You are on page 1of 12

LAPORAN KASUS STEVEN JOHNSON SYNDROME (SJS)

I.

IDENTITAS Nama : Sdr. Slamet Jenis kelamin : Laki-laki Umur : 16 tahun Alamat : Basoman Rt 01/01, Banjarjo, Kaliangkrik, Magelang Pekerjaan : Tidak Bekerja Tanggal Masuk RS : 14/Maret/2011

I.

ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan bapak pasien) Keluhan Utama : Kulit Melepuh Riwayat Penyakit Sekarang 6HRSMRS : pasien mengeleuh demam . batuk (-), plek (-) 5HRSMRS : pasien berobat ke bidan pagi hari. Diberi obat 3 macam (ket obat : Amoxicillin, CTM, As. Mefenamat. sore hari muncul ruam-ruam di seluruh tubuh. Saat mulai timbul ruam obat masih diminum oleh pasien. 4HRSMRS : Keluhan memberat, terutama di seluruh tubuh. Beberapa bagian tubuh mulai timbul bintil-bintil berisi cairan. Nyeri (+), tubuh melepuh di beberapa bagian. Bibir mulai pecah-pecah. Pasien juga mengeluh Mual (+), muntah (+) HRMRS : Dibawa ke puskesmas, dirujuk ke RSU tidar

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat penyakit dengan gejala serupa (-) Riwayat alergi (makanan/obat-obatan) : tidak ada Ket Lain : Pasien merupakan penderita Retardasi mental

Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluarga sakit serupa (-)

II.

PEMERIKSAAN FISIK Papula eritemasosa dan vesikel generalisata Krusta hiperpigmentasi di labium oris, juga terdapat erosi Terdapat konjuctivitis

III.

DIAGNOSIS BANDING Steven Johnson syndrome Toxic Epidermal Nekrolisis

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Kimia Darah Nilai Gula Darah Sewaktu SGOT SGPT Ureum 29,3 30,5 41,6 <38 U/L <42 U/L 10-50 mg/dL 73,8 Nilai Normal 100-200 mg/dL

Kreatinin

0,73

0,60-1,20 mg/dL

Pemeriksaan darah Rutin : Parameter WBC Nilai 8.33 Satuan [10^3/ul] Nilai normal M:4.8-10.8 F:4.810.8 RBC HGB HCT MCV MCH MCHC PLT RDW-CV RDW-SD PDW MPV P-LCR 5.30 15.8 46.3 87.4 29.8 34.1 221 12.9 40.7 12.9 10.6 29.5 [10^3/ul] [g/dl] [%] [fL] [pg] [g/dL] [10^3/ul] [%] [fL] [fL] [fL] [%] M:4.7-6.1 F:4.2-5.4 M:14-18 F:12-16 M:42-52 F:37-47 79.0-99.0 27.0-31.0 33.0-37.0 150-450 11.5-14.5 35-47 9.0-13.0 7.2-11.1 5.0-25.0

DIFFERENTIAL EO# BASO# NEUT# LYMPH# MONO#

Nilai 0.37 0.00 6.26 1.02 0.68

Satuan [10^3/ul] [10^3/ul] [10^3/ul] [10^3/ul] [10^3/ul]

Nilai normal 0.045 - 0.44 0 - 0.2 1.8 - 8 0.9 5.2 0.16 1

EO% BASO% NEUT% LYMPH% MONO%

4.4 0.0 75.2 + 12.2 8.2

[%] [%] [%] [%] [%]

2-4 01 50 - 70 25 40 28

V.

DIAGNOSIS Steven Johnson Syndrom

VI.

TERAPI y y y Pengaturan keseimbangan cairan Mengontrol temperature lingkungan (sekitar 28-30 derajat celcius) Keseimbangan nutrisi, terutama terhadap penderita dengan lesi di mulut yang sukar menelan. NGT bisa diberikan y y y Untuk menurunkan resiko infeksi, teksik aseptic yang baik harus diperhatikan. Kortikosteroid bisa dipertimbangkan pada fase akut SJS Bibir : Kompres dengan NaCl

VII. SARAN Hentikan obat penyebab alergi

VII. PEMBAHASAN DEFINISI Steven Johnson sindrom merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lemdir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat ; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Pertama kali

dideskrpsikan tahun 1922, SJS merupakan kompleks imun yang memediasi proses hipersentitifitas , bisa dikatakan SJS merupakan menifestasi parah dari eritema multiforme. Banyak penelitian meempertimbangakan bahwa steven Johnson sindrom dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah penyakit yang sama hanya berbeda manifestasi, daripada itu, banyak yang Penyebutan SJS-TEN(. Pada SJS, pelepasan epidermal terjadi kurang dari 10% total area tubuh. Pada transisional SJSTEN , pelepasan epidermis tubuh terjadi antara 10-30% dari total area tubuh. Pada TEN , Pelepasan epidermis terdali pada lebih dari 30% dari total area tubuh.

PATOFISIOLOGI Penyakit ini merupakan suatu proses hipersensitivitas yang dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya obat-obatan, infeksi virus, ataupun keganasan (misalnya kegansan hematologi). Penggunaan kokain akhir2 ini mulai dimasukkan sebagai salah satu penyebab terjadinya SJS. Sasaran utama SJS dan NET adalah pada kulit berupa dekstruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktifitass sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 juga meningkat. , juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat dalam dermis, sedangkan CD8 pada epidermis. Faktor resiko yang bisa memperberat SJS antara lain : penyakit HIV atau autoimun yang lain (missal SLE).

INSIDENSI Pada SJS, rasio penderita pria;wanita 2;1. Angka kematian pada kasus SJS didasarkan pada luas tidaknya kulit yang terkena. Jika total luas tubuh yang mengelupas kurang dari 10%, angka kematian berkisar antar 1-5%. Jika total luas tubuh yang terkena(mengelupas) lebih dari 30%, angka kematian akan menjadi sekitar 25-35%. , mungkin bisa bertambah menjadi diatas 50% jika bakteremia/sepsis ikut menyerang. Lesi pada kulit akan berkembang menjadi erosi dalam 2-3 minggu. Lesi pada membrane mukosa mungkin akan berkembang membentuk skar dan menggangu fungsi organ yang terkena. Striktur esophagus mungkin dapat muncul jika terdapat perluasan lesi ke esophagus. Gejala sisa yang dapat terjadi pada mata antara lain ulserasi kornea dan

uveitis anterior. Kebutaan dapat terjadi sebagai efek sekunder dari keratitis berat atau panophthalmitis pada 3-10% pasien.

ETIOLOGI y Obat-obatan dan proses keganasan merupakan penyebab yang paling sering dilaporkan terjadi pada orang dewasa dan geriatric y Pada kasus SJS anak-anak, lebih sering penyebab dikarenakan infeksi

Kategori etiologi Steven Johnson syndrome


Infeksi virus Herpes virus HIV Influenza Hepatitis Mumps Rickettsia Variola EpsteinBarr Streptococcus Diphtheria Brucellosis Mycobacteria Mycoplasma pneumonia Typhoid Coccidiodomycosis Dermatophytosis Histoplasmosis Infeksi bakteri Fungal Infeksi protozoa Malaria Trichomoniasis Antibiotic (penisilin,sulfa) Antikonvulsan (phenitoin, CBZ) Digitalis Analgetik Antipiretik Keganasan ( misalnya kegansan hematologi) Obat-obatan Lain-lain

MANIFESTASI KLINIS Biasanya, proses penyakit dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang tidak spesifik. Hal ini merupakan bagian dari gejala prodormal yang biasanya berlangsung selama 1-14 hari . Selain itu dapat ditemukan juga gejala lain seperti: demam, sakit tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan malaise. Dalam sedikit kasus dapat juga ditemukan mual dan muntah. Lesi pada kulit muncul dengan tiba-tiba. Kulit akan mengalami keadaan melepuh selama 2-4 minggu, lesi yang terjadi biasanya non pruritik. Demam dilaporkan terjadi pada sekitar 85% kasus.

Lesi yang terjadi pada bibir bisa terjadi sangat parah sehingga pasien sampai kesulitan untuk makan. Pasien dengan keterlibatan system genourinari bisa mengeluhkan disuria atau kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih.

KELUHAN FISIK y Ruam dapat mulai sebagai macula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bula, plak, urtikaria, atau eritma konfluen y Lesi khas memiliki penampilan target.target dianggap patogmonic. Berbeda dengan lesi pada eritema multiforme, lesi pada eritema multiforme hanya memiliki dua zona warna. Inti mungkin vesikuler, purpura, ataupun nekrotik. Zona tersebut dikelilingi oleh eritema macular. Beberapa menyebutnya target lesi y Lesi dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Kulit ini rentan terhadap infeksi sekunder y y Lesi urtikarial biasanya tidak gatal Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan dengan morbiditas y Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, akan tetapi bagian telapak tangan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor paling banyak dialporkan terjadi y Keterlibatan mukosa termasuk adanya eritema, edema, ulserasi, dan nekrosis

Tanda-tanda berikut mungkin dicatat pada pemeriksaan:


y y y y y y y y

Demam Orthostasis Tachycardia Hipotensi Perubahan tingkat kesadaran Epistaksis Konjungtivitis Ulserasi kornea

y y

Erosif vulvovaginitis atau balanitis Kejang, koma

DIAGNOSIS BANDING y y y y y Burns Eritema multiforme Toxic Epidermal nekrolisis Stafilococcal Scalded skin syndrome Toxic shock syndrome

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus ( keculai biopsy) yang dapat menegakkan diagnosis SJS. y HItung darah lengkap dapat menunjukkan keadaan leusitosis yang non spesifik. Hitung jenis leukosis yang sangat tinggi dapat menunjukkan adanya infeksi bakteri. y Kulit dan kultur darah telah dianjurkan karena kejadian serius infeksi aliran darah oleh bakteri dan sepsis berkontribusi terhadap morbiditas dan kematian. y y y Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi urin untuk darah Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis dicurigai. Biopsi kulit merupakan alat diagnosis pasti terhadap SJS tapi bukan merupakan prosedur emergency

TREATMENT Prinsip penatalaksanaan pasien SJS sebelum rumah sakit sama dengan penatalaksanaan pasien luka bakar, dengan pencegahan infeksi. Penatalaksanaan pasien SJS pada

instalasi gawat darurat meliputi menegakkan diagnosis dan pemberian penatalaksanaan awal yang terfokus pada ABC, perawatan lesi, dan penanganan nyeri. penatalaksanaan awal bersifat suportif dan simtomatik, antara lain mengatasi lesi kulit seperti luka bakar, mukosa oral diberi kumur cuci mulut, kulit mengelupas dikompres dengan salin. Serta anestesi topikal untuk mengurangi nyeri. Selain itu, agen pencetus atau dicurigai pencetus sesegera mungkin dihentikan. Penatalaksaan pasien steven Johnson syndrome dan TEN y y y Pengaturan keseimbangan cairan Mengontrol temperature lingkungan (sekitar 28-30 derajat celcius) Keseimbangan nutrisi, terutama terhadap penderita dengan lesi di mulut yang sukar menelan. NGT bisa diberikan y y Untuk menurunkan resiko infeksi, teksik aseptic yang baik harus diperhatikan. Kortikosteroid : Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Pada beberapa penelitian, penggunaan kortikosteroid pada fase akut SJS dapat mencegah perburukan penyakit. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa pemberian kortikosteroid tidak menghentikan perjalanan penyakit tetapi justru bisa meningkatkan angka mortalitas, biasanya karena sepsis. y Antibiotic tidak mutlak harus digunakan. Antibiotic bisa diberikan untuk pasien ketika dicurugai adanya infeksi. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada fase akut dapat memberikan hasil yang baik pada kasus SJS. Dosis yang digunakan : Prednison 60mg selama 4 hari. Setelah itu diturunkan menjadi 40mg/hari. Setelah satu minggu dosis diturunkan kembali menjadi 20mg/hari. Satu minggu kemudian dosis diturunkan kembali menjadi 10mg/hari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu kemudian pengobatan di stop.

SJS merupakan penyakit sistemik bermanifestasi bukan hanya pada kulit, melainkan juga pada mukosa dan mata untuk itu, kasus SJS perlu di konsultasikan pada berbagai disiplin ilmu seperti spesialis kulit kelamin untuk perawatan, spesialis gigi dan mulut,

spesialis telinga hidung tenggorok, spesialis penyakit dalam, spesialis mata, dan jika perlu, spesialis bedah plastic. Intravena Immunoglobulin Salah satu teori menyatakan bahwa apoptosis melibatkan interaksi antara reseptor permukaan sel (seperti Fas) dengan ligand untuk membentuk Fas ligand( FasL). Secara in vitro, kematian dari sel target dihalangi oleh antibodi yang memblok FasL dan juga dihalangi oleh antibodi yang ada pada immunoglobulin intravena manusia. Intinya, obat-obat tertentu dapat mengaktivasi produksi ligand apoptotik yang berasal dari keratinosit, dikenal sebagai CD95 (fas) ligand. Ligand ini dapat berikatan dengan reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di permukaan keratinosit. Hal ini dapat menyebabkan kematian sel yang terprogram. IVIG dibuktikan memiliki kemampuan memblok ligand apoptotik dari berikatan dengan reseptor ini. Hal ini mencegah apoptosis dari keratinosit dan pengelupasan epidermis. Penelitian yang dilakukan pada pasein dewasa dan pasien anak-anak menunjukkan hasil yang baik dengan pemberian IVIG. Akan tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih mengetahui dosis optimal IVIG yang diperlukan serta kemanan dan kemanjuran agen ini jika digunakan pada penyakit SJS dan TEN. KOMPLIKASI Mata : ulserasi kornea, uveitis anterior, panophtalmitis, kebutaan Gastroenterology : striktur esophagus Genitourinary : Renal tubular nekrosis, gagal ginjal Kulit : pembentukan skar, infeksi sekunder PROGNOSIS Lesi pada pasien akan mebaik kira-kira 1-2 minggu, kecuali jika terdapat sekunder infeksi. Sebagian besar pasien membaik tanap sekuele. Lebih dari 15% pasien SJS meninggal. Bakteremia dan sepsis menjadi pemicu utama tingginya mortalitas

KESIMPULAN Steven Johnson syndrome merupakan suatu penyakit yang didasari oleh reaksi hipersensitivitas dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyebab terbanyak dari penyakit ini adalah obat-obatan, selain itu masih ada penyebab lainnya misalnya infeksi, maupun keganasan. Manifestasi dari SJS timbul di kulit, selaput lendir, dan mata tanpa ada pemeriksaan penunjang yang spesifik kecuali biopsy kulit. Penatalaksaan SJS termasuk diantaranya Pengaturan keseimbangan cairan, pengontrolan temperature lingkungan, pengaturan asupan nutrisi yang baik, dan kortikosteroid pada fase akut SJS. Dengan penanganan yang baik, SJS bisa sembuh tanpa meninggalkan sequel.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Parrillo, Steven j. 2010. StEven Johnson Syndrome in Emergency medicine. EMedicine. URL : http://www.emedicine.medscape.com/article/756523-overview

2.

Roujeau, Jean-Claude, Kelly., Judith P., Naldi, L., Rzany, B., Stern, R., Anderson, T., et al. (1995). Medication use and the risk of steven-Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. The New England Journal of Medicine. 1995,1600-7

3.

Ghislain, Pierre-Dominique.,(2002). Treatment of svere drug reaction: Steven Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. Dermatology online journal. , Vol 8 (1):5

4.

Metry, Denise w., Jung, Peter., Levy, Moise L. (2002). Use of Intravenous Immunoglobulin in Children With Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Seven case and review of the Literature. Official journal of the American Academy of Pediatric. 112, 1430-1436

5.

Davis, Mark D., Rogers, Roy S., Pittelkow, Mark R. (2002). Recurrent Erythema Multiforme/Stevens-Johnson Syndrome. Arch Dermatol vol.138

6.

Allanore, Valeyrie., Roujeau, Jean-Claude. (2002). Epidermal Necrolysis (steven Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. In Wolff,Klaus.,Goldsmith,Lowell A.,Katz,Stephen I., Gilchrest,Barbara A., Paller, amy S., Leffell,David J.Fitzpatricks Dermatology in general medicine (7th ed.)

You might also like