You are on page 1of 23

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negaranegara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi. Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat. Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.

Page 1

Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri. Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi. Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara. Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi. Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktik kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya.

Page 2

Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi: a.Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam dengan rangka kerjasama swasta. pemerintah/BUMN/BUMD

b.Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif. c.Penetapan harga penjualan atau ruislag yang menyimpang. Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari praktik-praktik kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya. Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentingan pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar dan jalur distribusi. Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi. Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh
Page 3

keuntungan untuk membiayai kepentingan-kepentingan politik yang akan mereka raih. Lantas bagaimana korupsi itu dipraktikkan? Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri. Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para aparat di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya. Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu gerbang tol1. B. Ruang Lingkup Masalah Untuk membatasi permasalahan maka penulis hanya akan membahas mengenai: a. Konsep Birokrasi b. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme C. Tujuan
1

http://organisasi.org/praktek-kkn-korupsi-kolusi-dan-nepotisme-di-indonesia-dilihatdari-sudut-pandang-etika-bisnis diakses pada 21 November 2011 pkl 20.00wib

Page 4

Adapun tujuan-tujuan penulis untuk membahas makalah mengenai konsep birokrasi, korupsi, kolusi dan nepotisme di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui bagaimana konsep birokrasi secara umum

b. Mengetahui definisi dan berbagai modus korupsi, kolusi dan nepotisme

Page 5

Bab II Konsep Birokrasi, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme


A. Definisi Birokrasi

Taliziduhu Ndraha (2003), tiga macam perkembangan birokrasi saat ini:


1. Birokrasi diartikan sebagai aparat yang diangkat penguasa untuk

menjalankan pemerintahan (government by bureaus). 2. Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintah yang buruk (patologi). 3. Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi. Pengertian birokrasi menurut Harbani Pasolong yaitu badan atau kantor = organisasi yang dipimpin oleh pejabat pemerintah di bawah menteri yang tugas utamanya memberikan pelayanan. Pengertian birokrasi (pemerintahan) disini adalah suatu organisasi pemerintahan yang terdiri dari sub-sub struktur yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, yang memiliki fungsi, peran, dan kewenangan dalam melaksanakan pemerintahan, dalam rangka mencapai suatu visi, misi, tujuan, dan program yang telah ditetapkan. Fungsi dan peran birokrasi meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) melaksanakan pelayanan publik; (2) pelaksana pembangunan yang profesional (merrit system): (3) perencana, pelaksana dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintahan): (4) alat pemerintah untuk melayani kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral dan bukan merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik (netralitas birokrasi). Kewenangan birokrasi adalah kewenangan formal yang dimiliki dengan legitimasi produk hukum bukan dengan legitimasi politik. Secara umum birokrasi terdiri dari biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Dari pengertian dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Birokrasi ini bersifat rigid atau kaku.
Page 6

Beberapa ciri utama Birokrasi : 1. Adanya pembagian kerja yang jelas


2. Aturan formal dan regulasi

3. Hubungan yang impersonal Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah: 1. Suatu prosedur yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien; 2. Keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantupemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. B. Konsep Birokrasi
Bagi banyak orang, konsep birokrasi lekat dengan stempel tak efektif, lambat, kaku, bahkan menyebalkan. Stempel-stempel seperti ini pada satu sisi menemui sejumlah kebenarannya pada fakta lapangan. Namun, sebagian lain merupakan stereotipe yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan keabsahannya. Konsep birokrasi yang dikaji pada makalah ini mengikut pada dua teoretisi yang cukup berpengaruh di bidang ini. Pertama adalah konsep birokrasi yang disodorkan Max Weber. Kedua adalah konsep birokrasi yang disodorkan oleh Martin Albrow.

Birokrasi Max Weber Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata Bureau. Kata bureau berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.

Page 7

Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. BirokrasiPatrimonial ini berlangsung di waktu hidupWeber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia. Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatanpejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negarayang salah-urus atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar ketidakrasional itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuahotoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu : 1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan; 2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-

hak kontrol dan pengaduan (complaint);


4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis

maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai

individu pribadi; 6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;


7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini

cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan


8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat

pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.

Page 8

Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional. Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legalrasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut :
1. Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya

menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;


2. Terdapat hirarki jabatan yang jelas;

3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; 4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5. Para

pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya

didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;


6. Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun.

Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
7. Pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat; 8. Suatu struktur karir dan promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan

keahlian serta menurut pertimbangan keunggulan;


9. Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun

dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut, dan;


10. Pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktikkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek disiplin. Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturanaturan tertulis dan dapat disimak oleh siapapun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut :

Page 9

1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam

pengambilan suatu keputusan.


2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung

jawabterhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih.


3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah

tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warga negara yang dapat melaksanakan tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang

bertanggungjawab kepada suatu majelis.


5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang

diangkat mewakili para pemilihnya. Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber. Konsep Birokrasi Martin Albrow Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktikkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah:
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional.

Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai organisasi rasional, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.
2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi. Page 10

Birokrasi terlalu

percaya

kepada

preseden

(aturan

yang

dibuat

sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturanaturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri-sendiri. 3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat. 4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik) Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakankebijakan negara diimplementasikan.
5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat

Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, stafstaf administrasiyang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasi-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi. 6. Birokrasi sebagai suatu organisasi Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut. 7. Birokrasi sebagai masyarakat modern Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar
Page 11

ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern. C. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 1. Korupsi Korupsi adalah mengambil atau menerima suatu keuntungan untuk diri sendiri yang tidak sah secara hokum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan. Jadi jelas dalam pengertian ini, segala bbentuk penggelapan, pencurian terhadap dana public untuk menguntungkan diri sendiri adalah perbuatan korupsi.2 Korupsi adalah prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal, menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.3 Berdasarkan pemahaman pasal 2 UU no 31 th 1999 sebagaimana yang diubah dengan UU no 20 th 2001, Korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara.4 Sehingga unsur unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah:

Secara sadar melawan hukum; Memperkaya diri sendiri/orang lain; dan dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara

Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Strategi Pemberantasan Korupsi, korupsi dapat dipicu oleh5:
2

Aspek Individu Pelaku


Claussen (2003). http://himpsijaya.org/2008/05/02/psikologi-

Arrigo dan korupsi/korupsi


3

Kukok Satrianto, Korupsi dan Kekuasaan, Banjarmasinpost.co.id, 5 Maret 2009 Pasal 2 UU no. 31 th 1999 sebagaimana yang diubah dengan UU no. 20 th 2001

Page 12

a. Sifat tamak manusia. Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena kemiskinan atau penghasilan tidak cukup. Mungkin cukup kaya tetapi masih mempunyai hasrat besar memperkaya diri.
b. Moral yang kurang kuat. Seseorang yang moralnya tidak kuat

cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu berasal dari atasan, teman sejawat, bawahan atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang kurang mencukupi. Penghasilan seorang pegawai

selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Keadaan ini yang akan member peluang besar untuk melakukan tindak korupsi. d. Kebutuhan hidup yang mendesak. Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas di antaranya dengan melakukan korupsi. e. Gaya hidup yang konsumtif. Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseorang konsumtif. Prilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya salah satunya adalah korupsi. f. Malas atau tidak mau kerja. Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat. Sifat semacam ini berpotensi melakukan tindakan apapun termasuk korupsi.
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan. Meskipun mayoritas adalah

penduduk relijius, kenyataannya korupsi menggejala di Indonesia. Ini menandakan adanya paradox bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
5

Aspek Organisasi

Lihat Bambang Rudito dan Melia Famola. 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia. Bandung: Rekayasa Sains, h. 78-81

Page 13

a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan. Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Jika pemimpin melakukan korupsi maka kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar. Kultur organisasi biasanya

punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. c. Tidak memadainya system akuntabiilitas di instansi pemerintah. Kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan

sistem

pengendalian

manajemen.

Semakin

lemah

pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka. e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi. Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada bisa ditimbulkan oleh budaya komunitas. Misalnya, komunitas menghargai seseorang karena kekayaan yang diimilikinya. Sikap ini seringkali membuat komunitas tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu diperoleh. b. Komunitas kurang menyadari sebagai korban utama korupsi. Komuniitas masih kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan dalam korupsi itu adalah komunitas. Mereka umumnya beranggapan bahwa yang rugi hanyalah Negara. c. Komunitas kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Seringkali komunitas terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari.
a. Nilai-nilai di komunitas kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi

Page 14

d. Komunitas kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas bila komunitas ikut aktif.
e. Aspek peraturan perundang-undangan. Korupsi mudah timbul karena

adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa. Berdasarkan catatan Komunitas Transparansi Indonesia, ada beberapa modus korupsi yang timbul di Indonesia, yaitu: Pemerasan pajak, manipulasi tanah, jalur cepat pembuatan KTP, SIM jalur cepat, Markup anggaran, proses tender dan penyelewengan dalam penyelesaian perkara. Di samping itu, terdapat factor-faktor penyebab terjadinya korupsi seperti6: Penegakkan hukum tidak konsisten: penegakkan hukum hanya sebagai make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan. Langkanya lingkungan yang antikorup: system dari pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas. Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperloeh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

Kemiskinan, keserakahan: Masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.

Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi: saat tertangkap bisa menyuap penegak hokum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.

KPK, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta, tanpa tahun, h. 23-24

Page 15

Budaya permisif/serba membolehkan tidak mau tahu: Menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentiingannya sendiri terlindungi.

Gagalnya pendidikan agama dan etika. Ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena prilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkkan peran social.

Page 16

Transparency International mengumumkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2006 adalah 2.4, menempati urutan 130 dari 163 negara. Tahun 2008 IPK Indonesia adalah 2.2 dan menempatii urutan 133 dari 146 negara.

Negara Singapura Hong Kong Jepang Taiwan Korea Selatan Malaysia Thailand China India Sri Lanka Filipina Indonesia Papua Nugini Pakistan Kamboja Banglades Myanmar

2003 9.4 8.0 7.0 5.7 4.3 5.2 3.3 3.4 2.8 3.4 2.5 1.9 2.1 2.5 1.3 1.6

Skor IPK 2004 2005 9.3 9.4 8.0 8.3 6.9 7.3 5.6 5.9 4.5 5.0 5.0 5.1 3.6 3.8 3.4 3.2 2.8 2.9 3.5 3.2 2.6 2.5 2.0 2.2 2.6 2.3 2.1 2.1 1.7 1.7 1.8 1.8

2006 9.4 8.3 7.6 5.9 5.1 5.0 3.6 3.3 3.3 3.1 2.5 2.4 2.4 2.2 2.1 2.0 1.9

Page 17

Sumber: http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1267

2. Kolusi Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:

Pemberian uang pelicin kepada perusahaan tertentu oleh oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu. Biasanya, imbalannya adalah perusahaan tersebut kembali ditunjuk untuk proyek berikutnya.

Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G2G (pemerintah ke pemerintah) atau G2P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung.7

3. Nepotisme Nepotisme dapat dikatakan sebagai perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; Dapat juga merupakan sebuah kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah;

http://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi, diakses pada 26 November 2011 pkl 19.00wib

Page 18

Dan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan untuk memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.8 D. Modus Korupsi Berdasarkan catatan Komunitas Transparansi Indonesia, ada beberapa modus korupsi yang timbul di Indonesia, yaitu9: Pemerasan Pajak. Pemeriksa pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan kesalahan perhitungan pajak yang mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa karena kesengajaan wajib pajak dan bisa juga bukan karena kesengajaan. Kekurangan tersebut dianggap tidak ada dan imbalannya wajib pajak harus membayarkan sebagian kekurangan tersebut ke kantong pemeriksa pajak. Manipulasi tanah. Berbagai cara dilakukan untuk memanipulasi status kepemilikan tanah, termasuk memanipulasi tanah Negara menjadi milik perorangan/badan, merendahkan pembebasan tanah dan meninggikan pertanggungjawaban, membebaskan terlebih dahulu tanah yang akan kena proyek dengan harga murah. Jalur cepat pembuatan KTP. Dalam pembuatan KTP dikenal jalur biasa dan jalur cepat. Jalur biasa adalah procedural biasa, yang mungkin wakunya lebih lama tapi biayanya lebih murah. Sedangkan jalur ceepat adalah proses yang pembuatannya lebih cepat dan harganya lebih mahal.

SIM jalur cepat. Dalam proses pembuatan SIM secara resmi diberlakukan ujian/tes tertulis dan praktik yang dianggap oleh sebagian warga, akan mempersulit pembuatan SIM. Untuk mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar asalkan tidak harus mengikuti ujian. Biasanya warga yang terlibat dalam praktik ini adalah warga yang mengurus SIM dan oknum yang menangani pengurusn SIM.

http://artikata.com/arti-342162-nepotisme.html, diakses pada 26 November 2011 pkl 19.23wib


9

Ibid. h. 82-83

Page 19

Markup budget/anggaran. Biasanya terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek dengan cara memasukkan pospos pembelian yang sifatnya fiktif. Misalnya dalam anggaran dimasukkan pembelian komputer tetapi pada praktiknya tidak ada komputer yang dibeli atau kalau komputer dibeli harganyapun lebih murah.

Proses tender. Dalam proses tender pengerjaan proyek seperti perbaikan jalan atau pembangunan jembatan seringkali terjadi penyelewengan. Pihak yang sebenarnya memenuhi persyaratan tender, terkadang tidak memenangkan tender karena telah dimenangkan oleh pihak yang mampu main belakang dengan membayar lebih mahal, walaupun tidak memenuhi syarat. Dalam hal ini terjadi penyogokan kepada pemberi tender oleh peserta tender yang sebenarnya tidak qualified

Penyelewengan dalam penyelesaian perkara. Korupsi terjadi tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi mengubah (menafsirkan secara sepihak) pasalpasal yang ada untuk meringankan hukuman kepada pihak yang memberi uang kepada penegak hukum. Praktik ini melibatkan terdakwa/tersangka, penegak hukum dan pengacara.

Page 20

Bab III Penutup

A. Kesimpulan Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata biro (bureau) yang berarti kantor ataupun dinas, dan kata krasi (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan. Secara tipologik (tipe ideal), Max Weber mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi seperti diantaranya10: Pertama, dalam organisasi ini terdapat pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas. Kedua, organisasi jabatan ini mengikuti prinsip hirarki. Ketiga, kegiatan organisasi jabatan ini dilakukan berdasarkan system aturan abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus. Keempat, setiap pejabat melaksanakan tugasnya dalam semangat dan hubungan yang formal dan impersonal, yakni tanpa perasaan benci atau simpati, dan karena itu tanpa afeksi atau antusiasme. Kelima, setiap pegawai dalam organisasi ini direkrut menurut prinsip kualifikasi teknis, digaji, dan dipensiun menurut pangkat dan kemampuan dan dipromosikan menurut asas kesenioran atau kemampuan, atau keduanya. Keenam, organisasi administrasi yang bertipe birokratis dari segi pandangan teknis cenderung lebih mampu mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Korupsi, kolusi dan nepotisme dinilai sebagai suatu persoalan mendasar dalam etika bisnis. Dalam jangka panjang, terbukti bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme telah menyebabkan kebangkrutan dan inefisiensi serta penurunan produktivitas. Khusus untuk korupsi dapat dipicu oleh aspek individu, organisasi dan aspek tempat individu dan organisasi tersebut berada. Di samping itu, terdapat factor-faktor penyebab terjadinya korupsi, seperti penegakkan hukum tidak konsisten, penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan, langkanya lingkungan
10

Dankwart A Rustow dan Robert E. Ward, eds. 1964. Political Modernization in Japan an Turkey. Princeton, N.J: Princeton University Press, h. 6-7

Page 21

yang antikorup, system dari pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas, rendahnya pendapatan penyelenggara Negara, kemiskinan dan keserakahan, budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka kami sebagai penulis memiliki beberapa catatan yang berguna sebagai saran untuk dapat diperbaiki pada kajian selanjutnya, di antaranya sebagai berikut:
1. Konsep yang diuraikan di atas masih secara umum, tidak/kurang

dijelaskan mengenai konsep birokrasi yang ada di Indonesia. 2. Tidak/kurang diberikan contoh mengenai kasus kolusi dan nepotisme yang pernah terjadi di Indonesia.
3. Fokus pembahasan makalah ini lebih banyak tertuju pada kasus korupsi,

sehingga kolusi dan nepotisme menjadi lebih sedikit dibahas.

Daftar Pustaka
Page 22

Buku Durachman, Yusuf dan Syopiansyah Jaya Putra. 2009. Etika Bisnis dan Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo. Internet http://organisasi.org/praktek-kkn-korupsi-kolusi-dan-nepotisme-di-indonesiadilihat-dari-sudut-pandang-etika-bisnis diakses pada 21 November 2011 pkl 20.00wib http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1267, diakses pada 26 November 2011 pkl 17.00wib http://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi, diakses pada 26 November 2011 pkl 19.00wib http://www.kppu.go.id/docs/Artikel/Seminar%20PBJ.pdf, November 2011 pkl 19.38 wib http://artikata.com/arti-342162-nepotisme.html, diakses pada 26 November 2011 pkl 19.23wib diakses pada 26

Page 23

You might also like