You are on page 1of 7

UJIAN AKHIR SEMESTER SUSULAN

m.k. Metode Penelitian Biofisik Kelautan


Nama: Adriani SUNUDDIN Tanda tangan:
NRP/PPs: C651040091/Ilmu Kelautan

1. Jelaskan kerangka metodologi operasional pengukuran daya dukung suatu laguna pulau kecil bagi
peruntukkan marikultur?

Laguna adalah suatu sistem sumberdaya yang memerlukan perencanaan khusus dalam pengelolaannya
karena memiliki nilai lingkungan yang sangat tinggi, bersifat insular (terpisah dari daratan utama), mendapat pengaruh
oseanik yang dominan, dan menjadi tempat berkembangnya kegiatan ekonomi penduduk di sekitarnya. Laguna pulau
kecil didefinisikan sebagai bagian dari sistem perairan (water bodies) di wilayah pesisir yang mendapat pasokan air
tawar sangat terbatas dan kadangkala terpisah dari sistem perairan laut akibat terbentuknya gosong pasir (sandbar)
pada musim-musim tertentu sehingga kadar garamnya sangat tinggi (hypersaline). Laguna pulau kecil merupakan
habitat yang rentan karena secara fisik sangat dipengaruhi oleh kondisi lautan terbuka (oseanik), secara ekologis
berperan sebagai habitat khusus yang menjamin kelangsungan siklus hidup berbagai jenis biota laut, serta ditimpali
peran sosio-ekonomi sebagai lokasi aneka kegiatan ekonomi yang penting bagi kesejahteraan penduduk di pulau
tersebut seperti pelayaran, wisata, marikultur dan perikanan. Dalam upaya memberdayakan potensi pemanfaatan
laguna untuk pengembangan marikultur, maka kegiatan pengukuran daya dukung mutlak dilakukan agar kelestarian
ekosistem dan keberlanjutan multi-manfaat laguna tetap terjaga.

Daya dukung merupakan tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan
tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan. Oleh karena laguna pulau kecil merupakan suatu sistem
sumberdaya yang kompleks dan rentan, maka pengukuran daya dukung meliputi beberapa komponen berikut:
- daya dukung ekologis: tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya
atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis
- daya dukung fisik: jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat
diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik
- daya dukung sosial: tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem
terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan
- daya dukung ekonomi: tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan
keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan

Kegiatan pengambilan data yang dilakukan sebaiknya meliputi beberapa disiplin ilmu sebagai berikut:
oseanografi, biologi dan ekologi, makro-ekonomi, ekonomi pemasaran, perencanaan fisik, sosiologi, dan
memperhatikan aspek pelayaran (jalur transportasi). Dengan kata lain, diperlukan suatu analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL) yang mungkin timbul dari adanya kegiatan budidaya di laguna pulau kecil. Hal ini sesuai dengan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan AMDAL.

Sumberdaya hayati yang akan dibudidayakan sebaiknya merupakan biota yang secara alami terdapat di
habitat pesisir pulau kecil tersebut, dengan demikian kemungkinan timbulnya wabah (alien species invasion) yang
membahayakan kehidupan biota asli dapat dihindari. Apabila obyek marikultur telah ditetapkan, selanjutnya dilakukan
penilaian (skoring) tingkat kesesuaian berdasarkan data ekologi dan fisik yang diperoleh serta telah dipetakan secara
spasial. Berikut ini adalah contoh parameter dan skoring dalam penentuan tingkat kesesuaian budidaya rumput laut.
UJIAN AKHIR SEMESTER SUSULAN Nama: Adriani Sunuddin
m.k. Metode Penelitian Biofisik Kelautan NRP: C651040091/IKL

Tabel penilaian untuk kelayakan lokasi budidaya rumput laut (sumber: DKP 2002):

Parameter yang diukur Angka Penilaian Bobot Kredit Nilai


Baik :5 10
1. Terlindung dari pengaruh angin musim Sedang :3 2 6
Kurang :1 2
< 10 :5 5
2. Kondisi gelombang (cm) 10 – 30 :3 1 3
> 30 :1 1
20 – 30 :5 5
3. Arus (cm/detik) 10 – 20 dan 30 – 40: 3 1 3
< 10 dan > 40: 1 1
2,5 – 5 :5 10
4. Kedalaman perairan (m) 1 – 2,5 :3 2 6
< 0,5 :1 2
Berkarang: 5 5
5. Dasar perairan Pasir :3 1 3
Pasir berlumpur: 1 1
32 – 34 :5 10
6. Salinitas (‰) 30 – 32 :3 2 6
< 30 dan > 34: 1 2
24 – 30 :5 10
7. Suhu (°C) 20 – 24 :3 2 6
< 20 dan > 30: 1 2
110 – 60 :5 5
8. Kecerahan (cm) 30 – 40 :3 1 3
30 :1 1
Subur :5 15
9. Kesuburan perairan* Cukup :3 3 9
Kurang :1 3
Baik :5 5
10. Sumber benih dan induk* Cukup :3 1 3
Kurang :1 1
Baik :5 5
11. Sarana penunjang* Cukup :3 1 3
Kurang :1 1
Tidak ada: 5 10
12. Pencemaran* Sedang :3 2 6
Kurang :1 2
Aman :5 5
13. Keamanan* Cukup :3 1 3
Kurang :1 1

Setelah analisis kesesuaian dilakukan, potensi dan kondisi laju pemanfaatan laguna perlu ditinjau sampai saat
terkini. Terakhir, data ekologis, data fisik, data sosial dan ekonomi yang terkait dengan pelaksanaan dan
pengembangan marikultur di laguna pulau kecil dianalisis lebih lanjut dengan ANALISIS DEGRADASI, DEPLESI dan
DEPRESIASI, untuk menentukan taraf pembangunan berkelanjutan yang sesuai bagi masyarakat pulau kecil tersebut,
menurut diagram berikut ini:

2
UJIAN AKHIR SEMESTER SUSULAN Nama: Adriani Sunuddin
m.k. Metode Penelitian Biofisik Kelautan NRP: C651040091/IKL

Distribution
Density Ratio
Spasial coefficient analysis
Density

Data Level
Laju Tendency Any
EKOLOGI & pemanfaatan analysis tendency?
FISIK Rate

Potensi Sustainability
level Difference
analysis

Unit harga
Data Real Rent
EKONOMI IHK unit unit Depresiasi
Unit biaya

Kepadatan
penduduk

Data Pekerjaan Tendency Any Ratio


SOSIAL analysis tendency? analysis

Dinamika
sosial

Pustaka:
Bengen, DG. 2004. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. PKSPL IPB.
DKP. 2002. Modul sosialisasi dan orientasi penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Clark, JR. 1996. Coastal zone management handbook. CRC Press.
Fauzi, A dan S Anna. 2005. Pemodelan sumberdaya perikanan dan kelautan untuk analisis kebijakan. PT Gramedia.
KEPMEN LH Nomor 17 Tahun 2001 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai
dampak lingkungan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

3
UJIAN AKHIR SEMESTER SUSULAN Nama: Adriani Sunuddin
m.k. Metode Penelitian Biofisik Kelautan NRP: C651040091/IKL

2. Ekosistem terumbu karang memiliki beragam sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang rentan terhadap
perubahan atau pengaruh eksternal. Sebagai ekosistem yang rentan, maka kegiatan pemanfaatan
ekosistem terumbu karang haruslah memperhatikan keterkaitan ekologis komponen biotik dan abiotik agar
pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkesinambungan. Dalam kaitan ini, terangkan secara
metodologis diagramatik keterkaitan ekologis kedua komponen tersebut di suatu ekosistem terumbu karang!

Ekosistem terumbu karang merupakan lokasi berlangsungnya interaksi kompleks antara berbagai komponen biotik
(misalnya ikan, moluska, krustasea, dan lain-lain) dengan komponen abiotik (misalnya suhu, salinitas, dinamika air
laut, dan lain-lain) di perairan dangkal/pesisir dengan ciri khas habitat dasar utama berupa rangka kapur masif hasil
sekresi hewan karang yang bersimbiosis dengan alga mikro (zooxanthellae).

Nelayan
Angin

Kontrol volume
“Lagrangian” Kontrol volume
“Eularian”

Suhu
perairan

RATAAN TERUMBU

Plankton
(Norganik)

Koloni
Koloni karang
karang Bulu
babi

RATAAN TERUMBU

4
UJIAN AKHIR SEMESTER SUSULAN Nama: Adriani Sunuddin
m.k. Metode Penelitian Biofisik Kelautan NRP: C651040091/IKL

Insert polip karang:

Faktor fisik:
1. Pencemar
2. Suhu
3. Kekeruhan
4. Kedalaman C&N anorganik
(CO2,NH3,NO3-)

HEWAN
KARANG ZOOXANTHELLAE
C&N anorganik C&N anorganik

C&N organik
NH3 & CO2

Predator karang Zooplankton


(koralivor) C&N organik

rangka kapur (lime)

Lapisan TERUMBU

Pustaka:
Bengen, DG. 2004. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. PKSPL IPB.
Birkeland, C (Ed.). 1997. Life and death of coral reefs. Chapman and Hall.
Ogden JC and EH Gladfelter (Eds.). 1983. Coral reefs, seagrass beds and mangroves: their interaction in the coastal zone of Caribbean.
UNESCO.

3. Moluska sebagai organisme bentik diduga dapat berperan sebagai bioindikator biologis pencemaran
anorganik lingkungan perairan pesisir. Bagaimana saudara bisa menjelaskan hal ini berdasarkan suatu
pendekatan ekologi?

Istilah bioindikator digunakan untuk biota atau organisme berasosiasi yang memiliki respon terhadap asupan polutan
melalui perubahan fungsi-fungsi vitalnya atau yang mengakumulasi polutan. Menurut sifatnya, bioindikator
digolongkan menjadi dua kelompok:
(i) Indikator akumulatif, yang menyimpan polutan di dalam tubuhnya tanpa ada perubahan nyata dalam
sistem biologisnya;
(ii) Indikator responsif, yang bereaksi melalui perubahan sel atau gejala-gejala visual kerusakan (pada
jaringan, organ, sistem faal) setelah mengalami paparan zat berbahaya dalam jumlah dan kurun waktu
tertentu.

5
UJIAN AKHIR SEMESTER SUSULAN Nama: Adriani Sunuddin
m.k. Metode Penelitian Biofisik Kelautan NRP: C651040091/IKL

Lingkungan pesisir merupakan daerah pertemuan antara sistem terestrial dan oseanik, yang di dalamnya berlangsung
interaksi kompleks, rumit, dan dinamis secara fisik, kimia, dan biologi. Dengan demikian, dampak (positif dan) negatif
dari kegiatan di darat maupun laut dapat masuk ke lingkungan pesisir. Zat-zat beracun dan logam berbahaya yang
berasal dari pencemaran laut maupun kegiatan-kegiatan di darat, seperti persawahan intensif, industri, dan buangan
rumah tangga, selanjutnya digolongkan menjadi polutan organik (DDT, PAH, PCB, PCDD, PCDF) dan anorganik (Cd,
Cu, Fe, Mn, Pb, Se, Zn). Sebagian besar dari polutan kemudian didepositkan di dalam sedimen yang lebih lanjut lagi,
akan masuk jejaring makanan melalui remobilisasi oleh akar tanaman dan organisme bentik/pemakan bentik.

Di lingkungan pesisir, moluska hidup sebagai hewan bentik (menetap di dasar perairan) yang memakan fitoplankton
dan detritus melalui mekanisme penyaringan (filter feeding). Dengan demikian, moluska berperan sebagai mata rantai
esensial dalam jejaring makanan lingkungan pesisir karena memiliki dualisme peran ekologis, yaitu sebagai herbivor
(yang menghubungkan produsen dengan konsumen selanjutnya, bahkan top predator) dan di saat bersamaan sebagai
detritivor (memakan detritus). Selain berdasarkan pendekatan jejaring makanan, moluska merupakan indikator
biologis yang ideal karena beberapa hal berikut ini:
- Moluska merupakan organisme yang tersebar luas dalam jumlah melimpah di lingkungan pesisir di
seluruh dunia.
- Moluska, terutama yang hidup di lingkungan pesisir, memiliki rentang distribusi yang luas di dalam dan
antar benua. Bahkan ada sejumlah spesies dan genus yang kosmopolitan (misalnya Mytilus Æ M.
edulis, M. galloprovincialis), sehingga memungkinkan untuk survei skala geografis (geographical large
scale surveys).
- Sejumlah spesies moluska merupakan spesies kunci (key species) dari fungsionalitas ekosistem
pesisir, sehingga apabila

Selenium is deposited in sediments from reservoirs and irrigated lands and may enter aquatic food chains through
deposition in the sediments and then be remobilized by rooted plants and benthic feeders (Lemly 1987). Corbicula
fluminea, the Asiatic clam, is a filter feeding benthic bivalve that feeds on phytoplankton and
detritus. Such animals may be some of the first to be affected by high levels of Se. Rusk (1991)noted that C. fluminea
tissues generally had selenium levels above background along the lower Colorado River. She also noted that C.
fluminea was an important food item for carnivorous birds and fish. It would be beneficial to managers if such an
organism could be used as a bioindicator of the availability of contaminants to animals at higher trophic levels and of
baseline levels within the system.
Contaminant levels in bioindicator organisms can be more useful than records of concentrations in water because
contaminant levels in biota reflect exposure over time and the magnitude of exposure. They also provide an indication
of long-term effects on the ecosystem and possible effects on other taxa. Bioindicators are used to make hazard
assessments (analysis of the potential exposure and effects from contaminants at a
particular site) and for surveillance (routine monitoring of current and long-term trends in levels of exposure). They also
can be used to measure effectiveness of remedial or management actions. Phillips (1977) suggests that indicator
organisms for trace elements contamination should:
1. accumulate the pollutant without suffering mortality,
2. be sedentary,
3. have a life span sufficiently long to allow for the sampling of more than one year class,
4. be abundant in the study region,
5. be large enough to allow adequate tissue samples for analysis,
6. be easy to sample and hardy enough to be maintained in the laboratory,
7. tolerate brackish water,
8. exhibit a high metal concentration factor,
9. have a simple correlation between the metal concentration of the organism and the average metal concentration in
the surrounding water,
10. exhibit the same correlation between their metal content and that of the surrounding water for all locations studied
under all biotic and abiotic conditions.
C. fluminea fits the first seven of these criteria (Cherry et at. 1980, Rodgers et al. 1980, Graney et al. 1983). C.
fluminea also fulfills criteria 8 and 9 for Cd, Cu and possibly Zn (Graney et al. 1983). It fails to satisfy criterion 10
because substrate, pH and temperature effect cadmium uptake (Graney el al. 1984). However, the effects of violating
criterion 10 can be minimized by documenting pH, temperature, and substrate at
sites of collection.

Bivalve mollusks have been used extensively for trace elements assessment (Phillips 1976). Tessier et al. (1984)
investigated the relationships between partitioning of trace metals (Pb, Fe, Zn, Cu and Mn) in sediments and their
accumulation in the tissues of
6
UJIAN AKHIR SEMESTER SUSULAN Nama: Adriani Sunuddin
m.k. Metode Penelitian Biofisik Kelautan NRP: C651040091/IKL
the mollusk Elliptio complanata. Abaychi and Mustafa (1988) found a correlation between metal content in mollusks
and metal content in particulate matter. Abaychi and Mustafa (1988) established that C. fluminea is capable of
accumulating and eliminating trace elements in relation to their concentration in ambient water and concluded that C.
fluminea is a suitable bioindicator for monitoring trace metal pollution. Doherty (1990)
concurs that C. fluminea is a valid bioindicator of trace metal contamination and satisfies the criteria established by
Phillips (1977). Johns et al. (1988) successfully used C. fluminea as an indicator of selenium distribution in San
Francisco Bay.

PUSTAKA:
McCaulou T, WJ Matter & OE Maughan. 1994. Corbiculae fluminea as a Bioindicator on The Lower Colorado River. University of Arizona.
http://orion.cr.usgs.gov/dec_reports/115/report.html (9 of 42) [10/17/2000 1:17:16 PM]

You might also like