You are on page 1of 19

BIROKRASI SEBAGAI KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA chapter III FUNGSI DAN PERAN BIROKRASI DI INDONESIA Sejarah bangsa Indonesia

mencatat setidaknya tiga era yang memiliki spirit berbeda pernah berlangsung hingga saat ini. Era pertama disebut sebagai era Orde Lama dengan Soekarno sebagai simbolnya, kemudian diganti oleh Orde Baru dengan Soeharto sebagai simbol. Setelah dua era tersebut, kini sedang berlangsung era Reformasi yang membawa spirit demokrasi dan kebebasan. Hubungan birokrasi dengan masyarakat yang dilayaninya pada umumnya memiliki pola yang hampir sama. Talizuduhu Ndraha, dalam telaahnya mengenai birokrasi Indonesia menggambarkan bahwa : a. Birokrasi cenderung mengatur segenap segi kehidupan masyarakat dan negara. Setiap kegiatan masyarakat diatur dalam berbagai aturan, dan kegiatan yang belum diatur secara resmi dapat dianggap liar, atau seakanakan demikian. Dalam beberapa hal, upaya tersebut tidak selalu mengikuti perkembangan yang obyektif. Adakesan beberapa peraturan dibuat sekedar melukiskan kehendak birokrat, jadi semacam ideologi, dan tidak dibuat menurut analisis struktural fungsional. b. Dalam usahanya melayani masyarakat menggunakan pola Top-Down Approach yang diterapkan oleh birokrasi cenderung semakin meningkatkan

dan meluas sampai tingkat desa. Sebagai contoh, kepala desa karena jabatannya merangkap sebagai ketua umum LKMD yang berfungsi sebagai perangkat pelaksana pembangunan desa dan membantu Kepala Desa dalam mengkoordinasikan pembangunan, menggerakkan partisipasi masyarakat, dan mendorong kegotong-royongan masyarakat dalam pembangunan desanya. Walaupun LKMD merupakan lembaga masyarakat, bukan pemerintah, namun garis pembinaannya secara hierarkis berada dibawah kepala wilayah, dari camat sampai gubernur. Dengan demikian jaringan pengendalian birokrasi atas proses pembangunan mencakup hingga ke tingkat paling bawah yaitu desa. Diangkatnya lurah sebagai pegawai negeri, semakin menunjukkan adanya birokrasi sampai ke tingkat grass-roots ini. c. Dalam usaha mempercepat pembangunan, birokrasi melakukan pembangunan besar-besaran dan dimotivasi melalui pentargetan. Pembangunan massal ada kalanya didorong oleh sukses awal dalam skala kecil. Seperti Bimas tahun 1963 di Krawang Jawa Barat dibawah bimbingan teknis IPB. Sesudah dijadikan program besar-besaran dibawah control birokrasi program tersebut mengalami kesulitan dan menimbulkan kerugian karena tidak didukung oleh kemampuan administrative yang memadai, selain perilaku para petani sendiri. Meskipun demikian, spirit yang mewarnai setiap era yang telah dialami

bangsa ini berimplikasi langsung pada fungsi dan peran lembaga birokrasi di Indonesia dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan politik yang dominan.. Pada masa-masa awal kemerdekaan, bangsa Indonesia masih disibukkan oleh keinginan Belanda untuk kembali menduduki Indonesia. Usaha Belanda tersebut berlangsung hingga tahun 1949. Usaha untuk mempertahankan kemerdekaan pada masa ini membuat elit pemerintahan nasional dan TNI lebih mendominasi kehidupan politik bangsa. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dihadapkan pada suatu kebutuhan untuk menciptakan dan menerapkan sistem politik yang modern dan didukung oleh birokrasi pemerintah sebagai kekuatan utamanya. Namun realitas politik menunjukkan, perhatian harus dipusatkan pada masalah yang lebih penting yakni bagaimana meletakkkan dasar yang kokoh dan kuat sebagai negara kebangsaan di tengah-tengah ke-Bhinekaan loyalitas primordial sempit yang pada saat tertentu dapat memicu konflik. Paska pengakuan kedaulatan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, serta kembalinya ke bentuk negara kesatuan pada agustus 1950, usaha untuk membangun pemerintahan dengan sistem negara modern mulai diberlakukan. Pada masa ini birokrasi mulai memiliki fungsi yang penting dalam sistem politik Indonesia.

Pada masa awal kemerdekaan memang telah diperoleh warisan birokrasi pemerintahan, kendatipun dalam bentuk birokrasi yang telah dipenggal. Pangreh Praja yang kemudian dipanggil Pamong Praja telah memainkan peranan strategis dalam menyangga sistem politik pada zamannya, dan yang dalam segi administrasi dan politis telah berjasa menjadi jalinan organisasi pemersatu terhadap bentangan tanah air yang begitu luas dan keanekaan sosio kultural. Ketika Maklumat X Wakil Presiden Hatta tahun 1945 diterbitkan, maka di Indonesia mulai dikenal partai-partai politik sebagai sarana rakyat untuk menyalurkan kebebasan berpolitik, bersuara, berserikat, dan kebebasan dari rasa takut untuk berbeda pendapat. Hadirnya mestinya diikuti pula dengan terselenggranya pemilihan umum. Namun pada waktu itu baru saja merdeka, maka pemilu belu bisa diselenggarakan dengan cepat, dan baru 10 tahun kemudian di tahun 1955 terselenggara pemilu pertama yang dikenal sangat demokratis. Pemilu pertama ini menghasilkan empat partai besar, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai-partai pemenang pemilu dalam sistem pemerintahan yang parlementer pada saat itu,silih berganti memerintah pemerintahan. Setelah kemerdekaan, terutama masa demokrasi parlementer kekuasaan politik di Indonesia cenderung bersifat menyebar, tidak terkonsentrasi pada

satu kekuasaan politik. Pada masa itu secara umum kekuasaan politik terbagi di antara lembaga-lembaga birokrasi, partai politik, dan militer. Kekuatan di luar ketiga institusi tersebut kecuali Bung Karno hampir semua dapat dikatakan lemah. Pada masa ini terlihat hubungan antara partai politik dan birokrasi memiliki kecendrungan bahwa partai berusaha menguasai dan mempengaruhi birokrasi. Selain itu, kedudukan birokrasi di atas juga didukung fakta bahwa birokrasi merupakan pusat kekuatan sosial yang terpenting pasca kemerdekaan. Di samping merupakan institusi yang mewakili segmen masyarakat terdidik dan relatif modern, birokrasi juga merupakan sarana bagi mobilisasi sosial. Keberhasilan seseorang menduduki jabatan birokrasi mempunyai arti sosial yang penting, karena jabatan tersebut mempunyai prastise yang tinggi. Terdapatnya anggapan dalam masyarakat, bahwa pemerintah merupakan penyedia kebutuhan dan pelindung utama (pamong) rakyat telah mendorong munculnya persepsi lain. Jabatan birokrasi dianggap jabatan yang dekat dengan peran kepemimpinan, suatu peran yang sangat dihormati dalam masyarakat Indonesia yang paternalistik. Kompetisi partai untuk menanamkan pengaruhnya dalam birokrasi telah menyebabkan lembaga ini menjadi arena pergulatan politik. Promosi jabatan seringkali lebih ditentukan oleh mekanisme patronase politik daripada

ketentuan-ketentuan meritokrasi. Dan tidak jarang pelaksanaan keputusankeputusan pemerintah lebih mencerminkan desakan kepentingan partai daripada respon terhadap desakan-desakan dari kelompok kepentingan masyarakat. Semua ini pada akhirnya telah mengakibatkan munculnya birokrasi yang tidak sehat, terpecah belah dan mengalami proses politisasi yang hebat. Kenyataannya bahwa kekuatan politik pada masa ini terpecah belah menyebabkan birokrasi dalam segala tingkatannya terpecah belah di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan politik yang ada. Hal ini dikarenakan pada birokirasi terdapat dana yang besar dan struktur birokrasi yang panjang dari pusat hingga ke desa-desa ditempati oleh sumber daya manusia yang besar sekali. Ditambah lagi budaya patrimonial yang penekankan pada peranan patron yang harus selalu diikuti oleh kliennya. Di awal Kabinet parlementer di bawah UUD 45, partai-partai politik yang berada di pemerintahan menanam pengaruh kepada pejabat dan pegawaipegawai pemerintah. Seperti disinggung dimuka bahwa jalur hierarki dari departemen pemerintah menjulur ke bawah sampai pada ke tingkat desa. Sementara itu peranan budaya patrimonial yang menekankan pada peranan bapak sangat kuat. Sehingga jika pemimpin suatu departemen dari partai politik tertentu, maka seleruh warga departemen itu menjadi anak buah dan berada di bawah pengaruhnya.

Setelah masa demokrasi parlementer diakhiri oleh keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959, era demokrasi terpimpin dimulai. Pada masa ini beberapa partai politik terutama partai yang bercirikan Islam dilarang. Pada masa ini muncul Partai Komunis Indonesia menjadi kekuatan politik dominan selain Angkatan Darat dan Soekarno sendiri. Masa demokrasi terpimpin juga ditandai dengan lompatan birokrasi yang jauh, pengambilalihan perkebunan, bank, dan perusahaan dagang Belanda. Hal ini sejalan dengan program nasionalisasi yang dijalankan pada masa itu. Dengan demikian pengaturan kepentingan masyarakat oleh negara menjadi lebih luas. Beberapa pengamat memperkirakan bahwa nasionalisasi ini akan memudahkan pemecahan dan penanganan masalah ekonomi dengan cara baru, yang nampaknya tidak mungkin dilakukan selama orang asing masih mengendalikan sektor-sektor penting. Tetapi dalam realitasnya, harta kekayaan baru itu pada umumnya disalahgunakan untuk kepentingan pribadi bagi kelas manajer yang baru. Mentalitas tunjangan istimewa hidup karena kembali seluruh sektor ekonomi dibagi-bagikan kepada pejabat-pejabat birokrasi yang punya posisi kunci atau golongan-golongan politik yang berpengaruh untuk perlindungan serta menciptakan keuntungan birokrasi. Namun, birokrasi yang diwarisi oleh pemerintahan Orde Lama adalah

birokrasi yang besar, tidak efektif, dan sangat terpoitisir. Pada kenyataannya, birokrasi tersebut terutama pada masa Demokrasi Liberal dan Terpimpin dijadikan sebagai ajang adu pengaruh antar berbagai kekuatan politik. Aparat birokrasi terpolarisasi secara tajam dalam kutub-kutub ideologis dan golongan. Posisi strategis dalam jajaran birokrasi telah dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk kepentingan politik golongan masing-masing. Implikasi yang mengikuti fenomena ini adalah terdapatnya loyalitas ganda pada aparat birokrasi. Di satu sisi mereka loyal pada pemerintah, disisi lain mereka dituntut loyalitasnya kepada parpol yang diwakilinya, atau yang telah menempatkannya dalam jajaran birokrasi. Akhir dari pada masa ini sekaigus pula masa Orde Lama secara umum, ditandai dengan adanya persaingan kekuasaan antara tiga kekuatan politik dominan pada masa itu. Puncaknya terjadi gerakan 30 September 1965 yang memakan korban Jenderal dari pihak Angkatan Darat. Akibat peristiwa ini posisi Soekarno menjadi terganggu, dikarenakan PKI dituding sebagai penggerak peristiwa tersebut. Di tengah kondisi bangsa yang diwarnai berbagai demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan perbaikan ekonomi, muncul Soeharto sebagai penyembung estafet kepemimpinan bangsa Indonesia. Di awali dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 hingga dirinya ditunjuk secara

resmi menjadi Presiden kedua bangsa Indonesia pada tahun 1968. Dengan niat untuk memperbaiki kondisi bangsa dan kesalahan orde sebelumnya, Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto menempatkan pembangunan ekonomi sebagai prioritas dengan stabilitas politik dan keamanan sebagai pendukungnya. Salah satu problem terbesar yang dihadapi pemerintah Orde Baru yang mempunyai komitmen stabilitas politik bagi kelangsungan pembangunan ekonomi adalah bagaimana menjalankan program-program pemerintah secara efektif tanpa diganggu partai politik. Supaya pemerintah yang baru ini mampu menjalankan program-progran pembangunan ekonomi diperlukan sebuah birokrasi yang efektif dan tanggap. Tidak diragukan, bahwa pimpinan orde baru bertekad untuk menggunakan birokrasi negara sebagai primum mobile dari program pembangunan. Orde Baru mengangap bahwa partai politik merupakan sumber konflik dan ketidakstabilan politik, hal ini didasarkan pada pengalaman pada Orde Lama terutama pada masa demokrasi parlementer dimana partai politik saling bersaing yang menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan kabinet pada masa itu. Berbagai peraturan dikelurakan untuk membatasi kekuasaan partai politik utamanya dalam birokrasi, diantaranya Permendagri Nomor 12 Tahun 1969 (Permen 12) yang menyebutkan, bahwa anggota departemen

hanya boleh memberikan loyalitas kepada negara dan bangsa, bahkan melarang mereka untuk masuk parpol. Langkah berikutnya adalah dikeluarkannya PP Nomor 6 tahun 1970, yang melarang semua pegawai negri termasuk anggota ABRI terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai dan menuntut adanya loyalitas tunggal (monoloyalitas) terhadap pemerintah. Tidak lama kemudian langkah ini diikuti dengan keluarnya Kepres Nomor 82 Tahun1971, sebagai pelaksanaan dari TAP MPRS Nomor XLI/MPRS/1968 yang menyatakan bahwa salah satu tugas pokok kabinet pembangunan adalah menertibkan aparatur negara (birokrasi). Keputusan Presiden tersebut menetapkan pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai satu-satunya wadah organisasi bagi pegawai negeri. Langkah ini dimaksudkan untuk menanggalkan kesetiaan para pegawai parpol dan membina kesetiaan tunggal kepada pemerintah. Usaha membatasi kekuasaan partai politik ini, dipihak lain menjadikan birokrasi sebagai alat melanggengkan kekuasaan kepemimpinan Soeharto disamping ABRI dan Golkar. Ketiga golongan ini kemudian menjadi kekuatan politik dominan dalam sistem politik yang bersifat otoriter. Ketiga golongan ini dijadikan alat kontrol terhadap masyarakat. Golkar dan birokrasi dijadikan wadah untuk mengkooptasi berbagai elit potensial, ABRI

dan birokrasi digunakan untuk mengawasi kegiatan masyarakat hingga tingkat desa. Selain itu pula birokrasi digunakan untuk memamaksakan penyelenggaraan program pemerintah dalam memupuk kekuasaan. Semasa orde baru, birokrasi di Indonesia berafiliasi dengan partai Golkar (Partai Mayoritas Tunggal di DPR) dan ditambah dengan Militer. Sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar). Bisa dibayangkan bagaimana Golkar dengan instrument politik yang mapan saling bahu-mambahu dengan Birokrasi yang menjadi gudang informasi sosial yang kemudian mendapat dukungan dari kekuatan militer. Maka kemudian tiga serangkai tersebut menjelma manjadi kekuatan sosial-politik yang sulit ditanding di Indonesia pada masanya. Pada pemerintahan Orde Baru pemihakan birokrasi pemerintah kepada Golkar dilakukan secara total berada disegala aspek dan lini pemerintahan. Mulai dari sistem rekrutmen pejabat-pejabat teras, diikuti dengan setiap perencanaan program dan pendanaan, sampai dengan gaya dan perilaku pejabat semuanya sejalan dan seiring dengan yang dilakukan Golkar sendiri. Program perbaikan kampung misalnya yang direncanakan dan dibiayai oleh dinas atau departemen pemerintah, dijadikan sebagai janji Golkar dalam program kerjanya kepada rakyat. Pejabat-pejabat birokrasi dinas dan atau departemen adalah orang-orang Golkar yang memberitahukan dan dan

program kerjanya kepada rakyat. Pegawai Negeri Sipil Indonesia dan pegawai-pegawai badan pemerintah yang lain harus menjadi anggota Golkar dan organisasi bawahannya Korps Pegawai Negeri (KORPRI). Pada tahun-tahun akhir kepemimpinannya, Soekarno sudah mengeluarkan suatu keputusan yang menyatakan bahwa pejabat tinggi harus meletakkan keanggotaan partai mereka. Namun keputusan inii tidak berjalan sama sekali sampai sepuluh tahun kemudian ketika Soeharto mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1970 yang menyatakan bahwa pegawai negeri sipil tidak boleh terlibat dalam partai politik dan dituntut untuk menunjukikan monoloyalitas pada pemerintahan dan Golkar. Semua pegawai negeri sipil termasuk para guru di sekolah desa dan pekerja di perusahaan-perusahaan industri perkebunan milik negara harus mendukung dan memilih Golkar. hingga pada akhirnya sejak tahun 1984 KORPRI menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Keluarga Besar Golkar. Selanjutnya birokrasi dijadikan sebagai kue politik untuk dibagi-bagi kepada para pejabat militer. Hal ini merupakan cara untuk mengkooptasi pimpinan militer untuk dijadikan sebagai klien yang tuduk dan loyal kepada kemauan sang patron, Presiden Soeharto. Harold Crouch menjelaskan bahwa kedudukan kekuasaan para menteri sipil dalam departemen semakin dibatasi

pula dengan diangkatnya para perwira militer untuk menduduki birokrasi sipil tingkat Sekertaris Jendral (Setjen) dalam Departemen. Tahun 1966, pada posisi Setjen yang berurusan dengan sipil ini, dari 20 departemen terdapat 11 anggota ABRI (55%) yang menduduki Sekertaris Jendral. Kemudian pada tingkat Direktorat Jendral, dari 64 Direktur Jendral yang diangkat, terdapat 23 (36%) Direktorat Jendral yang berasal sari militer. Sementara pada tingkat lokal atau daerah tingkat I pada tahun 1966, dari 24 Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I terdapat 12 (50%) Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berasal dari militer. Pada tahun 1968, jumlah Gubernur yang berasal dari militer berubah naik dari 12 menjadi 24 Gubernur (17%). Sesudah pemilihan umum tahun 1971, kedudukan militer dalam birokrasi tingkat lokal (provinsi) semakin tinggi, dari 26 propinsi hanya menyisakan 4 (15%) posisi Gubernur untuk orang sipil. Dalam dekade 1980-an sekitar 56% Bupati adalah militer, dan dalam dekade 1990-an, jumlahnya menurun menjadi sekitar 40%. Untuk daerah tingkat I pada dekade tahun 1980-an, sekitar 70% Gubernur adalah militer, dan pada dekade tahun 1990-an sudah mulai menurun secara signifikan. Selain sebagai kekuatan sosial-politik, birokrasi sebagai organisasi yang memungkinkan untuk mempunyai akses penguasaan atas seluruh sumbersumber nasional dijadikan sebagai penggerak utama pembangunan. Hal ini

semakin menempatkan dominasi birokrasi. Priyo menjelaskan bahwa pemerintah Orde Baru yang dimotori oleh kaum teknokrat tetap menganggap penting peran birokrasi, dan karenanya, menempatkan birokrasi negara sebagai satu-satunya agen utama modernisasi. Pilihan terhadap birokrasi ini dilandasi pemikiran bahwa birokrasi negara dianggap mempunyai beberapa kelebihan, baik secara politis maupun ekonomis. Misalnya secara tradisional masyarakat masih mengakui prestise dan otoritas birokrasi negata. Selain itu birokrasi juga merupakan tempat terkosentrasinya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam pembangunan, seperti sumber daya manusia, data statistik, struktur komunikasi, sistem perencanaan, mekanisme kontril, dan sebagainya. Setelah era kepemimpinan Soeharto berakhir setelah 32 tahun memerintah, reformasi menjadi masa yang selanjutnya yang sedang berlangsung hingga saat ini. Pada masa reformasi ini semangat demokrasi begitu membahana di bidang politik. Kekuatan-kekuatan politik yang sempat tenggelam pada masa Orde Baru mulai menemukan kebebasannya. Pada masa ini pula birokrasi yang bersifat apolitis, netral, profesional, efektif dan efisien masih menjadi idaman. Pengaruh partai politik mulai mengincar birokrasi. Setelah sempat tertidur selama orde baru, partai politik kembali menjadi kekuatan politik dalam sistem politik Indonesia. Pada kabinet

persatuan yang dipimpin duet kepemimpinan nasional Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang berintikan orang-orang partai politik, tak pelak lagi merupakan potensi negatif yang sangat membahayakan kelangsungan hidup birokrasi. Kasus pergantian Sekertaris Jendral (Sekjen) Departemen Kehutanan dan perkebunan (Dephutbun) yang sempat ramai pasca pembentukan kabinet, menunjukkan bahwa masih kuatnya keinginan dari para pejabat politis setingkat menteri untuk menguatkan posisi tawar partai politiknya di tengah masyarakat. Pengaruh partai politik dalam birokrasi ternyata tidak bisa hilang walaupun presiden dipilih secara langsung. Pemerintahan SBY-JK yang dipilih secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004 tetap tidak mampu melepaskan pengaruh partai politik dalam birokrasi. Legitimasi yang kuat atas pemerintahan ini karena dipilih secara langsung oleh rakyat seakan tidak berdaya dengan kekuatan partai politik di lembaga legislatif. Jabatan Menteri dijadikan sebagai kue politik untuk partai-partai pendukung mereka. Hingga ketika kinerja beberapa menteri dinilai dibawah standar, Presiden tidak mampu menggeser sang Menteri tersebut dari jabatannya. Ketika ditelaah lebih jauh ternyata sang Menteri berasal dari partai politik yang memiliki basis yang kuat. Gejala yang diperlihatkan oleh Birokrasi Indonesia pasca bergulirnya Era

reformasi, di mana kecendrungan partai-partai politik untuk menguasai Departemen atau kementrian dan BUMN semakin kuat, adalah fakta baru yang semakin sulit untuk kita hindari. Barangkalai kita sepakat, bahwa siapapun yang dipilih oleh presiden untuk menduduki posisi menteri adalah hak prerogatif presiden sendiri. Tetapi permasalahannya ialah jabatan karier di bawah posisi menteri serta Dirut BUMN bukanlah sebuah jabatan politis lagi. Seorang Dirjen dengan Eselon I.A atau seorang Dirut Pertamina, proses pengangkatannya selayaknya haruslah melalui seleksi administratif yang ketat dan terarah, sesuai dengan prinsip-prinsip birokrasi modern. Politisasi birokrasi pada era reformasi ini tidak hanya pada tingkat pusat saja, di daerahpun dengan adanya pemilihan daerah secara langsung memungkinkan terjadinya hal tersebut. Dalam sebuah pemilihan aparat birokrasi sebenarnya dituntut netral, akan tetapi dilain pihak mereka juga memiliki hak untuk memilih. Didukung oleh masih kentalnya sifat patrimonial dalam birokrasi hingga saat ini, dan kenyataan bahwa birokrasilah yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Maka aparat birokrasi didaerah dimungkinkan untuk dijadikan alat mobilisasi masa dengan kompensasi jabatan tertentu nantinya. Di beberapa daerah yang telah melakukan pemilihan langsung, setelah Kepala Daerah terpilih resmi diangkat maka kegiatan mutasi jabatan tertentu menjadi hal yang maklum.

Dengan demikian birokrasi dijadikan kue politik untuk dibagi-bagi kepada orang-orang yang dianggap berjasa. Akhirnya, warna tim sukses Kepala Daerah mendominasi pemerintahan daerah periode tersebut. Ada tuntutan yang memuncak agar PNS bisa menunjukkan kenetralannya. Sebab, jika abdi negara ini berpihak, kosentrasinya dalam menjalankan tugasnya akan pecah. Hal ini seakan menjadi dilema. Di satu sisi jika tidak memihak kedudukannya akan terancam di sisi lain peraturan telah siap menghadang. Tuntutan netralitas ini sebenarnya tidak datang dengan sendirinya. Ia muncul karena di berbagai daerah ada kecenderungan yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik dan mesin uang untuk kemenangan pihak tertentu dalam Pilkada. Dengan potensi keuangan dan sumber daya yang besar, PNS dapat dijadikan lumbung suara. Belum lagi status sosial beberapa anggota PNS yang dijadikan tokoh masyarakat. Perkataannya dapat mempengaruhi masyarakat disekitarnya. Kepentingan menjaga netralitas PNS dalam suksesi kepala daerah bukan perkara suka atau tidak suka terhadap kandidat atau parpol yang mengusung. Ini semua demi terselenggaranya pelayanan kepada masyarkat tidak terganggu. Untuk menjaga kenetralan itu (tidak terjebak dalam dukung-mendukung)

kalangan PNS harus memahami aturan hukum dan ketentuan lainnya, termasuk etika profesi PNS dalam menghadapi pelaksanaan Pilkada langsung. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi PNS soal tuntutan netralitas ini, antara lain, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Surat Edaran Menpan No: SE/08.A/M.PAN/5/2005. Dalam pasal 61 PP No 6 Tahun 2005 dengan jelas menyatakan, dalam kampanye, pasangan calon atau tim kampanye dilarang melibatkan hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN/BUMD, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa. Di sana juga disebutkan pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Pemberlakukan aturan main juga tertuang dalam pasal 79 ayat 4 UU No 32/2004 yang mengatur tentang larangan PNS, anggota TNI dan Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam Pilkada. Di sisi lain, PNS mana saja yang secara nyata dan jelas berkampanye akan diberikan sanksi sesuai PP Nomor 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan ketentuan ini, ada sanksi berat yang akan diberikan

kepada PNS yang terlibat kampanye, yakni diberhentikan dengan tak hormat alias dipecat atau mendapat penurunan pangkat. Bentuk sanksi sedang, yakni penundaan kenaikan pangkat, penundaan kenaikan gaji berkala dan diberhentikan sementara, serta tak menerima gaji. Sedangkan bentuk sanksi ringan, adalah berupa teguran. Aparat birokrasi (PNS) sebagai bagian dari suatu masyarakat politik, memiliki hak yang sama dalam proses Pemilihan Kepala Daerah, hak dipilih dan memilih. Akan tetapi di sisi lain, PNS sebagai Public Servant yang harus melayani kepentingan semua elemen masyarakat, maka hak-hak politiknya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar jabata publiknya tidak disalahgunakan untuk kepentingan partisan, dan atau tidak menggunakan fasilitas publik untuk kepentingan partisan. PNS pada dasarnya harus netral kerangka inilah yang harus senantiasa berperan dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung .

You might also like