You are on page 1of 16

SISTEM PRODUKSI AKUAKULTUR1

Sumoharjo, S.Pi, M.Si Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman

I. Pendahuluan
Akuakultur adalah sektor produksi pangan yang berkembang cepat dengan rata-rata pertumbuhan 8.9 % per tahun, jika dibandingkan dengan penangkapan hanya 1,2 % dan produksi daging hewan darat yang hanya 2.8 % pada periode yang sama (FAO 2004). Menurunnya stok perikanan laut dunia dan pertumbuhan populasi manusia adalah harga yang harus dibayar oleh pertumbuhan akuakultur selanjutnya. Di samping itu, sektor produksi akuakultur masih harus meningkat 5 kali lipat lagi untuk dua dekade berikutnya agar dapat memenuhi kebutuhan protein minimum untuk nutrisi manusia (FAO 2004 dalam Roselian, et al 2007). Sistem akuakultur merupakan seperangkat sarana dan prasarana budidaya yang saling mempengaruhi dan berfungsi secara terpadu, yang mana terdiri atas subsistem-subsistem seperti; ikan, wadah budidaya, air, pakan, dan berbagai peralatan penunjang lainnya. Namun kemudian, sistem akuakultur lebih menekankan pada perbedaan atas wadah budidaya yang digunakan, karena pada prinsipnya subsistem lainnya akan berubah mengikuti perubahan wadah budidaya yang digunakan tersebut. Klasifikasi Sistem Akuakultur Sistem produksi akuakultur secara khusus diklasifikasikan menurut tipe, kepadatan biomassa ikan dan metode pemberian pakan. Pembagiannya kemudian didasarkan pada aliran air (lotic atau lentic), dan menekankan pada derajad proses perbaikan kualitas air yang mengendalikan proses produksi (Krom et al, 1989 dalam Colt 1991). Semakin padat biomassa ikan yang dipelihara, semakin banyak dan semakin canggih teknologi yang digunakan. Oleh karena itu, intensifikasi berarti tingkat atau derajad teknologi yang digunakan dalam mengontrol sistem produksi akuakultur sedangkan ekstensifikasi adalah perluasan area akuakultur sehingga lebih menekankan pada luas badan air (m2) yang digunakan untuk menghasilkan
1

Colt J.1991. Aquaculture production system. Journal of Animal Science. 69:4183-4192. American Society of Animal Science.

produk akuakultur yang kontrol lingkungannya masih sangat tergantung pada purifikasi alami (self purification) tanpa ada usaha input teknologi sebagaimana halnya dalam sistem intensif. Dengan demikian, sistem intensif dan sistem ekstensif bisa menghasilkan produk dalam jumlah yang sama, namun perbedaannya terletak pada luas area yang digunakan dan penggunaan biaya awal. Jika ekstensif lebih banyak biaya untuk lahan, maka intensif lebih banyak biaya untuk pembelihan teknologi dan energi yang digunakan, selain itu ekstensif lebih menekankan tentang luas badan air (m2) sedangkan intensif lebih pada volume air (m3). Klasifikasi sistem produksi akuakultur menurut Colt (1991) yang didasarkan atas pola aliran air, meliputi :

1. Kolam

adalah sistem produksi yang paling sederhana, pada kondisi

operasional normal dilakukan penambahan air baru untuk mengganti air yang hilang akibat evaporasi, evapotranspirasi, dan infiltrasi.

2. Sistem air mengalir (flow-through), di mana ikan dapat dipelihara dengan


kepadatan tinggi. Sistem ini menggunakan air dalam jumlah besar untuk menghilangkan limbah. Biasanya pre-treatmen diperlukan untuk menghilangkan limbah padat, Fe dan Mg, nitrogen, dan gas karbon dioksida, atau diberikan oksigen tambahan dengan aerasi. Karena adanya peraturan tentang lingkungan hidup, maka biasanya post-treatmen juga diperlukan sebelum air dari unit budidaya dibuang ke perairan umum.

3. Sistem resirkulasi (sistem tertutup), biasanya diperuntukkan pada beberapa


daerah yang terbatas dalam hal sumberdaya air, di mana air yang telah digunakan untuk produksi akuakultur dapat diolah untuk menghilangkan limbah metabolit dan kemudian digunakan kembali.

4. Sistem kolam hibrida, yakni di dalam kolam sengaja ditumbuhkan algae atau
tumbuhan air sebagai biofilter untuk menyerap limbah metabolit, sistem ini biasa dikembangkan untuk akuakultur di daerah tropis.

5. Karamba (cage system) masih dikategorikan sebagai sistem air mengalir


(flow-through) walaupun dibeberapa kawasan dengan peraturan buangan limbah yang ketat, sistem ini bisa digolongkan sebagai sistem resirkulasi dengan pengolahan limbah yang minim.

Menurut Colt (1991), berdasarkan tata nama (nomenclature) yang mengacu pada karakteristik pencampuran hidrolis (hydraulic mixing) dari tipe-tipe sistem budidaya yang berbeda dapat diklasifikasikan menjadi tiga grup, yakni :

1. Plug-flow reaktor (PFR), dimana air mengalir melalui unit budidaya secara
datar tanpa pencampuran longitudinal, sehingga limbah metabolit seperti amonia meningkat secara linear sepanjang arah longitudinal. Sistem ini biasanya digunakan dalam budidaya ikan salmon dan trout.

2. Continuous-flow stirred tank reaktor (CFSTR), secara ideal pada sistem ini air
teraduk dan bercampur seluruhnya ke dalam unit budidaya sehingga konsentrasi efluen limbah metabolit seperti amonia sama dengan konsentrasi limbah di dalam unit budidaya. Contoh dari sistem ini adalah bak bundar, kurangnya sudut kemiringan bak budar merupakan keuntungan dari sistem produksi dengan intensitas tinggi (Colt dan Watten, 1988).

3. Arbitrary-flow reaktor (AFR) dimana pencampuran air dalam sistem (kolam)


lebih disebabkan oleh pengaruh suhu, fotosintesis, reaksi kimia di sedimen, dan gerakan angin. Proses ini cenderung menghasilkan stratifikasi kimia dan

Fl

suhu secara vertikal. Gerakan angin cenderung mengaduk air kolam, tetapi juga dapat menyebabkan gradien horisontal secara signifikan Meskipun semua sistem ini masih penting untuk didiskusikan, namun semuanya masih eksis digunakan dalam aktifitas akuakultur, tentu saja hal ini tergantung pada kondisi kawasan dan investasi dalam usaha akuakultur.

PERTIMBANGAN UMUM DALAM PEMILIHAN SISTEM AKUAKULTUR Menurut Baluyut (1989)2 bahwa pemilihan suatu sistem akuakultur ditentukan oleh beberapa faktor berikut ini : 1. Tujuan dari pengembangan usaha/keuntungan yang ingin dicapai Terkait dengan tujuan pengembangan ini sebenarnya bermaksud untuk ; Meningkatkan suplai/produksi ikan untuk konsumsi lokal/domestik Menghasilkan lapangan kerja baru dan meningkatkan penghasilan Meningkatkan devisa negara Pembangunan sosial ekonomi dan memperluas usaha sampingan.

Biasanya tujuan dari pengembangan akuakultur ini bagi pihak swasta tentu saja adalah nilai komersialnya, sebaliknya bagi pemerintah, hal ini dimaksudkan untuk menyediakan mata pencaharian sampingan bagi petani/pembudidaya untuk memperbaiki kondisi sosial ekonominya. Dengan demikian, berdasarkan atas tujuan pengembangan tersebut, maka akuakultur dapat dibagi atas; Skala kecil (input rendah, modal kecil, resiko kecil, dan teknologi rendah) Skala besar (inverstasi besar, teknologi tingkat tinggi)

2. Spesies budidaya yang dapat diterima pasar (acceptability/marketability)


Pemilihan spesies ikan sangat terkait dengan target usaha yang ingin dicapai. Tidak semua ikan cocok untuk dibudidayakan pada semua skala. Misalnya jenis udang yang bernilai ekonomis tinggi akan lebih menguntungkan dibudidayakan pada skala kecil. Juga spesies tertentu hanya cocok pada tipe sistem tertutup tertentu, seperti udang windu yang lebih cocok dibudidayakan pada kolam/tambak ikan dari pada di karamba. Demikian pula ada ikan yang cocok pada suatu negara tetapi tidak cocok dinegara lain. Pemilihan spesies budidaya sangat tergantung pada beberapa faktor, yakni; keterseidaan lokasi yang sesuai, karakteristik biologi spesies lokal/introduksi, dapat diterima dipasar lokal atau internasional, dan ketersediaan teknologi dan peralatan yang dibutuhkan untuk membudidayakannya.
2

Baluyut EA. 1989. Aquaculture system and practices : A review. FAO. UN development programme. Rome

Tabel. Spesies yang lazim dibudidayakan di Asia


Common Name FINFISHES Milkfish Freshwater eel Grey mullet Cockup Grouper Porgy Red porgy Black porgy Tilapia Scientific Name Chanos chanos Anguilla japonica Anguilla spp. Mugil cephalus Lates calcarifer Epinephelus spp. Mylio macrocephalus Mylio spp. Chrysophry major Acanthopagrus schlegeli Oreochromis mossambicus O. nilotica Tilapia zillii O. aureus O. mossambicus x O. niloticus O. niloticus x O. aureus Oreochromis spp. Plecoglossus altivelis Cyprinus carpio Carassius auratus Carassius carassius Puntius gonionotus Puntius spp. Labeo rohita Cirrhina mrigala Cirrhina molitorella Catla catla Ctenopharyngodon idellus Mylopharyngodon piceus Hypophthalmichthys molitrix Aristichthys nobilis Osteochilus hasselti Clarias batrachus Clarias spp. Crassostrea gigas Metrix lusoria Haliotis diversicolor Corbicula fluminea C. formosa Soletellina diphos Ampullarius insularum Tegillarca granosa Crassostrea malabonensis C. iredalei C. palmipes C. cuculata C. lugubris C. belcheri C. commercialis Metrix metrix Culture System* E, S, I EX, E, I EX, E, I EX EX EX S, I S SI E, SI S S S S S, I I E, S E, S E, S E, S EX, S EX, S E, S EX, S E, S E, S EX, E, S EX, E, S EX, E E, S E, I I I E E E S, I S E EX, E S EX, S E E S EX, S Environment** F, B, S F F, B, S F S S S B, S F. S F, S F F F F F, B, S F F F F F F F F F F F F F F F S S S F F S F S S S S S S S S S

Red tilapia Sweet fish, ayu Common carp Goldfish (wild) Crucian carp Puntius carp Rohu Mrigal Bottom carp Catla Grass carp Black or snail carp Silver carp Bighead carp Nilem Walking catfish MOLLUSCS Japanese oyster Hard clam Small abalone Corbiculas Purple clam Apple snail Blood clam

Cockle Green sea mussel REPTILES Soft-shell turtle Crocodile AMPHIBIANS Bull frog Tiger frog SEAWEEDS Gracilaria Nori Wakame Green laver

Andara granos Mytilus smaragdinus Trionyx sinensis Crocodilus siamensis C. porocus Rana catasbiana Rana tigrina Gracilaria spp. Porphyra spp. Undaria pinnatifida Monostroma nitidum

E, S EX, E, S I I I S I E E E E

S S F F F F F B, S S S S

*EX = experimental, E = extensive, S = semi-intensive, I = intensive **F = freshwater, B = brackish water, S = saltwater Sumberr : Liao, 1988 Huet and Timmermans (1972) menyebutkan kriteria untuk mengevaluasi kelayakannya suatu spesies budidaya, sebagai berikut : It must withstand the climate of the region in which it will be raised Its rate of growth must be sufficiently high It must be able to reproduce successfully under culture conditions It must accept and thrive on abundant and cheap artificial food It must be acceptable to the consumer It should support a high population density in ponds It must be disease-resistant

3. Ketersediaan Teknologi
Karena akuakultur melibatkan banyak metode termasuk pemijahan dan pembesaran, maka ketersediaan teknologi yang telah dikuasai sangat menentukan keberhasilannya. Selain itu, juga terkait dengan tingkat kerumitan (complexity) dan kemudahannya untuk dipelajari oleh para pembudidaya. Secara umum, sistem berbiaya rendah dengan teknologi sederhana seperti budidaya ikan nila/mujair lebih mudah diajarkan kepada pembudidaya daripada sistem budidaya canggih berteknologi tinggi seperti budidaya udang windu yang intensif. Oleh karena itu, jika akuakultur ingin digunakan sebagai mata pencaharian alternatif atau sebagai pengganti usaha penangkapan dipesisir, maka sistem yang akan digunakan harus sederhana, mudah diaplikasikan,

fasilitas produksi berbiaya murah yang pembuatan dan pengoperasiannya bisa melibatkan semua anggota keluarga atau kelompok, misalnya budidaya rumput laut dan kerang-kerangan. Di sisi lain, teknologi yang rumit memerlukan biaya yang lebih besar dan tambahan fasilitas lainnya, namun menjanjikan keuntungan yang lebih besar juga. Ini biasanya dilakukan oleh pengusaha menengah atau besar yang mampu membayar tenaga ahli dalam menjalankan usaha akuakultur tersebut.

4. Ketersediaan input produksi dan sarana pendukung lainnya


Konsenkuensi atas level teknologi adalah kesiapan dari input produksi, misalnya pakan dan benih, fasilitas tambahan seperti hutchery, mesin processing, mesin pembuat es, dan coldstorage (ruang penyimpanan bersuhu dingin). pada level rendah, para pembudidaya tidak cukup hanya dengan ketersediaan input produksi tetapi juga memerlukan petunjuk teknis dan dukungan luas. Namun demikian, untuk skala besar yang beroperasi secara intensif terutama yang berusaha untuk tujuan ekspor, faktor kritisnya adalah ketersediaan benih dan pakan secara kontinu dan juga kegiatan pasca panen dan processing untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan.

5. Kebutuhan akan investasi.


Besar kecilnya modal yang ditanamkan pada usaha akuakultur tergantung pada tipe sistem yang diadopsi. Secara umum, investasi meningkat sebagai fungsi dari level teknologi dan kerumitan sistem akuakultur. di mana sistem ektensif biasanya lebih sedikit modal yang diinvestasikan daripada sistem intensif. Sistem akuakultur skala kecil seperti rakit atau tali untuk budidaya rumput laut atau kerang-kerangan tentu biayanya lebih kecil, sebaliknya untuk sistem intensif dengan kompleksitas sistem produksi seperti budidaya udang windu memerlukan perencanaan keuangan yang besar, tidak hanya pada awal usaha tetapi juga selama operasional dan pemeliharaannya. 6. Kondisi lingkungan. Hal penting yang harus diperhatikan adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan dari usaha akuakultur ini, sebagai contoh ekpansi budidaya

intensif di Taiwan telah menimbulkan masalah penyakit yang serius dan memburuknya kualitas air. Penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dijadikan tambak juga telah menimbulkan gangguan atas keseimbangan ekologis di sejumlah pesisir, menurunkan produktifitas perairan, dan membatasi daerah pemijahan (breeding ground) dan pengasuhan (nursery ground) jenis-jenis ikan penting dan kehidupan akuatik lainnya. Di Australia, potensi kemungkinan terjadinya eutrofikasi karena beban limbah nutrien yang dikeluarkan oleh aktifitas akuakultur telah menjadi perhatian (Jamandre, 1988). Di Negros, Philipina juga telah terjadi perdebatan antara pabrik gula dan industri akuakultur karena limbah yang dikeluarkan pabrik gula tersebut ke sungai yang airnya dipakai untuk akuakultur, dilaporkan meningkatkan temperatur dan menurunkan pH sehingga merusak usaha tambak udang (Cayco, 1988). Akuakultur sendiri dapat menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan sehingga penting untuk mempertimbangkan masalah lingkungan ini dalam memilih suatu sistem akuakultur, yang mana harus dapat mengurangi dampak langsung akuakultur terhadap ekologi. Tabel. Kemungkinan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh akuakultur
Culture System EXTENSIVE 1. Seaweed culture May occupy formerly pristine reefs; rough weather losses; market competition; conflicts/failures, social disruption. Public health risks and consumer resistance (microbial diseases, red tides, industrial pollution; rough weather losses; seed shortages; market competition especially for export produce; failures, social disruption. Destruction of ecosystems, especially mangroves; increasingly non-competitive with more intensive systems; nonsustainable with high population growth; conflicts/failures, social disruption. Exclusion of traditional fishermen; navigational hazards; conflicts, social disruption; management difficulties; wood consumption. Environmental Impact

2. Coastal bivalve culture (mussels, oysters, clams, cockles) 3. Coastal fishponds (mullets, milkfish, shrimps, tilapias)

4. Pen and cage culture in eutrophic waters and/or rich benthos (carps, catfish, milkfish tilapias) SEMI-INTENSIVE 1. Fresh- and brackishwater pond (shrimps and prawns, carps, catfish, milkfish, mullets, tilapias)

Freshwater: health risks to farm workers from waterborne diseases. Brackishwater: salinization/acidification of soils/aquifers. Both: market competition, especially for export produce; feed and

fertilizer availability/prices; conflicts/failures, social disruption. 2. Integrated agricultureaquaculture (rice-fish; live stock/poultry-fish; vegetables - fish and all combinations of these) As freshwater above, plus possible consumer resistance to excreta-fed produce; competition from other users of inputs such as livestock excreta and cereal brans; toxic substances in livestock feeds (e.g., heavy metals) may accumulate in pond sediments and fish; pesticides may accumulate in fish.

3. Sewage-fish culture (waste Possible health risks to farm workers, fish processors treatment ponds; latrine and consumers; consumer resistance to produce. wastes and septage used as pond inputs; fish cages in wastewater channels) 4. Cage and pen culture, As extensive cage and pen Systems above. especially in eutrophic waters or on rich benthos (carps, catfish, milkfish, tilapias) INTENSIVE 1. Freshwater, brackishwater and marine ponds (shrimps; fish, especially carnivores catfish, snakeheads, groupers, sea bass, etc.) 2. Freshwater, brackishwater and marine cage and pen culture (finfish, especially carnivores -groupers, sea bass, etc. - but also some omnivores such as common carp) Effluents/drainage high in BOD and suspended solids; market competition, especially for export product; conflicts/failures, social disruption.

Accumulation of anoxic sediments below cages due to fecal and waste feed build-up; market competition, especially for export produce; conflicts/failures, social disruption; consumption of wood and other materials.

3. Other - raceways, silos, tanks, Effluents/drainage high in BOD and suspended solids; etc. many location-specific problems.

Pertimbangan yang dilakukan untuk usaha akuakultur di pesisir yang berdampak langsung dengan hutan mangrove, antara lain : 1) Membangun tipe akuakultur yang tidak melibatkan penghancuran hutan mangrove, tetapi berasosiasi dengan flora dan fauna sekitar, misalnya karamba 2) Perpaduan akuakultur dengan kehutanan dengan menanam mangrove sepanjang tanggul tambak atau di sekitar area budidaya

3) Menjaga fungsi ekosistem berarti bahwa :


Jika memungkinkan membangun sistem akuakultur sudah disediakan untuk reklamasi mangrove dari pada membabat mangrove baru Sedapat-dapatnya hanya sedikit memanfaatkan hutan mangrove atau membuka tambak pada area dengan hanya sedikit pohon mangrovenya

Menempatkan lahan akuakultur setelah daerah hutan mangrove sehingga dapat menjaga bagian produksi untuk penangkapan Memastikan bahwa area tambah lebih kecil daripada area hutan mangrove.

4) Memberikan perhatian lebih atas pemilihan lokasi, instalasi desain sistem,


dan managemen operasionalnya.

II. PERTIMBANGAN DALAM MERANCANG SISTEM AKUAKULTUR Sebagai akibat dari dampak suhu terhadap pertumbuhan ikan dan juga ketersediaan ruang yang lebih terbatas dibandingkan dengan hewan terestrial, serta adanya masalah kualitas air, seperti oksigen terlarut, karbon dioksida, dan amonia maka dibutuhkan perlakuan air sebelum masuk ke dalam wadah budidaya. PEMILIHAN LOKASI Biasanya para pelaku akuakultur hanya melakukan survei secara singkat dalam penentuan lokasi, karena untuk melakukan perancangan sistem dengan mempertimbangkan faktor teknis terlalu mahal. Salah satu contohnya dalam pemilihan sistem resirkulasi hanya berdasarkan pada keadaan sumberdaya air yang terbatas pada lokasi tersebut atau dengan kualitas yang tidak dapat digunakan. Idealnya setiap pemilihan lokasi harus melalui peninjauan dan proses pemilihan yang cermat. aspek Faktor utama dan dalam pemilihan biologi lokasi juga selain harus memperhatikan fisik, iklim, komponen

mempertimbangkan aspek sosial, legalitas, dan ekonomi. Kvri (1984)3 menyebutkan bahwa keberhasilan usaha akuakultur sangat tergantung pada seberapa luas area yang tersedia yang bisa dikembangkan untuk pembesaran maupun pembenihan. Secara umum ada 3 faktor utama yang musti diperhatikan dalam pemilihan lokasi akuakultur, yakni; (1) faktor ekologi, (2) faktor operasional dan biologi, (3) faktor sosial dan ekonomi. 1. Faktor ekologi Meliputi hal-hal sebagai berikut : Suplai air Kepastian suplai air yang cukup, baik kuantitas maupun kualitasnya merupakan faktor yang paling penting yang dipertimbangkan ketika memutuskan kelayakan suatu lokasi kolam budidaya. Untuk itu, investigasi sumber air yang sesuai harus diutamakan. Sumbe air bisa berasal dari saluran irigasi, waduk, sungai, danau, mata air, hujan, atau air sumur. Air bisa dialirkan melalui kanal, bak penampungan, atau pipa secara grafitasi atau menggunakan pompa ke

Kvri J. 1984. Considerations

in the Selection of Sites for Aquaculture. FAO. Italy

kolam. Pada kolam dengan kondisi tanah yang baik minimum suplai air adalah 5 l/sec/ ha sepanjang tahun. Jika air hujan yang digunakan yang disimpan ditandon untuk mensuplai air, rasionya adalah 10-15 ha daerah resapan untuk 1 ha kolam. Rasio yang lebih rendah diperlukan untuk tanah rumput, dan kurang dari tanah yang telah ditanami (Hora, 1962). Kemungkinan untuk drainase kolam harus diperhatikan selama pemilihan lokasi. Drainase secara grafitasi lebih baik, sehingga posisi dasar kolam harus lebih tinggi dari permukaan air di luar kolam. Kualitas air Kualitas air merupakan faktor yang paling signifikan dalam pemilihan lokasi, investigasinya dengan mengambil sampel untuk dianalisis secara laboratorium, meliputi sifat-sifat fisik, kimia, biologi, dan mikrobiologi, termasuk bahaya (hazard) kesehatan ikan. Prosedur analisis kualitas air harus sesuai dengan klasifikasi standar negara. Sifat-sifat fisik Sifat-sifat kimia : suhu, warna, bau, kekeruhan, kecerahan, dan solid tersuspensi. : pH, DO (oksigen telarut), BOD (biochemical oxygen demand), alkalinitas, salinitas, TDS, amonia. Sifat-sifat biologis : kualitas dan kelimpahan plankton Mikrobiologis Iklim Faktor klimatologis yang utama terkait dengan hal ini dapat diperoleh dari Badan meteorologi dan Geofisika, seperti : 1. rata-rata suhu bulanan 2. rata-rata hujan bulanan 3. rata-rata evaporasi bulanan 4. rata-rata kelembaban bulanan 5. rata-rata kondisi cerah bulanan 6. rata-rata kecepatan dan arah angin bulanan informasi tentang data curah hujan (max 24 jam), musibah angin ribut, badai, dan gempa bumi perlu juga dipertimbangkan, Karakteristik hidrologis :spesies dan jumlah parasit

Data yang diperlukan terkait dengan hidrologis meliputi; discharge, yield, banjir, ketinggian air sungai, danau, dan sumber air lainnya. Karakteristik tanah (soil) Daratan (land)

2. Faktor Biologis dan Operasional

PERIJINAN Waktu dan biaya yang digunakan untuk urusan perijinan biasanya sangat signifikan terhadap keseluruhan usaha akuakultur, khususnya pada usaha marikultur atau pertambakan (wetland). Namun secara aktual, biaya untuk hal tersebut relatif murah. Biaya yang dikeluarkan untuk perijinan bersifat langsung dan biaya-biaya yang tidak jelas. Tetapi biasanya biaya perijinan ini bisa mencapai 5.7 % dari ongkos produksi. Biasanya terkait dengan perijinan ini meliputi ; ijin tempat usaha, ijin usaha perikanan, ijin penggunaan air, retribusi limbah, pajak, dll. DASAR PERANCANGAN SISTEM Sebelum memulai sebuah detail desain, penting untuk mendapatkan kriteria proses terkait dengan spesies ikan yang akan dibudidayakan, sistem yang digunakan, dan langkah-langkah praktis yang akan dilakukan. Hal ini mencakup semua data tentang laju pertumbuhan, fekunditas, kelangsungan hidup, dan syarat kualitas air yang dibutuhkan. Dalam sistem air mengalir dan resirkulasi, perhitungan tentang aliran air dapat dihitung menggunakan pendekatan keseimbangan massa. Biasanya, hal ini diasumsikan bahwa oksigen terlarut adalah faktor pembatas yang paling utama. Dalam sistem dengan intensitas tinggi, faktor pembatas kualitas air dapat juga berupa amonia, karbon dioksida, dan pH. Tingkat intensitas dalam sistem ini lebih akurat diukur dengan konsumsi oksigen kumulatif (COC) yang melalui sistem ini (Meade 1988). Pengaruh CO2, pH, dan ammonia dapat juga diabaikan (Colt 1981). Pada sistem air mengalir tanpa aerasi, faktor pembatasnya adalah pH rendah, oksigen terlarut jika pH netral, dan NH3 jika pH tinggi. Pada sistem dengan penambahan oksigen murni, CO2 bisa menjadi faktor pembatas pada pH netral. Pada sistem terbuka dimana oksigen dan CO2 dapat bertukar melalui permukaan air, maka amonia bisa menjadi faktor pembatas.

Walupun sistem kolam nampak sederhana, namun interaksi antara hewan budidaya, algae, zooplankton, bakteri, proses fisika dan kimianya sangat sulit untuk dimengerti. Sehingga desain dan operasi kolam masih didasarkan pada informasi empiris. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut adalah masalah serius dalam berbagai sistem kolam yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti :

1. Fluktuasi DO harian karena fotosintesis dan respirasi


2. Algae yang mati, dimana proses dekomposisinya memerlukan oksigen Masalah lain juga yang tak kalah pentingnya adalah pH yang tinggi dan daging ikan yang berbau lumpur. Sistem karamba sangat tergantung pada proses pembersihan alami (gerakan air) untuk menghilangkan limbah metabolit dan mensuplai oksigen. Lokasi yang ideal untuk karamba di laut adalah area yang memiliki pergerakan air yang bagus serta terlindung dari angin kencang dan gelombang. Banyaknya tiram yang menempel pada jaring karamba adalah masalah yang serius dan memerlukan tindakan pergantian jaring secara teratur. Jika karamba ditempatkan pada perairan yang tenang tidak dapat meningkatkan produktifitasnya sama halnya dengan kolam statis tanpa pergantian air. Sistem resirkulasi potensial dikembangkan pada area dengan sumber daya air yang terbatas atau dekat dengan pasar. Sistem resirkulasi nampak prospektif bagi para pengusaha. Dibandingkan dengan kolam atau sistem air mengalir, sistem resirkulasi secara nyata membutuhkan modal dan biaya operasional yang lebih tinggi, keberhasilannya secara ekonomi dari penggunaan sistem resirkulasi di Amerika lebih potensial diperuntukkan bagi sistem untuk tujuan penelitian, pendederan, dan jenis-jenis ikan yang berharga mahal, seperti berbagai jenis ikan hias. PEMILIHAN MATERIAL Desain sistem akuakultur komersil melibatkan pemilihan material yang serius, khususnya untuk tujuan marikultur. Faktor-faktornya tidak hanya pada masalah fouling (menempelnya tiram), stress, dan karat, tetapi juga pengaruh logam, senyawa organik yang merembes dari material yang digunakan, atau adsorpsi material dari air. Beberapa plastik dan karet bersifat toksik, biasanya pada material-material yang masih baru.

RELIABILITY (KEYAKINAN ATAS SISTEM YANG BERJALAN) Reliabiliti merupakan adalah kunci dalam desain sistem akuakultur. interupsi air atau macetnya suplai air selama 1 6 jam dapat menyebabkan kematian total pada sistem resirkulasi atau air mengalir. Pada tahun-tahun awal operasi, reliabilitas sistem bisa mencapai 99.9% tetapi masih ada kematian ikan. Masalah operasional cenderung muncul dari dua sumber (Huguenin and Colt, 1989), yakni :

Sumber internal, karena kesalahan desain atau ketidaksesuaian prosedur operasi dan termasuk masalah dalam pemilihan material. Penggunaan klorin, supersaturasi gas, dan keterbatasan pengendalian dan monitoring.

Sumber eksternal, misalnya karena adanya pengaruh cuaca atau iklim. Untuk menanggulangi kegagalan, biasanya pada beberapa sistem

menyedian sumber air cadangan, generator, dan berbagai tanda-peringatan seperti alaram, kontrol otomatis, dll.

You might also like