You are on page 1of 10

S E N N , o ; J A N U A R z o o 8

ONTOLOGI {MITAIISIKA, ASLMSI, AN PILLANG)


ONTOLOGI (METAFISIKA, ASUMSI, DAN PELUANG)

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya.
Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan
kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui
kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir
didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Menurut Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari
pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat
juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan
tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian.
Secara ringkas, dengan demikian, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu
makna.Hornby menyatakan pula bahwa pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui,
yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah
pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem
pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan
pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha
membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dari hasil
pengamatan/penelitian ini akan dihasilkan teori dan dapat pula pengamatan/penelitian ini pula
ditujukan untuk menguji teori yang ada. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan
yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan
berasal.
Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri
dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya
membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah,
norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, agama sebagai misal, karena sifat normatifnya yang mutlak dan
mengandung kebenaran yang tidak bisa dipertentangkan, bukan bagian dari ilmu
pengetahuan.
Bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir
manusia yang tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian.
Berfikir merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau
pengalaman dengan maksud tertentu. Makin luas dan dalam suatu pengalaman atau
pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh proses berfikir yang dapat dilakukan.
Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan untuk mengabstraksi obyek menjadi sejumlah
informasi dan mengolah informasi untuk maksud tertentu.
Berfikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan umpan
balik kepada berfikir. Hubungan interaksi antara berfikir dan pengetahuan berlangsung secara
sinambung dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan akan berlangsung secara
kumulatif. Bagian terpenting dari berfikir adalah kecerdasan mengupas (critical intelegence).
*Ontologi ilmu, suatu analisis filsafat tentang kenyataan dan keberadaan yang berkaitan
dengan hakikat "ada.
*Episomologi ilmu, suatu teori tentang pengetahuan yang berkaitan dengan cara memperoleh
pengetahuan dan metode keilmuan.*Aksiologi ilmu, suatu teori tentang nilai atau makna.
Untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dari proses berfikir yang benar, dalam arti
sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti harus
menggunakan penalaran yang benar dalam berfikir. Hasil penalaran itu akan menghasilkan
kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan.
Secara definisi, nalar merupakan kemampuan atau daya untuk memahami suatu informasi dan
menarik kesimpulan. Dengan nalar tersebut, sesorang akan dapat menyajikan gagasan atau
pendapat secara tertib, runtut, teratur dan mengikuti struktur yang sifatnya logis (mantik).
Dengan nalar, ilmu dapat berfungsi menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan keadaan
atau kejadian.
Pada dasarnya terdapat dua bentuk penalaran; deduksi dan induksi. Deduksi
berpangkal pada suatu pendapat umum, berupa teori, hukum atau kaedah dalam menyusun
suatu penjelasan tentang suatu kejadian khusus atau dalam menarik suatu kesimpulan.
Deduksi bertujuan untuk mencari kesahihan (validitas) suatu informasi, bukan pada
kebenarannya. Maka kesahihan struktur argumentasi adalah pokok dalam penalaran deduktif,
terlepas dari benar atau tidaknya pangkal pendapat yang dirujuk. Karena rujukannya tersebut
sudah pasti, maka deduksi akan menghasilkan ungkapan atau kesimpulan yang berkepastian
secara logis. Kelemahan metode penalaran ini adalah kurang mampu membawa hasil
penalaran ke pembentukan pendapat atau ide baru.
Induksi berpangkal pada sejumlah fakta empirik untuk menyusun suatu penjelasan
umum, teori, atau kaidah yang berlaku secara umum di masyarakat. Karena tidak mungkin
untuk mengamati keseluruhan fakta yang ada, terutama pada fakta yang muncul dikemudikan
hari, kesimpulan induktif hanya akan dapat mencapai kebenaran yang sifatnya probabilistik.
Kesahihan pendapat induktif ditentukan secara mutlak oleh kebenaran fakta yang dijadikan
pangkal penalaran. Namun demikian, induksi memiliki peluang untuk menciptakan teori baru.
Jika induksi dan deduksi dapat digabungkan menjadi satu kesatuan struktur penalaran, maka
penalaran akan menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, kekurangpastian dari logika induksi akan dapat dikompensasi oleh
kelebih pastian logika deduksi. Demikain pula, kekurangmampuan metode deduksi dalam
melahirkan teori baru akan terkompensasi oleh kemampuan yang lebih pada metode induksi
untuk melahirkan teori baru (Tejoyuwono, 1991).
1.2 Masalah
Dari latar belakang diatas maka didapatkan permasalahan :
1) Bagaimana Ontologi itu sendiri?
2) Bagaimana Metafisika itu ?
) Apa itu Asumsi ?
4) Apa itu Peluang?
2. Pembahasan
2.1 Pengertian Ontologi
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang IilsaIat
yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan
dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri.
Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan
berjalannya waktu. Neches (1991) memberikan deIinisi tentang ontologi yaitu:
'Sebuah ontologi merupakan deIinisi dari pengertian dasar dan relasi vocabulary dari
sebuah area sebagaimana aturan dari kombinasi istilah dan relasi untuk
mendeIinisikan vocabulary.
Gruber (1991) memberikan deIinisi yang sering digunakan oleh beberapa
orang, deIinisi tersebut adalah 'Ontologi merupakan sebuah spesiIikasi eksplisit dari
konseptualisme. Berdasarkan deIinisi Gruber tersebut banyak orang yang
mengemukakan deIinisi tentang ontologi diantaranya Guarino dan Giaretta (1995)
mengumpulkan deIinisi yang berkoresponden dengan syntactic dan semantic
interprestasi. Sedangkan Borst (1997) melakukan penambahan dari deIinisi Gruber
dengan mengatakan 'Sebuah ontologi adalah spesiIikasi Iormal dari sebuah
konseptual yang diterima (share).
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit
dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah
ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan
sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge
base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu
objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi
pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan IilsaIat, ontologi adalah
studi tentang sesuatu yang ada.
2.2 Metafisika
Dlm bahasa Inggris berakar dari bhs Yunani on` berarti ada dan ontos berarti
keberadaan, logos berarti pemikiran Lorens Bagus : 2000).
Ontologi menurut A.R. Lacey, ontologi berarti a central part of
metaphisics` (bagian sentral dari metaIisika) sedangkan metaIisika diartikan sebagai
that which comes aIter physics, . the study oI nature in general (hal yang hadir
setelah Iisika, . studi umum mengenai alam)
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metaIisika.
Mengapa ontologi terkait dengan metaIisika? Ontologi membahas hakikat yang
'ada, metaIisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-
benarnya? Pada suatu pembahasan, metaIisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi
pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metaIisika.
Karena itu, metaIisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait.
Bidang metaIisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran IilsaIati,
termasuk pemikiran ilmiah. MetaIisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah
alam ini. Terdapat Beberapa penaIsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini
(Jujun, 2005).

a. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersiIat lebih
tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme
merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana
manusia percaya bahwa terdapat roh yang siIatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
b. Naturalisme.
Paham ini menolak wujud-wujud yang bersiIat supernatural. Materialisme
merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme
menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam
alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia
mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari
alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu
panas, dan sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal
tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang bersiIat nyata. Jadi, panas,
dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala
yang ditangkap oleh pancaindra.
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia Iisika.
Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk
makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia Iisika semata. Hal ini ditentang oleh
kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik
sepakat bahwa proses kimia Iisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya
meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.
Kaum vitalistik mempertanyakan apakah manusia merupakan bagian dari proses
kimia Iisika tersebut. Pertanyaan berlanjut pada bagaimana pandangan mengenai
pikiran (kesadaran)? Bagi kaum vitalistik, hidup merupakan sesuatu yang unik yang
berbeda dengan proses kimia Iisika tersebut. Proses berIikir manusia menghasilkan
pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun, apakah apakah
kebenarannya dari hakikat pikiran tersebut? Apakah dia berbeda dengan benda yang
ditelaahnya, ataukah bentuk lain dari zat tersebut?
Kelompok naturalis yang lain, yaitu aliran monoistik dengan tokohnya
Christian WolI (1679-1754), menyatakan bahwa tidak berbeda antara pikiran dengan
zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan proses berlainan, namun
memiliki substansi yang sama. Sebagaimana energi dan zat, teori Einstein:
menyatakan energi hanya bentuk lain dari zat. Jadi proses berIikir dianggap sebagai
aktivitas elektro kimia dari otak.
Kelompok lainnya, yaitu aliran dualistik memberikan pendapat yang berbeda
tentang makna kesadaran. Zat dan kesadaran (Iikiran) adalah berbeda secara
substantiI, sui generalis. Tokoh penganut paham ini antara lain Rene Descartes, John
Locke dan George Berkeley. Mereka menyatakan bahwa apa yang ditangkap oleh
pikiran manusia, termasuk penginderaan dari hasil pengalaman manusia, adalah
bersiIat mental. Yang bersikap nyata hanyalah pikiran, karena dengan berpikir maka
sesuatu itu akan menjadi ada. Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada.
John Locke mengibaratkan pikiran manusia pada awalnya merupakan sebuah
lempeng yang licin dan rata dimana pengalaman inderawi akan melekat dalam
lempeng tersebut. Organ manusia lah yang menangkap dan menyimpan pengalaman
inderawi.
Berkeley terkenal dengan ungkapannya to be is to be perceived.Ada adalah
disebabkan oleh persepsi. Sesuatu akan muncul karena manusia berpikir dan
memunculkan suatu anggapan. Proses kreasi muncul karena persepsi ini dan
menghasilkan sesuatu yang berujud.
Dalam kajian metaIisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba
menaIsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari
setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan,
akan semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan
mengenai hal-hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan IilsaIat diberikan oleh
setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki IilsaIat individual
yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu adalah siIat
pragmatis dari ilmu.
2. Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi
penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang
kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi
dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang
diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan
untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar
yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the
standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: " .kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa.. ".penjajahan diatas bumi.tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.
Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward)
maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis
merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: "Bawalah
payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah. Asumsi yang digunakan adalah
hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan
menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu
pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan
kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan
kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk
melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran
sudah membuktikan sendiri.Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa
pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise.
Pangkal pendapat dalam suatu entimen .
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara
tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk
pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):
1. Deterministik.
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal. Tokoh:
William hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat
empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat uiversal. Pada lapangan
pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik lebih banyak dikenal dan asumsinya banyak
digunakan dibanding ilmu sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam. Satu jam
adalah sama dengan 60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa
nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapa pun jumlah percobaan dilakukan, satu atom karbon
dan oksigen dicampur akan menghasilkan carbon dioksida.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum
alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu
sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan.
Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di
belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu
melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana
di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada
ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun
sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu.
Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik
dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas
ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan
variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%.
Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar
95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari
95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut
kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya
adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin
dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang
berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya
yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan
digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran
probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai
pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-
hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman
terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu;
Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana
keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti
mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat
peluang.
Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak
asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan
demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan
berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian
sempit menjadi diperlukan.
Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini?
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini
harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis
Asumsi ini harus disimpulkan dari "keadaan sebagaimana adanya bukan "bagaimana keadaan
yang seharusnya. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus
bercirikan positif, bukan normatif.
Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah
fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau
fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi
yang berbeda:
Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep-
kosep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita
dijelaskan melalui konsep yang telah ada.
Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang
tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak
tergantung pada persepsi individu.
Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial, terdapat dua asumsi berbeda
dalam membicarakan tentang sifat masyarakat sosial. Asumsi ini sangat penting dalam
menentukan pendekatan terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan konflik,
perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi yang berbeda ini tercermin dalam dua
teori:
Order
Asumsi ini lebih diterima secara umum oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan yang
menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat:
O Relatif stabil.
O Terintegrasi dengan baik.
O Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi masing-masing dan saling berkoordinasi.
O Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus, bukan pemaksaan (coercion )
O Konflik
O Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat :
O Mengalami perubahan di banyak aspek
O Mengalami konflik di banyak aspek.
Setiap elemen dari masyarakat memiliki kontribusi ke arah disintegrasi
Perbedaan order versus konIlik ini cenderung ditinggalkan dan digantikan oleh
regulation (regulasi) versus radical change (perubahan radikal). Pandangan yang
bersiIat regulasi lebih terkait pada bagaimana masyarakat cenderung menjadi sebuah
kesatuan dan adanya kebutuhan akan regulasi. Pandangan perubahan radikal
berIokus kepada bagaimana terciptanya perubahan radikal, konIlk, dominasi dan
kontradiksi.
Penelaahan suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji permasalahan dalam
masyarakat, terlebih entitas lokal, perlu menggunakan pilihan asumsi yang tepat.
Bidang kajian ilmu ekonomi pembangunan perlu melihat kondisi aspek
kemasyarakatan secara detil. Kesalahan penggunaan asumsi akan memberikan
dampak negatiI bagi obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek pengetahuan
tersebut. Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari penelitian mengenai
proses pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan tidak tepat.
2.4 Peluang
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti
mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di
mana didasarkan pada penaIsiran kesimpulan ilmiah yang bersiIat relatiI.
Kesimpulan
Dari Pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan :
a) ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property
dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada
suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan IilsaIat, ontologi
adalah studi tentang sesuatu yang ada.
b) Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metaIisika.
Mengapa ontologi terkait dengan metaIisika? Ontologi membahas hakikat
yang 'ada, metaIisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan
ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metaIisika merupakan
bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan
salah satu dimensi saja dari metaIisika. Karena itu, metaIisika dan
ontologi merupakan dua hal yang saling terkait.
Bidang metaIisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran
IilsaIati, termasuk pemikiran ilmiah. MetaIisika berusaha menggagas
jawaban tentang apakah alam ini.
c) Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan
menjadi lebar. Semakin terIokus obyek telaah suatu bidang kajian,
semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur
pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan
primitiI, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu
gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk
menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal
yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan
adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan
suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
d) Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti
mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana
didasarkan pada penaIsiran kesimpulan ilmiah yang bersiIat relatiI.
4 Daftar Pustaka
A.C. Ewing, !ersoalan-!ersoalan Mendasar Filsafat. Jakarta:Pustaka
Pelajar,2003. Terjemahan.
http://suparman-untad.blogspot.com/2007/10/ontologi.html
Louis O. KattsoII, !engantar Filsafat. Yogayakarta: Tiara wacana, 1996.
Terjemahan.
Suhartono, Suparlan. 2000. Filsafat Ilmu !engetahuan. Jakarta : Ar-Ruzz
Suriasumantri, Jujun S, 1998. Filsafat Ilmu Sebuah !engantar !opular.Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan
Diposkan oleh EDUCATION TECHNOLOGY LUSYdi 23:51
komentur:
Poskan Komentar
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
EducuLIon TecInoIogy
A R S P B O G
O 2008 (8)
4 Januari (8)
KONTRIBUSI TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PEMBANGU...
LANDASAN TEORI KOMUNIKASI DAN INFORMASI
TIK DAN PENDIDIKAN JARAK JAUH
PENGEMBANGAN MEDIA TIK UNTUK PENDIDIKAN
ONTOLOGI (METAFISIKA, ASUMSI, DAN PELUANG)
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN TIK SEBAGAI SUMBER BE...
INTERNET SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN
SISTEM PENDIDIKAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN...
E N G E N A S A Y A

EDUCATION TECHNOLOGY LUSY
BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN
Lihat profil lengkapku

You might also like