You are on page 1of 2

Hellen Keller

KELUAR DARI DUNIA KEGELAPAN


Hellen Keller berusia kurang dari dua tahun ketika dia menderita demam. Tetapi serangan demam itu telah berakibat fatal baginya dan menyebabkan ia tak sadarkan diri. Serangan demam itu memang tak berlangsung lama, namun akibatnya menyebabkan Hellen Keller tuli dan buta. Ketika dia beranjak besar, dia mulai melakukan hal hal kecil. Tetapi dalam kondisi seperti dirinya, Hellen Keller selalu menyadari bahwa dia telah kehilangan sesuatu. Kadang-kadang, tulisannya kemudian, Aku berdiri diantara dua orang yang sedang bercakap-cakap dan menyentuh bibir mereka. Aku tidak mengerti dan merasa jengkel. Aku menggerakkan bibirku dan menggerakkan tangan dengan kalut dan tanpa hasil. Saat seperti itu membuatku sangat marah, hingga aku menendang-nendang dan menjerit-jerit sampai puas. Akibat dari ketidakmampuanny menuangkan perasaan, Hellen Keller memang menjadi seorang anak yang liar. Hal itu berlangsung hingga usia Hellen Keller hampir mencapai tujuh tahun. Tidak ada satu metode apa pun yang cocok untuk mendidiknya. Namun Anne Mansfield Sullivan dari Institut untuk Tuna Netra yang selanjutnya bukan saja menjadi guru tetapi sahabat bagi Hellen Keller memulai pendidikan khusus membaca dan menulis bagi dirinya. Dengan cepat dia belajar huruf braillle dan menulis dengan bantuan mesin ketik yang dirancang khusus. Bahkan pada 1890, Hellen Keller mulai belajar berbicara selama satu bulan. Sepuluh tahun kemudian, Hellen Keller mampu masuk Radcliffe dan lulus dengan penghargaan pada 1904. Ternyata perkenalan Hellen Keller dengan bahasa telah mengubah segalanya. Dia membuktikan bahwa bahasa bisa memerdekakan orang buta-tuli. Hellen Keller menulis, Sastra adalah utopia bagiku. Di sini aku merasa memiliki hak suara. Tetapi tak pelak, masa-masa belajar itu juga diwarnai dengan masa frustasi. Ia sempat kecewa terhadap aksara dan bahasa orang tuli meskipun gurunya dengan cepat mengejakan sesuatu untuknya melalui telapak tangan. Hellen Keller tak sabar dan lapar kata-kata. Kecepatan gurunya mengeja di telapak tangan, menurutnya, tidak akan secepat orang yang membaca kata-kata dengan matanya. Loncatan besar Hellen Keller tidak bisa dilepaskan dari jasa gurunya yang sabar dan pelindung, Anne Sullivan. Langkah lebih besar dilakukan Hellen Keller setelah Sullivan meninggal pada 1936. Keller dapat membuktikan bahwa orang cacat pun bisa hidup mandiri. Keller membenci istilah orang cacat. Saat ditanya bagaimana veteran Perang Dunia II mesti diperlakukan, ia mengatakan bahwa mereka tidak ingin diperlakukan sebagai pahlawan. Meraka ingin hidup normal dan diperlakukan sebagai manusia.

Kiprah Keller dalam membantu kaum tunanetra begitu banyak. Ia aktif di Komisi Massachusett untuk Tunanetra. Sepanjang hidupnya ia juha bekerja mengumpulkan dan bagi Yayasan Amerika untuk Tunanetra. Dia bepergian dan berceramah di berbagai negara, termasuk Inggris, Prancis, Italia, Mesir, Afrika Selatan, Australia, dan Jepang. Tidak hanya bergerak di lapangan kaum tunanetra, Hellen Keller juga dikenal sebagai seorang pedukung gerakan pasifis dan aktif dalam gerakan sosialis, sehingga sempat tercatat dalam arsip Fbi semasa J. Edgar Hoover. Setelah Perang Dunia II dia mengunjungi veteran-veteran yang terluka di rumahrumah sakit Amerika dan berceramah di Eropa dalam kaitan dengan soal cact fisik. Namun orang-orang mengira Hellen Keller hanya memperhatikan kaum tunanetra akan terkejut dengan dimensi pandangan yang luas. Apa yang kulakukan bagi orang-orang tunanetra, tulisnya, tidaklah menjadi segalagalanya bagi diriku. Aku bersimpati pada semua yang berjuang bagi keadilan. Tak heran bila dia dikenal sebagai aktifis persamaan ras dan seksual yang tangguh. Dia bahkan bisa berkata ketus akan ketimpangan relasi lelaki dan perempuan. Kupikir Tuhan menciptakan perempuan bdoh agar dia bisa menjadi pasangan yang cocok bagi laki-laki, katanya. Hellen Keller hidup 32 tahun lebih lama daripada guru dan inspirator utamanya, Anne Sullivan, Kini dia telah menjadi ilham bagi banyak orang, tidak hanya yang cacat tetapi juga yang normal. Kisah hidupnya telah diangkat ke panggung dan layar, antara lain dalam The Unconquered (1954) dan The Miracle Worker (sebagai lakon pada 1959 dan sebagai film pada 1962). Pesannya hingga kini tetap relevan adalah: Kami seperti juga orang lain. Kami berusaha menjalani kehidupan sepenuh-penuhnya seperti orang-orang yang bisa melihat. Dan tentu saja, untuk menjadi diri kami sendiri.

You might also like