You are on page 1of 40

Al-Khilafah Perkara Mendesak (Mahkota dari segala kewajiban)

MUQADDIMAH
Terhitung sejak runtuhnya kekhilafahan Utsmaniyyah di Turki pada tanggal 28 Rajab 1342 H, sudah 88 tahun
lebih umat Islam tidak lagi hidup di bawah kepemimpinan seorang Khalfah. Rentang yang sangat lama bila
dibandingkan dengan ijm para Sahabat Nabi radhiyallhu anhum, yaitu umat Islam tidak boleh vakum dari
kepemimpinan melebihi batas waktu 3 hari 3 malam.
Tiga puluh satu ribu hari lebih berlalu, pemahaman sebagian umat Islam mengenai eksistensi Negara Khilafah
kian jauh dan semakin kabur, terlebih saat benturan dengan Peradaban Barat yang sekular terus terjadi. Sejak
abad 18 M sampai saat ini paham Sekularisme (paham yang memisahkan antara agama dengan Negara)
sudah mulai dan kian banyak mempengaruhi cara berfikir generasi kaum muslimin dan bahkan telah dianggap
sebagai harga mati, sehingga banyak di antara mereka yang merasa aneh dan justru menolak jika agamanya
(Islam) diterapkan di tengah-tengah kehidupan dan cenderung memilih gaya hidup yang sekularistik, menolak
setiap hal yang berbau Islam saat bersinggungan dengan urusan publik atau pemerintahan.
Penting rasanya mengenalkan kembali tentang wajib dan perlunya mendirikan Negara Khilafah. Selain sebagai
pemersatu umat Islam dalam ikatan al-ukhuwwah al-Islmiyyah dan menyebarkan ajaran Islam ke seluruh
pelosok bumi, Negara Khilafah juga berperan sebagai kiynut-tanfdz (institusi pelaksana) sekaligus hris
(penjaga) bagi keberlangsungan syariat Islam secara kffah (menyeluruh) di tengah-tengah kehidupan
manusia. Tentunya juga penjaga Jiwa, Harta dan Kehormatan kaum muslimin dimanapun mereka berada.
Dialah bagian vital dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah, maka sudah sepatutnya
setiap muslim memahaminya dengan benar sebagaimana pemahaman para Ulama terdahulu, sehingga ajaran
Islam yang komprehensif tampak jelas laksana terangnya matahari di siang hari, dan Islam sebagai rahmat lillamin (rahmat bagi alam semesta) tidak lagi hanya bisa diucap dan didengar, tapi juga benar-benar bisa
disaksikan dan dirasakan secara nyata.
Tulisan sederhana ini membahas empat point utama berikut.
1. Pengertian Khilafah Menurut Syara
2. Dasar-Dasar Diwajibkannya Negara Khilafah
3. Pernyataan Para Ulama Tentang Wajibnya Negara Khilafah
4. Menjawab Keraguan-Keraguan
A. Pengertian Khilafah Menurut Syara
Dari sekian banyak hadits Rasulullah saw tidak sedikit diantaranya yang menyebutkan lafadz al-khilfah atau
al-khalfah dengan kandungan arti tertentu yang bukan sebatas arti bahasa, misalnya:

: r :
(. : :
)503 / 4
r :



( .
)361 / 37
r :
.
)1273 / 3 ( .
( . r
)23 / 6
Untuk kata Al-Khilfah, dia memiliki persamaan makna dengan kata Al-Immah dan Imrah Al-Mukminn. Imam
An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majm Syarh Al-Muhadzdzab mengatakan:

)191 / 19 ( .

Dalam Al-Mujam Al-Wasth karya Syaikh Ibrahim Musthafa juga disebutkan:

)251 / 1 ( . :

Berikut pengertian kata Al-Khilfah, Al-Immah atau Imrah Al-Mukminn menurut beberapa ulama masyhur
umat Islam.
Menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H):

)3 ( .

Menurut Imam An-Nawawi (w. 676 H):

( . / 19 )191

Menurut Imam Al-Iji (w. 756 H):





.
( / 3 )579
Menurut Imam Ibn Khaldun (w. 808 H):



. . ( .
)97
Menurut Imam Ibn Al-Azraq (w. 896 H):

( . )29
Menurut Imam An-Nafrawi (w. 1126 H):


r
( . r
/ 1 )402
Menurut Imam Muhammad Abdul Hayyi Al-Kattani (w. 1382 H):

( .
/ 1 )79
Dan masih banyak lagi. Adapun dalam Al-Qms Al-Fiqh, Syekh Sadi Abu Habib menyebutkan bahwa
pengertian Al-Khilfah adalah:

( . r )24

Dalam Al-Mujam Al-Wasth juga disebutkan:

( . / 1 )27

Dengan memperhatikan beberapa hadits dan definisi ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa kata Al-Khilfah
telah dikukuhkan oleh Rasulullah saw dan dipahami oleh para ulama sebagai kata yang memiliki makna
tertentu/khusus, yaitu: kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin dalam menerapkan dan
mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia dalam rangka mengganti peran Rasulullah saw.
Sedangkan julukan bagi orang yang menjalankan kekhilafahan adalah Al-Khalfah, Al-Imm atau Amr AlMukminn. Imam Abdul Hayyi Al-Kattani menjelaskan secara singkat alasan digunakannya tiga istilah tersebut.

r r

( . / 1 )79
Imam Ibnu Saad menyebutkan dalam kitab Ath-Thabaqt Al-Kubr sejarah munculnya julukan amr almukminn:

r r
r :

: r
( . / 3 )281
Syekh Muhammad Rawwas Qalahjie dalam karyanya Mujam Lughah Al-Fuqah menyebutkan bahwa
pengertian Al-Khalfah secara istilah adalah:

( . / 1 )200

Adapun lafadz Al-Imm, secara mutlak dia berarti Al-Imm Al-Adham yaitu Al-Khalfah. Berikut ungkapan Imam
An-Nawawi disertai kutipan pandangan Imam Ibnu Hazm dalam penggunaan kata tersebut:


( . / 19 )191

B. Dasar-Dasar Diwajibkannya Negara Khilafah


Kewajiban menegakkan Negara Khilafah dibangun berdasarkan dalil-dalil Syara, bukan sekedar berdasarkan
logika semata sebagaimana yang disangka oleh sebagian kalangan Rafidhah dan Mutazilah. Hujjatul-Islm
Imam Al-Ghazali berkata:

.


:

( .
)75
Imam Saifuddin Al-Amidi juga mengatakan:

( .
/ 1 )364
Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf dalam kitab tafsirnya juga menyampaikan:

( .
/ 1 )496

Demikian pula Imam An-Nawawi dalam kitab Syarahnya atas Shahih Muslim menyebutkan:

( .
/ 6 )291
Tidak ketinggalan Asy-Syinqithi juga mengatakan dalam kitab tafsirnya:


. ( .
/ 1 )23
Dalil-dalil Syara yang dimaksud adalah sebagaimana berikut.
1. Dari Al-Quran Al-Karim
Yaitu firman-firman Allah SWT yang mewajibkan umat Islam untuk hanya berhukum dengan hukum-hukum
Allah SWT saja, tidak dengan hukum yang lain.
Al-Baqarah [2]: 85






:


[]85/




( . / 1 )320

Ayat di atas mencela Kaum Yahudi yang tidak menerapkan hukum Taurat dengan sempurna atau secara
menyeluruh sekalipun mereka menyakini kebenaran kitab tersebut. Berdasarkan kaidah al-ibrah bi-ummillafdz l bi-khushshis-sabab, maka pelajaran bagi kaum muslimin dari ayat tersebut adalah: Al-Quran tidak
cukup hanya diakui kebenarannya saja, tapi juga harus disertai dengan penerapan hukum-hukumnya secara
menyeluruh di dalam kehidupan nyata.
Syariat Allah SWT tidak boleh diambil setengah-setengah dalam penerapannya, dia harus diterima dan
dilaksanakan seluruhnya dengan sempurna. Di ayat yang lain Allah SWT telah Berfirman:

[]208/

Imam Ibnu Abbas ra dalam kitab Tafsr Ath-Thabar menafsirkan kata kffah dengan seluruhnya atau totalitas,
yaitu tanpa ada sedikitpun dari ajarannya yang diabaikan atau dikurangi.

: : ( . / 4 )257

Syeikh Abdul Qadir Audah dalam kitabnya At-Tasyr Al-Jin f Al-Islm menyatakan:








:

[( .]85 : / 1


)185

Al-Baqarah [2]: 213


[]213/

Imam Ath-Thabari mencantumkan penjelasan ayat di atas (terutama bagian ayat yang bergaris bawah) di dalam
kitab tafsirnya sebagaimana berikut.



( .
/ 4 )280
Wujud Al-Quran memang hanya berupa kata-kata saja. Meskipun banyak berbicara tentang hukum, namun
dia tidak bisa menghukumi manusia secara langsung dengan sempurna, untuk itu dibutuhkan institusi
pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Hal ini berbanding lurus dengan
perkataan Khalifah Utsman bin Affan ra berikut, yang kemudian dijelaskan oleh Syekh Abdul Muhsin AlAbbad.

:
:

( . / 23 )457
An-Nis [4]: 60-61





:



( )60





([ )61]61 60/





Imam Abu Jafar Ath-Thabari menjelaskan bagian yang bergaris pada ayat di atas dengan berkata:

:
( . / 8 )507
Dan berikut penjelasan Imam Ibnu Katsir.


( )
( .
/ 2 )346
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hukum thght pada ayat tersebut
adalah hukum selain hukum Allah SWT atau selain hukum yang berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah.
An-Nis [4]: 65




:

[]65/

Imam Ibnu Katsir manafsirkan:

: r
( . / 2 )349
Lafadz qasam (sumpah) dalam ayat tersebut menandakan keseriusan seruan Allah SWT. Tidak mau
menjadikan Rasulullah saw sebagai pemutus seluruh perkara (berdasarkan wahyu Allah SWT), baik perkara
agama maupun dunia, merupakan sikap yang dapat menafikan keimanan dalam diri seorang muslim. Demikian
pula umat Islam yang hidup sepeniggal Rasulullah saw agar terus menjadikan wahyu Allah SWT sebagai
pemutus perkara diantara mereka. Ayat di atas sangat erat kaitannya dengan sabda Beliau saw yang berbunyi:

: r
( .
/ 1 )41
Al-Midah [5]: 44-45


( )44










4






( )45
([ )47]47 45-44/
Ayat di atas memang menceritakan kaum Yahudi Bani Israil, namun demikian dicantumkannya ayat tersebut di
dalam Al-Quran dan disampaikannya kepada umat akhir zaman bukannya tanpa alasan, akan tetapi sebagai
pelajaran bagi umat Islam dalam hal wajibnya berhukum dengan apa yang Allah SWT turunkan, sesuai dengan
kaidah: al-ibrah bi-ummil-lafdz l bi-khushshis-sabab. Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam Abu
Bakar Muhammad bin Khalaf (w. 306 H) atau lebih dikenal dengan nama Imam Waki dalam kitab Beliau
Akhbr Al-Qudhh menyebutkan:

: :
[ ]44 : .
: :
( . / 1 )42
Selain itu, kata man pada bagian ayat wa man lam yahkum bim anzalallh bersifat umum, berlaku bagi
siapa saja di antara umat manusia yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah SWT turunkan, kapan saja
dan dimana saja. Berkenaan dengan ini Imam Ath-Tharthusyi (w. 520 H) mengatakan dalam sebuah kitabnya
Sirj Al-Mulk:

r
: ( . / 1 )123
Ayat-ayat tersebut juga digunakan oleh Imam Abu Umar Al-Qurthubi dalam menjelaskan bahwa penyimpangan
dalam penerapan hukum (berhukum dengan selain hukum Allah SWT) dengan disertai kesengajaan adalah
termasuk dosa besar menurut ijma.


[ ]44/
:




[( . ]47/ / 5 )74
[ ]45/

Hal tersebut pernah ditanyakan kepada Ibnu Masud ra.

: :
[( . ]44 : / 1 )40
Syaikh Abdul Qadir Audah dalam kitabnya At-Tasyr Al-Jin f Al-Islm menyatakan:


.



( . 1
/ )248-249
Dan di bagian lain dari kitab tersebut Beliau juga mengatakan:



( . / 4 )282
Al-Midah [5]: 48-50





:



( )48










( )49




([ )50]50-48/

Imam Ibnu Jarir menafsirkan:

( . / 10 )385

Imam Ibnu Katsr menjelaskan dengan detail tentang bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap
hukum-hukum Allah SWT. Berikut kata beliau.




. r
r :
:

: .

(
/ 3 )131
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hukmul-jhiliyyah (hukum Jahiliah) Imam Ibnu Katsir mengutip
perkataan cucu Rasulullah saw Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra sebagaimana berikut.

: .
( / 3 )131
Al-Anm [6]: 114

[]114/


:
: ( . / 2 )467

( . / 1 )345
Ayat tersebut berbicara dalam konteks menegakkan hukum Allah SWT untuk menyelesaikan berbagai perkara
di antara Nabi saw dengan kaum kafir musyrik penyembah berhala. Berikut dengan lebih jelas Imam AthThabari menafsirkan:

: : r :


:
: :
:



( . / 12 )60
An-Nr [24]: 48-52


( )48

:






( )49





( )50


([ )52]52-48/




( )51

Lima ayat dalam surat An-Nr di atas menceritakan dua golongan orang di antara kaum muslimin. Golongan
Pertama, mereka yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah SWT (yaitu dengan menjadikan Rasulullah
saw sebagai hakim di antara mereka), mereka terkategorikan sebagai munafik. Golongan Ke-dua, yaitu mereka
yang patuh dan taat terhadap hukum Allah SWT (yaitu dengan menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim yang
memutuskan perkara-perkara di antara mereka berdasarkan syariat Islam). Imam Ath-Thabari mengatakan:

( . r / 19 )204


An-Nis [4]: 58




[]58/

Al-Midah [5]: 42

:
[]42/
Al-Hadd [57]: 25

[]25/

Lafadz Al-Adl dan Al-Qisth pada tiga ayat di atas adalah sinonim, yaitu berarti adil, dan yang dimaksud dengan
hukum yang adil adalah hukum Allah SWT Dzat yang maha adil. Berikut perkataan Imam Asy-Syafii dalam
kitab Al-Umm saat Beliau membahas jizyah.


( . r / 4
)222
Dan masih di kitab yang sama, pada bab Al-Aqdhiyyah, disebutkan:

( ) : r

( . / 7 )98

Imam Muhammad bin Muhammad Al-Mushili seorang Ulama bermadzhab Syafii mengatakan:

: : ( .
/ 1 )55
Berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT merupakan Maqshid Al-Immah (tujuan disyariatkannya
Khilafah), berikut perkataan Imam Ibnu Taimiyyah.

:
( . / 1 )37
Syaikh Al-Ishami dalam karyanya Samth An-Nujm Al-Awl f Abni Al-Awil wa At-Tawl juga menyatakan:


:


r - -
( . / 1 )425
Demikian pula dalam kitab Al-Wajz f Aqdah As-Salaf Ash-Shlih Ahl As-Sunnah wa Al-Jamah Imam AlAtsari menyatakan:










- -
( . / 1 )132

Imam Ibnu Al-Azraq juga mengatakan dalam sebuah karyanya:

( )
: ( . 1
/ )1
Imam Al-Ghazali menyebut hukum-hukum Allah SWT dengan istilah Nidhmud-Dn (sistem Dien), yaitu Syariat
Islam yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Menurut Beliau, Nidhmud-Dn tidak bisa dipisahkan dari
Nidhmud-Duny (sistem dunia) atau sulthn (kekuasaan) yang berperan sebagai pelaksana. Berkali-kali
Beliau mengutarakan ungkapan-ungkapan yang senada, misalnya:


( . / )76-75
Penjelasan tentang tujuan didirikannya Negara Khilafah di atas sebanding lurus dengan tugas daripada orang
yang menjalankannya. Berikut penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani atas salah satu Hadits Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari berkenaan dengan tugas Khalifah. Yaitu menerapkan syariah atau
menegakkan hukum-hukum Allah SWT.

r :


( . / 13 )113-112
2. Dari Hadits Nabi saw
Hadits Pertama, riwayat: Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad (dengan lafadz Al-Bukhari), derajat: shahih

r

)271 / 11 ( .
Kata tassu dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa peran para nabi di kalangan Bani Israil adalah
sebagai pemimpin yang memperhatikan urusan-urusan kehidupan mereka, bukan sekedar menyampaikan
risalah. Berikut pemaparan Imam Ibn Mandhur dalam Lisn Al-Arab-nya seraya mengutip hadits tersebut
(dalam penjelasan beliau atas kata ssa).


)107 / 6 ( .
Dari hadits di atas juga dipahami bahwa demikian pula Nabi Muhammad saw, tugas Beliau juga sebagai
pemimpin atau penanggungjawab atas urusan-urusan umatnya. Kemudian diterangkan juga setelah itu bahwa
sepeninggal Beliau, secara sah tugas tersebut akan dijalankan oleh para Khalifah, bukan yang lainnya.

Hadits Ke-2, riwayat: Ahmad dan Ath-Thabarani, derajat: shahih, Al-Hakim mengatakan bahwa semua
isnadnya shahih meskipun tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

r
)134 / 45 (
Berikut penjelasan Imam Al-Manawi tentang hadits tersebut, dalam kitabnya At-Taysr bi Syarh Al-Jmi AshShaghr:

( ) ( )
( )
) ( ) (
( .
)565 / 2
Imam Al-Mubarakfuri juga mengatakan:

)131 / 8 ( .

Hadits Ke-3, riwayat: Ath-Thabarani, derajat: shahih, Imam Al-Hakim dalam kitab Mustadraknya
menyatakan bahwa hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim, demikian pula Imam AdzDzahabi menegaskan dalam taliqnya.

: r :
:

)45 / 11 ( .
Di dalam Islam, hukuman/sangsi hanya terjadi pada dua wilayah: 1) Kewajiban jika ditinggalkan, dan 2)
Keharaman jika dilanggar, adapun wilayah Sunnah, Karhah dan Ibhah, tidak ada hukuman/sangsi di
dalamnya. Artinya hukuman tidak diberikan pada selain dua hal di atas, tidak pada orang yang meninggalkan
perkara-perkara Sunnah, tidak pula pada orang yang melakukan perkara-perkara yang Makrh, apalagi pada
orang yang melakukan atau meninggalkan perkara-perkara mubh, fahuwa min bbil-awl (lebih utama untuk
tidak mendapatkan hukuman/sangsi). Imam Asy-Syarani mengatakan dalam kitabnya Al-Mzn Al-Kubr:


( .
Berdasarkan hal tersebut, maka ancaman adzab berupa kemiskinan pada riwayat hadits di atas, dengan jelas
menunjukkan wajibnya berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT. Karena jika memang dia bukan kewajiban,
maka Allah SWT tidak perlu menurunkan adzab jika kaum muslimin meninggalkannya.

Hadits Ke-4, riwayat: Abu Dawud, Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi, derajat: hasan

( . r
)402 / 17
Berkenaan dengan Hadits di atas Imam Ibn Taimiyyah berkomentar:


/ 1 ( .
Dengan lebih rinci Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nail Al-Authr menjelaskan hadits tersebut dan
kaitannya dengan wajibnya menegakkan Khilafah.




.
)128 / 9 ( .

Hadits Ke-5, riwayat: Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, derajat: hasan shahih, Al-Hakim
menshahihkannya berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim.

r :

)329 / 4 ( .
Jika diperhatikan dengan teliti, akan didapati bahwa sabda Rasulullah saw di atas berbentuk perintah atas
kaum muslimin yang hidup sesudah masa kenabian atau di akhir zaman, agar berpegang teguh kepada sunnah
Nabi saw dan sunnah Al-Khulaf Ar-Rasyidn (sunnah=ajaran). Imam Ash-Shanani dalam Subul As-Salm
menerangkan maksud dari sunnatul-khulafil-Mahdiyynar-Rsyidn dalam hadits tersebut adalah:

r

)11 / 2 ( . r
Hal ini berbanding lurus dengan Hadits Nabi saw berikut.

r :
:
( .
)75 / 3
yaitu bahwa kekhilafahan ideal yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw adalah kekhilafahan di
masa Al-Khulaf Ar-Rsyidn. Imam Al-Mubarakfuri juga mengakui hal tersebut dengan mengungkapkan:




(
) ( ) ( )
)368 / 7 ( .
Perintah mengikuti ajaran tersebut muncul setelah wasiat takwa kepada Allah SWT dan ketaatan terhadap
amir yang diangkat oleh Khalifah meskipun dia adalah seorang budak berkulit hitam. Imam Al-Qazwaini
menyebutkan:

)15 / 1 ( . ( )

Memang, dalam menjalankan amanahnya seorang Khalifah berhak mengangkat beberapa atau banyak amir
(sesuai dengan kebutuhan) untuk mewakili dirinya di berbagai pelosok Negara Khilafah. Yang demikian ini
sudah dilakukan sejak kepemimpinan umat Islam masih di tangan Rasulullah saw. Imam Al-Khazai
mengatakan:

)267 / 1 ( . r

Ini dilakukan saat Khalifah tidak bisa menjangkau langsung wilayah kehilafahan yang begitu luas, sedangkan
jika Khalifah hendak keluar meninggalkan Negara Khilafah untuk berjihad atau yang lainnya, dia juga harus
mengangkat salah seorang kepercayaan untuk sementara waktu menggantikan posisinya dalam memegang
kendali pemerintahan. Yang demikian ini juga pernah dilakukan oleh Rasulullah saw Adalah Imam Ibnu Katsir
dalam kitab Al-Fushl f As-Srah menuturkan:

r r
( .
)24 / 1
Dan bahkan ini terjadi berkali-kali, contoh lain saat Beliau pergi dalam ghazwah Dzul-Asyrah, kendali Madinah
diambil alih oleh Abu Salamah bin Abd Al-Asad, saat ghazwah Bani Sulaim oleh Siba bin Urfuthah, saat
ghazwah As-Sawq oleh Abu Lubabah, saat ghazwah Dz Amr oleh Utsman bin Affan, saat ghazwah Bahrn
oleh Ibnu Ummi Maktum, saat ghazwah Bani Qainuqa oleh Basyir bin Abd Al-Mundzir, saat ghazwah BaninNadhr oleh Ibnu Ummi Maktum, saat ghazwah Dztir-Riq oleh Abu Dzar Al-Ghifari, saat ghazwah Badr AshShughra oleh Abdullah bin Abdillah bin Ubai, saat ghazwah Dumatil-Jundal oleh Siba bin Urfuthah, dst. Ini
semakin memperjelas bahwa Nabi Muhammad saw bukan sekedar Nabi Allah SWT yang kemana-mana selalu
diikuti oleh para sahabatnya, lebih daripada itu Beliau juga seorang Kepala Negara yang bertanggungjawab

penuh atas suatu wilayah kekuasaan tertentu, yang kepergiannya tidak boleh menghentikan aktivitas negara
yang dipimpinnya, yaitu Al-Madnah Al-Munawwarah.
Semua ini menunjukkan bahwa hadits tersebut di atas sangat erat hubungannya dengan bentuk pemerintahan
Islam, dan perintah untuk mengikuti sunnah Nabi saw dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun di dalamnya juga
tidak lepas dari perintah untuk mengikuti bentuk pemerintahan atau kepemimpinan mereka.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits senada lainnya, yang membuktikan bahwa ajaran Islam juga menyentuh
ranah kepemerintahan atau kenegaraan sebagai konsekwensi dari predikat sempurna yang disandangnya.
3. Ijma Sahabat Radhiyallh Anhum
Ijma Sahabat radhiyallh anhum juga merupakan salah satu dari pilar-pilar utama diwajibkannya menegakkan
Negara Khilafah. Tepat pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, para sahabat segera mengangkat pengganti
Beliau (dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin kaum Muslimin, bukan sebagai Rasul Allah SWT), yaitu dengan
membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq, hal itu mereka lakukan sebelum mengurus jenazah Nabi Muhammad saw
tanpa ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Ini menandakan bahwa kewajiban tersebut lebih
utama dari pada kewajiban memakamkan jenazah. Imam Abu Al-Fadhl Al-Iraqi pernah mengutip perkataan
Imam Al-Khathabi dalam kitabnya Tharh At-Tatsrb:

r
. r


/ 8 ( .
)299
Dalam kitab Hsyiyah Al-Aththr al Syarh Al-Jall Al-Mahall al Jam Al-Jawmi dikatakan:


r
)487 / 2 ( . r
Hal serupa juga disampaikan Imam Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, Beliau menyatakan:

r
. .
( . .
)98 / 1
Imam Al-Qurthubi dengan lebih rinci juga menceritakan hal serupa dalam kitab tafsirnya:


:
. :
(.
)264 / 1
Abu Yahya Zakariyya Al-Anshari, dalam kitabnya Asn Al-Mathlib mengatakan sebagai berikut.

r ) : (
)347 / 19 ( .
Adapun catatan dalam kitab Trkh mengenai peristiwa tersebut (Ijma Sahabat dalam perkara Khilafah)
diantaranya adalah:

Dalam kitab Trkh Al-Khulaf, Imam Al-Asyuthi mengutip riwayat berikut ini:

r
r

r
r
)26 ( .

Imam Adz-Dzahabi juga mencantumkan banyak riwayat senada tentang persitiwa tersebut dalam
kitabnya Trkh Al-Islm, salah satunya adalah:

: r :
: r : .
10

: : .
( . / 1 )362
Dalam Mukhtashar Trkh Dimasyq, Imam Ibnu Mandhur menyampaikan:

r .
( / 1 )297
Jadi yang dilakukan oleh para Sahabat radhiyallhu anhum pasca wafatnya Nabi Muhammad saw adalah
terhitung sebagai sumber hukum tersendiri yang bersifat qoth (pasti) di dalam Islam. Jaminan atas keabsahan
Ijma Sahabat sebagai sumber hukum yang qoth diantaranya adalah ayat berikut.

[ ]100/

Imam Asy-Syahrastani juga menjelaskan tentang kekuatan Ijma Sahabat radhiyallhu anhum sebagai
landasan istidll (argumentasi) terutama menyangkut perkara Khilafah, Beliau berkata:









( . / 1 )171

4. Kaidah M L YATIMM AL-WJIB ILL BIHI FAHUWA WJIB.


Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashf, menjelaskan kaidah tersebut sebagaimana berikut.




.

.


( . / 1 )57
Keberadaan Negara Khilafah merupakan syarat syari bagi terlaksananya sekian banyak kewajiban di dalam
Islam, dan keberadaannya adalah bersifat ikhtiyr (pilihan) bagi kaum muslimin, bisa berakibat pahala jika
dilaksanakan atau diusahakan dan bisa berakibat dosa jika ditinggalkan. Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya
mengatakan:

( ) 30 :

( .
/ 1 )221
Imam Abu Al-Qasim An-Naisaburi, dalam tafsirnya atas ayat yang memerintahkan kaum muslimin untuk
menindak pelaku perzinaan, Beliau menyebutkan kaidah yang sama:


( . / 5 )465

Dalam Islam terdapat begitu banyak kewajiban yang menuntut adanya institusi Pemerintahan Islam,
diantaranya adalah:
)Kewajiban berjamaah (bersatu dalam satu wadah kepemimpinan
Al-Quran surat li Imran [3]: 103





:
[ ]103/

Yang dimaksud dengan hablullh (tali Allah SWT) adalah jamaah, berikut sang mufassir dari kalangan sahabat
Nabi pernah berkhutbah:

11


(
/ 21 )274
Redaksi serupa (hablullh) juga terdapat dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dan Imam Malik berikut:

r
.
( / 5 )130
Imam Az-Zarqani menjelaskan:




( . / 4 )527
Al-Quran surat Al-Anm [6]: 153

:
[]153/

Imam Ibnu Katsir mengutip perkataan Imam Ibnu Abbas tentang ayat di atas dan ayat-ayat senada lainnya
dalam kitab tafsirnya sebagaimana berikut.

:
[ ]13/ :

.
( . / 3 )365
Hadits Nabi saw riwayat: Muslim, Al-Baihaqi dan Ahmad (dengan lafadz Muslim), derajat: shahih

r
.
( / 5 )130
Imam Abu Umar pernah berkata mengomentari hadits tersebut.

:
( . / 21 )274
Hadits Nabi saw riwayat: Al-Bukhari dan Muslim (dengan lafadz Al-Bukhari), derajat: shahih

r
( . / 6 )2588
Hadits Nabi saw riwayat: Muslim, An-Nasi dan Ahmad, derajat: shahih

r

( .
/ 6 )20
Imam An-Nawawi menjelaskan maksud daripada mati dalam keadaan jahiliyah dalam hadits tersebut dan yang
serupa dalam kitab syarakhnya atas Shahih Muslim:

: r
( . / 12 )238

Imam Ibu Hajar dalam kitab syarakhnya atas Shahih Al-Bukhari mengutip perkataan Ibnu Abi Hamzah
memperjelas bahwa yang dimaksud dengan mufraqah (memisahkan diri/memberontak) dalam hadits tersebut
adalah mufraqah terhadap Negara Khilafah, yaitu usaha sekecil apapun dalam rangka melepaskan diri dari
aqad baiat:

:
( . / 20
)58
Imam As-Sindi dalam hasyiyahnya atas kitab Sunan An-Nasai menjelaskan:



( . / 7
)123
Imam Ibnu Abdil Barr, dalam kitabnya At-Tamhd li m f Al-Muwaththa min Al-Mani wa Al-Asnd
menyatakan:

12




:
*
*
*
)275 / 21 (
Realitas umat Islam saat ini sangat bertolak belakang dengan konsep kepemimpinan Islam sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas, dimana mereka tidak lagi dalam satu kesatuan, tapi terpecah-pecah menjadi lima puluh
lebih jamaah (baca: negara) yang tidak lagi diikat oleh aqidah islamiyyah melainkan ikatan Nasionalisme,
sebagai konsekwensi logisnya kaum muslimin saat ini memiliki banyak pemimpin yang satu sama lainnya tidak
dalam satu kesatuan, padahal Rasulullah saw sangat tegas dalam perkara ini.

r
)18 / 6 ( .
Dalam kesempatan yang lain Beliau menegaskan.

( . r :
)23 / 6
Dalam penerapannya, para sahabat ridhwnullh alayhim sebagai generasi yang paling paham akan konsep
tersebut menolak usulan beberapa orang Anshar yang dipelopori oleh Al-Habbab bin Al-Mundzir yang
menghendaki pemisahan kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah saw, yaitu agar kaum muslimin Anshar
mengangkat pemimpin sendiri dan kaum muslimin Muhajirin juga mengangkat pemimpin sendiri. Imam AdzDzahabi mengabadikan riwayat tersebut dalam kitabnya Trkh Al-Islm:

)6 / 3 ( . :

Karena pemikiran tersebut tidak benar, maka para sahabat yang dipelopori oleh Abu Bakar menolaknya.
Menanggapi pernyataan Al-Habbab bin Al-Mundzir di atas Beliau berkata:

:
r :
)6 / 3 ( .

Melihat banyaknya pemimpin kaum muslimin saat ini, manakah di antara mereka yang akan diakui sebagai
pemimpin (Imam) yang sah? dan mana pula yang harus disingirkan?, Kalau tidak demikian lalu hendak
dikemanakan hadits shahih di atas? Akankah diperkosa untuk bisa dipahami lain dengan tujuan agar umat
Islam terbebas dari kewajiban mengangkat Khalifah? Tidak bukan?!.
1. Kewajiban Mengangkat Khalifah dan Taat Kepadanya (Kewajiban Berbaiat Kepada Khalifah)
a)

Al-Quran surat An-Nis [4]: 59




:
]59/ [

Kata minkum menunjukkan bahwa pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin dari kalangan kaum muslimin
bukan pemimpin komunitas lain. Sekaligus ayat ini juga menunjukkan kebatilan sistem pemerintahan yang
memungkinkan non-muslim untuk menjadi pemimpin kaum muslimin sebagaimana sistem Demokrasi di negeri
ini, Allah SWT Berfirman:

]144/ [


:

Allah SWT mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada-Nya, RasulNya, dan para pemimpin di antara
mereka. Untuk kewajiban yang ke-tiga, yaitu taat kepada para pemimpin tidak bisa dilaksanakan oleh kaum
muslimin tanpa adanya pemimpin bagi mereka, maka demi terlaksananya kewajiban tersebut harus diangkat
seorang pemimpin bagi kaum muslimin, yaitu Khalifah. Yang dimaksud bukanlah mengangkat pemimpin di
masing-masing negeri kaum muslimin dan menganggapnya sudah seperti khalifah, karena misalnya pemimpin
Negara Indonesia, dia wajib ditaati oleh warga muslim Indonesia, namun tidak bagi warga muslim di Negara
lain, sehingga yang dimaksud dengan kepemimpinan yang wajib ditegakkan dalam pandangan Islam bukan
model kepemimpinan yang demikian.
Para mufassir mengatakan bahwa maksud dari lul-amri adalah umar bentuk jama dari amr yang artinya
pemimpin, sebagaimana yang diutarakan Imam Ath-Thabar dalam kitab tafsirnya:

: : :
: . .
r :

)497 / 8 ( .
] [
13

Umar adalah orang-orang yang diangkat oleh Khalifah untuk menjadi wakilnya dalam mengurus berbagai
urusan kaum muslimin yang berada di wilayah-wilayah yang jauh dari jangkauannya. Hal tersebut tergambar
jelas pada dua riwayat hadits berikut ini.
Hadits Nabi saw riwayat: Muslim dan At-Tirmidzi, derajat: shahih

: r
( . / 4 )79

Adapun lafadz Imam At-Tirmidzi adalah sebagai berikut.

: r
( .
/ 4 )209
Imam Al-Mubarakfuri menjelaskan:




( . / 5 )297
-

Hadits Nabi saw riwayat: Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad, derajat: shahih

r :
( . / 6 )2611
Pemaknaan lafadz amr pada hadits di atas bukan pemimpinku dalam artian orang yang memimpin Rasulullah
saw, karena pada saat itu Beliau adalah pimpinan tertinggi (Kepala Negara) kaum muslimin, melainkan artinya
adalah pemimpin yang Beliau angkat.
Dapat disimpulkan bahwa ketaatan kaum muslimin terhadap umar yang diangkat oleh Kepala Negara
(Khalifah) adalah dalam rangka ketaatan kepada Kepala Negara itu sendiri.
b) Hadits Nabi saw riwayat: Muslim, derajat: shahih

r
( . / 9 )393
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhall mengatakan:

:
: r : ( . / 9 )359
Dan akan tampak benang merah yang sangat jelas jika melihat Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Bukhari berikut ini, yaitu wasiat untuk kaum muslimin berupa perintah berbaiat kepada Khalifah sepeninggal
Rasulullah saw.

r
: :
( . / 11 )271
Hadits Nabi saw riwayat: Ibnu Hibban, derajat: shahih

)c

: : r : : r
:
( .
/ 19 )150
)1. Kewajiban Menegakkan Al-Qadh (peradilan Islam
Kewajiban menegakkan al-qadh sebenarnya bermula dari kewajiban menegakkan hukum-hukum yang
diturunkan oleh Allah SWT. Ini tergambar jelas pada Sabda Nabi saw berikut.

: : r :
.
( / 1 )15
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Wasth berkata:


( . / 7 )287
Inti daripada Al-Qadh dalam Islam adalah menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Hal tersebut tidak bisa
terlaksana tanpa adanya institusi pemerintahan. Imam Ibnu Taimiyyah berkata:

( .
/ 28 )390
14

Al-Qadh juga tidak sah jika dilaksanakan oleh seorang hakim yang tidak diangkat oleh Khalifah, berikut
kutipan dari kitab Bidyah Al-Mujtahid wa Nihyah Al-Muqtashid karya Imam Ibn Rusyd:

( .
/ 2 )461
Dengan lebih rinci Imam Al-Maziri menjelaskan penyelenggaraan al-qadh yang sah adalah sebagaimana
berikut.

: :
:

( .
/ 8 )81
Pada ungkapan di atas, cara kedua dalam pengangkatan al-qdh ditempuh demikian karena alasan darurat,
jadi hukum asalnya tetap yaitu mutlak wewenang Khalifah atau Amirul Mukminin atau Kepala Negara Islam,
karena sebenarnya keberadaan hakim di Negara Khilafah adalah perwakilan dari pada Khalifah.





r

( . / 7 )2
Diantara perkara-perkara al-qadh yang membutuhkan wadah Negara sebagai Pelaksana adalah sebagai
berikut.
)1) Hukuman Zin (hubungan badan di luar nikah
)Bagi pezina yang ghayr muhshan (belum pernah menikah

[]2/



)Bagi pezina yang muhshan (sudah pernah menikah dan pernah bersetubuh dengan istri

: : r
( . )
Berikut penjelasan singkat Syeikh Rawwas Qalahjie tentang Ihshn.

:
( . / 1 )499
)2) Hukuman Liwth (Homoseksual

: r .
( / 12 )38
)3) Hukuman Qadzf (menuduh wanita baik-baik berzina








[]4/

)4) Hukuman peminum Khamr (minuman keras/setiap yang memabukkan

r ( .
/ 9 )83
)5) Hukuman Sariqah (pencurian) jika mencapai nisab ( Dinar atau lebih






:
[]38/
r ( . / 21 )51

)6) Hukuman Hirbah (Bughat & perampok












[]33/

)7) Hukuman Murtad (keluar dari Islam

r ( . / 6
)2537
15

)8) Hukuman Al-Qathl (pembunuhan







([ )179]179 178/


( )178

)9) Hukuman Isqthul-Jann (aborsi

r
r ( .
/ 6 )2532
Hukuman melukai/mengurangi/memotong anggota tubuh orang lain

)10

r
r





( .
/ 4 )245
Rasulullah Muhammad saw telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana menjadi sosok pemimpin yang
konsisten dan tegas (tanpa kenal pilih kasih) dalam menegakkan huddullh (hukum-hukum Allah SWT), cukup
hadits berikut ini sebagai bukti.

: r
. r .


. r
( . / 4 )1566
Berikut kata Imam Abdul Hayyi Al-Kattani.



( . / 1 )1
Kesimpulannya, bahwa pelaksanaan syariat-syariat Allah SWT secara menyeluruh oleh kaum muslimin
mengharuskan diangkatnya seorang Imam di antara mereka, sehingga dia menjadi wajib adanya.
1. Kewajiban al-amr bil-marf wan-nahy anil-munkar (menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari
)yang mungkar

:





[ ]110/





[]25/

:
r
( . / 1 )50
Dalam skala besar, tugas menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar hanya mampu
dijalankan oleh Negara, tentunya dengan menjadikan hukum syara sebagai standar makruf dan mungkar bagi
seluruh aktivitas atau perbuatan manusia.
1. Kewajiban Berdakwah dan Berjihad
Kewajiban dakwah secara umum adalah berdasarkan firman Allah SWT:




:
[]125/

Sedangkan kewajiban jihad secara umum adalah berdasarkan firman Allah SWT:



:

[]216/

Dijadikannya satu antara kewajiban berdakwah dan kewajiban berjihad di sini karena pada dasarnya keduanya
ada dalam satu rangkaian, yaitu bahwa jihad yang bersifat ibtid (offensive) pada hakikatnya adalah berperang

16

melawan kekufuran yang menghalangi penyebaran dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Berdasarkan firman
Allah SWT:

[]28/

:

Dan ayat berikut:





:

[]39/

Juga berdasarkan hadits Nabi saw:

: r
:
- - :




. : ( .
)50-49
Juga hadits riwayat Imam Ath-Thabarani berikut.

r
( . / 8 )159
Juga hadits riwayat Imam Ahmad bin Hambal berikut.

r
( .
/ 1 )26
Sebagaimana juga dalam Al-Qms Al-Fiqh dikatakan:

: : ( . / 1 )71
Dikatakan demikian karena tujuan asal daripada jihad adalah mendakwahkan Islam, Imam Ibnu Hajar
mengatakan:

( .
/ 4 )268
Jihad yang semacam ini hukumnya adalah fardhu kifyah, harus selalu ada di setiap masa, hingga tuntas
Amanat Agung Rasulullah saw tersebut (ayat 28 surat Saba). Tentang Amanat Agung tersebut Rasulullah
saw juga pernah bersabda:

r :

( . / 1 )17
Demikianlah pemahaman generasi awal kaum muslimin sehingga tercapai apa yang pernah mereka capai,
tertulis indah dengan tinta emas dalam lembara sejarah manusia, yaitu Imperium terbesar yang penuh berkah,
Negara Khilafah Islamiyah yang luasnya mencapai dua per tiga dunia.
Memang untuk berdakwah tidak harus menunggu berdirinya Negara Khilafah terlebih dahulu, namun dakwah
memiliki beberapa tingkatan, untuk tingkatan individu dan kelompok mungkin masih bisa dilakukan tanpa
memerlukan peran Negara, namun untuk mendakwahi Negara lain (yaitu dengan menyeru pemimpin dan
)rakyatnya untuk ber-Islam atau kalau tidak dengan membayar jizyah dan menerapkan hukum-hukum Islam
dakwah semacam ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh Negara yang mengemban dakwah Islam.
Selain riwayat di atas tadi hal serupa juga dicontohkan oleh Nabi saw dengan mengirimkan banyak utusan
kepada para penguasa negeri lain dengan menyertakan surat seruan kepada mereka agar masuk Islam.
Misalkan surat Beliau kepada Raja Romawi Heraklius yang disampaikan oleh Dihyah Al-Kalbi ra berikut.

.
!

( . )59
Sepeninggal Rasulullah saw dakwah semacam itu terus dilakukan oleh para sahabat dan kaum muslimin, di
masa Umar bin Al-Khaththab terkenal surat panglima perang Khalid bin Al-Walid berikut.

.
.
.
17

.
( . / 2 )184
Sekali lagi, Dakwah dan Jihad semacam di atas tidak bisa berjalan dengan baik kecuali dilakukan oleh
Pemerintahan atau Negara Islam, yakni Negara Khilafah Islamiah.
1. C. Pernyataan Para Ulama Tentang Wajibnya Khilafah
Berikut ini perkataan para ulama berkenaan dengan wajibnya menegakkan Khilfah atau wajibnya mengangkat
seorang Khalfah.
Abdurrahman Al-Jaziri (w. 1360 H), dalam Al-Fiqh Ala Al-Madzhib Al-Arbaah:


( . / 5 )308
Abdul Hamd Asy-Syarwani (w. 1301 H), dalam Hawsyi Asy-Syarwn:

( ) ( :
)
( . / 9 )74
Abu Abdillah Ar-Ruayni Al-Maliki (w. 954 H), dalam Mawhib Al-Jall f Syarh Mukhtashar Asy-Syaikh
Jall:

( . / 17
)399
Abu Abdillah Al-Qali Asy-Syafii (w. 630 H), dalam Tahdzb Ar-Riysah wa Tartb As-Siysah:


.
( / 1 )6
Abu Al-Hasan Al-Asyari (w. 324 H), dalam Maqlat Al-Islmiyyn wa Ikhtilf Al-Mushalln:

: : . :
( . / 1 )113
Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w. 450 H), dalam Al-Ahkm As-Sulthniyyah wa Al-Wilyt Ad-Dniyyah:


( . )3
Abu Al-Maali (w. 270 H), dalam At-Tj wa Al-Ikll li Mukhtashar Khall:

( )
.
( / 3 )348
Abu An-Naja (w. 960 H), dalam Al-Iqn f Fiqh Al-Imm Ahmad bin Hanbal:

( .
/ 4 )292
Abu Al-Qasim Al-Hasan bin Muhammad An-Naisbr (w. 406 H), dalam Tafsr An-Naisbr:


( . / 5 )465
Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi (w. 458 H), dalam Syuab Al-mn:

r
( . / 6 )5
Abu Fida Ismal Ibnu Katsir (w. 774 H), dalam Tafsr Al-Qurn Al-Adzm:

( )30

18

( .
/ 1 )221
Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H), dalam Al-Iqtishd f Al-Itiqd:

:

. :
. :
( . 1 :)75 :
Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali (w. 745 H), dalam Tafsr Al-Bahr Al-Muhth:


. :
.

. ( .
/ 1 )496
Abu Ishaq Asy-Syirazi (w. 476 H), dalam At-Tanbh:


( . / 1 )248
Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 429 H), dalam Al-Farq Bayna Al-Firaq:



( . )340
Abu Yala Muhammad bin Al-Husain Al-Farra (w. 458 H), dalam Al-Ahkm As-Sulthniyyah:

: -

. ( .
)19
Abu Zakariyya An-Nawawi (w. 676 H), dalam Roudlah Ath-Thlibn wa Umdah Al-Muftn:

.
.
( / 3 )433

( .
/ 4 )111
Alauddin Al-Kasani (w. 587 H), dalam Badi Ash-Shani f Tartb Asy-Syari:





( . / 7
)2
Al-Juwayni (w. 478 H), dalam Ghiyts Al-Umam wa Iltiyts Adh-Dhulam:


( . / 1 )17
19


( . / 1 )42
Al-Mardawi, Abu Al-Hasan Al bin Sulaimn (w. 885 H), dalam Al-Inshf f Marifat Ar-Rjih min Al-Khilf
Al Madzhab Al-Imm Ahmad bin Hambal:

. : : .
( . / 10 )234

. . .
( / 11 )116
Al-Qarafi (w. 684 H), dalam Adz-Dzakhrah:


( . / 13 )234
Al-Qurthubi, Imam Abu Abdillh (w. 671 H), dalam Tafsr Al-Qurthub:


:


( .
/ 1 )264
Asy-Syahrastani (w. 548 H), dalam Nihyah Al-Iqdm f Ilmi Al-kalm:



.




( . / 1 )168
Asy-Syarbini Al-Khathib (w. 977 H), dalam Mughn Al-Muhtj il Marifati Alfdz Al-Minhj:


( .
/ 4 )129
Asy-Syaukani (w. 1250 H), dalam As-Sail Al-Jarrr Al-Mutadaffiq al Hadiq Al-Azhr:




r
r ( .
/ 1 )28
As-Suyuthi (w. 911 H), dalam Husn Al-Muhdharah f Akhbr Mishr wa Al-Qhirah:

( .
)228

20

Dar Al-Ifta Al-Mishriyyah, dalam Fatwa Al-Azhar:

r
( . 8
/ )180
Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), dalam Mafth Al-Ghayb f At-Tafsr:




( . / 11 )181




( . / 23 )126-125


Ibnu Adil Ad-Dimasyqi (w. 775 H), dalam Tafsir Lubb f Ulm Al-Kitb:

( )30


( . / 1 )204
Ibn Arabi, dalam Al-Fikr Ash-Shf f Dhau Al-Kitb wa As-Sunnah:



( . / 1 )78
Ibn Hazm Adz-Dzahiri (w. 456 H), dalam Al-Fashl f Al-Milal wa Al-Ahw wa An-Nihal:



r ( .
/ 4 )72
Ibnu Khaldun (w. 808 H), dalam Muqaddimah:


r .
. .

: .
( / 1 )98
Ibn Qaid An-Najdi (w. 1097 H) , dalam Syarh Muntaha Al-Irdt li Ibn An-Najjr:

( )
( . / 3 )387
Ibn Qudamah Al-Maqdisi (w. 682 H), dalam Al-Mughn:

:
( . / 11 )374
Jamaluddin Ahmad Al-Ghaznawi (w. 593 H), dalam Ushl Ad-Dn:


( .
)269
Khasru bin Qaramuz Al-Hanafi (w. 885 H), dalam Durar Al-Hukkm Syarhu Ghurar Al-Ahkm:

21

( / 8 )365
Mahmud bin Ismail Al-Kairbiti (w. 843 H), dalam Ad-Durrah Al-Gharr f Nashhah As-Salthn wa AlQudhh wa Al-Umar:





( .
/ 1 )5
Mansur bin Yunus Al-Bhuti (w. 1051 H), dalam Kasysyf Al-Qin an Matn Al-Iqn:

( ) ( )
( . / 6
)158
Muft Kuwait, dalam Al-Mausah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah:



( .
/ 25 )302
Muhammad bin Ahmad Asy-Syarbini (w. 977 H), dalam Al-Iqna fi Hilli Alfadzi Abi Syuja:



.


( . 1 )369
Muhammad bin Ibrahim bin Sadillah (w. 733 H), dalam Tahrr Al-Ahkm f Tadbr Ahl Al-Islm:



.
( / 1 )48
Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H), dalam Al-Khilfah:


- -
( . / 1 )18

Muqayyadah, dalam Adhw Al-Bayn f dhh Al-Qurn bi Al-Qurn:


.
( . / 3 )25

22

Musthafa As-Suyuthi Ar-Rahibani Al-Hambal (w. 1243 H), dalam Mathlibu Uli An-Nuh f Syarh
Ghyah Al-Muntah:

( )
( . / 6
(263
Nashir bin Ali Aidh Hasan, dalam Aqdah Ahl As-Sunnah wa Al-Jamah fi Ash-Shahbah Al-Kirm:



( . / 2 )506
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, dalam Inah Al-Mustafd bi Syarh Kitb At-Tauhd:

.
( / 4 )6
Sulaimn bin Muhammad Al-Bujairami (w. 1221 H), dalam Hsyiyah Al-Bujairam Ala Al-Khathb:

( .
/ 12 )393
Sulaimn bin Muhammad Al-Bujairami (w. 1221 H), dalam Hsyiyah Al-Bujairami ala Syarh Al-Manhaj:

( . / 4
)204
Sulaimn bin Umar Al-Jamal (w. 1204 H), dalam Hsyiyah Al-Jamal Ala Al-Manhaj:

( )
( . / 10
)6
Syihabuddin Al-Qalyubi (w. 1068 H), dalam Hsyiyat Qulyb wa Umairata:


( . / 15 )102
Taqyuddin Ibn Taimiyyah (w. 728 H), dalam Majm Fatw Ibn Taimiyyah:


: :
. . :
.
: . :
. : .
( / 6 )379
.
( / 28 )390

( . / 1 )217
Taufiq bin Abdul Aziz As-Sadiri, dalam Al-Islm wa Ad-Dustr:


r

( . / 1 )91

23

Wahbah Az-Zuhaili, dalam Al-Fiqh Al-Islmi wa Adillatuh:

: :

. (
) ( ) .

: ( . / 8 )420
Yahya bin Abi Al-Khayr Al-Imrani (w. 558 H), dalam Al-Intishr f Ar-Radd al Al-Mutazilah AlQadariyyah Al-Asyrr:


.

( .
/ 3 )815
Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H), dalam Fath Al-Wahhb:

( ) ( .
/ 2 )268
Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H), dalam Asn Al-Mathlib:

( ) ( )
( ) ( ) (
) :
.
(
: ) r
( . / 19 )347
Khilafah bukan sekedar perkara wajib, tapi lebih daripada itu dia merupakan perkara yang mendesak dan
bahkan perkara terbesar dalam ajaran Islam. Hal ini diperjelas dengan ungkapan-ungkapan ulama berikut.
Abdurrahman bin Ahmad Al-Iji (w. 756 H), dalam Al-Mawqif:

( . / 3 )578

( . / 3 )581
Ibnu Al-Azraq (w. 896 H), dalam Badi As-Silk f Thabi Al-Milk:

:
( . / 1 )44
Ibnu Hajar Al-Haitsami (w. 974 H), dalam Ash-Shawiq Al-Muhriqah:









( . / 1 )25

24

Taqyuddin Ibn Taimiyyah (w. 728 H), dalam As-Siysah Asy-Syariyyah:


( . )170
Ibn Ruslan (w. 844 H), dalam Shafwah Az-Zabad (Zabad Ibn Rusln):

* ( . / 1 )15
Syamsuddin Ar-Ramli (w. 1004 H), dalam Ghyah Al-Bayn Syarhu Zabad Ibn Rusln:

( )

r
r ( .
/ 1 )15
Alauddin Al-Hashfaki Al-Hanafi (w. 1088 H), dalam Ad-Durr Al-Mukhtr fi Syarh Tanwr Al-Abshr:

( )
( . / 1 )590
Syamsuddin Abu Al-Aun As-Safarini (w. 1188 H), dalam Lawmi Al-Anwr:

:
. r
( / 2 )419
Betapa pentingnya keberadaan Negara Khilafah dan betapa bahayanya nasib umat Islam tanpanya. Semuanya
tergambar dalam ungkapan ulama berikut.
Abu Al-Hasan Al-Amidi (w. 631 H), Ghyah Al-Marm f Ilm Al-Kalm:


( . / 1 )367-366
Abu Muhammad Izzuddin Sulthnul-Ulam (w. 660 H), Qowid Al-Ahkm f Mashlih Al-Anm:



(
/ 2 )90
Al-Aththar (w. 1250 H), Hasyiyah Al-Aththar ala Syarh Al-Jalal Al-Mahalli ala Jamul-Jawami:


r
( . / 4
)215
Begitu mendesaknya kewajiban serta kebutuhan umat Islam terhadap tegaknya Khilafah juga tergambar pada
beberapa riwayat berikut.

: :

( .
/ 1 )62
: ! . :



:
. :
:
25


( . / 1 )476
Perkataan Khalifah Umar bin Khaththab ra. dalam bentuk larangan dengan tambahan Nn at-Taukd (huruf nn
yang menandakan penekanan) di atas, diucapkan di hadapan para sahabat dan tidak ada seorang pun dari
mereka yang mengingkarinya, hal tersebut mengisyaratkan terjadinya al-ijm as-sukt di antara mereka
bahwa kaum muslimin tidak boleh vacum dari kepemimpinan seorang Khalifah lebih dari tiga hari. Khilafah
adalah perkara serius dan mendesak, hal tersebut dapat dirasakan dalam sebuah riwayat yang dicantumkan
oleh Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Trkh ar-Rusul wa al-Mulk perkataan Khalifah Umar bin Al-Khaththab
berikut.

. :

:




( .
/ 2 )421

Perkataan Umar bin Khaththab ra. di atas menginformasikan bahwa dibunuhnya 1-2 orang yang menghambat
proses pengangkatan Khalifah lebih utama daripada tathl al-ahkm asy-syariyyah (menelantarkan hukumhukum Allah SWT), dimana hal tersebut akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar dari pada hanya
terbunuhnya 1-2 orang, dan mudharat itu sudah dan sedang dirasakan oleh kaum muslimin sejak keruntuhan
Khilafah sampai detik ini. Khalifah adalah pelindung bagi kaum muslimin, sebagaimana dalam hadits Nabi
Muhammad saw:

: r

( . / 3
)1080
Demikian besarnya perkara Khilafah di mata generasi terdahulu kaum muslimin, hal itu tidak lepas dari
pemahaman mereka terhadap pentingnya penerapan Syariat Allah SWT secara menyeluruh dan sempurna.
Kebutuhan manusia terhadap Syariat adalah segalanya, lebih mendesak daripada kebutuhan mereka kepada
makanan dan minuman, bahkan lebih mendesak daripada kebutuhan mereka kepada udara untuk bernfas.
Berikut apa yang dikatakan oleh Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah.





r

( . / 2 )2
Dalam salah riwayat yang terhimpun dalam kitab Trkh Al-Umam wa Al-Mulk karya Imam Ath-Thabari (w. 310
H) diceritakan, bahwa Muhammad bin Abi Bakar ra. pernah bersyair demikian:

*
*
*
( / / 2 )673

26

D. Menjawab Keraguan-Keraguan
Keraguan-keraguan yang dicantumkan di sini disarikan dari pernyataan-pernyataan beberapa kalangan yang
belum sependapat dengan usaha penegakan Khilafah.
1. 1. Keraguan Pertama: Khilafah adalah perkara yang bersifat ijtihdiyyah, sebab memang tidak ada
perintah konkret (jelas dan pasti) baik di dalam Al-Quran maupun hadis Rasul yang mewajibkan umat
Islam untuk mendirikannya.
Jawab:
Meskipun saat ini wacana tentang Negara Khilafah banyak diperdebatkan, namun ia bukan termasuk
permasalahan yang bersifat ijtihdiyyah. Sebagaimana yang telah dipaparkan, nash-nash yang mewajibkan
berdirinya Negara Khilafah (meskipun tidak secara langsung) sudah sangat jelas, bahkan nyaris semua ulama
terdahulu sepakat akan wajibnya Negara Khilafah kecuali satu-dua orang saja, itu pun dari kalangan Khawarij
dan Mutazilah. Imam Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji menuturkan dalam karyanya, kitab dengan judul AlImmah Al-Udhm inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jamah halaman 45:


)45 ( .
Imam Asy-Syahrastni mencantumkan dalam kitabnya Nihyah Al-Iqdm f Ilmi Al-Kalm ungkapan berikut.

.
)169 / 1 (
Al-Ashamm yaitu Abu Bakar Abdurrohman bin Kaisan Al-Ashamm:

)402 / 9 ( .

dan Al-Futhi, yaitu Hisyam bin Amr Abu Muhammad Al-Futhi:

.
)547 / 10 ( .
Sumber terpercaya di atas mengungkap dengan jelas bahwa Al-Ashamm dan Al-Futhi keduanya adalah tokoh
Mutazilah. Jadi, penolakan atas wajibnya menegakkan Negara Khilafah sebenarnya sudah ada sejak dulu,
yaitu oleh An-Najdat dari kalangan Khawarij, dan sekelompok orang dari kalangan Mutazilah yang dimotori Abu
Bakar Al-Ashamm dan Hisyam bin Amr Al-Futhi.
Adapun catatan sejarah tentang An-Najdat dari gologan Khawarij, mereka mengatakan bahwa kewajiban
Khilafah tidak memiliki dasar sama sekali, baik secara Aqaly maupun Naqly. Pendapat nakal tersebut
kemudian dijawab oleh Madzhab Ahlussunnah sebagaimana yang dikutip oleh Imam Asy-Syahrastani dalam
kitabnya Nihyah Al-Iqdm f Ilm Al-Kalm berikut ini.



( .
)171 / 1
1. 2. Keraguan Ke-2: Khilafah bukan termasuk pembahasan akidah sehingga membuka peluang untuk
diperbolehkannya berbeda pendapat.

Jawab:
Secara praktis Khilafah memang termasuk dalam ruang lingkup Syariah, namun dalam hal meyakininya
sebagai suatu kewajiban dalam Islam, Khilafah adalah perkara yang masuk ke dalam ruang lingkup akidah,
sehingga kesalahan dalam meyakininya sebagai suatu kewajiban adalah haram hukumnya, sebagaimana
haramnya kesalahan dalam meyakini wajibnya Qishash, Jihad, Memakamkan Jenazah dan perkara-perkara
fardhu kifayah lainnya. Kerena adanya kesalahan dalam meyakini inilah kemudian Imam Al-Ghazali
memasukkan perkara Khilafah dalam pembahasan akidah dalam kitabnya Al-Iqtishd fi Al-Itiqd, Imam AsySyahrastani mengingatkan:



)168 / 1 ( .
Demikian pula Imam Al-Aththr juga menjelaskan dalam kitabnya:




(.
)205 / 6
Pernyataan bahwa umat Islam boleh berbeda pendapat selain dalam hal akidah juga tidak benar, karena dalam
hal Syariat pun, jika termasuk perkara pokok atau perkara yang Malm minad-Dn bidh-Dharrah maka di
antara umat Islam tidak boleh terdapat perbedaan pendapat. Contoh: jumlah rakaat shalat fardhu yang lima,

27

Imam dan Khathib Jumat dari kaum laki-laki, terpisahnya shaff laki-laki dari shaff wanita dalam shalat
berjamaah, Larangan menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim dll. (tanpa melihat lagi apakah
dalam hal Ubdiyyah atau Mumalah).
1. 3. Keraguan Ke-3: Khilafah tidak termasuk dalam Rukun Islam, sehingga tanpa memperjuangkan/
menerapkannya tidak akan mempengaruhi keislaman seseorang.
Jawab:
Pemahaman yang demikian tidaklah benar, karena di dalam Islam banyak sekali kewajiban-kewajiban yang
tidak termasuk dalam rukun Islam. Misalnya kewajiban berbuat baik kepada orang tua, mentaati suami,
menafkahi istri, berjihad, shalat jenazah dll. Sangat keliru jika mengatakan semua itu tidak wajib karena tidak
termasuk dalam rukun Islam.
Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rajab dalam menjelaskan kewajiban Jihad berikut ini rupanya perlu untuk
diperhatikan dengan seksama:

. :

: : :
: .

)13-14 / 5 ( .

Beliau mengatakan bahwa kewajiban Jihad tidak termasuk rukun Islam dikarenakan dua hal: Pertama, karena
hukumnya fardhu kifayah; Kedua, karena aktivitasnya tidak bersifat permanen, artinya aktifitas jihad akan
berhenti jika Islam menguasai dunia.
Kewajiban menegakkan Negara Khilafah memenuhi dua kriteria tersebut, mengangkat khalifah hukumnya
fardhu kifayah dan kewajiban tersebut gugur saat ada seorang Khalifah yang benar-benar diangkat
(aktivitasnya tidak dilakukan terus-menerus secara rutin atau tidak selalu ada). Sehingga orang yang hidup di
sela-sela berlangsungnya masa kekhilafahan, tidak ada kewajiban baginya untuk berjuang menegakkan Negara
Khilafah, namun yang ada adalah kewajiban taat kepada Khalifah.
Demikian juga kewajiban berbuat baik kepada orang tua, hanya berlaku selama seseorang masih memiliki
orang tua atau tahu siapa orang tuanya, juga menaati suami hanya berlaku saat seorang muslimah sudah atau
masih memiliki suami, demikian pula menafkahi istri. Artinya, aktivitas tersebut tidak terus-menerus dilakukan
atau ada pada setiap individu muslim sebagaimana rukun Islam yang lima. Adapun untuk Ibadah Haji, karena
dalam perintahnya terdapat keterangan bagi yang mampu (sekali seumur hidup), maka dia mendapat
pengkhususan dalam hal ini, namun kewajiban tersebut tetap ada pada diri setiap muslim.
1. 4. Keraguan Ke-4: Khilafah akan mengancam komunitas Non-Muslim, tidak sesuai dengan semangat
keindonesiaan yang pluralis.
Jawab:
Negara Khilafah bukan negara yang homogen, hal tersebut ditandai dengan banyaknya pengaturan dalam
kitab-kitab fiqh ternama, tentang kedudukan, hak dan kewajiban kaum non-muslim dibawah naungan Khilafah.
Misalnya apa yang dikatakan Imam Syafii berikut.

( )






)223 / 4 ( .
Istilah Drul-Islm yang digunakan oleh Imam Asy-Syafii di atas menunjukkan Negara yang di dalamnya
diberlakukan Syariat Islam, yaitu Negara Khilafah. Orang-orang non-muslim akan berada di bawah naungan
serta perlindungannya selama mereka mau membayar jizyah, hal tersebut sudah menjadi malm[un] min addn[i] bi adh-dharrat[i]. Penarikan jizyah bukan bentuk keotoriteran Khalifah yang notabene adalah orang yang
menjalankan kekhilafahan, namun semata-mata memenuhi perintah Allah SWT yang berbunyi:





:

]29/ [



Karena secara maknawi Khalifah hanya seorang ajr (pekerja), yang dipekerjakan oleh Allah SWT dalam
menerapkan hukum-hukumNya. Sebagaimana tampak pada ungkapan Imam Abdullah Al-Atsariy berikut.


( .
)132 / 1
28

Setelah membayar jizyah, maka hak kewarganegaraan non-muslim adalah sebagaimana kewarganegaraan
kaum muslimin. Berkewajiban membela dan mempertahankan Negara dan berhak mendapatkan perlindungan
dan kesejahteraan darinya. Nabi saw bersabda:

: r
)2533 / 6 ( .
Demikian pula Imam Ath-Thahaw menjelaskan dalam kitabnya, Syarh Mani Al-tsr:

r
:
.
)195 / 3 ( .
Dalam contoh penerapannya, berikut kami kutipkan redaksi lengkap surat Khalifah Umar bin Al-Khaththab
kepada kaum Nasrani saat pembebasan Baitul-Maqdis, tergambar di dalamnya betapa mulianya Islam. Tidak
heran jika kemudian banyak dari mereka yang memeluk Islam:

.








.
.
)308 / 2 ( .

1. 5. Keraguan Ke-5: Mengingat banyaknya aliran atau madzhab di tengah-tengah kaum muslimin,
penegakan Negara Khilafah menjadi sangat sulit bahkan mustahil untuk bisa terwujud. Dengan kata
lain, Khilafah menurut madzhab siapakah yang akan diterapkan?

Jawab:
Perlu diketahui bahwa selain toleransi atas keberadaan warga yang non-muslim (selama mereka patuh
terhadap ketetapan-ketetapan yang diberlakukan atas mereka), ternyata Negara Khilafah juga toleran terhadap
adanya perbedaan dalam tubuh umat Islam sendiri, dengan syarat perbedaan tersebut tidak menyangkut
perkara ushl (pokok) dan tidak berpotensi memicu terjadinya perpecahan.
Negara Khilafah bukan negara madzhab, sehingga dia tidak boleh mengadopsi suatu madzhab tertentu
(sekalipun dianggap paling benar) serta memaksakan madzhab tersebut kepada seluruh warganya. Contoh
penerapan dari konsep ini tergambar pada riwayat berikut, yang menggambarkan betapa seorang Khalifah
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bertindak otoriter memaksakan suatu madzhab tertentu kepada warga Negara
Khilafah yang dipimpinnya, karena sepemahaman Beliau hal tersebut tidak boleh dilakukan dan tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.

: :

(. : :
)137 / 52

Perbedaan yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah perbedaan dalam perkara-perkara fiqhiyyah bukan
yang lainnya, hal ini ditandai dengan digunakannya lafadz fuqahuhum (para ahli fiqh mereka).
Hal serupa juga tergambar pada nasehat Imam Malik bin Anas kepada Khalifah Abu Jafar Al-Manshur yang
berniat untuk mengadobsi madzhab Beliau (Madzhab Maliki) sebagai madzhab yang wajib diikuti oleh setiap
muslim di seluruh penjuru Negara Khilafah saat itu.


: :


:

: :

r
29

:
.
)158 / 2 (
Kata azamtu (saya berkeinginan kuat) menandakan bahwa penyeragaman madzhab saat itu belum
dilakukan, karena masih berupa keinginan. Hal itu sekaligus membuktikan bahwa kondisi Negara Khilafah yang
ideal yang selama itu berjalan adalah ketika tidak memihak kepada suatu madzhab tertentu.
Dua riwayat di atas sekaligus juga menjawab keputus-asaan mereka yang mengatakan bahwa menyatukan
kaum muslimin dengan berbagai macam perbedaan yang dimilikinya adalah tidak mungkin alias mustahil,
jawabannya adalah sangat mungkin karena kondisi tersebut pernah terjadi, di antaranya yaitu pada masa
kepemimpinan Khalifah Al-Mashum Billah (julukan untuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan masa
kepemimpinan Khalifah Al-Mustanshir Billah (julukan untuk Khalifah Abu Jafar Al-Manshur) yang dikhabarkan
pada riwayat di atas.
Jadi, seorang muslim tidak perlu khawatir akan kebermadzhabannya jika Negara Khilafah kembali tegak,
karena sekali lagi Negara Khilafah bukan negara madzhab, dan memang tidak boleh bermadzhab.
Adapun jika Negara Khilafah hendak mengadobsi suatu pendapat tertentu berkenaan dengan permasalahanpermasalahan yang dapat memicu perpecahan dalam tubuh umat Islam, hendaknya pengadobsian tersebut
tidak mengatasnamakan madzhab tertentu meskipun pendapat tersebut sejalan dengan pendapat madzhab
tersebut, melainkan murni merupakan pendapat yang dipilih oleh Khalifah sebagai pendapat terkuat di antara
pendapat-pendapat lainnya (tentunya setelah melalui proses tarjih yang sangat ketat).
Sedangkan untuk perbedaan dalam perkara ushl (pokok), Negara Khilafah harus bersikap tegas dan teliti
dalam memilah atau menyeleksi berbagai pemikiran/ajaran yang muncul dan berkembang di tengah-tengah
umat, langkah tersebut diambil tidak lain adalah demi kemurnian ajaran Islam. Dalam hal ini Negara Khilafah
berperan sebagai hris (penjaga) bagi agama yang dijadikan sebagai fondasi, sebagaimana ungkapan Imam
Al-Ghazali:

( .

)76

1. 6. Keraguan Ke-6: Sistem Negara termasuk urusan dunia, sehingga pilihan diserahkan kepada
manusia untuk mengatur dunianya (tidak harus dengan Khilafah).
Jawab:
Biasanya Sabda Nabi saw yang digunakan sebagai argumentasi diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim berikut ini:

Jika dilihat dari Asbb Al-Wurd-nya, menjadikan hadits tersebut untuk dasar penolakan terhadap ide Khilafah
adalah tidak benar. Karena redaksi lengkap hadits tersebut adalah:

. r
.
)95 / 7 ( .
Tampak jelas bahwa hadits tersebut muncul berkenaan dengan cara mengawinkan pohon kurma, perkara dunia
yang hukumnya mubah, dengan kata lain tidak ada unsur pahala dan dosa di dalamnya. Sama halnya dengan
cara menanam padi yang dalam bahasa jawa disebut tandhur singkatan dari nata mundhur (menata sambil
berjalan mundur) yang biasanya memang dilakukan dengan berjalan mundur kebelakang, ini juga termasuk
urusan dunia yang mubah. Artinya, meskipun aktifitas menanam padi tersebut dilakukan dengan maju ke depan
atau bergerak ke samping tidaklah mendatangkan dosa bagi pelakunya.
Khilafah memang menyangkut urusan dunia, namun tidak sekedar itu karena Khilafah juga berkenaan dengan
hukum Syara yang terdapat unsur pahala dan dosa di dalamnya, karena ternyata banyak perintah-perintah
Allah SWT dan RasulNya tidak bisa dilaksanakan tanpanya. Berikut ini penjelasan Imam An-Nawawi tentang
maksud dari perkara dunia dalam hadits tersebut atau hadits serupa lainnya:

) r (
r

r
r

r
r
)116 / 15 ( .
Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa paham Sekularisme sangat bertentangan dengan Islam, karena ajaran
Islam tidak mengenal pemisahan perkara agama dan dunia, yang ada justru bagaimana mengurus dunia ini
dengan petunjuk Allah SWT Imam Al-Ghazali berkata:

30



)76 / 1 ( .
1. 7. Keraguan Ke-7: Maqshid Asy-Syarah adalah maslahat, sehingga hukum buatan manusia pun
diperbolehkan (sistem selain Khilafah) selama mendatangkan maslahat, sedangkan mendirikan Negara
Khilafah harus dihindari karena bisa mendatangkan Fitnah/Mudharat.
Jawab:
Maslahat bukan termasuk sumber hukum di dalam Islam, sehingga berlaku atau tidaknya suatu hukum tidak
tergantung pada ada atau tidaknya maslahat. Alasannya adalah karena maslahat bersifat dzanni (dugaan),
sedangkan hukum Islam tidak boleh berasal dari sumber yang bersifat dzanni. Yaitu, tidak semua yang
dianggap maslahat oleh manusia adalah benar adanya. Bukankah Allah SWT dengan begitu jelas dalam
firmanNya telah menyatakan:

:

]216/ [

Meskipun tingkatannya adalah ghalabatudz-dzann (dugaan terkuat) dia tetap tidak bisa dijadikan sebagai
sandaran hukum. Imam Al-Amidi dalam kitab Ushul Fiqhnya mengatakan:

/ 4 ( .

)7

Imam Al-Ghozali bahkan mengatakan bahwa ber-istishlh (berpendoman kepada maslahat), bagaikan
membuat syariat baru:

)451 / 1 ( .

Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik ra. ber-istishlh, kalaupun riwayat tersebut memang
benar bersumber darinya (karena para pengikut Beliau justru mengingkari riwayat tersebut), maka yang benar
adalah tidak dimaksudkan secara mutlak. Berikut Imam Al-Amidi berkata:




)160 / 4 ( .
Tentang apakah hukum buatan manusia bisa menandingi hukum Allah SWT dalam hal maslahat, berikut ini
adalah ungkapan Imam Abdul Qdir Audah, dalam muqaddimah kitabnya At-Tasyr Al-Jini Al-Islm
Muqranan bi Al-Qnn Al-Wadh, yang berisikan perbandingan antara hukum syariat yang dulu pernah
diterapkan selama kurang lebih 13 abad, dengan hukum buatan manusia yang terus bermetamorfosa hingga
saat ini.





.




)2 / 1 ( .
Beliau menyatakan bahwa keunggulan Syariat Islam secara umum adalah:

.


( .
)188 / 1
Meskipun kemaslahatan diduga dapat dicapai tanpa menerapkan sistem Khilafah, hal tersebut tidak
menggugurkan kewajiban Khilafah, sebagaimana ungkapan Imam An-Nawawi berikut.


)191 / 19 ( .
Diantara Ahli Kalam yang berpaham seperti itu adalah Al-Ashamm, Imam Al-Qurthubi menyebutkan pendapat
batil itu dalam kitab tafsirnya.

31


:


( .
)264 / 1
Bahkan Beliau (Imam Al-Qurthubi) menyebutkan bahwa orang yang menolak wajibnya mengangkat Khalifah
sebagai orang yang buta terhadap syariat Islam (nadzubillh min dzlik).
Adapun ayat-ayat yang sering dijadikan dalil yang memperbolehkan maslahat sebagai sumber hukum,
sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Misalnya:

]107/ [

:



:

]82/[

Lafadz rahmat[an] pada ayat pertama serta syif[un] dan rahmat[un] pada ayat kedua tidak menunjukkan
maslahat sebagai sabab (sebab), melainkan ghyah (tujuan) daripada tasyr atau ketetapan Allah SWT.
Demikian pula ayat-ayat lainnya seperti:

:
]56/ [


]14/ [:
]45/ [:






:
]183/[
)174 / 8 ( . : r

Dan masih banyak lagi. Ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan sebab dari ketetapan Allah SWT, melainkan
tujuan daripadanya. Beribadah kepada Allah SWT adalah tujuan penciptaan jin dan manusia, bukan penyebab
diciptakannya jin dan manusia. Artinya, jin dan manusia ditetapkan oleh Allah SWT menjadi ada dengan tujuan
agar mereka beribadah kepada-Nya, bukan karena disebabkan peribadatan mereka kemudian Allah SWT
menciptakan mereka. Ini terbukti sekalipun mereka tidak ada yang beribadah kepada Allah SWT, mereka tetap
ada dan Dia tetap adalah Dzat yang maha kaya.

]8/ [
:

)326 / 1 (

Pencapaian ghyah (tujuan) sifatnya belum pasti, berbeda dengan sabab (sebab) dimana keberadaannya
secara pasti menjadikan sesuatu yang lain ada, sebagaimana definisi sabab oleh Imam Ar-Razi dalam Mukhtr
Ash-Shahhh-nya:
Jadi jika itu sebab maka penyembahan terhadap Allah SWT-lah yang menjadikan jin dan manusia tetap ada,
namun yang ada bukan demikian.
Begitu juga mengingat Allah SWT dan meninggalkan perbuatan keji dan munkar bagi orang yang melakukan
shalat, derajat takwa dan kesehatan pada orang yang berpuasa, dll. Semua itu bukan sebab pensyariatan
melainkan tujuan, yaitu tujuan disyariatkan shalat adalah untuk mengingat Allah SWT dan menghindarkan dari
perbuatan keji dan munkar, tujuan disyariatkannya puasa adalah membentuk orang yang bertakwa dan sehat,
dst. Sehingga tidak menutup kemungkinan ada orang yang shalat namun tidak mengingat Allah SWT (lalai) dan
masih saja berbuat maksiat, atau orang berpuasa tapi tidak memperoleh derajat takwa dan justru sakit-sakitan
dst. Yang demikian ini adalah praktek yang tidak sesuai dengan tujuan.
Merupakan kesalahan besar jika memahaminya sebagai sebab, sehingga mengatakan tidak perlu shalat
selama masih ingat Allah SWT dan terhindar dari perbuatan keji dan munkar, atau tidak usah puasa selama
bertakwa kepada Allah SWT dan masih sehat, dst.
Maka tidak benar bagi mereka yang beranggapan bahwa kemaslahatanlah yang menyebabkan adanya Khilafah
di zaman sahabat sehingga ketika maslahat itu bisa dicapai tanpa Khilafah (dengan sistem lain), Khilafah
menjadi tidak wajib, tapi yang benar adalah disyariatkannya Negara Khilafah adalah bertujuan untuk
kemaslahatan umat Islam dan manusia pada umumnya, dan kewajiban tersebut berlaku sampai kapanpun.
1. 8. Keraguan Ke-8: Mengangkat Khalifah hukumnya Fardhu Kifayah, karena sudah ada sebagian umat
Islam yang mengusahakan, maka sudah gugur kewajiban dan tidak perlu melibatkan diri.
Jawab:
Fardhu ada dua macam, fardhu kifayah dan fardhu ain. Dari sisi kwajiban, fardhu kifayah dan fardhu ain
adalah sama (sama-sama fardhu), meskipun dari sisi pelaksanaannya berbeda. Lagi-lagi Imam Al-Amidi dalam
kitabnya Al-Ihkm f Ushl Al-Ahkm menegaskan:


)100 / 1 ( .
32

Jika fardhu kifayah itu belum selesai ditunaikan maka kewajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas
pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif. Imam Asy-Syirazi, dalam kitab Al-luma fii Ushul Alfiqh, menjelaskan:



)82 / 1 ( .
Dan menurut Imam An-nawawi, apabila kewajiban tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki
kifayah maka beban (kewajiban) tersebut gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban
tersebut, semuanya berdosa. Dalam kitabnya Al-Majmu Syarh Al-muhadzdzab dikatakan:


.
)128 / 5 (
Dan dalam kitab Fath Al-Mun, Al-Allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menambahkan
catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi meninggalkan kwajiban tersebut berdosa. Berikut
tabir Beliau:

( ) .
. :
)206 / 4 ( .
Berikut ungkapan Imam An-Nawawi Ad-Dimasyq, dalam karyanya Raudlah Ath-Thlibn wa Umdah Al-Muftn:

.
)111 / 4 (
Dari ungkapan para Ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a) Meskipun Fardhu Kifayah tidak menuntut peran dari seluruh mukallaf kaum Muslimin, tapi yang menjadi
titik perhatian adalah kata kifayah, jika kompetensi dan jumlah memadahi untuk mengangkat sorang
Khalifah maka sudah cukup, dan itu ditandai dengan benar-benar diangkatnya seorang Khalifah, dan
terbentuknya Negara Khilafah. Jika belum maka masih menuntut yang lain dan terus demikian hingga
sempurna pelaksanaannya.
b) Kwajiban yang terkategorikan Fardhu Kifayah dikatakan gugur apabila telah ditunaikan dengan
sempurna. Kewajiban mengangkat Khalifah gugur saat Khalifah benar-benar sudah diangkat
sebagaimana kewajiban sholat jenazah gugur saat jenazah benar-benar sudah dishalati. Jika belum,
maka kewajiban tersebut masih menjadi tanggungan bersama (seluruh mukallaf dari kaum Muslimin).
c) Meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa, dan
ketidaktahuan bukanlah alasan.
9. Keraguan Ke-9: Masyarakat masih belum siap untuk melaksanakan syariat Islam secara penuh,
dan mereka tidak mampu menegakkan Khilafah sehingga gugur kewajiban bagi mereka (dikarenakan
udzur tersebut).
Jawab:
Ketidaksiapan masyarakat dalam menerapkan Syariat Islam secara menyeluruh dengan wadah Negara
Khilafah tidak bisa menjadi alasan untuk meninggalkan sama sekali kewajiban tersebut. Maka dibutuhkan
persatuan kaum muslimin terutama para ulama demi menyamakan gerak dalam mensosialisasikan Syariat
Islam, menjadikan masyarakat Indonesia lebih siap dalam hal tersebut. Demikianlah sikap umat Islam dan para
ulama seharusnya, bukan justru memandang dengan sinis atau bahkan menyerang ide tersebut dengan
menyebarkan berbagai macam keraguan dan fitnah. Nadzu bi Allh min Dzlik.
Berikut kutipan dari perkataan Abu Ishq dalam kitab Anwr Al-Burq f Anw Al-Furq karya Imam
Syihabuddin Al-Qarafi:






(.
)480 / 2
Jika Negara Khilafah belum terwujud maka semua kaum muslimin (yang jumlahnya mencapai sekitar 1,5
Milyar) memiliki tanggungjawab bersama untuk segera mewujudkannya, dan tidak diperbolehkan bagi mereka
yang telah mengetahuinya untuk berdiam diri dari perkara tersebut dengan alasan tidak mampu. Demikian juga
bagi yang belum tahu, mereka dituntut oleh syara untuk mengetahuinya sebagaimana mereka dituntut untuk
mengetahui hukum-hukum syara lainnya.

33

10. Keraguan Ke-10: Khilafah yang seperti apakah yang akan ditegakkan? Bukankah sejarah
mengatakan bahwa Khilafah adalah pemerintahan yang penuh pertikaian.
Jawab:
Ada dua hal yang perlu dijelaskan dalam menanggapi ungkapan tersebut.
1. Pertama: Bentuk Negara Khilafah yang seperti apakah yang akan ditegakkan?
Istilah Khilfah al Minhj An-Nubuwwah (Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian) dalam hadits Nabi
saw:

r


)355 / 30 ( .
Menunjukkan bahwa model kekhilafahan pada masa yang disebutkan oleh hadits di atas adalah model
kekhilafahan yang ideal, sebutan Khilfah al Minhj An-Nubuwwah (Khilafah yang sesuai dengan metode
kenabian) menandakan kekhilafahan pada masa itu adalah kekhilafahan yang sesuai dengan apa yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad saw Jadi model Khilafah yang demikianlah yang ideal dan hendak ditegakkan.
Untuk lebih mengetahui kapan masa Khilfah al Minhj An-Nubuwwah itu pernah ada, maka hadits berikut ini
yang menjawab:

r :
:
3 ( .
)75 /
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, dalam kitab Sunan-nya dengan nomor hadits 4028, juga
Ath-Thabarani dalam Al-Mujam Al-Kabr, nomor hadits 6330, dan Al-Baihaqi dalam Dalil An-Nubuwwah,
nomor hadits 2619. Dari sini jelas bahwa kekhilafahan yang hendak ditegakkan adalah kekhilafahan
sebagaiamana masa Al-Khulaf Ar-Rasyidn, berikut Imam Al-Asyari menuliskan dalam kitab Maqlt AlIslmiyyn:

r
)111 / 1 ( .
Hal ini sebanding lurus dengan hadits Nabi saw berikut.

- - r

) ( .

Adapun perbedaan yang terjadi selama masa tersebut, misalkan perbedaan cara pengangkatan Khalifah,
selama itu berupa Ijma Sahabat maka itu termasuk cara-cara yang diperbolehkan menurut syara. Tetapi
apabila terjadi penolakan dari kalangan sahabat, sebagaimana misalnya penolakan Abdurrahman bin Abi
Bakar, Abdullah bin Umar, Husain bin Ali, Abdullah bin Az-Zubair dan Ibnu Abbas atas baiat yang dilakukan
oleh Muawiyah terhadap putranya Yazid dengan cara pewarisan sebagaimana yang ditulis oleh Imam Ibnu
Katsir berikut.





8 ( .
)86 /
Ini menandakan telah terjadi penyimpangan dalam hal cara pengangkatan Khalifah. Rasulullah saw dan para
Al-Khulaf Ar-Rasyidn tidak pernah mengajarkan pengangkatan Khalifah dengan cara pewarisan.
Abudurrahman bin Abi Bakar mengatakan yang demikian itu adalah ajaran Kisra dan Qaishar bukan ajaran Abu
Bakar dan Umar bin Al-Khaththab.

:
:
)80 / 1 ( .
Yang demikian inilah cikal bakal munculnya Khilafah Bani, maka muncullah setelah itu kekhilafahan Bani
Umayyah dan kekhilafahan Bani Abbasiyyah. Meskipun terdapat penyimpangan, namun bentuk pemerintahan
Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah masih tetap disebut sebagai bentuk Negara Khilafah, hal tersebut dilihat
dari sisi pengangkatan Khalifah yang masih menggunakan metode baiat, asas Negara adalah Akidah Islam,
keamanan wilayah berada di tangan kaum muslimin, dan hukum yang diterapkan di dalamnya adalah hukum
Islam (terlepas dari adanya beberapa penyimpangan yang terjadi).

34

Adapun peristiwa perang saudara (semisal perang Jamal) yang terjadi di sela-sela masa kekhilafahan AlKhulaf Ar-Rasyidn akan dijelaskan pada uraian berikutnya.
1. Kedua: Bisakah mengambil peristiwa sejarah kekhilafahan yang menyimpang untuk menghukumi
konsep Negara Khilafah yang ideal?
Menghukumi konsep sistem Khilafah dengan peristiwa sejarah adalah tidak adil, karena pelaku sejarah adalah
manusia yang tidak mashm (terbebas dari kesalahan/dosa), ketidak-mashm-an inilah yang memungkinkan
terjadinya kesalahan dalam penerapan sistem Khilafah, sehingga tidak boleh misalnya menafikan kewajiban
Khilafah hanya karena kesalahan yang dilakukan oleh Yazid atau ayahnya, Muawiyah bin Abi Sufyan ra.
Dikatakan hal tersebut tidak adil karena fakta penerapan kadang kala tidak sesuai dengan konsep yang
semestinya dijalankan, artinya kadang kala terjadi Al-Is-h fi At-Tathbq (kesalahan implementasi). Sehingga
peristiwa semisal perang Jamal yang disebabkan oleh kesalahan Ijtihad, tidak bisa menjadi alasan untuk
kemudian tidak menerapkan sistem Khilafah, sama juga halnya kesalahan dalam menyelenggarakan jenazah
oleh beberapa orang, hal tersebut tidak kemudian menjadikan aktifitas memakamkan jenazah menjadi tidak
wajib dan ditinggalkan.
11. Keraguan Ke-11: Menegakkan kembali Negara Khilafah di tengah-tengah zaman yang terus
berkembang dengan berbagai problematikanya yang semakin kompleks adalah sebuah langkah
mundur yang konyol.
Jawab:
Umat Islam yang merupakan umat akhir zaman, memiliki keimanan terhadap kesempurnaan ajaran Islam yang
terkandung dalam potongan ayat:



:
]3/ [

]89/ [

:

Kesempurnaan tersebut mencakup segala aspek kehidupan manusia, dan berlaku terus atas mereka kapan
dan dimanapun mereka berada. Islam mampu menjawab segala problematika kehidupan manusia, Allah SWT
sendiri yang menyatakan hal tersebut dalam firmanNya:
Imam Ibnu Katsir mengutip perkataan Imam Ibnu Masud ra. dalam menafsirkan ayat tersebut dalam kitab
tafsirnya.

:
(. ( )
)595-594 / 4
Secara konseptual, Islam adalah pandangan hidup sempurna yang tidak akan pernah kadaluwarsa. Demikian
pula secara praktis, selain merupakan sistem operasional yang aplikatif, dengan adanya mekanisme Al-Ijtihd
Asy-Syar (penggalian hukum yang sesuai syara), ajaran Islam terbukti selalu memberikan solusi terhadap
berbagai problematika kehidupan manusia yang terus bermunculan. Hal tersebut yang menjadikan Islam selalu
aktual.
Negara Khilafah adalah wadah dari keberlangsungan hidup kaum muslimin dengan segala bentuk
perkembangan zaman yang mereka hadapi, bahkan dunia dan catatan sejarah telah mengakui bahwa
kemajuan sains dan teknologi yang terjadi di zaman sekarang ini justru berawal dari prestasi gemilang yang
telah dicapai kaum muslimin saat mereka hidup di bawah naungan Negara Khilafah.
Syariat Islam adalah seperangkat hukum yang mengatur kehidupan manusia agar mereka hidup sesuai
dengan tujuan diciptakannya mereka, yaitu taat kepada Allah SWT. Dia mengatur segala bentuk aktivitas
manusia yang semuanya bermuara pada potensi kehidupan yang dimilikinya, potensi kehidupan tersebut yang
terdiri dari akal, naluri, dan kebutuhan jasmani tidak pernah berubah seiring dengan perubahan zaman,
bahkan hingga hari akhir nanti (Insy-Allh), yang berubah hanyalah benda-benda di sekeliling mereka. Atas
dasar inilah syariat Islam tidak akan pernah kadaluwarsa.
12. Keraguan Ke-12: Khilafah adalah hadiah yang diberikan oleh Allah SWT untuk kaum muslimin jika
mereka berakidah dengan benar dan berjalan di atas manhaj yang lurus, sehingga tidak perlu
diperjuangkan dan tidak perlu menyibukkan diri dengannya.
Jawab:
Ada hal penting yang harus diperhatikan yang bisa berpengaruh fatal, yaitu antara memahami Khilafah sebagai
kewajiban yang harus diperjuangkan/diwujudkan dan memahami Khilafah sebagai keniscayaan serupa
anugerah atau lebih tepatnya hadiah bagi orang-orang yang beriman, dan pemahaman bahwa
memperjuangkan Khilafah berarti mengesampingkan akidah.
Memahami Khilafah sebagai kewajiban dan memahaminya sebagai hadiah, dari dua pemahaman yang berbeda
tersebut akan menimbulkan aktivitas yang berbeda, yaitu orang yang memahami Khilafah sebagai kewajiban
dia akan berusaha menegakkan/mewujudkannya meskipun pada waktu yang bersamaan terdapat
kemungkaran di bidang akidah. Namun tidak demikian bagi orang yang memahami Khilafah hanya sebagai
hadiah, sehingga yang dilakukan adalah aktivitas lain, mengingat hadiah berbeda dengan ujrah (upah),
sehingga ada dan tidaknya dia tidak terlalu diperdulikan atau diharapkan.
Sebagai contoh Jihad mengusir penjajah dari bumi Palestina. Bagi orang yang menganggapnya sebagai
kewajiban maka dia akan berusaha menunaikannya meskipun dalam waktu yang bersamaan terdapat
kemungkaran dalam hal akidah, namun bagi yang memahaminya sebagai hadiah daripada akidah yang benar

35

maka orang tersebut akan disibukkan dengan perkara akidah, tanpa memperdulikan hadiahnya, ada atau
tidak.
Yang benar adalah keduanya tidak boleh dipisahkan. Akidah yang benar akan melahirkan dorongan untuk
menerapkan hukum-hukum Allah SWT yang secara praktis berbentuk institusi Negara Khilafah, demikian pula
sebaliknya memperjuangkan penerapan hukum-hukum Allah SWT tidak akan berjalan dengan baik tanpa
adanya akidah yang benar karena dorongan tersebut adalah konsekuensi daripadanya.
13. Keraguan Ke-13: Sistem Khilafah tidak memiliki jati diri, karena dia juga mengadobsi hal-hal yang
berasal dari luar Islam. Misalnya dalam hal administrasi negara, kekhilafahan di masa Khalifah Umar
bin Khaththab mengadobsi sistem Ad-Dwn dari negeri Persia.
Jawab:
Memang benar bahwa Khalifah Umar bin Khaththab mengadobsi bentuk administrasi Negara Persia untuk
diterapkan di dalam Negara Khilafah, namun hendaknya yang perlu diperhatikan adalah bahwa hal yang
diadobsi tersebut (sistem administrasi) tidak berkenaan dengan pandangan hidup yang dianut oleh orang-orang
Persia, atau dengan kata lain hal tersebut termasuk dalam wilayah amru dunykum (perkara dunia kalian) yang
tidak ada unsur halal dan haram di dalamnya, artinya mengadobsi atau tidak sistem administrasi Negara Persia
tidak berpengaruh pada pahala dan dosa bagi kaum muslimin. Hal tersebut dilakukan demi untuk memudahkan
penerapan syariat Islam di seluruh penjuru Negara Khilafah yang wilayahnya saat itu semakin meluas.
Yang juga perlu diketahui, bahwa dalam hal mengadobsi sesuatu yang berasal dari luar Islam, seorang Khalifah
harus sangat selektif. Khalifah Umar bin Khaththab misalnya, meskipun berasal dari Negara yang sama yaitu
Persia, ternyata Beliau tidak menerima alias menolak jika hal yang hendak diambil atau diadobsi berkenaan
dengan pandangan hidup dari luar Islam, yang menyinggung hidayah dan dhalalah, halal dan haram atau
pahala dan dosa. Hal tersebut tercermin pada apa yang ditulis oleh Imam Ibnu Khaldun dalam kitab
Muqaddimah-nya berikut.


. .

. .
)291 (
Jadi dalam hal urusan dunia (semisal sains dan teknologi) Negara Khilafah tidak menutup diri. Negara hanya
menutup diri dari hadlrah (konsepsi-konsepsi tentang kehidupan) yang berasal dari luar Islam, adapun dalam
hal madniyyah (bentuk-bentuk materi yang diambil manfaatnya demi kelangsungan hidup manusia), Negara
hanya akan menerima apa-apa yang merupakan hasil daripada kemajuan sains dan teknologi semata, semisal
alat-alat berat, alat transportasi, alat komunikasi, alat medis dll. Namun tidak untuk bentuk-bentuk materi yang
berasal dari suatu hadlrah tertentu, semisal gambar-gambar atau patung-patung makhluk bernyawa karena
ajaran Islam melarangnya, kecuali yang memang diperbolehkan karena adanya dalil atau alasan, seperti
boneka untuk mainan anak-anak, gambar atau patung anatomi tubuh manusia untuk keperluan medis dll).
PENUTUP
Demikian uraian tentang Wajibnya Mendirikan Negara Khilafah dari beberapa sudut pandang, semoga bisa
menumbuhkan keimanan dan keteguhan hati untuk turut serta dalam memperjuangkannya. Hanya dengan
keimanan dan ketakwaan sosial (yang terbukti dengan diterapkannya syariat Islam dalam kehidupan
masyarakat) berkah dari Allah SWT akan segera dilimpahkan atas negeri yang semakin hari semakin menderita
ini, sebagaimana sunnahNya:


:

]96/ [

Semoga Allah SWT selalu menunjukkan kebenaran dan menghilangkan segala keraguan.

]147/ [

:

Dalam hal ini Allah SWT juga pernah berjanji dalam surat An-Nr:

:









]55/ [

Harapan, kalau ada pihak-pihak yang merasa alergi terhadap partai, golongan, jamaah, organisasi, kelompok
atau apapun namanya yang kebetulan mengusung ide Al-Khilfah atau memperjuangkannya, perasaan
tersebut tidak boleh menjadi sebab kaburnya pemahaman akan wajibnya Khilafah. Rupanya apa yang pernah
dinyatakan oleh Syeikh Al-Allamah Abu Abdillah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri (w. 1413 H) dalam kitabnya
Ittihf Al-Jamah bi m f Al-Fitan wa Al-Malhim wa Asyrth As-Sah perlu untuk direnungkan.

: r
. : .


( .
)81 / 1
36

Adalah Syeikh Athiyyah Shaqr seorang mufti Al-Azhar, merasakan keprihatinan yang sangat mendalam atas
perbedaan dalam perkara Khilafah di abad ini, dan atas adanya pihak-pihak dari kalangan kaum muslimin
sendiri yang mengganggu terealisasinya niatan mulia penyatuan kembali umat Islam dalam satu
kepemimpinan tersebut, Beliau mengungkapkan:




)186 / 10 ( .
Namun meski demikian Beliau tidak pernah putus asa dari rahmat Allah SWT, menurut Beliau harapan tersebut
akan selalu ada.
Perlu dimengerti juga bahwa sebenarnya Khilafah bukan Tujuan Akhir, tapi justru merupakan langkah awal
bagi berlangsungnya kehidupan Islam dan penyebarannya ke seluruh penjuru Dunia, hingga mencapai apa
yang dicapai oleh siang dan malam, sebagaimana nubuatan pada Hadits Rasulullah saw berikut.

r


)308 / 34 ( .
Sudah menjadi maklum bahwa jizyah tidak diberlakukan atas non-muslim kecuali jika statusnya adalah sebagai
kfir dzimm, yaitu orang kafir yang hidup dibawah perlindungan Negara Khilafah. Maka kesimpulan dari hadits
di atas adalah; bahwa kekuasaan Islam kelak akan meliputi seluruh bagian dunia, hal itu karena dikatakan
bahwa jizyah akan diberlakukan atas siapapun dari penduduk Bumi yang menolak untuk masuk Islam.
Pertanyaannya, kekuatan apakah yang bisa melakukan itu? Kekuatan individu? Atau kekuatan organisasi?
Jawabannya adalah bukan, tapi kekuatan Negara Khilafah Islamiah, kekuatan atas izin Allah SWT. Wallh
Alam bish-Shawb wa Ahkam. (azizi)*
KEPUSTAKAAN
Al-Qurn Al-Karm. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Abdul Wahhab, et all. 2003. Ulam Al-Muslimn wa Jahalah Al-Wahhbiyyn. Istanbul: Maktabah Al-Haqqah
(http://hakikatkitabevi.com)
Abu Abdillah, Muhammad bin Yusuf. At-Tj wa Al-Ikll li Mukhtashar Khall. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Abu Al-Hasan, Ali bin Muhammad Al-Khazai. Takhrj Ad-Dillt As-Samiyyah. Jilid Satu. Beirut: Daar Al-Gharb
Al-Islmi. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Abu An-Naja, Syarafuddin Mus bin Ahmad. Al-Iqn f Fiqh Imm Ahmad bin Hanbal. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asyats As-Sajistani. Sunan Ab Dwud. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Abu Habib, Sadi. Al-Qms Al-Fiqh. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali. Tafsr Al-Bahr Al-Muhth. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Abu Manshur Al-Baghdadi. Al-Farq Bayn Al-Firaq. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Abu Uwanah, Yaqub bin Ishaq. Musnad Abi Uwnah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Abu Yahya, Zakariyya Al-Anshari. Fath Al-Wahhb. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Zakariyya Al-Anshari. Asna Al-Mathlib. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Abu Yala, Muhammad bin Al-Husain Al-Farra. Al-Ahkm As-Sulthniyyah. Beirut: Dr Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Ahmad bin Muhammad Al-Ghaznawi Al-Kasyani. Ushl Ad-Dn. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Al-Abbad, Abdul Muhsin. Syarh Sunan Ab Dwud. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Amid, Ali bin Abi Ali. Ghyah Al-Marm f Ilm Al-Kalm. jilid satu. Kairo: Al-Majlis Al-Al li Asy-Syun AlIslmiyyah. (http://islamport.com/)
__________, Ali bin Abi Ali. Al-Ihkm fii Ushl Al-Ahkm. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Asyari, Abu Al-Hasan. Maqlat Al-Islmiyyn wa Ikhtilf Al-Mushalln. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Al-Atsari, Abdullah bin Abdul-Hamd. Al-Wajz f Aqdah As-Salaf Ash-Shlih Ahl As-Sunnah wa Al-Jamah.
Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath Al-Br. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Ahmad bin Ali bin Hajar. At-Talkhsh Al-Habr f Takhrj Ahdts Ar-Rfi Al-Kabr. Al-Maktabah
Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Aththar, Hasan Asy-Syafii. Hsyiyah Al-Aththr al Syarh Al-Jall Al-Mahall al Jami Al-Jawmi. AlMaktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Bahuti, Manshur bin Yunus. Kasysyf Al-Qina an Matn Al-Iqn. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
__________, Manshur bin Yunus. Syarh Muntah Al-Irdt li Ibn An-Najjr. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain. Dalil An-Nubuwwah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)

37

__________, Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain. Syuab Al-mn. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Bujairami, Sulaiman bin Muhammad. Hsyiyah Al-Bujairam Al Al-Khthib. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
__________, Sulaiman bin Muhammad. Hsyiyah Al-Bujairam Al Al-Manhaj. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Al-Jmi Ash-Shahh Al-Mukhtashar (Shahh Al-Bukhr). Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Dumaiji, Abdullah bin Umar. 1403 H. Al-Immah Al-Udhm inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jamah. Riyadh: Dr
Thayyibah
Al-Dzahabi, Syamsuddin Abu Abdillah. Trkh Al-Islm. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Syamsuddin Abu Abdillah. Siyar Al-Alm wa An-Nubal. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Iqtishd f Al-Itiqd. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Abu Hamid. Al-Mustashf. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Abu Hamid. Al-Wasth. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Hakim Abu Abdillah An-Naisaburi. Al-Mustadrak al Ash-Shahhayn. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Al-Iji, Abdurrahman bin Ahmad. 1997. Al-Mawqif. Jilid Tiga . Beirut: Dr Al-Jl. (http://islamport.com/)
Al-Imrani, Yahya bin Abi Al-Khayr. Al-Intishr f Ar-Radd al Al-Mutazilah Al-Qadariyyah Al-Asyrr. AlMaktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Ishami, Abdulmalik bin Husain. Samth An-Nujm Al-Awl f Abni Al-Awili wa At-Tawl. Jilid Satu.
(http://islamport.com/)
Al-Iraqi, Abu Al-Fadhl. Tharh At-Tatsrb. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Jamal, Sulaimn. Hsyiyah Al-Jamal Ala Al-Manhaj. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Jadzbati, Muhammad bin Ismail. Ad-Durrah Al-Gharr f Nashhah As-Salthn wa Al-Qudhh wa Al-Umar.
Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Jauhari, Ismail bin Hammad Abu Nashr. Ash-Shahhh f Al-Lughah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Al-Jaziri, Abdurrahman. 2002. Al-Fiqh Al Al-Madzhib Al-Arbaah. Jilid Lima. Beirut: Dr Al-Fikr
Al-Juwayni, Abu Al-Maali. Ghiyts Al-Umam wa Iltiyts Adh-Dhulam. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Al-Kandahlawi, Muhammad bin Yusuf. 2003. Hayh Ash-Shahbah. Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah
Al-Kattani, Muhammad Abdul-Hayyi. (tanpa tahun). Nidhm Al-Hukmah An-Nabawiyyah Al-Musamm bi AtTartb Al-Idriyyah. Beirut: Syarikah Dr al-Arqam bin Abi al-Arqam
__________, Muhammad Abdul-Hayyi. Ikhtishr Al-Mufkahah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Al-Malibari, Zainuddin bin Abdul Aziz. Fath Al-Mun. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nidhm Al-Uqbt. Beirut: Dr Al-Ummah
Al-Manawi, Zainuddn Abdurraf. At-Taysr bi Syarh Al-Jmi Ash-Shaghr. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Al-Mardawi, Abu Al-Hasan. Al-Inshf f Marifah Ar-Rjih min Al-Khilf Al Madzhab Al-Imm Ahmad bin
Hambal. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Maward, Abu Al-Hasan. Al-Ahkm As-Sulthniyyah wa Al-Wilyt Ad-Dniyyah. Al-Maktabah Asy-Symilah
(Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Mubarakfuri, Abu Al-Ula. Tuhfah Al-Ahwadz bi Syarh Jmi At-Tirmidz. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Al-Mushili, Muhammad bin Muhammad. Husn As-Sulk Al-Hfidh Daulah Al-Mulk. Al-Maktabah Asy-Symilah
(Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Nabhani, Taqyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah Al-Islmiyyah. Jilid 2. Beirut: Dr Al-Ummah
__________, Taqyuddin. 2003. Asy-Syakhshiyyah Al-Islmiyyah. Jilid 3. Beirut: Dr Al-Ummah
__________, Taqyuddin. 2001. Nidhm Al-Islm. Min Mansyrt Hizb At-Tahrr.
__________, Taqyuddin. 2002. Ad-Dawlah Al-Islmiyyah. Min Mansyrt Hizb At-Tahrr.
__________, Taqyuddin. 2001. At-Takattul Al-Hizb. Min Mansyrt Hizb At-Tahrr.
__________, Taqyuddin. 2001. Mafhm Hizb At-Tahrr. Min Mansyrt Hizb At-Tahrr.
Al-Nafrawi, Ahmad bin Ghanim. Al-Fawkih Ad-Dawn Al Rislah ibn Ab Zaid Al-Qairown. Al-Maktabah
Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-NaisAburi, Abu Al-Qasim. Tafsr An-Naisabr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
An-Naisaburi, Muslim bin Al-Hajjaj. Shahh Muslim. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Nasaf, Abu Al-Barakat Abdullah bin Ahmad. Tafsr An-Nasaf. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Al-Nasai, Ahmad bin Syuaib. Sunan An-Nasi. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Nawawi, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
__________, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf. Raudhah Ath-Thlibin wa Umdah Al-Muftn. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf. Syarh Shahh Muslim. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)

38

Al-Qali, Abu Abdillah. Tahdzb Ar-Riysah wa Tartb As-Siysah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Al-Qalyubi, Syihabuddin. Hsyiyat Qulyb wa Umairah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Qarafi, Abu Al-Abbas Syihabuddin Ash-Shanhaji. Anwr Al-Burq f Anw Al-Furq. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________. Adz-Dzakhrah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Qurthub, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad. Tafsr Al-Qurthub. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Al-Qurthubi, Abu Umar Yusuf bin Abdillah. At-Tamhd li m f Al-Muwaththa min Al-Man wa Al-Asnid. AlMaktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Ramli, Syamsuddin. Ghyah Al-Bayn Syarh Zabad Ibn Rusln. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn) ( http://islamport.com/ )
Al-Razi, Fakhruddin. Mafth Al-Ghayb f At-Tafsr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Razi, Muhammad bin Abu Bakar. Mukhtr Ash-Shahhh. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Ruayni, Abu Abdillah Al-Maliki. Mawhib Al-Jall f Syarh Mukhtashar Asy-Syaikh Jall. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Rumi, Khasr bin Qaramuz, Durar Al-Hukkm Syarhu Ghurar Al-Ahkm. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Al-Sadiri,Taufiq bin Abdul Aziz. Al-Islm wa Ad-Dustr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Safarini, Syamsuddin Abu Al-Aun. Lawmi Al-Anwr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Shanani, Muhammad bin Ismail. Subul As-Salm. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Syinqithi, Muhammad Al-Amin. Adhw Al-Bayn f dhh Al-Qurn bi Al-Qurn. Al-Maktabah Asy-Symilah
(Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Syirazi, Abu Ishaq. At-Tanbh. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Suyuthi, Musthafa Al-Hanbali. Mathlib Ul An-Nuh f Syarh Ghyah Al-Muntah. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Tafsr Al-Jallayn. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Jalluddn. Trkh Al-Khulaf. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdulkarim. Nihyah Al-Iqdm f Ilm Al-kalm. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Al-Syaibani, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Al-Ahdts Al-Mustadrakah min Musnad Ahmad. Al-Maktabah
Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Musnad Al-Imm Ahmad bin Hanbal. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Syarbini, Muhammad bin Ahmad Al-Khathib. Mughn Al-Muhtj il Marifati Alfdz Al-Minhj. Al-Maktabah
Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Muhammad bin Ahmad Al-Khathb. Al-Iqn f Hilli Alfdzi Abi Syuj. Al-Maktabah Asy-Symilah
(Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. Fath Al-Qadr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Muhammad bin Ali. Nail Al-Authr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Muhammad bin Ali. As-Sail Al-Jarrr Al-Mutadaffiq al Hadiq Al-Azhr. Jilid Satu. Beirut: Dr AlKutub Al-Ilmiyyah ( http://islamport.com/ )
Al-Syirazi, Abu Ishaq. Al-Lam f Ushl Al-Fiqh. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Syafii, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Syarwani, Abdul Hamid. Hawsyi Asy-Syarwn. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Tamimi, Abu Hatim Muhammad bin Hibban. Shahh Ibn Hibbn bi Tartb Ibn Balbn. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa Abu Isa. Al-Jmi Ash-Shahh Sunan At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi). AlMaktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Thabari, Abu Jafar. Jmi Al-Bayn f Takwl Al-Qurn (Tafsr Ath-Thabar). Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
__________, Abu Jafar. Trkh Ar-Rusul wa Al-Mulk. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Abu Jafar. Trkh Ar-Umam wa Al-Mulk. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Thabrani, Abu Al-Qashim Sulaiman bin Ahmad. Al-Mujam Al-Awsath. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
__________. Al-Mujam Al-Kabr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Thahawi, Abu Jafar Ahmad bin Muhammad. Syarh Mani Al-tsr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Al-Tharthusi, Abu Bakar Muhammad bin Al-Walid. Sirj Al-Mulk. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Al-Yusuf, Abd Ar-Rahman bin Abdulkhaliq. Al-Fikr Ash-Shf f Dhaui Al-Kitb wa As-Sunnah. Al-Maktabah
Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Yusuf, Muslim. Dawlah Al-Khilfah Ar-Rsyidah wa Al-Alqat Ad-Dawliyyah. (www.saaid.net)
Al-Zarqani, Muhammad bin Abdil Baqi. Syarh Az-Zarqn al Muwaththa Al-Imm Mlik. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Zaylai, Utsman bin Ali Fakhruddin Al-Hanafi. Badi Ash-Shani f Tartb Asy-Syari. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islm wa Adillatuh. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)

39

Al-Zuhri, Abu Abdillah Muhammad Ibnu Sad. Ath-Thabaqt Al-Kubr. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Audah, Abdul Qadir. At-Tasyr Al-Jin Al-Islm. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Dr Al-Ift Al-Mishriyyah. Fatwa Al-Azhar. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Adil Ad-Dimasyqi. Tafsir Lubb f Ulm Al-Kitb. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Abdilbarr, Abu Umar Yusuf bin Abdillah. Jmi Bayn Al-Ilm wa Fadhlih. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
__________, Abu Umar Yusuf bin Abdillah. At-Tamhd li m f Al-Muwaththa min Al-Mani wa Al-Asnd. AlMaktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Asakir, Ali bin Al-Hasan. Trkh Dimasyqa. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Hajar Al-Haitami, Abu Al-Abbas Ahmad bin Muhammad. 2007. Ash-Shawiq Al-Muhriqah Al Ahl Ar-Rafdh
wa Adh-Dhall wa Az-Zindiqah. Jilid Satu. Beirut: Muassasat Ar-Rislah ( http://islamport.com/ )
Ibn Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad Adh-Dhahiri. Al-Fashl f Al-Milal wa Al-Ahw wa An-Nihal. AlMaktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Abu Muhammad Al bin Ahmad Adh-Dhahiri. Al-Muhall. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr
Ats-Tsn)
Ibn Katsir, Abu Fida Ismail. Al-Fushl f Srah Ar-Rasl. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Abu Fida Ismail. Al-Bidyah wa An-Nihyah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Abu Fida Ismail. Tafsr Al-Qurn Al-Adzm. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Khaldun, Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad. Muqaddimah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Ibn Mandhur, Muhammad bin Mukram Al-Mishri. Lisn Al-Arab. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Ibn Rajab, Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad. Jmi Al-Ulm wa Al-Hikam f Syarh Khamsn Hadtsan min
Jawmi Al-Kalim. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Ruslan, Abu Al-Abbas Ahmad bin Husain. Shafwah Az-Zabad (Zabad Ibn Rusln). Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Taimiyyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdil Halim. Al-Hisbah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
__________, Taqiyuddin Ahmad bin Abdil Halim. As-Siysah Asy-Syariyyah. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
__________, Taqiyuddin Ahmad bin Abdil Halim. Majm Fatw. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr AtsTsn)
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar. Mifth Dr As-Sadah wa Mansyr Wilyah
Al-Ilm wa Al-Irdah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Qudamah, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Al-Maqdisi. Al-Mughn. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Ibn Rusyd, Muhammad bin Ahmad. Bidyah Al-Mujtahid wa Nihyah Al-Muqtashid. Al-Maktabah Asy-Symilah
(Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Al-Atsir, Izzuddin Ali bin Muhammad. Al-Kmil fi At-Trkh. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Ibn Al-Azraq, Muhammad bin Ali Al-Gharnathi. Badi As-Silk f Thabi Al-Milk. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Ibrahim Mushthafa, Ahmad Az-Zyyad. Al-Mujam Al-Wasth. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Izzuddin, Abu Muhammad (Al-Mulaqqab bi Sulthn Al-Ulam). Qowid Al-Ahkm f Mashlih Al-Anm. AlMaktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Muhammad bin Ibrahim bin Sadillah. Tahrr Al-Ahkm f Tadbr Ahl Al-Islm. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Najmuddin, Ibrahim bin Ali Al-Hanafi, Tuhfah At-Tark f m Yajibu an Yumal f Al-Mulk, Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Nashir bin Ali Aidh Hasan. Aqdah Ahl As-Sunnah wa Al-Jamah f Ash-Shahbah Al-Kirm. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Qalahji, Muhammad Rawwas. Mujam Lughah Al-Fuqah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Rasyid Ridha, Muhammad. Al-Khilfah. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Inah Al-Mustafd bi Syarh Kitb At-Tauhd. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Umar bin Ali Al-Andalusi. Tuhfah Al-Muhtj f Syarh Al-Minhj. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Waqi, Abu Bakar bin Khalaf Adh-Dhabbi Al-Baghdadi. Akhbr Al-Qudhh. Al-Maktabah Asy-Symilah (AlIshdr Ats-Tsn)
Wizarah Al-Awqaf wa Asy-Syun Al-Islmiyyah, Al-Mausah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Al-Maktabah AsySymilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)
Yahya bin Al-Muthahhar. Syarh Sunan An-Nasi. Al-Maktabah Asy-Symilah (Al-Ishdr Ats-Tsn)

40

You might also like