You are on page 1of 16

Pendahuluan Sudah berabad-abad ikterus neonatorum menjadi objek pengamatan pada bayi yang baru lahir (newborn).

Pada tahun 1974, Junker, dalam Conspectus Medicinae Theoreticopraticae, mulai membedakan antara true jaundice atau ikterik yang terjadi sementara pada bayi, terutama segera setelah waktu kelahiran. Orth (1875) menemukan adanya bilirubin pada ganglia basalis bayi yang menderita ikterik yang berat, yang kemudian dinamakan kernikterus oleh Schmorl (1903). Seorang perawat dari Inggris melaporkan bahwa sedikit pencahayaan matahari pada bayi yang menderita ikterik dapat menghilangkan pigmentasi kuning pada kulit bayi tersebut. Ikterus neonatorum terjadi pada hampir dua per tiga pada minggu pertama setlah kelahiran bayi. Ikterik terjadi sebagai hasil deposisi blirubin pada kulit dan membrane mukosa. Pada kebanyakan bayi yang baru lahir, hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Yang perlu diperhatikan yaitu apabila konsentrasi bilirubin yang tinggi berpotensi terjadinya kernikterus dan konsentrasi bilirubin yang rendah pada bayi preterm. Meskipun jarang, kernikterus dapat menjadi faktor penyebab (preventable) cerebral palsy. Hiperbilirubinemia ditangani dengan serius di 1950-1970 karena tingginya angka kejadian penyakit hemolitik Rh dan kernikterus. Namun, data dari tahun 1980-1990 menunjukkan bahwa dokter anak mungkin terlalu berlebihan dalam melaksanakan pendekatan kasus tersebut, sehingga menimbulkan kesan kernikterus sebagai penyakit pada masa tersebut. Dokter anak kemudian menjadi kurang agresif, mengeluarkan bayi yang baru lahir dari ruang perawatan sebelum konsentrasi bilirubin mencapai puncak. Faktor-faktor ini memberikan kontribusi terjadinya peningkatan kernikterus pada 1990-an. (4) Karena peristiwa ini, American Academy of Pediatrics (AAP) Subcommittee mengembangkan pedoman pendekatan dan penatalaksanaan ikterus neonatal. (5) Metabolisme Bilirubin Ketika eritrosit mengalami hemolisis, terjadi pelepasan hemoglobin. Dalam sistem retikuloendotelial, heme terdegradasi menjadi biliverdin dan karbonmonoksida oleh enzim

heme-oksigenase. Biliverdin dirubah menjadi bilirubin indirek oleh bilirubin reduktase. Biliribun indirek berikatan dengan albumin dan dibawa ke hati. Bilirubin indirek dapat menjadi bebas bila

albumin tersaturasi atau adanya pemberian obat-obatan (seperti: sulfisoxazole, streptomycin, chloramphenicol, ceftriaxone, dan ibuprofen). Bilirubin indirek yang tidak terikat ini dapat melintasi sawar darah otak dan menimbulkan toksik pada sistem saraf pusat. (5) (6) Setelah bilirubin indirek mencapai hati, kemudian akan mengalami konjugasi dengan uridine diphosphate glucuronosyl transferase (UGT1A1). UGT1A1 hepar meningkat pesat pada beberapa minggu awal setelah kelahiran. Pada usia gestasi 30-40 minggu, kadar UGT1A1 mencapai 1% kadar dewasa, kemudian mencapai kadar dewasa pada usia 14 minggu. Bilirubin direk diekskresi ke usus melalui kandung empedu dan duktus biliaris. Bakteri usus dapat medekonjugasi bilirubin, sehingga dapat direabsorpsi darah. Bilirubin sisanya diekskresi melalui tinja.

Faktor Penyebab Hiperbilirubinemia pada Neonatus Nonpatologis Ikterik fisiologis. Ikterik fisiologis adalah hiperbilirubinemia indirek yang terjadi satu hari postnatal dan berlangsung selama satu minggu. Konsentrasi bilirubin serum total mencapai puncaknya pada 3-5 hari postnatal dan menurun hingga mencapai kadar orang dewasa setelah beberapa minggu. Konsentrasi bilirubin serum total bervariasi nilainya pada bayi, tergantung pada ras, faktor genetik, dan jenis makanan. Pada awalnya, konsentrasi bilirubin serum total sekitar 1,5 mg/dL (25,7 mol/L). Berdasarkan penelitian pada bayi Afrika-Amerika dan berkulit putih, nilai puncak konsentrasi bilirubin serum total adalah sekitar 5,5 mg/dL (94,1 mmol/L) pada hari ketiga postnatal. Nilai puncak konsentrasi bilirubin serum total rata-rata lebih tinggi pada bayi Asia yaitu sekitar 10 mg/dL (171,0 mol/L). Pada usia kelahiran 96 jam, 95% bayi mempunyai konsentrasi bilirubin serum total kurang dari 17 mg/dL (290,8 mol/L). Sehingga bilirubinemia di atas nilai tersebut tidak lagi dianggap sebagai ikterik fisiologis. Ikterik fisiologis pada bayi terjadi karena beberapa alasan. Bayi memproduksi bilirubin dalam jumlah besar namun tidak mempunyai kemampuan yang seimbang untuk

mengeluarkannya dari tubuh. Peningkatan produksi bilirubin juga dapat sebagai hasil dari adanya peningkatan hematokrit dan volume eritrosit per berat badan.dan pemendekan masa hidup eritrosit (70 hingga 90 hari). (10). Yang terakhir, pada bayi, enzim yang berperan dalam proses

konjugasi bilirubin dan memfasilitasi ekskresi dari tubuh yaitu hepatic glucuronosyl transferase. (5) (10) Breastfeeding/ Human Milk Jaundice Breastfeeding jaundice adalah penyebab paling umum dari hiperbilirubinemia indirek. (6) (8) Menyusui berlebihan pada umumnya terjadi pada minggu pertama postnatal karena adanya kekurangan kalori, yang menyebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Dehidrasi ringan dan tertundanya pasase mekonium juga memiliki peranan. Keberhasilan dalam menyusui mengurangi risiko hiperbilirubinemia. Bayi harus diberi makan setidaknya 8 sampai 12 kali dalam hari-hari pertama setelah lahir untuk membantu meningkatkan pasokan ASI. Cara terbaik untuk menilai keberhasilan menyusui adalah dengan memonitor output urin, tinja, dan berat badan. Bayi baru lahir harus mempunyai 4 sampai 6 diapers basah, dan 3 sampai 4 kali buang air besar dengan tinja yang kuning per harinya sampai dengan 4 hari pertama setelah lahir. Bayi menyusui sebaiknya tidak kehilangan berat badan lebih dari 10% pada hari ke-3 dan 4 postnatal. Formula tambahan mungkin diperlukan jika bayi mengalami kehilangan berat badan yang signifikan, output urin yang buruk, asupan kalori buruk, dan gangguan buang air besar. (4) (7). Air dan dekstrosa sebaiknya tidak digunakan sebagai suplemen karena tidak dapat mencegah hiperbilirubinemia tetapi malah menyebabkan hiponatremia. Breastfeeding jaundice onset lambat biasanya terjadi pada rentang hari ke-6 hingga 14 setelah lahir dan dapat bertahan selama 1 sampai 3 bulan. Beberapa teori hipotesis telah dikemukakan untuk menemukan penyebab breastfeeding jaundice ini, tetapi mekanisme pasti masih belum jelas sepenuhnya, Salah satu hipotesis meyakini bahwa ASI mengandung

glukoronidase dan asam lemak non-esterifikasi yang menghambat enzim konjugasi bilirubin pada hati. Breastfeeding jaundice merupakan penyebab paling mungkin terjadinya

hiperbilirubinemia indirek pada kelompok umur ini, tetapi meskipun jarangm defek konjugasi dapat terjadi. Jika diagnosis pasti masih dipertanyakan, proses menyusui dihentikan selama 48 jam untuk mengamati apaakh terjadi penurunan konsentrasi bilirubin serum total. Selama waktu tersebut, sang ibu sebaiknya tetap memompa keluar ASI untuk mempertahankan pasokan ASI dan memberikan bayi suplemem formula. Puncak konsentrasi bilirubin serum total biasanya

antara 12-20mg/dL (205,2-342,1 mol/L) dan diturunkan 3mg/dL (51,3 mol/L) per hari. Jika penurunan telah dilakukan, proses menyusui dapat dimulai kembali. (6) Prematuritas Meskipun mekanisme terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi preterm sama dengan pada bayi cukup bulan, namun pada bayi preterm lebih sering terjadi dan lebih berat serta berlangsung lebih lama. Hal ini terkait dengan imaturitas pada eritrosit, hepatosit, dan traktus gastrointestinal. Bayi preterm yang sakit sangat mungkin mengalami penundaan pemberian nutrisi enteral awal, yang berdampak pada peningkatan sirkulasi enterohepatik. Pada bayi preterm kerincterus sangat jarang terjadi. Namun begitu, kernikterus pada bayi preterm terjadi pada konsentrasi bilirubin serum total yang lebih rendah, bahkan bisa tanpa gejala neurologis akut. (11) Masih belum pasti pada nilai berapa bilirubin dapat menyebabkan cedera/kerusakan pada sistem saraf pusat. Konsentrasi biirubin serum total sekitar 10-14 mg/dL (171-239,5 mol/L) dapat menimbulkan disfungsi neurologis ringan pada bayi preterm (11) (12) Patologis Hiperbilirubinemia indirek Hiperbilirubinemia patologis pada bayi baru lahir dapat dikategorikan menjadi empat: peningkatan produksi bilirubin, defisiensi pengambilan oleh hepar, gangguan proses konjugasi, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (tabel 1). (5). Peningkatan produksi terjadi pada bayi yang mengalami defisiensi enzim eritrosit, inkompatibilitas darah, atau defek struktural pada eritrosit. Inkompatibilitas ABO dapat menyebabkan anemia pada anak kelahiran pertama, tetapi inkompatibilitas rhesus jarang terjadi. Dokter anak juga sebaiknya mempertimbangkan adanya defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), khususnya pada bayi Afrika-Amerika. Defisiensi G6PD di Amerika Serikat terjadi pada 11-13% bayi baru lahir dan merupakan faktor risiko kernikterus. (8). Berbagai kondisi dapat menyebabkan hiperbilirubinemia melalui gangguan konjugasi bilirubin. Sindrom Gilbert, kelainan resesif autosom, pada sel hepatositnya mengalami penurunan aktivitas UGT1A1. Sehingga menimbulkan hiperbilirubinemia indirek ringan. Namun, ada kemungkinan berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat bila juga terjadi defisiensi G6PD. Pada sindrom Crigler-Najjar tipe I, terdapat defisiensi berat UGT1A1 yang

menimbulkan ensefalopati bilirubin pada beberapa hari awal hingga bulan setelah kelahiran. Sedangkan pada sindrom Crigler-Najjar tipe II, insidensi ensefalopati bilirubin rendah.

Hiperbilirubinemia direk Hiperbilirubinemia direk terjadi jika konsentrasi bilirubin direk lebih dari 1 mg/dL (17,1mol/L) bila konsentrasi bilirubin serum total 5 mg/dL (85,6 mol/L). JIka konsentrasi bilirubin serum total > 5 mg/dL (85,6 mol/L), hiperbiliribunemia direk adalah nilai bilirubin direk 20% dari konsentrasi bilirubin serum total. Peningkatan hiperbilirubinemia direk bias terkait dengan infeksi saluran kemih atau sepsis. Pada bayi berusia > 3 minggu, bilirubin direk dan bilirubin total seharusnya diukur untuk menilai adakah kolestasis atau atresia bilier, yang keduanya ditandai dengan konsentrasi bilirubin direk yang meningkat. Selain itu juga diperlukan screening lainnya untuk menilai faktor lain yang dapat menyebabkan hiperbilrubinemia direk yaitu galaktosemia dan abnormalitas tiroid.

Kernikterus Kernikterus pada awalnya diartikan sebagai adanya pewarnaan pada serebellum dan brainstem nuclei. Perubahan neurologis berupa ensefalopati bilirubun akut yang terjadi pada minggu pertama postnatal akibat toksisitas bilirubin. Kernikterus adalah sequel neurologis yang sifatnya kronis atau permanen akibat toksisitas bilirubin. (13). Nilai bilirubin pasti yang dapat menyebabkan toksik masih belum jelas karena banyak faktor yang berperan dlam terjadinya toksisitas. Bilirubin dapat melewati sawar darah otak dan memasuki jaringan otak jika tidak terkonjugasi dan tidak terikat pada albumin natau jika ada gangguan pada sawar darah otak. Asfiksia, asidosis, hipoksia, hipoperfusi, hiperosmolaritas, dan sepsis dapat mengganggu sawar darah otak, di mana bilirubin yang terikat dengan albumin dapat memasuki jaringan otak. Dokter anak sebaiknya mempertimbangkan adanya toksisitas bilirubin akut pada bayi bila tidak ditemukan tanda hemolisis dan konsentrasi bilirubin serum total > 25 mg/dL (427,6 mol/L) dan jika konsentrasi bilirubin serum total > 20 mg.dL (342,1 mol/L) pada bayi dengan hemolisis positif. Toksisitas bilirubin akut terjadi dalam tiga fase selama beberapa minggu awal setalah lahir. Fase I berlangsung pada hari 1-2 didapatkan bayi malas/lemah menghisap, menangis keras, stupo, hipotoni, dan kejang. Fase II terjadi pada tengah minggu pertama ditandai dengan hipertoni otot ekstensor, opisthotonus, retrocollis, dan demam. Fase III terjadi setelah minggu I postnatal dan ditandai dengan hipertoni. Jika konsentrasi bilirubin tidak berkurang, morbiditas jangka panjang dapat terjadi pada BIND. Cedera neuronal paling banyak terjadi pada ganglia basalis dan brainstem nuclei, tetapi hipokampus dan serebelum juga bisa terkena. (12) BIND atau kernikterus terjadi dalam dua fase. Fase I tampak pada tahun pertama post natal dan ditandai dengan hipotoni, refleks aktif pada deep tendon, refleks leher tonik dan keterlambatan kemampuan motorik. Fase II, terjadi setelah tahun pertama postnatal, didapatkan cerebral palsy koreoatetotik, ballismus, tremor, upward gaze, diplasia jaringan dental, kehilangan pendengaran sensorineural, dan gangguan kognitif. (6)

Evaluasi Berikut ini adalah rekomendasi AAP Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Evaluasi hiperbilirubinemia sebaiknya dimulai dari sebelum kelahiran dan berlanjut sampai beberapa minggu awal postnatal. Anemia hemolitik yang disebabkan isoantibodi bayi adalah faktor risiko utama terkadinya hiperbilirubinemia berat dan neurotoksisitas bilirubin. (13). Inkompatibilitas ABO dapar terjadi bila golongan darah ibu O dan golongan darah bayi adalah A atau B. (13) Inkompatibilitas ABO ibu-bayi terjadi pada hampir 15% kehamilan, dengan hemolisis simptomatis hanya tampak pada 5%nya. Hiperbilirubinemia pada bayi dengan kelainan tersebut biasanya terdeteksi pada 12-24 jam postnatal. (14) Oleh karena itu, pada semua wanita hamil, ABO dan Rh harus diperiksa untuk screening antibodi isoimun yang tidak wajar. Jika pengujian tidak dilakukan atau jika ibu memiliki Rh-negatif, darah tali pusat bayi harus dievaluasi untuk uji Coombs, golongan darah dan penentuan Rh. Jika bayi yang baru lahir telah dinilai dan didatkan kesimpulan yang tetap dan golongan darah ibu bukan O dengan Rh positif, darah tali pusat tidak perlu diuji. (13) Setelah lahir, bayi sebaiknya diperiksa atau dinilai ikteriknya minimal setiap 8-12 jam. Ikterik dapat dideteksi dari pemeriksaan fisik, tetapi kulit yang lebih gelap dapat menimbulkan kesulitan dalam proses pemeriksaan. Ikterik memiliki sifat progresi sefalokaudal, tetapi penilaian visual dalam prediksi konsentrasi bilirubin serum total sifatnya tidak reliabel. Penilaian terbaik ikterik pada bayi menggunakan cahaya siang hari, jika tidak ruangan yang cukup terang, Pada ikterik, dilakukan penilaian terhadap sklera, membran mukosa, warna kulit dan jaringan subkutan dapat dinilai dengan melakukan blanching kulit melalui tekanan digital. Untuk bayi yang mengalami ikterik pada 24 jam pertama postnatal, klinisi sebaiknya menentukan apakah hal ini tampak berlebihan untuk usia kehamilannya. Jika ada keraguan dalam evaluasi visual, bilirubin transkutaneous (TcB) atau TSB harus dinilai. Perangkat yang lebih baru yang digunakan untuk mendeteksi TcB telah terbukti berkorelasi baik dengan TSB. (15) Setelah TcB atau TSB diukur, hasilnya harus ditafsirkan berdasarkan nomogram pada Gambar 1. Penilaian ulang harus didasarkan pada zona di mana terjadi penurunan bilirubin dalam nomogram. Adalah penting untuk menyadari bahwa nomogram didasarkan pada bayi yang usia gestasinya lebih besar dari 35 minggu dengan tidak adanya bukti mengalami penyakit hemolitik. Bayi preterm atau bayi yang memiliki faktor risiko toksisitas bilirubin beresiko tinggi tetap memilik risiko tinggi mengalami toksisitas bilirubin pada konsentrasi TSB yang lebih

rendah. Oleh karena itu, nomogram dapat menjadi tidak akurat dalam memprediksi risiko bayi terutama derajat hiperbilirubinemia pada bayi berisiko tinggi tersebut. (13)

Fig 1. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum bilirubin for subsequent


significant hyperbilirubinemia in healthy term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103: 614. 1999 by the American Academy of Pediatrics.

Terkadang, pemeriksaan laboratoris lebih jauh diperlukan untuk menentukan penyebab hiperbilirubinemia. Jika penyebab pasti belum ditemukan setelah pemeriksaan menyeluruh terhadap faktor risiko yang ada dan riwayat hiperbilirubinemia dalam keluarga, lakukan evaluasi berkelanjutan pada bayi yang mendapat fototerapi atau ketika konsentrasi bilirubin serum total melewati persentil nomogram. Hitung darah lengkap dengan pemeriksaan usap darah dan konsentrasi bilirubin direk juga harus diperiksa, Hitung retikulosit, pengukuran G6PD, dan penilaian end-tidal carbon monoxide (ETCO) (jika tersedia) dapat dipertimbangkan. (12) ETCO adalah indikator yang baik dalam penilaian produksi bilirubin. Seperti dijelaskan sebelumnya, Seperti disebutkan sebelumnya, biliverdin dan karbon monoksida adalah produk sampingan dari pemecahan bilirubin. Pengukuran ETCO dapat mengidentifikasi bayi dengan peningkatan

produksi bilirubin dan mungkin bayi yang memiliki penyakit hemolitik. (5) Konsentrasi bilirubin serum total harus diperiksa ulang dalam 4-24 jam, tergantung pada usia bayi, nilai bilirubin serum total dan faktor risiko. Jika bilirubin serum total tetap meningkat meskipun diberikan fototerapi atau jika bayi sedang dipertimbangkan untuk transfusi tukar maka jumlah retikulosit, rasio bilirubin / albumin, konsentrasi G6PD dan ETCO sebaiknya diperiksa. Urinanalisa dan

kultur urin diperlukan jika bayi mengalami peningkatan nilai bilirubin direk. Jika berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit terdapat indikasi hiperbilirubinemia, evaluasi sepsis perlu dilakukan. Meskipun human milk jaundice adalah penyebab umum dari penyakit kuning (jaundice atau ikterik) berkepanjangan pada bayi ASI, perhatian mengenai kondisi ini harus dikesampingkan dulu. Bilirubin total dan direk harus diukur pada bayi yang tumbuh dengan ikterik atau ketika ikterus berlanjut setelah usia 3 minggu. Selain itu, riwayat kelahiran harus ditinjau khususnya untuk menyingkirkan adanya galaktosemia dan hipotiroidisme kongenital. Peningkatan nilai bilirubin direk harus segera evaluasi untuk kolestasis. ( 13 ) Karena konsentrasi TSB mencapai puncak pada usia 3-5 hari, setelah bayi meninggalkan kamar perawatan, penting untuk melakukan penilaian risiko pada semua bayi sebelum mereka meninggalkan rumah sakit, dan tindak lanjut (follow up) evaluasi yang tepat harus ditekankan. Meskipun ada beberapa kontroversi seputar penilaian skrining dan risiko, berdasarkan bukti yang kurang cukup, Sub-komite AAP telah merekomendasikan menilai TSB atau TcB pada semua bayi yang baru lahir. ( 16 ) nilainya harus diplot pada nomogram untuk menilai tingkat risiko. (13 ) Beberapa penulis menyarankan untuk memeriksa TSB pada semua bayi yang baru lahir ketika riwayat kelahiran diperoleh. Penulis lain berpendapat bahwasanya tidak cukup data untuk membenarkan skrining pada semua bayi. ( 16 ) ASI eksklusif, fototerapi pada saudara, usia kehamilan kurang dari 37 minggu, ikterus pada 24 jam pertama, penyakit hemolitik, ras Asia Timur, cephalohematoma atau memar signifikan, dan TSB atau TcB dalam zona risiko tinggi adalah klinis umum yang relevan dengan faktor risiko hiperbilirubinemia berat. Setiap faktor risiko individual memiliki sedikit nilai prediktif, tetapi semakin besar jumlah faktor risiko, semakin besar kemungkinan bayi tumbuh dengan hiperbilirubinemia berat. Secara umum, bayi yang dominan diberi susu formula memiliki kemungkinan sangat rendah dalam berkembangnya hiperbilirubinemia berat. ( 13 ) Jangka waktu untuk tindaklanjut (follow up) seorang dokter sekali bayi keluar dari rumah sakit tergantung pada usia bayi pada saat keluar rumah sakit. Seorang bayi baru lahir dan keluar pada usia 48 - 72 jam harus dievaluasi untuk ikterik, pertambahan atau penurunan berat badan,

pola feses, pola berkemih, dan kecukupan asupan oral sampai

usia 120 jam. Anak harus

dievaluasi pada usia 96 jam jika keluar antara 24-48 jam dan pada usia 72 jam jika keluar sebelum usia 24 jam. Bayi keluar sebelum usia 48 jam mungkin membutuhkan kunjungan kedua untuk memastikan evaluasi selama waktu ketika puncak TSB. Bayi yang memiliki faktor risiko perlu lebih sering mendapat tindak lanjut evaluasi. Jika tindak lanjut tidak dapat dipastikan, penundaan waktu merupakan pilihan yang tepat sampai tindak lanjut ditentukan atau sampai bayi berusia lebih dari 72-96 jam. Salah satu langkah yang paling penting adalah edukasi semua orang tua mengenai risiko dan penilaian hiperbilirubinemia serta perlunya tindak lanjut evaluasi. ( 13 ) Pengobatan Membantu ibu menyusui dengan tepat dapat mengurangi kemungkinan hiperbilirubinemia berat. Ibu harus menyusui setidaknya 8 sampai 12 kali dalam beberapa hari pertama setelah kelahiran untuk membantu dalam membawa pasokan susu. Ibu harus ditanya tentang kesulitan dan konsultasi laktasi yang terkait bila diperlukan. Pola feses (BAB), pola berkemih (BAK), dan berat bayi baru lahir merupakan indikator yang baik apakah bayi menerima ASI yang cukup. ( 6 )(8) Fototerapi Sejak adanya penemuan efek sinar matahari pada penurunan konsentrasi bilirubin pada tahun 1958 ( 2 ), kebutuhan transfusi karena hiperbilirubinemia berat telah menurun secara signifikan. (17 ) Fototerapi bekerja dengan mengubah bilirubin menjadi senyawa yang larut dalam air disebut lumirubin, yang diekskresikan dalam urin atau empedu tanpa memerlukan konjugasi di hati. Dua faktor terbesar dalam konversi bilirubin menjadi lumirubin adalah spektrum cahaya dan dosis total cahaya yang dikirimkan. Bilirubin merupakan pigmen kuning, sehingga paling kuat menyerap cahaya biru pada panjang gelombang 460 nm. ( 5 ) selain itu, efek fototerapeutik hanya terlihat ketika panjang gelombang dapat menembus jaringan dan menyerap bilirubin. Lampu dengan output di 460-490-nm kisaran yang paling efektif dalam mengobati hiperbilirubinemia. Beberapa jenis unit fototerapi yang digunakan saat ini mengandung daylight, cool white, blue, atau special blue uorescent tubes atau lampu tungsten-halogen. Selimut serat optik (fiber optic) juga tersedia untuk memberikan cahaya di regio biru-hijau. Lampu neon

biru khusus (special blue uorescent tubes )adalah yang paling efektif dan harus digunakan bila diperlukan fototerapi intensif. ( 5 ) ( 17 ) Sinar ultraviolet tidak digunakan untuk fototerapi. ( 17 ) Walaupun sinar matahari telah ditunjukkan untuk menurunkan konsentrasi bilirubin, itu tidak dianjurkan karena sulit untuk menentukan jangka waktu yang aman untuk mengekspos bayi telanjang dengan sinar matahari tanpa menjadi terbakar oleh matahari. ( 13 ) Total dosis tersalurkan atau spektrum radiasi, dipengaruhi secara signifikan oleh jarak bayi dari cahaya dan luas permukaan yang terkena. Oleh karena itu, bayi harus ditempatkan sedekat mungkin terhadap cahaya. Menempatkan bayi dalam keranjang bayi daripada inkubator memungkinkan cahaya untuk lebih dekat dengan bayi. Bila menggunakan tabung neon, memungkinkan untuk membawa sumber cahaya dalam jarak 10 cm dari bayi tanpa overheating. Lampu halogen dapat membakar bayi, sehingga petunjuk pabrik harus diikuti untuk menentukan jarak yang tepat antara sumber cahaya dan bayi. ( 13 ) ( 17 ) Mengekspos bayi sebanyak mungkin sambil menutup matanya menghasilkan penurunan konsentrasi bilirubin lebih cepat. Hal ini mungkin tidak perlu untuk membuang popok kecuali konsentrasi bilirubin mendekati tingkat yang memerlukan transfusi pengganti. Keranjang harus dilapisi dengan aluminium foil atau kain putih ketika mendekati titik transfusi pengganti (exchange transfusion). Pada kebanyakan kasus, diperbolehkan untuk mengganggu fototerapi untuk memberi makan bayi atau untuk kunjungan singkat orangtua. Fototerapi terus menerus harus digunakan jika transfusi pengganti mungkin. ( 13 ) Sementara bayi yang menerima fototerapi, suhu dan status hidrasinya harus dimonitor. Karena bilirubin diekskresikan dalam urin dan feses, penting untuk memastikan output urin yang baik. Jika bayi mengalami dehidrasi, cairan intravena harus mulai diberikan, nutrisi oral cukup untuk bayi yang tidak mengalami dehidrasi. Melengkapi menyusui dengan formula adalah pilihan untuk mengurangi sirkulasi enterohepatik dan menurunkan TSB lebih cepat. ( 13 ) Inisiasi fototerapi harus didasarkan pada konsentrasi TSB, usia dalam jam, dan faktor risiko, seperti yang direkomendasikan dalam pedoman AAP ( Gambar. 2 ). Nilai TSB harus digunakan, dan nilai bilirubin direct tidak boleh dikurangkan dari total saat menentukan kapan memulai terapi. Tidak ada pedoman yang diterbitkan untuk bayi yang lahir lebih awal dari usia kehamilan 35 minggu. Bila menggunakan fototerapi intensif, penurunan 0,5 mg / dL (8,6 umol /

L) per jam bisa diharapkan dalam 4-8 jam pertama. Ketika TSB tidak turun atau meningkat selama fototerapi, kemunginan terjadi hemolisis berkelanjutan.

Gambar 2. Pedoman untuk fototerapi pada bayi usia kehamilan 35 minggu atau lebih. reproduksi dengan izin dari
komite untuk hiperbilirubinemia Pediatrics.. 2004; 114:297-316. 2004 oleh American Academy of Pediatrics.

Penghentian fototerapi tidak terstandarisasi. Oleh karena itu, penilaian klinis dianjurkan. (5) Beberapa penulis menyarankan berhenti setelah bilirubin menurun 4-5 mg / dL (68,4-85,5 umol / L). ( 5 ) Sedangkan yang lain menyatakan bahwa nilai harus turun 13-14 mg / dL (222,4239,5 umol / L) jika anak masuk rumah sakit lagi dengan hiperbilirubinemia. Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa penghentian fototerapi menghasilkan rebound hiperbilirubinemia. Rebound adalah peristiwa langka pada bayi yang memiliki berat lebih dari 1.800 g dan tidak memiliki bukti hemolisis. ( 5 ) Apakah pengamatan ini berlaku untuk bayi yang lebih kecil atau mereka yang memiliki bukti hemolisis juga tidak pasti. kejadian rebound bilirubin tidak dikehendaki, namun jika seorang bayi masuk rumah sakit kembali, pengulangan pengukuran TSB atau klinis tindak lanjut dalam 24 jam adalah pilihan. ( 13 ) Fototerapi dilakukan dengan aman bagi jutaan bayi, tetapi efek samping yang jarang terjadi memang terjadi. Bayi yang memiliki ikterus kolestasis dengan hiperbilirubinemia

terkonjugasi meningkat memiliki potensi untuk berkembang menjadi bronze infant syndrome. Bayi yang terkena berkembang gelap (hitam), warna kulit, serum, dan urin coklat keabu-abuan,. Umumnya, sindrom ini memiliki signifikansi klinis yang kecil. Kontraindikasi hanya berlaku untuk fototerapi adalah porfiria bawaan atau riwayat keluarga porfiria. Fototerapi pada pasien ini dapat mengakibatkan kesilauan berat dan fotosensitifitas. ( 17 ) Transfusi pengganti (Exchange Transfusion) Transfusi pengganti adalah pengobatan pertama yang berhasil untuk hiperbilirubinemia berat. Prosedur ini harus dilakukan hanya di unit perawatan intensif neonatal oleh dokter terlatih. Sebuah transfusi pengganti untuk bayi adalah darurat medis, dan pasien harus dirawat secara langsung ke unit perawatan intensif neonatal, melewati gawat darurat. ( 9 ) Pada dasarnya, dokter cepat mengganti dari sirkulasi bilirubin dan antibodi yang berkontribusi pada hemolisis yang sedang berlangsung. Prosedur ini dilakukan dengan mengambil alikuot kecil dari darah bayi dan menggantinya dengan jumlah yang sama dengan sel darah merah donor melalui 1-2 kateter pusat hingga volume darah bayi telah diganti dua kali. ( 5 ) Sebuah infus albumin 1-4 jam sebelum prosedur dapat meningkatkan jumlah bilirubin yang dibuang. Gamma globulin intravena direkomendasikan untuk bayi yang memiliki penyakit hemolitik isoimmune jika TSB meningkat meskipun fototerapi atau TSB berada dalam 2 -3 mg / dL (34,2-51,3 umol / L) dari tingkat untuk transfusi pengganti dengan harapan menghindari suatu transfusi pengganti. Dosis lain dapat diberikan dalam 12 jam, jika diperlukan. ( 13 ) Gambar 3 menunjukkan pedoman untuk memulai transfusi pengganti. Transfusi pengganti harus dimulai segera pada bayi kuning yang menunjukkan tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut, bahkan jika nilai TSB jatuh. Faktor risiko untuk hiperbilirubinemia berat dan rasio albumin / bilirubin harus diperhitungkan ketika mempertimbangkan kapan harus memulai transfusi pengganti. ( 13 )

Gambar 3. Pedoman untuk transfusi pengganti pada bayi usia kehamilan 35 minggu atau lebih '. Direproduksi
dengan izin dari komite untuk hiperbilirubinemia Pediatrics.. 2004; 114:297-316. 2004 oleh American Academy of Pediatrics.

Meskipun transfusi pengganti berhasil pada bayi yang memiliki hiperbilirubinemia berat, ada banyak komplikasi, termasuk infeksi, trombosis vena portal, trombositopenia, necrotizing enterocolitis, ketidakseimbangan elektrolit, penyakit graft versus host, dan bahkan kematian. Tingkat komplikasi dilaporkan sekitar 12%. ( 5 ) Karena faktor-faktor risiko, fototerapi harus dimaksimalkan untuk mengurangi kebutuhan untuk transfusi pengganti. ( 13 ) KESIMPULAN Kernikterus, meskipun sebuah peristiwa langka, merupakan penyebab cerebral palsy yang bisa dicegah. Sekarang bayi yang keluar dari rumah sakit di usia awal, penting untuk mempertimbangkan skrining TcB atau TSB sebelum pulang karena penilaian visual tidak selalu dapat diandalkan. Hal ini sama pentingnya untuk mengatur tindak lanjut evaluasi setelah keluar dari rumah sakit, idealnya dalam 48 jam, untuk skrining tambahan. Ibu harus didekasi tentang menyusui untuk memastikan bahwa bayi menerima asupan kalori yang memadai dan

pemantauan tinja dan output urin. Berat badan dapat diperiksa pada kunjungan follow-up. Ketika mengevaluasi konsentrasi bilirubin, nomogram dapat digunakan untuk memandu inisiasi fototerapi dan transfusi pengganti. Pedoman dan nomogram diterbitkan dapat mendukung penilaian klinis dan pendekatan individual terhadap bayi yang memiliki hiperbilirubinemia. Ringkasan

Berdasarkan bukti penelitian yang kuat, menyusui, prematuritas, penyakit kuning yang signifikan saudara sebelumnya, dan riwayat ikterus sebelum pulang dari perawatan adalah faktor-faktor risiko yang paling umum yang terkait dengan hiperbilirubinemia berat. ( 13 )

Berdasarkan penelitian mengevaluasi manfaat vs kerugian, ikterus pada 24 jam pertama setelah kelahiran bukan ikterus fisiologis dan memerlukan evaluasi lebih lanjut.

Semua bayi yang baru lahir harus menjalani penilaian risiko untuk hiperbilirubinemia sebelum keluar dari perawatan dan memiliki evaluasi yang tepat follow-up setelah pulang.

Penilaian visual penyakit kuning tidak bisa diandalkan untuk menilai TSB; dokter harus memeriksa baik TSB atau TcB ketika ragu-ragu.

Usia bayi dalam jam yang digunakan ketika mengevaluasi dan mengelola konsentrasi bilirubin.

You might also like