toleransi glukosa normal (NGT) sampai terjadi gangguan toleransi glukosa (IGT), pada akhirnya
20

menjadi DMT2. Pada penelitian cross-sectional, individu dengan IGT pada umumnya lebih sering ditemukan pada keadaan obes dan resistensi insulin dibanding pada individu NGT. Sedangkan pada IGT, EGO menggambarkan gangguan produksi glukosa dari organ hepar tidak terjadi peningkatan. Kegagalan sekresi insulin pada IGT sebagai penyebab terjadi peningkatan glukosa darah masih sering dipertanyakan. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa terdapat respon yang rendah pada awal sekresi yang terjadi pada beberapa menit setelah diberikan glukosa baik intravena maupun oral pada insididu IGT dibanding pada NGT. Respon awal sekresi insulin yang rendah merupakan tahapan awal perkembangan diabetes mellitus pada individu yang mempunyai factor risiko. Meskipun demikian, dapat ditemukan juga keadaan sekresi insulin yang normal bahkan meningkat pada NGT maupun IGT. Hal yang sama juga didapatkan adanya respon sekresi insulin fase akhir yang rendah atau lebih tinggi pada IGT dibanding NGT. Hal ini menjadi menarik perhatian dalam upaya menggambarkan patogenesis DMT2 dan menjelaskan terdapat individu IGT yang tidak berkembang menjadi DMT2. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian yang dilakukan secara prospektif pada individu non-diabetes mempunyai karakteristik gangguan metabolic tunggal dan dalam beberapa tahun berkembang menjadi diabetes. Hal ini menggambarkan bahwa adanya metabolic yang abnormal sebagai faktor predisposisi diabetes. Dalam penelitian ini, keadaan obes dan resistensi insulin diprediksikan akan berkembang menjadi diabetes. Sedangkan EGO basal tidak menunjukan kearah prediksi perkembangan diabetes. Respon sekresi insulin awal merupakan prediksi terjadi Diabetes walaupun tidak semuanya penelitian menemukan hal tersebut. Hal ini mengggambarkan bahwa dua keadaan aksi insulin dan sekresi insulin merupakan factor redisposisi pada NGT menjadi Diabetes. Komplikasi Pada saat ini Diabetes mellitus tipe 2 ( DMT2) telah menjadi epidemik global di seluruh dunia selain akibat meningkatnya prevalensi juga secara tidak langsung meningkatkan biaya kesehatan yang menjadi beban baik bagi penderita maupun negara. Hal ini terkait dengan peningkatan insidensi dan prevalensi komplikasi akibat diabetes adalah membutuhkan pengelolaan medis secara terus menerus serta melakukan edukasi terhadap penderita dalam upaya mencegah baik komplikasi akut maupun kronik. Prevalensi komplikasi baik akut maupun kronik meningkat disebabkan oleh kelainan metabolik kronik DMT2 secara progresif. Kadar gula darah yang tinggi dan terus menerus dapat menyebabkan suatu keadaan gangguan pada berbagai organ tubuh. Seperti telah dipahami bersama, bahwa hiperglikemia
21

yang berlangsung lama dan terus menerus sangatlah jelas akan meningkatkan resiko terjadi komplikasi makroangiopati maupun mikroangiopati. Penelitian menyimpulkan bahwa penurunan kadar A1c lebih besar pengaruhnya terhadap resiko terjadinya komplikasi. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa pemberian baik metformin maupun glibenklamid akan menurunkan insidensi komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. UKPDS, menyatakan perbaikan komplikasi makrovasluler akan menurunkan angka kematian terutama pada penderita obese yang diberikan metformin. Penurunan angka kesakitan dan kematian ini lebih banyak ditemukan dibandingkan pada penderita yang diberikan sulfonylurea dan insulin meskipun secara keseluruhan tidak ada perbedaan dalam hal kontrol glikemia. Komplikasi kronis paling utama adalah Penyakit kardiovaskuler, Stroke, Diabetic foot, Retinopati, serta Nefropati Diabetika. Dengan demikian sebetulnya kematian pada Diabetes terjadi tidak secara Iangsung akibat hiperglikemianya, tetapi berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka penderita DM 5 x lebih besar untuk timbul gangren, 17 x Iebih besar untuk menderita kelainan ginjal dan 25 x Iebih besar untuk terjadinya kebutaan. (10) Implikasi Penatakasanaan DMT2 Pada dasarnya pengobatan pada DMT2 ditujukan pada disfungsi sel beta dan resistensi insulin. Pada keadaan normal, aksi insulin tidak hanya meningkatkan ambilan dan penggunaan glukosa di perifer tetapi juga mensupresi glukosa endogen yang diproduksi oleh sel hepar. Pada keadaan adanya resistensi insulin, maka kedua keadaan tersebut terjadi kegagalan, yaitu gagalnya ambilan glukosa oleh sel sel otot dan gagalnya supresi glukosa endogen, selanjutnya menimbulkan hiperglikemia yang sangat khas pada DMT2. Sedangkan obat yang meningkatkan rangsangan terhadap sel pankreas terjadi sekresi insulin berlebih (Insulin secretagogue) sehingga terjadi hiperinsulinemia menyebabkan penurunan kadar glukosa darah. Sulfonylurea salah satu obat diabetes paling lama dan sering digunakan dalam mengontrol kadar glukosa darah. Golongan obat ini dapat menurunkan A1c sebesar 1- 2%. Pada umumnya sering digunakan 1 atau 2 kali perhari untuk mengontrol glukosa darah post prandial. Pada umumnya dengan penurunan kadar glukosa darah akan menurunkan risiko penyakit kadar glukosa darah, walaupun demikian terdapat penelitian yang menyatakan bahwa sulfonylurea dapat menyebabkan kejadian penyakit kardiovaskuler. Sejak tahun 1970 diketahui SU meningkatkan kematian akibat kardiovaskuler
22

pada penderita yang menggunakan SU. Hal ini berkaitan langsung dengan mekanisme SU dalam meningkatakan sekresi insulin. SU dalam sel pancreas akan berikatan dengan sub unit adenosine Triphosphate (ATP)- sensitive potassium channel yang akan menutup. Akibat menutupnya ATP-sensitive pottasium channel ini akan mneyebabkan terjadi influks ion kalsium ke dalam sel, selanjutnya terjadi eksositosis granule insulin. Pada umumnya proses ini tidak hanya terjadi pada sel pankreas, tetapi juga terjadi pada tempat lain yang mempunyai terjadi ikatan dengan ATP-sensitive pottasium channel yang terdapat di sel otot jantung dan sel otot polos. Berbagai Sulfonylurea yang beredar selama ini ternya mempunyai reseptor yang berbeda. Pada membran sel beta didapat SUR-1 sedangkan pada membran sel otot jantung dan otot skelet didapat SUR-2A dan membran sel otot polos SUR-2B. Karena golongan SU ini termasuk insulin secretagouge maka semua mempunyai SUR-1 sehingga terjadi sekresi insulin, tetapi tidak semua SU mempunyai reseptor di organ jantung, seperti Tolbutamid, Glicazide, dan glimepiride. Dengan terjadi ikatan SU dengan reseptornya pada jaringan organ jantung dapat memberi keuntungan melalui mekanisme relaksasi sel otot polos pembuluh darah yang memperbaiki aliran pada koroner, mengurangi kerusakan jaringan miokard akibat iskemia, dan proteksi kardiomiosit dari pembentukan energi mitokondria. Phenomena miokard toleran terhadap periode iskemia ( setelah terjadi iskemia yang lama dapat menyebabkan sedikit kerusakan dibanding dengan kondisi yang tidak terjadi iskemia ) yang dikenal sebagai prekondisional iskemia . Peran SU dalam kendali Glukosa Darah Pola strategi optimalisasi dosis obat anti diabetik saat ini mengalami perubahan dan dibutuhkan untuk mencapai target kontrol glikemi yang diharapkan untuk mengurangi risiko komplikasi penderita diabetes mellitus tipe 2. Perubahan target pada kadar gula darah puasa, post prandial dan HbA1c telah disepakati dan menjadi pemeriksaan yang rutin dalam praktek sehari hari. Diterimanya target terapi baru ini sebagai upaya mencapai dosis optimal yang memberikan hasil yang maksimal. Strategi optimalisasi dosis pemberian obat anti diabetik tidak hanya berlaku pada monotherapi, juga dengan upaya terapi kombinasi. Dosis maksimum pada obat anti diabetes seringkali terdapat keterbatasan individu yang haris menjadi pertimbangan dalam hal untung rugi bagi penderita. Target kontrol glikemia dapat dicapai secara efektif dengan monoterapi obat anti
23

diabetes (OAD), walaupun demikian dalam kenyataannya, kebanyakan penderita diabetes masih mempunyai kadar gula darah dengan kontrol yang buruk akibat terjadi kegagalan sekunder. UKPDS menyimpulkan bahwa 53% penderita baru DMT2 dengan terapi Sulfonilurea, setelah 6 tahun ternyata memerlukan terapi tambahan insulin dalam upaya mengontrol glikemiknya. Sedangkan pada penelitian lainnya, menyimpulkan bahwa DMT2 dengan terapi kombinasi konvensional lebih awal antara SU dengan metformin, meningkatkan tercapainya glikemik kontrol dengan baik. Hambatan utama dalam mencapai hasil yang baik dalam pengelolaan DMT2 adalah kompleksnya patofisiologi DMT2, keterbatasan pengobatan dan kepatuhan yang buruk dari penderita. Salah satu keterbatasan ini adalah adanya patofisiologi DMT2 sangat komplek, yaitu adanya kegagalan sekresi insulin dan resistensi insulin yang mendasar kelainan selanjutnya. Apabila kedua keadaan tersebut terjadi pada saat bersama dan timbul secara simultan menyebabkan hiperglikemia yang manifest sebagai DMT2. Dua hal yang menarik perhatian insulin secretagouge yang berpotensi terjadi efek kardiovaskuler yang tidak diharapkan. Pertama, Secara teoritis peningkatan kadar insulin yang tinggi mempromosi proses atherosklerotik, walaupun pada penelitian invivo terakhir dijelaskan bahwa secara klinis tidak berdasar alasan tersebut serta penelitian UKPDS memperlihatkan bahwa penurunan HbA1c berhubungan dengan penurunan risiko 3-4 kali kejadian infark miokard. (10) Hal kedua adalah perhatian terhadap kemungkinan SU mempunyai efek kardiotoksik, yang dihubungkan dengan inhibisi reseptor SU pada jantung (kardiomiosit) lebih besar atau lebih kecil, seperti juga terjadi pada pancreas. Adanya kontroversi penggunaan SU terkait dengan adanya efek farmakologi yang sama pada sel kardiomiosit, seperti adanya sifat aterogenititas insulin serta Insulin secretagogue mempunyai efek kardiovaskuler yang tidak diharapkan (adverse effect). Walaupun demikian tidak semua SU bisa menyebabkan gangguan yang sama pada system kardiovaskuler. Sifat aterogenititas insulin Dalam penelitian in vitro insulin memperlihatkan berpotensi pada pro-aterosklerotik, melalui stimulasi akumulasi kolesterol seluler dan stimulasi proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Sedangkan pada invivo, hiperinsulinemia berhubungan dengan peningkatan kolesterol
24

VLDL, penurunan kolesterol HDL, penurunan ukuran partikel kolesterol LDL (small dense LDL) dan hipertensi, serta insulin dapat juga menstimulasi profilerasi sel otot arterial. Meskipun demikian, pada penelitian klinik terakhir, diduga peningkatan kadar insulin akibat sulfonylurea atau pada terapi insulin intensive menunjukan lebih banyak penurunan dibanding peningkatan risiko kardiovaskuler penderita DMT2. Data terbaik dari penelitian UKPDS adalah dengan sample yang besar dan lama penelitian yang panjang pada penderita DMT2. Dari 3867 subjek dilakukan pengambilan sample secara acak dilakukan pengobatan secara konservatif dan intensif dalam upaya mengontrol kadar gula darah selama 10 tahun. Pada kelompok intensif, menunjukan adanya hubungan antara penurunan risiko kematian kardiovaskuler sebesar 16% dan Pada akhir penelitian menunjukan adanya penurunan sampai HbA1c 7 % pada kelompok intensif dan 7.9% pada kelompok konservatif. Perbedaan ini menunjukan efek menguntungkan kardiovaskuler pada kelompok intensif, dan setiap HbA1c turun 1% menurunkan risiko infark miokard. Selain itu, terlepas dari adanya kadar insulin puasa lebih tinggi dan berat badan yang berlebih pada kelompok yang diberikan SU dibanding dengan kelompok diet dan Olah raga. Individu yang diberikan SU manapun atau insulin menunjukan risiko kardiovaskuler lebih rendah. Dapat disimpulkan bahwa SU secara pharmakologi meningkatkan kadar insulin dan mempunyai risiko kardiovaskuler lebih rendah pada DMT2. Insulin secretagogue mempunyai efek kardiovaskuler yang tidak diharapkan. Insulin secretagogue, SU akan menstimulasi sekresi insulin melalui peninfkatan ratio Adenosinetriphosphate (ATP) dengan Adenosinediphosphate dan sel beta pancreas. Penutupan ATP-sensitif pottasium channel akibat depolarisasi membran dan influx kalsium kedalam sel beta pankreas. Peningkatan kalsium intraseluler menyebabkan sekresi granul insulin. K-ATP channel juga terdapat banyak tidak hanya di sel beta pancreas tetapi juga di cardiomiosite dan otot polos arterial. Dengan demikian SU yang terikat pada K-ATP channel juga akan diikat di cardiomiosit dan otot polos arterial. Di Cardimomiosit memediasi keadaan prekondisional iskemia. Prekondisonal iskemia ini menunjukan adanya paparan kardiomiosit akibat episode iskemia menginduksi adaptasi sel yang menyebabkan sel lebih resisten terhadap kerusakan akibat episode iskemia. Sulfonylurea generasi baru yang tidak merusak prekondisional iskemia.
25

Cardiomiosit mempunyai K-ATP channel mempunyai dua sisi : dalam membrane sarcolema dan membrane mithocondia. Afinitas terhadap SU relatif berbeda pada kedua tempat tersebut. Penelitian oleh Mocanu menunjukan ada dua kelompok SU/ Glyburid dan glimepiride, keduanya menghambat K-ATP channel sarcolema, hanya glibenklamid yang menginhibisi KATP channel mitokondria. Hal lain disimpulkan dengan tegas bahwa K-ATP channel di mitokondrial yang memediasi prekondisional iskemi. Dalam penelitian ini glibenklamid menginhibisi K-ATP channel mitokondria, merusak prekodisional iskemia dan dan meningkatkan ukuran infark. Sedangkan glimepiride tidak menyebabkan inhibisi K-ATP channel sehingga tidak menyebabkan prekondisional iskemia atau pada ukuran infark. Keterbatasan SU sebagai terapi tunggal Obat anti diabetes. UKPDS mendapatkan hampir seperempat penderita DMT2 dengan control glikemik yang baik ( A1C < 7%) selama menjalani pengobatan 3 tahun. Sedangkan hampir setengahnya penderita yang mendapat terapi SU selama 3 tahun akan mendapat insulin dan control glikemik baru tercapai pada tahun ke 6-9. Hal ini menggambarkan adanya konsistensi kerusakan pada sel beta pancreas yang mendapatkan terapi tunggal OAD, artinya dengan perencanaan makan, aktifitas fisik dan pemberian OAD tunggal akan terjadi kegagalan sekunder, sehingga menyebabkan kontrol glikemik yang makin memburuk. (10)

VIII.

Kesimpulan

Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemi dan dapat berakibat fatal pada penderitanya. Penatalaksanaan diabetes mellitus dapat berupa farmakologi dan non farmakologi. Glibenklamide adalah salah satu golongan sulfonylurea yang digunakan untuk terapi diabetes mellitus. Obat ini mempunyai reaksi hipoglikemik yang kuat jika dibandingkan dengan glimepiride. Pada pasien diabetes gestational yang
26

gagal terapi dengan diet, dapat diterapi dengan glibenclamide. Selain untuk terapi diabetes, glibenclamide dapat digunakan untuk menurunkan inflamasi, vasogenic edema, dan aktifasi caspase-3 setelah perdarahan subarachnoid. Penelitian lebih lanjut mengenai glibenclamide dibutuhkan untuk mengetahui keamanan obat ini terhadap pasien dengan kelainan jantung.

Informasi Pasien Selama mengkonsumsi glibenklamid, jangan konsumsi obat lain tanpa seizin dokter atau apoteker. Obat ini hanya berperan sebagai pengendali diabetes, bukan penyembuh. Obat ini hanya faktor pendukung dalam pengelolaan diabetes, faktor utamanya adalah pengendalian
27

diet (pola makan) dan olah raga. Konsumsi obat sesuai dosis dan aturan pakai yang diberikan dokter. Monitor kadar glukosa darah sebagaimana yang dianjurkan oleh dokter. Jika Anda merasakan gejala-gejala hipoglikemia (pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunangkunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, segera hubungi dokter. Jika Anda sudah pernah mengalami hipoglikemia, selalu bawa sekantung kecil gula jika Anda bepergian. Segera makan gula begitu Anda mendapat serangan hipoglikemia. Laporkan pada dokter jika Anda berencana untuk hamil. Obat ini tidak boleh dikonsumsi semasa hamil atau menyusui, kecuali sudah diizinkan oleh dokter

1. Peran glibenclamide dalam pasien diabetes

Diabetes mellitus, penyakit kronis, merupakan salah satu ancaman utama terhadap kesehatan manusia di abad 21. Tipe 2 diabetes muncul sebagai akibat dari kegagalan -sel dikombinasikan dengan resistensi insulin bersamaan (DeFronzo et al, 1992.). pengobatan modern untuk diabetes dengan memonitor berbagai parameter yang disebut sebagai perawatan diabetes. Glibenclamide adalah sulfonilurea generasi kedua digunakan dalam pengobatan noninsulin dependent diabetes (NIDDM). Hal ini dilaporkan bahwa ada kebutuhan untuk pengelolaan terapi glibenclamide pada pasien diabetes tipe 2 yang berada pada risiko mengembangkan satu atau lebih reaksi merugikan karena over penggunaan obat (Yap WS 1998). Ini memiliki efek menguntungkan menurunkan kadar glukosa serum. Hal ini mampu mempertahankan peningkatan yang lebih berkepanjangan di tingkat insulin serum dengan menghambat degradasi insulin dalam sel-sel endotel vaskular hati. inhibisi ini memberikan kontribusi untuk menurunkan kadar glukosa darah pengaruh glibenklamid (Mulder, 1991 dan Prosser, 1985). Hal ini memiliki efek penerima pada lipid serum (Singh, 1992 dan kayu lis, 1988). Kontrol metabolik pada pasien NIDDM gagal untuk merespon
28

terapi dengan glibenklamid dosis maksimum atau Glipizide tidak ditingkatkan dengan beralih ke generasi sulfoniluera alternatif kedua (Martin, 2003;. Peters et al, 1996 dan Simcic, 1991). Keuntungan yang paling penting mengenai pemantauan tingkat glibenklamid serum adalah faktor biaya. Karena ada kontrol glikemik setara dengan glibenklamid bila dibandingkan dengan lain obat generasi kedua, pertimbangan ekonomi mengenai pilihan terapi mungkin sesuai. Ada kebutuhan untuk memodifikasi perilaku resep untuk pengobatan NIDDM di negara-negara seperti India, dan penggunaan terapi glibenclamide terbukti menjadi pendekatan yang paling efektif (Geeta Sharma, 2003). Oleh karena itu, tetap melihat kebutuhan dan keuntungan untuk pemantauan kadar serum glibenklamid, karya ini bertujuan untuk memonitor tingkat serum glibenklamid pada pasien diabetes tipe 2. Bahan dan Metode Bahan Tablet glibenklamid (Dianil 2.5) yang dibeli dari Aventis Pharmaceuticals Limited, Mumbai, India. Glibenclamide zat murni adalah semacam pemberian dari Cadilla Pharmaceutical Limited, Ahmedabad, India. Dietil amina dari S.D. Fine Chemicals, Mumbai, India Asetonitril (HPLC grade) dan dietil eter dari E. Merck Limited, Mumbai, India. Glukosa oksidase-peroksidase (GOD-POD) kit dan HbA1c (glikosilasi hemoglobin) kit dari Excel Diagnostik Pvt. Terbatas., Hyderabad, India dibeli. Studi desain Para pasien yang berpartisipasi dalam penelitian ini berasal dari Mahatma Gandhi Memorial Hospital, Warangal, (AP) India. Studi ini termasuk 57 tipe-2 penderita diabetes baik yang berada di atas 21 tahun, di bawah pengobatan dengan glibenclamide hanya yang diamati dalam penelitian ini setelah menundukkan untuk pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan tes laboratorium standar. Semua pasien telah diberi penjelasan tentang studi dan persetujuan tertulis diperoleh dari mereka. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etika institusional. Penelitian dilakukan sesuai pedoman praktek klinis, sesuai dengan Deklarasi Helsinki. Studi obat (2,5 mg / hari) diambil di pagi hari dengan 100 ml air setelah berkemih. Sampel darah diambil setelah 2 jam pemberian obat (mewakili tingkat puncak obat) dan pada pagi sebelum mengambil obat pada hari berikutnya yaitu puasa sampel serum (mewakili tingkat endapan obat). Sampel darah disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit dan sampel serum yang disimpan di-800C sampai analisis.
29

HPLC instrumentasi Shimadzu kinerja unit kromatografi cair tinggi dilengkapi dengan modul pengiriman LC-8A pelarut, detektor spektrofotometer SPD-10AVP UV-Visible, Kelas CR-10 Data Processor, Rheodyne (dengan kapasitas 20 loop l) Injeksi Port dan Wakosil II C-18 Kolom (kolom baja stainless dari panjang 25 cm dan diameter 4,6 mm dikemas dengan lingkup silika berpori diameter 5, 100 Ao diameter pori) digunakan untuk analisis sampel. Mobile fase terdiri dari buffer asetonitril dan fosfat disesuaikan dengan pH 7,4 dengan dietil amina (65:35 v / v) pada tingkat 1ml/min aliran, UV-deteksi ditetapkan sebesar 230 nm dan sensitivitas 0,001 aufs digunakan untuk analisis. Glukosa serum diperkirakan menggunakan metode peroksidase glukosa-oksidase (Trinder, 1969) pada 510nm dan serum HbA1c diperkirakan menggunakan metode pertukaran ion resin (Trivelli, 1971 dan Bunn, 1981) pada 415 nm menggunakan fotolistrik colorimeter (Systronics). Kurva kalibrasi glibenklamida diserum manusia Glibenklamid pada sampel serum dilengkapi dengan kromatografi kinerja tinggi fase terbalikcair (Nieder et al, 2005). Untuk 100 l serum, 20 l konsentrasi yang berbeda (25-800 ng / ml) glibenklamida ditambahkan diikuti oleh 6 ml dietil eter, dan vortexed untuk 4 menit dan disentrifugasi selama 5 menit pada 3000 rpm. Supernatan itu ditransfer ke tabung lain centrifuge dan diuapkan sampai kering. Residu kemudian dilarutkan dengan 50 l dari fase gerak. Dari l 20 dari solusi ini disuntikkan ke kolom HPLC. Sampel tersebut diekstraksi seperti yang dijelaskan dan luas puncak diperoleh pada konsentrasi yang berbeda dari obat diplotkan terhadap konsentrasi obat tersebut. Kemiringan plot ditentukan dengan metode analisis regresi kuadrat terkecil (r2 = 0,9991) digunakan untuk menghitung konsentrasi glibenklamid dalam sampel tidak diketahui. Waktu retensi glibenclamide adalah 8,5 menit. Analisis statistik Semua variabel disajikan sebagai rata-rata SD. Semua analisa dilakukan dengan menggunakan INSTAT 1,12 (Grafik-Pad Software, Inc, San Diego, CA). Hasil Peak serum obat adalah konsentrasi obat dalam serum yang dikumpulkan 2 jam setelah pemberian obat. Melalui serum obat adalah konsentrasi obat dalam serum yang dikumpulkan pagi hari ketika tidak ada obat diambil tetapi serum menyisihkan jumlah kecil obat diambil
30

hari sebelumnya. Ini dipisahkan dan diplot individual. Korelasi antara obat puncak dan konsentrasi glukosa postprandial serum ditunjukkan dalam Gambar 1 dan hubungan antara konsentrasi melalui obat dan konsentrasi glukosa serum puasa ditunjukkan pada gambar 2. Korelasi antara obat serum puncak dan% HbA1c ditunjukkan pada gambar 3. Tidak ada hubungan antara konsentrasi obat ada serum puncak dan kadar glukosa pasca prandial serta antara obat melalui serum dan konsentrasi glukosa puasa seperti dapat dilihat dari koefisien korelasi (R2) nilai 0,0319, dan 0,0013 masing-masing. Tidak ada hubungan antara konsentrasi obat puncak serum dan% HbA1c sebagaimana dapat diamati dari nilai R2 sebesar 0,0101. Dari 57 pasien, jumlah pasien dengan konsentrasi obat puncak serum dan kadar glukosa postprandial adalah 51, bahwa konsentrasi obat melalui serum dan serum glukosa puasa 22 dan HbA1c nilai ditentukan dalam 8 pasien. Diskusi Tujuan utama dari studi ini adalah untuk memantau diabetes tipe 2 dengan menemukan hubungan linier antara konsentrasi serum glibenklamid dan serum glukosa dan kadar HbA1c. Tujuan ini mendukung laporan sebelumnya yang menekankan kebutuhan untuk titrasi dosis glibenklamid hati-hati untuk mencapai respon terapi yang diinginkan pada diabetes tipe 2. Mereka menemukan perbedaan yang signifikan dalam farmakokinetik dan farmakokinetik yang ada antara kondisi negara tunggal dan mantap (Jaber, 1994). Dalam studi ini kami tidak menemukan korelasi antara dua parameter yang menunjukkan pasien tidak menunjukkan hubungan linear dengan terapi glibenclamide. Dilaporkan bahwa ada kesulitan untuk berhubungan serum glibenklamid dengan respon biologis dalam keadaan penyakit, beberapa situs tindakan sulfonilurea dan variabilitas antarpasien (Pearson, 1985). Penelitian ini bekerjasama dengan pengamatan kita sekarang, yang berdasarkan pengobatan jangka pendek dengan glibenklamid. Karena penelitian kami melibatkan pasien pada terapi kronis, kegagalan untuk menemukan hubungan linear harus dikaitkan dengan kondisi patologis tak dapat dijelaskan dan lain dari pasien selama perawatan jangka panjang. Ada juga laporan yang menunjukkan penghapusan lambat glibenklamid pada pasien NIDDM. Kehidupan setengah lama (15,0 607 jam) menambahkan dukungan untuk penggunaan administrasi dosis sekali sehari (Jonsson, 1994). Itu adalah melaporkan alasan atas kegagalan terapi glibenclamide pada pengobatan jangka panjang. Tipe 2 pasien yang memiliki respon akut hiperglikemia kehilangan insulin tambahan menjadi glukosa. Pada pasien ini, pemaparan sel beta pankreas untuk berkelanjutan tingkat sulfonilurea menginduksi
31

keadaan reversibel dari refractoriness terhadap stimulasi akut dengan sulfonilurea (Karam, 1986). Efek glibenclamide terhadap pelepasan insulin relatif lebih tinggi dibandingkan proinsulin, yang lebih jelas pada pasien glibenklamid dosis rendah. Hal ini karena baik sel beta gangguan pada mereka yang menerima dosis rendah atau karena sensitivitas sulfonilurea berkurang pada orang-orang pada dosis lebih tinggi (bawah peraturan) (Jonsson, 2001). Lebih banyak bukti dukungan datang dari sebuah penelitian di mana tidak ada hubungan ditemukan antara dosis glibenklamid dan konsentrasi glibenklamid dalam serum dan kadar plasma stabil keadaan glibenklamid bervariasi luas terlepas dari dosis (penjahit, 1980). Kejenuhan proses pengikatan membran pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat menjelaskan kurangnya pengaruh dosis sulfonilurea yang lebih tinggi. Percobaan dengan glibenklamid menunjukkan efek insulinotropic mencapai dataran tinggi pada konsentrasi plasma 100 hingga 200 mmol / L, sesuai dengan dosis 10 mg / hari (Stenman, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi glibenklamid tidak meningkatkan kontrol glukosa darah dan hiperglikemia terus bertahan. Bahkan, ditemukan bahwa peningkatan dosis menyebabkan penurunan kontrol glisemik ketimbang perbaikan. Ini mendukung penelitian ini kami karena jumlah pasien yang dapat mencapai euglycemia dengan terapi glibenclamide adalah sangat sedikit dan banyak pasien hiperglikemia persisten meskipun pengobatan dengan glibenclamide selama bertahun-tahun. M. Sai Laxmi et al. : Glibenclamide Terapi di Tipe 2 Diabetes Konsentrasi glibenklamid maksimal plasma secara signifikan lebih tinggi pada euglycemic daripada di negara hiperglikemia (448 Vs 228 mg / L) dan konsentrasi ini puncak yang dicapai lebih cepat di euglycemia daripada di hiperglikemia (3,7 Vs 5,0 jam) (Hoffman, 1994). Ini menunjukkan penyerapan glibenklamid kurang dalam keadaan hiperglikemia. Ini bisa menjadi salah satu alasan untuk menjelaskan kegagalan terapi obat dalam studi ini karena sebagian besar pasien hiperglikemia. Ada manajemen yang buruk dari penyakit seperti dapat dilihat dari korelasi signifikan antara tingkat glibenklamid serum dan glukosa serum dan kadar HbA1c dalam penelitian ini. Jumlah orang yang telah mencapai euglycemia adalah kepatuhan sangat sedikit dan non pasien tentang pemberian obat, yang mungkin karena kondisi ekonomi yang berlaku di antara pasien. Ada bukti untuk mendukung hal ini. Dalam satu penelitian ada hubungan positif antara dosis glibenklamid dan perkembangan penyakit HbA1c menunjukkan, kepatuhan pasien, mendasari kondisi stress, atau kombinasi dari halhal ini (Linda et al, 1997.). Namun, ini merupakan studi retrospektif dan memiliki keterbatasan sendiri.
32

Keseluruhan kesejahteraan pasien lebih baik dan terus menjadi periode sangat jauh lebih lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh program pengajaran 5 hari untuk pasien diabetes pada kualitas hidup mereka 1 dan 2 tahun kemudian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan pasien pasien terstruktur meningkatkan kesejahteraan setelah program pengajaran (Tankova et al, 2004.). intervensi pendidikan yang termasuk interaksi tatap muka, metode reframing pengajaran kognitif dan konten latihan lebih mungkin untuk memperbaiki kontrol glikemik (Ellis, 2004). Namun kontrol glisemik dicapai dalam sebagian besar penelitian ini adalah sederhana dan kebutuhan perbaikan. Dukungan terhadap pernyataan ini datang dari sebuah penelitian metaanalisis di mana intervensi pendidikan dan perilaku menyebabkan hanya perbaikan moderat dalam pengendalian glisemik (Gary, 2003). Penelitian ini tidak cukup untuk mendukung studi di atas dan pekerjaan lebih komprehensif diperlukan dalam arah ini yang akan sangat bermanfaat bagi pasien mencapai manajemen diri yang baik dari penyakit. Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan terapi glibenclamide kronis, kontrol glikemik akan hilang karena desensitisasi dan reseptor bawah peraturan sel . Pasien non kepatuhan merupakan faktor penting bagi hilangnya kontrol glikemik. Hal ini juga menyimpulkan bahwa kontrol glukosa darah tidak meningkat dengan meningkatnya dosis. Penyelidikan ini menunjukkan bahwa program pendidikan pasien intensif secara terus menerus akan sangat meningkatkan kontrol glukosa darah dan membantu dalam keseluruhan kesejahteraan pasien.

Pasal Asli Pengobatan glibenclamide Merekrut-Cell subpopulasi Ke Peningkatan dan berkelanjutan sintetik Basal Insulin Kegiatan
Zhidong Ling, Wang Qidi, Stange Geert ', Peter Ina t Veld,dan Pipeleers Daniel

Penggunaan sulfonilurea dalam pengobatan diabetes didasarkan pada melepaskan insulin-efek pada pankreas sel. Studi ini mengkaji pengaruh in vivo (48-h) dan in vitro
33

perlakuan (24-h) glibenklamid pada fungsional negara dari populasi sel. Kedua kondisi menurunkan kadar insulin seluler dengan > 50% dan menyebabkan peningkatan aktivitas insulin basal biosintetik yang dipertahankan selama paling sedikit 24 jam setelah penghapusan obat. Glibenclamide stimulasi sintesis insulin basal tidak tercapai setelah pemaparan 2-jam, itu diperlukan suatu kalsium tergantung pada translasi dan terlibat aktivitas peningkatan persen diaktifkan-sel ( sel 50% setelah pretreatment glibenklamid vs 8% dalam sel kontrol). The glibenklamid-diaktifkan sel subpopulasi berhubungan dengan degranulated sel Subpopulasi yang diisolasi oleh fluorescenceactivated sel penyortir atas dasar ke samping selular rendah tersebar. pretreatment glibenclamide tidak mengubah selular tingkat oksidasi glukosa tetapi peka sel untuk glucoseinduced sel perubahan redoks metabolisme dan sintesis insulin. Sebagai kesimpulan, paparan kronis glibenklamid hasil dalam degranulation dari subpopulasi dari sel, Yang mempertahankan protein tinggi dan insulin sintetik aktivitas terlepas dari kehadiran obat dan glukosa.

Peneliti

meneliti sel- mereka dengan

yang diisolasi dari tikus glibenklamid-diperlakukan dan -sel diisolasi dari tikus kontrol normal degranulation dalam subpopulasi of baik bahwa -

membandingkan

tanpa atau dengan preincubation dengan glibenklamid.Data menunjukkan perlakuan glibenklamid menyebabkan sel subpopulasi ini

ditemukan untuk menunjukkan sebuah protein tinggi basal dalam populasi -sel, temuan

sintetis aktivitas bahkan dalam adanya obat. Selain menggambarkan ada vivo dari heterogenitas fungsional kami menunjukkan bahwa obat ini, yang digunakan untuk efek stimulasi yang akut

pada pelepasan insulin, diberikannya efek tambahan setelah kronis.

Dari

penelitian

di dapatkan

hasil

bahwa Insulin konten dan aktivitas biosintetik-sel

dari tikus glibenklamid-diobati. Ketika tikus dewasa dirawat selama 2 hari dengan glibenklamid, pankreas mereka konten insulin menurun sebesar 80% dan insulin mRNA konten dengan 30%, sedangkan total protein yang sesuai dan konten RNA tetap tidak berubah.
34

Kesimpulannya eksposur, berkepanjangan tikus sel ke insulin hasil glibenklamid secretagogue di degranulation dari subpopulasi sel dan aktivasi mereka ke tinggi protein dan sintesis insulin, keadaan yang diselenggarakan dalam ketiadaan obat dan glukosa. Ini glibenklamid-induced perekrutan -sel menjadi berubah fungsional adalah kalsium tergantung dan melibatkan translasi kegiatan. Efek ini tidak mengganggu atau mengubah tingkat selular oksidasi glukosa, tetapi membuat sel lebih sensitif terhadap glukosa yang disebabkan perubahan dalam metabolisme redoks, sintesis insulin, dan lepaskan. Data peneliti menunjukkan bahwa -sel pankreas in vivo juga menunjukkan sebuah heterogenitas fungsional dan bahwa degranulated sel Selama pengobatan sulfonilurea sesuai dengan sel dengan aktivitas basal yang ditinggikan.

http://www.clinicalcorrelations.org/?p=500

Clinical Pharmacy Corner: How Do Sulfonylureas Work?

35

You might also like