Professional Documents
Culture Documents
Republik Indonesia
LAPORAN AKHIR
Disusun oleh:
EXECUTIVE SUMMARY
Konteks Studi
Masyarakat menyoroti sistem dan praktek penegakan hukum di bidang peradilan
yang berlangsung selama ini lebih banyak berkaitan dengan ruang lingkup tugas hakim.
Oleh sebab itu, penelitian tentang REKRUTMEN DAN KARIR DI BIDANG PERADILAN
ini dibatasi pada rekrutmen dan karir profesi hakim. Sampai saat ini dalam rekrutmen
dan karir hakim belum didasarkan pada norma-norma profesionalisme atau
kemampuan pribadi hakim yang bersangkutan, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya penyimpangan-penyimpangan di dalam proses peradilan yang melahirkan
putusan hakim yang kurang mencerminkan kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Akibat lebih lanjut dari keadaan tersebut, terjadi turunnya kadar
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Misalnya, pengangkatan hakim-
hakim untuk mengisi Mahkamah Agung yang telah dilakukan dengan fit and proper test
oleh DPR dirasakan masih belum dapat menghasilkan hakim agung yang baik, karena
proses rekrutmen dengan cara tersebut sarat dengan muatan kepentingan politik yang
ikut mempengaruhinya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem peradilan yang baik
perlu diwujudkan suatu sistem rekrutmen dan karir hakim yang baik.
Diharapkan, hakim sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum dapat
menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan
(justiciable). Hakim harus mempunyai kemampuan profesional serta moral dan integritas
yang tinggi agar mampu mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan
kepastian hukum. Selain itu hakim harus mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi
serta menjalankan peranan dan statusnya yang dapat diterima oleh masyarakat, hakim
juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik.
Dalam usaha memenuhi persyaratan di atas, dibutuhkan suatu pedoman yang
baru yang pada gilirannya akan dapat diperoleh hakim yang berwibawa, jujur, adil, dan
berkelakuan tidak tercela. Hal tersebut mengingat tugas hakim selain bersifat praktis,
rutin, juga bersifat ilmiah dan mulia. Sifat pembawaan tugas hakim yang demikian itu,
menyebabkan hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu pengetahuan hukum
dan kebutuhan hukum masyarakat, hakim juga harus memantapkan pertimbangan-
pertimbangan sebagai dasar menyusun putusannya, sehingga hakim dapat ikut berperan
aktif dalam reformasi hukum.
Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bebas. Kebebasan hakim
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya. Namun, kebebasan
tersebut tidak mutlak sifatnya karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-
dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat
Indonesia. Hal tersebut berarti kebebasan hakim dibatasi oleh Pancasila, undang-undang,
kepentingan para pihak dan ketertiban umum.
Kenyataan menunjukkan bahwa kondisi hakim saat ini belum seperti yang
diharapkan. Terbukti dengan adanya banyak laporan dan pengaduan tentang proses
penanganan perkara, penyalahgunaan kekuasaan hakim pada khususnya atau peradilan
pada umumnya. Masyarakat memberi sorotan pada cara dan hasil kerja hakim sebagai
tumpuan dan sekaligus sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum dan keadilan.
Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahan pokok yang dapat dirumuskan
adalah bagaimana sistem rekrutmen dan karir hakim yang tepat. Selanjutnya
permasalahan pokok ini diurai menjadi masalah-masalah: apakah sistem rekrutmen dan
karir hakim yang berlaku selama ini sudah tepat; faktor-faktor apa yang menyebabkan
terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam rekrutmen dan karir hakim; apakah
sistem penggajian profesi hakim yang berlaku sekarang ini sudah layak; dan
bagaimanakah upaya meningkatkan ketertarikan sarjana hukum yang baik guna meniti
karir sebagai hakim.
Maksud penelitian ini adalah untuk mengkaji berbagai aspek dalam merumuskan
(memformulasikan) sistem rekrutmen dan karir hakim yang tepat. Di samping itu,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. mengkaji sistem rekrutmen dan karir hakim yang berlaku selama ini;
2. mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kolusi. Korupsi dan
nepotisme dalam rekrutmen dan karir hakim;
3. mengkaji layak tidaknya sistem penggajian profesi hakim yang berlaku
sekarang ini;
Hasil Penelitian
karir hakim. Isu strategis yang dirumuskan sekaligus diajukan sebagai rekomendasi yang
dapat ditarik berdasarkan hasil penelitian tentang adalah sebagai berikut:
Kekuatan (Strengths):
Kelemahan (Weaknesses):
Peluang (Opportunities):
Tantangan (Threats) :
Kesimpulan
Rekomendasi
Rencana Aksi
-----------------------------
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa atas rahmat dan
karunianya maka Laporan Akhir penelitian tentang REKRUTMEN DAN KARIR DI
BIDANG PERADILAN ini dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan.
Laporan Akhir penelitian ini disusun dalam rangka memenuhi Surat Perjanjian
Melaksanakan Studi Untuk Menyusun Rekomendasi Guna Keperluan Komisi Hukum
Nasional, Nomor: PERJ-14/KK/KHN/I/2002 tertanggal 11 Januari 2002 antara Ketua
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia selaku Pihak Pertama dengan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Ex Officio Penanggung Jawab Kelompok Kerja
selaku Pihak Kedua. Tim Peneliti Fakultas Hukum UGM terd iri atas 9 (sembilan) orang
peneliti, yaitu: Dr. Mohd Burhan Tsani, S.H., M.H., Dr. Bernadus Sukismo, S.H., M.H.,
Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M., Kunthoro Basuki, S.H., M.Hum., Herry Iswanto,
S.H., S.U., Sutanto, S.H., M.S., Sigid Riyanto, S.H., M.Si., Tata Wijayanta, S.H., dan Eddy
O.S. Hiariej, S.H.; serta dibantu 2 (dua) orang staf, yaitu: Damari Pranowo, S.H. dan
Bambang Suwondo, S.H.
Maksud dilaksanakan penelitian ini adalah untuk mengkaji berbagai aspek dalam
memformulasikan sistem rekrutmen dan karir hakim yang tepat. Untuk itu, tujuan
penelitian ini adalah untuk mengkaji sistem rekrutmen dan karir hakim yang berlaku
selama ini, mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kolusi, korupsi dan
nepotisme dalam rekruitmen dan karir hakim, mengkaji layak dan tidaknya sistem
penggajian profesi hakim yang berlaku sekarang ini, dan mengkaji upaya peningkatan
ketertarikan Sarjana Hukum yang baik guna meniti karir sebagai hakim. Di samping itu,
sasaran utama dari penelitian ini adalah untuk memberi masukan mengenai berbagai
aspek dalam perumusan suatu sistem rekrutmen dan karir hakim yang tepat, yang
dirinci menjadi beberapa bagian, yaitu mengenai sistem rekrutmen dan karir hakim yang
berlaku hingga saat ini, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kolusi, korupsi dan
nepotisme dalam rekrutmen dan karir hakim, layak dan tidaknya sistem penggajian
profesi hakim yang berlaku sekarang ini; dan upaya-upaya untuk meningkatkan
ketertarikan Sarjana Hukum yang baik guna meniti karir sebagai hakim.
keenam adalah analisis dari hasil penelitian ini, yang terdiri d ari kajian historis terhadap
sistem rekrutmen dan karir hakim; potensi perbuatan kolusi, korupsi dan nepotisme
(KKN) dalam rekrutmen dan karir hakim; sistem penggajian profesi hakim; minat
lulusan sarjana hukum yang baik untuk meniti karir sebagai hakim; dan hasil dari
comparative study. Kemudian Bab ketujuh adalah kesimpulan dari penelitian ini, dan Bab
kedelapan merupakan rekomendasi yang ditawarkan untuk mengembangkan sistem
rekrutmen dan karir hakim di masa mendatang.
Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada Komisi Hukum Nasional (KHN)
yang telah mempercayakan pekerjaan yang sangat berat ini kepada kami Tim Peneliti
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Sungguhpun demikian, kami merasa bangga
karena pekerjaan ini sangat penting artinya bagi pengembangan sistem rekrutmen dan
karir hakim, dan umumnya bagi tegaknya sistem peradilan di Republik yang kita cintai
ini. Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada para nara sumber dan semua pihak
yang telah memberi masukkan dan bantuan sehingga penelitian ini dapat terlaksana
dengan baik dan lancar.
Demikian, semoga hasil studi dan rekomendasi-rekomendasinya bermanfaat bagi
Komisi Hukum Nasional, dan dapat menjadi sumbangan dalam perumusan sistem
rekrutmen dan karir hakim di masa mendatang.
Penanggungjawab,
Dekan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Executive Summary ii
Lampiran-Lampiran: 89
1) Struktur Organisasi Tim Peneliti 93
2) Jadwal Penelitian 95
3) Daftar Pustaka 97
---------------------------------
A. Latar Belakang
Penegakan hukum melalui pengadilan yang disoroti oleh masyarakat lebih
banyak berkaitan dengan ruang lingkup tugas hakim. Oleh sebab itu penelitian tentang
Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan dibatasi pada rekrutmen dan karir hakim.
Sampai saat ini dalam rekrutmen dan karir hak im dirasakan belum didasarkan
pada profesionalisme serta moral dan integritas yang tinggi dari pribadi yang
bersangkutan, sehingga pada akhirnya menghasilkan penyimpangan di dalam proses
peradilan yang terlihat dari putusan hakim yang kurang mencerminkan rasa keadilan
dan kepastian hukum. Rekrutmen hakim cenderung masih dilakukan secara tertutup
yang membuka peluang terjadinya KKN. Hal tersebut ditunjukkan adanya laporan
beberapa kasus dugaan suap kepada hakim, termasuk kepada Hakim Agung seperti
yang dilaporkan oleh Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atas
laporan tersebut belum ada tindakan konkrit sampai diproses secara hukum melalui
pengadilan, yang terjadi justru saksi pelapor diproses di pengadilan dan akhirnya
dijatuhi pidana. Di samping itu adanya kasus yang tidak tuntas yang melibatkan pihak
yang cukup banyak, seperti kasus Pulosroyo. Indikasi-indikasi ini mengakibatkan
turunnya pamor dan wibawa pengadilan di mata masyarakat, dan langsung atau tidak
langsung telah berimbas pada pelaksan aan rekrutmen dan karir hakim selama ini.
Implikasi turunnya kadar kepercayaan masyarakat terhadap hakim tersebut telah
menimbulkan kecenderungan atau pola bagi para pencari keadilan yang tidak puas
terhadap putusan hakim pada khususnya atau tindakan pengadilan pada umumnya
untuk mengajukan perkaranya kepada instansi lain, seperti DPRD, DPR dan
Ombutsman. Padahal pengadilan adalah sebagai lembaga pemutus perkara dan
gerbang terakhir penegakan hukum serta keadilan yang sangat dinantikan oleh
masyarakat pada umumnya dan pencari keadilan pada khususnya.
Adanya pola baru dalam pengangkatan hakim pada Mahkamah Agung yang
dilakukan dengan fit and proper test oleh DPR merupakan upaya untuk menuju pada
sistem rekruitmen dan karir hakim tersebut. Namun, upaya tersebut nampaknya masih
A.2 – Meningkatkan Kemampuan Sistem Peradilan – Final Report
perlu untuk dikaji lebih lanjut, yaitu apakah hasilnya dapat memberikan dampak
sebagaimana yang diharapkan, dan bisa mempengaruhi sistem pengangkatan hakim
pada tingkat yang lebih rendah. Hal ini mengingat bahwa dalam praktiknya fit dan
proper test pengangkatan Hakim Agung tersebut masih dipengaruhi atau sarat dengan
kepentingan politik.
Sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum, tugas hakim sungguh sangat
berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort)
bagi para pencari keadilan (justiciable). Hakim harus mempunyai kemampuan
profesional, serta moral dan integritas yang tinggi yang mencerminkan rasa keadilan,
memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum. Hakim dituntut mampu
berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan
masyarakat. Selain itu, tanggung jawab hakim berat karena harus bertanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan yang
lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu
maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, hakim harus
juga mempunyai iman dan taqwa yang baik.
Dalam usaha memenuhi persyaratan di atas dibutuhkan suatu sistem rekrutmen
dan karir hakim yang baik yang dapat menciptakan kondisi yang kondusif
terbentuknya hakim yang berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela. Tugas
hakim kecuali bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas hakim yang
demikian ini, membawa konsekuensi bahwa hakim harus selalu mendalami
perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan
memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya.
Dengan cara ini pula hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang
dituntut oleh masyarakat saat ini.
Dalam memeriksa dan memutus perkara hakim bebas. Namun, kebebasan hakim
tersebut dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya
(Mertokusumo, 1973). Kebebasan hakim diberikan dalam rangka mengemban tugas
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya,
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya
pernah juga suatu ketika ditugaskan sebagai pembela gratis dalam perkara
pembunuhan.
Setelah 6 (enam) bulan menjalani tugas sebagai magang hakim selesai, ia
langsung diangkat sebagai hakim. Dalam hati kecilnya sesungguhnya semula ia tidak
bercita-cita untuk menjadi hakim. Dengan demikian tugasnya atau profesinya sebagai
hakim itu terjadi secara kebetulan saja, dalam arti begitu lulus sarjana hukum langsung
mengajukan lamaran untuk menjadi hakim, dan setelah diterima dan diangkat, profesi
sebagai hakim tersebut dihayati sewajarnya tanpa pesimistis dan tanpa optimistis.
Dalam meniti karirnya sebagai hakim, ia menuturkan pengalamannya bahwa
untuk kenaikan pangkat seorang hakim diprasyaratkan adanya eksaminasi putusan
pengadilan yang telah dibuatnya sejumlah 9 (sembilan) perkara (pidana dan perdata).
Eksaminasi putusan pengadilan tersebut dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi
setempat, hasil eksaminasi tersebut bersifat rahasia dan tidak diberitahukan kepada
hakim yang putusannya dieksaminasi. Ia berpendapat bahwa untuk kenaikan pangkat
(karir) seorang hakim, eksaminasi atas putusan yang pernah dibuatnya perlu
dilakukan, dengan argumentasi bahwa dalam suatu putusan pengadilan selain
memuat mengenai pertimbangannya juga mengenai diktumnya. Pertimbangan
putusan hakim berkaitan dengan hukum meteriil dan hukum formil, sedangkan
putusannya sendiri dalam kaitannya dengan manajemen berkaitan dengan IQ
(Intelectual Quotient), jangan semata-mata rasional saja, tetapi rasa itu harus ada (Jawa:
roso pangroso). Dalam teori membuat putusan, banyak literatur antara lain van Apel
Doorn, bahwa hukum itu alogis tetapi penggarapannya logis. Mengapa alogis karena
hukum itu normatif dan mengandung nilai, karena mengandung nilai maka sarat
dengan emosi. Emosi bukan berarti marah, tetapi yang dimaksud adalah ketajaman
emosional atau kecerdasan emosional. Dalam menjatuhkan putusan harus
dipertimbangkan dengan hati nurani, jangan semata-mata rasional saja.
Dalam kaitannya dengan rekrutmen hakim ia berpendapat perlu
dipertimbangkan faktor intelektualitas dan integritas (kejujuran). Intelektualitas
dikaitkan dengan kemampuan penguasaan hukum materiil dan formal serta
kemampuan melakukan penemuan hukum.
Lebih lanjut ia memprihatinkan kemampuan para hakim dewasa ini, dalam hal
penemuan hukum. Dalam ketentuan Pasal 27 Undang -Undang No. 14 Tahun 1970
ditegaskan bahwa hakim wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal
ini mengandung makna bahwa menggali hukum itu berarti menemukan hukum. Hasil
penemuan hukum dapat dijadikan sarana untuk pembinaan karir hakim, misalnya
kenaikan pangkat meloncat dan sebagainya. Dalam praktek penemuan hukum oleh
hakim itu, dapat dipandang sebagai suatu terobosan, tetapi tidak setiap terobosan itu
merupakan suatu jurisprudence, karena sering kali terobosan itu justru mengecewakan.
Terlebih akhir-akhir ini banyak didapati putusan hakim, baik hakim tingkat pertama,
hakim banding bahkan hakim agung yang terkesan cenderung terlalu simpel dan
langsung, misalnya mengenai putusan pembatalan. Dalam putusan pembatalan hanya
diputus batal, tanpa diberi pertimbangan dan alasan mengapa batal. Oleh karena itu
dalam rekrutmen hakim perlu diprasyaratkan adanya faktor-faktor:
a. intelektualitas (yang terkait dengan kemampuan penguasaan hukum materiil,
hukum formil dan penemuan hukum secara tepat dan benar);
b.integritas (kejujuran);
c. pendidikan, penataran, refresing, rapat-rapat berkala, dan diklat;
d. langkah-langkah efisiensi dan efektifitas kelas-kelas diklat.
Ia mengatakan bahwa sebutan wilayah kerja hakim yang basah dan kering atau
sebutan Jawa dan Luar Jawa, yang menjadi rumor dikalangan hakim pada prinsipnya
memang ada. Justru inilah yang menyebabkan hakim enggan dipindahkan dari tempat
kerja semula ke tempat kerja yang lainnya. Sebagai contoh ada seorang hakim di Jawa
dipindahkan ke Irian Jaya dengan janji bahwa tugas di Irian Jaya direncanakan hanya 1
(satu) tahun saja, melainkan kenyataannya sampai 12 tahun, dan bahkan ia sampai
mati di Irian Jaya. Dahulu seakan-akan ada perebutan kewenangan antara Mahkamah
Agung dan Departemen Kehakiman. Dengan demikian promosi dan atau mutasi
untuk karir hakim tidak jelas sistem dan kriterianya. Dalam kaitannya dengan isu suap
bagi kalangan peradilan khususnya hakim, ia menyatakan bahwa sesungguhnya sejak
dahulu memang ada. Di Amerika ada suap, di Belanda ada suap, tetapi tidak separah
era pasca tahun 1970 atau separah era yang sekarang ini. Ia mengatakan, idealnya
sistem rekrutmen hakim dilaksanakan dengan menggunakan sistem satu atap, namun
demikian untuk merubah sistem dua atap menjadi sistem satu atap perlu didukung
dengan penelitian yang seksama, sehingga tidak terkesan gegabah.
Dalam kaitannya dengan sistem rekrutmen hakim yang baik, ia berpendapat
bahwa sebelum seseorang diangkat menjadi calon hakim (Cakim), perlu dididik
terlebih dahulu dan harus diberikan kemungkinan semacam percobaan. Salah satu
faktor yang menentukan seseorang lulus atau tidak lulus dalam masa percobaan untuk
diangkat menjadi Cakim adalah psikotes, karena dari hasil psikotes ini dapat diketahui
motivasi seseorang dalam menjalani profesi sebagai hakim. Terus terang diakuinya,
bahwa ia sendiri menjadi hakim tidak didasarkan atas motivasi, tetapi juga tidak ada
jaminan bahwa mereka yang mempunyai motivasi penuh untuk menjadi hakim,
setelah diangkat menjadi hakim kemudian tidak akan alih profesi ke profesi yang lain.
Dalam kenyataannya seseorang yang memiliki motivasi penuh untuk menjadi hakim,
setelah diangkat menjadi hakim ada kemungkinan juga dikemudian hari melakukan
alih profesi, namun setidak-tidaknya dengan adanya motivasi itu akan menjadikan
lebih sreg (mantap), artinya masalah atau isu suap dan sebagainya dalam praktek
peradilan, menjadi tidak begitu krusial.
Dalam pengalamannya menjalani profesi hakim dirasakan menyenangkan
(enjoy). Tetapi setelah tahun 1970 ia melihat praktek-praktek tidak terpuji, misalnya
seorang Ketua PN enggan untuk dipindahkan dari Jawa ke luar Jawa. Untuk itu yang
bersangkutan berusaha menghadap (sowan ) ke MA, sehingga akhirnya tidak jadi
dipindahkan. Praktek KKN semacam itu diduga masih berlangsung sampai saat ini,
sehingga menyebabkan dunia peradilan tidak kondusif. Bertolak dari kenyataan itu, ia
berpendapat bahwa sistem rekrutmen dan karir hakim perlu untuk dibenahi.
Dalam pengalaman pribadinya selama menjalani profesi hakim, ia pernah
ditawari untuk dipindahkan ke Makasar. Waktu itu yang menjadi Ketua Mahkamah
Agung Oemar Seno Aji. Atas tawaran itu ia memikirkan (merenungkan) dan
mengingat anak-anaknya masih kecil dan masih memerlukan pendampingan seorang
ayah, di samping itu ia meragukan atas tawaran mutasi dan promosi jabatan serta
kepangkatan tersebut, kalau pejabat yang menawari tersebut masih menjabat tidak
begitu krusial, tetapi apabila suatu ketika pejabat yang menawari tersebut diganti
pejabat, mungkin saja komitmen dan kebijakannya berubah yang tidak sesuai dengan
aspirasinya, jelas hal demikian akan menimbulkan masalah pribadinya. Oleh karena
itu ia berkeberatan atas tawaran mutasi dan promosi jabatan serta kepangkatan
tersebut. Dalam penuturan pengalamannya, setelah ia berkeberatan untuk mutasi dan
promosi jabatan serta kepangkatan ke Makasar, ia ditawari lagi untuk mutasi dan
promosi jabatan serta kepangkatan ke Semarang, namun ia tetap berkeberatan dan
meragukan sistem dan kriteria rekrutmen dan karir hakim yang ada saat itu.
Atas dasar pertimbangan, alasan dan keraguan mengenai ketidak jelasan sistem
dan kriteria mutasi jabatan serta kepangkatan hakim tersebut, maka sekali lagi ia tetap
berkeberatan dan memutuskan untuk berhenti menjalani profesi sebagai hakim. Pada
tahun 1972 resmi mengajukan berhenti sebagai hakim dan alih profesi menjadi
pendidik pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, sampai sekarang.
a. mengkaji sistem rekrutmen dan karir hakim yang berlaku selama ini;
b. mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kolusi, korupsi
dan nepotisme dalam rekruitmen dan karir hakim;
c. mengkaji layak dan tidaknya sistem penggajian profesi hakim yang
berlaku sekarang ini;
d. mengkaji upaya peningkatan ketertarikan Sarjana Hukum yang baik
guna meniti karir sebagai hakim.
D. Sasaran
Sasaran utama dari penelitian ini adalah untuk memberi masukan
berbagai aspek dalam perumusan suatu sistem rekrutmen dan karir hakim
yang tepat, yang selanjutnya dirinci sebagai berikut:
a. sistem rekrutmen dan karir hakim yang berlaku hingga saat ini;
b. faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kolusi, korupsi dan
nepotisme dalam rekrutmen dan karir hakim;
c. layak dan tidaknya sistem penggajian profesi hakim yang berlaku
sekarang ini; dan
d. upaya -upaya untuk meningkatkan ketertarikan Sarjana Hukum yang
baik guna meniti karir sebagai hakim.
E. Metode Penelitian
1. Desain
Metode pengkajian yang digunakan adalah kombinasi antara metode kajian
normatif dan metode kajian empiris. Pada metode kajian normatif, bahan-bahan
hukum yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan 4 (empat) model pendekatan
yakni: pendekatan peraturan perundang -undangan (statutory approach), pendekatan
historis (historical approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan
komparasi (comparative approach), sesuai dengan kebutuhannya. Pada metode kajian
empiris, data dicari dari keterangan para responden, yang dilaksanakan dengan cara
sebagai berikut:
Responden komunitas Sarjana Hukum non aparat penegak hukum dan pencari
keadilan, yang terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang hukum,
pencari keadilan (justiciable), Sarjana Hukum (pencari kerja), dan Dosen Fakultas
Hukum ditentukan sebanyak 100 (seratus) orang tersebar di keempat lokasi penelitian.
Khusus untuk lokasi penelitian di DKI Jakarta, selain data yang diperoleh dari
responden tersebut juga dicari data dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Mahkamah Agung; Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; Departemen
Agama; dan Departemen Pertahanan.
Secara keseluruhan, dalam penelitian ini diambil responden sejumlah 250 orang
dari berbagai bidang seperti yang telah disebutkan di atas.
4. Pengumpulan Data
Data yang dicari dalam penelitian ini adalah informasi mengenai sistem
rekrutmen dan karir hakim yang berlaku, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
KKN, sistem penggajian bagi hakim yang berlaku saat ini terutama yang berkaitan
dengan kelayakan gaji dan ketertarikan Sarjana Hukum yang baik terhadap profesi
hakim dan upaya-upaya untuk meningkatkan ketertarikan tersebut.
1) Wawancara Mendalam. Wawancara mendalam dilaksanakan terhadap 9
(sembilan) nara sumb er.
2) Survei Terbatas. Survei terbatas dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap
pra-survei dan tahap pelaksanaan. Tahap pra-survei dilaksanakan untuk
5. Analisis Data
Keseluruhan data yang diperoleh dengan metode kajian normatif maupun
empiris dianalisis secara kualitatif, dan sejauh menyangkut institusi dianalisis dengan
metode SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats).
Analisis SWOT dilakukan dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi dalam penyusunan dan pelaksanaan suatu
kegiatan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman.
BERBAGAI PELUANG
BERBAGAI ANCAMAN
----------------------------
Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 (Tap MPR No. IV/MPR/
1999) antara lain menentukan bahwa sasaran pembangunan bidang hukum adalah
terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi
manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran. Salah satu upaya untuk memantapkan
sistem hukum nasional adalah adanya penyelenggaraan peradilan yang bersih, jujur
dan bertanggung jawab.
Dalam Tap MPR No. VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-
lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memberikan
pernilaian bahwa Laporan Tahunan MA (MA) masih bersifat normatif dan secara
umum kurang mengungkapkan daya dan upaya penegakan supremasi hukum, di
samping itu kinerja MA masih lamban sehingga terjadi penumpukan perkara. Oleh
sebab itu direkomendasikan agar MA melakukan pembenahan dalam rangka
peningkatan kinerjanya dalam penegakan hukum; segera melaksanakan UU No. 35
Tahun 1999; dan memantapkan kemandiriannya dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya serta menjadikan MA bebas dari KKN. Rekomendasi dari MPR ini sangat
beralasan, oleh sebab itu harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh MA adalah sebagai
puncak dari semua lingkungan peradilan di Negara Republik Indonesia.
Mengingat beratnya tanggung jawab hakim, maka hakim haruslah terseleksi dari
sarjana hukum yang berkualitas, berbudi pekerti luhur, mempunyai dedikasi tinggi.
Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim harus dapat berdiri tegak dan mandiri
dalam memberikan keadilan. Keadilan yang diberikan adalah Demi Keadilan
Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, yang hanya dapat dilakukan oleh mereka
yang terpilih dan terpanggil, yakni mereka yang benar-benar mempunyai panggilan
jiwa dan hati nurani sebagai hakim. Tugas hakim tidak dapat dilakukan oleh orang -
orang yang panggilan jiwanya semata-mata hanya sebagai penguasa apalagi sebagai
pengusaha, sehingga dapat mempengaruhi kemandirian dan kebebasan para hakim
serta tidak sempurnanya penegakan hukum dan keadilan.1
1 Ismail Saleh, Varia Peradilan Tahun III No. 32 Mei 1988, IKAHI, Jakarta.
A.2 – Meningkatkan Kemampuan Sistem Peradilan – Final Report
2 Soehardi Sigit, 1983, Seri Manajemen – Teori Kepemimpinan Dalam Manajemen, Armurrita,
Yogyakarta, hal. 48-49.
3 Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara No. 540/XIII/10/6/2001.
menyadari kepercayaan tersebut, hal itu antara lain terbukti telah disiapkan Draft
Rencana Strategis (Strategic Action Plan = SAP) Tahun 2001 – 2005.
Dengan berlakunya UU No. 35 Tahun 1999, berarti sudah ada perangkat hukum
yang akan mengantar terbentuknya peradilan satu atap di bawah MA. Mengingat
kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap peradilan di Indonesia telah terkikis,
bahkan agak krisis sebagai akibat kelambatan penyelesaian perkara dan merebaknya
KKN di bidang peradilan, maka salah satu faktor yang sangat penting untuk
terciptanya peradilan yang baik adalah membina SDM-nya, khususnya SDM hakim,
sebab melalui putusan hakimlah masyarakat atau khususnya justisiabel akan menilai
kekuasaan kehakiman. Hakim haruslah dibina agar mempunyai keahlian, kecakapan
dan ketrampilan yang memadai, serta moral yang baik, untuk perekrutan SDM hakim
baru haruslah benar-benar direncanakan dan disaring secara ketat.
Perlu disusun pola manajemen rekrutmen dan pembinaan karir (mutasi dan
promosi) hakim. Secara sederhana manajemen dapat diartikan suatu pencapaian
tujuan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tertentu.5 Kalau draft RENSTRA MA telah
disetujui atau disahkan, maka harus ditindaklanjuti dengan disusun RENOP dan
RENTA, misalnya RENSTRA untuk jangka waktu 10 tahun, RENOP untuk jangka
waktu 5 tahun dan RENTA untuk jangka waktu 1 tahun.
Rekrutmen, mutasi dan promosi hakim sebagai bentuk perencanaan personalia
harus benar-benar direncanakan dengan mempertimbangkan kegiatan-kegiatan
organisasi secara keseluruhan, yaaitu harus diawali dari 1. perencanaan SDM hakim,
yang mempertimbangkan kualitas dan kuantitasnya; 2. penarikan hakim yang
dibutuhkan, apakah akan diambil dari karyawan pengadilan yang potensial atau
Sarjana Hukum/Syariah baru atau praktisi yang telah berpengalaman; 3. Seleksi; 4.
pengenalan dan orientasi agar mereka yang diterima sebagai Cakim mengenal ruang
lingkup bidang kerjanya; 5. latihan dan pengembangan untuk meningkatkan kualitas
dan profesionalisme hakim; 6. penilaian yang meliputi upaya untuk mutasi dan
promosi karir hakim.
5 T. Hani Handoko, 1990, Manajemen Edisi II, BPFE, Yogyakarta, dalam hal. 23 – 25 antara
lain menguraikan bahwa ada lima fungsi yang paling penting, yaitu: planning (perencanaan),
organizing (pengorganisasian), staffing (penyusunan personalia), leading (pengarahan), dan
controlling (pengawasan) kegiatan-kegiatan organisasi.
Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan 10/10/03 Page 15
A.2 – Meningkatkan Kemampuan Sistem Peradilan – Final Report
B. Rekrutmen Hakim
sedangkan khusus Ketua PA sebagai PNS yang diangkat negara, dedikasi hakim
cukup tinggi; lapis kedua dari periode tahun 1974 – 1975 hakim-hakim PA direkrut
dari mereka yang telah bekerja di lingkungan DEPAG, mereka langsung diangkat
menjadi hakim PA relatif dedikasinya juga tinggi; lapis ketiga mulai tahun 1976 hakim-
hakim PA direkrut dengan cara seleksi dan ada yang diikuti dengan sistem Cakim
selama 1 tahun. Perekrutan hakim di lingkungan peradilan agama tidak banyak
mendapatkan sorotan dari masyarakat, sebab relatif perkara yang ditangani hakim
lebih sedikit dan tidak berkaitan dengan uang atau harta benda dan sebelum + tahun
1987 gaji hakim PA sama dengan PNS biasa dan tidak mendap atkan tunjangan hakim.
Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa beberapa responden Hakim Tinggi
dilingkungan peradilan umum dan Hakim Agung karir yang berasal dari lingkungan
peradilan umum, mereka pada umumnya mengatakan bahwa saat penerimaannya
dulu sangat mudah, tidak ada test masuk, belum melalui sistem Cakim dan tidak
mengikuti pendidikan khusus sebagai hakim (8.00%), sedangkan selebihnya (92.00%)
menyatakan mengikuti pendidikan khusus, magang sebagai Cakim, telah menjadi
karyawan pengadilan/karyawan DEPAG atau sebagai anggota militer yang diangkat
sebagai Hakim Militer. Di antara responden dalam menyebutkan lama waktu
mengikuti pendidikan khusus, magang sebagai Cakim dan lamanya menjadi karyawan
pengadilan/karyawan DEPAG tidak ada keseragaman atau bervareasi.
Dari responden hakim yang menjadi hakim melalui tes diperoleh informasi,
bahwa untuk menjadi hakim harus melalui tahapan-tahapan penyaringan. Untuk
waktu sekarang,8 ada tiga tahap penyaringan, yaitu: Penyaringan Tahap I, meliputi:
pendaftaran pelamar dan seleksi administrasi, dilanjutkan dengan ujian tulis
pengetahuan umum, apabila lulus, maka akan ditetapkan sebagai calon pegawai
negeri, dilanjutkan dengan pendidikan dan pelatihan/orientasi/magang di
pengadilan selama kurang lebih satu tahun;. Dalam tahap ini ada ujian di akhir
periode, apabila si calon lulus maka akan diangkat sebagai pegawai negeri;
8 Ditjen Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Dep. Keh. RI, 1995,
Pola Pembinaan Peradilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan tata Usaha Negara. Hal. 37 –
39. Dalam kata pengantar Buku Pola ini dimaksudkan sebagai pengganti Buku-buku Pola
tentang Penyempurnaan Pembinaan Peradilan yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Men.
Keh. RI tanggal 28 – 2 – 1976 No. JS.4/2/13, tanggal 4 – 8 – 1977 No. JS. 1/7/5, tanggal 18 – 2 –
1978 No. JS. 1/3/16 dan tanggal 23 – 3 – 1976 No. JB. 1/1/5.
Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan 10/10/03 Page 17
A.2 – Meningkatkan Kemampuan Sistem Peradilan – Final Report
Penyaringan Tahap II, yaitu ujian tulis Ilmu Hukum; Penyaringan Tahap III, yaitu
ujian lisan kepribadian/psikotes. Selanjutnya bagi mereka yang lulus penyaringan
Tahap II dan Tahap III dinyatakan sebagai Cakim dengan Surat Keputusan dan mereka
akan mengikuti Diklat Cakim di Pusdiklat Departemen (Dep. Kehakiman dan HAM)
di Jakarta. Bagi yang tidak lulus penyaringan Tahap II dan Tahap III disalurkan
menjadi Panitera Pengganti setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Status Calon PNS dijalankan dalam waktu 1 sampai dengan 2 tahun. Status
sebagai Cakim dijalankan dalam waktu 1 sampai dengan 3 tahun. Ketentuan tersebut
ternyata sedikit berbeda dengan temuan hasil penelitian, dari 50 responden hakim ada
17 responden hakim (34.00%) yang pernah magang sebagai Cakim dengan pengalaman
magang tidak sama, yaitu: 1 responden (2.00%) magang sela Cakim ma 3 bulan; 4
responden (8.00%) magang selama 2 tahun; 6 responden (12.00%) magang selama 3
tahun; dan 6 responden (12.00%) magang selama 4 tahun. Bagi Cakim, praktik di
pengadilan selama 2 tahun (dengan tugas mempelajari administrasi umum dan
administrasi peradilan, mengikuti sidang-sidang sebagai Panitera Pengganti dan
evaluasi serta laporan), setelah itu mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagai Cakim
di Pusdiklat selama 1 tahun. Setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan tersebut, dan
memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan diusulkan pengangkatannya menjadi
hakim. Menurut ketentuan Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1970 Hakim diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala Negara. Yang mengajukan usul pengangkatan hakim adalah
Departemen yang bersangkutan berdasarkan persetujuan MA, sedang untuk menjadi
Hakim Agung yang mengusulkan adalah DPR setelah mendengar pendapat MA dan
Pemerintah. Ketentuan pasal ini berlaku untuk semua hakim, dan sekaligus menjadi
dasar pengaturan bagi undang-undang yang lahir kemudian berdasarkan UU No. 14
Tahun 1970 tersebut.
Berdasarkan pengalaman responden hakim yang mengikuti tes, diperoleh data
ada 54.00% responden hakim yang menganggap bahwa materi tes belum cukup dan
masih harus ditambah beberapa materi yang lain. Responden yang menjadi hakim
dengan dites semuanya menjawab bahwa mereka juga ikut psikotes. Berdasarkan
pengalaman dari responden yang mengikuti psikotes diperoleh data bahwa pihak
yang melakukan psikotes yang banyak disebutkan adalah team dari PTN (44.44%) dan
psikolog dari UI (38.89%), dan materi yang banyak disebutkan adalah :
Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan 10/10/03 Page 18
A.2 – Meningkatkan Kemampuan Sistem Peradilan – Final Report
9 Salah satu syarat dari beberapa syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim adalah
bahwa calon harus berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. Syarat tersebut
sebenarnya dapat menjadi sifat seorang hakim yang dilambangkan sebagai: 1. Kartika
(=bintang, yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa) berarti mensyaratkan bahwa
seorang hakim harus beragama dan beribadah menurut agamanya masing-masing; 2. Cakra
(=senjata ampuh Dewa Keadilan yang mampu memusnahkan segala kebatilan, kezaliman dan
ketidakadilan) yang berarti adil; 3. Candra (=bulan yang menerangi segala tempat yang gelap,
sinar penerangan dalam kegelapan) berarti bijaksana dan berwibawa; 4. Sari (=bunga yang
semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat) berarti berbudi luhur atau berkelakuan
tidak tercela; dan 5. Tirta (=air yang membersihkan segala kotoran di dunia) berarti
mensyaratkan bahwa seorang hakim harus jujur.
10 M. Taufik, WAKA MARI, hasil wawancara tanggal 8 April 2002.
11 Dalam tanggapan selaku pembanding atas Kajian Hasil Penelitian Rekrutmen dan Karir
12 P. Efendi Lotulung, op. cit, hasil wawancara tanggal 3 Juli 2002 di Jakarta, menyebut
3. Orang yang melamar seharusnya sudah tahu apakah tugas dan kewajiban
hakim, bahwa tugas mengadili menyangkut intelektualitas dan intuisi, oleh
karena itu psikotes perlu sekali. Dalam rekrutmen faktor mental atau moral
adalah lebih diutamakan, dan hakim harus taat beribadah.
4. Untuk jumlah tertentu (misalnya 25% dari kebutuhan hakim) perlu
perekrutan hakim mulai dilakukan sejak yang bersangkutan masih di
Perguruan Tinggi. Khusus untuk perekrutan dari sarjana baru, haruslah
ditentukan lebih dahulu sistem penataran atau training, oleh sebab itu perlu
dipersiapkan buku training yang baik, yang inovatif.14
5. Untuk penempatan hakim magang perlu ditentukan di pengadilan yang
relatif dekat dengan tempat asal calon peserta sehingga dapat meringankan
beban ekonomisnya dan tidak ditentukan secara acak.
6. Perekrutan hakim non karir untuk Hakim Tingkat I dan Hakim Tinggi dirasa
masih kurang tepat, yang perlu direkomendasikan adalah untuk Hakim
Agung.
Dari penelitian diperoleh data dari pendapat 50 responden hakim, bahwa sistem
mutasi Hakim tingkat pertama dan Hakim Tinggi yang sekarang berlaku, lebih banyak
yang mengatakan tidak tepat (Hakim tingkat pertama ada 60.00% dan Hakim Tinggi
52.00%) dibandingkan dengan yang mengatakan tepat (Hakim tingkat pertama ada
40.00% dan Hakim Tinggi 48.00%). Pendapat dari 69 responden (Penegak Hukum non
Hakim dan Umum) yang mengatakan bahwa mereka tidak sependapat dengan mutasi
selama 5 tahun, maka harus dirubah, di antara alasan yang banyak disebutkan adalah:
bahwa mutasi paling lama tiap 3 tahun sekali (30.43%); mutasi 5 tahun memberi
kesempatan hakim untuk KKN (20.29%); waktu 5 tahun terlalu lama dan membuat
jenuh (15.94%).
14 Berkaitan dengan materi tes, hasil penelitian mengusulkan agar ditambah pemahaman
tentang kesadaran hukum, nilai keadilan dan kebenaran, serta penemuan hukum, dari 230
responden (tidak termasuk responden yustisiabel) ada yang mengatakan sangat setuju (68.70%)
dan ada yang mengatakan setuju (27.39%). Lihat selanjutnya Tabel XLVIII pertanyaan angka 8.
Dalam mutasi apakah perlu mendengar pendapat dari pihak luar atau tidak,
secara khusus ditanyakan kepada 180 responden (Penegak Hukum non Hakim dan
Umum) dan diperoleh data: yang mengatakan tidak perlu (50.56%) lebih banyak
dibandingkan yang mengatakan perlu (37.22%).
Untuk sistem promosi menjadi Hakim Tinggi dan untuk menjadi Hakim Agung
Karir secara khusus ditanyakan kepada 50 responden hakim, diperoleh hasil, bahwa
sistem yang berlaku sekarang lebih banyak keuntungannya (untuk Hakim Tinggi ada
66.00% dan untuk Hakim Agung ada 56.00%) dibandingkan yang mengatakan tidak
ada keuntungannya (untuk Hakim Tinggi ada 34.00% dan untuk Hakim Agung ada
44.00%). Namun pendapat dari responden hakim tidak sesuai atau tidak signifikan
deng an pendapat dari keseluruhan 230 responden non yustiabel (sebagian responden
Hakim, Penegak hukum non Hakim dan Umum) yang menghendaki agar sistem
promosi yang sekarang berlaku perlu dirubah.
Penerapan sanksi sebagai mekanisme pengawasan yang berupa sanksi positif
(penghargaan) dan sanksi negatif (hukuman) atau dikenal dengan sebutan punishment
and reward, itu penting sekali bagi perjalanan karir hakim. Bagi hakim yang jelas
melanggar sumpah atau melakukan tindakan tercela harus dikenai sanksi (negatif)
mulai dari tegoran sampai pada pemecatan, sebaliknya bagi hakim yang berprestasi
haruslah diberi penghargaan, kalau perlu dipromosikan sebagai Hakim Agung. P.
Efendi Lotulung berpendapat bahwa ukuran hakim yang berprestasi itu bukan semata-
mata karena dapat menjatuhkan hukuman yang berat, putusan yang tidak pernah
dibatalkan dan lain sebagainya. Itu semua adalah ukuran yang sifatnya relatif, yang
belum tentu dapat diterima oleh dunia akademisi. Hakim yang berprestasi adalah
hakim yang dapat memberikan temuan -temuan yang berupa teori-teori. Temuan yang
berupa doktrin atau teori baru, kalau itu sering diikuti oleh hakim lain, maka lama-
lama akan menjadi yurisprudensi, dan suatu ketika kalau itu diikuti oleh pembentuk
undang akan menjadi undang -undang yang mempunyai daya mengikat umum.15
Dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa orang responden dan nara
sumber diperoleh informasi/pendapat bahwa dalam promosi harus berdasarkan
kualitas dan prestasi hakim, dan tidak semata-mata berdasarkan senioritas/pangkat,
15 P. Efendi Lotulung, op. cit., hasil wawancara tanggal 3 Juli 2002 di Jakarta.
Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan 10/10/03 Page 23
A.2 – Meningkatkan Kemampuan Sistem Peradilan – Final Report
dasarnya harus adanya pengusulan dari bawah, kalau hakim PN dari KPN, kalau
hakim tinggi dari KPT. Khusus promosi hakim karir untuk menjadi Hakim Agung,
batasan umur dalam Pasal 7 UU No. 14 Tahun 1985 haruslah dirubah, sebab kalau
mendasarkan pasal tersebut, mungkin calon dari hakim karir hanya sekitar 2 s/d 3
orang calon. Untuk fit and proper test menjadi Hakim Agung haruslah dibuat kriteria
yang jelas, baik yang menyangkut materinya, maupun pihak yang melakukannya, dan
hal itu haruslah dibersihkan dari unsur-unsur politis.
Atas dasar pendapat dari para responden dan juga nara sumber seperti telah
diuraikan di atas, maka cukup alasan yang kuat untuk menyimpulkan bahwa sistem
promosi yang berlaku sekarang harus dirubah.
Dalam mutasi dan promosi, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk promosi perlu mendasarkan usulan atau penilaian dari bawah, c.q.
KPN dan KPT sesuai dengan hakim yang akan dipromosikan. Sedangkan
untuk promosi Hakim Agung karir sebaiknya melalui fit and proper test.
Ketentuan dan tata cara fit and proper test hendaknya diperlakukan sama
dengan perekrutan Hakim Agung non karir.
2. Sesuai dengan sistem hukum yang berlaku, dalam hal mutasi dan promosi,
MA haruslah didengar.
3. Mekanisme mutasi dan promosi yang ada sekarang tidak berjalan dengan
baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena ada yang ditentukan dari
pusat, dan suara pengadilan di tempat hakim yang bersangkutan bertugas
tidak atau kurang didengar. Oleh sebab itu, sistem mutasi dan promosi yang
berlaku sekarang harus dirubah.
4. Dalam mutasi haruslah memperhatikan dan mempertimbangkan lama waktu
hakim bertugas di suatu tempat dan jangan sampai ada hakim yang terlalu
lama di satu pengadilan.
5. Untuk mempromosikan seorang hakim haruslah mempertimbangkan track
record hakim, harus mendengar pendapat pimpinan pengadilan di mana
hakim yang bersangkutan ditempatkan.
6. Dalam mutasi dan promosi perlu juga mempertimbangkan pendidikan
tambahan yang dimiliki oleh hakim yang bersangkutan, perlu disediakan
dana dan dorongan dari pihak departemen.
Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan 10/10/03 Page 24
A.2 – Meningkatkan Kemampuan Sistem Peradilan – Final Report
dari jalur karir maupun dari jalur non karir oleh Presiden harus berdasarkan usul dari
DPR setelah mendengar MA.16
Diangkatnya Hakim Agung non karir di samping untuk lebih meningkatkan
kualitas putusan juga tentunya untuk mengurangi bertumpuknya perkara di MA,
namun ternyata jumlah perkaranya tidak banyak berkurang
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa dalam penanganan perkara di
tingkat kasasi semua Hakim Agung dapat ikut menjadi anggota Majelis dan dianggap
mampu untuk mengadilinya, dengan perkataan lain tidak ada sistem kamar. Dengan
demikian pernilaian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia bahwa
terjadinya penumpukan perkara disebabkan karena kinerja MA yang lamban,
kecenderungan pengajuan proses hukum ke tingkat kasasi, kurang profesionalnya
penanganan di MA, masih terdapatnya indikasi KKN, dan pengaruh pihak -pihak lain
di luar MA, adalah cukup beralasan.
Agar kualitas putusan menjadi lebih baik di MA perlu diadakan sistem kamar.
Sistem kamar tidak harus permanen, artinya selama menjadi Hakim Agung tidak
hanya bertugas dalam satu kamar, jadi dapat dipindah untuk jangka waktu tertentu,
misalnya 3 tahun sekali. Sistem kamar yang tidak permanen juga dikemukakan oleh
Ketua MA, yang antara lain dikatakan bahwa sistem kamar itu bukan berarti untuk
selama menjadi Hakim Agung akan dikurung dalam satu kamar, tetapi akan
dilakukan perpindahan untuk sekian tahun dapat dirubah atau dipidah Hakim Agung
dari kamar yang satu ke kamar yang lain .17
1. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah sebagai suatu lembaga yang diingikan agar segera
dibentuk, untuk melengkapi lembaga-lembaga tinggi negara yang ada berdasarkan
UUD 1945. Dalam Perubahan UUD 1945 Ketiga yang disahkan tanggal 10 November
16 Kalau Rancangan Perubahan UUD 1945 disetujui khususnya yang berkaitan dengan
Pasal 24 UUD 1945, maka yang mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung adalah MPR
atas usul Komisi Judisial. Ketua dan Wakil Ketua MA dipilih sendiri oleh MA dari Hakim
Agung, lihat selajutnya uraian di muka.
17 Bagir Manan, op., cit., wawancara tanggal 31 Juli 2002 di Jakarta.
2001 dan selanjutnya diperkuat lagi dalam Perubahan UUD 1945 Keempat yang
disahkan tanggal 10 Agustus 2002. 18
Terlepas adanya kritik yang menggambarkan kelemahan -kelemahan yang ada,
yang pasti adanya Mahkamah Konstitusi adalah suatu langkah maju, dan
kewenangannya tidak akan overlapping dengan kewenangan yang dimiliki MA.
Mengingat tugas dan wewenang yang diberikan cukup berat, maka dalam
perekrutannya betul-betul harus selektif dan harus dilakukan melalui fit and proper test.
Untuk pelaksanaan fit and proper test harus dipersiapkan dengan baik dan ditentukan
siapa yang diberi wewenang untuk melakukan dan menilainya, agar betul-betul
dilakukan secara obyektif.
(DKH) yang independen dengan unsur wakil penegak hukum dan Perguruan Tinggi
Hukum. Banyaknya pendapat yang mengusulkan agar DKH lebih diefektifkan,
mengingat DKH yang ada sekarang belum mampu bekerja optimal dan keputusannya
kurang tegas atau belum diikuti tindakan konkrit oleh pengambil kebijakan.
Adanya prakarsa pembentukan Komisi Yudisial tetap dipertahankan, hal itu
terbukti dalam Perubahan UUD 1945 Keempat yang disahkan 10 Agustus 2002,
lembaga tersebut tetap dipertahankan. Komisi Yudisial sebagai lembaga yang
mandiri, di samping mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung, juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.19 Dari ketentuan tersebut
berarti yang diawasi Komisi Yudisial adalah semua hakim dari semua lingkungan
peradilan dari dari semua tingkatan peradilan, mestinya juga termasuk Hakim Agung
dan Hakim Konstitusi. Apabila masudnya tidak demikian, mestinya ada ketentuan
tegas yang sifatnya membatasi kewenangan dari Komisi Yudisial tersebut.
------------------------
permintaan baik dengan surat atau sekedar memo atau telpon dari pihak lain agar
dapat meluluskan seorang atau beberapa calon. Ketika ada permintaan semacam
itu yang bersangkutan memang tidak bisa menutup mata maupun hatinya, yaitu
jika memang persyaratan minimal dapat dipenuhi, maka permintaan tersebut bisa
dipenuhi. Seorang narasumber lainnya juga memberikan keterangan, bahwa
secara tidak sengaja dia mendengar rapat penerimaan calon hakim, salah seorang
peserta rapat menyatakan telah menerima beberapa permintaan, permintaan
tersebut diseleksi, dan sebagian harus dinyatakan diterima.
Dalam sistem penerimaan calon hakim yang bersifat tertutup memang
memungkinkan panitia untuk menerima peserta seleksi yang sebenarnya tidak
lulus. Menurut para responden, faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
kecurangan dalam sistem rekrutmen tersebut adalah:
a. kekuasaan yang sentralistik;
b. pengawasan yang lemah;
c. kurang atau tidak transparan atau tidak ada pengawasan masyarakat;
d. hubungan saudara dan hubungan pertemanan;
e. praktek jual beli kursi;
f. aturan mainnya tidak jelas atau birokrasi yang berbelit-belit;
g. pengaruh internal atau karena melibatkan Dep Kehakiman dan HAM;
h. tidak diumumkan secara luas;
i. tidak ada test kemampuan.
Seorang narasumber menyatakan bahwa upaya yang dapat digunakan
untuk menekan unsur KKN dalam rekrutmen adalah dengan pengawasan,
tranparansi, dan akuntabilitas publik.27 Upaya ini merupakan bagian yang sangat
penting untuk mengurangi terjadi kesalahan dan penyalahgunaan wewenang.
Pelaksanaan pengawasan yang paling ideal adalah dari dalam atau lembaga
seprofesi, karena hal yang demikian itu akan menambah kewibawaan dari profesi
tersebut. Kalau terdapat pelanggaran hukum maupun kode etik mestinya tidak
sungkan -sungkan untuk menerapkan, tetapi dalam kenyataannya pengawasan
dari dalam tidak efektif. Sistem waskat (pengawasan melekat), maupun
tentor, harus segera dibenahi kurikulum dan materi pembekalan bagi calon
hakim. Materi bahan ajar harus disesuaikan dengan kebutuhan, sistem militer
dihilangkan, dan menambah materi yang terkait dengan mental dan kejujuran,
yang kemudian dilakukan psikotes lagi. Demikian pula pada fase magang di
pengadilan, apabila di lingkungan pengadilan di tempat cakim magang banyak
praktek jual beli perkara, maka tidak mengherankan jika cakim tersebut dapat
atau ikut terlibat atau setidak -tidaknya terpengaruh dalam permainan mafia
peradilan tersebut.
-------------------------
Makna sistem dalam sistem penggajian dapat diambil analogi dengan makna
sistem dalam sistem hukum. Menurut Bruggink, sistem diartikan sebagai keseluruhan
aturan yang berlaku pada suatu masyarakat (komunitas) tertentu, dalam suatu
hubungan yang saling berkaitan, dan dalam lingkup yang terbatas.29 Sementara itu,
profesi hakim adalah pekerjaan menghakimi yang dilakukan sebagai kegiatan pokok
untuk menghasilkan nafkah hidup dan mengandalkan suatu keahlian khusus.30
Dengan demikian sistem penggajian profesi hakim, diartikan sebagai
keseluruhan aturan penggajian yang berlaku pada komunitas hakim dalam suatu
hubungan yang saling berkaitan, dalam lingkup pekerjaan menghakimi yang
dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan
mengandalkan suatu keahlian khusus.
Kriteria yang dijadikan dasar penggajian kepada hakim adalah pangkat dan masa
kerja golongan ruang.31 Hakim diangkat dalam pangkat tertentu berdasarkan
peraturan perundang -undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), 32
setelah memenuhi persyaratan pengangkatan hakim sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.33 PNS yang bersangkutan mengucapkan sumpah
untuk menduduki jabatan hakim.34 Hakim yang diangkat dalam suatu pangkat,
diberikan gaji pokok berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk pangkat
Deventer, hal. 96
30 Magnis-Suseno, et. al., 1991, Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswa, APTIK -Gramedia,
Jakarta, hal. 70
31 Gunarso, 2000, “Sistem Penggajian Pegawai”, Makalah pada Seminar Sehari yang
diselenggarakan oleh Forum Peduli Bangsa tanggal 3 Maret 2000, di Yogyakarta, hal. 1, PP No.
8 Tahun 2000 Tentang Peraturan Gaji Hakim Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara
dan Peradilan Agama, Pasal 1 jo. Pasal 4
32 PP No. 8 Tahun 2000, ibid., Pasal 3 ayat (1) dan (2)
33 PP No. 8 Tahun 2000, ibid., Pasal 3 ayat (3)
34 PP No. 8 Tahun 2000, op. cit., Pasal 5
A.2 – Meningkatkan Kemampuan Sistem Peradilan – Final Report
itu,35 dan pemberian gajinya diberikan mulai bulan berikutnya. Hakim yang diangkat
dalam suatu pangkat yang lebih tinggi dari pangkat lama, diberikan gaji pokok baru
berdasarkan pangkat baru yang segaris dengan gaji pokok dan masa kerja golongan
dalam golongan ruang menurut pangkat lama. 36 Demikian pula halnya hakim yang
diturunkan pangkatnya ke dalam suatu pangkat yang lebih rendah dari pangkat
semula, diberikan gaji pokok berdasarkan pangkat baru yang segaris dengan gaji
pokok dan masa kerja golongan dalam golongan ruang menurut pangkat lama.37
Hakim diberikan kenaikan gaji berkala dan tunjangan keluarga sesuai dengan
ketentuan yang berlaku bagi PNS. Di samping gaji pokok, kepada hakim diberikan
tunjangan jabatan hakim (tunjangan jabatan fungsional hakim) dan tunjangan jabatan
lainnya (tunjangan jabatan struktural pengadilan) misalnya kalau yang bersangkutan
menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan.
Perbaikan sistem penggajian hakim telah dilakukan oleh pemerintah, terakhir
dengan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2001 serta Keputusan Presiden No. 65
Tahun 2001. Upaya perbaikan gaji hakim di Indonesia sebenarnya telah dirintis
semenjak sekitar tahun 1987. Pada waktu itu gaji hakim sama dengan gaji PNS, hanya
tunjangannya saja yang berbeda. Semenjak tahun 1999 dengan adanya Undang-
Undang No. 43 Tahun 1999, gaji hakim berbeda secara signifikan denga gaji PNS,
karena hakim diangkat statusnya menjadi pejabat negara tertentu.38 Tunjangan hakim
berjenjang sesuai dengan tingkat pengadilannya. Tunjangan hakim pada pengadilan
tingkat banding lebih tinggi dari pada tunjangan hakim pada pengadilan tingkat
pertama, meskipun jabatan, pangkat, golongan/ruangnya sama. 39
Perbedaan besarnya tunjangan pimpinan pengadilan, dapat terjadi karena
adanya perbedaan kelas pengadilan dan tingkatan pengadilan.40 Perbedaan besarnya
35 Gunawan, 2000, “Hakim dan Gajinya”, Makalah pada Seminar Sehari yang
disele nggarakan Forum Cinta Bangsa, tanggal 10 April 2000, di Surabaya hal. 2
36 Rinno, 20000, “Kinerja Hakim”, Makalah pada Seminar Sehari yang diselenggarakan
3
40 Keppres No. 89 Tahun 2001, ibid.,
B. Sistem Penggajian
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung
serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan adalah pejabat
negara. 45 PNS yang diangkat menjadi pejabat negara, diberhentikan dari jabatan
organiknya selama menjadi pejabat negara tanpa kehilangan statusnya sebagai PNS, 46
sedangkan PNS yang diangkat menjadi “pejabat negara tertentu”, tidak perlu
diberhentikan dari jabatan organiknya.47 PNS yang diangkat menjadi pejabat negara,
setelah selesai menjalankan tugasnya dapat diangkat kembali dalam jabatan
Seminar Sehari yang diselenggarakan Forum Pemerhati Nasib Pegawai tanggal 12 Oktober
2000, di Klaten, hal. 1
44 D.D. Kiswantoro, 2000, “Sistem Penggajian Pegawai Dewasa Ini”, Makalah pada
Seminar Sehari yang diselengarakan Forum Cinta Republik tanggal 15 September 2000, di
Yogyakarta, hal. 2
45 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok -
organiknya. 48 Yang dimaksud dengan pejabat negara tertentu adalah Ketua, Wakil
Ketua, Ketua Muda, Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua
dan Hakim pada semua badan peradilan.49
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hakim mempunyai kedudukan ganda,
yakni di samping berkedudukan sebagai PNS, ia juga berkedudukan sebagai “pejabat
negara tertentu”. Sehubungan dengan itu relevan kiranya di samping membahas
sistem penggajian profesi hakim juga membahas sistem penggajian profesi PNS
sebagai pembanding.
48 Gunawan Nugroho, 2001, “Perbaikan Nasib Pegawai”, Makalah, pada Seminar Sehari
yang disele nggarakan Forum Advokasi Rakyat tanggal 18 Februari 2001, di Surakarta, hal. 2
49 Gunawan Nugroho, ibid., hal. 3
50 Keppres No. 64 Tahun 2001 tentang Penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil, PP
No. 6 Tahun 1997 tentang Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil dan Hakim (lama), PP No. 26 Tahun
2001 tentang Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil (baru), PP No. 27 Tahun 2001 tentang Gaji Pokok
Hakim (baru)
51 PP No. 6 Tahun 1997, ibid.,
Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 247
58 Ibid., hal. 254
Hakim dalam melaksanakan profesinya selain terikat pada enam nilai tersebut juga
terikat pada “ kode kehormatan hakim”, yakni bahwa hakim mempunyai lima sifat yang
disebut : kartika – cakra – candra – sari – tirta, baik di dalam maupun di luar
kedinasan. 59
hakim memang sudah lebih besar dibandingkan dengan penghasilan pegawai negeri
lainnya, tetapi dengan melihat beban kerja hakim, gaji hakim dewasa ini dirasakan
masih kurang.66
Mengenai memadai tidaknya gaji hakim dewasa ini, hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 50 responden, 26 responden (52%) menilai kalau
gaji/tunjangan hakim tidak memadai. Beberapa alasan dikemukakan bahwa gaji
hakim Indonesia terendah di ASEAN, fasilitas perumahan dan kesejahteraan masih
kurang (10%), hakim tidak boleh merangkap jabatan sehingga tidak ada waktu
mencari pekerjaan tambahan, untuk mutasi dan promosi masih memerlukan
pengeluaran ekstra dan fasilitas masih kurang memadai, perlu tunjangan kepada
hakim Mahkamah Militer demi pemerataan masing-masing 8%, gaji hakim pas-pasan
dan terendah dibanding negara lain (6%). Disamping itu gaji hakim dinilai belum
sesuai dengan beratnya tugas dan tanggungjawab hakim 6%, sarana hakim tidak
menunjang karena banyaknya aturan yang harus ditaati (4%) dan gaji tidak
mendukung jabatan (2%).
Pendapat lain dikemukakan oleh 23 responden (46%) yang menilai
gaji/tunjangan hakim cukup memadai. Alasan yang dikemukakan adalah gaji hakim
sudah cukup hanya fasilitas yang perlu ditingkatkan (28%), melihat keuangan negara
(6%), sudah memenuhi kebutuhan standar (4%). Untuk alasan lainnya yaitu sejak
kenaikan tunjangan fungsional (Agustus 2001) dapat memenuhi kebutuhan minimal,
mengingat kondisi keuangan negara pegawai negeri harus menahan diri, perlu
tunjangan khusus bagi hakim yang banyak menangani perkara atau yang dinas di
daerah terpencil, hakim pengadilan tingkat I dan II fasilitas perlu ditingkatkan masing-
masing 2%. Hanya ada satu responden (2%) yang berpendapat kalau gaji/ tunjangan
hakim sangat memadai karena fasilitas sudah cukup seperti misalnya peralatan kantor,
mobil dan rumah dinas.
Mengenai perlu dan tidaknya gaji/tunjangan hakim di masa datang
ditingkatkan, dari 230 responden, yang menjawab sangat setuju berjumlah 55
responden (23,91%) yang terdiri dari 18 responden (7,28%) Hakim (A), 24 responden
(10,43%) Penegak Hukum non Hakim (B), dan 13 responden (5,66%) umum (C). Ada 72
responden (31,30%) yang terdiri dari 23 responden (10,00%) A, 27 responden (11,73%)
B, dan 22 responden (9,57%) C yang menyatakan setuju ditingkatkan. Sedangkan yang
menyatakan tidak setuju ada 72 responden (31,30%) yang terdiri dari 8 responden
(3,48%) A, 34 responden (34,78%) B, dan 30 responden (13,04%) C, yang menyatakan
sangat tidak setuju yang terdiri dari 1 responden (0,43%) A, 15 responden (6,52%) B,
dan 15 responden (6,52%) C.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diketahui bahwa untuk
responden Hakim (A) 41 responden (17,82%) setuju untuk diadakan peningkatan
gaji/tunjangan sedangkan untuk responden Penegak Hukum non Hakim (B) antara
yang setuju dan tidak setuju mempunyai jumlah yang hampir sama, yaitu 51 = 49
(22,17% = 21,38%). Untuk responden umum (C) sebagian besar tidak setuju 45
responden (19,56%) untuk diadakan peningkatan. Untuk menjawab permasalahan
peningkatan gaji/tunjangan hakim ternyata masih menimbulkan pen dapat pro dan
kontra.
-------------------------
A. Gambaran Umum
Untuk menghadapi persoalan hukum di masa datang, sebenarnya
Pemerintah telah mengupayakan peningkatan profesionalisme terhadap aparat
penegak hukum, antara lain dengan mengadakan berbagai pelatihan oleh
lembaga-lembaga yang terkait. Namun, mengenai peningkatan sumber daya
manusia ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa Departemen Kehakiman dan
HAM ternyata kurang bersikap proaktif. Ijin bagi mereka yang ingin
melanjutkan kuliah S-2 dan S-3 memang telah dipermudah, dan telah ada
beberapa hakim dari lingkungan peradilan umum dan dari peradilan tata usaha
negara yang memanfaatkan kesempatan ini atas biaya sendiri,68 tetapi secara
dinas belum banyak 69. Menurut Taufik dan Soekartomo, kenyataan ini
disebabkan oleh dana yang ada di MA sangat terbatas sehingga lembaga ini
belum mampu untuk mengkuliahkan para hakimnya ke jenjang yang lebih
tinggi (S -2) apalagi S-3. Soekartomo dengan nada protes juga menjelaskan
bahwa untuk fasilitas operasional Pengadilan Tinggi saja sangat kecil apalagi
untuk membiayai sekolah, misalnya mobil operasional untuk PT Makasar hanya
ada satu meskipun sebenarnya di Kantor Wilayah Kehakiman ada tujuh buah
mobil. Kanwil juga memiliki gedung perkantoran dan rumah dinas yang lebih
baik dibandingkan gedung pengadilan dan rumah dinas bagi para hakim.
Mengenai rumah dinas ini, banyak para hakim yang lebih senang mengkontrak
rumah daripada memperbaiki dan menempati rumah dinas yang rusak. Di
samping itu, dibandingkan dengan instansi penegak hukum yang lain
(Kejaksaan, misalnya), Pengadilan mendapatkan jatah dana anggaran yang lebih
kecil. Misalnya: PN Serang Jawa barat hanya mendapat jatah anggaran 22
juta/tahun sementara Kejaksaan Negeri mendapatkan 65 juta/tahun.
Persoalan peningkatan kualitas sumberdaya manusia di peradilan umum
dan peradilan tata usaha negara di atas ternyata berbeda dengan alasan hakim-
hakim Pengadilan Agama (PA), yang termotivasi untuk belajar S-1 dan S-2 di
Fakultas Hukum karena sebagai lulusan Fakultas Syariah (Drs) sadar bahwa
untuk mengerti hukum dan peraturan perundangan mereka harus belajar di
Fakultas Hukum (SH).70 Dengan alasan ini Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) PA
mengadakan kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah
Yogyakarta (UMY) untuk mendidik para hakim PA tersebut. 71 Perbandingan lain
adalah Kejaksaan Agung yang mengadakan kerjasama dengan Perguruan Tinggi
untuk menyelenggarakan program S-2 bagi para jaksa. 72 Untuk itu, akan lebih
ideal jika kemudian Depkeh dan HAM mengikutinya.
Pada sisi yang lain, untuk mengisi formasi hakim ternyata tidak mudah,
terutama untuk mendapatkan hakim yang baik. Berdasarkan survey dari FH UI
disebutkan bahwa sebagian besar mahasiswa FH UI tidak berminat menjadi hakim. 73
Hal ini antara lain disebabkan oleh kenyataan bahwa beberapa tahun terakhir ini
hakim banyak mendapatkan sorotan masyarakat karena banyak putusannya yang
68 Misalnya pada Program S-2 Magister Hukum Bisnis FH UGM, beberapa mahasiswanya
adalah hakim dengan biaya sendiri.
69 Wawancara dengan M. Taufik, S.H., Mhum (Wakil Mahkamah Agung RI), dan
adalah Drs. Suryadi, S.H., Mhum dan Drs Syamsuhadi, S.H., Mhum (Hakim Agung).
72 Kerjasama untuk menyekolahkan para jaksa ini di antaranya dilakukan kerjasama
Profesi Hakim, Jaksa dan Pengacara”, Makalah yang disampaikan dalam temu Ilmiah Nasional
Mahasiswa hukum Indonesia, di Yogyakarta, 17 – 20 Maret 1997, hal. 3
B. Pengertian Minat
Seperti telah dikemukakan di atas, untuk mendapatkan hakim yang baik ternyata
tidak mudah. Tidak hanya bagaimana meningkatkan kemampuan mereka, tetapi juga
untuk mencari lulusan SH yang baik yang berminat menjadi hakim.
Minat74 adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu hal; dan dapat
juga diartikan sebagai gairah atau keinginan. Minat dapat ditumbuh kembangkan
meskipun sebelumnya belum ada minat. Sebagian hasil penelitian menunjukkan
bahwa banyak hakim yang awalnya tidak berminat menjadi hakim. Alasan mereka
bermacam-macam, ada yang hanya asal dapat pekerjaan karena mencari pekerjaan
sulit. Ada juga responden yang semula cita-citanya ingin menjadi politikus, guru, dan
sebagainya. Demikian pula ada responden yang semula keinginannya menjadi
Pegawai Pemerintah Daerah, akhirnya menjadi hakim yang handal.75 Hakim Agung
Drs. Syamsu Hadi, S.H., M.Hum mengatakan bahwa setelah lulus Fakultas Syariah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta awalnya ingin menjadi guru, namun setelah belajar
hukum di Pendidikan Hakim Indonesia Negeri (PHIN) ia mulai tertarik dan berminat
menjadi hakim.
Idealnya mereka yang sejak awal berminat atau bercita-cita menjadi hakim akan
menjadi hakim yang lebih baik dibandingkan yang tidak. Minat menjadi hakim b erarti
kecenderungan hati yang tinggi dari seseorang untuk menjadi hakim. Minat pada
bidang pekerjaan dapat diketahui lewat suatu proses pengamatan, dengan cara
melakukan psikotes, ataupun dengan cara-cara lainnya. Soekartomo menjelaskan
Moeliono, dkk, 1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.
74
Wawancara dengan Supraptini Sutarto, S.H (Hakim Agung); Zober Djayadi, S.H (Wakil
75
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan); Drs Syamsuhadi, S.H., Mhum (Ketua Muda MARI);
dan dengan Soekartono, S.H.
76 Wawancara dengan Soekartomo, S.H.; Drs. M. Taufik, S.H., MHUm; So ejatno, S.H
(Dirjen Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan HAM); dan Drs
Syamsuhadi, S.H., Mhum.
77 Wawancara dengan Prof. Dr. RM Sudikno Mertokusumo (Guru Besar FH UGM); Drs.
3. Sejumlah 7 orang (5,98 %) berpendapat minat adalah hak asasi dan bersifat
subjektif, dan gaji hakim kecil dan penempatannya di d aerah terpencil.
4. Sejumlah 6 orang (13 %) menyatakan rekrutmen hakim tidak jelas dan
persaingan ketat, cara penerimaan tidak obyektif.
5. Sejumlah 53 orang (45,3%) tidak memberikan alasan.
Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan formasi hakim adalah susunan atau
jumlah hakim yang dibutuhkan. Menurut Soejatno, sampai tahun 2005 kebutuhan
hakim berjumlah 5.235 orang, sedangkan berdasarkan data April 2002 terdapat sekitar
2.900 hakim Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara. 78 Hal ini berarti masih
dibutuhkan 2.335 orang, ditambah dengan kebutuhan untuk mengisi formasi yang
pensiun pada tahun 2004 sebanyak 500 orang.
Rekuitmen cakim sebaiknya dilakukan melalui cara kombinasi dengan cara
penelusuran minat atau pencarian bibit-bibit unggul dan dengan cara seleksi melalui
proses tes atau ujian penerimaan. Cara pertama dilakukan sebagai jaminan bahwa
pada suatu periode penerimaan cakim telah didapat sejumlah lulusan SH yang baik,
sedangkan cara yang kedua dilakukan untuk menjaring mereka (khususnya para
lulusan SH yang baik) yang semula tidak tertarik untuk mengikuti seleksi.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, cara penelusuran minat atau pencarian bibit-
bibit unggul dapat dilakukan melalui kerjasama antara lembaga-lembaga terkait
(misalnya Mahkamah Agung ataupun Departemen Kehakiman dan HAM) dengan
perguruan tinggi. Dalam kerjasama tersebut, perguruan tinggi bertugas mengamati
dan menjaring mahasiswa/winya yang berprestasi (misalnya IP 3.00 ke atas) dan
berminat menjadi hakim dari sejak semester awal (misalnya semester III).
Mahasiswa/wi yang terpilih kemudian diberi beasiswa sebagai ikatan dinas oleh
lembaga-lembaga yang mencari bibit -bibit unggul tersebut.
Selain kriteria IP yang tinggi, tentunya perlu juga untuk difikirkan mengenai
metode pemenuhan kriteria moral dan integritas yang tinggi. Hasil penelitian, baik
yang didapat dari wawancara, jawaban responden, ataupun dalam workshop-
------------------
79
Wawancara dengan Prof. Mr. M.A. Loth, Hoogleraar Inleiding tot de Rechtswetenschap en
Rechsteorie (guru besar yuirsprudensi dan teori hukum) Recht Faculteit, Rotterdam Universiteit,
Belanda, 4 Juni 2002. Prof.Loth juga adalah anggota komisi negara yang bertugas menyeleksi
calon hakim.
BAB VI
SISTEM REKRUTMEN DAN KARIR HAKIM: PERSPEKTIF KOMPARATIF
Upaya menegakkan hukum sebagai salah satu pilar demokrasi, paling tidak
dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, hukum itu sendiri. Kedua, profesionalisme
aparat penegak hukum. Ketiga, sarana dan prasarana yang cukup memadai. Keempat
atau yang terakhir dan yang tidak kalah pentingnya adalah persepsi masyarakat
terhadap hukum. 81 Keempat faktor ini satu dan lainnya saling mempengaruhi. Dalam
relevansinya dengan profesionalisme hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pembentuk hukum tidaklah mungkin dipisahkan dengan sistem rekrutmen dan karir
hakim yang secara komprehensip tidak terlepas dari sistem hukum yang berlaku di
suatu negara. Dalam bab ini kajian komparatif mengenai sistem rekrutmen dan karir
hakim dibahas dengan melihat perbandingan hukum di beberapa negara yaitu:
Amerika, Malaysia, Jerman, Belanda dan Jepang. Seperti yang telah disinggung di atas,
perbandingan hukum adalah teknik atau cara menggarap unsur hukum asing yang
aktual dalam suatu masalah hukum. Perbandingan hukum sebagai suatu metode
mengandung makna pendekatan mendalam agar lebih memahami suatu objek atau
masalah yang diteliti.
A. Amerika Serikat
Amerika Serikat adalah negara Anglo Saxon yang hampir murni menerapkan
ajaran separation of power dari Montesquieu yang memisahkan kekuasaan negara
menjadi tiga bagian, masing-nasing adalah executive power, legislative power dan
judicative power. 82 Dalam konstitusinya secara jelas dinyatakan judicial power adalah
kekuasaan yang berada di satu tangan yakni Mahkamah Agung yang tidak dapat
80 Rudolf D. Schlessinger C ( omparative Law, 1959) dalam Barda Nawawi Arief, 1994,
Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4.
81 Soerjono Soekanto, 1985, Efektifitas Hukum dan Peran Sanksi, Remaja Karya, hal.27.
82 Montesquieu, 1993, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, PT
dicampuri oleh kekuasaan negara yang lain.83 Kekuasaan kehakiman tersebut selain
mendapatkan legitimasi konstitusi, juga ditunjang oleh pola rekrutmen dan sistem
karir termasuk didalamnya adalah masa jabatan seorang hakim dan besarnya gaji yang
diperoleh. Sudah menjadi suatu trade mark di Amerika, bahwa profesi hakim adalah
profesi yang mulia dan terhormat. Proses rekrutmen hakim di Amerika begitu ketat
dengan melalui ujian terbuka yang mana masyarakat luas dapat mengakses jalannya
ujian tersebut. Bahkan untuk menjadi hakim pada Mahkamah Agung, para calon
hakim agung didengar dan diuji komitmennya terhadap hukum dan keadilan oleh
Komisi Hukum Senat sehingga masyarakat tahu benar perihal kualitas dan komitmen
hakim tersebut.84 Dampaknya mereka yang menjadi hakim sudah dibekali dengan
komitmen yang kental terhadap hukum dan keadilan di Amerika.
Selanjutnya perihal masa jabatan hakim di Amerika ada berbagai sistem yang
diterapkan dan hal ini tergantung dari masing-masing negara bagian. Ada yang
menerapkan masa jabatan dengan sistem kontrak untuk masa waktu tertentu atau
dapat juga untuk menangani kasus-kasus tertentu seperti hakim ad -hoc. Ada juga yang
menerapkan masa jabatan sampai pada usia pensiun. Namun ada juga yang
menerapkan masa jabatan tanpa mengenal usia pensiun. Usia pensiun itu berkisar
antara 55 – 70 tahun. Hakim Agung yang bertugas pada Mahkamah Agung federal
tidak mengenal usia pensiun dan bisa terus bekerja sepanjang ia mampu. Ia baru
berhenti dari jabatannya sebagai Hakim Agung, apabila mengundurkan diri atau
meninggal dunia. 85
Kedudukan hakim yang mandiri di Amerika juga dipengaruhi oleh sistem gaji
dan tunjangan yang pada umumnya lebih tinggi dari profesi aparat penegak hukum
lainnya. Hal ini dimaksud agar ada keseimbangan antara beban tanggung jawab yang
ada pada mereka dengan gaji dan tunjangan yang diperoleh sehingga mereka dapat
hidup secara layak dan berkecukupan. Tidak jarang merek a pun berasal dari kalangan
ekonomi yang sudah mapan sehingga mereka sulit untuk melakukan praktek -praktek
kolusi dan korupsi dalam menangani suatu perkara.
B. Malaysia86
1. Sistem Peradilan
Secara garis besar peradilan di Malaysia dibagi atas dua, yaitu pengadilan tingkat
federal dan pengadilan di negara-negara bagian (subordinate court ). Pengadilan tingkat
federal ini terbagi atas dua yaitu Pengadilan Banding yang disebut Mahkamah
Rayuan (appeal court ) dan Pengadilan Tinggi (high court). Sedangkan pengadilan rendah
juga dibagi atas dua yakni Pengadilan Magistrate’s (magistrate’s court) dan Pengadilan
Session (session court). Disamping itu di Malaysia juga terdapat Mahkamah
Persekutuan atau yang disebut dengan Federal Court (Pengadilan Federal). Putusan
Pengadilan Federal ini mengikat dan berlaku di seluruh wilayah negara federal.
Yurisdiksi Pengadilan Federal ini adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan
banding atas putusan Pengadilan Banding maupun putusan Pengadilan Tinggi. Selain itu
juga mempunyai kekuasaan judicial review dan berewenang menyelesaikan sengketa
antar Negara Bagian atau antara Negara Federal dengan Negara Bagian. 87
Pengadilan Banding (appeal court) hanya ada satu di Malaysia dan berkedudukan
di Kuala Lumpur dengan yurisdiksi memeriksa, mengadili dan memutus perkara
terhadap putusan Pengadilan Tinggi (high court). Sementara Pengadilan Tinggi di
Malaysia hanya ada dua yaitu Pengadilan Tinggi Malaya dan Pengadilan Tinggi Sabah
dan Serawak dengan yuridiksi memeriksa, mengadili dan memutus perkara terhadap
putusan Pengadilan Session. Kualifikasi perkara yang dapat diadili tergantung dari
besarnya nilai gugatan atau tingginya hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.
Pengadilan Magistrate’s sebagai pengadilan terendah hanya dapat menjatuhkan
hukuman penjara tidak lebih dari 10 tahun atau denda tidak melebihi 25.000.RM.
86 Tulisan mengenai sistem rekrutmen dan karir hakim di Malaysia adalah berdasarkan
hasil penelitian di Asia-Europe Institute University of Malaya, Menteri di Jabatan Perdana
Menteri Malaysia, University of Malaya dan Islam International Malaysia University dari
tanggal 28 Mei sampai dengan 2 Juni 2002. Selain itu tulisan ini juga didasarkan pada Konstitusi
Malaysia.
87 Sharifah Suhana Ahmad, 1999, Malaysian Legal System, Malayan Law Journal Sdn Bhd,
hal. 89.
88 Tun Mohamed Suffian, 1990, Pengenalan Sistem Undang-Undang Malaysia, Dewan Bahasa
Dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, hal. 83 – 85. Lihat juga Sharifah Suhana Ahmad,
1999, Malaysian Legal System , Malayan Law Journal Sdn Bhd, hal. 92 – 94.
tertentu kemudian mengikuti tes. Peserta yang dinyatakan lulus tes kemudian
mengikuti pelatihan selama enam bulan. Berdasarkan uraian tersebut di atas jelas
bahwa rekrurtmen hakim di Malaysia bersifat tertutup, namun itu semua
dikembalikan kepada Yang Dipertuan Agong.
Karir seorang hakim sangat tergantung dari atasannya, dalam hal ini adalah
presiden atau ketua masing-masing pengadilan. Pemindahan hakim baik secara
horizontal maupun vertikal dilakukan oleh Yang Dipertuan Agong atas rekomendasi
Ketua Pengadilan Federal, sesudah berkonsultasi dengan Ketua Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan. Demikian pula halnya pengangkatan seorang hakim banding
menjadi hakim Pengadilan Federal, diajukan oleh Ketua Pengadilan Banding setelah
berkonsultasi dengan Ketua pengadilan Federal. 89 Hakim di pengadilan tingkat federal
memegang jabatannya sampai berusia 65 tahun. Apabila seorang hakim ingin
mengundurkan diri, maka ia harus menulis surat kepada Yang Dipertuan Agong.
Seorang hakim dapat saja diberhentikan apabila Ketua Pengadilan Federal sesudah
berkonsultasi dengan Perdana Menteri mengajukan ke Yang Dipertuan Agong bahwa
hakim tersebut perlu diberhentikan dengan alasan melanggar ketentuan kode etik atau
ketidakmampuan jasmani maupun rokhani, atau sebab lain yang mengakibatkan
hakim tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.90
Mengenai kepangkatan hakim ditentukan oleh Yang Depertuan Agong atas dasar
nasehat Perdana Menteri sesudah berkonsultasi dengan Ketua Pengadilan Federal.
Demikian pula halnya dengan penetapan kode etik hakim ditentukan oleh Yang
Dipertuan Agong atas dasar rekomendasi Ketua Pengadilan Federal, Presiden
Pengadilan Banding atau Ketua Pengadilan Tinggi sesudah berkonsultasi dengan
Perdana Menteri. Perihal penggajian hakim untuk pengadilan tingkat federal
ditentukan oleh parlemen dengan suatu undang-undang yang juga mengatur term of
office (pedoman tugas) hakim pengadilan tingkat federal termasuk penggajian dan hak-
hak pensiun seorang hakim sehingga tidak boleh merugikan hakim yang
bersangkutan. Gaji hakim pengadilan tingkat federal relatif tinggi dengan kisaran
89 Tun Mohamed Suffian, 1990, Pengenalan Sistem Undang-Undang Malaysia, Dewan Bahasa
13.000. – 15.000.RM. Kisaran tersebut di bawah gaji Perdana Menteri atau setidaknya
sama dengan menteri dalam Kabinet Negara Federal. Sementara untuk gaji, pedoman
tugas termasuk hak -hak pensiun hakim di pengadilan rendah (Pengadilan Session dan
Pengadilan Magistrate’s) ditentukan oleh masing-masing negara bagian dan
diperlakukan seperti civil servant lainnya.
C. Jerman
Jerman adalah negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental dengan sistem
pemerintahan parlementer. Dalam konstitusi Jerman yang disebut the Basic Law ,
dijelaskan bahwa kebebasan dan kemandirian kehakiman hanya tunduk pada
hukum.91 Kendatipun kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh siapa pun
akan tetapi Jerman punya karakteristik tersendiri yang hampir sama dengan Indonesia,
karena di luar Mahkamah Konstitusi yang sama sekali terpisah dari eksekutif,
pengadilan-pengadilan lain termasuk pengadilan di negara bagian (Laender) berada di
bawah kekuasaan eksekutif (Departemen Kehakiman). Akan tetapi hal ini tidak
membuat para hakim dapat diintervensi oleh eksekutif, sebab di Jerman ada tradisi
hukum yang sangat kuat di samping kontrol pers dan masyarakat secara terus-
menerus.92
Pola rekrutmen hakim di Jerman dilakukan secara ketat dan terbuka yang berasal
dari para sarjana hukum yang terbaik dan memiliki integritas moral yang tinggi.
Selanjutnya sistem hakim karir di Jerman dikenal sangat melembaga, namun peluang
terhadap hakim non karir tetap terbuka. Bahkan ada hal yang unik di Jerman yang
mana adanya hakim awam (layman ) yang tidak memiliki latar belakang sebagai
seorang sarjana hukum. Hakim yang bukan berasal dari kalangan hukum ini
dimaksudkan agar bisa menangkap esensi keadilan dalam perspektif yang kaku dan
formalistik.93 Masa jabatan hakim di Jerman adalah sampai pada usia pensiunnya 68
tahun dan hal ini berlaku bagi semua hakim baik pada pengadilan tingkat pertama,
pengadilan banding maupun hakim pada mahkamah konstitusi. Masa jabatan hakim
yang cenderung lama sampai pada usia pensiun juga dibarengi dengan sistem gaji dan
tunjangan yang cukup memadai. Sama seperti di Amerika dan Malaysia, hal ini
dimaksudkan agar dalam menjalankan tugasnya di pengadilan, hakim betul-betul
mandiri dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan manapun termasuk godaan uang dan
harta kekayaan lainnya.
D. Belanda94
1. Sistem Peradilan
Secara garis besar peradilan di Belanda terdiri atas tiga tingkat yang secara
implisit tertuang dalam Artikel 2, Wet op de Rechtelijke Organisatie yang menyatakan
“De tot rechtelijke macht behorende gerechten zijn: a. de rechtbanken; b. de gerechtshoven; en de
Hoge Raad”. 95 Sistem tingkatan semacam ini baru diberlakukan pada tanggal 1 Januari
2002. Sebelumnya, berdasarkan Wet op de Rechtelijke Organisatie (Stb.1827, 20),
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh kantongerechten, rechtbanken, gerechtshoven dan
Hoge Raad. 96 Kantongerecht (sub-district court) khusus untuk mengadili perkara-perkara
ringan termasuk pemeriksaan pra peradilan dan selalu diadili oleh hakim tunggal
(junus judex). Namun saat ini kantongerecht yang jumlah keseluruhannya sebanyak 62,
merupakan salah satu kamar yang terdapat dalam rechtbank. Pemeriksaan perkara
pada rechtbank dapat dilakukan oleh hakim tunggal namun juga dapat dilakukan oleh
hakim majelis. Selanjutnya satu gerechtshove membawahi beberapa rechtbank yang
pemeriksaan perkaranya dilakukan oleh hakim majelis yang terdiri atas 3 orang. Setiap
perkara yang diputus oleh rechtbank dapat dimintakan banding ke gerechtshove bahkan
sampai pada tingkat kasasi ke Hoge Raad dengan pemeriksaan perkara oleh hakim
majelis yang terdiri atas 5 orang.
94 Tulisan mengenai sistem rekrutmen dan karir hakim di Belanda adalah berdasarkan
hasil penelitian di Rotterdam Universiteit, Rechtbank Rotterdam, Utrech Universiteit, Leiden
Universiteit dan Department Van Justitie serta Raad voor de Rechtspraak, Belanda dari tanggal
2 sampai dengan 11 Juni 2002.
95 Rechtbank dapat disamakan dengan PN atau district court tersebar di 19 district.
Sedangkan Gerechtshove atau appeal court dapat disamakan dengan PT yang terdapat di 5 kota,
yaitu: Amsterdam, Den Haag, Stragen Hogenbosch, Arnem dan Liuwarden. Sementara Hoge
Raad atau supreme court dapat disamakan dengan MA yang berkedudukan di Den Haag.
96 Coolen, G.L., 2000, Militaire straf – en strafprocesrecht, derde druk, Tjeenk Willink Zwole,
hal.149.
2. Rekrutment Hakim
perbedaan prinsip dengan peradilan militer di Indonesia. Militaire strafrechtspraak ini mengadili
militer yang masih aktif dengan menggunakan wetboek van militaire strafrecht (Kitab undang-
undang hukum pidana militer). Akan tetapi hakim yang memeriksa terdiri atas dua orang
hakim sipil dan satu orang hakim militer dengan ketua majelis hakim seorang sipil. Lebih lanjut
dapat dilihat dalam Coolen, G.L., 2000, Ibid., hal. 148 – 151.
98 Raad Van State dapat disamakan dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di
Indonesia atau Conseil D’ Etat yang terdapat di Perancis. Akan tetapi DPA tidak diberi
kewenangan untuk memeriksa perkara administrasi, sedangkan Raad Van State maupun Couseil
D’ Etat, selain memberikan nasehat kepada Raja/Ratu/ Presiden, juga diberi kewenangan
memeriksa dan mengadili perkara administrasi pada tingkat akhir atau kasasi. Bahkan Counseil
D’ Etat di Perancis diberi kewenangan pengujian yustisial terhadap perbuatan administrasi
negara. Lebih lanjut lihat dalam, Bagir Manan, “Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-
Undangan Dan Perbuatan Administrasi Negara Di Indonesia”, Bahan kuliah umum di
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 19 Februari 1994, hal. 7.
99 Wawancara dengan Adrian W. Bedner, Senior Researches Faculty of Law, Van
Rekrutment untuk menjadi hakim di Belanda dapat melalui dua pintu. Pintu
pertama adalah yang fresh graduate. Pintu kedua adalah yang berasal dari profesi
lain.100 Namun menurut Naves, untuk menjadi hakim ada tiga pintu dan yang
merupakan pintu ketiga adalah mereka yang berasal dari asisten hakim atau panitera
pengadilan.101 Akan tetapi syarat mutlak untuk menjadi hakim di Belanda harus
memilki ijazah sarjana hukum atau yang disebut meester inderechten (Mr).102 Bagi
mereka yang melalui Pintu Pertama dan diterima sebagai calon hakim, disebut dengan
istilah RAIO (Rechtelijke Amptenar In Opleiding). Selama 6 tahun, para RAIO ini
mengikuti training dalam 4 tahap. Pertama, mengikuti latihan praktek selama 26 bulan
di rechtbank dengan perincian: 6 bulan sebagai register di devisi hukum pidana, 10
bulan sebagai register di devisi hukum sipil dan 10 bulan sebgai register di devisi
hukum administrasi. Pada tahap kedua, para RAIO ini selama 12 bulan bekerja di
kantor public prosecutors atau penuntut umum. Kemudian pada tahap ketiga, para
RAIO ini dapat memilih dari dua opsi untuk mengikuti pelatihan selama 10 bulan.
Opsi pertama adalah sebagai register di rechtbank, sedangkan opsi kedua adalah
sebagai public prosecutor. Tahap keempat atau tahap akhir yang dilalui oleh para RAIO
ini adalah pelatihan eksternal selama 24 bulan. Setelah 72 bulan (6 tahun), barulah
RAIO ini menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hakim.103Ada dua catatan terhadap
rekrutmen hakim melalui pintu pertama ini atau melalui RAIO. Pertama, melalui RAIO
ini seseorang dapat menjadi hakim, namun dapat juga menjadi jaksa. Kedua, sebagai
konsekuensi yang pertama, acap kali mereka yang awalnya berminat sebagai hakim,
tiba-tiba beralih profesi sebagai jaksa ketika mengikuti pelatihan RAIO pada tahap
kedua yang mana mereka magang di kantor penuntut umum (jaksa) selama 12
100 Wawancara dengan Prof. Mr. M.A. Loth, Hoogleraar Inleiding tot de
Rechtswetenschap en Rechsteorie (guru besar yuirsprudensi dan teori hukum) Recht Faculteit,
Rotterdam Universiteit, Belanda, 4 Juni 2002. Prof.Loth juga adalah anggota komisi negara yang
bertugas menyeleksi calon hakim.
101 Wawancara dengan Mr. H.C. Naves, Rechter en coordinerend vice-president
pada dasarnya pintu ketiga untuk menjadi hakim yang berasal dari kalangan pengadilan
seperti asisten hakim dan panitera dapat digolongkan ke dalam pintu kedua untuk menajdi
hakim, yakni profesi hukum lainnya.
103 Raad Voor de Rechtspraak, Admission Requirement For RAIO Training, hal 2 dan 4.
bulan.104 Pintu kedua untuk menjadi hakim adalah mereka yang berasal dari luar
RAIO, bisa seorang akademisi, advocat, konsultan hukum atau profesi hukum lainnya
dengan syarat pertama, harus memiliki pengalaman kerja minimal 6 tahun dan kedua,
harus mengikuti training selama 12 bulan. 105 Hal ini dimaksud agar seorang hakim
ketika dia memeriksa, mengadili dan memutus perkara telah memiliki wawasan luas
yang diperoleh selama 6 tahun sebagai RAIO atau pengalaman kerja 6 tahun untuk
profesi lainnya.
Prosedur untuk menjadi hakim baik melalui pintu pertama maupun pintu kedua
harus melalui beberapa tahap. Pertama, mengajukan lamaran sebagai hakim ke
rechtbank yang dituju atau ke komisi nasional yang bertugas untuk menyeleksi hakim.
Tahap kedua adalah tes kemampuan. Ketiga adalah tes kemampuan analisis. Keempat
adalah personal interview. Kelima adalah detailed personality test . Keenam adalah
pertemuan antara komisi seleksi dengan para calon dan mendiskusikan perihal hukum
yang bersifat umum, motivasi, pandangan calon terhadap fungsi peradilan dan
perhatian terhadap maslah social kemasyarakatan. Tahap ketujuh atau yan g terakhir
adalah wawancara akhir. Semua peserta akan mengikuti tahapan rekrutmen mulai dari
tahap pertama sampai dengan tahap kelima. Setelah tahap kelima, hanya peserta yang
lolos saja yang dapat mengikuti tahap keenam. Para peserta yang lulus sebagai RAIO
maupun yang mengikuti training 12 bulan – bagi mereka yang berasal dari profesi lain
– akan detempatkan di rechtbank. Rekrutmen hakim di Belanda diumumkan secara luas
melalui media masa dan RAIO serta training hakim diadakan dua kali dalam setahun
yaitu pada bulan April dan Oktober.106
tersebut ditentukan oleh hakim itu sendiri.107 Apabila seorang hakim di suatu rechtbank
ingin pindah ke rechtbank lainnya atau ingin pindah ke jenjang yang lebih tinggi,
misalnya ke gerechtshove, maka lamaran cukup diajukan kepada rechtbank atau
grechtshove yang dituju. Sifat individual yang ada pada sistem karir di Belanda
memungkinkan seseorang yang sudah bertugas sebagai hakim di gerechtshove dapat
saja mengajukan lamaran untuk kembali menjadi hakim pada rechtbank. Sedangkan
perihal sistem gaji hakim, sudah ada standarnya dan diberlakukan secara nasional.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini:108
Selanjutnya perihal hakim agung pada Hoge Raad, direkrut atau dipilih oleh
tweede kamer (parlement) Belanda. Parlemen memilih hakim agung berdasarkan daftar
calon yang diusulkan oleh Hoge Raad. Daftar calon tersebut diumumkan secara luas
melalui media masa. Biasanya parlemen memilih berdasarkan nomor urut yang ada
pada daftar calon.
Strafprocesrecht (Guru besar hukum pidana dan hukum acara pidana), Roterrdam Universiteit,
Belanda, 5 Juni 2002. Prof. Doelder juga adalah hakim part time pada Rechtbank Roterrdam.
108 Tabel digambar di papan tulis oleh Naves, pada saat wawancara.
rechtbank dan gerechshove di satu sisi dengan Ministeri van Justtitie dan parlemen di lain
sisi. 109
Semboyan Raad voor de Rechtspraak adalah “dari pengadilan untuk pengadilan”.
Keanggotaan lembaga ini terdiri atas 5 orang anggota yang masa jabatannya 6 tahun
dan dapat ditunjuk kembali oleh Ratu. Komposisi kelima anggota tersebut adalah: 3
orang hakim senior, seorang dari departemen keuangan yang berfungsi sebagai
direktur keuangan, dan seorang dari Ministeri van onderwijs (menteri pendidikan)
Belanda. Lembaga tersebut terdiri atas 5 bagian yaitu bagian kabinet, informasi dan
masalah hukum. Bagian manajemen, bagian anggaran dan urusan keuangan. Bagian
operasi dan bagian servis fasilitas internal. Raad voor de Rechtspraak ini juga dibentuk
atas dasar krititikan bahwa para hakim di Belanda meskipun mereka sangat mahir
dalam bidang hukum dan bekerja profesional, namun mereka dianggap tidak cakap
dalam hal manajemen.110
E. Jepang111
Perihal rekrutmen hakim di Jepang secara formal ditunjuk oleh Perdana Menteri
dan kabinet. Namun dalam prakteknya, rekrutmen hakim di semua tingkatan
peradilan dilakukan oleh dan atas rekomendasi Chief of Justice (Ketua Mahkamah
Agung) dan Sekretaris Jenderal Legal Training and Research Institute. Setiap tahunnya
lulusan dari fakultas hukum ternama di Jepang, yang berjumlah kurang -lebih 20.000.
orang, mengikuti ujian nasional untuk menjadi hakim. Biasanya yang lulus ujian
sekitar 700 orang. Bentuk ujiannya adalah soal pilihan ganda dan wawancara.112
organisatie, Raad voor de Rechtspraak, Belanda, 10 Juni 2002. Lihat juga: Raad voor de
Rechtspraak, Council for the Judiciary, hal. 3; dengan Prof. Mr. M.A. Loth; dengan Mr. H.C.
Naves; dan wawancara dengan Adrian W. Bedner.
110 Raad voor de Rechtspraak, Council for the Judiciary, hal. 6. Wanwancara dengan Drs.
Philips Langbroek, Dosen Ilmu Politik dan Ahli Manajemen Organisasi, Utrecht Universiteit,
Belanda, 6 Juni 2002; Wawancara dengan Drs. Elko R. Van Winzum; dan wawancara dengan
Prof. Mr. M.A. Loth.
111 Bahan mengenai sistem rekrutmen dan karir hakim di Jepang, penulis peroleh dari Dr.
Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. dalam Workshop Rekrutmen dan Karir Hakim di Bidang
Peradilan, kerjasama Fakultas Hukum UGM dan Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 31 Juli 2002.
112 David M, O’Brien, 2002, Judicial Selection And Promotion: Japan and The United States,
Peserta yang lulus ujian selanjutnya mengikuti pelatihan pada Legal Training and
Research Institute di bawah bimbingan Ketua Mahkamah Agung dan Sekretaris Jenderal
lembaga tersebut selama 2 tahun yang per 4 bulan melakukan tour of duty di 4 tempat.
Pertama ditempatkan di kantor pengacara. Setelah itu di kantor kejaksaan selanjutnya
di pengadilan pidana dan pengadilan perdata masing-masing selama 4 bulan.
Sebelum lulus dari pelatihan tersebut, para peserta boleh mengajukan lamaran untuk
jabatan hakim.113 Selanjutnya barulah seseorang menempuh karirnya sebagai hakim
yang dimulai dengan magang sebagai asisten hakim selama 10 tahun. Namun dalam
kenyataannya setelah 5 tahun magang sebagai asisten hakim, mereka dapat menjadi
anggota pada majelis hakim di distric court atau memimpin sidang dalam family court
atau sumarry court yang menggunakan hakim tunggal (junus judex). Setelah 10 tahun
magang, mereka akan diangkat kembali sebagai hakim penuh pada distric court.
Selama meniti karir sebagai hakim seseorang dapat ditugaskan di beberapa
peradilan atau posisi lainnya dalam peradilan termasuk pada Legal Training and
Research Institute. Seorang hakim boleh pindah dari distric court ke high court , namun
sebelumnya selama lebih dari 5 tahun hakim tersebut harus magang pada high court.
Dalam masa magang ini, hakim yang bersangkutan duduk di sebelah kiri majelis
hakim yang memeriksa perkara. Setelah lebih dari 5 tahun barulah hakim tersebut
secara penuh menjadi hakim pada high court dan dalam mengadili perkara ia
diperkenankan duduk di sebelah kanan Ketua majelis hakim. Kemudian barulah
hakim tersebut dapat diangkat untuk memimpin majelis hakim yang menyidangkan
suatu perkara. Mengenai rekrutmen pada Mahkamah Agung, secara hukum para
hakim yang akan bertugas di Mahkamah Agung ditunjuk oleh Perdana Manteri dan
kabinet, tetapi dalam kenyataannya penyeleksian hakim aguag dilakukan oleh Ketua
Mahkamah Agung dan Sekeretaris Jenderal Legal Training and Research Institute.
Mereka yang diseleksi sebagai hakim agung adalah orang-orang yang punya visi dan
padangan luas mengenai hukum. Selain itu usia minimum untuk menjadi hakim
agung adalah 40 tahun disertai dengan pengalaman 10 sampai 20 tahun dalam
113 Banidingkan dengan seorang calon hakim di Belanda yang mengikuti pelatihan RAIO
(Rechter Ambtenar In Opleiding) selama 6 tahun dan melakukan tour of duty baik di Rechtbank
(pengadilan negeri), maupun sebagai jaksa dan akhirnya pelatihan eksternal sebagai konsultan
hukum , pengacara atau berkarir di LSM sehingga total pelatihan adalah 72 bulan.
berbagai profesi hukum. Secara singkat mereka yang terpilih sebagai hakim agung
sebanyak 15 orang dengan rasio: 6 orang hakim karir, 4 orang pengacara, 2 orang
birokrat, 2 orang jaksa dan 1 orang profesor hukum dari kalangan perguruan tinggi.114
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa analisis sebagai berikut:
Pertama, sistem rekrutmen dan karir hakim yang sangat tertutup dan hirarkis sebagai
akibat dari Jepang adalah negara penganut Kedaulatan Tuhan yang kekuasaanya
diserahkan kepada kaisar dan berpaham integralistik.115 Kedua, sebagai konsekuensi
yang pertam a, Jepang sangat kental dengan budaya patronase sehingga apa yang
dikatakan oleh pemimpin harus ditaaati oleh yang dipimpin dan ini berlaku pada
semua level di sana. Akan tetapi budaya patronase ini diimbangi oleh semangat
bushido 116 yang melekat pada setiap individu. Ketiga atau yang terakhir, adalah
masalah kesadaran hukum masyarakat, sesuatu yang acap kali dilupakan tetapi sangat
urgen. Dalam pembangunan di Jepang, SDM jauh lebih diutamakan dibandingkan
dengan membangun sebuah sistem. Ketertiban masyarakat bukan disebabkan oleh
hukum perundang-undangannya, melainkan oleh keberhasilan membangun sumber
daya manusiannya. Oleh karena itu menurut Satjipto Rahardjo – dengan mengambil
perbandingan Amerika – perbedaan antara sumber daya manusia Jepang dan
Amerika, akhirnya menentukan perbedaan kinerja hukum di kedua negara tersebut.
Secara ekstrim, seandainya hukum di Amerika di hapus, maka akan muncul suasana
seperti di era the wild wild west . Namun sebaliknya sekalipun hukum di Jepang dihapus,
sejak tulisan-tulisan Nitobe Inazo. Sifat-sfat ini adalah untuk menjunjung tinggi tanah air,
keluarga kaisar (Shinto) dan beberapa azas kesusilaan. Lihat: Todung Sutan Gunung Mulia dan
Hidding, K.A.H., 1961, Ensiklopedia Indonesia, N.V.Penerbitan W.Van Hoeve, Bandung – ‘s-
Gravenhage, hal. 267.
maka negeri itu akan tetap tertib dan teratur sebab ketertiban itu sudah berakar pada
sikap dan perilaku orang Jepang.117
------------------------------
117 Satjipto Rahardjo, Sistem Hukum Nasional Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi, Makalah
pada Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum Indonesia, Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 17 – 20 Maret 1997.
sesuai dengan perkara yang diperiksa, telah mempengaruhi sikap, perilaku individual
dan perilaku kelompok yang kurang kondusif; ketiga, lambannya penyelesaian
perkara, terutama jika ada upaya hukum, sehingga masih bertumpuknya perkara di
Mahkamah Agung (sisa akhir bulan Januari 2002 = 16.444 perkara); keempat, kurang
profesionalnya penanganan perkara, dan masih terdapatnya indikasi KKN, dan
adanya pengaruh dari pihak luar dalam proses peradilan; kelima, sistem rekrutmen,
mutasi dan promosi yang tidak berjalan baik, tidak adil, tanpa perencanaan yang baik
dan kurang dapat diakses publik, dan keenam, adanya indikasi merebaknya KKN
dalam rekrutmen, mutasi dan promosi, serta dalam penyelesaian perkara.
mempunyai cukup waktu untuk beristirahat; kelima, kurang adanya koordinasi dalam
penerimaan Hakim Agung non karir dan fit and proper test kurang tepat; keenam,
mekanisme pengawasan tidak jelas dan tidak tegas, termasuk dalam penerapan sanksi
(baik berupa penghargaan maupun yang berupa hukuman); ketujuh, adanya KKN
dalam penanganan perkara, yang banyak terungkap dan terekspos; dan kedelapan,
sarana dan prasarana yang kurang memadai, kesembilan, Dewan Kehormatan Hakim
tidak berfungsi efektif.
dengan tuntutan reformasi di bidang peradilan atau demi terwujudnya good judicative
governance dapat dikemukakan beberapa isu strategis sebagai berikut: pertama,
membuat perencanaan yang baik yang meliputi fungsi –fungsi organisasi, dalam
bentuk RENSTRA, RENOP dan RENTA serta LAKIP MA; kedua, rekrutmen, mutasi
dan promosi harus dilakukan secara selektif dan lebih berorientasi pada faktor
kecakapan dan mental yang baik; ketiga, penyelesaian perkara di Mahkamah Agung
berdasarkan spesialisasi hakim, perlu ada sistem kamar; keempat, menyediakan sarana
dan prasarana yang memadai untuk pembinaan personil; kelima, mengoptimalkan
fungsi pengawasan oleh Dewan Kehormatan Hakim atau lembaga baru (Komisi
yudisial jika terbentuk) dengan menerapkan punishment and reword, keenam,
mengefektifkan kinerja Pusat Studi/pelatihan, dan aktivitas pembinaan lain secara
berkala dan berkesinambungan, ketujuh, merubah beberapa ketentuan peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan UU No. 35 Tahun 1999.
bahwa gaji (penghasilan) profesi hakim tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan
minimal jasmani dan rohani bagi hakim dan keluarganya.
Di samping itu, sistem penggajian profesi hakim tersebut relatif kurang
berpengaruh terhadap terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta praktek
mafia di bidang peradilan. Demikian pula besarnya gaji (penghasilan) profesi hakim
bukan merupakan satu-satunya cara dan media yang dapat menjamin kualitas kinerja
hakim seperti yang diharapkan.
4. Minat Sarjana Hukum yang baik untuk meniti karir sebagai hakim
Untuk mendukung penegakkan hukum di Indonesia, kebutuhan calon hakim
(cakim) sampai dengan tahun 2005 sebenarnya masih relatif cukup banyak. Namun,
(lulusan) sarjana hukum/syariah yang berkualitas baik, khususnya lulusan dari
Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia yang memiliki Indeks Prestasi Komulatif
(IPK) tinggi, tidak banyak yang berminat untuk meniti karir sebagai hakim. Dalam hal
ini, perlu dikemukakan bahwa sebenarnya IPK tinggi belum cukup un tuk digunakan
sebagai kriteria/parameter bagi (lulusan) sarjana hukum/syariah yang baik, tetapi
harus dilengkapi dengan kriteria memiliki “moral dan integritas” yang tinggi.
Rendahnya minat (lulusan) sarjana hukum/syariah yang baik untuk menjadi
hakim ter sebut terutama didasarkan atas pertimbangan penghasilan, yaitu dengan
membandingkan bahwa banyak profesi lain yang lebih menjanjikan, seperti notaris,
pengacara/konsultan hukum, ataupun dengan bekerja di perusahaan -perusahaan
swasta. Selain itu, ada yang memberikan alasan berkaitan dengan hal yang substantif,
yaitu bahwa berprofesi sebagai hakim itu berat, mereka harus siap mental ketika akan
mengambil keputusan. Dalam kaitannya dengan proses rekrutmen dan karir hakim,
rendahnya minat tersebut juga disebabkan oleh alasan karena sistem rekrutmen yang
tidak jelas dan persaingan yang cukup ketat, serta penempatan cakim di daerah
terpencil.
Keadaan di atas tentunya sangat memprihatinkan mengingat peradilan yang baik
itu perlu hakim yang baik, sedangkan hakim yang baik mestinya berasal dari mereka
(lulusan) sarjana hukum/syariah yang baik. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai
upaya meningkatkan minat bagi (lulusan) Sarjana Hukum/Syariah yang baik untuk
meniti karir menjadi hakim. Dalam hal ini, upaya penelusuran minat sejak awal (sejak
mahasiswa) merupakan cara yang cukup efektif untuk dapat dilaksanakan. Untuk itu,
perlu dilakukan kerjasama antara Perguruan Tinggi penyelenggara pendidikan hukum
dengan instansi terkait, misalnya dengan Departemen Kehakiman dan HAM, bagi
calon-calon hakim Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara; Departemen Agama, bagi
calon-calon hakim Peradilan Agama; dan Departemen Pertahanan dan Keamanan, bagi
calon-calon hakim militer maupun Mahkamah Agung RI.
Para calon mahasiswa Fakultas Hukum/Syariah yang berminat menjadi calon
hakim minimum harus sudah mencapai 120 SKS dan memiliki indeks prestasi
minimum 3. Bagi para mahasiswa yang memenuhi syarat seperti tersebut di atas dapat
mengikuti test psikhologi, untuk dapat mengetahui seberapa jauh minat mereka untuk
menjadi calon hakim. Setelah lulus, mereka diikat dengan beasiswa dari Departemen
Kehakiman dan HAM. Kemudian setelah lulus S1 diberikan rekomendasi oleh Dekan
setempat bahwa mereka patut/layak untuk diterima menjadi cakim, dan bilamana
perlu mereka juga harus mengikuti test seleksi secara nasional.
--------------------------------
perilaku individual dan perilaku kelompok Perlu dilakukan publikasi yang cukup Diajukan usul kepada instansi terkait
menjadi kurang kondusif; ketiga, lambannya waktu tentang rencana rekrutmen agar perencanaan dan pelaksanaan
penyelesaian perkara; keempat, adanya cakim, kemudian diikuti dengan seleksi rekrutmen dan karir hakim, dapat
indikasi pengaruh dari pihak luar dalam yang ketat mengenai kemampuan diakses dengan mudah oleh publik
proses peradilan; kelima, sistem rekrutmen, penguasaan ilmu pengetahuan hukum, dan para hakim itu sendiri.
mutasi dan promosi hakim tidak berjalan kejiwaan (moralitas, integritas
baik, tidak adil, tanpa perencanaan yang dan kejujuran) dengan melibatkan tim
matang, dan kurang dapat diakses oleh yang profesional dan independen.
publik; dan keenam terdapat adanya 2. Rekomendasi Teknis Jangka Panjang (5-10 tahun)
indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
Perlu dilakukan reformasi mengenai Diajukan usul kepada Presiden dan
(KKN) dalam rekrutmen, mutasi, dan
sistem rekrutmen dan karir hakim yang DPR agar diambil langkah baru yang
promosi hakim dalam jajaran pengadilan
ada selama ini, baik perencanaan mensyaratkan cakim telah
maupun dalam penyelesaian perkara.
maupun pelaksanaannya, agar dapat mempunyai pengalaman bidang
diwujudkan hakim yang berkualitas, profesi hukum
profesional, adil, jujur dan terbebas dari dalam kurun waktu tertentu dan
indikasi KKN dan perbuatan tercela untuk dapat diangkat sebagai hakim
lainnya. perlu magang antara 5-6 tahun.
1.a. Kekuatan dalam Sistem Rekrutmen dan 1. Rekomendasi Kebijakan Jangka Pendek (1-2 tahun)
Karir Hakim.
Perlu dijalin kerjasama antara instansi Diusulkan kepada instansi yang kom-
Faktor kekuatan tersebut antara lain:
yang melakukan rekrutmen hakim penten untuk melakukan rekrutmen
pertama, banyak terdapat perguruan tinggi
dengan kalangan perguruan tinggi hakim, bertukar pengalaman tentang
hukum yang tersebar di seluruh Indonesia, hukum yang ada. kurikulum yang relevan dengan
yang berarti cukup banyak lulusannya yang kalangan perguruan tinggi hukum
dapat direkrut menjadi hakim; kedua, cukup
banyak tersedia dan terbuka program 2. Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang (5-10 tahun)
studi lanjut bagi lulusan perguruan tinggi Perlu diadakan peningkatan Diusulkan kepada instansi yang
hukum, baik di dalam maupun d i luar kemampuan pengetahuan para hakim kompeten untuk diadakan program
negeri; ketiga, cukup banyak terdapat dengan program studi lanjut. studi lanjut bagi para hakim yang
pengadilan yang jumlahnya hampir merata memenuhi persyaratan.
di seluruh wilayah RI, yang berarti hampir 1. Rekomendasi Teknis Jangka Pendek (1-2 tahun)
di tiap kabupaten/kota ada pengadilan Perlu dilakukan penjaringan minat Diusulkan agar penjaringan tidak
tingkat pertama. untuk meniti karir sebagai hakim, baik semata-mata sentralistik, tetapi
secara umum maupun melalui kampus. supaya dimungkinkan juga secara
desentralistik.
2. Rekomendasi Teknis Jangka Panjang (5-10 tahun)
Perlu diadakan apresiasi yang layak Diusulkan pembentukan tim khusus
bagi hakim yang berprestasi, antara lain yang mengurusi apresiasi kepada
studi lanjut dan penempatannya pada para hakim yang berprestasi.
pengadil an yang tepat dengan
keahliannya.
1.b. Kelemahan dalam Sistem Rekrutmen dan 1. Rekomendasi Kebijakan Jangka Pendek (1-2 tahun)
Karir Hakim. Perlu diambil kebijakan antara lain Diusulkan kepada Presiden untuk
optimalisasi pembinaan terhadap SDM segera mengambil langkah kebijakan
Faktor kelemahan tersebut antara lain:
hakim; transparansi dalam rekrutmen guna perbaikan terhadap faktor-
pertama, SDM hakim yang telah terekrut hakim, eliminasi timbulnya potensi faktor kelemahan dalam sistem
KKN dalam sistem rekrutmen dan karir rekrutmen dan karir hakim.
kurang pembinaannya; kedua, sistem hakim; perbaikan sistem mutasi
rekrutmennya cenderung tertutup dan kurang /promosi hakim dan jabatannya, agar
lebih ad il, lebih berorientasi kepada
berorientasi untuk mendapatkan SDM yang kecakapan; penyela rasan rasio jumlah
baik, terdapat indikasi adanya KKN hakim/karyawan dengan perkara yang
harus di selesaikan oleh hakim.
meskipun tidak keseluruhan-nya; ketiga,
2. Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang (5-10 tahun)
sistem mutasi dan promosi hakim dan Perlu diambil kebijakn untuk Diusulkan kepada Presiden dan DPR
memperbaiki faktor-faktor kelemahan untuk dapat mengambil langkah
jabatannya tidak berjalan dengan baik,
dalam sistem rekrutmen dan karir kebijakan yang konkret dan tepat
kurang adil, kurang berorientasi pada hakim, antara lain: untuk perbaikan atas faktor-faktor
Peningkatan koordinasi dalam kelemahan dalam sistem rekrutmen
kecakapan, terdapat adanya indikasi KKN
rekrutmen Hakim Agung non karir, dan karir hakim, yang meliputi
meskipun tidak keseluruhannya; perbaikan sistem fit and proper test, pembentukan perangkat pranata
perbaikan mekanisme pengawasan hukum yang lebih komprehensif,
keempat, jumlah pengadilan, hakim, dan terhadap kinerja hakim/pengadilan, kondusif, efektif dan efisien,
karyawan kurang sesuai dengan kebutuhan pemberian penghar gaan terhadap termasuk di dalamnya pengalokasian
riil, rasionya tidak sebanding dengan jumlah hakim yang berprestasi dan penerapan dana yang memadai.
perkara yang harus ditanganinya (di suatu
sanksi hukuman yang tegas kepada
pengadilan tertentu volume perkara sangat
para hakim yang nyata-nyata
sedikit sehingga terdapat banyak hakim melak ukan perbuatan melawan hukum
yang “nganggur”, tetapi pada pengadilan
dan perbuatan tercela lainnya.
yang lainnya volume perkaranya sangat
besar , sehingga para hakimnya nyaris tidak 1. Rekomendasi Teknis Jangka Pendek (1-2 tahun)
mempunyai waktu yang cukup untuk Perlu diambil langkah -langkahDiusulkan kepada instansi terkait dan
menyelesaikan tugasnya secara profesional kongkrit perbaikan atas faktor-faktor berkompeten, untuk segera
dan untuk beristirahat); kelima, kurang kelemahan dalam sistem rekrutmen mengambil inisiatif gelar wacana
adanya koordinasi dalam rekrutmen Hakim dan karir hakim, yang meliputi konsep,(seminar/ workshop), sosialisasi
Agung non karir demikian pula fit and proper perencanaan, pelaksanaan, SDM dan program sampai dengan realisasi
test nya kurang tepat; keenam , mekanisme perangkat pranata hukumnya. program perbaikan sistem rekrutmen
pengawasan, pemberian penghargaan, dan karir hakim.
maupun penerapan sanksi hukuman 2. Rekomendasi Teknis Jangka Panjang (5-10 tahun)
terhadap kinerja hakim tidak jelas dan tidak Perlu diambil langkah -langkah Diusulkan kepada instansi yang
tegas; ketujuh, dalam penanganan perkara
perbaikan dan kelengkapan sarana dan berkempeten untuk segera
terdapat indikasi adanya KKN, meskipun prasarana serta peman tapan program- melakukan perencanaan dan realisasi
tidak keseluruhannya; kedelapan, sarana program yang ada atas program perbaikan tersebut
dan prasarana yang ada kurang memadai. secara berkesinambungan dan
konsisten.
melainkan masih banyak faktor-faktor lain 2. Rekomendasi Teknis Jangka Panjang (5-10 tahun)
yang mempengaruhinya
Perlu meninjau ulang perangkat Diusulkan kepada instansi yang
hukum berkaitan dengan sistem berkompeten untuk memanfaatkan
penggajian profesi hakim yang ada hasil kajian yang dilakukan oleh tim
selama ini, kemudian diperbaiki independen, dikemas dalam
berdasarkan hasil kajian tim perangkat peraturan perundang -
independen tersebut, dituangkan undangan.
dalam perangkat peraturan hukum dan
diberlakukan bagi hakim yang benar-
benar lulus seleksi, baik seleksi awal
maupun seleksi ulang.
Lampiran 1
Struktur Organisasi Tim Peneliti
Lampiran 2
Jadwal Penelitian
Jadwal Penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Validasi
Proposal &
Persiapan Tim
Persiapan
Materi
Diskusi
Internal
Colloquium 1
Pertemuan 1
dg subkomisi
Penelitian di
Jkt, Medan,
DIY, Ujung-
pandang
Laporan
Sementara
Pertemuan 2
dg Subkomisi
Persiapan
Workshop 1
Workshop 1
Pertemuan 3
dg subkomisi
Penelitian di
Malaysia &
Belanda
Colloquium 2
Analisis
Rancangan I
Lap Akhir
Pertemuan 4
dg subkomisi
Persiapan
Workshop 2
Workshop 2
Rancangan II
Lap Akhir
Lap Akhir
Lampiran 3
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sharifah Suhana, 1999, Malaysian Legal System, Malayan Law Journal Sdn Bhd.
Ali, Acmad, “Sebelum dan Setelah Tommy Soeharto Tertangkap”, KOMPAS , 2
Desember.
Arief, Barda Nawawi, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Atmasasmita, Romli., 1998,. Pemikiran Konseptual Mengenai Kerangka Peningkatan
Kualitas Penegakan hukum di Dalam Proses Peradilan, Jakarta.
Basuki, Kunthoro, 1994, Peranan Tuntutan Subsidiair dan Hubungannya dengan Kebebasan
Hakim dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Khususnya di Daerah Istimewa
Yogyakarta, Thesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Brasz, HA., 1999.,dalam Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, BPKP, Jakarta.
Ginting,R & Santoso, Bambang, 2002, Analisis Kritis Terhadap Kebijakan Penanggulang
Korupsi di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya, Surakarta.
Gunarso, 2000, Sistem Penggajian Pegawai, Makalah, disampaikan pada Seminar Sehari
yang diselenggarakan oleh Forum Peduli Bangsa, pada tanggal 3 Maret 2000, di
Yogyakarta.
Gunawan, 2000, Hakim Dan Gajinya, Makalah, disampaikan pada Seminar Sehari yang
diselenggarakan oleh Forum Cinta Bangsa, pada tanggal 10 April 2000 di
Surabaya.
Handoko, T. Hani, 1990, Manajemen Edisi II, BPFE. Yogyakarta.
Herjuno, 2000, Peradilan Indonesia Dewasa Ini, Makalah, disampaikan pada Seminar
Sehari yang diselenggarakan oleh Lembaga Advokasi Rakyat, pada tanggal 17
Juli 2000 di Surabaya.
Hiariej, Eddy O.S., “Pertanggungjawaban Habibie Layak Ditolak”, (Wawancara)
Kedaulatan Rakyat, 13 September 1999.
-------, Problematika Legislasi Di Indonesia, diskusi terbatas mengenai Pengembangan
Kapasitas Legislasi, Kerjasama Badan Legislasi DPR dengan Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 27 – 28 Juni 2002
Ibrahim, Ahmad Mohamed dan Ahilemah Joned, 1986, Sistem Undang-Undang Di
Malaysia, Dewan Bahasa Dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Kiswantoro, D.D., 2000, Sistem Penggajian Pegawai Dewasa Ini, Makalah, disampaikan
pada Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Forum Cinta Republik, pada
tanggal 15 September 2000, di Yogyakarta.
Kompas Minggu, Tarif itu sudah puluhan milyard, Tanggal 17 Maret 2002.
Kompas, 2002, Kelamnya Dunia Penegak Hukum, Jakarta, 31 Maret 2002.
Kompas, tanggal 12 Agustus 2002.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan, 1999, Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, LeIP,
Jakarta.
-------, “Judicial Corruption: Jalan Tak Ada Ujung”, KOMPAS, 30 Juli 2002.
-------, Penegakan Hukum Di Indonesia, Amerika Dan Jerman Dalam Perbandingan Kasar,
Makalah Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum Indonesia Dengan Tema “
Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme Aparat Penegak Hukum Sebagai
-------, Fungsi Polri Dalam Sistem Peradilan Sipil Pasca Pemisahan TNI – Polri, makalah
pada semiloka “Implikasi Reposisi TNI – Polri Dalam Bidang Hukum”,
Yogyakarta, 22-23 November 2000.
Said, H.M., 1980, Etika Masyarakat Indonesia, cet. Ke-2, Pradnja Paramita, Jakarta.
Saleh, Ismail, 1988, dalam Kata Sambutan HUT ke XXXV IKAHI dimuat dalam Varia
Peradilan Tahun III No. 32 Mei 1988.
Sigit, Soehardi, 1983, Seri Manajemen – Teori Kepemimpinan Dalam Manajemen ,
Armurrita, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 1985, Efektifitas Hukum dan Peran Sanksi , Remaja Karya.
Suffian, Tun Mohamed, 1990, Pengenalan Sistem Undang-Undang Malaysia, Dewan
Bahasa Dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Suseno, Magnis, F., 1991, Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Etika Moral, Cet. Ke-3,
Kanisius, Yogyakarta.
-------, K. Berkeus, E. Sumaryono, I.B. Sugiharto, F. S. Teti, L.M. Soegiharto, R.R.
Riantobi, 1991, Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswo, APTIK – Gramedia, Jakarta.
Utomo, G.N., 2000, Kesejahteraan Pegawai Dulu Dan Sekarang, Makalah, disampaikan
pada Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Forum Pemerhati Nasib
Pegawai, pada tanggal 12 Oktober 2000, di Klaten.
Van Der Pot, Donner, 1995, Handboek Van Het Nederlandse Staatsrecht, dertiende druk,
W.E.J. Tjeenk Willink Zwolle.
Widjojanto, Bambang, 2000, Mengetuk Hati Nurani Hakim, Jawa Pos, 3 April 2000.
Yamin, Muhammad, 1959, Naskah – Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama.
DAFTAR PERATURAN
5. Konstitusi Amerika.
6. Konstitusi Jerman.
7. Konstitusi Malaysia.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2000 tentang Peraturan Gaji Hakim
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Pegawai
Negeri Sipil.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Hakim
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama.
11. Undang Undang Dasar 1945.
12. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah.
13. Undang-undang Nomor 12 tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang -
undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-
dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia.
14. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi.
15. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan
Nasional.
16. Undang-undang Nomor 19 PRPS Tahun 1965 tentang Pokok -Pokok Sistem
Pendidikan Nasional Pancasila.
17. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
18. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
19. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari KKN.
20. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
21. Undang-undang Republik Indonesia No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun
1999 No. 169, Tambahan Lembaran Negara No. 3890).
22. UUD 1945 Amandemen Ketiga, 2001, Sekretariat Jenderal MPR-RI.
23. Wet op de Rechtelijke Organisatie.
-------------------------