You are on page 1of 117

Riset Hibah Bersaaing DP2m Depdiknas RI 2001

Upah Minimum, Upah Sektoral, dan Produktitas Sektor Industri di Indonesia

Oleh Prof. Dr. BAMBANG SETIAJI Prof. Dr. SUDARSONO, M.sc

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Pertama, upah miminum (UM) menjadi pro dan kontra para ekonom karena upah tersebut yang logikanya ditentukan di atas harga pasar, akan mendorong pengusaha mengurangi penggunaan tenaga kerja, bahkan menghambat masuknya (entry) suatu perusahaan pada suatu industri (SMERU, 2001, Kuncoro, tt; Ghellab, 1998). Untuk mengatasi kekakuan harga yang ditetapkan melalui UM diperlukan variasi upah minimum yang bertujuan mengendorkan ketegaran tersebut. Pemikiran ini kemudian dikenal dengan Upah Minimum Sektoral (UMS). Sayang, sejak reformasi sosial dibarengi dengan era otonomi daerah, upah tidak lagi divariasi berdasar sektor tetapi diserahkan kepada daerah, menjadi upah minimum kota (UMK). Upah minimum tidak lagi dikaitkan dengan produktivitas atau yang disederhanakan berdasar karakteristik industri, tetapi didasarkan kepada batas-batas daerah yang bersifat administratif. Daerah itu sendiri memang mencerminkan perbedaan kemajuan ekonomi, akan tetapi di daerah yang miskin masih mungkin ditemukan industri yang maju dan memiliki laba tinggi, sebaliknya di daerah yang lebih kaya masih ditemukan banyak industri tradisional yang terbelakang dan memiliki kemampuan laba yang rendabh. Sintesis dari kedua model adalah

UMSP (upah minimum sektoral propinsi) yang masih ditemukan di beberapa daerah di luar Jawa. Bagi investor yang akan masuk kepada suatu industri, upah minimum menjadi informasi penting dalam mengestimasi komponen biaya. Dengan kemungkinan diferensiasi upah ke bawah dan ke atas, maka semua kemungkinan produktivitas entrant akan lebih layak masuk ke dalam suatu industri. Oleh sebab itu diversifikasi upah minimum yang bergerak antarindustri yang lazim dikenal dengan upah minimum sektoral, secara teoritis akan mengendorkan dampak negatif upah minimum tunggal. Bagaimana upah minimum sektoral ditentukan? UMS ditentukan pada dasarnya untuk mengakomodasi kemampuan membayar suatu industri. Kemampuan membayar suatu industri sendiri tergantung pada beberapa faktor seperti penggunaan kapital per pekerja, tingkat konsentrasi atau penguasaan pasar, adanya modal asing dalam struktur permodalannya, orientasi pasarnya seperti kemampuan mengekspor, biaya lain misalnya penggunaan energi, ukuran perusahaan itu sendiri, serta tingkat kemungkinan penggunaan tenaga yang memungkinkan dibayar lebih rendah

terutama wanita dan anak-anak. Di samping itu, lokasi dan kualitas tenaga kerja yang digunakan oleh suatu industri yang dapat diwakili oleh pendidikan, juga memainkan peranan penting. Penelitian ini bermaksud mengcover variabel-variabel tersebut untuk membantu penentuan upah minimum sektoral propinsi (UMSP). Para peneliti telah berhasil membuat model penyederhaan dengan mengelompokkan variabel-variabel

tersebut dalam dua kelompok besar yaitu yang berkait dengan karakteristik individu dan karaktersitik industri (Wachtel dan Betsey, 1972:121-122; Dickens dan Katz, 1987:50-51; Krueger dan Summers, 1988:263). Para peneliti tersebut juga mengembangkan metodologi untuk mengestimasi pengaruh berbagai variabel yang mempengaruhi upah dalam dua tahap regresi persamaan upah. Upah pada umumnya memiliki pola yang bergerak searah dengan sumber rente. Lebih-lebih di negara yang maju yang relatif mengalami kelangkaan tenaga kerja terjadi proses bagi rente (rents sharing). Proses bagi rente tersebut, kemudian akan menyebabkan keragaman upah mengikuti kemampulabaan

(profitability) suatu industri. Pola regresi dua tahap yang dikembangkan oleh peneliti upah tersebut di atas digunakan dalam riset ini sebagai alat bantu untuk memprediksi atau mengindeksasi upah minimum sektoral atau upah minimum antarindustri. Pemerintah sendiri yang lebih concern terhadap masalah keadilan, pemerataan, dan mengurangi kemiskinan, selalu menetapkan upah minimum (UM) yang bertujuan menghalangi bekerjanya pasar, jika tenaga kerja berkelebihan pasok atau memiliki nilai tawar yang lemah. Studi SMERU (2001), misalnya, mengungkapkan bahwa dampak dari penentuan UM yang sekarang didesentralisasi ke daerah dan dilaksanakan lebih ketat, di samping mengurangi kesempatan kerja di sektor modern, justru memiskinkan kelompok tenaga kerja yang rentan seperti pekerja wanita dan usia muda yang dipekerjakan secara tidak tetap, kontrak, atau informal.

Cerita tersebut di atas mendorong perlunya penentuan upah yang lebih fleksibel. Penelitian ini menjadi penting, karena berusaha membantu merumuskan suatu model untuk memprediksi upah minimum sektoral yang bergerak lebih fleksibel lagi (built in) yang selalu bervariasi mengikuti kemajuan industri. Model ini diharapkan dapat menjadi alternatif atau setidaknya memperkaya bahan bagi komisi upah propinsi atau kota yang berkeinginan menetapkan upah minimum sektoral secara lebih fleksibel . Kedua, selanjutnya riset ini bertujuan untuk mengkaji diferensiasi upah (harga tenaga kerja) dan pengaruhnya terhadap permintaan kerja antarindustri dan antarpropinsi di Indonesia. Beberapa propinsi pada tahun 2002 masih menenatapkan upah minimum sektoral propinsi atau UMSP (http://www. nakertrans.go.id/ pusdatinnaker/ upah/ Upah.htm). Akan tetapi, mulai 2003 diferensiasi upah ditetapkan menurut perbedaan kota atau kabupaten saja. Hal tersebut menunjukkan terjadinya perubahan kebijakan diferensiasi harga tenaga kerja yang semula divariasi berdasar kemampuan membayar suatu industri di dalam propinsi, sekarang menjadi diferensiasi berdasar kota atau kabupaten saja. Pada tahun 2002 beberapa propinsi masih melakukan diferensiasi upah melalui penetapan upah minimum sektoral porpinsi, propinsi yang paling lengkap menetapkan upah minimum adalah Sumatra Utara, dengan menetapkan upah minimum untuk 52 jenis industri. Kemudian Kalimantan Selatan, menetapkan upah minimum untuk 46 jenis industri. Berikutnya, Sumatra Selatan menetapkan 8 jenis industri, Maluku Utara 7 jenis industri, disusul Bengkulu dan Kalimantan Barat

menetapkan 5 jenis industri. Demikian juga, Kalimantan Tengah, NTB, Maluku, Kalimantan Timur, Jambi, Sulawesi Tenggara, Irian Jaya menetapkan kurang dari lima jenis industri. Diferensiasi upah yang merupakan harga tenaga kerja memiliki dua tujuan, pertama, bertujuan mengakomodasi pembeli marginal yaitu industri yang memiliki kemampuan membayar rendah, dan kedua, bertujuan memperbaiki tingkat pembagian nilai tambah antara pekerja dan pengusaha. Penetapan upah minimum yang bervariasi dapat dikaitkan dengan diferensiasi harga. Tujuan dari diferensiasi harga adalah menghabiskan surplus dari pembeli atau pengguna tenaga kerja. Jika diferensiasi harga dilakukan ke atas, ini berarti mengambil surplus dari pembeli kaya yang dapat diartikan sebagai usaha perbaikan sharing antara pekerja dan pengusaha. Sebaliknya, jika diferensiasi dilakukan ke bawah, ini berarti ingin mewadahi pembeli tenaga kerja pada industri yang memiliki produktivitas rendah. Dalam literatur ekonomi industri, upah yang tinggi bisa digunakan sebagai barier to entry bagi entrant. Dengan demikian, jika diferensiasi dilakukan ke bawah, menyebabkan lebih layaknya perusahaan baru. Lebih-lebih jika upah dapat dibedakan menurut ukuran perusahaan, maka setiap entrant yang tentu saja berukuran relatif kecil, akan memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah. Hal ini mendorong timbulnya persaingan yang pada akhirnya menguntungkan konsumen, karena persaingan diasumsikan menghasilkan harga output yang lebih rendah. Dengan demikian, menjadi penting untuk mengkaji pengaruh perbedaan penetapan harga atau upah tersebut terhadap dua masalah pokok berikut:

a.

Pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja, yang dalam studi industri akan terdeteksi dari perbedaan entrant yang masuk dalam suatu periode, dan perbedaan ekspansi perusahaan incumbent (perusahaan yang sudah ada).

b.

Pengaruh diferensiasi upah juga akan terdeteksi dengan melihat seberapa jauh jarak antara upah minimum yang ditetapkan dengan upah aktual. Jarak yang semakin dekat menunjukkan sudah terserapnya surplus si pembeli/pengguna tenaga kerja. Ketiga, kecenderungan populis di berbagai wilayah Indonesia dalam

penetapan upah mimnimum, misalnya terbukti dengan diferensiasi upah ke atas di propinsi-propinsi yang menetapkan upah sektoral pada tahun 2001 dan tahun 2002. Kebijakan tersebut tidak lain bertujuan memperbaiki posisi buruh. Tekanan serikat buruh akhir-akhir ini dirasakan sangat kuat, seiring dengan situasi politik mendorong penetapan upah minimum yang populis. Perlu dipertanyakan sejauh mana sebenarnya hubungan antara upah dan produktivitas di berbagai wilayah. Produktivitas memiliki beragam senyawa elemen pencipta yang kompleks mulai dari kondisi ketenagakerjaan, kapital yang digunakan, jenis pemilihan atau investasi kapital, dan sebagainya. Dalam bidang SDM misalnya mengikuti teori upah efisiensi, upah dipandang sebagai alat meningkatkan produktifitas (Leibenstein, 1963; Akerlof, 1988; Blanflower, 1996). Rendahnya kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, secara internasional sepadan dengan produktifitasnya. Dibanding dengan negara-negara tetangga yang

memiliki iklim dan tipe masyarakat yang hampir semisal di Asia, Indonesia menempati tingkat produktifitas yang rendah, sebagaimana terlihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Produktivitas Pekerja dan Upah terhadap Singapura, Sektor Manufaktur, 1990 (dalam US$ konstan 1985) Produktivitas Produktivitas Tenaga Kerja* Relatif Korea Selatan 16744 62 Taiwan 13291 50 Muangthai 7717 29 Indonesia 5875 22 Hongkong 11185 42 Singapura 26849 100 Malaysia 11579 43 Filipina 6077 23 Sumber: UNIDO dalam Anwar dkk:1995:232 * Nilai Tambah dibagi jumlah pekerja Negara Upah per Pekerja 4733 5936 1528 1065 6264 7892 2901 1642 Upah Relatif 60 75 19 13 79 100 37 21

Perbedaan produktifitas tersebut selanjutnya akan dikaji antar propinsi di Indonesia untuk memperoleh pengetahuan tentang pola hubungan antara upah dan produktivitas. Penelitian ini akan memberikan gambaran empirik bagaimana kaitan kebijakan upah minimum dengan produktifitasnya di berbagai propinsi. Sehingga dengan demikian dapat disumbangkan suatu pemikiran yang relevan mengenai hubungan industrial di Indonesia. Subjek Penelitian. Penelitian mengenai penentuan upah minimum sektoral antarindustri didasarkan pada data hasil survai industri Badan Pusat Statistik. Survai mencakup semua industri sedang dan besar yang ada pada direktori BPS. Upah

minimum sektoral pada hakekatnya adalah upaya penentuan upah yang bertujuan mengakomodasi kemampuan membayar suatu industri. Oleh karena itu subjek penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan menengah dan besar yang masuk dalam direktori BPS. Perusahaan-perusahaan yang masuk dalam direktori BPS terdiri dari semua perusahaan formal yang ada di Indonesia. Berdasar data ini akan disusun suatu indeks upah minimum sektoral. Selanjutnya indeks upah minimum sektoral yang dihasilkan dari penelitian ini akan dibandingkan dengan upah minimum sektoral aktual. Tidak semua propinsi menetapkan upah minimum sektoral, diantaranya yang memiliki paling lengkap mencakup lebih banyak industri adalah Sumatra Utara dan Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, indeks upah minimum sektoral hasil riset akan dibandingkan dengan UMSP Sumatara Utara. B. HASIL YANG DIHARAPKAN ATAU PETA JALAN KEBIJAKAN a. Dengan dihasilkannya indeks UMSP dari riset ini diharapkan dapat menjadi tambahan bahan pertimbangan bagi industri dan pengambil kebijakan upah lainnya. Karena manfaat upah minimum sektoral adalah mengakomodasi industri dengan berbagai kemampuan membayar yang dimilikinya, maka riset ini mendorong propinsi-propinsi yang tidak menetapkan UMSP untuk ikut menentapkannya. b. Setelah dapat diformulasikan indeks upah minimum antarindustri yang dapat digunakan di berbagai propinsi di Indonesia, studi ini mendorong adanya atau

diberlakukannya variasi upah minimum antarindustri, karena diasumsikan lebih fleksibel, dan lebih akomodatif mewadahi berbagai kemampuan membayar antar industri (ability to pay) yang bersumber kepada perbedaan produktivitas. Selanjutnya, akan dilihat pengaruh (diferensiasi penetapan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja di berbagai industri dan di berbagai propinsi dengan melihat dua hal pokok berikut. Pertama, besar entrant dalam suatu periode dan ekspansi yang diukur dengan perubahan tenaga kerja yang digunakan pada berbagai industri, di berbagai propinsi yang menggunakan variasi upah mnimum yang berbeda. Kedua, perbedaan upah minimum dan upah aktual yang menunjukkan seberapa jauh penyerapan surplus tenaga beli dari pengguna tenaga kerja. Jika upah minimum secara signifikan masih lebih rendah dari upah aktual, maka berarti masih banyak industri yang menerapkan premi upah (masih banyak surplus

pembeli/pengguna tenaga kerja yang lebih kaya). Sebaliknya, jika upah minimum sudah di atas upah aktual, hal tersebut menunjukkan sudah tidak ada surplus pembeli kaya. Hal tersebut menunjukkan terlalu pesatnya upah minimum, sehingga semua pembeli/pengguna tenaga kerja tidak mampu lagi memenuhi harga yang ditetapkan (terjadi discount upah). Hal terakhir ini diduga menyebabkan rendahnya investasi (kelayakan usaha menjadi menurun), relokasi industri ke neraga lain, serta pemutusan atau pengurangan penggunaan tenaga kerja yang umumnya terjadi kepada pekerja tidak tetap, berusia muda, dan pekerja wanita.

10

c. Pada point a dan b, dapat dikatakan sebagai usaha membentuk model normatif jika upah ingin divariasi sektoral dan memperhatikan produktivitas masingmasing industri. Selanjutnya, riset ini akan melaporkan hubungan upah dan produktivitas dalam kenyataan. Dengan demikian antara apa yang normatif dan apa yang aktual akan terlihat adanya gap. Upah, sebenarnya ditentukan sangat kompleks. Upah bukan sekedar ditentukan oleh skema optimalisasi sisi suplai dan sisi permintaan tenaga kerja di pasar, tetapi ditentukan secara politisfilosofis terkait dengan sistem dan bentuk perekonomian yang

bagaimana yang diinginkan oleh suatu masyarakat. Upah tidak dapat diserahkan kepada pasar, lebih-lebih dalam konteks ekonomi dan

ketenagakerjaan seperti di Indonesia. Intervensi negara diperlukan bukan hanya untuk menetapkan upah, tetapi untuk membawa kehidupan ekonomi secara umum. Dengan surplus suplai tenaga kerja seperti sekarang, pasar mungkin akan seimbang dengan upah yang rendah. Apabila itu terjadi, buruh akan hidup frustasi dengan kemiskinan yang mencekik, sementara buruh menyaksikan harga hasil karyanya, dan juga surplus yang dinikmati pengusaha, dan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah yang akhirnya untuk membiayai barang dan jasa publik. Lingkungan kelompok buruh mempertontonkan konsumsi yang tinggi yang bersumber dari surplus atau keringat mereka. Salah satu lingkungan buruh adalah iklan televisi, yang juga dibiarkan bebas mengikuti irama pasar dan memiliki logika lain, yaitu 10 persen dari lebih 200 juta rakyat memiliki standar ekonomi dan konsumsi

11

yang tinggi itulah sebabnya televisi menayangkan iklan konsumtif dari bahan kosmetik sampai properti mewah-ekslusif. Upah minimum bagaimanapun tidak memungkinkan buruh menanggung kebutuhan yang dipompakan sedemikian rupa. Untuk membiayai kebutuhan pangan dan non pangan dasar yaitu perumahan, pendidikan, dan kesehatan, jika upah dinaikkan 3 kali yang ada sekarang tetap belum dapat memenuhi kebutuhan layak. Lingkungan yang tidak lain adalah bentuk kemewahan fasilitas publik-gedung dan monumen megah, perilaku para pejabat negara, pengusaha yang menikmati laba, juga nasib yang lebih baik dari para kontributor di industri atas, komponen

lingkungan ini kait mengkait memompa konsumsi buruh dan kelompok bawah lainnya. Bukan hanya upah buruh yang perlu diintervensi dan tidak diserahkan secara membabi buta kepada pasar, tetapi juga perlu intervensi ekonomi yang lebih luas seperti memilih fasilitas publik apa yang lebih toleran kepada buruh yang miskin, seperti pencakar langit, hotel, lampu, monumen, taman, harga pendidikan, harga kesehatan, iklan TV dan seterusnya yang bertujuan menciptakan menciptakan kehidupan umum yang lebih harmonis dengan kebijakan pendapatan buruh di sektor industri, petani dan buruh tani, buruh di sektor angkutan dan perdagangan, para pegawai rendah baik abdi negara maupun jasa swasta lainnya. Membiarkan semua sesuai asumsi dan syarat pasar akan menghasilkan upah keseimbangan sangat rendah dan kemiskinan kelompok bawah, di satu sisi, dan di sisi lain

investasi ke lambang konsumsi tinggi dengan logika memenuhi 10 persen

12

strata atas. Hal tersebut jika dibiarkan menyebabkan perasaan miskin lebih mendalam dan mengakibatkan frustasi massa. Antrian yang panjang dan kekerasan pada waktu pembagian SLT (subsidi langsung tunai) yang bersumber dari kompensasi subsidi BBM akhir-akhir ini merupakan cermin mengenai hal ini. Rasa malu yang merupakan pilar penting sudah dilewati oleh semua fihak, akhirnya perlu ditekankan bahwa pendekatan ekonomi saja tidaklah cukup, kehidupan ekonomi adalah manifestasi budaya bangsa yang komprehenship. Kemampuan memberikan upah kepada rakyat yang sangat rendah harus disertai dengan mengerem kehidupan umum yang glamour dan konsumtif, di samping itu pendekatan lain seperti mengajak rakyat meningkatkan harga diri, sikap ksataria, dan sabar yang bisa didekati dengan keagamaan-spiritual hendaknya tidak dipandang sebagai tidak terkait dengan kebijakan ekonomi. Membiarkan gap upah dan dorongan konsumsi mewah hanya karena ingin memenuhi asumsi bekerjanya mekanisme pasar seperti mengorbankan realitas demi sebuah abstraksi imajiner. Karena menaikkan upah tidak mudah dilakukan sesuai dengan kemampuan teknologi umum yang dikuasai, maka mengerem kehidupan glamourlah pilihan yang bisa dilakukan. Sebagai contoh, dalam hal pilihan kebijakan publik, misalnya tata pemilikan frekuensi TV yang sangat terbatas seyogyanya masih dimiliki minimal 51 persen oleh pemerintah atau pada dasarnya milik pemerintah yang dioperasikan secara bagi hasil oleh swasta. Hal tersebut bertujuan agar aspirasi umum yang dilambangkan oleh kemampuan finansial buruh,

13

diperhatikan oleh fihak broadcast. Kalau tidak, maka aspirasi perorangan yang diberi kekusaan menggunakan frekuensi TV dengan arogan

mengarahkan kehidupan umum. Hal ini bertentangan dengan demokrasi dan pada dasarnya inilah tiran atau diktaktor yang sebenarnya. Disebut demikian, karena pemimpin ekonomi tak tergantikan secara periodik sebagaimana pemimpin politik, bahkan mengarahkan pemimpin politik, maka

otoritarianismelah yang kini terjadi yang dengan dungu kita bela mati-matian.

14

II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. TUJUAN PENELITIAN 1. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pola penentuan upah minimum

sektoral (antarindustri) dengan jalan mengestimasi persamaan upah dengan variabel penjelas berupa karakteristik pekerja dan karakteristik industri. Hubungan antara upah dan karakteristik pekerja bertujuan untuk mengontrol hubungan utama yang ingin diperoleh yaitu hubungan upah dan karakteristik industri. Parameter hubungan antara upah dan karakteristik industri, selanjutnya akan menggambarkan pola hubungan antara upah dan kemajuan industri. Karakteristik industri yang dimaksud dalam penelitian ini membatasi diri dengan menganalisis perilaku variabel-variabel intensitas kapital, tingkat konsentrasi industri, proporsi modal asing dari total modal, proporsi ekspor, impor bahan baku, banyaknya energi yang digunakan, ukuran perusahaan, dan penggunaan tenaga kerja wanita. Pola-pola hubungan tersebut, kemudian dijadikan dasar pembuatan indeks upah minimum sektoral yang bergerak sesuai dengan kemajuan industri. Formula upah minimum yang baru ini diharapkan lebih sederhana dan dapat lebih luas menjangkau industri-industri yang umumnya memiliki kemampuan membayar yang berbeda. Penelitian selanjutnya diarahkan untuk membandingkan indeks yang dihasilkan riset ini dengan Upah Minimum Sektoral Propinsi khususnya dengan UMSP Sumatra Utara. Sumatra Utara merupakan propinsi yang paling lengkap

15

menetapkan upah minimum sektoral. Penelitian selanjutnya berusaha menjelaskan perbedaan yang terjadi antara upah Minimum Sektoral Propinsi Sumatra Utara dan UMSP hasil riset ini. 2. Untuk mengkaji apakah upah dasar dari propinsi yang menetapkan upah

minimum sektoral bersifat floor price, ceiling price atau medium price. Jika upah dasar yang ditetapkan terendah dalam UMSP bersifat floor price dibandingkan dengan propinsi lain, maka UMSP berfungsi memperbaiki sharing. Sebaliknya, jika upah dasar dari UMSP bersifat ceiling price, ini berarti terjadi diferensiasi ke bawah. Hal tersebut berarti penerapan tujuan untuk mengambil surplus pembeli bawah. Jika UMSP dasar berada di tengah, terjadi efek perbaikan sharing dan efek mewadahi pemintaan tenaga kerja industri bawah. Meneliti pengaruh Diferensiasi Upah Minimum terhadap kesempatan kerja antar propinsi di Indonesia. Kesempatan kerja di sektor manufaktur dapat dilihat dari masuknya pemain baru maupun ekspansi perusahaan yang sudah ada. Industri yang berada di propinsi yang menerapkan upah minimum sektoral, diduga menyebabkan relatif tingginya entrant dan ekspansi perusahaan yang ada. Dengan kata lain, penelitian ini bertujuan menjawab apakah propinsi yang makin lengkap upah minimum sektoralnya, maka perkembangan penyerapan tenaga kerjanya lebih tinggi di banding propinsi lain. Penetapan upah minimum sektoral pada hakekatnya adalah diferensiasi harga yang bertujuan mengambil sebanyak mungkin surplus permintaan tenaga kerja. Ini berarti bahwa harga divariasi untuk mewadahi semua lapisan industri.

16

3.

Meneliti hubungan upah-produktivitas aktual yang terjadi. Meneliti peran

buruh dan apa yang diperoleh dari produktivitasnya. Selanjutnya meneliti hubungan upah dan konsumsinya. Bagian akhir ini menggambarkan sharing antara tenaga kerja dan kapital dan perburuhan dalam konteks kebijakan ekonomi yang lebih luas yaitu kebijakan mengenai penghasilan kelompok bawah dan kesejahteraan rakyat secara umum. B. MANFAAT PENELITIAN Pertama, riset ini mendorong perlunya fleksibelitas penetapan upah, karena upah minimum yang tunggal yang ditetapkan di berbagai kota diduga akan menyebabkan ketegaran harga. Hal tersebut mengurangi partisipasi industri dengan produktivitas rendah dan mengurangi sharing industri kelompok atas yang akan mendorong upahnya turun. Riset menghasilkan semacam indeks yang

menggambarkan kemampuan membayar antarindustri. Indeks hasil penelitian ini selanjutnya akan dibandingkan dengan Upah Minimum Sektoral Propinsi Sumatara Utara (propinsi yang masih melestarikan upah minimum sektoral). Dengan demikian, penelitian ini bermanfaat untuk memberi pertimbangan komisi upah di berbagai propinsi yang bermaksud menetapkan upah minimum secara sektoral. Upah minimum sektoral pada hakekatnya merupakan usaha mengakomodasi kemampuan membayar perusahaan pada tingkat industri sehingga dengan demikian diharapkan penentuan upah minimum tidak akan menganggu kesempatan kerja, sehubungan dengan kemungkinan berkurangnya permintaan tenaga kerja, ketika upah minimum

17

hanya bersifat satu harga. Penelitian juga menghasilkan data base untuk kebutuhan penentuan indeks kemampuan membayar antarindustri di semua propinsi di Indonesia. Data base ini diharapkan bermanfaat untuk studi berikutnya dan untuk membantu penentuan upah sektoral yang diharapkan diberlakukan di berbagai propinsi. Dewasa ini upah hanya divariasi berdasar kota berupa penetapan Upah Minimum Kota. Walaupun kota-kota memiliki perbedaan biaya hidup, akan tetapi perbedaan kota pada hakekatnya bersifat administratif. Kebebasan perdagangan antar kota menyebabkan kemampuan membayar suatu industri antar kota relatif sama. Oleh karena itu perbedaan upah yang didasarkan perbedaan industri lebih mencerminkan sebagai variabel ekonomi dari pada perbedaan antar kota. Kedua, riset ini berusaha mengungkap diferensiasi upah yang terjadi. Terutama mengkaji hubungan upah dan kesempatan kerja. Keadaan memang sangat dilematis, memperbaiki upah yang bertujuan memperbaiki kesejahteraan rakyat dan mengurangi kemiskinan, di sisi lain dapat mengurangi kesempatan kerja. Baik posisi memperbaiki kesejahteraan atau posisi memperluas lapangan kerja terlihat dari posisi upah minimum dibanding kemajuan ekonomi suatu daerah, seperti perbandingan terhadap PDRB dan kemampuan ekonomi yang lain termasuk harga-harga. Ketiga, dengan mengetahui posisi upah dalam hubungannya dengan produktivitas, seperti mengkaji berbagai pangsa upah di berbagai industri dan melihat faktor-faktor yang bekerja dibelakangnya. Kehidupan buruh bagaimanapun sengsara dan ini merupakan kehidupan umum rakyat. Dengan mengetahui struktur pendapatan dalam hubungan modal-tenaga kerja, maka kebijakan umum mengenai

18

penghasilan rakyat dan kebijakan umum mengenai fasilitas publik seperti kebijakan dorongan konsumsi melalui iklan TV, kebijakan harga pendidikan dan kesehatan merupakan manfaat yang lebih luas.

19

III. TINJAUAN PUSTAKA Pro dan kontra penetapan upah minimum terjadi dikalangan ekonom. Berbagai teori juga memberikan prediksi yang berlawanan. Teori upah yang standar (model kompetitif), memprediksi bahwa jika tidak ada upah minimum maka upah akan ditentukan oleh supply dan demand tenaga kerja. Adanya intervensi pemerintah yang menetapkan upah minimum yang lebih tinggi dari pasar akan menyebabkan penggunaan tenaga kerja menurun. Model upah kompetitif divariasi menjadi model dua sektor. Dalam model ini, pasar tenaga kerja dikelompokkan dalam sektor yang tercover oleh UM dan sektor yang tidak tercover oleh UM. Ketika sektor yang tercover oleh UM upahnya meningkat, maka terjadi penurunan penggunaan tenaga kerja, akibatnya sektor yang kedua akan mengalami kelebihan tenaga kerja. Akibatnya justru upah di sektor yang uncover yang umumnya lebih besar di negara sedang berkembang menjadi menurun. Model ini memprediksi bahwa kemungkinan ditetapkannya UM justru menyebabkan kemiskinan di sektor kedua. Alternatif teori yang penting dalam memprediksi pengaruh upah minimum adalah prediksi di bawah teori upah efisiensi. Teori upah efisiensi merupakan salah satu variasi dari teori upah nonkompetitif. Teori upah nonkompetitif berasal dari dua asumsi. Pertama, karena dipercayai ada hubungan antara upah yang makin tinggi dengan laba yang makin tinggi. Kedua, karena ada perilaku tidak memaksimisasi (Kruger dan Summers, 1987:18; Fields dan Wolff, 1995: 107). Dalam perspektif

20

nonkompetitif, ekonom umumnya memilih asumsi yang pertama dan merumuskan teori upah alternatif, misalnya teori upah efisiensi, model ancaman serikat kerja, atau model keseimbangan dengan pengangguran (Dickens dan Katz, 1987: 48). Teori upah efisiensi merupakan salah satu landasan mikro ekonomi kelompok Post Keynesian (McCafferty, 1990: 448-452). Teori upah effisiensi dengan ragamnya antara lain, model menghindari kemalasan (shirking model), model mengurangi perputaran (turnover model), model menarik pekerja bermutu (selection model), dan model mengurangi ketidakadilan atau sociological model (Leibenstein, 1963: 22-40, Stiglitz, 1974: 194; Shapiro dan Stiglitz, 1984: 423-443; Akerlof, 1982: 543-569; Akerlof dan Yellen, 1988: 44-48; Krueger dan Summers, 1988: 259-261). Perbedaan antara teori upah Neo-Klasik dan model yang berdasar pada kepda penentuan upah non kompetisi, kedua model dasar tersebut diulas berikut ini. Dalam model Neo-Klasik, pekerja diasumsikan akan melakukan maksimisasi fungsi utilitas dengan kendala yang berupa interaksi upah dan waktu yang tersedia, dan serta tingkat harga1. Pada pasar yang kompetitif, pekerja akan menyesuaikan jumlah waktu yang akan dicurahkan untuk bekerja pada tingkat upah tertentu. Selanjutnya, dengan asumsi pasar tenaga kerja kompetitif dan pasar output juga kompetitif, pengusaha akan memaksimumkan keuntungan dengan menentukan jumlah pekerja yang akan digunakan pada tingkat upah yang dihadapi di pasar tenaga
1

Max U = U(G, L). dimana G adalah jumlah barang dan jasa, L adalah waktu luang (leisure). dengan kendala G = W (T-L) / P di mana W adalah upah, T adalah waktu yang tersedia, dan P adalah tingkat harga.

21

kerja. Pengusaha akan memaksimisasi keuntungan, dengan asumsi jumlah produksi merupakan fungsi tenaga kerja, maksimisasi fungsi laba akan dicapai dengan memilih jumlah pekerja N sehingga tercapai nilai produk marjinal pekerja sama dengan tingkat upah. Fungsi laba Neo-Klasik, terutama dalam jangka panjang, tidak meramalkan korelasi upah dengan laba. Bahkan kekuatan monopoli akan mendorong upah turun. Maksimisasi laba monopolis terjadi jika nilai marginal produk tenaga kerja sama dengan upahnya.2 Selanjutnya, monopolis cenderung memilih produksi lebih kecil dari pada yang diperlukan dibanding jika pasar kompetitif, dan akhirnya mendorong permintaan tenaga kerja turun, serta mendorong upah turun (Weiss, 1966: 97). Model upah efisiensi. Model upah efisiensi menggambarkan atau mewakili salah satu model penetapan upah non kompetitif atau yang tidak didasarkan atas kekuatan pasar semata. Termasuk dalam model ini adalah model upah efisiensi, model upah berdasar optimal bargain antara serikat pekerja dan pengusah dan model penetapan upah minimum. Model-model non pasar ini juga rasional dengan pertimbangan bahwa jika upah ditetapkan atau diserahkan kepada pasar, maka buruh akan menerima pendapatan sangat rendah dan akan terjadi frustasi atau kemiskinan massa. Contoh model non kompetitif atau non pasar adalah model upah efisiensi, di mana upah ditetapkan bukan semata-mata atas kesamaan upah dan nilai marginal produk tenaga kerja. Model ini memberi inspirasi bahwa ada rasionalitas di luar ekonomi pasar. Seperti halnya model fungsi utilitas langsung, Shapiro dan Stiglitz
2

MR.MPL W = 0 atau W = MR.MPL

(4)

22

(1984: 435-439), juga Kreps (1990: 580) memodel perilaku pekerja dengan fungsi utilitas cepat (instantaneous utility).3 Dalam model Shapiro-Stiglitz, pengusaha akan menyamakan nilai produk marjinal pekerja (FL) dengan upah yang memenuhi syarat tidak malas atau nonshirking constraint (NSC). Hal ini menyebabkan perekrutan pekerja berhenti lebih cepat dibandingkan dengan model Neo-Klasik4. Model lain, dalam penetapan upah non kompetitif atau upah non pasar adalah model efesien bargain. Dalam model ini diasumsikan upah dirundingkan antar pihak serikat buruh dan pengusaha. Jadi, upah tidak semata-mata ditetapkan oleh kekuatan pasar. Kedua belah fihak sama-sama rasional dan saling memerlukan, dan kedua belah diasumsikan mengetahui surplus atau nilai tambah yang mereka hasilkan bersama. Rasionalitas model ini ditunjukkan misalnya oleh Blanchflower, et.al.

(1996: 230). Model mengasumsikan terjadi keseimbangan tawar-menawar antara


3

U = U (w, e). di mana w adalah upah dan e adalah upaya (effort), dengan asumsi dapat dipilah (separable), maka U = w e. Jika e = 0 maka pekerja berlaku malas, jika e > 0 pekerja tidak malas. Pekerja diasumsikan hanya memiliki tiga pilihan, yaitu: malas, tidak malas, dan menganggur. 4 Besarnya upah yang harus diberikan oleh pengusaha dengan memenuhi syarat tidak malas, w w +e +e

(r + b + a) q

Persamaan di atas menunjukkan upah w supaya memenuhi NSC harus makin besar, jika: 1). probabilitas terdeteksi dalam memonitor karyawan, q, makin kecil. 2). Makin besar usaha, e. 3). makin tinggi tingkat keluar, b. 4). makin tinggi faktor diskonto, r. 5). makin tinggi tunjangan pengangguran atau katakanlah, pendapatan di pasar tenaga kerja sekunder, w . 6). makin tinggi aliran keluar (flow out) dari stock pengangguran atau makin mudah mendapat pekerjaan, a. Dengan demikian, 1/a = durasi harapan menjadi penganggur; jika a besar sekali maka 1/a mendekati nol. Hal ini berarti tidak ada hukuman bagi pekerja yang malas karena setiap PHK akan dikompensasi dengan pekerjaan baru. Model ini memprediksi bahwa keinginan membayar lebih tinggi adalah keinginan pengusaha sendiri, dengan demikian upah minimum tidak akan menambah pengangguaran. Pengangguran pasti terjadi sebagai implikasi pengusaha memberikan upah lebih tinggi dan menghentikan perekrutan ketika produktifitas marginal tenaga kerja masih lebih tinggi dari upah di pasar.

23

pekerja dan pengusaha dengan jumlah rente atau nilai yang ingin dibagi = 100 persen.5 Dari beberapa model di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1). Upah sektor utama berada di atas upah status quo (upah di pasar). 2). Besarnya premi upah dari status quo bergantung pada besarnya keuntungan, jumlah pekerja yang digunakan dan kekuatan tawar pekerja di dalam. Dengan demikian, walaupun terdapat surplus tenaga kerja, industri diramalkan mengambil keputusan dengan melihat tenaga kerja di dalam saja. 3). Karena dan elemen-elemennya bervariasi maka upah juga bervariasi antarindustri. Senada dengan Blanchflower, korelasi upah dengan elemen keuntungan ditunjukkan oleh Pugel (1980: 250)6 dimana pekerja di samping mendapat upah W* yang merupakan fungsi ketenagakerjaan, mendapat tambahan atas produktivitas faktor lain dari unsur P dan rK, dimana P adalah keuntungan atas kekayaan, dan rK adalah pendapatan atas kapital. Singkatnya model-model di atas menunjukkan bahwa
5

adalah kekuatan tawar (bargain power) pekerja, 1- kekuatan tawar pengusaha, u(w) adalah utilitas individu pekerja dari upah, dan u ( w ) adalah utilitas pada upah status quo (jika tawar menawar gagal) yang besarnya sama dengan upah sektor lain atau upah di luar industri, n adalah jumlah pekerja yang digunakan, dan keuntungan, di mana = f(n) - wn cekung ke origin. Maksimisasi fungsi di atas menghasilkan jawaban besarnya upah, W w + 1 n . Persamaan di atas menunjukkan, besar upah pada sektor primer yang terdiri dari upah pada status quo atau upah di luar sektor industri (pasar tenaga kerja sekunder) yang bergantung pada kondisi ketenagakerjaan, ditambah suatu premi yang besarnya searah dengan kekuatan tawar pekerja, dan keuntungan pengusaha per pekerja.
6

Max log

{[ u ( w) u ( w )] n} + (1 ) log .

W = W* +

q P rK . dimana W* = upah yang merupakan fungsi ketenagakerjaan, P 1q L

adalah keuntungan, dan rK adalah pendapatan atas kapital

24

harga tenaga kerja tidak dapat semata-mata diserahkan kepada pasar, atau didasarkan atas kontribusinya saja, melainkan dimungkinkan mendapat bagian dari produktivitas faktor produksi lain. Ghellab (1998) selanjutnya membuat summary dari berbagai model tersebut sehubungan dengan dampak UM terhadap pengerjaan/pengangguran. Model dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu model standard atau model kompetitif dan model alternatif yang terdiri dari model monopsonistik, model upah efisiensi, model upah minimum, serta pengangguran dan pertumbuhan. a. Dalam model standar dengan variasinya model supply - demand,

model dua sektor, dan model dua sektor dengan antrian untuk masuk sektor utama. Model standar memprediksi efek negatif dari UM terhadap kesempatan kerja, dengan variasinya tergantung pada i. elastisitas suplai tenaga kerja

terhadap upah, ii. upah reservasi mereka yang tidak masuk di sektor yang tercover, iii. besar relatif dari sektor yang tercover. Efek UM pada model dua sektor dengan antrian, tergantung pada elastistas tingkat aktivitas terhadap UM dan juga perubahan dalam tingkat pengerjaan. b. Modelmodel alternatif, khususnya model monopsonistik

memprediksi efek positif dari kenaikan UM yang kecil. Demikian juga prediksi teori upah efisiensi dan model UM, pengangguran dan pertumbuhan, UM mungkin berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja. Penelitian terdahulu.

25

Studi mengenai pengaruh upah minimum di Indonesia misalnya dilakukan oleh lembaga penelitian SMERU (2001), menyimpulkan bahwa efek UM yang tinggi selama krisis ekonomi, memang memperbaiki upah di sektor yang tercover, tetapi efek keseluruhan terhadap pengurangan kemiskinan mungkin negatif mengingat banyaknya pekerja yang terkena PHK. Kelompok pekerja yang rentan dari pengaruh UM adalah perempuan dan pekerja berusia muda. Efek UM terhadap entry juga ditemukan negatif, sama dengan efek dari tingkat konsentrasi di mana biaya tenaga kerja yang tinggi yang dihadapi oleh entrant mengakibatkan mereka sulit bersaing dalam suatu industri (Kuncoro, tt). Ghellab (1998) menyimpulkan efek UM terhadap pekerja muda di berbagai negara maju berbeda-beda. Di Netherlands tidak berdampak negatif, demikian juga di Inggris, dan di US tidak ada konsensus atau arah yang sama dari berbagai studi. Sebaliknya UM berdampak negatif yang lemah terhadap kesempatan kerja tenaga kerja muda di Perancis dan Kanada. Sebaliknya di negara sedang berkembang efek UM umumnya negatif terhadap seluruh kesempatan kerja. Akan tetapi di Indonesia, efek UM terhadap tenaga kerja tidak signifikan dan bahkan efek terhadap tenaga kerja muda perkotaan tidak negatif (Ghellab, 1998; Islam, 2000). Penelitian ini akan mengadopsi model regresi dua tahap dengan tujuan sebagai berikut. Regresi tahap pertama bertujuan mengestimasi ranking upah antar industri dengan kontrol pendidikan, pengaruh perkotaan, rasio jumlah pekerja produksi terhadap nonproduksi. Ranking upah yang diperoleh menggambarkan perbedaan industri pada kualitas pekerja yang sama, serta lokasi yang sama, dan

26

tingkat teknologi yang ditangkap dari rasio pekerja produksi terhadap nonproduksi. Regresi tahap kedua, bertujuan membuat ramalan yang kemudian akan dijadikan dasar indeksasi upah minimum sektoral propinsi yang akan dihasilkan dalam riset ini. Model regresi dua tahap yang diadopsi dalam riset ini banyak digunakan dalam studi upah antarindustri yang berkembang sejak tahun 1950an Slichter (1950). Model upah antarindustri dengan regresi dua tahap dikembangkan oleh Dickens dan Katz (1987), dan studi ekonometriknya oleh Krueger dan Summer (1988). Studi upah antarindustri banyak dilakukan di negara maju, pada umumnya menguji hipotesis bahwa perbedaan kemampuan membayar industri menyebabkan variasi upah aktual (Dickens dan Katz, 1987; Krueger dan Summer, 1988; Lee, 1994; Reenen (1996), Teal (1996), Carneiro and Henley (1998)). Para peneliti tersebut juga mengembangkan metodologi untuk mengestimasi pengaruh berbagai variabel yang mempengaruhi upah dalam dua tahap regresi persamaan upah. Upah pada umumnya memiliki pola yang bergerak searah dengan sumber rente. Proses tersebut, menyebabkan keragaman upah.

Masalah Upah dan Upah Minimum di Indonesia Sejak otonomi daerah penentuan upah minimum yang semula ditetapkan oleh Menteri, didelegasikan menjadi kewenangan Gubernur. Terdapat kekhawatiran bahwa di daerah para pejabat pemerintah lebih lemah sehingga cenderung mengambil kebijakan populis berupa peningkatan upah minimum yang sering dan tinggi

27

persentasenya. Hal tersebut merupakan kebijakan yang berorientasi jangka pendek dan kurang memperhatikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (SMERU, 2001). Di berbagai propinsi ternyata penetapan upah minimum berbeda-beda, baik besarnya, persentase kenaikan setiap tahun, sistem penetapannya, dan ruang lingkup yang ditetapkan. Beberapa propinsi menetapkan upah minimum tunggal dan beberapa menetapkan upah minimum sektoral. Upah minimum tunggal bersifat kaku,

umumnya berdampak kepada perbaikan upah pekerja tetap pada industri marginal. Akan tetapi studi tim SMERU (2001) juga menunjukkan bahwa upah minimum (tunggal) menyebabkan kesempatan kerja kelompok bawah menurun, terjadi subtitusi terhadap penggunaan kapital, dan peningkatan pekerja white collar dengan elastisitas yang cukup tinggi. Beberapa propinsi di Indonesia menetapkan upah minimum sektoral dengan derajat yang kurang bervariasi sampai sangat bervariasi, seperti Sumatra Utara, dan Kalimatan Selatan (Setiaji, B. dkk. 2003). Beberapa propinsi suatu tahun sering menetapkan upah sektoral dan pada tahun yang lain dihapuskan, dan muncul lagi, misalnya seperti DKI, Jawa Tengah. Upah minimum sektoral mengurangi dampak kekakuan upah, karena harga (upah) terdeferensiasi sedemikian rupa sehingga dapat mewadahi berbagai industri yang berbeda dalam produktivitas, jaringan pasar, sumber modal, ukuran perusahaan, penggunaan kapital dan akhirnya berbeda dalam Return on Investment (ROI). Diferensiasi harga tersebut sangat cocok dengan kondisi industri Indonesia yang sangat beragam. Hill (1998: 47) menyebutkan industri yang tersebar dan

28

berkelanjutan sejak era kolonial (1930an), sampai era kekacauan awal 1960an, dan era pertumbuhan cepat sejak akhir 1980an. Perusahaan-perusahaan berjarak dari pabrik dengan multijutaan dolar, menggunakan teknologi terapan terbaik, bahkan sering bersifat kantong (enclave), dengan input dari luar negeri yang besar dan terintegrasi dengan ekonomi

internasional, sampai dengan unit-unit industri rumah tangga musiman yang sedikit saja menggunakan tenaga kerja dibayar dan menjual hasilnya terbatas hanya di lingkungannya. Upah minimum sektoral merupakan upah yang ditetapkan sesuai dengan prinsip teori diferensiasi harga. Dalam buku teks mikro ekonomi, diferensiasi harga adalah upaya untuk menyerap surplus pembeli. Dalam hal ini ada dua hal pengertian menyerap surplus. Pertama, jika diferensiasi harga ke bawah bertujuan melayani pembeli marginal, dan kedua, jika diferensiasi ke atas bertujuan menyerap surplus daya beli. Jika berada di antara keduanya, tentulah bertujuan memperbaiki harga tenaga kerja dan sekaligus memberi kesempatan pembeli atau industri dengan produktivitas marginal. Sejalan dengan pemikiran atau teori di atas, maka prinsip upah minimum sektoral di samping bersifat diferensiasi, juga lebih mengandung unsur rent sharing. Rent sharing merupakan salah satu aspek dari teori upah efisiensi dimana diramalkan bahwa pengusaha yang memiliki keuntungan lebih tinggi akan memberikan upah lebih besar untuk meningkatkan produktivitas, atau mengurangi biaya kontrol,

29

shirking habbit, turn over tinggi dan intrik yang berpotensi memberi kerugian lebih besar (Blancflower, et.al. 1996). Menjadi pertanyaan apakah upah yang terdeferensiasi memiliki dampak lebih kecil terhadap perbaikan upah rata-rata aktual ? Sebaliknya, apakah dampak pengurangan kesempatan kerja bagi pekerja kelompok bawah juga lebih kecil ? Hal ini tentunya tergantung dari apakah upah terdeferensiasi ke bawah (mewadahi industri yang berproduktivitas lebih rendah) atau terdeferensiasi ke atas, yaitu merupakan upaya peningkatan upah bagi industri yang memiliki super normal profit ? Penelitian ini merupakan rekonsiliasi dari pro dan kontra upah minimum. Pendapat yang pro terhadap kebijakan upah minimum bertujuan memperbaiki distribusi pendapatan antara pemilik modal dan pekerja, atau memperbaiki antara kelompok atas dan kelompok bawah para pekerja, serta sebagai alat untuk melepaskan kemiskinan yang umumnya diderita kelompok tenaga kerja marginal (perempuan, muda usia, relatif tidak berpendidikan). Kelompok yang kontra upah minimum, berpendapat upah minimum akan mengurangi kebutuhan tenaga kerja, terjadinya subtitusi kapital untuk tenaga kerja, dan penggantian kelompok pekerja bawah kurang terampil oleh kelompok tenaga kerja terampil, dan white collar. Akibat dari perbaikan upah minimum adalah menurunnya kesempatan kerja di sektor core dan terdesaknya tenaga kerja ke sektor pinggiran, dan menyebabkan menurunnya upah di sektor pinggiran yang populasinya jauh lebih besar di negara sedang

30

berkembang (Booth, 1995). Hal ini justru akan menyebabkan merosotnya tingkat hidup pekerja secara umum. Jika upah minimum sektoral yang diberlakukan di beberapa propinsi di Indonesia ternyata terdeferensiasi ke bawah, penelitian ini ingin membuktikan bahwa upah sektoral tersebut lebih baik dalam memberi kesempatan kerja, karena industri dengan ability to pay lebih rendah tetap dapat berpartisipasi. Sebaliknya, jika upah minimum terdeferensiasi ke atas, penelitian ingin melihat apakah terjadi prinsip rents sharing dimana industri dengan ability to pay lebih tinggi membagikan surplusnya kepada pekerja. Hal terakhir ini terlihat jika jarak upah aktual dan upah minimum semakin dekat atau lebih-lebih lagi jika upah minimum sudah berada di atas upah aktual. Penetapan upah yang terlalu tinggi akan berdampak kepada keluarnya pengusaha dari suatu bisnis. Beberapa studi berkait dengan masalah ini misalnya yang dilakukan oleh Islam dan Nazara (2000) yang melakukan pengamatan pada masa Orde Baru. Pada masa itu tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kenaikan upah dan pengangguran. Dengan kata lain, kenaikan upah yang dilakukan melalui kebijakan Upah Minimum pada masa Orde Baru tidak mendorong pengangguran. Hal ini berarti bahwa kenaikan upah tersebut masih reasoanable dihadapan pengusaha. Studi Ghellab (1998), dengan menggunakan data sebelum krisis menunjukkan hubungan kenaikan upah minimum terhadap pengerjaan kelompok muda memiliki arah yang negatif, tetapi parameternya kecil dan secara statistik juga kurang signifikan. Dengan kata lain kebijakan upah sebelum krisis tidak berdampak pengurangan pekerjaan.

31

Sebaliknya pada saat krisis, studi lembaga penelitian SMERU (2001) setelah adanya otonomi daerah, pemerintah kota cenderung populis, kecenderungan

kenaikan upah minimum yang pesat berdampak terhadap hilangnya kesempatan kerja dan sekaligus pendapatan pekerja rawan seperti pekerja usia muda, pekerja tidak tetap, dan pekerja perempuan. Masalah Upah Dewasa Ini Sampai dengan tahun 2005 sejak reformasi sosial 1998 pemerintahan sudah berganti tiga kali. Nuansa liberalisasi ekonomi dan kesulitan APBN yang dihadapi oleh pemerintah mendorong pemerintah mengurangi subsidi BBM. Akibatnya harga BBM yang merupakan komponen biaya perusahaan meningkat. Sebagai komponen dasar industri transportasi kenaikan BBM mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan dasar. Nilai upah riel pekerja diperkirakan turun. Besarnya penurunan upah riel bukan hanya sebesar inflasi umum, tetapi inflasi kebutuhan dasar yang menjadi area buruh. Kebutuhan ini meliputi pangan, sandang, transportasi, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, pekerja juga bersentuhan dengan kebutuhan di luar itu hyang merupakan produk-produk relatif luxurious. Pada prinsipnya kenaikan BBM membuat redistribusi hasil produksi riel melalui kemampuan daya beli buruh, kelompok non buruh, dan pemerintah. Secara umum kenaikan UM tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga dan terutama lingkungan umum yang lebih komersial dewasa ini. Buruh dan penerima pendapatan tetap lainnya sama saja dikenai pajak, sementara dengan asumsi zero sum

32

game, bahwa hasil produksi riil sebenarnya tidak berubah, maka perubahan uang dan harga yang menyebabkan salah satu kelompok berkurang kemampuannya memperoleh barang dan jasa, maka kelompok lain dipastikan mendapatkan lebih banyak barang dan jasa tersebut. Kebijakan pengurangan subsidi BBM pada akhirnya adalah atau sama dengan pajak negara yang harus dipikul oleh kelompok buruh dan penerima penghasilan tetap. Tuntutan upah diperkirakan akan meningkat, sementara industri yang kesulitan sudah mulai melakukan PHK, dan akhirnya produksi nasional diduga menurun atau meningkat lebih lambat.

33

IV. METODE PENELITIAN


Riset ini meliputi tiga tahapan yang dicerminkan oleh metode riset bertahap yang dideskripsikan pada bagian ini. Pertama akan dianalisis hubungan upah dan produktivitas di berbagai propinsi, dengan mengemukakan juga upah minimum

dibanding dengan PDRB perkapita yang menggambarkan kebijakan penghasilan rakyat melalui kebijakan upah. Kedua, akan dianalisis cara-cara menetapkan upah minimum sektoral yang bersandar kepada produktivitas internal industri. Upah minimum disusun secara sektoral yang memungkinkan industri yang sangat beragam kemampuan membayarnya ikut berpartisipasi. Ketiga, akan dianalisis apakah sistem upah minimum sektoral yang terdiferensiasi memiliki hubungan atau pengaruh terhadap kesempatan kerja.

A.

UPAH DAN PRODUKTIVITAS DI BERBAGAI INDUSTRI DAN PROPINSI Untuk mengkaji hubungan upah dan produktivitas digunakan analisis tabel

secara deskriptif sebagaimana sudah dilakukan pada bagian pengantar pada level antranegara di ASEAN. Dalam hal ini dilakukan perbandingan antar provinsi khusus untuk industri pengolahan. Analisa regresi digunakan untuk memerinci elemen-elemen produktivitas antarindustri. Produktivitas dikontrol dengan penggunaan nilai kapital dan tenaga

34

kerja, serta melihat peran industri dengan menggunakan kerangka fungsi produksi Cobb-Douglas. Model produktivitas Cobb-Douglas adalah fungsi produksi, Y = f (K, L) Dimana: Y adalah output, K adalah kapital, dan L adalah tenaga kerja. Model di atas disusun dalam bentuk double log dan ditambahkan variabel dummy industri untuk mengungkap perbedaan produktivitas total antar industri, maka persamaan regresi untuk melihat perbeadaan produktivitas antar industri adalah sebagai berikut: ln Qij = ln A + b1 ln Kij + b2 ln Lij + c1 DIND(1) + . + cn-1 DIND (n-1) + e
c1 =f + g Upah + h Penerimaan Lain + kn-1 DUMP (n-1) + e

(1) Di mana Qij, nilai output perusahaan i pada industri j; Kij, nilai kapital perusahaan i pada industri j; L ij, besar tenaga kerja perusahaan i pada industri j. D IND(1) s/d DIND (n-1) adalah dummy setiap klasifikasi industri dari industri 1 sampai industri n-1.

Parameter A adalah intersep yang menggambarkan produktivitas rata-rata ketika K dan L tidak berubah A juga disebut kapasitas teknologi, b1 dan b2 menggambarkan pengaruh atau hubungan input dan output, dan C1 sampai Cn-1 menggambarkan pengaruh berbagai industri dalam produktivitas, dengan diasumsikan hanya berpengaruh sebagai penggeser nilai A. Pada regresi parameter C1 sampai Cn-1 dijelaskan pleh variabel upah aktual, dan insentif non upah, dan kn-1 DProv
(n-1)

(dummy Provinsi) yang dimasukkan ke dalam

model untuk menangkap perbedaan kebijakan ketenagakerjaan dan pengupahan di berbagai provinsi.

35

Penafsiran dari c1 sampai cn-1 adalah shifter dari ln A, yang tidak lain melambangkan perbedaan produktivitas antar industri. Pertanyaan yang akan dijawab apakah produktivitas antar industri dapat dijelaskan oleh variasi upah, dan insentif non upah, serta lokasi yang didalamnya mengandung regulasi ketenagakerjaan. B. PEMBUATAN INDEKS UPAH MINIMUM SEKTORAL 1. Ranking Upah Aktual Antarindustri Sesuai dengan tujuan penelitian ini, pada tahap pertama akan diestimasi upah antarindustri dengan kontrol pendidikan, daerah perkotaan, dan rasio pekerja produksi terhadap pekerja nonproduksi yang menggambarkan tingkat teknologi. Regresi ini akan menghasilkan ranking upah aktual antarindustri pada tahun 1999 pada saat mana data digunakan. Ranking upah ini dapat diinterpretasi sebagai perbedaan upah antarindustri pada tingkat pendidikan SDM yang sama, lokasi yang sama, dan rasio pekerja produksi terhadap pekerja nonproduksi yang sama. Model pada regresi pertama sudah disesuaikan dengan variabel yang tersedia pada data asli survai industri BPS. Regresi pertama, mengambil persamaan empirik berikut, wij = a + [ b1 Rpendij + b2 Jabij +

k =1

bk Dkreg ] + [ c j KLUI
j =1

]+ eij

(2)

di mana wij = upah rata-rata dalam perusahaan i dan industri j. Rpendij = jumlah tahun pendidikan semua pekerja dibagi jumlah pekerja perusahan i dan industri j. Jabij = rasio pekerja produksi terhadap pekerja nonproduksi. Dkreg = variabel dummy untuk

36

wilayah operasi perusahaan, diberikan nilai 1 untuk daerah perkotan yang merupakan pemusatan industri (jika kabupaten di luar Jawa memiliki 50 atau lebih perusahaan menengah dan besar, dan di Jawa memiliki 100 aatau lebih perusahan mengenah dan besar, dan nilai klasifikasi industri. Koefisien-koefisien cj, menggambarkan posisi upah berbagai industri dari benchmark, yaitu industri yang tidak diikutkan dalam regresi. Koefisien cj menggambrkan varaiasi upah antarindustri. 2. Komponen-komponen Indeksasi Setelah pada regresi tahap pertama diperoleh koefisien cj yang menggambarkan perbedaan upah antarindustri, pada tahap kedua akan diestimasi pengaruh faktorfaktor yang diduga mempengaruhi perbedaan upah antarindustri tersebut. Faktorfaktor yang diduga berpengaruh dalam model penelitian ini selanjutnya akan dijadikan prediktor dalam meramalkan upah minimum sektoral propinsi. Regresi tahap kedua mengambil model berikut,
cj

nol

untuk kabupaten sisanya). KLUIj = dummy untuk setiap

= f1 + f2 KL + f3 CR-4 + f4 DASING + f5 EKSPOR + f6 IMPOR + f7 ENERGI + f8 SIZE + f9 FRAKWAN + ui

(3)
di mana c j adalah parameter diestimasi pada regresi tahap pertama, variabel

prediktor terdiri dari rasio kapital tenaga kerja (KL), rasio konsentrasi-4 (CR-4), proporsi modal asing (DASING), rasio ekspor dari total produksi (EKSPOR), rasio

37

impor dari total input (IMPOR), pengeluaran untuk energi per pekerja (ENERGI), besar perusahaan (SIZE) dan besarnya fraksi tenaga kerja wanita (FRAKWAN).

38

3. Indeksasi Upah Minimum Antarindustri (UMSP) Selanjutnya berdasar regresi tahap kedua yang dikerjakan dengan data 1999, akan digunakan untuk menentukan berapa UMSP. Karena UMSP yang paling lengkap adalah untuk propinsi Sumatra Utara, dalam riset ini akan diperbandingkan UMSP dari pendekatan riset dan UMSP yang ditentukan oleh komisi upah di Sumatera Utara. UMSP pada risert ini pada prinsipnya dilakukan dengan memprediksi atau meramal pada ranking berapa suatu industri seharusnya memberi upah, dan berapa besar upah dengan besar variabel prediktor tertentu. Dari serangkaian koefisien karakteristik industri yang diperoleh fi selanjutnya digunakan untuk memprediksi Upah Minimum (UM) sektoral, UMSi = f (Xi) (4)

di mana UMSi adalah upah minimum suatu industri dan Xi adalah karakteristik industri rata-rata pada suatu industri di propinsi tertentu. C. PENGUJIAN PENGARUH VARIASI UPAH TERHADAP KESEMPATAN KERJA Setelah pada tahap pertama diformulasikan variasi atau differensiasi upah antar industri, analisis selanjutnya dipusatkan untuk melihat apakah upah yang bervariasi meningkatkan penggunaan tenaga kerja. Differensiasi upah memiliki dua tujuan yaitu terdeferensiasi ke atas yang bertujuan memperbaiki pangsa buruh dalam pembagian nilai tambah, atau terdiferensiasi ke bawah yang bertujuan menampung industri berproduktifitas rendah yang berarti meningkatkan partisipasi semua kelompok industri dan berimpak kepada penggunaan tenaga kerja yang lebih besar. Dalam hal

39

ini, pertama akan dilihat upah minimum di berbagai propinsi dibanding dengan pendapatan regional bruto perkapita (PDRB-perkapita). 1. Untuk mengkaji upah relatif antarpropinsi, digunakan perbandingan upah minimum propinsi pada tahun tertentu terhadap PDRB perkapita pada tahun yang sama. Pada riset ini digunakan data tahun 2001. Selanjutnya perlu dilihat bagaimana diferensiasi upah sektoral bergerak ke atas maupun ke bawah dari benchmark tersebut. Benchmark upah =
UMPi UMPNas / PDB / Kapita Nas PDRB / Kapita i

Di mana UMPi adalah Upah Minimum Propinsi pada propinsi i, dan PDRB/kapitai sudah jelas merujuk. UMP-Nas adalah UMP rata-rata nasional dan PDB/Kapita Nas sudah jelas. Selanjutnya UMSP per industri dibandingkan terhadap benchmark tersebut, apakah bervariasi ke atas atau ke bawah. 2. Untuk menguji perbedaan impak penetapan UMSP antarpropinsi terhadap kesempatan kerja, sebagaimana tujuan penelitian tahap ini digunakan analisis regresi dua tahap dengan menggunakan model berikut. kk ijk = a + b1 sales ij + b2 kl + b3 DASING + b4 CR4 j +
c
k

prop

+e

c k = a +g1UMP1 +g2UMP5 + g3UMSP10 + g4UMSP20 + g5UMSP>20

+UMP_PDRB (5)

40

di mana, kk

ijk

adalah tenaga kerja pada perusahaan i, industri j, salesi

ij

adalah

penjualan per tenaga kerja pada perusahan j, kl adalah kapital , DASING adalah modal asing, CR4j adalah rasio konsentrasi 4 artinya output industri besar dibagi total output industri j,
c
k

prop

adalah jumlah vektor koefisien variabel dummy

propinsi, UMP1 adalah variabel dummy upah minimum propinsi tunggal, UMP5 adalah variabel dummy upah minimum propinsi sektoral 2 sampai 5 jenis industri, UMSP10 adalah variabel dummy upah minimum sektoral proprinsi 6 sampai 10 jenis industri, UMSP20 adalah variabel dummy upah minimum sektoral propinsi 11 sampai 20 jenis industri, UMSP>20 adalah variabel dummy upah minimum sektoral propinsi lebih dari 21 jenis industri. D. DATA YANG DIGUNAKAN Penelitian ini menggunakan data mentah yang direkam dalam compact disk sektor industri Indonesia yang berasal dari survai Biro Pusat Statistik. Data tersebut tidak termasuk data sekunder dalam arti bentuk data yang disurvai, diolah, dan disajikan oleh fihak lain sesuai dengan kepentingannya. Data yang digunakan dalam riset ini walupun disurvai oleh fihak lain, penulis masih memperoleh data mentah yang belum diolah, belum dibuat tabel, dan belum disajikan. Peneliti dapat menggunakan data yang tersedia sesuai dengan model yang dibuat, dan dapat mentransformasi variabel dengan membagi, mengalikan, dan operasi matematik yang lain.

41

Data survai industri dimaksud terutama digunakan survai tahun 1999 dan 2001. Pada tahun 2001, tersedia kasus atau pengamatan lebih dari 21 ribu perusahaan. Data industri tersebut meliputi industri sedang dan industri besar, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja 20 orang atau lebih. Perusahaan-perusahan

tersebut diklasifikasikan menurut kode Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) 5 digit yang meliputi 308 klasifikasi. Metode pengumpulan data yang digunakan oleh BPS adalah survai dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan kepada semua industri besar dan sedang yang tercatat dalam direktori BPS, dengan demikian merupakan survai lengkap. Selanjutnya, analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 10. Mengambil keuntungan statistik penggunaan sampel besar, maka 75 persen data yang tersedia diikutkan dalam analisis. Observasi yang tidak diikutkan adalah yang bersifat outliers karena adanya nilai ekstrim, kesalahan input, dan informasi yang diberikan oleh responden tidak lengkap. Selanjutnya, perlu didefinisikan variabel yang digunakan dalam spesifikasi model di atas. Upah rata-rata per unit analisis diperoleh dengan membagi total pembayaran upah tenaga kerja dengan jumlah semua pekerja yang dibayar. Pendapatan untuk suatu kelompok pekerja diperoleh dengan jalan membagi pengeluaran tenaga kerja untuk upah, lembur, bonus, dan hadiah dengan jumlah pekerja untuk suatu kelompok yang dianalisis.

42

Untuk data karakteristik pekerja Xij, digunakan rasio total atau sub total tahun pendidikan dibagi jumlah pekerja atau kelompok pekerja antarindustri yang diimpor dari data yang ada pada tahun 1997, dengan penilaian tamat SD = 6, SLP = 9, SLA = 12, D-1 = 13, D-2 = 14, D-3 = 15, S-1 = 16, S-2 = 18 dan S-3 = 23. Untuk data jabatan, digunakan rasio pekerja produksi dibagi pekerja nonproduksi. Variabel konsentrasi, digunakan konsentrasi-4 dalam industri, yaitu subtotal nilai output empat perusahaan terbesar dibagi total nilai output industri 5 digit. Rasio kapital tenaga kerja, digunakan total nilai pasar barang-barang kapital dan peralatan (terdiri dari penjumlahan nilai real estate, gedung dan konstruksi, mesin dan peralatan, kendaraan, barang dan peralatan kapital yang lain) dibagi jumlah tenaga kerja. Variabel ukuran perusahaan (firms size), digunakan jumlah tenaga kerja. Variabel fraksi tenaga kerja wanita dihitung dengan membagi jumlah tenaga kerja wanita terhadap total pekerja dalam perusahaan. Variabel peran modal asing (DASING) diukur dengan rasio modal asing terhadap total modal. Selanjutnya,

variabel proporsi ekspor diukur dari perbandingan besarnya ekspor dengan total produksi. Demikian juga variabel impor merupakan rasio input yang diimpor

terhadap total input. Variabel energi digunakan nilai energi baik listrik, bahan bakar minyak, dan bahan bakar lain dibagai total tenaga kerja. Pengembangan Data Base. Riset ini juga menghasilkan perluasan data base yang berupa variabel baru yang dicreate dari variabel yang sudah ada pada compact disk keluaran BPS. Karena proses create variabel baru memakan waktu, maka riset ini dapat menjadi pusat data yang dapat digunkan untuk mensuplai

43

propinsi-propinsi yang tertarik dengan manfaat penentuan upah sektoral yang lebih fleksibel. Variabel yang dicreate antara lain, varaibel dummy untuk propinsi dan kabupaten, variabel dummy untuk klasifikasi industri 2 digit, 3 digit, 4 digit dan 5 digit, struktur upah yang dikontrol sesuai dengan regresi tahap satu (cj) baik untuk 3 digit, 4 digit, maupun 5 digit.

44

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. KARAKTERISTIK INDUSTRI PENGOLAHAN DI INDONESIA Selama krisis ekonomi 1997 sampai 2001 terjadi perubahan penting karakteristik utama industri Indonesia. Beberapa variabel yang dijadikan indikator dapat dilihat pada tabel 5.1. Inflasi yang tinggi sepanjang krisis terlihat dari meningkatnya nilai tambah per pekerja, nilai kapital, dan nilai upah. Sementara itu, tingkat konsentrasi meningkat, persentase modal asing stagnan, dan persentase nilai ekspor dari nilai produksi menurun. Menggambarkan struktur yang makin monopolistik karena exitnya perusahaan marginal, kurangnya investasi asing, dan kesulitan ekspor pada saat itu. Tabel 5.1. Karakteristik utama industri pengolahan menengah dan besar di indonesia tahun 2001 (satuan uang dalam juta rupiah) Karakteristik Utama Nilai tambah per tenaga kerja* Nilai kapital per tenaga kerja Tingkat konsentrasi-4 Persentase nilai modal asing dari nilai total modal Persentase nilai ekspor dari nilai output Ukuran perusahaan rata-rata** Upah rata rata per tahun***) Persentase penggunaan tenaga kerja wanita Rata-rata seluruh industri 1997
13,5 37,0 44,0 25,3 23 185 2,4 38

Rata-rata seluruh industri 2001


31,5 52,0 48,56 25,2 12,6 201 5,7 39

Sumber: BPS diolah dari data mentah survai industri *). Dengan menghilangkan outliers > 1 milyar per tenaga kerja. **). Dengan menghilangkan outliers > 30 ribu

45

***). Dengan menghilangkan outliers > 100 juta

46

Upah rata-rata selama krisis ekonomi, reformasi, dan desentralisasi meningkat hampir 2,5 kali lipat yang sebenarnya hanya merupakan gejala inflatoir yang meningkat bersamaan nilai tambah, dan nilai kapital. Dilihat dari pembagian nilai tambah yang dihasilkan pekerja sendiri imbangan upah dan non upah (laba, bunga, dan pajak) relatif stagnan, di mana pekerja hanya menerima bagian nilai tambah sebesar 17,8 persen pada 1997 dan 18 persen pada tahun 2001. Penerimaan riel sebenarnya menurun karena selama masa itu terjadi pertumbuhan riel nilai tambah yang negatif. Tabel 5.2. Distribusi persentase output dan tenaga kerja industri pengolahan menengah dan besar di Indonesia tahun 2001
Persentase Distribusi Tenaga kerja 12.9 5.9 13.4 11.1 6.0 8.8 2.6 1.1 0.1 5.0 7.1 3.6 1.2 2.5 2.7 0.0 1.4 1.1 0.4 1.1 1.5 10.3 0.3 100.00 Persentase Distribusi Nilai Output 15.1 8.8 8.4 3.9 2.5 5.5 6.9 0.6 0.0 12.1 4.4 3.4 5.5 1.5 4.5 0.0 2.3 1.9 0.2 3.7 4.2 4.5 0.2 100.0

Klasifikasi Industri
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Total Makanan dan minuman Pengolahan tembakau Tekstil Pakaian jadi Kulit, barang dari kulit, dan alas kaki Kayu (tidak termasuk furnitur), barang-barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya Penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman Batubara, minyak bumi dan gas bumi Kimia Karet dan plastik Galian bukan logam Logam dasar Logam kecuali mesin dan peralatannya Mesin dan perlengkapannya Mesin dan peralatan kantor, akuntansi dan pengolahan data Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya Radio, televisi dan peralatan komunikasi Peralatan kedokteran, alat ukur, alat navigasi, optik, jam dan lonceng Kendaraan bermotor Alat angkutan selain kendaraan beroda empat atau lebih Furniture Daur ulang

47

JUMLAH TENAGA KERJA/ NILAI OUTPUT (DALAM MILYAR RUPIAH)

692.12 4.338.904 7

Sumber: BPS diolah dari data mentah survai industri

Di samping itu penggunaan tenaga kerja wanita yang umumnya dapat dibayar lebih rendah meningkat. Hal ini disebabkan oleh kesediaan wanita (upah reseservasi lebih rendah) yang menganggap pendapatannya di pasar tenaga kerja sebagai pendapatan sekunder dalam rumah tangga. Tabel 5.2. melaporkan sebaran dalam persentase peran berbagai industri dalam menyumbang nilai output dan tingkat penggunaan tenaga kerja. Industri pangan termasuk industri tembakau dan sandang masih merupakan industri terpenting dengan pangsa nilai output sebesar 24 dan 15 persen. Dari sisi tenaga kerja, industri pangan dan tembakau menampung 19 persen dari total penggunaan tenaga kerja industri pengolahan, sementara industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki menampung 15 persen. Industri-industri yang memiliki pangsa tenaga kerja lebih besar dari pangsa output menggambarkan industri yang lebih padat tenaga kerja. Industri ini meliputi tekstil, pakaian jadi, industri kulit dan alas kaki, industri kayu-rotan dan bambu, furniture, karet dan plastik, dan industri logam di luar mesin dan perlatannya. Sebaliknya industri yang memiliki produktivitas relatif tinggi, di mana pangsa nilai output lebih besar dari panga tenaga kerja antara lain industri penerbitan, industri kendaraan bermotor, industri alat angkutan, industri makanan, dan industri tembakau. Industri makanan menengah besar (pengalengan, makanan dalam kemasan, susu dan sebagainya) merupakan industri relatif berproduktivitas tinggi,

48

sebaliknya industri makanan yang tergolong kecil dan bersifat industri rumah tangga merupakan industri padat tenaga dengan produktivitas relatif rendah. Produktivitas tenaga kerja Indonesia diperlihatkan pada tabel 5.3. perusahaan yang memiliki nilai tambah sangat rendah yaitu kurang dari 3 juta rupiah perpekerja pertahun ditemukan lebih dari 11 persen. Lebih 23 persen memiliki nilai tambah kurang dari 5 juta rupiah per pekerja per tahun. Hampir 35 persen perusahaan yang ada memiliki nilai tambah per pekerja kurang dari 7 juta rupiah per tahun. Bagian tenaga kerja dari nilai tambah diperkirakan sekitar 18 persen sebagaimana diperlihatkan pada tabel 5.1. Kondisi kesejahteraan sepertiga pekerja tentu sangat rendah dan sulit ditingkatkan melalui regulasi upah minimum mengingat nilai tambah sendiri hanya kurang dari 7 juta rupiah per tahun. Tabel 5.3. Distribusi nilai tambah per tenaga kerja pada industri menengah dan besar di indonesia tahun 2001 (satuan uang dalam ribu rupiah)
Kelompok nilai tambah per tenaga kerja <1.000 1.000 3.000 3.000 5.000 5.000 - 7.000 7.000 10.000 10.000 - 20.000 20.000 - 40.000 40.000 - 100.000 100.000 200.000 Total Frequensi 659 1724 2581 2519 2450 4359 3543 2049 1512 21396 Persen 3.1 8.1 12.1 11.8 11.5 20.4 16.6 9.6 7.1 100.0

Sumber: BPS diolah dari data mentah survai industri

Kelompok menengah atas, memiliki nilai tambah per pekerja sekitar 20 juta setahun, dengan rentangan antara 10 juta sampai 40 juta setahun. Kelompok ini

49

mencakup 28 persen.

Dengan asumsi pekerja mendapatkan seperlima, pekerja

diperkirakan memperoleh sekitar 4 juta setahun atau 310 ribu sebulan. Kelompok inipun terlihat masih memiliki kemunkinan regulasi upah terlalu rendah di lihat dari kebutuhan absolut buruh. 5.4. Pada tabel 5.4. terlihat distribusi upah rata-rata per pekerja dan upah pekerja produksi. Kelompok pekerja bawah perlu mendapat perhatian khusus sehubungan dengan kebijakan pelepasan kemiskinan. Tabel 5.4. Distribusi upah, tenagakerja produksi dan tenaga kerja nonproduksi pada industri menengah dan besar di Indonesia tahun 2001
Nilai upah Upah seluruh Upah tenaga kerja (juta rupiah tenaga kerja produksi per tahun) (%) (%) <1 5,78 6,50 1 - 1,99 8,69 9,50 2 - 2,99 12,51 13,60 3 - 3,99 13,42 15,00 4 - 4,99 13,19 15,10 5 - 5,99 13,48 13,30 6 - 6,99 9,45 8,30 7 - 7,99 6,27 5,40 8 - 8,99 3,60 2,80 9 - 9,99 2,72 2,10 10 10,89 8,50 Total 100,00 100,00 Sumber: BPS diolah dari data mentah survai industri Upah tenaga kerja nonproduksi (%) 9,20 5,90 7,40 8,90 8,50 7,40 7,60 6,50 4,80 5,10 28,70 100,00

Lebih jauh mengenai upah diperlihatkan pada tabel

Terlihat bahwa hampir 6 % pekerja menerima kurang dari 1 juta rupiah setahun pada tahun 2001. Lebih dari 67 persen menerima kuang dari 6 juta setahun atau 500 ribu sebulan. Distribusi penerima penghasilan rendah juga lebih rendah untuk pekerja produksi daripada pekerja non produksi, di mana pekerja produksi yang memliki

50

upah kurang dari 6 juta setahun sebesar 73 persen sementara untuk kelompok pekerja non produksi hanya kurang dari 47 persen. Sasaran regulasi upah minimum umumnya memang ditujukan kepda pekerja produksi. Lebih lanjut perlu digambarkan berapa jumlah perusahaan yang membayar rendah yang menjadi sasaran regulasi upah minimum. Tingkat konsentrasi-4 menggambarkan tingkat monopoli dan persaingan di berbagai industri. Krisis ekonomi menyebabkan perusahaan marginal melakukan exit dari suatu pasar. Akibat krisis tersebut perusahaan yang paling efisien yang bertahan dan akhirnya menguasai pasar dengan lebih luas. Tingkat konsentrasi 4 dihitung dari penjualan 4 perusahaan terbesar dalam suatu industri dibagi dengan penjualan seluruh industri. Semakin tinggi misalnya sampai dengan 100, berarti seluruh pasar dikuasai oleh 4 perusahaan saja, sebaliknya, jika 4 terbesar menguasai sangat sedikit misalnya sampai kurang dari 10 persen menunjukkan tingkat persaingan yang tinggi. Tabel 5.5. DistribusiTingkat Konsentrasi Industri Pengolahan Menengah dan Besar di Indonesia Tahun 2001
Tingkat konsentrasi 4 <10.00 10.1-20.0 20.1-30.0 30.1-40.0 40.1-50.0 50.1-60.0 60.1-70.0 70.1-80.0 80.1-90.0 90.1-100.0 Total Persentase perusahaan
0.34 5.10 7.10 5.07 10.28 16.65 12.94 22.58 8.46 11.48

100.00

51

Sumber: BPS diolah dari data mentah survai industri.

Hanya 12,5 persen perusahaan yang menghadapi persaingan yang kompetitif di mana 4 persahaan terbesar menguasai pasar kurang dari 30 persen. Dan, 28 persen perusahaan yang menghadapi persingan di mana 4 terbesarnya menguasai kurang dari 50 persen. Sebaliknya, 72 persen perusahaan bermain di pasar yang cenderung monopolistik, di mana 4 pemain terbesar menguasai di atas 50 persen penjualan. Perusahaan perusahaan monopolistik memiliki kesempatan memperoleh laba di atas normal, di mana daya tawar konsumen cenderung rendah. Hubungan informasi cenderung tidak seimbang dan umumnya konsumen membayar lebih tinggi. Seharusnya dengan mengacu kepada pola optimal bargain, di mana diasumsikan pekerja mengetahui bahwa perusahaan menikmati laba super normal, mestinya pekerja meminta surplus ini untuk menambah upah di atas harga pasar. Namun, karena situasi ketenaga kerjaan over suplai kesempatan ini kurang dapat dinikmati oleh kelompok buruh. Tabel 5.6. Distribusi Persentasi Modal Asing pada Industri Pengolahan Menengah dan Besar di Indonesia Tahun 2001
Persentase pemilikan modal Prosentase (%) asing terhadap total modal 0,0 91.94 0.1-24.9 0.22 25-39.9 0.28 40-59.9 1.35 60-79.9 1.15 80-100 5.06 Total 100 Sumber: BPS diolah dari data mentah survai industri

52

Salah satu surplus pekerja adalah modal asing. Perusahaan asing umumnya tertarik masuk kepada industri yang belum dieksplorasi. Pemilik asing, terutama yang berasal dari negara yang lebih maju umumnya menghadapi standar sosial yang lebih tinggi. Hal tersebut memungkinkan mereka membayar lebih tinggi. Tabel 5.6. melaporkan perusahaan asing tersebar tidak merata, hanya 8 persen perusahaan kepemilikannya terkait dengan asing. Diduga perusahaan asing ini terkonsentrasi pada perusahaan yang lebih padat modal, karena walaupun hanya 8 persen yang terkait asing nilai asetnya diperkirakan 25 persen (tabel 5.1). Para pekerja yang bekerja di perushaan yang terkait modal asing umumnya menerima upah lebih tinggi.

B. PEMBAHASAN 1. UPAH DAN PRODUKTIVITAS DI BERBAGAI INDUSTRI DAN PROPINSI Sebagaimana dikemukakan dalam metodologi, pertama, akan dianalisis hubungan antara produktivitas dan upah di berbagai industri. Untuk tujuan itu terlebih dahulu akan diestimasi variasi produktivitas di berbagai industri. Perbedaan produktifitas antarindustri didekati dengan menggunakan model fungsi produksi sederhana dari Cobb Douglas. Hubungan fungional ntara input dan output diestimasi dengan menggunakan model regresi double log. Regresi akan menghasilkan taksiran seberapa besar nilai kapital berpengaurh terhadap output dan demikian juga tenaga kerja. Kemampuan tekonologi dan managerial ditangkap dengan besar nilai A (intersep) yang menunjukkan kemampuan dasar sektor industri menghasilkan produk tanpa adanya perubahan input. Variasi nilai A (intersep) antarindustri

53

menggambarkan kapasitas teknologi dan managerial dari berbagai industri yang ada. Perbedaan nilai A yang tidak lain adalah menggambarkan produktivitas antarindustri ditangkap melalui variabel dummy dari berbagai industri yang ada. Paramater dari variabel-variabel dummy merupakan shifter nilai A yang menggambarkan berbagai produktivitas atau efisiensi dari berbagai industri. Besar parameter dummy ditambah nilai A dapat dibaca bahwa dengan nilai kapital yang sama dan jumlah tenaga kerja yang sama industri menghasilkan output yang berbeda. Dari jumlah N industri yang ada hanya dapat dibuat N-1 variabel dummy. Salah satu industri yang tidak dibuat dummy produktivitasnya ditangkap oleh nilai A itu sendiri. Dengan demikian industri yang tidak diikutkan ke dalam model produktivitasnya ditngkap sebagi benchmark. Parameter variabel dummy yang maasuk ke dalam model akan bertnda positif maupun negatif. Parameter yang bertanda positif berarti memiliki produktvitas lebih tinggi dibanding industri benchmark, sedangkan parameter yang bertanda negatif memiliki produktivitas lebih rendah. Model yang diestimasi: ln Q = ln a + b1 ln L + b2 ln K + c1 DIND(1) + . + cn-1 DIND (n-1) + e di mana Q adalah output, L adalah tenaga kerja, dan K adalah nilai kapital, dan DIND(1) s/d DIND (n-1) = dummy setiap klasifikasi industri dari industri 1 sampai industri n-1. Tabel 5.7. Perbedaan produktivitas antarindustri (klasifikasi 3 digit), menengah dan besar di Indonesia, 2001

54

Keterangan/Klasifikasi Industri Tenaga kerja Kapital Industri dan Makanan dari Susu Industri Penggilingan Padi-padian, Tepung & Makanan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Tembakau Industri Pemintalan, Pertenunan, Pengolahan Akhir Tekstil Industri Barang Jadi Tekstil dan Permadani Industri Perajutan Industri Kapuk Industri Pakaian Jadi Tekstil kec Berbulu

Variabel Konstanta LN_L LN_K D152 D153 D154 D155 D160 D171 D172 D173 D174 D181

Koefisien 3,767 0,445 0,663 0,568 -0,148 -0,134 0,337 -0,727 -0,214 -0,244 -0,193 -0,661 -0,213

t 105*** 85*** 236*** 5,5*** -4,9*** -5,6*** 7,3*** -24,*** -7,6*** -6,4*** -4,7*** -8,2*** -8,5***

55

Lanjutan Tabel 5.7.


Keterangan/Klasifikasi Industri Industri Pakaian Jadi/Barang Jadi Berbulu Industri Kulit dan Barang dari Kulit (termasuk Kulit Buatan) Industri Alas Kaki Industri Penggergajian, Pengawetan Kayu, Rotan, Sambu dan Sejenisnya Industri Barang dari Kayu, Rotan, Bambu dan Sejenisnya Industri Kertas, Barang dari Kertas dan Sejenisnya Industri Penerbitan Industri Percetakan Reproduksi Media Rekaman, Film dan Video Industri Barang-Barang dari Batu Bara Industri Penggilingan Minyak Bumi, Pengolahan Gas Bumi & Barang dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi Industri Bahan Kimia Industri Industri Barang Kimia Lainnya Industri Serat Buatan Industri Karet dan Barang dari Karet Industri Barang dari Plastik Industri Gelas dan Barang dari Gelas Industri Barang dari Porselin Industri Pengolahan Tanah Liat Industri dan Barang dari Semen, Kapur, Gips Industri Barang dari Batu Industri Barang-barang dari Asbes Industri Barang Galian bukan Logam Industri Logam Dasar Besi dan Baja Industri Logam Dasar bukan Besi Industri Pengecoran Logam Industri Barang Logam Siap Pasang untuk Bangunan, Pembuatan Tangki dan Generator Uap Industri Barang Logam Lainnya & Kegiatan Jasa Pembuatan Barang dari Logam Industri Mesin Umum Industri Mesin Keperluan Khusus Industri Peralatan RT yang tidak Diklasifikasikan Variabel D182 D191 D192 D201 D202 D210 D221 D222 D223 D231 D232 D241 D242 D243 D251 D252 D261 D262 D263 D264 D265 D266 D269 D271 D272 D273 D281 D289 D291 D292 D293 Koefisien -0,177 -0,100 -0,235 -0,072 -0,057 0,036 -0,036 0,295 0,118 -0,305 0,334 0,444 0,229 0,078 -0,004 -0,143 0,172 0,152 0,077 -0,091 -0,022 -0,275 0,111 0,591 0,298 0,157 0,244 -0,057 0,187 0,078 0,464 t -0,29 -2,0** -6,0*** -2,3** -1,9* 0,95 -1,04 2,5** 0,48 -1,3 3,4*** 12,2*** 7,2*** 0,63 -0,12 -4,9*** 2,5** 2,1** 2,0** -2,5** -0,46 -1,9* 1,2 9,4*** 3,9*** 1,7* 5,0*** -1,8* 4,1*** 1,28 8,4***

56

Industri Mesin dan Peralatan Kantor, Akuntansi dan Pengolahan Data Industri Motor Listrik Lainnya dan Perlengkapan

D300 D311

-0,029 0,159

-0,111 1,490

57

Lanjutan Tabel 5.7.


Keterangan/Klasifikasi Industri Industri Peralatan Pengontrol dan Pendistribusian Listrik Industri Kabel Listrik dan Telepon Industri Akumulator Listrik dan Batu Baterai Industri Bola Lampu Pijar dan Lampu Penerangan Industri Peralatan Listrik yang tidak Diklasifikasikan Industri Tabung dan Katup Elektronik serta Komponen Elektronik Industri Alat Komunikasi Industri Radio, Televisi, Alat Rekaman Suara dan Gambar, dan Sejenisnya Industri Peralatan Kedokteran, dan Peralatan untuk Mengukur, Memeriksa, Menguji dan Bagian Lainnya, kecuali alat-alat optik Industri Instrumen Optik dan Peralatan Fotografi Industri Jam, Lonceng dan sejenisnya Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih Industri Karoseri Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih Industri Perlengkapan dan Komponen Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih Industri Pembuatan dan Perbaikan Kapal Perahu Industri Kereta Api, Bagian-bagian dan Perlengkapannya serta Perbaikan Kereta Api Industri Pesawat Terbang dan Perlengkapannya serta Perbaikan Pesawat Terbang Alat Angkut lainnya Furniture Pengolahaan Lainnya Daur Ulang Barang Logam Daur Ulang Barang Bukan Logam Variabel D312 D313 D314 D315 D319 D321 D322 D323 D331 D332 D333 D341 D342 D343 D351 D352 D353 D359 D361 D369 D371 D372 Koefisien 0,148 0,122 0,631 0,326 0,136 0,115 0,466 0,197 0,213 -0,190 0,093 1,848 0,104 0,349 0,379 -0,085 0,094 0,061 -0,195 -0,062 -0,153 -0,403 t 1,621 1,406 5,4*** 2,8*** 1,060 1,424 2,7*** 1,8* 2,16* -0,955 0,562 11,5*** 1,389 5,7*** 6,3*** -0,536 0,354 1,247 -8,4*** -1,8* -1,9** -4,1***

R2 F Otokorelasi (Dw) Multikolinearitas (VIF)

0,922 3606 1,693

58

X1 X2
Sumber: BPS diolah dari data mentah survai industri

2,530 2,326

Dari tabel 5.7. terlihat industri yang memiliki produktivitas tertinggi adalah industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih dengan dengan parameter dummy sebesar 1,8. Selanjutnya, industri akumulator listrik dan batu baterai, kemudian

industri logam dasar besi dan baja, industri dan makanan dari susu, industri alat komunikasi dan seterusnya terlihat dari paramater varibael dummy yang bertanda positif dan besar. Industri-industri dengan produktivitas rendah terlihat dari parameter yang bertanda negatif, besarnya nilai menunjukkan posisinya di bawah industri benchmark. Industri papan bawah dalam hal produktivitas berturut turut industri

pengolahan tembakau, kemudian industri kapuk, industri daur ulang barang bukan logam, industri barang-barang dari batu bara, industri barang-barang dari asbes, industri barang jadi tekstil dan permadani, industri alas kaki, industri pemintalan, pertenunan, pengolahan akhir tekstil, industri pakaian jadi tekstil kec berbulu, dan sebagainya sebagaimana terlihat dari besar parameter dan tanda negatif. Selanjutnya, pertanyaan yang akan dijawab adalah apakah sebagaian variasi produktivitas tersebut dapat dijelaskan oleh atau dipengaruhi oleh kebijakan pengupahan baik yang yang terjadi internal maupun disebabkan oleh regulasi ketenagakerjaan yang berbeda di setiap wilayah. Pertanyaan ini dijawab dengan mengestimasi model berikut,

59

cij = ln a + ln b1upahij +ln b2 nonupahij + d1 Dprop(1) + ....+ dn-1 Dprop (n-1) +e di mana cij adalah perbedaan produktivitas di berbagai industri, upahij adalah upah di perusahaan i dan industri j, nonupahij adalah penerimaan nonupah perusahaan i dan .(inudtsri j, Dprop(1) sampai Dprop (n-1) adalah dummy provinsi (n-1 Tabel 5.8. Hubungan upah, lokasi industri dan produktivitas.
Variabel (Constant) LN_PNRML LN_UPAH DPROP12 DPROP13 DPROP14 DPROP15 DPROP16 DPROP17 DPROP18 DPROP19 DPROP31 DPROP32 DPROP33 DPROP34 DPROP35 DPROP36 DPROP51 DPROP52 DPROP53 DPROP61 DPROP62 DPROP63 DPROP64 DPROP71 DPROP72 DPROP73 DPROP74 DPROP75 DPROP81 DPROP91 DPROP92 DPROP93 R2 F Konstanta Penerimaan Lain Upah per tenaga kerja Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yoyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Koefisien t

-.818 -27.1*** -1.573E-03 -1.376 9.169E-02 40.4*** 2.002E-02 .728 -5.113E-03 -.163 .111 3.881*** 8.521E-04 .026 5.685E-02 1.855* -8.431E-02 -1.314 -.273 -9.110*** 3.267E-02 .961 -3.118E-02 -1.157 -1.089E-02 -.407 -6.514E-02 -2.429** 6.794E-03 .238 -2.774E-02 -1.037 -1.162E-02 -.430 -6.684E-02 -2.336** -8.097E-02 -2.591*** -7.013E-02 -1.468 1.372E-02 .436 -1.766E-02 -.491 5.136E-02 1.605 7.836E-02 2.403** 7.339E-02 1.978** 2.387E-02 .551 4.306E-02 1.466 -1.684E-03 -.050 2.895E-02 .836 .119 2.725*** 6.174E-02 1.080 -3.086E-02 -.327 -3.754E-03 -.066 0,196 155,563

Sumber: BPS diolah dari data mentah survai

Keterangan

60

*** ** *

= signifikan pada 1% = signifikan pada 5 % = signifikan pada 10 %

Sebagaimana dilaporkan pada tabel 5.8 hubungan upah dan produktivitas positif dan siginifkan tetapi parameternya sangat kecil, sedangkan pengaruh penerimaan lain kepada produktivitas bahkan negatif walaupun tidak signifikan atau tidak terpola dengan jelas. Variabel ketenagakerjaan lainnya dicerminkan oleh standar normatif yang berbeda di berbagai provinsi. Propinsi Aceh tidak diikutkan ke dalam model sehingga berfungsi sebagai benchmark. Ternyata propinsi-propinsi di luar Jawa memiliki impak produktivitas lebih tinggi di banding dengan propinsi di Jawa. Untuk itu Variabel propinsi mewadahi beberapa hal termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, seperti kebijakan investasi, kebijakan ketenagakerjaan khususnya kebijakan upah minimum dan sebagainya. Propinsi-propinsi di luar Jawa masih menerapkan kebijakan upah minimum sektoral atau upah minimum antarindustri yang bergerak berdasar ability to pay dari industri ke industri. Tujuan dari riset ini singkatnya adalah mendukung kebijakan itu dengan memberikan dasar empirik berupa variabel yang bisa diacu untuk menentukan upah minimum sektoral di berbagai industri. Bagian selanjutnya dari bab ini adalah membahas penysunan indeks upah minimum yang mungkin dapat diacu untuk meranking berbagai industri yang ada.

61

2. PEMBUATAN INDEKS UPAH MINIMUM SEKTORAL


Untuk keperluan menyusun indeks upah minimum sektoral antarpropinsi

dilakukan dengan menyusun hubungan fungsional antara upah dan variabel kemampuan membayar sebagaimana dirancang dalam bab sebelumnya. Model ditulis kembali sebagai berikut, wij = a + [ b1 Rpendij + b2 Jabij +
cj

k =1

bk Dkreg ] + [ c j KLUI
j =1

]+ eij

= f1 + f2 KL + f3 CR-4 + f4 DASING + f5 EKSPOR + f6 IMPOR + f7 ENERGI + f8 SIZE + f9 FRAKWAN + ui

di mana wij = upah rata-rata dalam perusahaan i dan industri j. Rpendij = jumlah tahun pendidikan semua pekerja dibagi jumlah pekerja perusahan i dan industri j. Jabij = rasio pekerja produksi terhadap pekerja nonproduksi. Dkreg = variabel dummy untuk wilayah operasi perusahaan, diberikan nilai 1 untuk daerah perkotan yang merupakan pemusatan industri (jika kabupaten di luar Jawa memiliki 50 atau lebih perusahaan menengah dan besar, dan di Jawa memiliki 100 aatau lebih perusahan mengenah dan besar, dan nilai nol untuk kabupaten sisanya). KLUIj = dummy untuk setiap c j adalah parameter diestimasi pada regresi tahap pertama, klasifikasi industri. dijelaskan lagi dengan variabel prediktor terdiri dari rasio kapital tenaga kerja (KL), rasio konsentrasi-4 (CR-4), proporsi modal asing (DASING), rasio ekspor dari total produksi (EKSPOR), rasio impor dari total input (IMPOR), pengeluaran untuk energi per pekerja (ENERGI), besar perusahaan (SIZE) dan besarnya fraksi tenaga kerja wanita (FRAKWAN). Tabel 5.9. Beda upah pekerja produksi antarindustri pada tingkat pendidikan, lokasi, dan komposisi pekerja produksi-nonproduksi yang sama (data 1999, klasifikasi 3 digit) Beda upah suatu industri dari intersep/ benchmark
B 6.678***

Variabel

Beda upah dari rerataa)

(Constant)

62

PEND2 JAB DJAWA DLJAWA Industri pemotongan hewan Industri pengolahan dan pengawetan daging Industri pengolahan, pengawetan buah-buahan dan sayuran Industri minuman keras Industri pengeringan & pengolahan tembakau Industri persiapan serat tekstil Industri barang jadi tekstil Industri kain rajut Industri kapuk

0.130*** -0.002*** 0.196*** 0.202*** -0.004 0.133 -0.068** 0.019 -0.494*** -0.052* -0.027 0.256*** -0.215**

0.02346 0.16046 -0.04054 0.04646 -0.46654 -0.02454 0.00046 0.28346 -0.18754

Lanjutan Tabel 5.9.


Industri pakaian jadi dari tekstil Industri pakaian jadi dari kulit berbulu dan pencelupan Industri kulit dan kulit buatan Industri barang-barang dari kulit dan kulit buatan, kecuali untuk alas kaki Industri penggergajian kayu Industri kayu lapis Industri kertas budaya Penerbitan buku, brosur, buku musik dan publikasi lainnya Industri percetakan Reproduksi media rekaman, film dan video Industri barang dari batu bara Industri pemurnian dan pengolahan gas bumi Industri kimia dasar anorganik gas industri Industri pemberantas hama Industri serat stapel buatan Industri ban luar dan dalam Industri pipa dan selang dari plastik Industri kaca lembaran Industri barang dari gelas Industri barang dari tanah liat rumah tangga Industri semen, kapur dan gips Industri barang dari marmer dan granit bangunan Industri asbes untuk bangunan Industri barang galian bukan logam lainnya Industri besi dan baja Industri pembuatan logam dasar bukan besi Industri pengecoran besi dan baja Industri pengecoran logam bukan besi dan baja Industri penempaan, pengepresan dan penggulungan logam Industri motor pembakaran dalam Industri mesin pertanian dan kehutanan Industri peralatan rumah tangga dengan menggunakan -0.022 0.731 -0.122* -0.032 -0.142*** -0.066** -0.053 -0.231*** -0.427*** 0.838* 0.169 -0.253*** 0.384*** 0.200*** 0.260 0.087** -0.051* 0.018 0.008 -0.251*** 0.031 -0.122** -0.035 -0.166 0.219*** 0.153** 0.051 0.211*** 0.007 0.313*** -0.040 -0.024 0.00546 0.75846 -0.09454 -0.00454 -0.11454 -0.03854 -0.02554 -0.20354 -0.39954 0.86546 0.19646 -0.22554 0.41146 0.22746 0.28746 0.11446 -0.02354 0.04546 0.03546 -0.22354 0.05846 -0.09454 -0.00754 -0.13854 0.24646 0.18046 0.07846 0.23846 0.03446 0.34046 -0.01254 0.00346

63

listrik Industri mesin dan peralatan kantor, akuntansi dan pengolagan data Industri motor listrik Industri panel listrik dan swicth gear Industri kabel listrik dan telpon Industri batu bateri kering Industri bola lampu pijar, lam.penerang terpusat dan ultra violet Industri peralatan listrik lainnya Industri tabung dan katup elektronik serta komponennya Industri alat transmisi komunikasi Industri radio, televisi, alat rekaman suara dan gambar

-0.298 -0.026 0.125 0.027 0.172 -0.167 -0.176 0.110 -0.174 0.433*** 0.102 0.133 -0.208

-0.27054 0.00146 0.15246 0.05446 0.19946 -0.13954 -0.14854 0.13746 -0.14654 0.46046 0.12946 0.16046 -0.18054

Lanjutan Tabel 5.9.


Industri peralatan kedokteran dan kedok.gigi, orthopaedic, prosthetic Industri peralatan pengukuran, pengatur dan pengujian manual Industri jam, lonceng dan sejenisnya

Industri kendaran bermotor roda empat atau lebih 0.367** 0.39446 Industri karoseri kendaran bermotor roda empat atau lebih -0.151** -0.12354 Industri perlengkapan dan komponen kend.roda empat 0.188*** 0.21546 atau lebih Pembuatan dan pemeliharaan perahu rekreasi dan olah 0.302*** 0.32946 raga Industri kereta api, bagian dan perlengkapan serta -0.158 -0.13054 perbaikan kereta api Industri pesawat terbang 0.175 0.20246 Industri sepeda motor dan sejenisnya -0.064 -0.03654 Industri furnitur dari kayu 0.058** 0.08546 Industri barang perhiasan berharga untuk pribadi dari -0.129*** -0.10154 logam mulia Daur ulang barang bukan logam -0.264*** -0.23654 *) t statistik signifika pada taraf uji 10 %, ** t statistik signifikan pada taraf uji 5 % dan *** t statistik signifikan pada taraf uji 1 %.

( a) beda upah dari rata-rata dihitung dengan d = ci ck sk )

( industri atas upah, s adalah pangsa tenaga kerja industri k. Bentuk ck sk ) menjadi basis baru berupa rata-rata upah industri tertimbang dengan pangsa tenaga kerja (lihat Field dan Wolff, 1995: 109).

dimana c adalah koefisien impak

Perbedaan upah antarindustri diperoleh dari penerapan regresi tahap pertama. Upah antarindustri yang diperoleh dari regresi ini akan berbeda dari perbedaan ratarata upah antarindustri yang diperoleh dengan langsung dari data BPS. Beda upah

64

yang diperoleh dalam riset ini adalah upah rata-rata antarindustri dengan mengontrol pendidikan tenaga kerja produksi, pengaruh lokasi, dan rasio pekerja produksi terhadap pekerja nonproduksi. Tabel 5.9. memperlihatkan beda upah antarindustri pada klasifikasi 3 digit. Kolom ke tiga memperlihatkan beda upah setelah dimanipulsi sedemikian rupa sehingga diperoleh beda upah dari rata-rata. Tanda minus berarti industri membayar upah di bawah rata-rata dan tanda plus berarti industri membayar di atas rata-rata. Sebagai contoh, industri pengeringan dan pengolahan tembakau membayar upah pekerja produksi sampai 46 persen di bawah rata-rata. Sebaliknya, industri kendaraan bermotor roda empat membayar pekerja produksi pada tingkat pendidikan yang sama sekitar 39 di atas rata-rata. Industri-industri lain dapat dilihat pada kolom ke 3. Selain informasi perbedaan upah antarindustri juga diperoleh informasi beda upah antar pendidikan. Industri yang memiliki 10 persen tahun pendidikan rata-rata lebih tinggi, memiliki upah lebih tinggi 1,3 persen. Parameter lain yang penting adalah kota-kota yang menjadi pemusatan industri di Jawa rata-rata memberi upah 19,6 persen lebih tinggi, sedangkan di Luar Jawa perbedaan tersebut sekitar 20,2 persen.

Faktor-faktor yang mempengaruhi beda upah antar industri


Untuk dapat diperbandingkan dengan UMSP yang berlaku, maka regresi tahap kedua dari model dilakukan berbasis klasifikasi industri 5 digit. Hasil regresi tahap kedua disajikan pada tabel 5.10.

65

Regresi tahap kedua menggambarkan pengaruh berbagai faktor terhadap perbedaan upah aktual. Kapital pertenaga kerja memiliki elastisitas terhadap perbedaan upah sebesar 0,1. Skala usaha yang ditangkap dari besar tenaga kerja yang digunakan memiliki elastisitas 0,09. Setiap rasio modal asing dari total modal lebih besar 10 point upah rata-rata pekerja produksi lebih tinggi 0,5 persen. Industri berorientasi ekspor juga memberi insentif upah lebih tinggi, setiap rasio ekspor terhadap total produksi lebih tinggi 10 point, maka upah diperkirakan lebih tinggi 0,8 persen.

Tabel 5.10. Faktor-faktor yang mempengaruhi beda upah antar industri klasifikasi 5 digit (data 1999 Indonesia). Variabel
Konstanta LNKL LNSIZE LNENERGI DASING EKSPOR IMPOR FRAKWAN F R kuadrat

Koeffisien
-1.088 .106 0,097 -0,013 0,057 0,083 .362 -0.527 714 0,287

t
-33.963 32.294 19.108 -6.589 2.221 6.122 17.131 -32.537

Bagaimanapun ekspor tidak begitu penting memberi perbaikan upah. Sebaliknya, industri yang menggunakan input impor lebih tinggi yang umumnya merupakan indikasi industri subtitusi impor memberi upah premium signifikan besar yaitu sebesar 3,6 persen lebih tinggi untuk setiap 10 point peningkatan rasio impor

66

dari nilai total input. Dua variabel yang memberi dampak negatif terhadap upah adalah penggunaan energi dan penggunaan tenaga kerja wanita. Beda upah yang disebabkan oleh belanja energi tidak begitu besar, tetapi beda upah setiap penggunaan 10 poin tenaga kerja wanita dari total pekerja, upah diperkirakan 3,6 persen lebih rendah.

Penggunaan Parameter Regresi Untuk Mengindeks Upah Minimum Sektoral (Khusus Industri Manufaktur)
Upah minimum bergerak secara aktual sudah dilakukan berupa Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP) yang berlaku di berbagai propinsi. Memang tidak semua propinsi tertarik menetapkan upah minimum sektoral. Beberapa propinsi menetapkan UMSP dengan cakupan industri lebih lengkap terutama Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan, sedangkan beberapa Propinsi yang lain hanya menetapkan industri yang dianggap penting atau menonjol di daerahnya. Propinsi-propinsi di Jawa yang sebelumnya menetapkan upah minimum untuk beberapa industri, ternyata pada beberapa tahun terakhir tidak dilakukan. Di Jawa upah lebih ditekankan menurut perbedaan kota (UMK). UMK mengandung beberapa kelemahan. Pergeseran UMSP ke UMK berarti kita sudah menggeser penetapan upah yang berdasar produktivitas atau kemampuan membayar industri, menjadi berdasar perbedaan administratif wilayah kota. Kota-kota memang memiliki harga kebutuhan hidup yang sedikit berbeda, tetapi dengan menetapkan upah minimum perkotaan berarti menutup kesempatan industri yang memiliki

67

produktivitas lebih rendah. Informasi upah minimum kota tentu akan menyebabkan semakin kurang layaknya kajian investasi bisnis di kota tersebut. UMSP yang ditetapkan oleh berbagai propinsi pada tahun 2002 diperlihatkan oleh tabel 5.11. terlampir pada bab ini. Tabel 5.11. memperlihatkan variasi penggunaan upah minimum sektoral di berbagai propinsi. Kelengkapan industri yang dicakup terlihat bervariasi tergantung dari keragaman industri yang ada di daerah tersebut, dan tergantung kepada kebijakan pengupahan yang diambil oleh pemerintah daerah. Propinsi-propinsi di Jawa yang memiliki keragaman industri paling lengkap dan merupakan konsentrasi lokasi industri, ternyata tidak tertarik untuk menetapkan upah minimum sektoral. Di Jawa sejak 3 tahun terakhir upah minimum propinsi divariasi atas perbedaan kota (UMK). Propinsi yang paling lengkap menentukan upah minimum sektoral adalah propinsi Sumatra Utara dan disusul kemudian oleh propinsi Kalimantan Selatan. Khusus Sumatra Utara akan dianalisis lebih lanjut, apakah UMSP yang ditetapkan sudah sesuai dengan asas ability to pay dari suatu industri. Karakteristik industri yang digunakan untuk mengestimasi kemampuan membayar tidak lain adalah variabel-variabel prediktor yang digunakan dalam riset ini. Secara umum (di Indonesia) indeks upah sektoral yang direkomendasikan oleh riset ini diperlihatkan pada tabel 5.12. (terlampir pada bab ini). Tabel tersebut diperoleh dari regresi tahap kedua, yang hasilnya dipresentasikan pada tabel 5.10. Indeks Upah Minimum Sektoral yang diperlihatkan pada tabel 5.12. tersebut, diperoleh dengan memasukkan nilai rata-rata 7 variabel prediktor yang digunakan

68

dalam riset ini. Selanjutnya nilai rata-rata nasional dari hasil subtitusi tersebut diberi nilai 100. Indeks upah suatu industri diperoleh dengan membandingkan upah yang diramalkan oleh regresi dengan rata-rata seluruh industri.

69

KASUS SUMATRA UTARA Karena Propinsi yang menetapkan UMSP paling lengkap adalah Sumatra Utara dan Kalimantan Selatan, maka hasil riset ini diperbandingkan dengan UMSP Sumatra Utara. Terlihat hubungan yang kurang konsisten antara UMSP Sumatra Utara 2002 dan hasil riset ini. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan metode penetapan upah. Upah minimum umumnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup pekerja di suatu daerah. Upah minimum sektoral merupakan variasi upah minimum kota yang dipadukan dengan kemajuan suatu industri. Pendekatan tersebut dapat dikatakan sebagai pendekatan penetapan upah yang bersumber kepada faktor eksternal. Pendekatan dalam riset ini dapat dikatakan bersumber kepada faktor internal. Upah ditetapkan atas dasar kemajuan industri semata, dan dikaitkan dengan unsurunsur produktifitas seperti kapital, modal asing, konsentrasi, skala usaha, ekspor, impor bahan baku, energi yang digunakan dan porsi pekerja wanita. Penggunaan porsi tenaga kerja wanita dalam mendeterminasi upah agak kontroversial, karena ini berarti meligitimasi upah yang makin rendah jika industri menggunakan tenaga kerja wanita semakin besar. Hal ini bukan dimaksudkan sebagai meligitimasi diskriminasi, tetapi hanya didasarkan pada fakta empirik, bahwa reservasi upah perempuan memang lebih rendah. Hal ini disebabkan wanita sudah masuk ke pasar pada waktu

70

pengusaha memberikan penawaran upah yang masih rendah, sedangkan laki-laki belum bersedia menerima pekerjaan yang ditawarkan tersebut. Dalam menindeks UMSP Sumatra Utara digunakan persamaan regresi tahap kedua. Namun, dalam hal ini hanya digunakan variabel yang signifikan dan relatif manageble yaitu: perbedaan nilai kapital, ukuran tenaga kerja, dan ekspor.

Tabel 5.13. Perbandingan upah minimum sektoral propinsi (UMSP) Sumatra Utara 2002 dan indeks upah minimum sektoral yang direkomendasikan dari riset ini
SEKTOR (KLUI)

UMSP 2002 SUMATERA UTARA 510,400 510,500 510,500 501,120 487,200 510,400 496,480 510,400 496,480 491,840 510,400 491,840 510,400 501,120 501,120 496,480 487,200 501,120 501,120

(31144) (31153) (31154) (31272) (3134) (3131) (31192) (31490) (31179) (32210) (33111) (31420) (33113) (35118) (35210) (35222) (35295) (35295) (35299)

Industri Pembekuan ikan dan sejenisnya Industri Minyak Goreng dari Kelapa Industri Minyak Goreng dari Kelapa Sawit Industri Kue-kue Basah Industri Minuman Ringan Industri Minuman Keras Industri Makanan dari Coklat dan Kembang Gula Ind. Tembakau, Bumbu Rokok & Klobot/Kawung Industri Roti, Kue Kering dan sejenisnya Industri Pakaian Jadi dari Tekstil Industri Penggergajian dan Pengolahan Kayu Industri Rokok Kretek Industri Kayu Lapis Ind.Kimia Dasar Organik yg tdk termasuk gol. Manapun Industri Cat, Pernis dan Lak Industri Farmasi Industri Korek Api Industri perekat Industri Bahan kimia dan Barang Kimia Lainnya

Indeks upah minimum sektoral yang direkomendasikan. 104 109 140 79 95 97 99 59 98 92 108 51 123 100 134 108 102 102 102

71

(35300) (35511) (35522) (35591) (35609)

Industri Pembersihan & Pengilangan Minyak Bumi Industri Ban Luar dan Dalam Industri Remiling Karet Industri Barang Kaperluan Kaki dari Karet Industri Barang-barang Plastik lainnya

510,400 551,400 501,120 496,480 496,480

114 102 111 110 90

Lanjutan Tabel 5.13.


(36330) (37130) (38112) (38191) (31231) (31211) (31281) (33212) (34200) (38432) (38313) Industri Kapur dan Barang dari Kapur Industri Penggilingan Baja Industri Alat-alat Dapur dari Aluminium Ind.Paku, Mur/Baut, Engsel Kunci & Logam sejenisnya Industri Es Batu Industri Pati Ubi Kayu Ransum Ternak, Unggas, Ikan & Hewan lainnya Ind. Perabot & Kelengkapan RT dari Bambu & Rotan Industri Percetakan dan Penerbitan Industri karoseri dan Perlengkapan Kendaraan Bermotor Roda Empat atau lebih Ind. Pengubah Tegangan (Transformeter), Pengubah Arus (Rectifier) & Pengontrol Tegangan (Volt.Stabilizer) Industri Kaca Lembaran Industri Rokok Putih Industri Obat Anti Nyamuk Industri Kertas Sembahyang Industri Sarung Tangan dari Karet Industri Penggilingan Logam bukan Besi Industri Batu Batteray

501,120 501,400 501,120 501,120 501,120 496,480 501,120 510,400 501,760 510,400 501,120

82 124 99 101 95 111 114 115 102 97 108

496,480 99 491,840 86 505,760 478,200 496,480 496,480 124 501,120 Sumber UMSP SUMUT dari Ditjen Binawas Depnakertrans, diakses dari www. Naker. co.id. 12 Juni 2003. Dasar-dasar indeksasi adalah upaya menemukan upah minimum yang bergerak mengikuti kemampuan membayar (ability to pay) suatu perusahaan. Dengan demikian, yang lebih diutamakan adalah tingkat sharing dari pada nilai absolut upah. Penentuan upah absolut yang sama pada semua industri akan menyebabkan

(36220) (31430) ( ) ( ) ( ) (37203) (38392)

72

berkurangnya permintaan tenaga kerja, sedangkan penentuan upah minimum yang sama pada industri yang sama akan menyebabkan persaingan tidak seimbang, karena penentuan upah minimum justru mendorong monopoli, atau merupakan barrier to entry bagi perusahaan kecil. Adanya upah minimum sektoral di beberapa propinsi merupakan langkah akomodatif untuk mewadahi berbagai kemampuan industri. Beberapa propinsi yang menggunakan upah minimum sektoral secara cukup lengkap, sampai dengan tahun 2002 adalah Sumatra Utara, dan Kalimantan Selatan, serta beberapa prpopinsi lain. Sayangnya Jawa yang merupakan pemusatan industri menengah dan besar, tidak melakukan penentuan upah minimum sektoral. Dicross check dengan Sumatra Utara, hasil indeks ternyata tidak berkorelasi signifikan, dengan korelasi Pearson = 0,169 probabilitas menerima hipotesis null sebesar 30%. Ketidakkonsistenan ini disebabkan oleh Upah Minimum Sektoral Propinsi di Sumatra Utara lebih didasarkan kepada variabel eksternal, sebagaimana ketentuan Menteri tenaga kerja, yaitu didasarkan pada biaya hidup pekerja, PDRB, dan upah sekitar, dan divariasi dengan kemajuan industri di daerah tersebut. Indeks Upah Minimum pada riset ini lebih didasarkan pada varibel internal, kapital, tingkat konsentrasi industri, proporsi modal asing dari total modal, proporsi ekspor, impor bahan baku, banyaknya energi yang digunakan, ukuran perusahaan, dan penggunaan tenaga kerja wanita yang semuanya ditujukan untuk mendekati kinerja perusahaan atau ability to pay. Korelasi yang rendah dari Upah Minimum Sektoral Propinsi di Sumatra Utara dan hasil riset ini menunjukkan adanya beberapa

73

upah minimum sektoral yang ditetapkan secara tidak tepat. Sekitar 30% industri yang seharusnya membayar lebih tinggi atau lebih rendah ditetapkan sebaliknya. Menjadi pertanyaan apakah benar bahwa propinsi yang menerapkan upah minimum sektoral menjadi lebih fleksibel dalam harga tenaga kerja, maka menyebabkan relatif tingginya entrant, ekspansi perusahaan yang ada, dan akhirnya mengurangi pengangguran. Dengan kata lain apakah propinsi yang makin lengkap upah minimum sektoralnya, maka perkembangan penyerapan tenaga kerjanya lebih tinggi dibanding propinsi lain. Penetapan upah minimum sektoral pada hakekatnya adalah diferensiasi harga yang bertujuan mengambil sebanyak mungkin surplus permintaan tenaga kerja. Ini berarti bahwa harga divariasi untuk mewadahi semua lapisan industri. Jika yang ditetapkan terendah dalam UMSP bersifat floor price dibandingkan dengan propinsi lain, maka UMSP berfungsi memperbaiki sharing, yaitu memperbesar bagian buruh bagi industri yang diduga menikmati supernormal profit, hal ini berarti diferensiasi harga ke atas, menghabiskan surplus pembeli yang lebih kaya. Sebaliknya, jika harga tertingi dari UMSP adalah ceiling price, ini berarti terjadi diferensiasi ke bawah. Hal tersebut berarti penerapan tujuan untuk mengambil surplus pembeli bawah. Dalam hal yang kedua inilah UMSP bersifat akomodatif dan tidak menganggu entrant, dan ekspansi sehingga berdampak mengendorkan tekanan pengangguran.

74

Jika UMSP dasar berada di tengah, maka efek perbaikan sharing (diferesiasi ke atas, atau ke pembeli kaya) dan efek mewadahi peminta tenaga kerja industri bawah terjadi. Tentu saja akibatnya juga bersifat moderat dibanding dengan dua skenario di atas. Pembahasan terakhir ini menjadi pertanyaan pada riset selanjutnya.

75

C. IMPAK UPAH MINIMUM SEKTORAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA Sebagaiman tujuan penelitian pada riset tahun kedua, akan dibahas posisi upah diberbagai propinsi. Tabel 5.14 berikut memberikan informasi posisi upah minimum dibanding PDRB perkapita per bulan. Rasio UM terhadap PDRB terendah terjadi di Kalimantan Timur dengan rasio 0,12, dan DKI dengan rasio 0,23. Di kedua propinsi peran faktor-faktor non kerja sangat tinggi dalam membentuk PDRB. Di Kaltim peran minyak dan di Jakarta peran sebagai pusat kekuasaan, termasuk didalamnya kekuasaan mencetak uang, menjadi penerima rente dari seluruh faktor produksi dan aneka surplus dari daerah. Daerah-daerah di mana kerja dan SDM merupakan faktor produksi yang penting memperlihatkan rasio UM terhadap PDRB yang tinggi. Hal tersebut terlihat di Jawa, Sumatera Utara, dan Lampung. Beberapa daerah di mana Upah Minimum lebih tinggi dari PDRB disebabkan oleh rendahnya PDRB itu sendiri. Hal ini terlihat di NTT dan beberapa propinsi di Sulawesi kecuali Sulawesi Utara yang menentukan upah terlalu tinggi dibanding daerah lain. Akhirnya, rata-rata upah minimum di Indonesia sekitar setengah dari produk domestik bruto. Mengingat sumbangan sektor industri relatif tinggi kepada PDB atau PDRB dibanding dengan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya, maka pembagian nilai tambah atau surplus yang dicapai oleh tenaga kerja di sektor industri relatif rendah. Kolom terakhir (kolom 6) dari tabel 5.14, memperlihatkan perbandingan upah minimum terhadap PDRB antarpropinsi terhadap rasio upah minimum rata-rata terhadap PDB nasional. Angka 1 memperlihatkan penetapan upah yang sama dengan

76

kecenderungan nasional. Angka lebih dari satu memperlihatkan kebijakan upah suatu propinsi yang cenderung populis atau pro buruh, dan angka kurang dari satu memperlihatkan kebijakan upah yang pro faktor produksi non buruh. Dilihat dari level PDRB di propinsinya, NTT menunjukkan kebijakan upah paling populis, dengan perbandingan upah minimum terhadap PDRBnya hampir 4 kali lipat dari ratarata nasional. Sebaliknya, KALTIM dan DKI paling konservative dengan hanya seperempat dan kurang dari setengah rata-rata nasional. Sebagaimana dikemukakan di atas kedua propinsi mendapatkan rente minyak atau hasil alam dan rente kekuasaan sebagai pusat pemrintahan yang tidak terkait sama sekali dengan produktivitas tenaga kerja. Diperkirakan para buruh tidak dapat melakukan bargain dengan pihak di luar perusahaan yang memeproleh pendapatan tinggi yang pada gilirannya mendorong meningkatnya konsumsi dan biaya hidup. Secara lebih terperinci upah minimum propinsi, PDRB Perkapita dan persentase UMP terhadap PDRB perkapita pada tahun 2001 disajikan pada tabel 5.14.

Sumatera Utara merupakan propinsi yang mendiferensiasi UM paling banyak. Pada tabel 5.15, dilaporkan upah minimum sektoral dimaksud. Sumatera Utara menetapkan 42 upah minimum pada berbagai jenis industri pengolahan. Sektor-sektor lain seperti pertanian, konstruksi, perhotelan juga terkena penetapan upah tersebut.

77

Tabel 5.14. Upah Minimum Propinsi, PDRB Perkapita dan Persentase UMP terhadap PDRB Perkapita, 2001
UMP (Rp) PDRB/Kapi ta/bulan (Rp) Rasio UMP terhadap PDRB RasioUM Propinsi ke Nasional

Kode Propinsi

Propinsi

11 Aceh 12 Sumatera Utara 13 Sumatera Barat 14 Riau 15 Jambi 16 Sumatera Selatan 17 Bengkulu 18 Lampung 31 DKI Jakarta 32 Jawa Barat 33 Jawa Tengah 34 DIY 35 Jawa Timur 51 Bali 52 NTB 53 NTT 61 Kalimantan Barat 62 KalTeng 63 KalSel 64 KalTim 71 Sulawesi Utara 72 Sulawesi Tengah 73 Sulawesi Selatan 74 SulTeng 81 Maluku Indonesia/rata-rata

300.000 340.500 250.000 329.000 245.000 255.000 240.000 240.000 426.250 245.000 245.000 237.500 220.000 309.750 240.000 275.000 304.500 362.000 295.000 300.000 372.000 245.000 300.000 275.000 230.000 307.173

606.858 487.940 438.699 780.547 312.813 551.584 241.371 287.439 1.867.784 345.344 315.960 346.036 424.706 436.611 248.113 133.446 368.991 487.839 493.763 2.449.914 344.263 309.528 274.992 262.178 189.683 594.769

0,49 0,70 0,57 0,42 0,78 0,46 0,99 0,83 0,23 0,71 0,78 0,69 0,52 0,71 0,97 2,06 0,83 0,74 0,60 0,12 1,08 0,79 1,09 1,05 1,21 052

0,94 1,35 1,10 0,81 1,50 0,88 1,90 1,60 0,44 1,37 1,50 1,33 1,00 1,37 1,87 3,96 1,60 1,42 1,15 0,23 2,08 1,52 2,10 2,02 2,33 1,00

Sumber: diolah dari www.Depnakertrans.go.id dan www.BPS.gp.id

Dibandingkan dengan PDRB perkapita di Sumatera Utara sebesar 487.940 sebulan, upah minimum sektoral tersebut terdiferensiasi dari 0,7 sampai 0,77. Level diferensiasi upah di propinsi-propinsi lain terlihat pada kolom 4. Level diferensiasi

78

upah ini diduga menyebabkan kesempatan kerja yang semakin turun, sebagaimana terlihat pada analisis di belakang.

Untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga dalam riset tahun kedua, digunakan model regresi dua tahap. Regresi tahap pertama bertujuan untuk melihat perbedaan antar propinsi dalam kesempatan kerja. Parameter-parameter yang diperoleh diharapkan menangkap kebijakan antar propinsi terhadap kesempatan kerja. Dengan memasukkan variabel kontrol SALES, KAPITAL, dan CR-4, dan modal asing yang menggambarkan perusahaan, parameter pengaruh dummy propinsi terhadap kesempatan kerja dapat menggambarkan pengaruh propinsi yang berarti kebijakannya dan kondisi umumnya dalam mempengaruhi kesempatan kerja. Kebijakan umum propinsi yang berpengaruh terhadap kesempatan kerja adalah UMP atau UMSP, dan kondisi umum propinsi ditangkap oleh variabel PDRB. Tabel 5.16 melaporkan hasil regresi dengan variabel penjelas sebagaimana kolom pertama. Pengaruh propinsi ditangkap dengan dummy. Konstanta menggambarkan bench mark kesempatan kerja di salah satu propinsi. Beberapa propinsi terlihat bertanda negatif yang berarti mengalami kesempatan kerja sektor industri yang relatif lebih rendah. Propinsi-propinsi dimaksud yang memiliki ranking penyerapan tenaga kerja terendah adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Sumatera Utara, Bengkulu, DIY dan seterusnya terlihat sebagimana kolom dua.

79

Propinsi-propinsi

dengan

tanda

positif

memperlihatkan

pengurangan

kesempatan kerja yang lebih rendah dari -7060, propinsi-propinsi tersebut antara lain DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, Kalimantan Tengah dan sebagainya. Tabel 5.16. Pengaruh Besar Penjualan, Modal, dan Konsentrasi 4, tiap Propinsi terhadap Kesempatan Kerja di Indonesia Tahun 2001 Variabel Konstanta SALES CR4 Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tengara Maluku KAPITAL DASING01 R2 Uji F Koefisien -7.060,918 -,001 37.184,293 -9.326,058 -3.318,483 9.231,912 -3.857,627 -5.651,045 -7.800,771 -907,447 2.181,942 6.969,513 23.716,969 -7.699,781 -1.127,752 31.379,813 -5.366,540 99.310,725 9.251,240 27.283,712 8.274,411 -1.853,152 -10.423,520 -12.597,822 4.671,257 159.301,579 -10.745,305 -2.751E-05 -70,231 t -1,160 -0,423 28,686 -1,492 0-,465 1,407 0-,518 0-,813 0-,590 0-,133 0,355 1,142 3,880 -1,183 0-,185 4,781 -0,752 8,884 1,298 3,245 1,137 -0,253 -1,293 -1,304 0,702 20,666 -1,023 -0,818 -4,809 0,136 95,947

Sumber: BPS diolah dari data mentah survai

80

Pengaruh Tingkat Diferensiasi Upah terhadap Kesempatan Kerja antar Propinsi Analisis ini didasarkan pada regresi tahap kedua, dengan model yang menjelaskan lebih jauh variabel kebijakan propinsi. Yang dimaksud kebijakan disini adalah besar penetapan UM dibanding PDRB (UMP per PDRB), dan pengaruh diferensiasi upah (UMSP) yang umumnya merupakan diferensiasi ke atas. Karena diferensiasi upah ke atas bertujuan memperbaiki sharing pekerja terhadap pengusaha melalui penyerapan konsumer surplu, tidak lain adalah daya beli perusahaan, maka hipotesis yang diuji adalah semakin besar diferensiasi upah, semakin kecil kesempatan kerja. Dengan menggunakan variabel dari berbagai level diferensiasi upah, maka parameter yang diperoleh dapat dimaknai sebagai perbedaan impak diferensiasi upah dibanding konstanta. Konstanta sendiri menggambarkan rata-rata kesempatan kerja pada diferensiasi upah 2 sampai 5. Dengan nilai konstanta -934.373, menggambarkan hubungan level diferensiasi upah 2 sampai 5 dengan kesempatan kerja. Pada level diferensiasi, 5 sampai 10, paramater impak sebesar positif 911.996 lebih tinggi dari konstanta. Impak kesempatan kerja dari diferensiasi level ini berarti sebesar -934.373 + 911.996 = -22.477. Pada level diferesiasi 10 sampai dengan 20, parameter yang diperoleh 879.630. Ini berarti impak terhadap kesempatan kerja dari diferensasi kerja

81

level ini adalah -934.374 + 879.630 = -55.744, terlihat diferensiasi upah ke atas yang makin lengkap/makin tinggi derajatnya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja makin tinggi. Pada tabel diferensiasi harga di atas 20, impak penyerapan tenaga kerja ditenukan sebesar negatif (-32.126). Ketiga level diferensiasi upah ke atas tersebut menggambarkan hubungan yang negatif dan berfluktuasi dengan kesempatan kerja. Terakhir, pengaruh UMP yang tidak terdiferensiasi, yang hanya ditetapkan pada level terendahnya (UMP_1) ditemukan pengaruh negatif yang rendah terhadap kesempatan kerja relatif dengan propinsi lain. Estimasi pengaruh UMP tunggal adalah -934.374 + 923.585 = -11.789 Tabel 5.17. Pengaruh Tingkat Diferensiasi Upah dan UMP per PDRB terhadap Kesempatan Kerja antar Propinsi, data 2001 Variabel Konstanta UMP10 UMP20 UMP_20 UMP1 UMP_PDRB R2 Uji F
Sumber: BPS diolah dari data mentah survai

Koefisien -934.374,281 911.996,375 879.630,060 902.248,898 923.585,553 36.362,740

t -73,617 41,644 21,420 65,776 79,917 5,219 0,232 1.294,599

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa hal berikut. a. Terjadi perbedaan penetapan UMP antar propinsi yang sangat variatif dibanding dengan PDRB perkapita propinsi masing-masing. b. Di propinsi-propinsi yang menetapkan UMSP, ternyata cenderung ditetapkan ke atas. Hal ini berarti terjadi kebijakan diferensiasi harga ke atas. Kebijakan

82

tersebut berarti pula penyerapan konsumer surplus, tidak lain adalah daya beli perusahaan-perusahaan. c. Dari regresi tahap 2, dapat disimpulkan pengaruh negatif yang berfluktuasi dari penetapan derajat diferensiasi upah yang ada. Pengaruh negatif tertinggi pada derajat diferensiasi 20.

83

LAMPIRAN BAB V Tabel 5.11. Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP) Tahun 2002
PROPINSI/ SEKTOR (KLUI) SUMATRA UTARA (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perburuhan & Perikanan (KLUI 01) (15200) Penebangan Hutan (2) Industri Pengolahan (KLUI 03) (31144) Industri Pembekuan iklan dan sejenisnya (31153) Industri Minyak Goreng dari Kelapa (31154) Industri Minyak Goreng dari Kelapa Sawit (31272) Industri Kue-kue Basah (3134) Industri Minuman Ringan (3131) Industri Minuman Keras (31192) Industri Makanan dari Coklat dan Kembang Gula (31490) Ind. Tembakau, Bumbu Rokok & Klobot/Kawung (31179) Industri Roti, Kue Kering dan sejenisnya (32210) Industri Pakaian Jadi dari Tekstil (33111) Industri Penggergajian dan Pengolahan Kayu (31420) Industri Rokok Kretek (33113) Industri Kayu Lapis (35118) Ind.Kimia Dasar Organik yg tdk termasuk gol. manapun (35210) Industri Cat, Pernis dan Lak (35222) Industri Farmasi (35295) Industri Korek Api (35295) Industri perekat (35299) Industri Bahan kimia dan Barang Kimia Lainnya (35300) Industri Pembersihan & Pengilangan Minyak Bumi (35511) Industri Ban Luar dan Dalam (35522) Industri Remiling Karet (35591) Industri Barang Kaperluan Kaki dari Karet (35609) Industri Barang-barang Plastik lainnya (36330) Industri Kapur dan Barang dari Kapur (37130) Industri Penggilingan Baja (38112) Industri Alat-alat Dapur dari Aluminium (38191) Ind.Paku, Mur/Baut, Engsel Kunci & Logam sejenisnya (31231) Industri Es Batu (31211) Industri Pati Ubi Kayu (31281) Industri Ransum Ternak, Unggas, Ikan & Hewan lainnya (33212) Ind. Perabot & Kelengkapan RT dari Bambu & Rotan (34200) Industri Percetakan dan Penerbitan (38432) Industri karosari dan Perlengkapan Kendaraan Bermotor Roda Empat atau lebih 510,400 510,400 510,500 510,500 501,120 487,200 510,400 496,480 510,400 496,480 491,840 510,400 491,840 510,400 501,120 501,120 496,480 487,200 501,120 501,120 510,400 551,400 501,120 496,480 496,480 501,120 501,400 501,120 501,120 501,120 496,480 501,120 510,400 501,760 510,400 JUMLAH (Rp.)

84

Ind. Pengubah Tegangan (Transformeter), Pengubah Arus (Rectifier) & Pengontrol Tegangan (Volt.Stabilizer) (36220) Industri Kaca Lembaran (31430) Industri Rokok Putih ( ) Industri Obat Anti Nyamuk ( ) Industri Kertas Sembahyang ( ) Industri Sarung Tangan dari Karet (37203) Industri Penggilingan Logam bukan Besi (38392) Industri Batu Batteray (3) Sektor Konstruksi/ Bangunan (KIUI : 05) (51100) Bangunan Gedung (51200) Bangunan Jalan dan Jembatan (4) Sektor Perdagangan Besar, Eceran dan Rumah Makan serta Hotel (KLUI : 06) (62039) Perdagangan Eceran Barng-barang kelontongan Supermaket dan Warung Langsam (62035) Perdagangan Eceran Barang-barang Hasil Industri Kimia, Bahan bakar Minyak/Gas dan Minyak Pelumas, Farmasi dan Kosmetik (63000) Rumah Makan dan Minum (64000) Hotel dan Penginapan (5) Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan (KLUI : 08) (81010) Lembaga Keuangan
SUMATERA SELATAN

(38313)

501,120 496,480 491,840 505,760 478,200 496,480 496,480 501,120 510,400 510,400

487,200 496,480

491,840 491,840

510,400 392,000 405,000 380,000 402,500 400,000 344,250 357,000 400,000 318,600 324,500 318,600 324,500 324,500 400,000 400,000 400,000 400,000

(1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perburuan & Perikanan (2) Pertambangan dan Penggalian (KLUI 02) (3) Industri pengolahan (4) Listrik, Gas dan Air (5) Bangunan (6) Perdagangan Besar, Eceran dan Rumah Makan serta Hotel (7) Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi (8) Keuangan, Asuransi, Sewaan Bangunan, Tanah & Jasa Perusahaan
BENGKULU

(1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perburuan & Perikanan (2) Pertambangan dan Penggalian (KLUI 01) (3) Industri Pengolahan Makanan & Minuman, Tembakau & Rokok (4) Listrik, Gas dan Air (5) Bangunan KALBAR (1) Perkebunan Kelapa Sawit termasuk Industri CPO (2) Industri Karet dan Barang dari Karet (3) Kehutanan dan Penebangan Hutan (4) Industri Penggergajian dan Pengolahan kayu

85

(5) Industri Kayu Lapis KALTENG (1) Pertanian, Peternakan & Perikanan, Pertanian, Tanaman lainnya Lanjutan tabel 3 (2) Penebangan Hutan (3) Industri Pengolahan (4) Pertambangan dan Penggalian NTB (1) Penebangan Hutan (2) Budi Daya Mutiara (3) Bangunan MALUKU (1) Pertanian (klui : 01) (152) Penebangan Hutan (1711) Penangkapan Pengambilan Hasil Laut ( ) Pemeliharaan Hasil Laut (2) Pertambangan dan Penggalian (3) Industri Pengolahan (klui : 03) (3114) Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan (3311) Ind.Penggergajian, Pengataman & Pengolahan Kayu (4) Bangunan (klui : 05) (5) Angkutan, Penggudangan dan Komunikasi KALSEL (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan (12231) Tebu (12232) Kelapa Sawit (12410) Kelapa (12711) Karet (15100) Pengusahaan Hutan (15200) Penebangan Hutan (17100) Perikanan Laut (18100) Perikanan Air Payau/Tambak (2) Pertambangan dan Penggalian (21000) Pertambangan Batubara (22000) Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (23260) Emas (29000) Pertambangan dan Penggalian lain (3) Industri Pengolahan (31000) Industri Makanan dan Minuman (31132) Industri Perikanan Cold Storage (31145) Industri Minyak Goreng Kelapa Sawit (31171) Ind. Mkanan Mie, Spagheti, Bihun Soun & sejenisnya (31170) Industri Roti, Kue Kering dan sejenisnya (31241) Industri Kecap

400,000 405,440 412,680 398,200 430,780 340,000 340,000 340,000

400,000 370,000 315,000 450,000 315,000 300,000 375,000 375,000

387,000 387,000 387,000 387,000 400,000 422,000 415,000 396,500 475,000 460,000 425,000 425,000 470,000 400,500 415,500 420,000 415,000 396,500

86

(31243) Industri Tempe (31245) Industri tahu (31250) Industri Krupuk dan sejenisnya (33110) Industri Penggergajian, Pengetaman & Pengolahan Kayu (33111) Industri Penggergajian dan Pengolahan kayu (33112) Industri penggergajian kayu dan Bahan Bangunan (33113) Industri Kayu Lapis (33114) Industri Kayu Lapis Indah (33115) Industri Kayu lapis Aneka Inti (33116) Industri Vener dan Serutan Pelapis (33120) Industri Peti Kemas dari Kayu (33130) Industri anyam-anyaman dari Rotan dan Bambu (33140) Industri Ukir-ukiran dari Kayu/meubel (33212) Ind. Perabot & Kelengkapan RT dari Rotan & Bambu (34200) Industri Percetakan dan Penerbitan (35112) Industri Kimia Dasar Anorganik, Gas Industri (35220) Industri Farmasi dan Jamu (35222) Industri Bahan Farmasi (35223) Industri Crumb Rubber (35224) Industri Jamu (35291) Industri Perekat (35512) Industri Folkanisir Ban (36000) Industri Barang Galian Bukan Logam (36131) Industri Semen (38291) Ind.Paku, Mur/Baut, Engsel Kunci & Logam sejenisnya (38219) Industri Komponen dan Suku Cadang (38292) Industri Alat-alat Besar (38294) Industri Komponen dan Suku Cadang Mesin & Peralatan (6) Perdagangan umum (61000) Perdagangan Besar/Distributor (8) Keuangan Asuransi, Usaha Perseweaan Bangunan Tamah dan Jasa perusahaan (82000) Asuransi (83300) Jasa Persewaan Mesin dan Peralatan (9) Kesehatan dan Kebersihan (91400) Jasa Kesehatan (83300) Jasa Persewaan Mesin dan Peralatan KALTIM (1) Perkayuan dan Kehutanan JAMBI (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perburuan (12232) Perkebunan (2) Pertambangan dan Penggalian (22) Minyak dan Gas Bumi (3) Industri Pengolahan (35523) Crumb Rubber

396,500 390,500 420,000 420,000 420,000 420,000 420,000 420,000 420,000 420,000 415,000 420,000 415,000 396,500 425,000 396,500 420,000 396,500 396,500 420,000 396,500 420,000 460,000 400,000 420,000 420,000 420,000 415,000

396,500 396,500 400,000 396,000 550,000

350,000 319,000 340,000

87

MALUKU UTARA (1) Pertanian (12230) Penebangan Hutan (1711 ) Penangkapan, Pengambilan Hasil laut (1712 ) Pemeliharaan Hasil Laut (2) Pertambangan dan Penggalian (3) Industri Pengolahan (3114) Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan (3311) Industri Penggergajian, Pengetaman dan Pengolahan kayu (6) Bangunan (7) Angkutan, Penggudangan dan Komunikasi (71200) SULAWESI TENGGARA (5) Angkutan, Penggudangan dan Komunikasi (51) Bangunan Sipil IRIAN JAYA (2) Pertambangan dan Penggalian (22) Minyak dan Gas Bumi (23230) Emas dan Tembaga

455,000 420,000 357,000 511,000 357,000 343,000 420,000 420,000

345,000

566,500 566,500

Sumber : Ditjen Binawas Depnakertrans, Data : Tahun 2002

88

Tabel 5.12. Upah minimum sektoral yang direkomendasikan dari riset ini, industri manufaktur klasifikasi 5 digit, Indonesia
Indeks upah minimum sektoral yang direkomendasikan. UM = 100 92 73 62 91 83 53 97 67 73 88 122 107 125 115 101 99 89 92 77 57

SEKTOR (KLUI)

15112 15121 15122 15123 15124 15125 15129 15132 15133 15134 15141 15143 15144 15211 15213 15311 15313 15314 15315 15316

Industri pengolahan dan pengawetan daging Industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya Industri pengasapan ikan dan biota perairan lainnya Industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya Industri pemindangan ikan dan biota perairan lainnya Industri pengolah & pengawetan untuk ikan & biota perairan lainya Industri pengasinan/pemanisan buah2 dan sayuran Industri pelumatan buah-buahan dan sayuran Indsutri pengeringan buah-buahan dan sayuran industri minyak kasar dari nabati & hewani Industri minyak goreng dari minyak kelapa Industri minyak goreng dari minyak kelapa sawit Industri susu Industri es krim Industri penggilingan padi & penyosohan beras Industri pengupasan dan pembersihan kopi Industri pengupasan, pembersihan & pengeringan cokelat(cacao) Industri pengupasan & pembersihan biji-bijian selain kopi & cacao Industri pengupasan dan pembersihan kacang-kacangan

89

15318 15322 15323 15324 15331 15332 15410 15421 15422 15424 15429 15432 15440 15491 15492 15493 15494 15495 15496 15497 15498 15499 15510 15520 15530 15540

Industri kopra Industri tepung, padi2an, biji-bijian, kacang, umbi & sejenisnya Industri pati ubi kayu Industri berbagai macam pati palma Industri ransum pakan ternak/ikan Industri konsentrat pakan ternak Industri roti dan sejenisnya Industri gula pasir Industri gula merah Industri sirop Industri pengolahan gula lainnya selain sirop Industri makanan dari coklat & kembang gula Industri makaroni, mie, spagheti, bihun,soun dan sejenisnya Industri pengolahan teh dan kopi Industri es Industri kecap Industri tempe Industri makanan kedele & kacang lainnya selain kecap & tempe Industri kerupuk dan sejenisnya Industri bumbu masak dan penyedap masakan Industri kue-kue basah Industri makanan yg tdk diklasifikasikan di temapt lain Industri minuman keras Industri anggur dan sejenisnya Industri malt & minuman mengandung malt

82 95 83 84 129 107 74 109 78 91 83 76 68 86 107 81 88 66 67 87 64 66 92 79 149 84

90

Industri minuman ringan 16001 16002 16003 16004 16009 17111 17112 17113 17114 17115 17121 17122 17123 17124 17211 17212 17213 17215 17220 17231 17232 17291 17292 17293 17294 Industri pengeringan & pengolahan tembakau Industri rokok kretek Industri rokok putih Industri rokok lainya Industri hasil lainnya dari tembakau, bumbu rokok dan klobot Industri persiapan serat tekstil Industri pemintalan benang Industri pemintalan benang jahit Industri pertenunan kecuali pertenunan karung goni & lainnya Industri kain tenun ikat Industri penyempurnaan benang Industri penyempurnaan kain Industri pencetakan kain Industri batik Industri barang jadi tekstil Industri barang jadi tekstil untuk keperluan kesehatan Industri barang jadi tekstil untuk keperluan kosmetika Industri bagor dan karung lainnya Industri permadani (babut) Industri tali Industri barang dari tali Industri menghasilkan kain pita Industri menghasilkan kain keperluan industri Industri bodir/sulaman Industri non woven 47 51 89 52 59 109 109 77 79 76 84 100 95 78 70 82 73 60 94 97 91 92 87 67 113

91

17299 17301 17302 17303 17304 17400 18101 18102 18103 18104 19112 19121 19129 19201 19202 19203 19209 20101 20102 20103 20104 20211 20212 20213 20214 20220

Industri tekstil tidak diklasifikasikan ditempat lain Industri kain rajut Industri pakaian jadi rajutan Industri rajutan kaos kaki Industri barang jadi rajutan Industri kapuk Industri pakaian jadi dari tekstil Industri pakaian jadi lainnya dari tekstil Industri pakaian jadi (garmen) dari kulit Industri pakaian jadi lainnya dari kulit Industri penyamakan kulit Industri barang dari kulit untuk pribadi Industri barang dari kulit untuk keperluan lainnya Industri alas kaki untuk keperluan sehari hari Industri sepatu olahraga Industri sepatu teknik lapangan/keperluan industri Industri alas kaki lainya Industri penggergajian kayu Industri pengawetan kayu Industri pengawetan rotan, bambu, dan sejenisnya Industri pengolahan rotan Industri kayu lapis Industri kayu lapis laminasi, termasuk decorative plywood Industri panel kayu lainnya Industri veneer

49 97 73 79 82 60 69 65 96 66 111 83 89 84 85 78 78 100 99 80 66 93 99 98 104 101

92

Industri moulding dan komponen bahan bangunan 20230 20291 20292 20293 20294 20299 21012 21013 21014 21015 21016 21019 21020 21090 22110 22120 22130 22190 22210 22220 23100 23203 23204 24112 24113 Industri peti kemas dari kayu kecuali peti mati Industri anyam ayaman dari rotan dan bambu Indsutri anyam ayaman dari tanaman selain rotan dan bambu Industri kerajinan ukir ukiran dari kayu kecuali furnitur Industri alat-alat dapur dari kayu,rotan dan bambu Industri barang dari kayu,rotan,gabus yang lain Industri kertas budaya Indsutri kertas berharga Indsutri kertas khusus Industri kertas industri Industri kertas tissue Industri kertas lainnya Industri kemasan dan kotak dari kertas dan kardus Industri barang dari kertas dan karton lainnya Penerbitan buku, brosur, buku musik dan publikasi lainnya Penerbitan surat kabar, jurnal, dan majalah Penerbitan media rekaman Industri penerbitan lainnya Industri percetakan Industri jasa penunjang percetakan Industri barang dari batu bara Industri barang dari hasil kilang minyak bumi Industri pembuatan minyak pelumas Industri kimia dasar anorganik gas industri Industri kimia dasar anorganik pigment 98 75 35 84 84 90 112 135 92 109 89 95 98 98 99 103 78 94 88 83 109 114 100 122 128

93

24114 24115 24116 24117 24118 24119 24121 24122 24123 24131 24212 24231 24232 24234 24241 24242 24291 24294 24295 24299 24302 25111 25112 25121 25122 25123

Industri kimia dasar anorganik yang tidak diklasifikasikan Industri kimia dasar organik hasil pertanian Industri kimia dasar organik bahan baku zat warna dan pigmen Industri kimia dasar organik dari minyak bumi, gas bumi dan b.bara Industri kimia dasar menghasilkan bahan kimia khusus Industri kimia dasar organik yg tdk diklasifikasikan tempat lain Industri pupuk alam/non sintesis hara makro primer Industri pupuk buatan tunggal hara makro primer Industri pupuk buatan majemuk hara makro primer Industri damar buatan dan bahan baku plastik Industri pemberantas hama Industri bahan farmasi Industri farmasi Industri jamu Industri sabun, pembersih keperluan rt termasuk pasta gigi Industri kosmetik Industri pereket Industri minyak atsiri Industri korek api Industri bahan kimia dan barang kimia lainnya Industri serat stapel buatan Industri ban luar dan dalam Industri vulkanisir ban Industri pengasapan karet Industri remilling karet

137 100 132 120 156 133 91 81 109 134 108 134 113 71 91 95 136 108 67 104 135 112 110 96 105 116

94

Industri karet remah 25191 25192 25199 25201 25202 25203 25204 25205 25206 25209 26111 26121 26124 26129 26201 26202 26321 26322 26323 26324 26411 26412 26422 26423 26502 Industri barang dari karet untuk rumah tangga Industri barang dari karet untuk industri Industri barang dari karet lainnya Industri pipa dan selang dari plastik Industri barang plastik lembaran Indutri media rekam dari plastik Industri perlengkapan dan peralatan rumah tangga Industri kemasan dari plastik Industri barang dan peralatan teknik/industri dari plastik Indsutri barang barang plastik lainnya Industri kaca lembaran Industri perlengkapan dan peralatan rumah tangga dari gelas Industri kemasan dari gelas Industri barang lainnya dari gelas Industri perlengkapan rumah tangga dari porselin Industri bahan bangunan dari porselin Industri barang dari tanah liat untuk rumah tangga Industri batu bata dari tanah liat Industri genteng dari tanah liat Industri bahan bangunan dari tanah liat lainnya Industri semen Industri kapur Industri barang dari kapur Industri semen dan kapur untuk konstruksi Industri barang dari marmer dan granit unutk bangunan 92 108 101 119 99 144 92 86 114 90 129 111 111 110 86 125 95 71 66 140 121 93 41 92 121

95

26503 26509 26601 26900 27101 27102 27103 27201 27202 27204 27310 27320 28111 28112 28113 28119 28120 28910 28920 28931 28932 28933 28939 28991 28992

Industri dari batu unutk keperluan rt dan pajangan Industri marmer,granit dan batu lainnya Industri I asbes untuk bangunan Industri barang galian bukan logam lainnya Industri besi dan baja Industri penggilingan baja Industri pipa dan sambungan pipa dari baja dan besi Industri pembuatan logam dasar bukan besi Industri penggilingan logam bukan besi Industri pipa dan sambungan pipa dari logam bukan besi & baja Industri pengecoran besi dan baja Industri pengecoran logam bukan besi dan baja Industri barang dari logam bukan almunium siap pasang Industri barang dari logam almunium siap pasang Indsutri konstruksi berat siap pasang dari baja untuk bangunan Industri barang dari logam siap pasang untuk konstruksi lainnya Industri tangki, penampungan zat cair dan kontainer dari logam Industri penempaan, pengepresan dan penggulungan logam Jasa industri untuk berbagai pekerjaan khusus terhadap logam Industri alat pertanian dari logam Industri alat pertukangan dari logam Industri alat pemotong dan alat lain digunakan dlm rumah tangga Industri peralatan lainnya dari logam Industri alat dapur Industri peralatan kantor dari logam tidak termasuk furnitur Industri paku, mur dan baut

93 54 129 115 145 135 135 127 123 134 138 129 109 119 120 135 116 137 118 100 101 92 84 95 118 122

96

28993 28994 28995 28997 28999 29113 29120 29130 29142 29150 29192 29193 29199 29211 29221 29223 29240 29250 29263 29270 29299 29302 30000 31101 31102 31103 Industri wadah dari logam Industri kawat logam dan barang dari kawat Industri lampu dari logam Industri barang logam lainnya Industri komponen dan suku cadang motor penggerak mula Industri pompa dan kompresor Industri transmisi mekanik Industri tungku, oven, dan alat pemanas sejenis menggunakan listrik Industri alat pengangkat dan alat pemindah Industri mesin timbangan Industri mesin pendingin bukan untuk rumah tangga Industri mesin umum lainnya Industri mesin pertanian dan kehutanan Industri mesin/peralatan pengolahan/pekerjaan logam Industri mesin/peralatan pengolahan/pekerjaan kayu Industri mesin pertambangan, pengalian dan konstruksi Industri mesin pengolahan makanan, minuman dan tembakau Industri mesin tekstil Industri senjata dan amunisi Industri khusus lainnya Industri peralatan rumah tangga dengan menggunakan listrik Industri alat listrik lainnya untuk rumah tangga Industri motor listrik Industri mesin pembangkit listrik Industri transformator, rectifier, voltage stabilizer 92 127 100 96 133 104 104 121 135 96 143 149 102 114 136 136 110 115 89 111 128 136 127 135 119

97

31201 31202 31300 31401 31402 31509 31900 32100 32200 32300 33113 33121 33130 33300 34100 34200 34300 35111 35113 35120 35911 35912 35921 35922 36101

Industri panel listrik dan swicth gear Industri peralatan pengontrol arus listrik Industri kabel listrik dan telpon Industri batu bateri kering Industri akumulator listrik Industri kompunen lampu listrik Industri peralatan listrik lainnya Industri tabung dan katup elektronik serta komponennya Industri alat transmisi komunikasi Industri radio, televisi, alat rekaman suara dan gambar Industri peralatan kedokteran dan kedok.gigi, orthopaedic, prosthetic Industri peralatan pengukuran, pengatur dan pengujian manual Industri peralatan pengujian dalam proses industri Industri jam, lonceng dan sejenisnya Industri kendaran bermotor roda empat atau lebih Industri karoseri kendaran bermotor roda empat atau lebih Industri perlengkapan dan komponen kend.roda empat atau lebih Industri kapal / perahu Industri perbaikan kapal Pembuatan dan pemeliharaan perahu rekreasi dan olah raga Industri sepeda motor dan sejenisnya Industri komponen dan perlengkapan sepeda motor dan sejenisnya Industri sepeda dan becak Industri perlengakapan sepeda dan becak Industri furnitur dari kayu Industri furnitur dari rotan, atau bambu

122 103 123 123 106 92 122 108 97 107 98 106 177 90 129 105 124 88 108 90 130 114 90 97 93 84

98

36102 36103 36104 36109 36912 36915 36930 36942 36991 36993 36999 Industri furniture dari plastik Industri furniture dari logam Industri furniture lainnya Industri barang perhiasan berharga untuk pribadi dari logam mulia Industri barang perhiasan berharga bukan pribadi dari logam mulia Industri alat orahraga Industri mainan Industri alat-alat tulis dan gambar termasuk perlengkapan Industri kerajinan yang tidak diklasifikasikan Industri pengolahan lain yang tidak diklasifikasikan 85 98 103 85 81 74 66 83 66 81

99

Tabel 5.15. Upah Minimum Sektoral Propinsi Tahun 2001


No Propinsi Sektor (KLUI) SUMATERA UTARA Industri Pengolahan (KLUI 03) (31144) Industri Pembekuan ikan dan sejenisnya (31153) Industri minyak goreng dari kelapa (31154) Industri Minyak Goreng dari Kelapa Sawit (31272) Industri Kue-kue Basah (3134) Industri Minuman Ringan (3131) Industri Minuman Keras (31192) Industri Makanan dari Coklat dan Kembang Gula (31490) Ind Tembakau Bumbu Rokok & Klobot/Kawung (31179) Industri Roti Kue Kering dan sejenisnya (32210) Industri Pakaian Jadi dari Tekstil (33111) Industri Penggergajian dan Pengolahan Kayu (31420) Industri Rokok Kretek (33113) Industri Kayu Lapis (35118) IndKimia Dasar Organik yg tdk termasuk gol manapun (35210) Industri Cat Pernis dan Lak (35222) Industri Farmasi (35295) Industri Korek Api (35295) Industri perekat (35299) Industri Bahan kimia dan Barang Kimia Lainnya (35300) Industri Pembersihan & Pengilangan Minyak Bumi (35511) Industri Ban Luar dan Dalam (35522) Industri Remiling Karet (35591) Industri Barang Kaperluan Kaki dari Karet (35609) Industri Barang-barang Plastik lainnya (36330) Industri Kapur dan Barang dari Kapur UMSP (Rp) Rasio UMSP terhadap PDRB

374.550 374.550 374.550 374.550 374.550 357.525 357.525 374.550 364335 374.550 364.335 357.525 374.550 357.525 374.550 364.335 367.740 357525 357.525 367.740 367.740 374.550 374.550 364.335 364.335

0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,73 0,73 0,77 0,75 0,77 0,75 0,73 0,77 0,73 0,77 0,75 0,75 0,73 0,73 0,75 0,75 0,77 0,77 0,75

100

(37130) Industri Penggilingan Baja SUMATERA UTARA Industri Pengolahan (KLUI 03) (38112) Industri Alat-alat Dapur dari Aluminium (38191) IndPaku Mur/Baut Engsel Kunci & Logam sejenisnya (31231) Industri Es Batu (31211) Industri Pati Ubi Kayu (31281) Industri Ransum Ternak Unggas Ikan & Hewan (33212) Ind Perabot & Kelengkapan RT dari Bambu & Rotan (34200) Industri Percetakan dan Penerbitan (38432) Industri karosari dan Perlengkapan Kendaraan Bermotor Roda Empat atau lebih (38313) Ind Pengubah Tegangan (Transformeter) Pengubah Arus (Rectifier) & Pengontrol Tegangan (VoltStabilizer) (36220) Industri Kaca Lembaran (31430) Industri Rokok Putih ( ) Industri Obat Anti Nyamuk ( ) Industri Kertas Sembahyang ( ) Industri Sarung Tangan dari Karet (37203) Industri Penggilingan Logam bukan Besi (38392) Industri Batu Batteray SUMATERA SELATAN Industri Pengolahan (KLUI 03) (3) Industri pengolahan KALIMANTAN BARAT Industri Pengolahan (KLUI 03) Industri Karet dan Barang dari Karet Industri Penggergajian dan Pengolahan kayu (5) Industri Kayu Lapis KALIMANTAN TENGAH Industri Pengolahan (KLUI 03) (3) Industri Pengolahan

374.550

0,75 0,77 0,75 0,75 0,73 0,75 0,75 0,76 076 0, 77

367.740 364.335 357.525 364.335 367.740 371.145 371.145 374.550 367.740

364.335 357.525 367.740 357.525 364.335 364.335 367.740

0, 75 0,75 0,73 0,75 0,73 0,75 0, 75 0,75 0,87 0,87 0,87 0,78

286.500

320.000 320.000 320.000

380.100

101

MALUKU Industri Pengolahan (KLUI 03) (3114) Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan (3311) IndPenggergajian Pengataman & Pengolahan Kayu KALIMANTAN SELATAN Industri Pengolahan (KLUI 03) (31000) Industri Makanan dan Minuman (31132) Industri Perikanan Cold Storage (31145) Industri Minyak Goreng Kelapa Sawit (31171) Ind Mkanan Mie Spagheti Bihun Soun (31170) Industri Roti Kue Kering dan sejenisnya (31241) Industri Kecap (31243) Industri Tempe (31245) Industri tahu (31250) Industri Krupuk dan sejenisnya (33110) Industri Penggergajian Pengetaman & Pengolahan Kayu (33111) Industri Penggergajian dan Pengolahan kayu (33112) Industri penggergajian kayu dan Bahan Bangunan (33113) Industri Kayu Lapis (33114) Industri Kayu Lapis Indah (33115) Industri Kayu lapis Aneka Inti (33116) Industri Vener dan Serutan Pelapis (33120) Industri Peti Kemas dari Kayu (33130) Industri anyam-anyaman dari Rotan dan Bambu (33140) Industri Ukir-ukiran dari Kayu/meubel (33212) Ind Perabot & Kelengkapan RT dari Rotan & Bambu (34200) Industri Percetakan dan Penerbitan KALIMANTAN SELATAN Industri Pengolahan (KLUI 03) (35112) Industri Kimia Dasar Anorganik Gas Industri (35220) Industri Farmasi dan Jamu (35222) Industri Bahan Farmasi

255.000 245.000

1,34 1,29

324.500 317.500

0,66 0,64 0,66 0,66

324.500 324.500

328.500

0,67

328.500 328.000 328.000 328.000 328.000 328.500 310.000 328.500 310.000

0,67 0,66 0,66 0,66 0,66 0,67 0,63 0,67 0,63

310000 324000 324000

0,63 0,66 0,66

102

(35223) (35224) (35291) (35512) (36000) (36131) (38291) (38219) (38292) (38294) 7

Industri Crumb Rubber Industri Jamu Industri Perekat Industri Folkanisir Ban Industri Barang Galian Bukan Logam Industri Semen IndPakuMur/Baut Engsel Kunci & Logam Industri Komponen dan Suku Cadang Industri Alat-alat Besar Industri Komponen & Suku Cadang Mesin & Peralatan

328500 328500

0,67 67

361.000

0,73

JAMBI Industri Pengolahan (KLUI 03) (35523) Crumb Rubber MALUKU UTARA Industri Pengolahan (KLUI 03) (3114) Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan (3311) Industri Penggergajian Pengetaman & Pengolahan kayu

285.000

0,91 1,34 1,29

255.000 245.000

Sumber : Depnakertrans Direktorat Pengupahan & Jamsostek-Ditjen Binawas

103

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Riset ini merupakan usaha merekayasa Upah Minimum yang bergerak antarindustri yang dimaksudkan sebagai usaha kompromi untuk memvariasi penetapan upah minimum (tunggal) yang umumnya menyebabkan permintaan tenaga kerja menurun. Penurunan tersebut disebabkan oleh menjadi tidak layaknya perhitungan investasi baru, dan menjadi berkurangnya minat ekspansi perusahaan yang eksis dengan meningkatnya biaya tenaga kerja. Dengan usaha memvariasi upah minimum yang sudah dilakukan di beberapa propinsi maka ketegaran harga menjadi berkurang. Fleksibelitas tersebut mengakibatkan dapat ditampungnya beragam industri yang memiliki perbedaan produktivitas. Singkatnya, riset ini bermaksud menerapkan pembagian yang lebih baik jika industri menerima penerimaan super normal, dan tetap menerima partisipasi industri berprduktivitas rendah dengan mengijinkan membayar pekerja lebih rendah. Upah rata-rata selama krisis ekonomi, reformasi, dan desentralisasi meningkat hampir 2,5 kali lipat, tetapi sebenarnya hanya merupakan gejala inflatoir yang meningkat bersamaan nilai tambah, dan nilai kapital. Dilihat dari pembagian nilai tambah yang dihasilkan pekerja imbangan upah dan non upah (laba, bunga, dan pajak) relatif stagnan, di mana pekerja hanya menerima bagian nilai tambah sebesar 17,8 persen pada 1997 dan 18 persen pada tahun 2001. Penerimaan riel sebenarnya menurun karena selama masa itu terjadi pertumbuhan riel nilai tambah yang negatif. Di samping itu penggunaan tenaga kerja wanita yang umumnya dapat dibayar lebih

104

rendah meningkat. Hal ini disebabkan oleh kesediaan wanita (upah reseservasi lebih rendah) yang menganggap pendapatannya di pasar tenaga kerja sebagai pendapatan sekunder dalam rumah tangga. Hubungan upah dan produktivitas positif dan siginifkan tetapi parameternya sangat kecil, sedangkan pengaruh penerimaan lain kepada produktivitas bahkan negatif walaupun tidak signifikan atau tidak terpola dengan jelas. Variabel ketenagakerjaan lainnya dicerminkan oleh standar normatif yang berbeda di berbagai provinsi. Ternyata propinsi-propinsi di luar Jawa memiliki impak produktivitas lebih tinggi di banding dengan propinsi di Jawa. Variabel propinsi mewadahi beberapa hal termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, seperti kebijakan investasi, kebijakan ketenagakerjaan khususnya kebijakan upah minimum dan sebagainya. Propinsi-propinsi di luar Jawa masih menerapkan kebijakan upah minimum sektoral atau upah minimum antarindustri yang bergerak berdasar ability to pay dari industri ke industri. Tujuan dari riset ini singkatnya adalah mendukung kebijakan itu dengan memberikan dasar empirik berupa variabel yang bisa diacu untuk menentukan upah minimum sektoral di berbagai industri, sebagaimana disimpulkan di bawah ini. Indeks Upah Minimum Sektoral yang dihasilkan dari penelitian ini didasarkan pada variabel internal perusahaan, atau usaha mendasarkan upah atas kemampuan membayar perusahaan (ability to pay) yang bertumpu kepada perbedaan produktivitas. Hasil indeks ternyata tidak konsisten dengan Upah Minimum Sektoral di Sumatra Utara yang lebih didasarkan kepada variabel eksternal, khususnya biaya

105

hidup pekerja, PDRB setempat, upah sekitar dan divariasi dengan kemajuan industri di daerah tersebut. Diperkirakan sekitar 30 persen industri-industri yang seharusnya diijinkan membayar lebih rendah berdasar hasil riset ini ternyata ditetapkan tinggi oleh pemerintah daerah di Sumatra Utara, dan demikian juga sebaliknya yang direkomedasikan ditetapkan lebih tinggi ternyata mendapat ketetapan lebih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan diferensiasi upah di berbgai propinsi dan penggunaan tenaga kerja. Disamping itu penelitian ini diawali dengan meneliti sifat-sifat diferensiasi upah tersebut, apakah menghabiskan surplus pembeli ke bawah (mewakili pembeli marginal berupa industri yang berkemampuan membayar rendah) atau menghabiskan surplus pembeli atas, yaitu industri dengan kemampuan membayar yang lebih tinggi. Ternyata propinsi-propinsi yang melakukan diferensiasi upah atau menetapkan upah minimum sektoral mempunyai signifikan yang beragam, misalnya, di atas lima jenis upah, cenderung mendiferensiasi ke atas (menghabiskan surplus pembeli yang relatif kaya). Hal ini disimpulkan dari data, propinsi tersebut sudah menetapkan UMP (Upah Minimum Propinsi) di atas rata-rata nasional, dimana UM rata-rata adalah 52 persen dari PDB. Misalnya, propinsi Sumatra Utara menetapkan UMP sebesar 0,7 atau 70 % dari PDRB per kapita, propinsi ini menetapkan UMSP sektor industri paling beragam sebanyak 42 industri. Diferensiasi upah di Sumatra Utara antara 70 sampai 77 persen dari PDRB perkapita. Propinsi Kalimantan Selatan menetapkan UMSP sektor industri sebanyak 23 jenis industri. Upah minimum di Kalimantan Selatan adalah 60 persen PDRB perkapita lebih mendekati rata-rata nasional. Rentang

106

atau jarak iferensiasi upah di Kalimantan Selatan antara 60 sampai 67 persen dari PDRB setempat. Kalimantan Barat sudah menetapkan UMP sebesar 83 persen dari PDRB perkapita dan menetapkan UMP sebesar 3 jenis UMSP. Sampai 87 persen dibanding PDRB. Demikian juga propinsi-propinsi lain seperti Jambi dan Maluku yang mendiferensiaskan harga sampai 91 persen dan 134 dari PDRB perkapita. Diferensiasi upah ke atas tersebut cenderung mengurangi penggunaan tenaga kerja. Kesempatan kerja rata-rata propinsi dengan UMSP yang makin terdiferensiasi, makin berkurang dengan besaran yang signifikan. Penelitian ini menunjukkan kebijakan populis yang diambil oleh pemerintah daerah akhir-akhir ini. Idea variasi upah mestinya mewadahi baik industri yang berproduktivitas rendah untuk ikut berpartisipasi maupun industri yang memiliki surplus berlebih atau penerimaan super normal.

SARAN Sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang penelitian, diferensiasi upah sebenarnya sangat bermanfaat untuk mengakomodasi berbagai kemampuan membayar industri. Dengan demikian, penentuan UMSP yang terdiferensiasi akan berakibat positif terhadap kesempatan kerja. Hal ini berarti mewadahi pembeli merginal yang memiliki daya beli relatif rendah. Namun, diferensiasi upah di Indonesia ternyata cenderung dilakukan ke atas, yaitu menghabiskan surplus pembeli yang relatif kaya. UMSP yang dilakukan lebih cenderung memperbaiki tingkat sharing antara pekerja dan pengusaha dan bukan dilakukan untuk memperbesar

107

kesempatan kerja. Oleh sebab itu disarakan agar propinsi yang ingin menetapkan kembali UMSP dilakukan dengan menetapkan basis UMSP yang relatif rendah, yaitu mendekati rata-rata rasio UM nasional terhadap PDB nasional yang dalam riset ini dilaporkan 52 persen. Untuk dapat melakukan hal ini, tentu saja harus dilakukan jeda beberapa tahun dengan hanya melakukan UMP atau UMK (Upah Minimum Kota). Setelah UMP dikerjar oleh UM rata-rata nasional, maka UMSP sebagai upaya mendiferensiasi harga yang bersifat pro kesempatan kerja baru dapat dilaksanakan. Dengan surplus suplai tenaga kerja seperti sekarang, pasar mungkin akan seimbang dengan upah yang rendah. Apabila itu terjadi, buruh akan hidup frustasi dengan kemiskinan yang mencekik, sementara buruh menyaksikan harga hasil karyanya, dan juga surplus yang dinikmati pengusaha, dan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah yang akhirnya untuk membiayai barang dan jasa publik.

Lingkungan kelompok buruh mempertontonkan konsumsi yang tinggi yang bersumber dari surplus atau keringat mereka. Lingkungan yang tidak lain adalah bentuk kemewahan fasilitas publik-gedung dan monumen megah, perilaku para pejabat negara, pengusaha yang menikmati laba, juga nasib yang lebih baik dari para kontributor di industri atas, komponen

lingkungan ini kait mengkait memompa konsumsi buruh dan kelompok bawah lainnya. Bukan hanya upah buruh yang perlu diintervensi dan tidak diserahkan secara membabi buta kepada pasar, tetapi juga perlu intervensi ekonomi yang lebih luas seperti memilih fasilitas publik apa yang lebih toleran kepada buruh yang miskin,

108

yang bertujuan menciptakan menciptakan kehidupan umum yang lebih harmonis dengan kebijakan pendapatan buruh yang rendah. Budaya yang tinggi yang bersumber dari moralitas dan sikap ksatria perlu diperkuat. Antrian yang panjang dan kekerasan pada waktu pembagian SLT (subsidi langsung tunai) dari hsil pemangkasan subsidi BBM memperlihatkan menghilny sikap ksatria yang merupakan pilar penting. Rasa malu sudah dilewati oleh semua fihak, justru dimulai oleh pejabat publik, pengusaha, buruh dan rakyat pada umumnya. Akhirnya perlu ditekankan bahwa pendekatan ekonomi saja tidaklah

cukup, kehidupan ekonomi adalah manifestasi budaya bangsa yang komprehenship. Kemampuan memberikan upah kepada rakyat yang sangat rendah harus disertai dengan mengerem kehidupan umum yang glamour dan konsumtif, di samping itu pendekatan lain seperti mengajak rakyat meningkatkan harga diri, sikap ksataria, dan sabar yang bisa didekati dengan keagamaan-spiritual hendaknya tidak dipandang sebagai tidak terkait dengan kebijakan ekonomi.

109

DAFTAR PUSTAKA and JA Santaella 1998 Efficiency Wages Disinflation and Labor Mobility Journal of Economic Dynamics and Control Vol 22: 267-291 Akerlof G A 1982 Labor Contract as Partial Gift Exchange Quarterly Journal of Economics Vol 97 (November): 543-69 Akerlof GA and JLYellen 1988 Fairness and Unemployment American Economic Review Vol78 No2: 44-49 Allen S G 1995 Updated Notes on The Interindustry Wage Structure 1890 1990 Industrial and Labor Relations Review Vol 48 No2: 305 321 Anderson, D. and D. Shapiro. 1996. Racial Differences in Access To High-Paying Jobs and The Wage Gap Between Black and White Women. Industrial and Labor Relation Review, Vol. 49, No.2: 273-286. Arief, Sritua, 2000. Dialectics of Industrialization in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, Vol. 30, No.1: 84-98. Arndt, HW. 1994. Pembangunan Ekonomi Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Badan Pusat Statitik 1995. Statistik Dalam 50 Tahun Indonesia Merdeka. BPS, Jakarta.
Barth E and J Zweim u ller 1995 Relative Wages under Decentralized and Corporatist Bargaining Systems Scandinavian Journal of Economics Vol93 No3: 369-384 A e o P . g n r, .R

Baswir R dkk 1999 Pembangunan Tanpa Perasaan IDEA Jogjakarta Blanchflower DG AJ Oswald and P Sanfey 1996 Wages Profit and Rent Sharing Quarterly Journal of Economics Vol CXI NoI: 227-251 Booth, A.L. 1995. The Economics of The Trade Union. Cambridge University Press. Cambridge.

110

Bradbaart, O. 1992. Rural Employment Effects of Export Industry Growth: A Case Study in The Greater Bandung Region. Akatiga Foundation, Centre for Social Analysis, Bandung.
Cahyono E 2002 Perburuhan dari masa ke masa: jaman kolonial Hindia belanda sampai Orde Baru 1998 Paper disiapkan untuk IUF Indoneisa Project Bandung 18 Juni 2002 Diakses dari internet wwwgeocitiescom/ypenebar/essays/ kronikperburuhanhtm Lihat juga website Cahyono

Calvo, G.A. 1985. The Inefficiency of Unemployment The Supervision Perspective. The Quarterly Journal of Economics, Vol.100: 373-387. Carneiro, FG., dan A. Henley, 1998. Wage Determination in Brazil: The Growth of Union Bargaining Power and Informal Employment. The Journal of Development Studies. Vol.34, No.4:. 117-138. Chenery, H., Robinson, S., and Syrquin, M. 1986. Industrialization And Growth : A Comparative Study. Oxford University Press. Washington, USA. Chuzaimah. Peta Potensi Industri Menengah di Jawa Tengah: Pasar Kesempatan Kerja dan Nilai Tambah. Benefit Vo.7 No.1 Juni 2003:85-97. Conyon, M.J. 1994. Labors Share, Market Structure and Trade Union. International Journal of Industrial Organization. Vol 12: 117-131. Christofides LN and A J Oswald 1992 Real Wage Determination and Rent-Sharing in Collective Bargaining Agreement Quarterly Journal of Economics Vol107 No 3: 985-1002. Dickens WT and LF Katz 1987 Inter-Industry Wage Differences and Industry Characteristics Dalam K Lang dan JS Leonard (eds) Unemployment and The Structure of Labor Markets Basil Blackwell Inc New York Didit Purnomo dan Sri Ismiyati. Dampak Kenaikan Upah Minimum Terhadap Sektor-Sektor Industri di Indonesia. Empirika No.23.1999:51-61. Doms,M., T. Dunne and K.R. Troske. 1997. Workers, Wages and Technology. The Quarterly Journal of Economics. Vol. CXII. No.1: 253-190. Edgren, G. (ed.) 1989. Restructuring, Employment and Industrial Relations: Adjustment Issues in Asian Industries. ILO., Geneva.

111

Effendi, T.N. 2001. Pembangunan, Krisis, dan Arah Reformasi. MUP-UMS. Surakarta Elliot Robert F 1991 Labor Economics: A Comparative Text: McGraw-Hill LondonNew York Felipe, J. 1997. TFP Growth in East Asia: A Critical Survey. Economic Development Resource Centre, Asian Development Bank, Series No 65. Fields J. and E.N. Wolff 1995 Interindustry Wage Differentials and Gender Wage Gap Industrial and Labor Relations Review Vol49 No1: 105-120. Fikri J. A. dan S. Hariyoto, 1999. Human Resources Management (Manajemen Sumber Daya Manusia). Association of Indonesian Management Institute. Fujita, N. and W.E. James. 1997. Employment Creation and Manufactured Exports in Indonesia. BIES. Vol 33. No.1: 103-115. Ghellab Y 1998 Minimum Wages and Youth Unemployment Employment and Training Papers No 26 International Labor Organization Galal, A., Jones, L., Tandon, P., dan Vogelsang, I. 1994. Welfare Consequence of Selling Public Enterprises, Oxford University Press. Wasington, USA. Gujarati, D.N. 1995. Basic Econometric, 3rd ed. McGraw-Hill, Inc. New York. Hasibuan, N. 1984. Pembagian Tingkat Penghasilan Tenaga Kerja Pada Industriindustri Oligopolistik di Indonesia. Disertasi Doktor, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli, Regulasi. PT Pustaka LP3ES, Jakarta. Hasibuan, S. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pendekatan Non Sekuler. Muhammadiyah University Press. Surakarta. Hasibuan, S. 2002. Dua Prioritas Internalisasi dan Implementasi Nilai-Nilai AlQuran Dalam Ilmu Pengetahuan : Islamisasi Proses Pembangunan Dan Islamisasi Pendidikan, Jurnal Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Budaya AlAzhar Indonesia, Volume I, No. I, hal 9. Jakarta Hasibuan, S. 2003. Islamisasi Proses Pembangunan : Mengubah Idiologi Operasional Dan Mempercepat Pengembangan Sistem Keuangan Syariah,

112

akan diterbitkan pada edisi berikutnya Jurnal Ilmu Pengetahuan, teknologi, dan Budaya Al-Azhar Indonesia. Jakarta. Henderson J.M. and R.E. Quandt, 1980. Microeconomic Theory, A Mathematical Approach 3rd ed. McGraw-Hill Book Company, New York. Hilhorst, J. 1989. Dynamics in West-javas Industry and City Size Distribution. Publications Office-Institute of Social Studies. Netherlands. Hill, H. 1998. Indonesias Industrial Transformation Institute of Southeast Asian Studies Singapore Hurst, David.K. 1995. Crisis & Renewal. Harvard Bussiness Scholl Press. Boston, Massachusetts, USA. INFOMET. 2001. Total Faktor Produktivitas BUMN, Cestar-BPS, Volume 1, Nomor 2. Jakarta. Islam, I. 1989. Industrial Restructuring and Industrial Relations in ASEAN A Firmlevel Cronical. Dalam Edgren, G. (ed.) Restructuring, Employment and Industrial Relations: Adjustment Issues in Asian Industries. ILO, Geneva. Islam I and Nazara, S. 2000 Minimum wage and the welfare of indonesian workers International Labour Organization June 2000 Jakarta Jones, G.W., and Mamas, S.G.M. 1996. The Changing Employment Structure of The Extended Jakarta Metropolitan Region. BIES. Vol. 32. No.1:51-70. Karseno, A.R. 1991. Advertising, Market Share and Profitability: An Experimental Study With Application to Indonesia Manufacturing. Ph.D. Thesis. University of Colorado. Kennedy P. 1992. A Guide to Econometrics. 3rd Eds. The MIT Press, Cambridge. King, P (eds.). 1990. International Economics and International Economic Policy: A Reader. McGraw Hill. New York. Koutsoyiannis, A.1985. Modern Microeconomics. 2nd Eds. Macmillan, Hampshire. Kreps, D.M. 1990. A Course In Microeconomic Theory. Princeton University Press, Princeton.

113

Krueger, A.B. and L.H. Summers 1987 Reflection on The Inter-Industry Wage Structure Dalam K Lang dan JS Leonard (eds) Unemployment and The Structure of Labor Market Basil Blackwell Inc New York Krueger, A.B. 1988 Efficiency Wages and Inter-Industry Structure Econometrica Vol56No2: 259-293 Kuncoro, A. tt The Impact of Minimum Wages Seller Concentration and Other Cost of Doing Business on Entry: An Application of Nested Logit Model LPEMFEUI Lee, B.J. 1994. Determination of Inter-Industry Wage Differential: A Case of The Korean Labor Market PhD Dissertation University of Hawai.i Leibenstein, H. 1963. The Theory of Underemployment in Densely Populated Backward Areas Dalam GA Akerlof and JL Yellen (eds) 1987. Efficiency Wage Models of The Labor Market Cambridge University Press Cambridge. Long, J.E. and A. N. Link, 1983. The Impact of Market Structure on Wages Fringe Benefits and Turnover Industrial and Labor Relations Review Vol36 No2: 239-250 . Maital, S. 2002. total Factor Productivity as a Performance Benchamark for Film : Theory and Evidence. http://www-caes.mit.edu/Shlomo /newSolowNov15.html. Malayu S.P. Hasibuan, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Manning C 1994 What Has Happened To Wages In The New Order ? Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol30 No3 : 73 - 114 Manning, C. 1996. Labor Markets and Human Resources in Developing East Asia: Different solutions to different problems. Research in Asian Economic Studies. Vol. 7 Part A: 189-204. McCafferty, S. 1990. Macroeconomics Theory Harper & Row Pubh New York. Manning, C. and P. E. Fong. 1990. Labor Market Trends and Structures in ASEAN and The East Asian NIEs. Asian Pacific Economic Literature, Vol.4. No.2: 59-81.

114

Martin, S.1989. Industrial Economics: Economic Analysis and Public Policy. Macmillan Publishing Company, New York. Mazumdar, D. and H. Sawit. 1986. Trends In Rural Wages, West Java, 1977-1983. BIES Vol.22. No.3: 93-104. Mazumdar, D. 1990. Koreas labor Markets Under Structural Adjustment. Economic Development Institute, The World Bank, Working Papers no.554. Mazumdar, D. 1991, Malaysian Labor Markets Under Structural Adjustment, Economic Development Institute. The World Bank, Working Papers no. 573. McCawley, P. 1979. Industrialization in Indonesia: Development and Prospects. Development Studies Centre, ANU Occasional Paper No.13. Mehmet, O. 1990. Islamic Identity and Development dalam Forum Kuala Lumpur, Selangor, Malaysia. Naylor, R. 1990. Wage Trends in Rice Production on Java: 1976 1988. BIES, Vol. 26 No.2: 133-156. Pangestu, M. 1996. Social Clause and International Trade. The Indonesian Quarterly Vol. 24. No 1: 128-139. Peoples, Jr. 1994. Monopolistic Market Structure Unionization and Racial Wage Differential The Review of Economics and Statistics Vol 76 No1:207-221 Poot, H., A. Kuyvenhoven and J. Jansen. 1992. Industrialization and Trade In Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Pugel,T.A.1980. Profitability Concentration and The Interindustry Variation in Wages The Review of Economics and Statistics Vol62 No2: 248-253. Reenen, J. V. 1996. The Creation and Capture of Rents: Wages and Innovation in a Panel of U.K. Companies. The Quarterly Journal of Economics, Vol. CXI, No. 1: 195-225. Sargent, T.C. and Rodriguez, E, R. 2002. Labor of Total Factor Productivity. Do We Need To Choose? Sargent.TimothyC@fin.gc.ca. Setiadji Bambang, 2002. Upah Antar Industri di Indonesia. Cetakan Pertama, Muhammadiyah University Press.

115

Shapiro, C, and J.E. Stiglitz, 1984. Equilibrium Unemployment as a Workers Discipline Device American Economic Review Vol74 No3: 434-444. Singh, T. 2002. Total Productivity In The Manufacturing Industries In India. Department of Economic Analysis and Policy, Reserve Bank of India, Bombay, and the School of Economic, The University of New South Wales, Sidney-2052, Australia. SMERU, 2001. Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia wwwsmeruorid diakses tanggal 5 April 2003. Slichter SH 1950 Notes on The Structure of Wages The Review of Economics and Statistics Vol32 No1: 80-91. Stiglitz, J.E. 1974. Alternative Theories of Wage Determination and Unemployment in LDCS The Labor Turnover Model Quarterly Journal of Economics Vol 88: 194-227. Suhartono, R.B. 1988. Small and Medium Scale Industries in Indonesia, Asian Development Review, Vol.6 No.2:41-69. Teal, F. 1996. The Size and Source of Economic Rent in a Developing Country Manufacturing Labor Market. The Economic Journal, Vol. 106: 963-976. Thee Kian Wie. 1996. Raising Indonesias Industrial Competitiveness. Makalah pada Kongres ISEI ke-XIII, Medan. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics.: Addison-Wesley, Harlow, England. Tirole, J. 1989. The Theory of Industrial Organization. The MIT-Press. London. UNIDO. 1984. Indonesian Industry Sector Study. Regional and Country Studies Branch Division for Industrial Studies. Wachtel H M and C Betsey 1972 Employment at Low Wage Economics and Statistics Vol54: 121-128 The Review of

Weber, H. 1993. Industrialisasi di Pedesaan Indonesia: Isu dan Masalah. Makalah Seminar Industrialisasi di Pedesaan Jawa, 15 Februari. PPK UGM. Yogyakarta.

116

Wolf, D.L. 1986. Factory Daughters Their Families and Rural Industrialization in Central Java. Ph.D. Thesis, Cornell University. Wood, A. 1995. How Trade Hurt Unskilled Workers? Journal of Economic Perspective-Vol.9, No. 3: 57-80. Weiss, L.W. 1966. Concentration and Labor Earnings American Economic Review Vol56 (Mar): 96-117. YIIS. 1990. Symposium on Small Industries. 7-12 Juli, Cipanas. Yusuf, V. 1991. Pembentukan Angkatan Kerja Industri Garmen untuk Ekspor. Bandung Research Project Office. Bandung.

117

You might also like