You are on page 1of 5

1.

Sejarah Akuntansi Perkembangan Akuntansi Syariah Sebelum berdirinya pemerintahan Islam, peradaban didominasi oleh dua bangsa besar yang memiliki wilayah yang luas, yaitu Romawi dan Persia. Sebagian besar daerah Timur Tengah saat Rasulullah lahir berada dalam jajahan dan menggunakan bahasa Negara jajahan seperti Syam (yang dijajah oleh Romawi), sedangkan Irak dijajah oleh Persia. Adapun perdagangan bangsa Arab Mekkah terbatas ke Yaman pada musim dingin dan Syam pada musim panas. Pada saat itu, akuntansi telah digunakan dalam bentuk perhitungan barang dagangan oleh para pedagang sejak mulai berdagang sampai pulang kembli. Perhitungan dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan, dan untung-rugi. Selain itu, menurut Syahatah (2001), orang-orang Yahudi, yang saat itu banyak melakukan perdagangan, menetap dan juga telah memakai akuntansi untuk transaksi utang-piutang mereka. Praktik akuntansi pada masa Rasulullah mulai berkembang setelah ada perintah ALLAH melalui Al Quran untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai dan untuk membayar zakat. Perintah ALLAH untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai telah mendorong setiap individu untuk senantiasa menggunakan dokumen ataupun bukti transaksi. Adapun perintah ALLAH untuk membayar zakat telah mendorong umat Islam saat itu untuk mencatat dan menilai asset yang dimilikinya. Berkembangnya praktik pencatatan dan penilaian asset merupakan konsekuensi logis dari ketentuan pembayaran zakat yang besarnya dihitung berdasarkan persentase tertentu dari asset yang dimiliki seseorang yang telah memenuhi kriteria nisab dan haul. Praktik Akuntansi Pemerintahan Islam Kewajiban zakat berdampak pada didirikannya institusi Baitulmal oleh Rasulullah yang berfungsi sebagai lembaga penyimpan zakat beserta pendapatan lain yang diterima oleh Negara. Hawari(1989) dalam Zaid(2001) mengungkapkan bahwa pemerintahan Rasulullah memiliki 42 pejabat yang digaji yang terspesialisasi dalam peran dan tugas tersendiri. Adnan dan Labatjo (2006) memandang bahwa praktik akuntansi pada lembaga Baitulmal di zaman Rasulullah baru berada pada tahap penyiapan personal yang menangani fungsi-fungsi lembaga keuangan Negara. Pada masa tersebut, harta kekayaan yang diperoleh Negara langsung didistribusikan setelah harta tersebut diperoleh. Dengan demikian, tidak terlalu diperlukan pelaporan atas penerimaan dan pengeluaran Baitulmal. Hal sama berlanjut pada masa Khalifah Abu Bakar as Siddik. Perkembangan pemerintahan Islam hingga meliputi Timur Tengah, Afrika, dan Asia di zaman Khalifah Umar bin Khatab telah meningkatkan penerimaan Negara secara signifikan. Dengan demikian, kekayaan Negara yang disimpan di Baitulmal juga semakin besar. Para sahabat merekomendasikan perlunya pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran Negara. Selanjutnya, Khalifah Umar bin Khatab mendirikan unit khusus yang bernama Diwan(dari kata dawwana=tulisan) yang bertugas membuat laporan keuangan Baitulmal sebagai bentuk akuntabilitas Khalifah atas dana Baiitulmal yang menjadi tanggung jawabnya(Zaid, 2001). Selanjutnya, reliabilitas laporan keuangan pemerintahan dikembangkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (681-720M) berupa praktik pengeluaran bukti penerimaan uang. Kemudian, Khalifah Al Waleed bin Abdul Malik (705-715M) mengenalkan catatan dan register yang terjilid dan tidak terpisah seperti sebelumnya(Lasyin, 1973, dalam Zaid, 2001). Evolusi perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiah. Akuntansi diklasifikasikan pada beberapa spesialisasi, antara lain akuntansi peternakan, pertanian, akuntansi bendahara, akuntansi konstruksi, mata uang, dan
1|P a ge

pemeriksaan buku (auditing) (Zaid, 2001). Pada masa itu, system pembukuan telah menggunakan model buku besar, yang meliputi: - Jaridah Al-Kharaj (mirip receivable subsidiary ledger), merupakan pembukuan pemerintah terhadap piutang pada individu atas zakat tanah, hasil pertanian, serta hewan ternak yang belum dibayar dan cicilan yang telah dibayar (Lasyin, 1973, dalam Zaid, 2001). Piutang dicatat di satu kolom dan cicilan pembayaran di kolom yang lain. - Jaridah An-Nafaqat (jurnal pengeluaran), merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat pengeluaran Negara. - Jaridah Al-Mal (jurnal dana), merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran dana zakat. - Jaridah Al Musadareen, yang merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat penerimaan denda atau sita dari individu yang tidak sesuai syariah, termasuk dari pejabat yang lorup. Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai laporan akuntansi, antara lain: - Al Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat setiap bulan (Biin Jafar, 1981, dalam Zaid, 2001). - Al Khitmah Al Jameah, laporan keuangan komprehensif yang berisikan gabungan antara laporan laba rugi dan neraca (pendapatan, pengeluaran, surplus, dan deficit, belanja untuk asset lancar maupun asset tetap) yang dilaporkan di akhir tahun. Dalam perhitungan dan penerimaan zakat, utang zakat diklasifikasikan dalam laporan keuangan menjadi tiga kategori, yaitu collectable debts, doubtful debts, dan uncollectable debts (Lasyin, dalam Zaid, 2001). 2. Berdirinya Bank Syariah di Indonesia Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional Hubungan IndonesiaTimur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan(LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun, ada beberapa alas an yang menghambat terealisasinya ide ini: 1) Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, dank arena itu, tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku, yakni UU No 14/1967. 2) Konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep Negara Islam, dan karena itu tidak dikehendaki pemerintah. 3) Masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu; sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih dicegah, antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia. Akhirnya gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi sejak tahun 1988, di saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober(Pakto) yang berisi liberalisasi industry perbankan. Para ulama pada waktu itu berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tapi tidak ada satupun perangkat hokum yang dapat dirujuk, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0%. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian dibahas lebih dalam pada Musyawarah Nasional(Munas) IV Majelis Ulama Indonesia(MUI) yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990, dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbankan MUI tersebut di atas. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 Nopember 1991. Pada saat akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak RP 84Miliar.
2|P a ge

Pada tanggal 3 Nopember 1991, dalam acara silaturahim Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp106.126.382.000,-. Dana tersebut berasal dari presiden dan wakil presiden, sepuluh menteri Kabinet Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya, Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang bank syariah. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroperasi. Kemudian diikuti dengan kemunculan Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasi. Dalam UU tersebut, pasal 13 ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha Bank Perkreditan Rakyat(BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi pasal tersebut, pemerintah pada tanggal 30 Oktober 1992 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktobr 1992 dalam lembaran negara Republik Indonesia No. 119 tahun 1992. Secara tegas pasal 6 PP No. 72 tahun 1992 menyebutkan bahwa: 1) Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. 2) Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Dalam menjalankan perannya, bank syariah berlandaskan pada UU Perbankan No. 7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil yang kemudian dijabarkan dalam S.E BI No 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993, yang pada pokoknya menetapkan hak-hak antara lain: 1) Bahwa bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. 2) Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah 3) Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah 4) Bank umum atau BPR yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, bank umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan kepada prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh bank-bank perkreditan rakyat syariah(BPRS). Namun demikian, keberadaan dua jenis lembaga keuangan tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapis bawah. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga-lembaga simpan-pinjam yang disebut baitul maal wattamwil (BMT). Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori berdirinya asuransi Islam, Syarikat Takaful Indonesia (STI) dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Tiga tahun kemudian, yaitu 1997, Bank Muamalat mensponsori lokakarya ulama tentang reksadana syariah yang kemudian diikuti dengan beroperasinya Reksadana Syariah oleh PT Danareksa Investment Management. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tergolong cepat. Salah satu alasannya adalah karena adanya keyakinan yang kuat di kalangan masyarakat muslim bahwa perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang agama Islam. Rekomendasi hasil lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan itu ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada pemerintah dan seluruh umat Islam. Kepada MUI diamanatkan untuk mengambil prakarsa dalam membentuk komisi perbankan bebas bunga, pembentukan
3|P a ge

Badan Pelaksana Harian Pengembangan Sumber Daya, perintisan Baitul Maal nasional, dan kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian dalam rangka menentukan arah kebijakan pengembangan sumber daya umat. Dalam rumusan bab II keputusan lokakarya tersebut juga terdapat pengakuan adanya dua pandangan yang berbeda terhadap bunga bank. Pandangan pertama adalah bunga bank itu riba dan oleh karena itu hukumnya haram, dan pandangan kedua berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba dan oleh karena itu hukumnya halal. Meskipun diakui oleh lokakarya bahwa pandangan kedua tersebut adalah rukhshah (penyimpangan) dari ketentuan baku, namun dengan melihat kenyataan hidup yang ada dan untuk menghindari kesulitan karena sebagian umat Islam terlibat dalam system bunga bank, maka hal itu dapat dimungkinankan ditempuh, sepanjang dapat dipastikan adanya kebutuhan umum demi kelanjutan pembangunan nasional dan secara khusus untuk mempertahankan kehidupan pribadi pada tingkat kecukupan. Pada tahun 1998 muncul UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah . Dari UU tersebut disebutkan bahwa system perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan: 1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya system perbankan syariah yang berdampingan dengan system perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh system perbankan konvensional yangmenerapkan system bunga. 2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. 3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan, membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif, pembiayaan ditujukan kepada usahausaha yang lebih memperhatikan unsure modal. Pemberlakuan UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang diikuti dengan dikeluarkannya SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberikan landasan hokum yang lebih kuat bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut memberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan jaringan perbankan syariah antara lain melalui ijin pembukaan kantor cabang syariah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank umum dapat menjalankan dua kegiatan usaha, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Adapun perkembangan peraturan-peraturan perundang-undangan bank syariah di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

4|P a ge

Gambar Perkembangan Bank Syariah di Indonesia


1990 Lokakarya MUI 1992 Pengenalan dual banking system 1998 Diijinkan bank beroperasi secara dual system 1999 Kebijakan pendirian BPS di BI 2000 Keluarnya reg. operasional & kelembagaan 2001 Pendirian BPS di BI

Peserta sepakat untuk mendirikan bank syariah

-UU No. 10/1998 BI mengakui keberadaan bank syariah dan bank konvensional -Bank konvensional diperkenankan membuat kantor cabang syariah

-BI membuat dan menetapkan peraturan kelembagaan perbankan syariah -Pengembangan PUAS dan SWBI

Bank Muamalat berdiri sebagai hasil pertemuan tahunan MUI pada bulan Agustus 1990

UU No 23/1999 -BI bertanggungjawab terhadap pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk bank syariah -BI dapat menetapkan kebijakan moneter dengan menggunakan prinsip syariah -Dibuka kantor cabang bank syariah pertama kali

5|P a ge

You might also like