You are on page 1of 6

I W.

Mudita (2004)

METODE PEMANTAUAN AGROEKOSISTEM SERTA PERAMALAN HAMA DAN PENYAKIT: Tanaman Kakao1
I W. Mudita Dosen pada PS Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Undana, Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang 85001, NTT, e-mail: mudita.mailto@gmail.com

A. Apa dan Mengapa Perlu Pemantauan Agroekosistem? Segala sesuatu yang terdapat di kebun kakao sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Tanaman kakao memperoleh unsur hara dan air dari dalam tanah dan udara serta energi dari matahari. Bersama-sama dengan tanaman kakao, tumbuh berbagai jenis tumbuhan lain yang bersaing untuk memperoleh unsur hara, air, dan energi sinar matahari. Tanaman kakao dan tumbuhan lain dimakan oleh berbagai jenis binatang pemakan tumbuhan, sedangkan binatang pemakan tumbuhan akan dimakan oleh binatang pemakan daging. Tumbuhan, termasuk tanaman kakao, dan binatang akan mati dan dimakan oleh pemakan tumbuhan mati dan bangkai binatang. Sisanya selanjutnya akan diuraikan oleh jasad renik yang hidup di udara maupun di dalam tanah sehingga kembali menjadi unsur hara dan air. Hubungan timbal balik antara tumbuhan, binatang, tanah, air, dan udara di dalam kebun kakao tersebut membentuk suatu ekosistem. Karena kebun kakao adalah lahan pertanian maka ekosistemnya disebut ekosistem pertanian atau agroekosistem untuk membedakannya dengan ekosistem alami seperti semak belukar dan hutan. Di dalam ekosistem, berbagai kelompok mahluk hidup tergantung pada benda-benda mati seperti tanah, air, udara, dan sinar matahari selain juga tergantung pada mahluk hidup lain. Berbagai mahluk hidup yang saling tergantung satu sama lain dalam suatu ekosistem membentuk komunitas biotik. Mahluk-mahluk hidup yang membentuk suatu komunitas biotik dapat dibeda-bedakan berdasarkan jenisnya, misalnya tanaman kakao Theobroma cacao, tumbuhan bunga putih Chromolaena odorata, kepik Helopeltis theobromae, ngengat Conopomorpha cramerella, semut hitam Dolichoderus thoracicus, tawon Trichogrammatoidea bactrae fumata, jamur Phytophthora palmivora, dan sebagainya, yang masing-masing terdiri atas sejumlah individu. Seluruh individu dari suatu mahluk hidup yang membentuk suatu komunitas biotik disebut populasi. Populasi terdiri atas sejumlah individu yang khusus untuk serangga dapat berupa fase pertumbuhan yang berbeda, misalnya larva, nimfa, atau imago. Jumlah individu yang menyusun suatu populasi disebut padat populasi. Pemantauan agroekosistem merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui keadaan agroekosistem. Pada langkah pertama, pemantauan dilakukan untuk menentukan apa-apa saja yang menyusun suatu agroekosistem, dalam hal ini agroekosistem kakao. Pada langkah kedua, pemantauan dilakukan untuk menentukan hubungan antara bagianbagian yang menyusun suatu agroekosistem. Misalnya bagaimana hubungan antara ngengat Helopeltis theobromae dengan semut hitam Dolichoderus thoracicus dan hubungan keduanya dengan iklim, katakanlah suhu udara dan curah hujan? Pada langkah ketiga, pemantauan dilakukan untuk mengukur keadaan setiap bagian yang menyusun suatu agroekosistem. Misalnya, bila pada langkah pertama telah diketahui adanya kepik Helopeltis theobromae dan semut hitam Dolichoderus thoracicus maka pada langkah ketiga perlu ditentukan berapa banyak jumlah kepik dan semut hitam tersebut dan bagaimana keadaan iklim, misalnya suhu udara dan curah hujan. Pada langkah keempat, pemantauan dilakukan untuk memperoleh data guna melakukan peramalan letusan hama atau penyakit. Dalam hal ini, data yang diperoleh, setelah dianalisis dengan menggunakan teknik tertentu, dapat digunakan untuk meramalkan terjadinya letusan hama atau penyakit
1) Materi Pelatihan Petugas Sekolah Lapang Pengelolaan Hama Terpadu Tanaman Kakao dan Kelapa yang Diselenggarakan Dinas Perkebunan Provinsi NTT di Kupang pada 27 September-9 Oktober 2004

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

pada waktu yang akan datang. Pada langkah kelima, pemantauan dilakukan untuk memperoleh data yang akan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian. Pemantauan dalam hal ini merupakan dasar pengambilan keputusan pengendalian, baik pengambilan keputusan berdasarkan ambang ekonomi maupun tanpa ambang ekonomi.

B. Apa yang Harus Dipantau? Pemantauan agroekosistem dilakukan terhadap bagian-bagian agroekosistem yang penting sebagai berikut: 1) Tanaman kakao, teknik budidaya, dan hasilnya. Dalam hal ini pemantauan dilakukan terhadap klon tanaman, umur tanaman, jarak tanam, pola pertanaman (monokultur atau tumpangsari), naungan, sanitasi, pemupukan, pengendalian hama jika pernah dilakukan, jumlah berdasarkan ukuran buah, cara panen dan pascapanen, dan harga hasil. 2) Hama dan penyakit kakao. Untuk hama dilakukan pemantauan terhadap padat populasi hama dan kerusakan tanaman akibat serangan hama, sedangkan untuk penyakit dilakukan pemantauan terhadap intensitas penyakit 3) Musuh alami hama dan penyakit. Dalam hal ini dilakukan terhadap jenis musuh alami yang ada dan padat populasi setiap jenis. 4) Keadaan faktor lingkungan. Pemantauan dilakukan terhadap faktor lingkungan, terutama faktor yang berpengaruh langsung terhadap perkembangan hama dan penyakit seperti suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, hari hujan, dan sebagainya. Bila diperlukan juga dilakukan pemantauan terhadap keadaan tanah misalnya terhadap kelembaban tanah, pH tanah, kesuburan tanah, dan sebagainya. Pemantauan faktor lingkungan dapat dilakukan secara tidak langsung dengan mengambil data sekunder dari instansi terkait. 5) Kehilangan hasil. Dilakukan terhadap hasil kakao pada saat tanaman terserang hama atau menderita penyakit dan hasil kakao ketika tanaman masih sehat dengan melakukan pengamatan langsung dan wawancara dengan petani. C. Bagaimana Merencanakan Pemantauan? Pemantauan agroekosistem tanaman kakao tentu saja tidak dapat dan memang tidak perlu dilakukan terhadap seluruh kebun kakao yang ada. Pemantauan terhadap seluruh kebun kakao akan memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit. Pemantauan hanya mungkin dilakukan terhadap sejumlah kebun kakao yang terdapat di suatu hamparan pertanaman kakao. Persoalannya adalah bagaimana agar kebun yang dipantau dapat mewakili seluruh hamparan tanaman kakao yang ada. Untuk itu maka pemantauan agroekosistem perlu direncanakan. Perencanaan dilakukan untuk menetapkan: 1) Batas-batas hamparan areal pertanaman kakao yang akan dipantau. Batas-batas hamparan areal pertanaman perlu ditentukan karena data hasil pemantauan harus mewakili suatu wilayah tertentu. Batas-batas hamparan dapat ditentukan dengan mengacu pada batas-batas wilayah administratif, misalnya di suatu kecamatan, maupun batas-batas ekologis, misalnya di suatu daerah aliran sungai. 2) Satuan yang akan dipantau secara langsung dalam pelaksanaan pemantauan. Satuan yang akan dipantau secara langsung dapat berupa satuan kebun, satuan individu tanaman dalam satu kebun, atau satuan buah kakao dalam satu individu tanaman. Penentuan satuan pemantauan penting dilakukan dalam kaitan dengan menentukan rancangan pemantauan. Bila satuan pemantauan adalah kebun petani maka pengamatan hama dan musuh alaminya harus dilakukan dalam kebun secara keseluruhan. Bila satuan pemantauan adalah individu tanaman maka pengamatan populasi hama dan musuh alaminya harus dilakukan pada satu individu tanaman secara keseluruhan. Bila satuan pemantauan adalah buah kakao maka pengamatan dilakukan terhadap buah-buah tertentu pada setiap individu tanaman kakao. Seluruh satuan pemantauan akan membentuk suatu daftar kerangka pemantauan.

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

3) Rancangan pemantauan untuk menentukan cara pengambilan satuan pemantauan yang akan diamati. Pengambilan satuan pemantauan untuk diamati dari kerangka pemantauan yang mencakup seluruh areal dapat dilakukan secara acak sederhana atau secara sistematik. Pengambilan satuan pemantauan secara acak dilakukan dengan mendaftar seluruh satuan pemantauan yang membentuk suatu kerangka pemantauan dan kemudian mengambil satuan pemantauan tertentu secara acak dengan cara tertentu, misalnya dengan penarikan lotere. Pengambilan satuan pemantauan secara sistematik tidak perlu disertai dengan penyediaan kerangka pemantauan. Pada pengambilan satuan pemantauan secara sistematik, pengacakan dilakukan hanya terhadap satuan pemantauan yang pertama. Satuan pemantauan berikutnya dilakukan dengan aturan tertentu, misalnya dengan menentukan posisi tanaman dengan mengikuti pola tertentu. Mengingat satuan pemantauan dapat berupa kebun, individu tanaman, atau bagian tertentu dari tanaman maka rancangan pemantauan dapat dilakukan secara bertingkat. Misalnya mula-mula ditentukan sejumlah kebun dari satu hamparan, selanjutnya individu tanaman dari setiap kebun yang terambil, dan terakhir bagian tanaman dari setiap individu tanaman yang terambil. 4) Jumlah satuan pemantauan yang harus diamati. Jumlah satuan pemantauan yang harus diambil dari suatu hamparan disebut ukuran pemantauan. Ukuran pemantauan menentukan keterwakilan satuan pemantauan terhadap hamparan areal pertanaman yang dipantau. Pada dasarnya semakin banyak satuan pemantauan yang diambil maka semakin akurat data hasil pemantauan, tetapi akan memerlukan tenaga, waktu, dan biaya yang makin banyak. Ukuran pemantauan yang memadai agar diperoleh data yang dapat mewakili hamparan dapat ditentukan secara statistik. Namun perlu diketahui pula bahwa pengamatan terhadap satuan pemantauan dalam jumlah besar akan sangat melelahkan sehingga hasil pemantauan menjadi kurang akurat justeru karena jumlah satuan pemantauan terlalu banyak. 5) Frekuensi dan periode pemantauan yang harus dilakukan. Frekuensi pemantauan menyatakan berapa kali pemantauan harus dilakukan selama kurun waktu tertentu. Frekuensi pemantauan berkaitan dengan periode pemantauan, yaitu lama waktu di antara pelaksanaan dua pemantauan berurutan. Bila frekuensi pemantauan dalam setahun adalah 12 kali maka periode pemantauan menjadi setiap bulan. Penentuan frekuensi dan periode pemantauan dilakukan dengan mempertimbangkan faktor daur hidup hama dan musuh alaminya dan kepraktisan pelaksanaan pemantauan. D. Apa yang Perlu Dipersiapkan? Pemantauan memerlukan bahan dan alat serta pelaksanaan pelaksanaan pemantauan. Bahan, alat, dan pelaksanaan tersebut perlu dipersiapkan agar pemantauan dapat dilaksanakan sebagaimana yang telah direncanakan. Persiapan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Bahan. Bahan yang perlu dipersiapkan terutama adalah bahan untuk keperluan pencatatan hasil pemantauan berupa daftar pertanyaan dan tabel pengamatan. Selain daftar pertanyaan dan tabel pengamatan juga perlu dipersiapkan format tabulasi yang bila memungkinkan dilakukan dengan bantuan komputer. Format tabulasi terkomputerisasi dapat dipersiapkan dengan menggunaan program aplikasi tabel lajur Excel. Bahan yang juga perlu dipersiapkan adalah yang diperlukan untuk pengoperasian perlatan tertentu seperti minyak tanah untuk lampu perangkap berbahan bakar minyak. Bila diperlukan pengumpulan spesimen maka perlu dipersiapkan bahan untuk membunuh dan mengawetkan serangga, misalnya kamper, formalin, atau bahan pestisida tertentu. 2) Alat. Alat yang diperlukan sangat tergantung pada jenis hama atau penyakit utama yang akan dipantau dan cara pelaksanaan pemantauan. Namun terlepas dari itu, perlu dipersiapkan alat-alat dasar seperti meteran kain, kaca pembesar, altimeter, termometer bola basah dan bola kering, dan kompas. Bila diperlukan perangkap maka harus dipilih tipe perangkap yang akan digunakan, apakah berupa perangkap berperekat, perangkap lampu, perangkap volumetrik, dan sebagainya. Bila diperlukan

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

pengambilan spesimen maka harus dipersiapkan wadah spesimen berupa kantong atau kotak plastik. 3) Pelaksanaan. Persiapan yang perlu dilakukan untuk melaksanakan pemantauan tergantung pada siapa yang akan melakukan pemantauan. Bila pemantauan akan dilakukan oleh petani maka tidak banyak yang perlu dipersiapkan untuk melaksanakan pemantauan kecuali waktu. Namun bila pemantauan akan dilakukan oleh petugas pengamat hama atau penyuluh maka perlu dipersiapkan waktu pelaksanaan, suratsurat yang berkaitan dengan penugasan, sarana transportasi, dan akomodasi selama pelaksanaan pemantauan.

E. Siapa yang Harus Melakukan dan Bagaimana Melakukan Pemantauan? Pemantauan dapat dilakukan sendiri oleh petani sebagaimana lazim di negaranegara maju. Pelaksanaan pemantauan oleh petani tentu saja memerlukan pelatihan petani agar dapat melaksanakan pemantauan dan melaporkan hasilnya. Pemantauan juga dapat dilakukan oleh petugas, dalam hal ini petugas pengamat hama, penyuluh, atau petugas dinas perkebunan sendiri. Bagaimana melakukan pemantauan sangat tergantung pada apa yang dipantau, apakah yang dipantau adalah tanaman kakao sendiri, hama dan penyakit kakao, musuh alami hama dan penyakit kakao, keadaan lingkungan dan kehilangan hasil. Pemantauan tanaman dapat dilakukan dengan melihat secara langsung di lapangan. Pengamatan hama dan penyakit serta musuh alaminya biasanya dilakukan terhadap padat populasi, intensitas kerusakan, dan intensitas penyakit sebagai berikut: 1) Pengamatan padat populasi dilakukan dengan metode mutlak, metode nisbi, dan indeks populasi. Pengamatan padat populasi dikatakan mutlak bila padat populasi hasil pengamatan dapat dinyatakan dalam satuan pengamatan yang dapat diukur, misalnya jumlah larva per buah kakao atau jumlah ngengat per m 3 udara. Pengamatan padat populasi dikatakan nisbi apabila padat populasi hasil pengamatan tidak dapat dinyatakan dalam satuan pengamatan yang dapat diukur, misalnya jumlah ngengat per sekali ayun jaring serangga. Pengamatan padat populasi dikatakan bersifat sebagai indeks populasi bila yang diamati hanya bekas hama atau penyakit, misalnya jumlah lubang gerekan, jumlah kepompong, dan sebagainya. 2) Intensitas kerusakan tanaman oleh hama dan intensitas penyakit. Intensitas kerusakan tanaman oleh hama sering disebut intensitas serangan. Istilah serangan sebenarnya kurang tepat sebab ketika dilakukan pengamatan yang diamati bukanlah proses hama menyerang tetapi kerusakan yang diakibatkan oleh terjadinya serangan pada tanaman. Karena keduanya menggunakan intensitas maka pengamatan intensitas kerusakan karena serangan hama maupun intensitas penyakit dilakukan dengan prinsip yang sama, yang selama ini umumnya dilakukan dengan pemberian skor berdasarkan kepada keadaan kerusakan atau penyakit tertentu. Karena dilakukan dengan memberikan skor maka hasil pengamatan akan sangat tergantung pada siapa yang memberikan skor. Hal ini bisa diperbaiki bila pemberian skor disertai dengan panduan gambar kerusakan atau keadaan penyakit berskala. Pilihan lain yang dapat dilakukan untuk mengamati kerusakan adalah dengan menghitung jumlah bagian-bagian satuan pengamatan yang rusak. Misalnya jika satuan pengamatan adalah buah kakao maka intensitas kerusakan atau intensitas penyakit dapat diamati dengan menghitung jumlah seluruh biji dan jumlah biji rusak atau bergejala penyakit yang terdapat dalam buah. Bila yang diamati adalah daun maka intensitas kerusakan atau intensitas penyakit dapat dinyatakan dengan menghitung jumlah lembar daun yang rusak atau bergejala penyakit 0, >0-25, >25-50, >50-75, dan >75-100%. Cara ini akan memberikan hasil yang lebih konsisten daripada melakukan pengamatan dengan skor. Pemantauan hasil dapat dilakukan dengan penghitungan atau penimbangan langsung atau melalui wawancara dengan petani. Pemantauan harga juga dapat dilakukan dengan melakukan wawancara dengan petani atau dengan pedagang perantara dan pedagang pengumpul. Pemantauan faktor lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran secara langsung di lapangan atau dengan mengumpulkan data sekunder dari instansi terkait, misalnya data suhu dan curah hujan dari stasiun klimatologi terdekat.

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

F. Bagaimana Menggunakan Hasil Pemantauan untuk Melakukan Peramalan Hama dan Penyakit? Peramalan hama atau penyakit merupakan proses untuk menentukan akan terjadinya letusan hama atau penyakit di masa yang akan datang dengan menggunakan data hasil pemantauan yang tersedia pada saat ini. Istilah yang lebih tepat sebenarnya adalah prakiraan, sebagaimana digunakan dalam prakiraan cuaca. Prakiraan dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik tertentu yang didasarkan pada data yang tersedia, sedangkan peramalan mengandung makna meramal seperti misalnya paranormal meramal masa depan seseorang. Peramalan hama dan penyakit tidak perlu dilakukan terhadap semua jenis hama dan penyakit. Peramalan diperlukan bila: 1) Hama dan penyakit merupakan hama dan penyakit sewaktu-waktu, seperti misalnya kutuperisai dan kutu kapuk pada kelapa. Hama dan penyakit yang selalu ada tidak perlu diramalkan lagi, misalnya penyakit busuk batang vanili. 2) Peramalan hanya diperlukan terhadap hama dan penyakit penting pada komoditas yang bernilai ekonomis tinggi. Hal ini karena peramalan memerlukan tenaga, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. 3) Peramalan diperlukan hanya bila dapat dilakukan pengambilan keputusan dan tindakan pengendalian secara cepat. Bila pengambilan keputusan harus mengikuti proses birokrasi yang rumit serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melakukan tindakan pengendalian tidak tersedia maka peramalan tidak akan ada manfaatnya. 4) Peramalan diperlukan bagi hama dan penyakit penting yang telah tersedia teknologi pengendaliannya. Bila teknologi pengendalian belum tersedia maka peramalan akan mubazir. 5) Peramalan akan bermanfaat bila petani siap berpartisipasi melakukan tindakan pengendalian yang perlu dilakukan. Untuk melakukan peramalan diperlukan suatu model. Model merupakan penyederhanaan dari proses saling ketergantungan yang terjadi dalam agroekosistem yang akan berpengaruh terhadap perkembangan padat populasi hama. Model dapat bersifat analitik atau simulasi. Suatu model analitik menerangkan perkembangan padat populasi hama atau intensitas penyakit berdasarkan pengaruh jumlah faktor yang terbatas, biasanya berdasarkan pengaruh satu atau dua faktor. Suatu model simulasi menerangkan perkembangan padat populasi hama atau intensitas penyakit berdasarkan pengaruh banyak faktor. Yang dimaksud dengan faktor di sini adalah segala sesuatu yang berpengaruh terhadap naik atau turunnya padat populasi hama atau intensitas penyakit. Proses untuk merangkaikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan padat populasi hama atau intensitas penyakit tersebut dikenal dengan pemodelan. Pemodelan analitik maupun simulasi pada saat ini dilakukan terutama dengan bantuan komputer. Model-model analitik maupun simulasi tersebut dituliskan dalam bentuk program komputer. Data hasil pemantauan kemudian dimasukkan ke dalam program sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) berupa padat populasi hama atau intensitas penyakit yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Untuk lebih memahami bagaimana peramalan hama dan penyakit dilakukan misalkan perkembangan penggerek buah kakao dipengaruhi oleh suhu udara, curah hujan bulanan, kecepatan angin rata-rata bulanan, dan padat populasi musuh alami. Misalkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap padat populasi penggerek buah kakao yang dinyatakan sebagai X adalah berturut-turut A, B, C, dan D. Dalam hal ini nilai X tergantung pada nilai A, B, C, dan D, sedangkan nilai D tergantung pada nilai X, A, B, dan C. Hubungan ketergantungan tersebut dinyatakan dalam persamaan matematik yang kemudian diprogram ke dalam komputer. Ketika ke dalam program dimasukkan nilai A, B, C, dan D maka akan dihasilkan nilai X, misalnya, pada waktu satu bulan yang akan datang. Contoh peramalan yang dilakukan dengan bantuan komputer adalah BLITECAST untuk meramalkan penyakit hawar lambat (late blight) pada tanaman kentang di AS.

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

Daftar Pustaka Burrage, S.W. 1978. Monitoring the Environment in Relation to Epidemiology. In: Plant Disease Epidemiology. Pp. 93-101. P.R. Scott & A. bainbridge (eds.). Blackwell, Oxford (8) Campbell, C.L., and L.V. Madden, 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John Wiley & Sons, New York (2, 4, 7) Danthanarayana, W. 1975. Integrated Pest Management: Part 1, Population Ecology. Universitas Udayana, Denpasar. (5) Fritschen, L.J., & L.W. Gay 1979. Environmental Instrumentation. Springer, Berlin (8). Hunt, R. 1982. Plant Growth Curves: The Functional Approach to Plant Growth Analysis. University Park Press, Baltimore (4). Johnson, L.F., & E.A. Curl 1972. Methods for Research on the Ecology of Soil-Borne Plant Pathogens. Burgess Publishing Company, Minneapolis (10). Kranz, J., & J. Rotem 1988. Experimental Techniques in Plant Disease Epidemiology. Springer-Verlag, Berlin (7). Ludwig, J.A., & J.F. Reynolds 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. John Wiley & Sons, New York (6, 11). Nazir, 1985. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta (1, 3) Pollet, A., & Nasrullah 1994. Penggunaan Metode Statistika untuk Ilmu Hayati. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (11). Poole, R.W. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. McGraw-Hill Kogakusha, Tokyo. (5) Rosenberg, N.J., B.L. Blad, & S.B. Verma 1983. Microclimate: The Biological Environment. John Wiley & Sons, New York (8). Singarimbun, M., & S. Effendi (eds.) 1995. Metode Penelitian Survai. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta (1, 3) Southwood, T. R. E. 1978. Ecological Methods With Particular Reference to the Study of Insect Populations. John Wiley & Sons, New York. (5) Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. (5)

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

You might also like