You are on page 1of 10

Sistem Bagi Hasil

Oleh: Ahmad Gozali Dikutip dari Republika 19 Oktober 2003 Sistem profit sharing sebetulnya sangat bagus sekali dari sudut pandang syariat. Karena sistem ini lebih adil daripada sistem bunga. Bahkan sistem bunga bisa digolongkan kedalam kategori riba yang sudah jelas hukumnya haram. Tapi kenapa banyak kasus sistem bagi hasil yang bangkrut dan bahkan banyak investor yang mengaku tertipu? Ada dua sebab yang mungkin terjadi. Pertama adalah karena sesungguhnya pengusaha itu tidak menggunakan sistem bagi hasil yang benar. Dan yang kedua, bisa jadi perusahaan itu menggunakan sistem bagi hasil dengan benar, namun tidak pernah dengan fair menjelaskan resikonya pada konsumen sehingga konsumen merasa ditipu. Maka yang pertama kali harus Anda lakukan sebelum memutuskan untuk berinvestasi atau tidak, adalah dengan mempelajari seperti apa itu sebetulnya sistem bagi hasil. Dari situ kita bisa menentukan apakah perusahaan itu benar-benar menjalankan sistem bagi hasil dan apakah dia cukup fair dalam menjelaskan, bukan cuma potensi keuntungannya tapi juga resiko yang mungkin terjadi. Sistem bagi hasil sejatinya adalah suatu kerja sama antara dua pihak dalam menjalankan usaha. Pihak pertama yaitu pengusaha yang memberikan andil dalam keahlian, keterampilan, sarana dan waktu untuk mengelola usaha tersebut. Sedangkan pihak kedua yaitu pemodal (investor) yang memiliki andil dalam mendanai usaha itu agar dapat berjalan. Baik itu modal kerja saja atau modal secara keseluruhan. Atas masing-masing andil itulah, kedua belah pihak berhak atas hasil usaha yang mereka kerjakan. Karena tidak ada yang dapat memastikan, berapa keuntungannya. Maka pembagian hasil usaha itu ditetapkan dalam bentuk prosenstase bagi hasil dari keuntungan yang didapat, bukan atas besarnya dana yang diinvestasikan. Kapan keuntungan itu dibagikan tergantung dari perjanjian dan jenis usaha yang dijalankan. Pembagian keuntungan itu dilakukan setidaknya dalam satu siklus usaha. Jika usaha itu berupa pertanian, maka yang

disebut sebagai satu siklus usaha adalah sejak menanam sampai panen. Jika usahanya terus-menerus dan sulit ditentukan akhirnya, biasanya disepakati setiap satu bulan atau satu tahun. Namun tak ada juga yang dapat memastikan bahwa usaha itu akan selalu untung. Untung atau rugi, itu hal yang biasa dalam berusaha. Lalu bagaimana kalau usaha itu rugi? Karena untung dibagi bersama, maka kerugian pun dibagi bersama pula, itulah letak keadilan dari sistem bagi hasil. Pemodal memiliki resiko kehilangan sebagian atau seluruh modalnya jika usahanya merugi. Sedangkan pengusaha menanggung rugi berupa kerja dan waktunya yang sama sekali tidak dibayar. Ingat, pengusaha tidak boleh mengambil gaji dari usaha itu. Ia hanya berhak atas pembagian untung. Jika pengusaha itu sudah mengambil sebagian modal untuk kebutuhan pribadinya (termasuk gaji), maka ia harus mengembalikannya ke pemodal. Begitu juga pengusaha tidak boleh menggunakan modal kerja yang diterimanya untuk dialihkan menjadi pembangunan sarana produksi. Jika ada penawaran investasi yang mengaku menggunakan sisitem bagi hasil, namun tidak mengikuti kaidah-kaidah seperti di atas, yakinlah bahwa tawaran itu menyesatkan dan sebaiknya Anda jauhi saja. Berikut ini, poin-poin yang harus diwaspadai sebelum Anda terlanjur tertarik untuk menginvestasikan usaha Anda pada investasi yang mengaku menggunakan sistem bagi hasil: 1. Menjanjikan tingkat keuntungan yang pasti atas nilai investasi Jika tawaran itu menjanjikan tingkat keuntungan yang pasti atas nilai investasi Anda, sudah jelas investasi itu tidak menggunakan pola bagi hasil. Karena bagi hasil memberikan pembagian keuntungan, yang belum dapat diketahui sampai usahanya selesai. 2. Tetap menjanjikan keuntungan walau usahanya merugi Ini lebih gawat lagi, jika investasi tetap menjanjikan pembagian keuntungan walau usahanya merugi, besar kemungkinan ini adalalah money game. Dari mana pengusaha akan membayar keuntungan kalau usahanya saja rugi, jangan-jangan dari modal yang masuk sesudah kita. Kalau itu benar, bisa jadi uang yang

3.

4.

5.

6.

kita tanamkan tidak digunakan untuk usaha itu, tapi dijadikan pembayaran keuntungan untuk pemodal sebelum kita. Jaminan modal kembali Jaminanan modal kembali juga bukan ciri-ciri usaha bagi hasil, karena sesungguhnya pemodal juga memiliki resiko jika usahanya merugi terus-menerus sampai habis modalnya. Perbandingan prediksi dengan harga pasar Boleh-boleh saja jika pengusaha memberikan prospektus yang berupa prediksi keuntungan yang akan diperoleh, tapi sekali lagi itu cuma perkiraan, tidak boleh menjanjikan. Cek kembali angkaangka pada prospektus dengan harga pasar yang berlaku sekarang. Jika perbedaannya terlalu jauh, berarti prediksi itu terlalu mengada-ada. Buatlah prediksi sendiri dengan versi Anda agar dapat memperkirakan apakah usaha yang dijalankan bisa menguntungkan. Pembukuan yang transparan Ini menjadi salah satu syarat utama dalam sistem bagi hasil. Bagaimana kita bisa tahu berapa keuntungan yang menjadi hak kita jika pembukuannya tidak transparan. Pengusaha harus memberikan laporan pada pemodal mengenai jalannya usaha secara berkala atau setidaknya setiap satu siklus usaha. Keterbatasan penyerapan modal Kemampuan dan skala usaha yang dimiliki pengusaha pastilah terbatas. Oleh karena itu pengusaha yang menawarkan investasi harus juga dapat menghitung berapa batasan modal yang dapat diserapnya. Tanah yang dia miliki untuk menanam kan terbatas. Maka modal yang diperlukan juga menjadi terbatas. Tapi, kalau pengusaha terus-menerus menerima modal tanpa adanya batasan, itu berarti uang investor tidak dijadikan modal kerja, tapi digunakan untuk hal lain yang tidak sesuai dengan perjanjian.

Meluruskan Persepsi Masyarakat Terhadap Bank Syariah Ditulis oleh Mohamad Fany Alfarisi Dalam Republika edisi Jumat 23 Nopember 2007 lalu, di kolom berita Ekonomi Syariah, Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi, berdasarkan hasil wawancara dengan Antara, mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan mengenai praktik bank syariah di daerahnya. Orang nomor satu di Sumatera Barat ini menyatakan, "Bank Syariah kan tidak boleh mematok bunga, tapi kenyataannya justru itu terjadi dan "Ini kan tidak konsisten namanya. Kemudian ia menambahkan, Mestinya dalam sistem syariah, risiko dan keuntungan ditanggung bersama,". Dua pernyataan di atas, menurut hemat penulis menggambarkan persepsi umum masyarakat terhadap bank syariah yang ternyata juga menghinggapi para pemimpin di daerah. Sebagai orang nomor satu di propinsi dengan slogan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS BSK), tentu, pernyataan tadi dapat berdampak pada keengganan masyarakat untuk menjadi nasabah dan mendapatkan pembiayaan dari perbankan syariah. Apalagi melihat kondisi masyarakat di Sumbar seperti yang dituturkan oleh Pimpinan Bank Indonesia Regional Padang, Uun S. Gunawan (Republika Ahad (27/11)), bahwa pertumbuhan perbankan syariah di Sumbar tergolong lambat. Kendati potensinya cukup besar karena mayoritas warga adalah muslim. Hal itu akibat masih sulitnya merubah pola fikir masyarakat untuk memilih bank syariah ini. Masyarakat, hingga kini masih terbiasa dengan bank konvensional, dibandingkan bank syariah. Pernyataan yang diungkapkan oleh tokoh Penerima Bung Hatta Award 2004 di atas mengandung dua masalah penting dalam perbankan syariah dan dipersepsikan salah oleh masyarakat awam. Pertama, mengenai benchmark pembiayaan dan bagi hasil dengan tingkat suku bunga (interest rate) yang berlaku umum (di Indonesia misalnya BI rate atau LIBOR di level internasional). Masalah kedua adalah pembiayaan pada perbankan syariah yang dipersepsikan hanya menganut prinsip bagi hasil. Benchmark Benchmark adalah hal yang umum di praktikkan dalam dunia bisnis termasuk perbankan. Menurut ventureline.com, benchmark is a study to compare actual performance to a standard of typical competence; or, a standard for the basis of comparison as being above, below or comparable to. (Benchmark adalah studi untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar kompentensi atau suatu standar untuk basis perbandingan). Berdasarkan definisi di atas, untuk mengukur kinerja maka dibutuhkan suatu alat ukur yang valid dan diterima oleh banyak pihak. Dalam dunia perbankan, BI rate atau LIBOR digunakan sebagai basis tingkat bunga dalam pinjaman antar bank dalam pasar uang. Selanjutnya, basis ini dipakai mengukur tingkat suku bunga yang akan dikenakan dalam pinjaman dan diberikan oleh bank kepada peminjam dan deposan. Mengingat kedua tingkat suku bunga di atas sudah diterima secara umum di kalangan perbankan, maka pemakaiannya pun sudah dianggap biasa, termasuk untuk perbankan syariah. Namun yang membedakan pemakaian benchmark pada bank konvensional dan perbankan syariah adalah, pada bank konvensional benchmark digunakan sebagai basis untuk tingkat bunga kredit dan deposito, sedangkan pada perbankan syariah benchmark hanya digunakan sebagai

panduan dan informasi bagi bank dan nasabah mengenai tingkat bagi hasil yang kompetitif . Bank syariah adalah institusi bisnis yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Disini perlu dipahami bahwa bank syariah, seperti organisasi bisnis lainnya, memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan secara optimal, namun dengan memperhatikan kaedah dan etika bisnis menurut syariah Islam, misalnya larangan untuk mengambil atau membayarkan bunga (riba), memberikan pembiayaan untuk perusahaan yang memproduksi barang-barang haram dan berinvestasi pada surat berharga yang tidak memenuhi kriteria syariah (Sharia compliant). Jadi yang harus dipahami adalah, bank syariah bukanlah lembaga sosial yang bertugas membagi-bagikan sumbangan tanpa harus dikembalikan. Dua ulama ternama seperti Maulana Taqi Usmani dari Pakistan dan Syeikh Nizam Yaqoobi dari Bahrain memberikan pendapat membolehkan perbankan syariah melakukan benchmark dengan tingkat suku bunga yang berlaku seperti BI rate dan LIBOR. Analogi yang mereka pakai yaitu, misalnya, ada dua orang yang membuka usaha menjual minuman. Orang pertama menjual minuman beralkohol dan mematok margin keuntungan 20 persen. Singkat cerita, orang pertama tadi berhasil dengan usahanya, kemudian orang kedua tertarik untuk membuka usaha penjualan minuman juga, namun karena ketaatannya pada agama, ia menjual minuman yang halal dan tidak mengandung alkohol dan mematok margin keuntungan 20 persen. Dari analogi tersebut, orang pertama menurut pandangan Islam berdosa karena berniaga dengan menjual produk yang diharamkan agama, sedangkan orang kedua malah dapat memperoleh pahala karena membuka usaha menjual produk yang dihalalkan agama, meskipun mematok tingkat margin keuntungan yang sama. Meskipun begitu, Syeikh Nizam menambahkan, bahwa jika memang di antara perbankan syariah dapat diterapkan suatu standar yang diterima secara umum meskipun hanya untuk suatu negara, maka itu akan lebih baik dibandingkan hanya bersandar kepada LIBOR. Bagi Hasil Ketika pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat, perbankan syariah memiliki asosiasi yang kuat dengan sistim bagi hasil. Namun dalam praktiknya, perbankan syariah tidak hanya menawarkan produk pembiayaan dan tabungan dengan prinsip bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah), namun juga ada jual beli tangguh (Murabahah), Salam, Istisna dan Ijarah. Produk dengan akad bagi hasil memang belum mendominasi porsi pembiayaan pada bank syariah, namun dengan berjalannya waktu, menurut Statistik Perbankan Syariah September 2007 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, ada satu hal yang patut dicatat, bahwa untuk proporsi pembiayaan, khususnya untuk yang berbasis bagi hasil (misalnya Mudharabah dan Musyarakah), juga terjadi peningkatan sebesar 43,4% dalam periode tersebut. Berarti telah terjadi kenaikan yang cukup signifikan pada pola pembiayaan perbankan syariah, dimana proporsi pembiayan berbasis bagi hasil telah mencapai 35,85% dari total seluruh pembiayaan yang dikeluarkan oleh perbankan syariah pada periode September 2007. Pola pembiayaan berbasis bagi hasil, meskipun merupakan jenis pembiayaan yang lebih adil, namun, memiliki risiko yang lebih besar daripada jenis pembiayaan lain seperti Murabahah. Risiko itu antara lain, risiko kegagalan proyek yang dibiayai, dimana bank

ikut menanggung kerugian, kemudian risiko dari pelaksana (Mudharib) yang berpotensi melakukan kecurangan pelaporan sehingga menaikkan biaya dan berakibat pada rendahnya pendapatan atau keuntungan yang akan dibagi antara bank syariah dengan pelaksana. Dengan tingginya risiko pada pembiayaan bagi hasil, maka bank syariah harus berhati-hati dalam memberikan pembiayaan jenis tersebut. Sehingga tidak setiap pengusaha atau nasabah yang mengajukan pembiayaan kepada bank syariah akan mendapat pembiayaan bagi hasil. Peran Serta Semua Pihak Perbankan Syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan yang stabil walaupun tidak secepat di negara lain misalnya Malaysia dan Timur Tengah. Hal ini disebabkan oleh bertubi-tubinya kritikan yang tidak sehat kepada lembaga keuangan baru ini yang tidak dialami oleh Perbankan Konvensional. Jadi ada semacam ketidakadilan perlakuan terhadap Perbankan Syariah, dimana disatu sisi diharapkan dapat mencetak laba, disisi lain diharuskan untuk selalu melakukan akad bagi hasil. Melihat fenomena itu, terutama untuk menjembatani perbedaaan persepsi antara masyarakat dengan perbankan syariah, maka perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus untuk mencapai titik temu sehingga tercapai pemahaman mengenai perbankan syariah yang benar. Oleh karena itu dituntut kerja sama Bank Indonesia, perbankan syariah, pemerintah pusat dan daerah, MUI dan dunia pendidikan untuk bersinergi memberikan pendidikan mengenai konsep perbankan syariah kepada masyarakat. Sehingga kita harapkan tidak lagi terdengar kritikan negatif terhadap bank syariah yang bersumber dari ketidaktahuan seperti yang dilakukan Gamawan Fauzi. Ikhtisar Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi membuat pernyataan bahwa Bank Syariah di daerahnya tidak konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah. Pernyataan merupakan persepsi umum masyarakat mengenai perbankan syariah khususnya mengenai benchmark dengan tingkat suku bunga dan bagi hasil Ulama Timur Tengah membolehkan benchmark, dengan argumentasi bahwa benchmark hanya sebagai patokan bagi Perbankan Syariah dan nasabah mengenai tingkat bagi hasil yang kompetitif. Perbankan Syariah menawarkan aneka macam produk pembiayaan dan pengumpulan dana dan tidak semuanya berbasis bagi hasil. Dituntut kerja sama Bank Indonesia, perbankan syariah, pemerintah pusat dan daerah, MUI dan dunia pendidikan untuk bersinergi memberikan pendidikan mengenai konsep perbankan syariah kepada masyarakat.

da sebuah situs forum yang mengutip jawaban saya pada konsultasi perbankan syariah di situs ekonomi dan bisnis syariah Niriah.com. Dalam konsultansi itu saya sengaja menjelaskan hakikat menabung dan berinvestasi di bank syariah, dua hal yang pada bank konvensional dianggap sebagai hal yang sama. Berbeda? Menabung dalam bank syariah mengandung arti menitipkan dana. Artinya, tujuan utamanya adalah menitipkan uang bukan berharap mendapatkan nilai lebih dari uang yang dititipkan itu. Sifat menitipkan itu sendiri ada yang bersifat amanah, yakni uang yang dititipkan tidak dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan usaha, dan ada pula yang bersifat dhamanah, dimana uang yang dititipkan dapat digunakan oleh bank dalam melaksanakan usaha membiayai nasabah. Yang terpenting dari sifat titipan (wadiah) ini adalah dana harus utuh pada saat diminta kembali oleh penabung. Untuk yang sifatnya dhamanah, bank syariah dapat membagikan porsi hasil usaha dalam bentuk bonus, namun tidak diperkenankan untuk dijanjikan di awal. Aplikasi dalam produk bank adalah Tabungan dan Giro. Berinvestasi mengandung arti yang sesungguhnya lebih komplek lagi, yakni ikut serta berbagi hasil (untung maupun rugi) dengan bank syariah dalam menjalankan usaha pembiayaan nasabah. Pada konsep idealnya, jika bank syariah rugi, kerugian ditanggung bersama nasabah yang berinvestasi. Kenyataannya, masyarakat masih memandang berinvestasi ini seperti menabung di bank konvensional. Masyarakat tidak siap menanggung rugi dan tidak siap pokok dananya berkurang. Inilah yang mendasari Bank Syariah akhirnya menerapkan konsep berbagi pendapatan (revenue sharing) bukannya berbagi keuntungan (profit sharing). Konsep ini berimplikasi bank syariah mampu menjaga investasi nasabah tidak berkurang nilainya, meskipun pembiayaannya merugi. Namun dampak dahsyatnya adalah Bank Syariah juga menjadi enggan berbagi kerugian dalam pembiayaan, karena yang diterapkan juga konsep revenue sharing. Tulisan saya, ternyata meninggalkan tanggapan moderator forum (Husni), yang sayangnya hanya menjadi komentar tak berjawab. Saya bukan anggota forum tersebut dan saya menemukan kutipan jawaban saya dari google.com. Komentar ini saya anggap sebagai pandangan umum yang wajib untuk dijelaskan agar persepsi masyarakat mengenai Bank Syariah dapat lebih sesuai dengan nafas ekonomi syariah yang adil dan tidak memberatkan. Komentar: pertanyaan mendasar...maukah orang menabung dan duitnya hilang atau berkurang karena dengan pola bagi hasil maka nasabah bank (penabung) mempunyai resiko kehilangan uangnya jika bank atau kreditor bank mengalami kerugian dalam bisnis. Tanggapan: Ini adalah mispersepsi mendasar dari produk penghimpunan dana di bank syariah. Jika kita berniat menabung, maka gunakanlah akad wadiah. Ada dua pilihan, baik yad adh-

dhamanah, dimana kita memberikan hak kepada bank untuk menggunakan dana kita dalam kegiatan usaha, maupun yad al-amanah, di mana bank tidak berhak menggunakan dana kita dalam kegiatan usahanya. Keduanya, sesuai dengan konsep akadnya, tidak akan berkurang duitnya. Nasabah tidak berisiko kehilangan uang jika bank atau kreditor bank mengalami kerugian dalam bisnis. Dalam akad yad adh-dhamanah, bank syariah dapat memberikan bonus kepada nasabahnya namun tidak diperjanjikan. Ingat di sini, menabung di bank syariah adalah menggunakan akad wadiah, tidak pernah berarti berisiko berkurang nilai dananya. Jika yang dimaksud adalah deposito dengan prinsip bagi hasil di bank syariah, maka sesungguhnya akadnya adalah investasi. Investasi tidak sama dengan menabung. Semua investasi mengandung risiko kerugian. Jadi sesungguhnya ketika dipilih opsi berinvestasi, nasabah harus bisa memahami bahwa ada risiko kerugian. Ini adalah sesungguhnya konsep awal deposito bagi hasil (mudharabah mutlaqah). Jika usaha bank untung, maka nasabah investasi akan mendapatkan bagi hasil keuntungan, jika rugi, nasabah investasi siap untuk berbagi menanggung kerugian. Karena bank syariah itu terkurung dalam istilah bank, dan berada dalam regulasi Bank Indonesia, termasuk tadi adalah belum siapnya nasabah bank syariah terhadap terms investasi, maka Bank Syariah menjadi menerapkan konsep berbagi pendapatan (revenue sharing). Bank akan selalu berbagi pendapatan terlebih dahulu kepada nasabah dananya. Biaya operasi bank akan ditanggung bank dari porsi pendapatan yang merupakan hak bank. Sepanjang kegiatan usaha bank itu menghasilkan pendapatan, maka nasabah investasi akan mendapatkan bagian pendapatan. Bagaimana jika usaha bank merugi? Jika bank tidak ada pendapatan maka bank tidak akan berbagi pendapatan ke nasabah investasi, namun bank juga tidak akan membebankan kerugian ini ke nasabah investasi. Jadi untuk masalah dana kemungkinan bisa berkurang jika bank rugi, dapat kita lihat merupakan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Namun konsekuensi logis dari hal ini adalah menjadi memberatkan nasabah yang dibiayai oleh bank. Bank juga menjadi tidak ingin berbagi rugi dengan usaha nasabahnya atau menerapkan konsep revenue sharing kepada nasabah sektor riil. Dalam Bank Syariah, nasabah dan bank adalah satu kesatuan yang sangat terkait. Komentar: Dan ternyata bank syariah juga dalam menyalurkan kreditnya selalu pada pengusaha yang sudah pasti untung/usahanya sudah jalan, kalau bisnis kita kembang kempis jangan harap bank syariah mau ngasih kredit (sama juga dengan bank konvensional). Tanggapan: Harus diakui memang, bank syariah di Indonesia belum paripurna dalam melaksanakan kegiatan ekonomi syariah. Sesungguhnya jika konsep ekonomi syariah benar dijalankan,

dimana ada dua sisi yang wajib ada, yakni sisi sosial (baitul maal) dan sisi komersial (baitul tamwil), permasalahan di atas dapat dijawab. Bank Syariah dapat menggunakan dana dari sisi baitul maal untuk mempersiapkan nasabah yang bisnisnya masih kembang kempis sampai layak untuk mendapatkan pembiayaan secara komersial melalui fungsi baitul tamwilnya. Inilah yang seharusnya dibangun oleh Bank Syariah. Mempersiapkan, membantu, membimbing usaha sektor riil agar profitable dan siap untuk dibiayai secara komersial. Dari tangan di bawah menuju tangan di atas. Adakah di antara kita yang mau ikut berkontribusi agar Bank Syariah mencapai kondisi seperti di atas? Ini benar-benar memerlukan effort yang besar agar evolusi ini bisa terjadi. Sehingga tidak muncul lagi pandangan bahwa Bank Syariah sama saja dengan Bank Konvensional. Kalau sekarang masih sama, mari kita bantu Bank Syariah untuk bisa menjadi yang benar-benar ideal. Komentar: saat ini orang menabung untuk mendapatkan bunga, dan yang dicari bunga yg besar, saat ini bonus dari bagi hasil seimbang dan kadang lebih besar dr bank konvensional, maka masyarakat (+_ 4 % dari total nasabah bank konvensional) mau menabung dibank syariah, tapi apakah saat ekonomi sulit dan bagi hasil dari bank syariah cuma misal 0.5% orang tetep mau menabung dibank syariah? Tanggapan: Bank Syariah akan kewalahan jika berperang harga dengan Bank Konvensional. Itulah sebabnya dibutuhkan usaha yang keras agar masyarakat mengerti bahwa menabung itu bukan sekedar mencari bunga. Kenyataan sekarang, masyarakat jika menabung sudah tidak lagi melihat besarnya bunga. Besarnya bunga baru signifikan ketika kita ingin mendepositokan uang kita. Sesungguhnya, jika sektor riil kita bergerak dan mampu mengenerate yield 30% p.a saja, maka kalau dihitung-hitung kasar, bagi hasil untuk nasabah investasi tetap lebih tinggi dari bunga deposito bank konvensional. Tugas berat bagi bank syariah adalah bagaimana membantu nasabah yang dibiayai agar mampu menghasilkan yield usaha 30% per tahun. Bank Syariah harus mau terjun langsung ke usaha nasabahnya. Komentar: Bisnis Bank atau uang itu sangat rumit, dan butuh waktu sangat lama untuk mendapatkan kepercayaan nasabah, selamat bersyariah. Jawaban: Semua bisnis sesungguhnya rumit. Panjang pendeknya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kepercayaan nasabah pun juga sifatnya relatif. Masyarakat sekarang tidak hanya butuh informasi dan edukasi untuk bisa percaya, namun lebih ke bukti. Di sinilah tugas kita semua yang merupakan stakeholder Bank Syariah untuk dapat membantu mewujudkan ekonomi syariah yang sebenar-benarnya. Makasih, Thank You, Matur Nuwun.

You might also like