You are on page 1of 6

Nama : Winanti Cahyami Nim : 0708151229 Tugas Anestesi

Laparoskopi
Definisi Laparoskopi Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan

memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut. Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membran, mudah keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2 cukup, konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir. Kerugian utamanya CO2 ini menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis. Keuntungan Prosedur Laparoskopi Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan karena insisi yang kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu

dan sedikit kemungkinan terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali beraktivitas. Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur. Kerugian Prosedur Laparoskopi Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur precordial, transesofugeal echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara sementara kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan memasang kateter vena central untuk aspirasi gas. Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau prosedur laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema subkutan bisa terjadi, volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai level tinggi dan terdapat krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal serius lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi yang dibuat sewaktu pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak selalu harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi dihentikan. Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani prosedur laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2. Insuflasi CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan tekanan intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga curah jantung menjadi turun sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada saat posisi tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu mencolok dibandingkan posisi anti tredelenburg.

Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2 memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama beberapa menit dimana kenaikan CO2 biasanya mencapai 30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan penurunan pulmonary compliance dan kapasitas residu fungsional serta peningkatan dead space. Evaluasi Preoperasi Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru berat dan gangguan fungsi jantung. Manajemen Intraoperatif. Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum dengan menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu, monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru. Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang adekuat adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan vena perifer.

Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien. Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid intravena, dan obat pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan. Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan membantali seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya butuh penyesuaian. Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali CO2 ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah diubah menjadi prosedur bedah terbuka. Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur laparoskopi. Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi untuk menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau

calcium channel blocker. Pengobatan dengan alpha agonist seperti clonidine atau dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha agonist dapat menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi). Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung yang buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central line, transesofageal ochocardiografi) selama prosedur berlangsung. Manajemen Pasca Operasi Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah prosedur selesai. Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai 42%. Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada saat pasien akan pulang juga diperlukan. Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada port sites kulit dan peritoneum memblock nyeri somatik dan visceral.

Kepustakaan : 1. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management. Lippincott Williams and Wilkins, USA. 2001

2. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw

Hill. New York. 2006.

3. Cole, D.J., Schlunt, M., Adult Perioperative Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology. Mosby. 2004

You might also like