You are on page 1of 36

Azeotropic distillation: Etanol dan air membentuk azeotrop pada komposisi 95.6%-massa etanol pada keadaan standar.

Dan masih banyak lagi campuran senyawa yang berkelakuan demikian. Nah, bagaimana cara untuk memisahkan komponen-komponennya agar memiliki kemurnian melebihi komposisi azeotropnya? Umpan campuran biner (2-propanol dan ethyl acetate) hendak dimurnikan dengan cara distilasi dan kedua aliran produk pemisahan diharapkan memiliki kemurnian 99,8%-mol. Umpan tersedia pada kondisi tekanan atmosferik dan temperatur ambien. Terdengar familiar di telinga anda? Setidaknya Anda tidak boleh lupa bahwa 2-propanol dan etyhl acetate ialah campuran azeotrop. Bila Anda lupa atau bahkan belum mengerti tentang campuran azeotrop, mungkin penjelasan singkat ini bisa sedikit membantu. Apa itu azeotrop? Azeotrop merupakan campuran 2 atau lebih komponen pada komposisi tertentu dimana komposisi tersebut tidak bisa berubah hanya melalui distilasi biasa. Ketika campuran azeotrop dididihkan, fasa uap yang dihasilkan memiliki komposisi yang sama dengan fasa cairnya. Campuran azeotrop ini sering disebut juga constant boiling mixture karena komposisinya yang senantiasa tetap jika campuran tersebut dididihkan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi berikut :

Titik A pada pada kurva merupakan boiling point campuran pada kondisi sebelum mencapai azeotrop. Campuran kemudian dididihkan dan uapnya dipisahkan dari sistem kesetimbangan uap cair (titik B). Uap ini kemudian didinginkan dan terkondensasi (titik C). Kondensat kemudian dididihkan, didinginkan, dan seterusnya hingga mencapai titik azeotrop. Pada titik azeotrop, proses tidak dapat diteruskan karena komposisi campuran akan selalu tetap. Pada gambar di atas, titik azeotrop digambarkan sebagai pertemuan antara kurva saturated vapor dan saturated liquid. (ditandai dengan garis vertikal putus-putus) Bagaimana? Cukup jelas bukan? Secara logis, hasil distilasi biasa tidak akan pernah bisa melebihi komposisi azeotropnya. Lalu, adakah trik engineering tertentu yang dapat dilakukan untuk mengakali keadaan alamiah tersebut? Nah, kita akan membahas contoh kasus pemisahan campuran azeotrop propanol-ethyl acetate.

PFD Diagram: Simulasi distilasi biner campuran azeotrop propanol-ethyl acetate dengan menggunakan HYSYS. Dalam pemisahan campuran propanol-athyl acetate, digunakan metode pressure swing distillation. Prinsip yang digunakan pada metode ini yaitu pada tekanan yang berbeda, komposisi azeotrop suatu campuran akan berbeda pula. Berdasarkan prinsip tersebut, distilasi dilakukan bertahap menggunakan 2 kolom distilasi yang beroperasi pada tekanan yang berbeda. Kolom distilasi pertama memiliki tekanan operasi yang lebih tinggi dari kolom distilasi kedua. Produk bawah kolom pertama menghasilkan ethyl acetate murni sedangkan produk atasnya ialah campuran propanol-ethyl acetate yang komposisinya mendekati komposisi azeotropnya. Produk atas kolom pertama tersebut kemudian didistilasi kembali pada kolom yang bertekanan lebih rendah (kolom kedua). Produk bawah kolom kedua menghasilkan propanol murni sedangkan produk atasnya merupakan campuran propanolethyl acetate yang komposisinya mendekati komposisi azeotropnya. Berikut ini gambar kurva kesetimbangan uap cair campuran propanol-ethyl acetate pada tekanan tinggi dan rendah.

Dari gambar pertama dapat dilihat bahwa feed masuk kolom pada temperatur 108,2 C dengan komposisi propanol 0,33. Pada kolom pertama (P=2,8 atm), komposisi azeotrop yaitu sebesar 0,5 sehingga distilat yang diperoleh berkisar pada nilai tersebut sedangkan bottom yang diperoleh berupa ethyl acetate murni.

Untuk memperoleh propanol murni, distilat kemudian didistilasi lagi pada kolom kedua (P=1,25 atm). Distilat ini memasuki kolom kedua pada temperatur 82,6 C. Komposisi azeotrop pada kolom kedua yaitu 0,38 sehingga kandungan propanol pada distilat berkisar pada nilai tersebut. Bottom yang diperoleh pada kolom kedua ini berupa propanol murni. Bila Anda perhatikan, titik azeotrop campuran bergeser dari 0,5%-mol propanol menjadi 0,38%-mol propanol. (*nahh apa lagi coba yang berubah?? hehe.. temperatur operasi jelas berubah.. karena tekanan berubah, maka temperatur dan komposisi juga berubah.. ingat termodinamika?? hehehe..) Jadi, dengan metode pressure swing distillation ini, dapat diperoleh propanol dan ethyl acetate dengan kemurnian yang tinggi. Dan untuk lebih mengoptimasi proses, distilat keluaran kolom 2 dapat direcycle dan dicampur dengan aliran umpan untuk didistilasi kembali. Nah, bagaimana? Apakah metode seperti demikian pernah terbesit di benak temanteman? Nahh.. marilah kita lebih memperhatikan dosen-dosen yang sudah bersusah payah mengajari kita.. Hehehe sumber: www.majarikanayakan.com
http://anitahilma.wordpress.com/2008/07/10/distilasi-campuran-biner/

Distilasi azeotropik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Dalam bidang kimia, distilasi azeotropik merujuk pada teknik-teknik yang digunakan untuk memecah azeotrop dalam distilasi. Dalam rekayasa kimia, salah satu teknik untuk memecah titik azeotrop adalah dengan penambahan komponen lain untuk menghasilkan azeotrop heterogen yang dapat mendidih pada suhu lebih rendah, misalnya penambahan benzena (bisa juga dengan garam dan solvennya)ke dalam campuran air dan alkohol.

[sunting] Metode Pemisahan Komponen Azeotrop


Banyak metode yang bisa digunakan untuk menghilangkan titik azeotrop pada campuran heterogen. Contoh campuran heterogen yang mengandung titik azeotrop yang paling populer adalah campuran ethanol-air, campuran ini dengan metode distilasi biasa tidak bisa menghasilkan ethanol teknis (99% lebih) melainkan maksimal hanya sekitar 96,25 %. Hal ini terjadi karena konsentrasi yang lebih tinggi harus melewati terlebih dahulu titik azeotrop, dimana komposisi kesetimbangan cair-gas ethanol-air saling bersilangan. Beberapa metode yang populer digunakan adalah :

1. Pressure Swing Distillation, 2. Extractive Distillation

3.penentuan kadar air pada makanan


4. Posted on May 2, 2010 by barna45| 1 Comment 5. Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997) 6. Dalam bahan pangan, ada air yang berbentuk bebas, ada pula yang terikat baik di dalam matriks bahan maupun di dalam jaringannya. Air yang berbentuk bebas sangat mudah menguap karena biasanya terdapat pada permukaan bahan pangan. 7. Kadar air perlu diukur untuk menentukan umur simpan suatu bahan pangan. Dengan demikian, suatu produsen makanan olahan dapat langsung mengetahui umur simpan produknya tanpa harus menunggu sampai produknya busuk. 8. Ada beberapa cara untuk menetapkan kadar air suatu bahan makanan misalnya dengan metode pemanasan langsung dan dengan metode destilasi (Azeotroph). Metode destilasi menggunakan pelarut yang tidak bercampur dalam air dan mempunyai titik didih sedikit diatas titik didih air, sehingga ketika dilakukan destilasi, air akan terkumpul dan jjatuh dalam tabung Aufhauser. Hal ini dapat terjadi karena berat jenis air lebih besar daripada berat jenis pelarut. 9. Ketika semua air telah terdestilasi, volume air dapat dibaca pada skala tabung Aufhauser. Pada percobaan ini kami menggunakan pelarut toluene dan xylene. Bahan makanan yang akan kami ukur kadar airnya adalah bawang Bombay. 10. Bawang Bombay merupakan bahan makanan segar yang banyak mengandung air, yaitu sekitar 85%. Pada percobaan kali ini, bawang Bombay akan diukur kadar airnya dengan metode destilasi. 11. pada alamat barnakupu.wordpress.com

12. penentuan kadar air pada makanan


13. Posted on May 2, 2010 by barna45| 1 Comment 14. Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997) 15. Dalam bahan pangan, ada air yang berbentuk bebas, ada pula yang terikat baik di dalam matriks bahan maupun di dalam jaringannya. Air yang berbentuk bebas sangat mudah menguap karena biasanya terdapat pada permukaan bahan pangan. 16. Kadar air perlu diukur untuk menentukan umur simpan suatu bahan pangan. Dengan demikian, suatu produsen makanan olahan dapat langsung mengetahui umur simpan produknya tanpa harus menunggu sampai produknya busuk. 17. Ada beberapa cara untuk menetapkan kadar air suatu bahan makanan misalnya dengan metode pemanasan langsung dan dengan metode destilasi (Azeotroph). Metode destilasi menggunakan pelarut yang tidak bercampur dalam air dan

mempunyai titik didih sedikit diatas titik didih air, sehingga ketika dilakukan destilasi, air akan terkumpul dan jjatuh dalam tabung Aufhauser. Hal ini dapat terjadi karena berat jenis air lebih besar daripada berat jenis pelarut. 18. Ketika semua air telah terdestilasi, volume air dapat dibaca pada skala tabung Aufhauser. Pada percobaan ini kami menggunakan pelarut toluene dan xylene. Bahan makanan yang akan kami ukur kadar airnya adalah bawang Bombay. 19. Bawang Bombay merupakan bahan makanan segar yang banyak mengandung air, yaitu sekitar 85%. Pada percobaan kali ini, bawang Bombay akan diukur kadar airnya dengan metode destilasi. 20. pada alamat barnakupu.wordpress.com

21. Distilasi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. [1] Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. [1] Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. [1] Metode ini termasuk sebagai unit operasi kimia jenis perpindahan massa. [2]. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan menguap pada titik didihnya. [2] Model ideal distilasi didasarkan pada Hukum Raoult dan Hukum Dalton. {March 11, 2010} destilasi Penyulingan adalah suatu metode untuk memisahkan campuran berdasarkan perbedaan dalam

volatilities mereka dalam cairan yang mendidih campuran. Penyulingan adalah satuan operasi, atau proses pemisahan fisik, dan bukan reaksi kimia. Komersial, penyulingan memiliki sejumlah aplikasi. Hal ini digunakan untuk memisahkan minyak mentah menjadi lebih fraksinya untuk menggunakan tertentu seperti transportasi, pembangkit listrik dan pemanas. Air adalah distilasi untuk menghilangkan kotoran, seperti garam dari air laut. Udara distilasi untuk memisahkan komponen-komponennya-terutama oksigen, nitrogen, dan argon-untuk keperluan industri. Penyulingan solusi fermentasi telah digunakan sejak zaman dahulu untuk menghasilkan minuman suling dengan kadar alkohol yang lebih tinggi. Tempat di mana dilakukan penyulingan, terutama penyulingan alkohol, dikenal sebagai penyulingan.

History Jenis distilasi awal dikenal ke Babel di Mesopotamia (di tempat yang sekarang Irak) dari

setidaknya milenium ke-2 SM. [2] penggalian arkeologi di barat laut Pakistan telah menghasilkan bukti bahwa penyulingan alkohol dikenal di anak benua India sejak 500 SM, [3] tetapi hanya menjadi umum antara 150 SM 350 AD. [3] Primitif suku india menggunakan metode penyulingan untuk menghasilkan minuman keras Mahuda. Ini metode kuno kasar dan sangat tidak efektif. [4] Penyulingan ini kemudian dikenal Helenistik alkemis dari abad ke-1 Masehi, [5] [6] [7] dan pengembangan selanjutnya dari penyulingan skala besar terjadi aparat dalam menanggapi tuntutan roh. [5] Menurut KB Hoffmann menyebut paling awal dari destillatio per descensum terjadi dalam tulisan-tulisan Aetius, seorang dokter Yunani dari abad ke-5. [8] Hypatia dari Alexandria yang dikreditkan dengan keharusan menciptakan alat penyulingan awal, [9] dan deskripsi yang jelas pertama awal aparat untuk penyulingan diberikan oleh Zosimos dari Panopolis pada abad keempat. [7] Penemuan yang sangat efektif penyulingan murni dikreditkan ke Bahasa Arab dan Persia kimia di Timur Tengah dari abad ke-8. Mereka menghasilkan proses penyulingan untuk mengisolasi dan memurnikan zat-zat kimia untuk keperluan industri seperti mengisolasi ester alami (parfum) dan memproduksi alkohol murni. [10] Yang pertama di antara mereka adalah Jabir bin Hayyan (Geber), di abad ke-8, yang dikreditkan dengan penemuan berbagai alat dan proses kimia yang masih digunakan sampai sekarang. Secara khusus, ia adalah orang pertama alembic masih dengan balas yang dapat sepenuhnya memurnikan bahan kimia, prekursor ke panci masih, dan desain telah menjadi inspirasi bagi modern distilasi skala mikro aparat seperti Hickman stillhead. [11] isolasi etanol (alkohol) sebagai senyawa murni melalui penyulingan pertama kali dicapai oleh kimiawan Arab Al-Kindi (Alkindus). [12] Petroleum pertama kali suling oleh alkemis persia Muhammad bin Zakaria Razi (Rhazes) pada abad ke9, untuk menghasilkan minyak tanah , [13] sementara penyulingan uap ditemukan oleh Avicenna pada awal abad ke-11, untuk menghasilkan minyak esensial. [14] Sebagai karya-karya penulis Timur Tengah membuat jalan mereka ke India dan menjadi bagian alkimia India, beberapa teks penyulingan yang dibuat khusus untuk perjalanan mereka ke India perpustakaan. [15] Di antaranya adalah sebuah risalah yang ditulis oleh seorang ulama dari Bagdad di 1034 berjudul Ainu -s-Sana ah wa Auna-s-Sanaah. [15] Cendekiawan Al-Jawbari pergi ke India. [16] Pada saat penulisan Ain-e-Akbari, proses penyulingan dengan baik dikenal di India. [17] Distilasi diperkenalkan pada abad pertengahan Eropa melalui terjemahan Latin risalah kimia arab pada abad ke-12. [18] Pada tahun 1500, Jerman Braunschweig Hieronymus alkemis diterbitkan Liber de arte destillandi (The Book of the Art of Distillation) [19] buku pertama ditujukan semata-mata untuk subjek distilasi, diikuti tahun 1512 dengan versi yang lebih diperluas. Tahun 1651, John French menerbitkan The Art of Distillation inggris besar pertama ringkasan tentang praktek, meskipun telah diklaim [20] bahwa sebagian besar

berasal dari karya Braunschweig. Ini termasuk diagram dengan orang-orang di dalamnya yang menunjukkan daripada industri skala bangku operasi. Sebagai alkimia berkembang menjadi ilmu kimia, kapal yang disebut balas menjadi

digunakan untuk distillations. Baik alembics dan balas adalah bentukbentuk gelas dengan leher panjang menunjuk ke samping di sebuah sudut bawah yang berfungsi sebagai kondensor berpendingin udara untuk memadatkan distilat dan biarkan menetes ke bawah untuk koleksi. Kemudian, tembaga alembics diciptakan. Terpaku sendi sering terus ketat dengan menggunakan berbagai campuran, misalnya adonan yang terbuat dari tepung gandum. [21] ini seringkali menampilkan alembics sistem pendingin di sekitar paruhnya, dengan menggunakan air dingin misalnya, yang membuat kondensasi alkohol lebih efisien. Ini disebut pot stills. Saat ini, balas dan pot stills telah banyak digantikan oleh metode penyulingan yang lebih efisien dalam sebagian besar proses industri. Namun, masih panci masih banyak digunakan untuk perluasan dari beberapa denda alkohol seperti cognac, Scotch whisky, tequila dan beberapa vodkas. Pot stills terbuat dari berbagai bahan (kayu, tanah liat, stainless steel) juga digunakan oleh pembuat minuman keras di berbagai negara. Panci kecil stills juga dijual untuk produksi dalam negeri [22] bunga air atau minyak esensial. Bentuk awal penyulingan adalah proses batch menggunakan satu penguapan dan satu kondensasi. Kemurnian itu diperbaiki dengan penyulingan lebih lanjut dari kondensat. Volume yang lebih besar yang diproses dengan hanya mengulangi penyulingan. Kimia dilaporkan melaksanakan sebanyak 500-600 distillations dalam rangka untuk mendapatkan senyawa murni [23]. Pada awal abad ke-19 dasar-dasar teknik modern, termasuk pra-pemanasan dan refluks dikembangkan, terutama oleh Perancis [23], kemudian pada tahun 1830 Paten Inggris dikeluarkan untuk Aeneas Coffey untuk penyulingan wiski kolom [24], yang bekerja terusmenerus dan dapat dianggap sebagai pola dasar unit petrokimia modern. Pada 1877, Ernest Solvay diberi Paten AS untuk sebuah nampan kolom untuk amonia penyulingan [25] dan yang sama dan tahun-tahun berikutnya perkembangan melihat tema ini untuk minyak dan roh. Dengan munculnya teknik kimia sebagai suatu disiplin pada akhir abad ke-19, ilmiah daripada metode empiris dapat diterapkan. Industri minyak bumi yang berkembang pada awal abad ke-20 memberikan dorongan untuk pengembangan desain akurat metode seperti metode McCabe-Thiele dan persamaan Fenske. Ketersediaan komputer kuat juga memungkinkan simulasi komputer langsung dari kolom distilasi. Aplikasi Destilasi Aplikasi penyulingan secara kasar dapat dibagi dalam empat kelompok: skala laboratorium, industri penyulingan, penyulingan herbal untuk wewangian dan medicinals (herbal distilat), dan pengolahan makanan. Dua yang terakhir adalah khas yang berbeda dari mantan dua di dalam pengolahan minuman, penyulingan tidak digunakan sebagai metode pemurnian yang benar tetapi lebih untuk mentransfer semua volatiles dari bahan-bahan sumber kepada distilat.

Perbedaan utama antara penyulingan skala laboratorium dan industri penyulingan adalah bahwa penyulingan skala laboratorium sering dilakukan batch-bijaksana, sedangkan penyulingan industri sering terjadi terus-menerus. Dalam batch penyulingan, komposisi bahan sumber, uap dari senyawa dan distilasi distilat perubahan selama penyulingan. Pada distilasi batch, yang masih dikenakan biaya (disediakan) dengan batch campuran pakan, yang kemudian dipisahkan menjadi komponen-komponen yang dikumpulkan fraksinya secara berurutan dari yang paling mudah berubah menjadi kurang stabil, dengan bagian bawah (sisa sedikit atau non-volatile fraksi) dihapus di akhir. Yang masih dapat diisi ulang dan proses ulang. Dalam penyulingan terus-menerus, bahan-bahan sumber, uap, dan destilasi yang disimpan di sebuah komposisi konstan dengan hati-hati pengisian bahan sumber dan menghapus pecahan dari kedua uap dan cairan dalam sistem. Ini menghasilkan kontrol yang lebih baik dari proses pemisahan. Jenis Destilasi Titik didih suatu cairan adalah suhu di mana tekanan uap cairan sama dengan tekanan dalam cairan, memungkinkan gelembung untuk membentuk tanpa menjadi hancur. Suatu kasus khusus adalah titik didih normal, di mana tekanan uap cairan sama dengan tekanan atmosfer ambient. Ini adalah kesalahpahaman umum bahwa dalam suatu cairan campuran pada tekanan tertentu, setiap komponen mendidih pada titik didih yang sesuai dengan tekanan tertentu dan uap masing-masing komponen akan mengumpulkan secara terpisah dan murni. Namun, hal ini tidak terjadi bahkan dalam sebuah sistem ideal. Model ideal distilasi pada dasarnya diatur oleh hukum Raoult dan Hukum Dalton, dan mengasumsikan bahwa Kesetimbangan uap-cair tercapai. Hukum Raoult mengasumsikan bahwa komponen memberikan kontribusi terhadap total tekanan uap campuran dalam sebanding dengan persentase campuran dan tekanan uap ketika murni, atau dengan ringkas: tekanan parsial sama dengan fraksi mol dikalikan dengan tekanan uap ketika murni. Jika salah satu perubahan komponen komponen lain yang tekanan uap, atau jika volatilitas komponen tergantung pada persentase dalam campuran, hukum akan gagal. Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan uap total adalah jumlah dari tekanan uap masingmasing komponen dalam campuran. Ketika multi-komponen cair dipanaskan, tekanan uap setiap komponen akan meningkat, sehingga menyebabkan tekanan uap total meningkat. Ketika tekanan uap total mencapai tekanan yang mengelilingi cair, mendidih terjadi dan berubah ke gas cair di seluruh sebagian besar cairan. Perhatikan bahwa campuran dengan komposisi tertentu memiliki satu titik didih pada tekanan tertentu, ketika komponen saling larut. Merupakan implikasi dari satu titik didih adalah bahwa komponen-komponen ringan tidak pernah bersih mendidih pertama. Pada titik didih, semua komponen bergejolak mendidih, tetapi untuk sebuah komponen, dengan persentase dalam uap adalah sama dengan persentase dari total tekanan uap. Komponen yang lebih ringan memiliki tekanan parsial lebih tinggi dan dengan demikian terkonsentrasi di uap, tapi lebih berat komponen-komponen yang mudah menguap juga memiliki (lebih kecil) tekanan parsial dan selalu menguap juga, meskipun

menjadi kurang konsentrasi dalam uap. Memang, dan fraksinasi distilasi batch sukses dengan memvariasikan komposisi campuran. Dalam batch penyulingan, bets menguap, yang mengubah komposisi; dalam fraksinasi, cairan yang lebih tinggi dalam kolom fraksinasi berisi lebih lampu dan mendidih pada suhu yang lebih rendah. Model yang ideal akurat dalam kasus serupa cairan kimia, seperti benzena dan toluena. Dalam kasus lain, berat penyimpangan dari hukum Raoult dan Hukum Dalton diamati, paling terkenal dalam campuran etanol dan air. Senyawa ini, ketika dipanaskan bersama-sama, membentuk azeotrope, yang merupakan komposisi dengan titik didih yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada titik didih masing-masing terpisah cair. Hampir semua cairan, bila dicampur dan dipanaskan, akan menampilkan perilaku azeotropik. Meskipun ada metode komputasi yang dapat digunakan untuk memperkirakan perilaku sewenang-wenang campuran komponen, satu-satunya cara untuk memperoleh akurat kesetimbangan uap-cair data adalah dengan pengukuran. Hal ini tidak mungkin untuk sepenuhnya memurnikan campuran komponen oleh distilasi, karena hal ini akan memerlukan masing-masing komponen dalam campuran memiliki tekanan parsial nol. Jika ultra-produk murni adalah tujuan, maka pemisahan kimia lebih lanjut harus diterapkan. Ketika campuran biner menguap dan komponen lain, misalnya garam, tekanan parsial nol untuk tujuan praktis, proses lebih sederhana dan disebut penguapan dalam teknik.

Destilasi Batch

Pemanasan yang ideal volatile campuran dua zat A dan B (dengan A memiliki volatilitas yang lebih tinggi, atau titik didih yang lebih rendah) dalam distilasi batch setup (seperti dalam sebuah alat yang digambarkan dalam gambar pembuka) sampai campuran mendidih menghasilkan uap di atas cairan yang berisi campuran A dan B. Perbandingan antara A dan B dalam uap akan berbeda dari rasio dalam cairan: rasio dalam cairan akan ditentukan oleh bagaimana campuran asli sudah siap, sementara rasio dalam uap akan diperkaya dalam senyawa yang lebih stabil, A (karena Hukum Raoult, lihat di atas). Uap berjalan melalui kondensor dan akan dihapus dari sistem. Hal ini pada gilirannya berarti bahwa rasio senyawa dalam cairan yang tersisa kini berbeda dari rasio awal (yaitu lebih diperkaya dalam B dari cairan awal). Hasilnya adalah bahwa rasio dalam campuran cairan berubah, menjadi lebih kaya dalam komponen B. Hal ini menyebabkan titik didih campuran meningkat, yang pada gilirannya mengakibatkan kenaikan suhu dalam uap, yang akan menghasilkan rasio berubah A: B dalam fase gas (seperti penyulingan berlanjut, ada peningkatan proporsi B dalam fase gas). Hal ini menyebabkan perubahan yang perlahan-lahan rasio A: B dalam distilat. Jika perbedaan tekanan uap antara dua komponen A dan B adalah besar (umumnya dinyatakan sebagai perbedaan dalam titik didih), campuran dalam awal penyulingan sangat diperkaya dalam komponen A, dan ketika komponen A telah disuling dinonaktifkan, maka cairan mendidih diperkaya dalam komponen B.

Destilasi Continues Continuous penyulingan adalah distilasi yang berkelanjutan di mana campuran cair secara terus-menerus (tanpa gangguan) dimasukkan ke dalam proses dan pecahan dipisahkan diangkat sebagai output sungai terus-menerus dengan berjalannya waktu selama operasi. Continuous penyulingan menghasilkan output setidaknya dua pecahan, termasuk setidaknya satu fraksi distilat volatile, yang telah direbus dan telah ditangkap secara terpisah sebagai uap menjadi cairan kental. Selalu ada pantat (atau residu) fraksi, yang merupakan residu yang paling volatile belum ditangkap secara terpisah sebagai embun. Continuous berbeda dari batch penyulingan distilasi dalam konsentrasi rasa hormat yang seharusnya tidak berubah seiring waktu. Continuous penyulingan dapat dijalankan pada kondisi mapan untuk jumlah waktu yang sewenang-wenang. Diberi pakan dari dalam komposisi tertentu, variabel utama yang mempengaruhi kemurnian produk secara terusmenerus penyulingan adalah rasio refluks dan jumlah tahap kesetimbangan teoretis (praktis, jumlah nampan atau ketinggian pengemasan). Refluks adalah aliran dari kondensor kembali ke kolom, yang menghasilkan suatu daur ulang yang memungkinkan pemisahan yang lebih baik dengan jumlah tertentu nampan. Kesetimbangan tahapan langkah-langkah di mana komposisi ideal mencapai kesetimbangan uap-cair, mengulangi proses pemisahan dan memungkinkan pemisahan lebih baik diberi rasio refluks. Sebuah kolom dengan rasio refluks yang tinggi mungkin memiliki lebih sedikit tahap, tetapi refluxes sejumlah besar cairan, memberikan lebar kolom dengan perampokan besar. Sebaliknya, kolom dengan rasio refluks yang rendah harus memiliki banyak tahapan, sehingga memerlukan kolom yang lebih tinggi. Continuous penyulingan memerlukan konfigurasi bangunan dan peralatan khusus. Yang dihasilkan biaya investasi yang tinggi membatasi penggunaannya untuk skala besar. [Klarifikasi diperlukan] Perbaikan Umum Baik distillations batch dan kontinyu dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan sebuah fractionating kolom di atas termos penyulingan. Kolom meningkatkan pemisahan dengan menyediakan luas permukaan yang lebih besar untuk uap dan kondensat datang ke kontak. Ini membantu tetap pada kesetimbangan itu selama mungkin. Kolom bahkan dapat terdiri dari subsistem kecil ( baki atau piring) yang semuanya mengandung suatu diperkaya, campuran cairan mendidih, semua dengan mereka sendiri kesetimbangan uap-cair. Ada perbedaan antara skala laboratorium dan industri skala fractionating kolom, tetapi prinsip-prinsip yang sama. Contoh skala laboratorium fractionating kolom (dalam meningkatkan efisiensi) meliputi: * Air kondensor * Vigreux kolom (biasanya skala laboratorium saja) * Packed kolom (dikemas dengan manik-manik kaca, potongan logam, atau bahan lembam kimiawi lainnya) * Spinning band sistem penyulingan. Penyulingan Skala Laboratorium Distillations skala laboratorium hampir secara eksklusif dijalankan sebagai distillations bets. Perangkat digunakan dalam penyulingan, kadang-kadang disebut sebagai masih, minimal

terdiri dari reboiler atau panci di mana bahan sumber dipanaskan, kondensor di mana uap panas didinginkan kembali ke keadaan cair, dan penerima yang terkonsentrasi atau disucikan cairan, yang disebut distilat, dikumpulkan. Beberapa teknik untuk skala laboratorium penyulingan eksis (lihat juga distilasi jenis). Penyulingan Sederhana semua uap panas yang dihasilkan akan segera disalurkan ke sebuah kondensor yang mendingin dan mengembun uap. Oleh karena itu, tidak akan distilat murni komposisinya akan sama dengan komposisi uap pada suhu dan tekanan tertentu, dan dapat dihitung dari hukum Raoult. Akibatnya, penyulingan sederhana biasanya hanya digunakan untuk memisahkan cairan titik didih yang berbeda jauh (rule of thumb adalah 25 C), [26] atau untuk memisahkan cairan dari involatile padat atau minyak. Untuk kasus ini, tekanan uap komponen biasanya cukup berbeda sehingga hukum Raoult dapat diabaikan karena tidak signifikan kontribusi komponen yang kurang stabil. Dalam kasus ini, mungkin distilat cukup murni untuk tujuan yang telah ditetapkan. Fractional Penyulingan Bagi banyak kasus, titik didih dari komponen dalam campuran akan cukup dekat sehingga hukum Raoult harus dipertimbangkan. Oleh karena itu, pecahan distilasi harus digunakan untuk memisahkan komponen baik oleh penguapan-pengembunan berulang siklus fractionating dikemas dalam kolom. Pemisahan ini, oleh distillations berturut-turut, juga disebut sebagai rektifikasi [27]. Sebagai solusi untuk dimurnikan dipanaskan, maka uap naik ke fractionating kolom. Seperti naik, mendingin, terkondensasi pada dinding dan kondensor permukaan material kemasan. Di sini, kondensat terus dipanaskan oleh uap panas yang naik; itu menguap sekali lagi. Namun, komposisi uap segar sekali lagi ditentukan oleh hukum Raoult. Setiap penguapan-kondensasi siklus (disebut pelat teoritis) akan menghasilkan solusi yang lebih murni yang lebih mudah berubah komponen. [28] Pada kenyataannya, setiap siklus pada temperatur tertentu tidak terjadi pada posisi yang sama di kolom fractionating; plat teoretis demikian konsep daripada deskripsi yang akurat. Lebih teoritis piring mengarah pada perpisahan yang lebih baik. Sebuah sistem penyulingan band pemintalan menggunakan pita berputar Teflon atau logam memaksa naiknya uap ke kontak dekat dengan kondensat menurun, meningkatkan jumlah pelat teoritis. [29] Penyulingan Uap Seperti vakum distilasi, penyulingan uap adalah metode untuk menyaring senyawa yang sensitif terhadap panas. [30] Proses ini melibatkan penggunaan uap menggelegak melalui dipanaskan campuran bahan baku. Oleh hukum Raoult, beberapa senyawa target akan menguap (sesuai dengan tekanan parsial). Campuran uap didinginkan dan terkondensasi, biasanya menghasilkan lapisan minyak dan lapisan air. Penyulingan uap berbagai aromatik tumbuhan dan bunga dapat menghasilkan dua produk minyak esensial serta herbal berair distilat. Minyak esensial sering digunakan dalam

wewangian dan aromaterapi sementara berair distillates memiliki banyak aplikasi dalam aromaterapi, pengolahan makanan dan perawatan kulit.

Penyulingan Vakum

Beberapa senyawa memiliki titik didih yang sangat tinggi. Mendidih

senyawa tersebut, sering lebih baik untuk menurunkan tekanan di mana senyawa tersebut direbus bukannya meningkatkan suhu. Setelah tekanan diturunkan kepada tekanan uap dari senyawa (pada temperatur tertentu), mendidih dan sisa proses penyulingan dapat dimulai. Teknik ini disebut sebagai penyulingan vakum dan umumnya ditemukan di laboratorium dalam bentuk rotary evaporator. Teknik ini juga sangat berguna untuk senyawa yang mendidih di luar suhu dekomposisi pada tekanan atmosfer dan yang karenanya akan dapat didekomposisi oleh setiap usaha untuk merebus mereka di bawah tekanan atmosfer. Penyulingan molekuler adalah penyulingan vakum di bawah tekanan 0,01 torr. [31] 0,01 torr adalah salah satu urutan besarnya atas vakum tinggi, di mana cairan berada dalam rezim aliran molekul bebas, yaitu jalan bebas rata-rata molekul adalah sebanding dengan ukuran peralatan. Fasa gas tidak lagi tekanan yang signifikan diberikan pada substansi yang akan menguap, dan akibatnya, laju penguapan tidak lagi tergantung pada tekanan. Yaitu, karena asumsi kontinum dinamika fluida tidak lagi berlaku, transportasi massal diatur oleh dinamika molekul daripada dinamika fluida. Dengan demikian, jalur singkat antara permukaan panas dan dingin diperlukan permukaan, biasanya dengan menunda piring panas ditutupi dengan film pakan di samping sebuah piring dingin dengan garis yang jelas terlihat di antaranya. Penyulingan molekuler industri digunakan untuk pemurnian minyak. [sunting] Air-sensitif penyulingan vakum Beberapa senyawa memiliki titik didih yang tinggi selain juga sebagai udara yang sensitif. Sebuah sistem penyulingan vakum sederhana seperti dicontohkan di atas dapat digunakan, dimana vakum digantikan dengan gas inert penyulingan setelah selesai. Namun, ini adalah sistem yang kurang memuaskan jika satu keinginan untuk mengumpulkan pecahan di bawah tekanan berkurang. Untuk melakukan hal ini sebuah babi adaptor dapat ditambahkan ke

akhir kondensor, atau untuk hasil yang lebih baik atau udara sangat sensitif senyawa yang Perkin aparatur segitiga dapat digunakan. The Perkin segitiga, memiliki berarti melalui serangkaian gelas atau Teflon keran untuk memungkinkan pecahan menjadi terisolasi dari sisa masih, tanpa tubuh utama penyulingan dipindahkan baik dari vakum atau sumber panas, dan dengan demikian dapat tetap berada dalam kondisi refluks. Untuk melakukan hal ini, sampel pertama kali diisolasi dari kekosongan melalui keran, penyedot debu atas sampel kemudian digantikan dengan gas inert (seperti nitrogen atau argon) dan kemudian dapat stoppered dan dihapus. Sebuah kapal koleksi segar kemudian dapat ditambahkan ke sistem, dievakuasi dan terhubung kembali ke dalam sistem penyulingan melalui keran untuk mengumpulkan fraksi kedua, dan seterusnya, sampai semua fraksi telah dikumpulkan.

Jalan Pendek Penyulingan Jalan pendek penyulingan adalah suatu teknik distilasi distilat yang melibatkan perjalanan

jarak pendek, sering hanya beberapa sentimeter, dan biasanya dilakukan pada tekanan berkurang. [32] Sebuah contoh klasik akan menjadi distilasi distilat yang melibatkan perjalanan dari satu gelas lampu yang lain , tanpa perlu kondensor memisahkan dua kamar. Teknik ini sering digunakan untuk senyawa yang tidak stabil pada suhu tinggi atau untuk memurnikan sejumlah kecil senyawa. Keuntungan adalah bahwa suhu pemanasan dapat sangat rendah (pada tekanan berkurang) daripada titik didih cairan pada tekanan standar, dan hanya distilat untuk perjalanan jarak dekat sebelum terkondensasi. Jalan pendek memastikan bahwa senyawa kecil hilang di sisi aparatur. The Kugelrohr adalah semacam jalan singkat alat penyulingan yang sering kali berisi beberapa kamar untuk mengumpulkan distilat pecahan. Jenis * Proses penyulingan reaktif melibatkan menggunakan kapal sebagai reaksi diam. Dalam proses ini, produk ini biasanya secara signifikan lebih rendah daripada reaktan mendidih. Sebagai produk terbentuk dari reaktan, itu adalah menguap dan dihapus dari campuran reaksi. Teknik ini adalah contoh vs kontinu batch process; keuntungan termasuk kurang downtime untuk mengisi kapal reaksi dengan bahan awal, dan kurang pemeriksaan. * Pervaporation adalah sebuah metode untuk pemisahan campuran cairan dengan penguapan parsial melalui membran non-porous. * Ekstraktif penyulingan didefinisikan sebagai penyulingan di hadapan sebuah bercampur, didih tinggi, relatif komponen non-volatile, pelarut, bahwa tidak ada bentuk-bentuk azeotrope dengan komponen lain dalam campuran. * Flash penguapan (atau parsial penguapan) adalah parsial penguapan yang terjadi ketika aliran cairan jenuh mengalami penurunan tekanan dengan melewati sebuah katup throttling

atau perangkat throttling lainnya. Proses ini adalah salah satu unit operasi yang paling sederhana, yang setara dengan penyulingan dengan hanya satu tahap kesetimbangan. * Codistillation adalah penyulingan yang dilakukan pada campuran di mana kedua senyawa tidak bercampur. Proses unit penguapan juga mungkin disebut penyulingan: * Dalam penguapan rotari alat penyulingan vakum digunakan untuk menghapus sebagian besar pelarut dari sampel. Biasanya kekosongan dihasilkan oleh air aspirator atau pompa membran. * Dalam sebuah jalan singkat kugelrohr alat penyulingan biasanya digunakan (biasanya dalam kombinasi dengan (tinggi) vakum) untuk menyaring didih tinggi (> 300 C) senyawa. Aparat terdiri dari sebuah oven di mana senyawa yang akan disuling diletakkan, yang menerima porsi yang berada di luar oven, dan sarana untuk memutar sampel. Vakum biasanya dihasilkan dengan menggunakan pompa vakum yang tinggi. Kegunaan lain: * Distilasi kering atau penyulingan destruktif, meskipun nama, bukan benar-benar penyulingan, melainkan sebuah reaksi kimia yang dikenal sebagai pirolisis di mana zat padat dipanaskan di inert atau mengurangi suasana dan semua fraksi volatile, yang mengandung tinggi cairan mendidih dan produk pirolisis , dikumpulkan. Penyulingan yang merusak kayu untuk memberikan metanol adalah akar dari nama umum kayu alkohol. * Freeze penyulingan adalah suatu metode analog pemurnian menggunakan pembekuan, bukan penguapan. Hal ini tidak benar-benar penyulingan, tetapi rekristalisasi dimana produk adalah ibu minuman keras, dan tidak menghasilkan produk yang setara dengan penyulingan. Proses ini digunakan dalam produksi bir dan es es anggur untuk meningkatkan konten etanol dan gula masing-masing. Hal ini juga digunakan untuk memproduksi applejack. Tidak seperti penyulingan, penyulingan membekukan congeners konsentrat beracun daripada menghapusnya. Azeotropik Penyulingan Interaksi antara komponen-komponen solusi properti unik untuk menciptakan solusi, karena kebanyakan proses nonideal memerlukan campuran, di mana hukum Raoult tidak berlaku. Interaksi seperti itu dapat mengakibatkan konstan-azeotrope mendidih yang berperilaku seolah-olah itu adalah senyawa murni (yaitu, mendidih pada suhu satu bukan kisaran). Di sebuah azeotrope, solusi yang diberikan berisi komponen dalam proporsi yang sama seperti uap, sehingga penguapan tidak mengubah kemurnian, dan penyulingan tidak efek perpisahan. Misalnya, etil alkohol dan air membentuk azeotrope dari 95,6% pada 78,1 C. Jika tidak dianggap azeotrope cukup murni untuk digunakan, terdapat beberapa teknik untuk memecahkan azeotrope untuk memberikan distilat murni. Seperangkat teknik ini dikenal sebagai azeotropik penyulingan. Beberapa teknik mencapai hal ini dengan melompat atas komposisi azeotropik (dengan menambahkan komponen tambahan untuk membuat azeotrope baru, atau dengan memvariasikan tekanan). Lain bekerja dengan kimiawi atau fisik yang sequestering mencabut atau kenajisan. Misalnya, untuk memurnikan etanol di luar 95%, sebuah agen atau pengeringan (pengering seperti kalium karbonat) dapat ditambahkan untuk mengubah air menjadi larut air larut kristalisasi. Saringan molekuler sering digunakan untuk tujuan ini juga.

Bercampur cairan, seperti air dan toluena, bentuk azeotropes mudah. Umumnya, azeotropes ini disebut sebagai azeotrope mendidih yang rendah karena titik didih yang azeotrope lebih rendah dari titik didih komponen murni baik. Suhu dan komposisi dari azeotrope mudah diprediksi dari tekanan uap komponen murni, tanpa menggunakan hukum Raoult. Yang azeotrope dapat dengan mudah dipecahkan dalam penyulingan set-up dengan menggunakan cairan-cairan pemisah (satu botol) untuk memisahkan dua lapisan cairan yang kental di atas kepala. Hanya salah satu dari dua lapisan cairan adalah penyulingan refluxed untuk set-up. Azeotropes didih tinggi, seperti berat badan 20 persen campuran asam klorida dalam air, juga ada. Seperti yang ditunjukkan oleh nama, titik didih yang azeotrope lebih besar daripada titik didih kedua komponen murni. Untuk memecahkan azeotropik penyulingan distillations dan lintas batas, seperti dalam DeRosier Soal, perlu untuk meningkatkan komposisi kunci cahaya dalam distilat. Melanggar Azeotrop Dengan Manipulasi Tekanan Searah Titik didih komponen dalam sebuah azeotrope tumpang tindih untuk membentuk sebuah band. Dengan memperlihatkan sebuah azeotrope ke vakum atau tekanan positif, mungkin untuk bias titik didih salah satu komponen dari yang lain dengan memanfaatkan perbedaan kurva tekanan uap masing-masing; mungkin tumpang tindih kurva pada titik azeotropik, tetapi tidak mungkin tetap identik tekanan lebih lanjut sepanjang sumbu kedua sisi titik azeotropik. Ketika bias cukup besar, dua titik didih tidak lagi tumpang tindih dan jadi band azeotropik menghilang. Metode ini dapat menghilangkan kebutuhan untuk menambahkan bahan kimia lainnya ke penyulingan, tapi itu memiliki dua potensi kelemahan. Di bawah tekanan negatif, kekuasaan untuk sumber vakum diperlukan dan mengurangi titik didih dari distillates mensyaratkan bahwa kondensor dijalankan distilat dingin untuk mencegah uap yang hilang ke sumber vakum. Meningkatnya tuntutan pendinginan akan sering membutuhkan energi tambahan dan mungkin peralatan baru atau perubahan pendingin. Cara lainnya, jika diperlukan tekanan positif, gelas standar tidak dapat digunakan, energi harus digunakan untuk tekanan udara dan terdapat kemungkinan yang lebih tinggi terjadi pada reaksi samping penyulingan, seperti dekomposisi, karena suhu yang lebih tinggi diperlukan untuk efek mendidih. Sebuah penyulingan searah akan bergantung pada perubahan tekanan dalam satu arah, baik positif atau negatif. Tekanan Ayunan Penyulingan Informasi lebih lanjut: Tekanan-Swing Penyulingan (bagian pada halaman Azeotrope utama) Bagian ini dapat membingungkan atau tidak jelas bagi pembaca. Tolong bantu memperjelas bagian; saran dapat ditemukan di halaman pembicaraan. (Mei 2009) Tekanan-ayunan penyulingan pada dasarnya sama dengan searah penyulingan yang digunakan untuk memecahkan azeotropik campuran, tapi di sini baik positif maupun negatif dapat diterapkan tekanan. [Klarifikasi diperlukan]

Hal ini memiliki dampak penting pada selektivitas dari penyulingan dan memungkinkan seorang ahli kimia [rujukan?] Untuk mengoptimalkan proses yang lebih sedikit ekstrim seperti tekanan dan temperatur yang diperlukan dan kurang energi dipakai. Hal ini terutama penting dalam aplikasi komersial. Tekanan-ayunan penyulingan yang digunakan selama pemurnian etil asetat setelah katalis sintesis dari etanol. Industri Penyulingan

Industri skala besar aplikasi penyulingan meliputi batch dan berkesinambungan pecahan, vakum, azeotropik, ekstraktif, dan uap penyulingan. Yang paling banyak digunakan aplikasi industri yang berkesinambungan, kondisi mapan fraksi distilasi dalam kilang-kilang minyak, petrokimia dan kimia tanaman dan pabrik pengolahan gas alam. Industri penyulingan [27] [33] yang biasanya dilakukan dalam jumlah besar, silinder vertikal kolom distilasi yang dikenal sebagai menara atau kolom distilasi dengan diameter berkisar dari sekitar 65 cm sampai 16 meter dan tinggi badan mulai dari sekitar 6 meter hingga 90 meter atau lebih. Ketika proses pakan memiliki komposisi yang beragam, seperti dalam penyulingan minyak mentah, cairan interval gerai di atas kolom memungkinkan untuk

penarikan pecahan atau produk yang berbeda memiliki titik didih yang berbeda atau rentang mendidih. The ringan produk (mereka yang memiliki titik didih terendah) keluar dari bagian atas kolom dan terberat produk (mereka yang memiliki titik didih tertinggi) keluar dari bagian bawah kolom dan sering disebut pantat. Industri skala besar menara menggunakan refluks untuk mencapai pemisahan yang lebih lengkap produk. Refluks mengacu pada bagian atas cairan kental produk dari menara distilasi atau fraksinasi yang akan dikembalikan pada bagian atas menara seperti ditunjukkan pada diagram skematik yang khas, industri skala besar menara penyulingan. Di dalam menara, refluks cairan downflowing menyediakan pendinginan dan kondensasi dari uap upflowing sehingga dapat meningkatkan efektivitas dari menara penyulingan. Lebih refluks yang disediakan untuk suatu jumlah pelat teoritis, semakin baik pemisahan menara bahan mendidih lebih rendah dari bahan didih yang lebih tinggi. Atau, yang lebih refluks yang disediakan untuk suatu pemisahan yang diinginkan, semakin sedikit jumlah pelat teoritis diperlukan.

Fractionating industri seperti menara juga digunakan dalam pemisahan udara, memproduksi oksigen cair, nitrogen cair, dan argon dengan kemurnian tinggi. Penyulingan chlorosilanes juga memungkinkan produksi silikon kemurnian tinggi untuk digunakan sebagai semikonduktor. Bagian dari menara distilasi industri menunjukkan detail dari nampan dengan tutup gelembung Desain dan operasi dari sebuah menara distilasi tergantung pada pakan dan produk-produk yang diinginkan. Mengingat yang sederhana, komponen biner pakan, metode analisis seperti metode McCabe-Thiele [27] [34] atau Fenske persamaan [27] dapat digunakan. Untuk multikomponen pakan, model simulasi digunakan baik untuk desain dan operasi. Selain itu, efisiensi uap-cair perangkat kontak (disebut sebagai piring atau nampan) yang digunakan dalam menara distilasi biasanya lebih rendah daripada teoretis 100% efisien tahap kesetimbangan. Oleh karena itu, sebuah menara distilasi memerlukan lebih baki dari jumlah teoretis kesetimbangan uap-cair tahap. Dalam industri menggunakan, kadang-kadang material kemasan digunakan dalam kolom bukan nampan, terutama ketika penurunan tekanan rendah di kolom yang diperlukan, seperti ketika beroperasi di bawah kondisi vakum. Skala besar, industri penyulingan vakum kolom [35] Material kemasan ini dapat menjadi acak dump berkemas (1-3 wide) seperti cincin atau terstruktur Raschig lembaran logam. Cairan cenderung untuk membasahi permukaan kemasan dan uap melintasi permukaan terbasahi ini, di mana terjadi perpindahan massa. Berbeda nampan konvensional distilasi di mana setiap nampan mewakili titik terpisah uapcair kesetimbangan, kesetimbangan uap-cair kurva dalam kolom yang penuh sesak kontinu. Namun, bila dikemas pemodelan kolom, ini berguna untuk menghitung sejumlah tahap teoritis untuk menunjukkan efisiensi pemisahan kolom yang penuh sesak sehubungan dengan nampan yang lebih tradisional. Berbeda berbentuk kemasan yang berbeda area permukaan dan ruang kosong antara kemasan. Kedua faktor tersebut mempengaruhi kinerja pengepakan. Faktor lain di samping pengepakan bentuk dan luas permukaan yang mempengaruhi kinerja acak atau terstruktur kemasan adalah distribusi uap cair dan dikemas memasuki tempat tidur. Jumlah tahap teoritis yang diperlukan untuk membuat pemisahan yang diberikan dihitung dengan menggunakan uap tertentu untuk rasio cair. Jika cair dan uap yang tidak merata di seluruh wilayah menara dangkal ketika memasuki tempat tidur yang penuh sesak, cairan menjadi uap rasio tidak akan benar di tempat tidur yang penuh sesak dan pemisahan yang diperlukan tidak akan tercapai. Pengepakan akan tampak tidak akan bekerja dengan baik. Ketinggian setara dengan pelat teoritis (HETP) akan lebih besar dari yang diharapkan. Masalahnya bukan pengepakan itu sendiri tapi mal-distribusi cairan dikemas memasuki tempat tidur. Cair mal-distribusi lebih sering masalah dari uap. Desain distributor cairan yang digunakan untuk memperkenalkan feed dan refluks ke tempat tidur dikemas sangat penting untuk membuat kemasan itu melakukan efisiensi maksimum. Metode untuk mengevaluasi efektivitas cairan distributor untuk mendistribusikan secara merata cair dikemas memasuki tempat tidur dapat ditemukan dalam referensi. [36] [37] Cukup bekerja sebagai telah dilakukan pada topik ini dengan Fractionation Research, Inc (umumnya dikenal sebagai FRI) . [38]

http://l1n4ch4n.wordpress.com/2010/03/11/destilasi/

POSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT INDONESIA (Kajian Potensi Indonesia terhadap Pasar Herbal Dunia)
Filed under: Artikel, Kampoeng Tani by ridiah 2 Komentar 13 Juni 2010

Pendahuluan Penggunaan tumbuh-tumbuhan untuk penyembuhan kemungkinan adalah merupakan bentuk pengobatan tertua di dunia. Setiap budaya di dunia memiliki sistem pengobatan tradisional yang khas dan di setiap daerah dijumpai berbagai macam jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. WHO (World Health Organization) pada tahun 1985 memprediksi bahwa sekitar 80% penduduk dunia telah memanfaatkan tumbuhan obat (herbal medicine, phytotherapy, phytomedicine, atau botanical medicine) untuk pemeliharaan kesehatan primernya (Peters & Whitehouse, 1999). Kandungan senyawa kimia yang beragam pada berbagai tumbuhan dijumpai secara tersebar ataupun terpusat pada organ tubuh tumbuhan seperti seperti daun, bunga, buah, biji, akar, rimpang, atau kulit batang (Hornok, 1992). WHO dalam merealisasikan visi kesehatan dunia di abad 21 melalui Deklarasi AlmaAta mendukung pengobatan tradisional dalam pemeliharaan kesehatan dunia (Ismail, 2002). Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity untuk tumbuhan obat di dunia dengan keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 setelah Brazilia. Dari 40 000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30.000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turuntemurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Keanekaragaman hayati ini merupakan aset nasional yang bernilai tinggi untuk pengembangan industri agromedisin di dunia. Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) dengan keyakinan bahwa mengkomsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka berdampak tingginya permintaan dunia akan obat alami sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri semakin besar peluangnya. Masyarakat Indonesia sudah sejak ratusan tahun yang lalu memiliki tradisi memanfaatkan tumbuhan dari lingkungan sekitarnya sebagai obat tradisional. Kecenderungan masyarakat mencari pemecahan terhadap masalah kesehatan melalui pengobatan tradisional sangat dirasakan akhir-akhir ini. Fenomena ini terus meningkat sejak krisis ekonomi tahun 1997 yang menyebabkan harga obat sintetik melonjak tinggi karena sebagian besar bahan baku obat sintetik tersebut merupakan komoditi impor. Pada tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan Visi Indonesia Sehat 2010 sebagai inspirator dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan yang misi dan sasarannya antara lain mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap obat impor, dan perlu dicarikan substitusinya dengan produk industri di dalam negeri. Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut adalah meningkatkan penggunaan cara pengobatan tradisional yang aman dan bermanfaat, baik secara tersendiri maupun terpadu dalam jaringan pelayanan kesehatan paripurna. Pada pembukaan Seminar Obat Alami Cina-Indonesia tanggal 8 Desember 2003, secara eksplisit Presiden RI menekankan perlunya perhatian khusus yang sungguhsungguh

untuk mengembangkan obat alami di Indonesia yang sangat penting dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kemandirian Indonesia di bidang kesehatan. Diharapkan jamu yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari tanaman obat, bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan tamu terhormat di negara lain. Revitalisasi Pertanian juga telah ditetapkan sebagai prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2005 2010 di Bidang Ekonomi. Revitalisasi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi. Pada akhir tahun 2025 diharapkan sektor pertanian telah menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan struktur perekonomian nasional menuju tinggal landas. Tanpa usaha agribisnis atau investasi yang memadai dalam agroindustri, tidak mungkin revitalisasi pertanian dapat dilaksanakan. Dalam kerangka demikian, pengembangan tanaman obat memiliki arti penting dan strategis. Trend global masyarakat konsumen dunia yang menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman dengan slogan back to nature dan meninggalkan rokok, menunjukkan pertumbuhan yang semakin meningkat, termasuk di Indonesia sendiri. Nilai pasar tanaman obat, termasuk rimpang-rimpangan, di dalam negeri relatif tinggi dan menunjukkan kecenderungan meningkat dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi obat berbasis bahan baku alami, termasuk semakin maraknya penggalian potensi bahan obat dari tanaman baru, seperti purwoceng. Sebuah perusahaan distributor food suplement ex impor di Indonesia telah membuktikan meningkatnya penjualan produk yang mereka pasarkan sebesar 100% per tahun dengan omset milyaran rupiah sejak tahun 2001. Adanya kecenderungan dunia untuk menempuh gaya hidup kembali ke alam (back to nature) yang meyakini bahwa mengkomsumsi obat alami relatif tidak memiliki efek samping memberikan angin segar bagi industri agromedisin yang memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan baku utama, sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di luar negeri semakin besar peluangnya. Kelebihan Obat Herbal Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia. Menurut WHO, negaranegara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar E Y, 2006). WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO, 2003).
1. Aman dan minim Efek Samping

Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern. Efek samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat, yang meliputi : a. Kebenaran bahan

Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Kebenaran bahan menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan. Sebagai contoh lempuyang di pasaran ada beberapa macam yang agak sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Lempuyang emprit (Zingiber amaricans) memiliki bentuk yang relative lebih kecil, berwarna kuning dengan rasa yang pahit. Lempuyang emprit ini berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang kedua adalah lempuyang gajah (Zin giber zerumbet) yang memiliki bentuk lebih besar dan berwarna kuning, jenis ini pun berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum) yang memiliki warna agak putih dan berbau harum. Tidak seperti kedua jenis lempuyang sebelumnya, jenis ini memiliki khasiat sebagai pelangsing (Sastroamidjojo S, 2001). Di Belgia, 70 orang harus menjalani dialysis atau transplantasi ginjal akibat mengkonsumsi pelangsing dari tanaman yang keliru (WHO, 2003). b. Ketepatan dosis Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak bisa dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya resep dokter. Buah mahkota dewa, misalnya, hanya boleh dikonsumsi dengan perbandingan 1 buah dalam 3 gelas air. Sedangkan daun mindi baru berkhasiat jika direbus sebanyak 7 lembar dalam takaran air tertentu (Suarni, 2005). Hal ini menepis anggapan bahwa obat tradisional tak memiliki efek samping. Anggapan bila obat tradisional aman dikonsumsi walaupun gejala sakit sudah hilang adalah keliru. Sampai batas-batas tertentu, mungkin benar. Akan tetapi bila sudah melampaui batas, justru membahayakan. Efek samping tanaman obat dapat digambarkan dalam tanaman dringo (Acorus calamus), yang biasa digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan ini memiliki kandungan senyawa bioaktif asaron. Senyawa ini punya struktur kimia mirip golongan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis rendah, dringo memang dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat ((Manikandan S, dan Devi RS., 2005), (Sukandar E Y, 2006)). Namun, jika digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya, yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, et al., 2003). Asaron dringo, juga merupakan senyawa alami yang potensial sebagai pemicu timbulnya kanker, apalagi jika tanaman ini digunakan dalam waktu lama (Abel G, 1987). Di samping itu, dringo bisa menyebabkan penumpukan cairan di perut, mengakibatkan perubahan aktivitas pada jantung dan hati, serta dapat menimbulkan efek berbahaya pada usus ((Chamorro G, et al., 1999),(Garduno L, et al., 1997), (Lopez ML, et al., 1993)). Berdasarkan fakta ilmiah itu, Federal Drugs of Ad-ministration (FDA) Amerika Serikat telah melarang penggunaan dringo secara internal, karena lebih banyak mendatangkan kerugian dari pada manfaat (Suarni, 2005). Takaran yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang belum banyak didukung oleh data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan takaran sejumput, segenggam atau pun seruas yang sulit ditentukan ketepatannya. Penggunaan takaran yang lebih pasti dalam satuan gram dapat mengurangi kemungkinan terjadinya efek yang tidak diharapkan karena batas antara racun dan obat dalam bahan tradisional amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman obat bisa menjadi obat, sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun. c. Ketepatan waktu penggunaan

Kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid dan sudah turun-temurun dikonsumsi dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik dikonsumsi saat datang bulan (Sastroamidjojo S, 2001). Akan tetapi jika diminum pada awal masa kehamilan beresiko menyebabkan keguguran. Hal ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu penggunaan obat tradisional menentukan tercapai atau tidaknya efek yang diharapkan. d. Ketepatan cara penggunaan Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya. Masingmasing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun Kecubung jika dihisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan / mabuk (Patterson S, dan OHagan D., 2002). e. Ketepatan telaah informasi Perkembangan teknologi informasi saat ini mendorong derasnya arus informasi yang mudah untuk diakses. Informasi yang tidak didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai dan telaah atau kajian yang cukup seringkali mendatangkan hal yang menyesatkan. Ketidaktahuan bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi bahan membahayakan. Contohnya, informasi di media massa meyebutkan bahwa biji jarak (Ricinus communis L) mengandung risin yang jika dimodifikasi dapat digunakan sebagai antikanker (Wang WX, et al., 1998). Risin sendiri bersifat toksik / racun sehingga jika biji jarak dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare ((Audi J, et al., 2005), (Sastroamidjojo S, 2001)). Contoh lainnya adalah tentang pare. Pare, yang sering digunakan sebagai lalapan ternyata mengandung khasiat lebih bagi kesehatan. Pare alias paria (Momordica charantia) kaya mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid. Pare mengandung alphamomorchorin, beta-momorchorin dan MAP30 (momordica antiviral protein 30) yang bermanfaat sebagai anti HIV-AIDS ((Grover JK dan Yadav SP, 2004), (Zheng YT, et al., 1999)). Akan tetapi, biji pare juga mengandung triterpenoid yang mempunyai aktivitas anti spermatozoa, sehingga penggunaan biji pare secara tradisional dengan maksud untuk mencegah AIDS dapat mengakibatkan infertilitas pada pria ((Girini MM, et al., 2005), (Naseem MZ, et al., 1998)). Konsumsi pare dalam jangka panjang, baik dalam bentuk jus, lalap atau sayur, dapat mematikan sperma, memicu impotensi, merusak buah zakar dan hormon pria, bahkan berpotensi merusak liver ((Basch E, et al., 2003), (Lord MJ, et al., 2003)). Bagi wanita hamil, sebaiknya konsumsi pare dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan pemberian jus pare menimbulkan keguguran.
1. f. Tanpa penyalahgunaan

Tanaman obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk didapatkan karena tidak memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan manfaat dari tanaman obat maupun obat tradisional tersebut. Contoh : Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering disalahgunakan untuk pengguguran kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi lahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi bahkan kematian. Menghisap kecubung sebagai psikotropika.

Penambahan bahan kimia obat

Pada bulan Mei 2003, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pekanbaru menarik 9.708 kotak obat tradisional dari peredaran dan memusnahkannya. Obat yang ditarik dari peredarannya sebagian besar berupa jamu-jamuan yang mengandung bahan-bahan kimia obat (BKO) berbahaya bagi tubuh pemakainya. Bahan-bahan kimia obat yang biasa dicampurkan itu adalah parasetamol, coffein, piroksikam, theophylin, deksabutason, CTM, serta bahan kimia penahan rasa sakit seperti antalgin dan fenilbutazon (Kompas, 31 Mei 2003). Bahanbahan kimia obat tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam tubuh pemakainya jika digunakan dalam jumlah banyak. Bahan kimia seperti antalgin misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan pada organ pencernaan, berupa penipisan dinding usus hingga menyebabkan pendarahan. Fenil-butazon dapat menyebabkan pemakainya menjadi gemuk pada bagian pipi, namun hanya berisi cairan yang dikenal dengan istilah moonface, dan jika digunakan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan osteoporosis. g. Ketepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu Dalam satu jenis tanaman dapat ditemukan beberapa zat aktif yang berkhasiat dalam terapi. Rasio antara keberhasilan terapi dan efek samping yang timbul harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan dalam terapi. Contoh, daun Tapak dara mengandung alkaloid yang bermanfaat untuk pengobatan diabetes. Akan tetapi daun Tapak dara juga mengandung vincristin dan vinblastin yang dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga 30%., akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi ((Bolcskei H, et al., 1998), (Lu Y, et al., 2003), (Noble RL, 1990), (Wu ML, et al., 2004)). Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun Tapak dara tidak tepat digunakan sebagai antidiabetes melainkan lebih tepat digunakan untuk pengobatan leukemia.
1. Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat tradisional/ komponen bioaktif tanaman obat

Dalam suatu ramuan obat tradisional umumnya terdiri dari beberapa jenis tanaman obat yang memiliki efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan. Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan kontra indikasi, bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu formulasi terdiri dari komponen utama sebagai unsur pokok dalam tujuan pengobatan, asisten sebagai unsur pendukung atau penunjang, ajudan untuk membantu menguatkan efek serta pesuruh sebagai pelengkap atau penyeimbang dalam formulasi. Setiap unsur bisa terdiri lebih dari 1 jenis tanaman obat sehingga komposisi obat tradisional lazimnya cukup komplek. Misalnya suatu formulasi yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah, komponennya terdiri dari : daun sledri (sebagai vasodilator), daun apokat atau akar teki (sebagai diuretika), daun murbei atau besaren (sebagai Ca-antagonis) serta biji pala (sebagai sedatif ringan). Formulasi lain dimaksudkan untuk pelangsing, komponennya terdiri dari : kulit kayu rapet dan daun jati belanda (sebagai pengelat), daun jungrahap (sebagai diuretik), rimpang kunyit dan temu lawak (sebagai stomakik sekaligus bersifat pencahar). Dari formulasi ini walaupun nafsu makan ditingkatkan oleh temu lawak dan kunyit, tetapi penyerapan sari makanan dapat ditahan oleh kulit kayu rapet dan jati belanda. Pengaruh kurangnya defakasi dinetralisir oleh temulawak dan kunyit sebagai pencahar, sehingga terjadi proses pelangsingan sedangkan proses defakasi dan diuresis tetap berjalan sebagaimana biasa.

Terhadap ramuan tersebut seringkali masih diberi bahan-bahan tambahan (untuk memperbaiki warna, aroma dan rasa) dan bahan pengisi (untuk memenuhi jumlah/volume tertentu). Bahan tambahan sering disebut sebagai Coringen, yaitu c.saporis (sebagai penyedap rasa, misalnya menta atau kayu legi), c.odoris (penyedap aroma/bau, misalnya biji kedawung atau buah adas) dan c.coloris (memperbaiki warna agar lebih menarik, misalnya kayu secang, kunyit atau pandan). Untuk bahan pengisi bisa digunakan pulosari atau adas, sekaligus ada ramuan yang disebut adas-pulowaras atau adas-pulosari.Untuk sediaan yang berbentuk cairan atau larutan, seringkali masih diperlukan zat-zat atau bahan yang berfungsi sebagai Stabilisator dan Solubilizer. Stabilisator adalah bahan yang berfungsi menstabilkan komponen aktif dalam unsur utama, sedangkan solubilizer untuk menambah kelarutan zat aktif. Sebagai contoh, kurkuminoid, yaitu zat aktif dalam kunyit yang bersifat labil (tidak stabil) pada suasana alkalis atau netral, tetapi stabil dalam suasana asam, sehingga muncul ramuan kunir-asem. Demikian juga dengan etil metoksi sinamat, suatu zat aktif pada kencur yang agak sukar larut dalam air; untuk menambah kelarutan diperlukan adanya suspending agent yang berperan sebagai solubilizer yaitu beras, sehingga dibuat ramuan beras-kencur. Selain itu beberapa contoh tanaman obat yang memiliki efek sejenis (sinergis), misalnya untuk diuretik bisa digunakan daun keji beling, daun kumis kucing, akar teki, daun apokat, rambut jagung dan lain sebagainya. Sedangkan efek komplementer (saling mendukung) beberapa zat aktif dalam satu tanaman, contohnya seperti pada herba timi (Tymus serpyllum atau T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan obat batuk. Herba timi diketahui mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri dari : tymol dan kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Tymol dalam timi berfungsi sebagai ekspektoran (mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti bakteri penyebab batuk; sedangkan flavon polimetoksi sebagai penekan batuk non narkotik, sehingga pada tanaman tersebut sekurang-kurangnya ada 3 komponen aktif yang saling mendukung sebagai anti tusif. Demikian pula efek diuretik pada daun kumis kucing karena adanya senyawa flavonoid, saponin dan kalium. Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder; sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut adakalanya saling mendukung (seperti pada herba timi dan daun kumis kucing), tetapi ada juga yang seakanakan saling berlawanan atau kontradiksi (sperti pada akar kelembak). Sebagai contoh misalnya pada rimpang temu lawak (Curcuma xanthoriza) yang disebutkan memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain :sebagai anti inflamasi (anti radang), anti hiperlipidemia (penurun lipida darah), cholagogum (merangsang pengeluaran produksi cairan empedu), hepatoprotektor (mencegah peradangan hati) dan juga stomakikum (memacu nafsu makan). Jika diperhatikan setidak-tidaknya ada 2 efek yang kontradiksi, yaitu antara anti hiperlipidemia dan stomakikum. Bagaimana mungkin bisa terjadi pada satu tanaman,terdapat zat aktif yang dapat menurunkan kadarlemak/kolesterol darah sekaligus dapat bersifat memacu nafsu makan. Hal serupa juga terdapat pada tanaman kelembak (Rheum officinale) yang telah diketahui mengandung senyawa antrakinon bersifat non polar dan berfungsi sebagai laksansia (urus-urus/pencahar); tetapi juga mengandung senyawa tanin yang bersifat polar dan berfungsi sebagai astringent/pengelat dan bisa menyebabkan konstipasi untuk menghentikan diare. Lain lagi dengan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah populer karena disebutkan dapat untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Kenyataan seperti itu disatu sisi merupakan keunggulan produk obat alam, tetapi disisi lain merupakan bumerang karena alasan yang tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan formal. Terlepas dari itu semua, sebenarnya merupakan lahan subur bagi para peneliti bahan

obat alam untuk berkiprah memunculkan fenomena ilmiah yang bisa diterima dan dipertangungjawabkan kebenaran, keamanan dan manfaatnya.
1. 3. Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif

Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakitpenyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pada periode sebelum tahun 1970an banyak terjangkit penyakit infeksi yang memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan OT atau Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak efektif. Sebaliknya pada periode berikutnya hinga sekarang sudah cukup banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang potensinnya lebih tinggi sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi. Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif. Yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya: rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (Lost of memory). Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakaian obat dalam waktu lama sehinga jika mengunakan obat modern dikawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat alam, walaupun penggunaanya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman. dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare ((Audi J, et al., 2005), (Sastroamidjojo S, 2001)) Potensi Tanaman Obat Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity untuk tumbuhan obat di dunia. Wilayah hutan tropika Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 di dunia setelah Brazilia. Dari 40 000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30 000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Jumlah tumbuhan obat tersebut meliputi sekitar 90% dari jumlah tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Asia (Puslitbangtri, 1992). Menurut Ditjen POM(1991) ada 283 spesies tumbuhan obat yang sudah terdaftar digunakan oleh industri Obat Tradisional di Indonesia. diantaranya 180 spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan tropika. Kekayaan alam Indonesia telah terbukti mampu menghidupi masyarakat penghuninya. Masyarakat lokal memiliki pengertian yang dalam akan manfaat berbagai jenis tumbuhan lokal. Tidak kurang dari 400 etnis masyarakat Indonesia yang erat kehidupannya dengan alam dan memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam memanfaatkan tumbuhan obat. untuk perawatan kesehatan. Diantaranya, yang mayoritas menggunakan tumbuhan obat untuk penyembuhan berbagai macam penyakit seperti malaria, diare, demam, sakit perut, dan sakit kuning yaitu etnis Sunda yang diketahui telah memanfatkan 305 jenis tumbuhan, etnis Jawa memanfaatkan

114 jenis tumbuhan, etnis Melayu mengenal 131 jenis tumbuhan, dan etnis Bali mengenal 105 jemis tumbuhan (Darusman, et al., 2004). Plasmanutfah tumbuhan obat yang berlimpah di Indonesia dan didukung dengan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh berbagai etnis dalam memanfaatkan tumbuhan obat, serta tradisi penggunaan obat tradisional berupa jamu yang diwariskan turun-temurun adalah merupakan aset bernilai tinggi yang potensial untuk pengembangan industri agromedisin. Salah satu upaya pemerintah melalui Ditjen POM dalam mendukung pengembangan agroindustri tumbuhan obat Indonesia adalah ditetapkannya 13 komoditi tumbuhan obat unggulan yaitu temulawak, jati belanda, sambiloto, mengkudu, pepagan, daun ungu, sanrego, pasak bumi, daun jinten, kencur, pala, jambu mete, dan tempuyung dengan pertimbangan bahwa komoditi tersebut bernilai ekonomi yang tinggi, mempunyai peluang pasar dan potensi produksi yang tinggi, serta berpeluang dalam pengembangan teknologi (Sumarno dalam Biofarmaka, 2002). Peluang pengembangan obat tradisional Indonesia masih terbuka lebar karena permintaan pasar yang terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk Indonesia yang tinggi dan menyadari mahalnya harga obat sintetik belakangan ini. Tingginya minat masyarakat akan obat alami, banyak perusahaan industri farmasi nasional menawarkan produk obat alami dalam bentuk ekstrak tumbuhan obat (fitofarmaka) yang diolah dan dikemas secara modern di pasaran saat ini seperti prolipid dan prouric. Daerah pertanaman tumbuhan obat-obatan menyebar di seluruh propinsi di Indonesia dengan sentra utama di pulau Jawa. Pengusahaan tumbuhan obat di Indonesia dalam skala luas dengan areal penanaman seluas 126 504 197 m2 yang dikelola oleh Ditjen Bina Produksi Hortikultura (Ditjen Perkebunan, 2004) pada tahun 2003 masih terbatas untuk 13 komoditi tumbuhan obat yaitu: jahe, lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, kejibeling, dringo, kapulaga, temukunci, mengkudu, dan sambiloto. Perkembangan luas areal dan produksi tumbuhan obat selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Areal dan Produksi 13 Tanaman Biofarmaka di Indonesia Tahun 1999-2003
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003* Luas areal (m2) 119.073.069 139.712.027 148.294.293 119.228.155 126.504.197 Produksi (kg) 170.602.793 193.018.174 208.165.152 202.532.547 228.711.260

Sumber:Statistik tanaman hortikultura, Ditjen Bina Produksi Hortikultura 2004 * ) Tahun 2003. Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) menyebabkan masyarakat lebih memilih menggunakan obat alami yang diyakini tidak memiliki efek samping dan harga lebih terjangkau daripada obat sintetik. Kondisi ini memacu peningkatan kebutuhan akan obat tradisional maupun fitofarmaka. Hal ini dapat terlihat pada kondisi pasar dan perkembangan jumlah industri obat tradisional di dalam negeri. Pada tahun 1984 volume

penjualan obat tradisional sebesar 970,6 ton, dan pada tahun 1998 terjadi peningkatan sekitar 10 kali lipat menjadi 9.273,4 ton. Pada tahun 2002 omzet obat alami secara nasional sekitar satu triliun rupiah dan pada tahun 2003 diperkirakan meningkat menjadi Rp 1,4 triliun (Said, 2002). Seiring dengan meningkatnya volume dan omzet obat alami perkembangan jumlah industri obat tradisional di Indonesia dari tahun ke tahun juga terus meningkat Dalam kurun waktu 20 tahun, jumlah industri obat tradisional meningkat 6 kali. Pada tahun 1981 industri obat tradisional yang terdaftar di Ditjen POM sebanyak 165 buah dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 443 buah. Hingga tahun 2001, jumlah industri obat tradisional mencapai 997 buah (Ditjen POM, 2002). Bahan baku untuk proses industri (jamu, obat ekstrak, dan fitofarmaka) berasal dari tumbuhan yang merupakan produk biofarmaka. Produk ini dapat merupakan tanaman segar ataupun yang sudah dikeringkan (simplisia). Dalam bentuk segar, produk ini dimanfaatkan sebagai sediaan ekstrak hasil perasan, tingtur atau ekstrak cair, maserat minyak atau ekstrak yang menggunakan pelarut minyak. Sedangkan produk dari simplisia dapat berupa sediaan serbuk, obat sediaan teh, maserat minyak, ataupun dalam bentuk ekstrak kental maupun kering. Produk farmasi yang lain merupakan hasil proses lebih lanjut yaitu hasil ekstraksi, pemisahan, dan pemurnian menjadi ekstrak, fraksi, atau senyawa murni. Dari segi pemanfaatannya sebagai obat asli Indonesia, produk biofarmaka dapat digunakan sebagai jamu atau fitofarmaka. Pengujian Produk Obat tradisonal jamu hanya melalui uji pra klinis, sedangkan pengujian produk fitofarmaka harus melalui uji praklinis dan klinis yang berpedoman kepada SK Menteri Kesehatan tentang pedoman fitofarmaka No.761/Menkes/SK/IX/1992 dan Peraturan Menkes RI. No.760/Menkes/Per/ IX/1992 (Pusat Studi Biofarmaka, 2002 dan Sujatno, 2001). KEADAAN PASAR OBAT HERBAL DUNIA Cina sebagai negara yang paling maju dalam bidang produk herbal, memiliki 940 perusahaan obat tradisional dengan nilai penjualan domestik mencapai 6 milyar USD dengan pangsa pasar mencapai 33% dari total pasar obat dunia. Di India 60-70% penduduk menggunakan sistem pengobatan alami, dengan nilai penjualan mencapai 3 milyar USD pada tahun 2002. Di Korea output dari obat herbal mencapai 500 juta USD yang merupakan 12% dari total penjualan obat dunia. Di Malaysia, nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai 1,2 milyar USD, dengan trend pasar meningkat 13% per tahun. Perdangangan dunia untuk produk tumbuhan obat (herbal) pada tahun 2000 sekitar US$ 20 milyar dengan pasar terbesar adalah di Asia (3 9%), diikuti dengan Eropa (34%), Amerika Utara (22%), dan belahan dunia lainnya (5%) (Pramono, 2002). Di tahun 2001 terjadi peningkatan penjualan menjadi US$ 45 milyar (Biofarmaka, 2002). Di Indonesia volume perdagangan obat tradisional pada tahun 2002 baru mencapai 150 juta USD, padahal kurang lebih 61% penduduk Indonesia diketahui sudah terbiasa mengkonsumsi obat tradisional yang dikenal sebagai jamu. Hal yang memprihatinkan adalah bahwa kebutuhan bahan baku untuk 1.023 buah perusahaan obat tradisional, yang terdiri dari 118 industri obat tradisional (IOT, aset > Rp. 600 juta), dan 905 industri kecil obat tradisional (IKOT, aset < Rp. 600 juta) justru 85% diperoleh dari upaya penambangan dari hutan dan pekarangan tanpa upaya budidaya. Ekspor bahan baku dan simplisia tanaman obat Indonesia menunjukkan peningkatan yang berarti. Pada tahun 2000 mencapai 26,06 juta USD dan tahun 2001 890,24 juta USD. Negara pengimpor tanaman obat asal Indonesia antara lain Singapura, Taiwan, Hongkong dan Jepang. Trend penjualan tanaman obat yang di ekspor cukup fluktuatif. Neraca perdagangan internasional tanaman obat Indonesia adalah positif pada

kurun waktu 1996-2001, dengan nilai surplus eskpor tertinggi terjadi pada tahun 1997 sebesar 400,48 juta USD Hasil-hasil industri agromedisin asli Indonesia berupa bahan baku dalam bentuk simplisia dan minyak atsiri telah banyak dimanfaatkan oleh banyak negara maju sebagai bahan baku untuk berbagai tujuan penggunaan seperti herbal medicine, food supplement, kosmetik, dan farfum. Ekspor bahan baku dan simplisia tumbuhan obat sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 dapat dilihat pada tabel 2. Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa nilai ekspor bahan baku dan simplisia tumbuhan obat Indonesia mengalami pasang surut. Hal ini menurut Pramono (2002) disebabkan karena mutu dan suplai bahan baku dan simplisia yang tidak konsisten. Tabel 2. Perkembangan Nilai Ekspor Tanaman Obat Tahun 1998-Oktober 2002.
Tahun 1998 1999 2000 2001 Oktober 2002 Nilai Ekspor (Juta US$) 4.8 5.5 7.4 5.3 3.6 Pertumbuhan (%) 15.39 33.64 -23.24 -23.17

Sumber: Dept. Perindustrian dan Perdagangan dalam Biofarmaka,2002. Potensi tumbuhan obat asli Indonesia dapat terlihat dari kontribusinya pada produksi obat dunia. Sebagai contoh dari 45 macam obat penting yang diproduksi oleh Amerika Serikat yang berasal dari tumbuhan obat tropika, 14 spesies berasal dari Indonesia diantaranya tapak dara (Catharanthus roseus) penghasil senyawa vinblastin yang berkhasiat sebagai obat anti kanker dan pule pandak (Rauwolfia serpentina) penghasil senyawa reserpin yang berkhasiat sebagai obat hipertensi. Berbagai jenis tumbuhan obat Indonesia seperti kina, jahe, pule pandak, ketumbar, lidah buaya, sambiloto, adas, meniran, dan kapulaga menjadi komoditas ekspor yang penting. Pasar utama tumbuhan obat Indonesia antara lain Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Jerman, Switzerland, dan Inggris (Biofarmaka, 2002). Keempat belas spesies tumbuhan obat asal Indonesia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tumbuhan obat Indonesia yang digunakan sebagai bahan baku obat di USA
No 1 2 Spesies Tumbuhan Anamirta cocculus Andrograp his paniculata Senyawa Aktif Picrotoxin Andrografolid Khasiat Analeptic Bacillary dysentery

Neoandrografolid
3 Areca catechu Arecoline Anthelninthic

4 5 6

Azadirachta indica Catharanthus roseus Centella asiatica

Azadi rachtin Vinblastin Asiaticosoda

Insektisida Anti kanker Keterbelakangan

Vincristine
7 Cephaelisipe Emetin Amobelisida

cacaermacha
8 9 10 11 12 13 Cinnamomum campora Datura metel Dioscorea spp Rauwolfia serpentina Ricinus communis Digitalis purpurea Camphor Scopolamin Diosgenin Ajmalisin Reserpin Castrol oil Digitalin Rubefacient Sedative Kontraseptik Anti hipertensi Laxative Cardiotonic

Digitoxinnitalin
14 Strychnos spp Strychine CNS Stimulant

Sumber: Farnsworth et al. (1985) Prospek, Kendala Dan Strategi Pengembangan Tumbuhan Obat Indonesia Kecenderungan back to nature masyarakat Indonesia maupun mancanegara saat ini, merupakan suatu peluang yang cukup besar bagi obat bahan alam untuk menggantikan obat modern walaupun belum secara penuh. Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai permintaan jamu secara nasional maupun ekspor. Menurut data yang ada, omset industri jamu nasional mencapai Rp. 3,2 3,5 triliun pada tahun 2004, naik sekitar 15-20% dari tahun 2003. Data lain menyatakan, walaupun pangsa pasar obat bahan alam belum sebesar obat modern tetapi potensi peningkatannya cukup besar (Tabel 6). Meskipun kontribusi obat tradisional pada saat ini hanya mencapai 10,5%, namun nlainya cukup berarti (Rp. 2 triliun). Diperkirakan untuk tahun 2010 akan meningkat menjadi 16% dengan nilai Rp. 7,2 triliun. Selain permintaan domestik, permintaan mancanegara akan produk jamu terus meningkat walaupun data yang akurat belum tersedia Tabel 6.Perbandingan permintaan obat modern dan obat bahan alam
Obat Modern Tahun Permintaan (Rp. trilyun) Pangsa pasar (%) Obat bahan Alam Permintaan (Rp. trilyun) Pangsa pasar (%)

2003 2010

17 37

89,5 84,0

2 7,2

10,5 16,0

Sumber: LIPI (2003). Seiring dengan meningkatnya jumlah industri obat tradisional di Indonesia dan tingginya penggunaan obat tradisional/jamu dan produk fitofarmaka di dalam maupun diluar negeri mengakibatkan tingginya permintaan terhadap penyediaan bahan baku obat dari tumbuhan yang berkualitas secara kontinyu. Beberapa jenis bahan obat masih mengandalkan panenan dari hutan, seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia), cendana (Santalum album), serta pinang (Areca catechu). Pemanenan yang melampaui batas kemampuan regenerasinya akan meyebabkan kelangkaan bahkan kepunahan spesies tersebut (Balittro, 2001). Beberapa spesies tumbuhan obat yang termasuk kategori langka antara lain: purwoceng (Pimpinella pruatjan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia reinwardtii), bidara laut (Strychnos ligustrina), pule (Alstonia scholaris), dan pule pandak (Rauwolfia serpentina) (Zuhud, 1991). Keanekaragaman tumbuhan obat di Indonesia merupakan aset potensial yang perlu dikembangkan. Oleh karena itu, kelangkaan suatu spesies tumbuhan obat harus dimbangi dengan upaya konservasi. Melihat kenyataan bahwa ketersediaan lahan untuk budidaya tumbuhan obat di Indonesia masih cukup luas sehingga memungkinkan pertanaman tumbuhan obat dalam skala besar guna menjamin pasokan bahan baku obat secara kontinyu ke industriindustri obat tradisional yang ada di dalam maupun di luar negeri. Untuk perluasan pertanaman tersebut perlu didirikan sentra produksi tumbuhan obat yang diperlengkapi dengan teknologi budidaya termasuk penyediaan bibit yang bermutu, proses panen dan penanganan pasca panen. Disamping program perluasan pertanaman (ekstensifikasi), program intensifikasi juga perlu diterapkan di daerah sentra produksi yang sudah ada sehingga produksi hasil meningkat. Selain itu perlu terciptanya hubungan kemitraan antara petani yang lemah modal selaku produsen dengan pengusaha/pihak industri selaku konsumen. Ekspor bahan baku dan simplisia tumbuhan obat Indonesia yang pasang surut akibat mutu dan suplai bahan baku dan simplisia yang tidak konsisten, perlu diatasi. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menggugah peneliti serta menyediakan dana untuk keperluan penelitian dan pengembangan produk obat alami yang bermutu, aman dan bermanfaat. Arah pengembangan tanaman obat ditujukan untuk kosmetika, industri rumah tangga, jamu gendong, dan ekspor dengan memperhatikan peluang pasar, potensi areal pengembangan, teknologi yang tersedia, kondisi saat ini dan permasalahan yang ada. Peluang pasar masih cukup luas baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Kebutuhan dalam negeri setiap tahunnya meningkat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan jumlah IOT dan IKOT di Indonesia, belum termasuk kebutuhan industri rumah tangga dan jamu gendong yang tidak diwajibkan melapor ke Badan POM. Survei menunjukkan bahwa keuntungan bersih yang diperoleh seorang bakul jamu gendong berkisar Rp. 50.000 75.000,-per hari. Adalah fakta bahwa sebagian besar IOT memperoleh bahan baku di samping berasal dari dalam negeri juga berasal dari impor, dengan alasan bahan baku domestik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya tidak terjamin, terutama simplisia impor untuk formulasi obat ekstrak dan nutraceutical. Oleh karena itu salah satu arah pengembangan tanaman obat adalah untuk

meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku dan peningkatan nilai tambah seperti terlihat pada pohon industri temu-temuan dan purwoceng. Masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan TO untuk pelayanan kesehatan formal, sebagai sumber devisa dan PDB di Indonesia adalah: belum ada dukungan politik yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan TO obat resmi dan salah satu sumber kesejahteraan rakyat, belum ada program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan dan pemanfaatan TO nasional ; kurangnya koordinasi dan sin kronisasi program antar instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien Undang-undang kesehatan yang ada belum kondusif bagi pemanfatan TO dalam pelayanan kesehatan formal. Guna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang kuat, mandiri dan berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia dibutuhkan Kebijakan Nasional dan Keputusan Politik pemerintah pada level paling atas yaitu Presiden RI dan jajaran birokrasi di bawahnya, yang didukung penuh oleh DPR dan seluruh masyarakat. Kebijakan pemerintah tersebut diwujudkan dengan menyusun Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, yang ditindak lanjuti oleh masing-masing pihak terkait, yaitu: Badan POM, Depkes, Deptan, Dephut, Deperin, Depdag, Depdagri, Depag, Kementrian Ristek/BPPT, LIPI, Pemda, Perguruan Tinggi, dunia usaha, petani maupun oleh berbagai organisasi yang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat lainnya. Target program tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (world first class herbal medicine country) pada tahun 2020. A. Strategi Guna mencapai target yang telah ditetapkan di dalam Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, maka perlu disusun Grand Strategi Pengembangan Tanaman Obat Indonesia yang merupakan bagian dari Program Nasional tersebut, yang meliputi: Penetapan komoditas tanaman obat unggulan, Penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan, Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan,

Penetapan produk turunan dari tanaman obat unggulan dan bentuk industri pengolahannya, Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia,

Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan, Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran, Penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang

kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat. B. Program Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend investasi ke depan, maka disarankan untuk dipilih lima komoditas tanaman obat potensial yaitu temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. Program yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman obat unggulan tersebut adalah: Penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan berdasarkan potensi, kesesuaian lahan dan agroklimat, sumberdaya manusia dan potensi serapan pasar. Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan melalui: (a) peningkatan produtivitas dan mutu dengan penerapan praktek pertanian yang baik sesuai GAP (Good Agricultural Practices) yang didasarkan atas SOP (Standard Operational Procedures) untuk masing-masing komoditas, (b) Panen dan pengolahan produk sesuai dengan GMP (Good Manufacturing Practices). Peningkatan produksi produk turunan dari tanaman obat unggulan serta bentuk industri pengolahannya yang dapat memacu ekonomi rakyat dan pedesaan. Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia melalui: (a) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan untuk menyediakan SDM yang kompeten baik dalam penyediaan bahan baku obat bahan alam dari hulu sampai hilir, juga yang akan terlibat di dalam sistem pelayanan kesehatan berbasis obat bahan alam, (b) demplot teknologi produksi bahan tanaman. Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan melalui: (a) pembangunan sarana dan prasarana penunjang transportasi, telekomunikasi ke daerah sentra produksi tanaman obat, (b) pengembangan kemitraan antara petani dengan industri dan pemerintah. Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran melalui: (a) pengembangan website, publikasi di media masa dan forum-forum terkait, (b) pembentukan jejaring kerja dan sistem informasi pasar. Penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat melalui: (a) deregulasi peraturan yang tidak sesuai, (b) menciptakan lingkungan usaha agribisnis dan agroindustri yang kondusif. Pembentukan data base tanaman obat yang valid, meliputi jenis tanaman, luas areal, produksi, jumlah petani yang terlibat, serapan, jumlah industri yang terlibat, ekspor, impor, yang akan digunakan sebagai acuan di dalam perencanaan program nasional pengembangan tanaman obat. C. Kebijakan Untuk menjamin keberlangsungan agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat dari hulu hingga ke hilir perlu dukungan kebijakan dari pemerintah agar citra, khasiat dan nilai

tambah pemanfaatan tanaman obat menjadi setara dengan obat-obatan sintetis. Dukungan kebijakan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut. Keputusan politik pemerintah untuk menetapkan penggunaan obat bahan alami yang bahan bakunya antara lain tanaman obat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan formal. Amandemen dan revisi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang belum sejalan dengan keputusan politik. Penyusunan program nasional pengembangan obat bahan alam berbasis tanaman obat asli Indonesia (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) secara terpadu, yang melibatkan semua pihak terkait dari hulu sampai hilir. Memanfaatkan kelembagaan yang ada khusus yang memiliki otoritas memadai yang akan merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan program nasional. Membangun dan melengkapi sarana dan prasarana pendukung : (a). Universitas yang akan mendidik tenaga medis untuk pelayanan kesehatan dengan obat bahan alami, (b) Rumah Sakit dan Apotek yang melayani masyarakat dengan obat bahan alami, (c) Jalan, transportasi dan telekomunikasi ke daerah-daerah sentra produksi tanaman obat, (d) Bantuan modal untuk petani dan pengusaha yang akan berusaha dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) baik di hulu maupun di hilir. Fasilitasi munculnya iklim usaha dan kemitraan yang sinergis dengan prinsip win-win diantara para pelaku agribisnis dan agroindustri berbasis obat bahan alam di Indonesia. PENUTUP Kecenderungan masyarakat modern untuk kembali ke alam, telah mendorong peningkatan nilai perdagangan produk-produk obat herbal atau fitofarmaka. Indonesia adalah negara kedua terbesar keragaman hayatinya, tetapi pangsa pasarnya dalam perdagangan tanaman obat tertinggal jauh dengan Malaysia dan Thailand. Peluang investasi agribisnis tanaman obat, khususnya dari kelompok temutemuan seperti temulawak, kunyit, kencur, dan jahe, masih sangat terbuka. Diperkirakan pada tahun 2010, pangsa obat tradisional domestik akan meningkat menjadi Rp 7,2 triliun dari Rp 2,0 triliun tahun 2003. Kecenderungan yang sama terjadi di pasar global. Di samping itu, nilai tambah rimpang menjadi simplisia mencapai 7 15 kali dan pengolahan menjadi ekstrak mencapai 80 280 kali. Areal pengembangan yang sesuai tersebar luas di berbagai daerah dan varietas unggul telah tersedia. Peran agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB dan penyumbang devisa di Indonesia masih relatif kecil dan jauh tertinggal dari berbagai negara lain yang potensi sumber dayanya jauh lebih kecil. Trend back to nature telah dimanfaatkan oleh banyak negara di dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara, yang juga telah memanfaatkan pasar Indonesia. Nilai perdagangan obat herbal, suplemen makanan, nutraceutical dll di dunia pada tahun 2000 mencapai 40 milyar USD. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 60 milyar USD dan pada tahun 2050 diperkirakan menjadi 5 triliun USD dengan peningkatan 15% per tahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan nilai perdagangan obat konvensional modern hanya 3% per tahun.

Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional (IOT), jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend investasi ke depan, lima komoditas TO yang potensial untuk dikembangkan adalah temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. Keempat jenis tanaman rimpang-rimpangan tersebut paling banyak digunakan dalam produk jamu karena diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit (degeneratif, penurunan imunitas, penurunan vitalitas). Purwoceng sangat potensial sebagai komplemen dan substitusi ginseng impor dalam rangka menghemat devisa negara. Produk setengah jadi dari tanaman temulawak, kunyit, kencur dan jahe adalah simplisia, pati, minyak, ekstrak. Produk industrinya adalah makanan/minuman, kosmetika, sirup, instan, bedak, tablet dan kapsul. Produk setengah jadi purwoceng adalah simplisia dan ekstrak produk industri dalam bentuk jamu seduh, minuman kesehatan, pil atau tablet/kapsul. Plasmanutfah tumbuhan obat Indonesia yang berlimpah adalah merupakan aset nasional bernilai tinggi yang potensial untuk pengembangan industri agromedisin. Aset ini perlu dikelola dengan bijaksana secara lestari untuk menghindari kelangkaan atau kepunahan suatu spesies tumbuhan obat. Permintaan yang tinggi akan obat alami di dalam maupun di luar negeri merupakan peluang besar yang menggiurkan namun harus tetap memperhatikan dan memprioritaskan penyediaan bahan obat alami yang berkualitas, aman, dan bermanfaat. Menghadapi era pasar bebas dan persaingan global, kemampuan ekspor berbagai komoditas tumbuhan obat akan menghadapi persaingan yang lebih ketat. DAFTAR PUSTAKA Abel G, 1987, Chromosome-damaging effect of beta-asaron on human lymphocytes, Planta Med., 53(3): 251-3. Audi J, Belson M, Patel M, Schier J, Osterloh J., 2005, Ricin poisoning: a comprehensive review, J Ameri can Medical Association, 294 (18): 2342-51. Balittro 2001. Pengembangan agribisnis berbasis tanaman obat. Di dalam: Supriadi et al., editor. Prosiding Seminar Nasional XIX Tumbuhan Obat Indonesia; Bogor, 4-5 Apr 2001. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor bekerjasama dengan Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 3 5-50. Basch E, Gabardi S, Ulbricht C, 2003, Bitter melon (Momordica charantia): a review of efficacy and safety, Am J Health Syst Pharm., 60(4): 356-9. Bolcskei H, Szantay C Jr, Mak M, Balazs M, Szantay C, 1998, New antitumor derivatives of vinblastine, Acta Pharm Hung., 68(2): 87-93. BPOM RI, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik, http://pom .go. id/public/ h u k u m _ peru n dan g a n/p df/ SK%20CPOTB(1).pdf, diakses Desember 2005. Badan Penelitian dan Pengembangan, 2005. Prospek dan Aarah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Jakarta: Deptan RI. Darusman LK et al. 2004. Konsep Strategi Pengembangan Biofarmaka Indonesia. Di dalam: Sumbang Saran Pemikiran Pengembangan Agribisnis Berbasis Biofarmaka. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka -LP IPB. hlm 47-71.

Ditjen Bina Produksi Hortikultura. 2004. Produksi, Luas Panen dan Produk tivitas Buahbuahan, Sayuran, Tanaman Hias, dan Tanaman Obat Tahun 2003. Jakarta: Deptan. RI. Ditjen POM. 1991. Laporan Tahunan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Tahun 1990/91. Jakarta: Depkes. RI. Ditjen POM. 2002. Laporan Tahunan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Tahun 2001/2002. Jakarta: Depkes. RI. Dorly, 2005. potensi tumbuhan Obat Indonesia dalam Pengembangan Industri Agromedisin. Sekolah Pasca Sarjana IPB; Bogor. Fang Y, Li L, Wu Q, 2003, Effects of beta-asaron on gene expression in mouse brain, Zhong Yao Cai, 26(9) :650-2. Garduno L, Salazar M, Salazar S, Morelos ME, Labarrios F, Tamariz J, Chamorro GA, 1997, Hypolipidaemic activity of alpha asarone in mice, J Ethnopharmacol, 55(2):161-3. Girini MM, Ahamed RN, Aladakatti RH, 2005, Effect of graded doses of Momordica charantia seed extract on rat sperm: scanning electron microscope study, J Basic Clin Physiol Pharmacol., 16(1): 53-66. Grover JK, Yadav SP, 2004, Pharmacological actions and potential uses of Momordica charantia: a review, J Ethnopharmacol., 93(1): 123-32. Hornok L. 1992. General aspects of medicinal plants. Di dalam: Hornok L, editor. Cultivation and Processing of medicinal Plants. New York: John Wiley & Sons. hlm 3-9. Ismail Z. 2000. Herbal medicine: the dosage and toxicological issues. Di dalam: Herbs. Proceedings of the International Conference and Exhibition; Malaysia, 9-11 Nov 1999. Malaysia: Malaysian Agricultural Research and Development Institute. Hlm 24-25. Kompas, BPOM Pekanbaru Tarik 9.708 Kotak Obat Tradisional dari Peredaran, http://kompas. co. id/kompas-cetak/0305/1 1/Fokus/ 306422.htm 42k , edisi 31 Mei 2003, diakses Desember 2005. Lopez ML, Hernandez A, Chamorro G, Mendoza-Figueroa T, 1993, alpha-Asarone toxicity in long-term cultures of adult rat hepatocytes, Planta Med., 59(2):115-20. Lord MJ, Jolliffe NA, Marsden CJ, Pateman CS, Smith DC, Spooner RA, Watson PD, Roberts LM., 2003, Ricin. Mechanisms of cytotoxicity, Toxicol Rev., 22(1):53-64. Lu Y, Hou SX, Chen T., 2003, Advances in the study of vincristine: an anticancer ingredient from Catharanthus roseus, Zhongguo Zhong Yao Za Zhi., 28(11):1006-9. Manikandan S, Devi RS., 2005, Anti-oxidant property of alphaasarone against noise-stressinduced changes in different regions of rat brain., Pharmacol Res., 52(6):467-74. Naseem MZ, Patil SR, Patil SR, Ravindra, Patil RS, 1998, Antispermatogenic and androgenic activities of Momordica charantia (Karela) in albino rats., J Ethnopharmacol., 61(1):9-16.

Noble RL, 1990, The discovery of the vinca alkaloids chemotherapeutic agents against cancer, Biochem Cell Biol., 68(12):1344-51. Patterson S, OHagan D., 2002, Biosynthetic studies on the tropane alkaloid hyoscyamine in Datura stramonium; hyoscyamine is stable to in vivo oxidation and is not derived from littorine via a vicinal interchange process., Phytochemistry, 61(3): 323-9. Peters D, Whitehouse J. 2000. The role of herbs in modern medicine:some current and future issues. Di dalam: Herbs. Proceedings of the International Conference and Exhibition; Malaysia, 9-11 Nov 1999. Malaysia: Malaysian Agricultural Research and Development Institute. Hlm 35-39. Pramono E. 2001. Prospek dan potensi pengembangan komoditas agromedicine di Indonesia. Di dalam: Nailola BP et al. , editor. Prosiding Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Aromatik APINMAP; Bogor, 8-10 Agt 2001. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor bekerjasama dengan Yayasan KEHATI, APINMAP, UNESCO dan JICA. hlm 3 1-37. Pramono E. 2002. Perkembangan dan prospek industri obat tradisional Indonesia. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia; Surabaya, 27-28 Mar 2002. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. hlm 18-27. Pusat Studi Biofarmaka-IPB. 2002. Tanaman Obat Indonesia: Keragaan Pasar, Standar Mutu dan Permasalahannya. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka-LP IPB bekerjasama dengan Direktorat THSAT, Dirjen B2HP Deptan. Puslitbangtri. 1992. Sepuluh Tahun Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 1982-1991. Sumbangan Penelitian dalam Pembangunan Perkebunan Rakyat. Jakarta: Deptan. R.I. Sastroamidjojo S, 2001, Obat Asli Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 170. Suarni, 2005, Tanaman Obat tak Selamanya Aman, http://pikiranrakyat.com, 11 September 2005. Sukandar E Y, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB, http:/itb.ac.id/focus/ focus _file/orasiilmiah-dies-45.pdf, diakses Januari 2006. Wang WX, Dong JY, Zhou SY, Li WL, Zhao Y., 1998, Modification of ricin and its hepatotoxicity and activity against hepatocellular cancer in mice, World J Gastroenterol., 4(4): 307-310. WHO, 2003, Traditional medicine, http://www.who. int/mediacentre/ factsheets/fs134/en/, diakses Januari 2006. Wu ML, Deng JF, Wu JC, Fan FS, Yang CF, 2004, Severe bone mar-row depression induced by an anticancer herb Cantharanthus roseus, J Toxicol Clin Toxicol, 42(5): 667-71. Zheng YT, Ben KL, Jin SW, 1999, Alpha-momorcharin inhibits HIV-1 replication in acutely but not chronically infected T-lymphocytes., Zhongguo Yao Li Xue Bao, 20(3):239-43.

Zuhud EAM, Haryanto. 1991. Pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia. Di dalam: Zuhud E.A.M. , editor. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat Dari Hutan Tropis Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat; Bogor, 30-31 Mei 1990. Bogor: Jurusan Konservasi sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor bekerjasama dengan Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia. hlm 13-26.

You might also like