You are on page 1of 2

APTSI Nilai Kebijakan Dijen Dikti Tidak Realistis SLEMAN, TRIBUN Direktorat Jendral Perguruan Tinggi (Ditjen Dikti),

baru baru ini menyosialisasikan kebijakan mengenai syarat kelulusan bagi para calon lulusan program S1, S2 dan S3. Dalam surat yang ditandatangani Djoko Santoso, selaku Direktur Jendral Dikti, bernomor 152/E/T/2012 tersebut, dinyatakan bahwa mulai bulan Agustus 2012, para calon ketiga program tersebut, diwajibkan untuk membuat sebuah karya tulis ilmiah berupa makalah yang diterbitkan di jurnal imliah. Dengan rincian, program S1 harus menerbitkan makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah, untuk program S2 membuat makalah yang diterbitkan di jurnal imliah nasional yang terakreditasi Dikti serta program S3 harus mampu membuat makalah yang sudah diterima terbit di jurnal internasional. Terkait hal itu, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI), menilai kebijakan tersebut tak realistis, terutama bagi calon lulusan program S1. Kami mendukung sepenuhnya semangat Ditjen Dikti untuk meningkatkan publikasi ilmiah. Terutama untuk mengejar ketertinggalan dari Negara Negara tetangga. Meski demikian, tampaknya tidak realistis jika hal itu diterapkan bagi calon lulusan program sarjana, tandas Edy Suandi Hamid, selaku ketua APTSI, ketika ditemui Jumat (03/02). Dirinya menambahkan, untuk saat ini persyaratan tersebut dirasakan tidak membumi, karena tidak sesuai dengan daya dukung jurnal tanah air. Seandainya dari 3000 lebih perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada di Indonesia meluluskan sekitar 750 ribu calon sarjana setiap tahunnya, maka dipastikan akan ada puluhan ribu jurnal di negeri ini. Memang bisa terbit di jurnal internasional, tapi tentunya tidak mudah. Sedangkan lulusan S3 saja, baru sebagian kecil yang menulis dan menyampaikan makalahnya di forum internasional, imbuhnya. Ia pun menganalogikan, jika diasumsikan kini terdapat 2000 jurnal dan setiap jurnal terbit setahun dua kali kemudian setiap terbit bisa mempublikasikan lima artikel, maka dipastikan akan ada 20 ribu tulisan dari para calon sarjana. Jika jurnal itu jumlahnya berlipat lima, tetap tidak mampu menampung tulisan ilmiah calon sarjana tersebut. Sementara masih ada ratusan ribu calon sarjana yang antre untuk dimuat jurnalnya, padahal jurnal itu juga digunakan para dosen, peneliti dan mahasiswa S2 dan S3, paparnya. Menurut pria yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Indonesia (UII) ini, untuk program S3 kebijakan itu memang realistis. Lantaran jumlahnya masih terbatas, dan sebagian dipublikasikan di jurnal internasional. Jangankan untuk S1, Islam masih besar untuk

menampung tulisan dari mahasiswa S2 saja, jurnal akreditasi masih harus ditingkatkan, imbuhnya. Meskipun kebijakan tersebut akan diberlakukan enam bulan lagi, namun menurutnya tetap target itu sulit untuk dipenuhi. Tapi, Edy mengakui bahwa gagasan tersebut dinilainya inovatif serta bisa merangsang calon sarjana, master maupun doctor untuk terus berkarya. Namun sayangnya, hal itu kurang diperhitungkan dengan matang. Ia khawatir jika hal itu diterapkan begitu saja, maka akan menimbulkan keresahan bahkan bisa memicu instabilitas nasional. Terutama jika ratusan ribu jurnal tersebut tidak diimbangi dengan daya dukung penerbitannya. Ia membayangkan, jika nantinya akan terjadi kemandegan dari mereka yang secara akademik sudah siap menjadi sarjana tapi ternyata terkendala dengan media penerbitan yang terbatas. Bukan hanya kalangan kampus yang nantinya akan terkena dampaknya, namun juga dipastikan akan mempengaruhi masyarakat luas juga. Kemungkinan besar jika kebijakan itu diterapkan begitu saja, maka akan banyak bermunculan jurnal ilmiah yang sifatnya asal asalan, dengan tujuan hanya untuk memenuhi persyaratan kelulusan. Dengan demikian, dikhawatirkan nantinya jurnal ilmiah hanya akan menjadi formalitas sebagai pemenuh persyaratan. Sebaiknya, kewajiban tersebut hendaknya dilakukan secara bertahap. Dirjen Dikti, seharusnya melakukan simulasi tentang daya dukung dan lulusan sarjana setiap tahunnya, semisal secara bertahap diwajibkan bagi prodi yang sudah memiliki akreditasi A atau metode lainnya, pungkasnya. (mon)

You might also like