You are on page 1of 13

PENDAHULUAN

Setelah lebih dari enam tahun, otonomi daerah di Indonesia masih menyisakan tantangan. Otonomi daerah tidak hanya mentransfer kewenangan dan sumber keuangan, tetapi juga mendorong terjadinya praktek-praktek penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara di daerah. Namun, mulai terlihat adanya inisiatif untuk mendorong ke arah pemerintahan yang baik, antara lain upaya pemberantasan korupsi yang meningkat terutama dalam dua tahun terakhir ini, yang diiringi liputan media yang luas. Salah satu pembenahan yang dilakukan pemerintah pusat untuk pelaksanaan otonomi daerah adalah memperbaiki sistem keuangan negara. Pemerintah, misalnya, menerapkan sistem penganggaran yang disebut sebagai Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) / Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) yang dipercaya dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, termasuk pemerintah, DPRD dan bahkan masyarakat. Sejak sistem ini diterapkan di berbagai sektor dan lembaga pemerintahan di Indonesia tahun 2003, banyak sekali pengalaman yang telah diperoleh.

PEMBAHASAN
REFORMASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN a. Tonggak Sejarah Reformasi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undangundang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan produk undang-undang yang menjadi tonggak sejarah reformasi di bidang perencanaan dan penganggaran nasional. Dalam kedua undang-undang tersebut, berbagai aspek dalam ranah perencanaan dan penganggaran mengalami perubahan yang mendasar dan cukup signifikan. Banyak hal-hal baru yang diatur dan diamanatkan oleh Undang-undang ini. Satu hal baru yang sangat penting adalah diperkenalkannya sebuah pendekatan baru dan semangat untuk mengimplementasikannya dalam sistem perencanaan dan penganggaran. meliputi 3 hal yaitu: 1) Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting); 2) Penganggaran Terpadu (Unified Budget); dan 3) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework). Sebagai wujud pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, serta mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (yang selanjutnya disebut RKAKL). Dalam pasal 4 peraturan tersebut secara tegas disebutkan bahwa RKA-KL disusun dengan menggunakan tiga pendekatan yang disebutkan di atas. Dalam perkembangannya, peraturan ini telah disempurnakan dengan Pendekatan baru dimaksud

terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan RKA-KL yang merevisi beberapa ketentuan dalam peraturan sebelumnya. b. Pendekatan Baru Sistem Perencanaan dan Penganggaran Ketiga pendekatan baru dalam sistem perencanaan dan penganggaran merupakan suatu kesatuan yang integral dengan fokus utama pada penganggaran berbasis kinerja. Penerapan penganggaran Dua pendekatan lainnya merupakan dimaksudkan untuk memudahkan prasyarat dan pendukung pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja. terpadu pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja dengan memberikan gambaran yang lebih objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah. Sedangkan kerangka pengeluaran jangka menengah digunakan untuk mencapai disiplin fiskal secara berkesinambungan serta menjadi jaminan kontinyuitas penyediaan anggaran kegiatan karena telah dirancang hingga 3 atau 5 tahun ke depan. Penganggaran Berbasis Kinerja a. Konsep PBK Penganggaran berbasis kinerja merupakan sebuah pendekatan dalam sistem penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Ciri utama penganggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang disusun dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input), keluaran (output), dan hasil yang diharapkan (outcomes) sehingga dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan efisiensi pelaksanaan setiap kegiatan. Penerapan penganggaran berbasis kinerja diharapkan diharapkan dapat memberikan informasi kinerja atas pelaksanaan suatu program/kegiatan pada suatu Kementerian/Lembaga serta dampak atau hasilnya yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Dalam konsep pendekatan PBK, dituntut adanya keterkaitan yang erat antara anggaran dengan kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu setiap unit organisasi pemerintah harus dapat menetapkan rumusan kinerja yang ingin dicapainya. Kinerja yang telah direncanakan tersebut harus bersifat terukur pencapaiannya. Untuk itu setiap unit juga harus menetapkan indikator kinerja tertentu untuk mengukur pencapaian kinerjanya. Yang jauh lebih penting, indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap unit organisasi. Jadi informasi kinerja ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses perencanaan dan penganggaran. Rumusan indikator kinerja beserta targetnya selanjutnya juga harus dinyatakan di dalam dokumen perencanaan termasuk Renja-KL dan RKA-KL. Diagram 1. Kerangka PBK Tingkat KL

b. Prinsip dan Tujuan Penerapan PBK berpedoman pada tiga prinsip utama sebagai berikut: Output and outcome oriented Prinsip ini mengandung makna bahwa pengalokasian anggaran harus berorientasi pada kinerja yang akan dicapai yang dinyatakan dalam keluaran (output) dan hasil (outcome). Pengalokasian anggaran tidak lagi berorientasi pada ketersediaan dana (input). Anggaran yang tersedia

merupakan rencana biaya yang memang dibutuhkan untuk mencapai suatu target kinerja yang telah ditetapkan. Let the manager manages Prinsip ini menunjukkan adanya fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang dalam hal ini bertindak sebagai manajer diberikan keleluasaan dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai keluaran dan hasil yang telah direncanakan. Keleluasaan tersebut meliputi penentuan cara dan tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan. Cara dan tahapan kegiatan tersebut memungkinkan adanya perbedaan antara yang telah direncanakan dengan pelaksanaannya. Akan tetapi setiap manajer tetap harus bertanggung jawab penuh atas penggunaan dana dan pencapaian kinerja yang telah ditetapkan. Money follow function, function followed by structure Money follow function menggambarkan bahwa pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi setiap unit sesuai dengan maksud pembentukannya. Sedangkan Function followed by structure menggambarkan bahwa struktur irganisasi yang dibentuk telah sesuai dengan tugas dan fungsi yang diemban oleh setiap unit. Tugas dan fungsi tersebut telah dibagi habis dalam struktur organisasi unit yang bersangkutan sehingga dapat dipastikan tidak terjadi duplikasi tugas dan fungsi. Dari kedua prinsip ini dapat ditarik kesimpulan bahwa: tercapainya efisiensi alokasi anggaran karena tidak adanya overlapping

tugas, fungsi, atau kegiatan; pencapaian output dan outcome dapat dilakukan secara optimal karena

kegiatan yang diusulkan setiap unit benar-benar merupakan pelaksanaan dari tugas dan fungsinya.

Sedangkan tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan PBK adalah sebagai berikut: 1. Menunjukkan keterkaitan langsung antara pendanaan dan kinerja yang akan dicapai; 2. Meningkatkan kegiatan; 3. Meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran. c. Komponen Agar penerapan PBK dapat dilaksanakan secara penuh, diperlukan adanya 3 komponen utama yang harus tersedia. Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan adanya 3 hal yaitu: indikator kinerja; standar biaya; dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan. efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan

Sedangkan pasal 5 ayat (3) PP Nomor 90 Tahun 2010 menyatakan secara lebih tegas bahwa ketiga hal tersebut merupakan instrumen yang digunakan dalam penyusunan RKA-KL. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa idealnya ketiga komponen tersebut mutlak harus ada dalam proses PBK. Penjelasan ketiga komponen itu adalah sebagai berikut: Indikator kinerja Indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan. Dalam konteks penerapan PBK ini, indikator kinerja dibagi menjadi 3 level, yaitu:

Indikator Kinerja Utama (IKU) untuk menilai tingkat keberhasilan

Program; Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) untuk menilai tingkat keberhasilan

Kegiatan; dan Indikator Keluaran untuk menilai tingkat keberhasilan Subkegiatan. Standar biaya Standar Biaya adalah satuan biaya atau harga tertinggi dari suatu barang dan jasa baik secara mandiri maupun gabungan yang diperlukan untuk memperoleh keluaran tertentu dalam rangka penyusunan anggaran berbasis kinerja. Standar Biaya dapat bersifat umum atau bersifat

khusus. Standar Biaya Umum (SBU) adalah satuan biaya yang merupakan batas tertinggi yang berlaku secara nasional, dimana penggunaannya bersifat lintas Kementerian kegiatan Negara/Lembaga yang khusus atau lintas wilayah. Sedangkan Standar Biaya Khusus (SBK) adalah standar biaya yang digunakan untuk dilaksanakan Kementerian Negara/Lembaga tertentu atau di wilayah tertentu. Idealnya standar biaya yang digunakan adalah standar biaya keluaran. Akan tetapi pada tahap awal penerapan PBK, standar biaya yang digunakan adalah standar biaya masukan. Evaluasi kinerja Evaluasi kinerja adalah proses untuk menghasilkan informasi capaian kinerja yg telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan anggaran (dalam hal ini RKA-KL). Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan antara target kinerja dengan hasil yang dicapai, serta membandingkan rencana penggunaan dana dengan realisasinya. Proses ini sangat penting untuk menunjukkan adanya keterkaitan antara pendanaan dengan capaian kinerja. Tujuan lain dari evaluasi kinerja adalah untuk mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan serta sebagai umpan balik

(feed back) untuk penyusunan RKA-KL dan perbaikan kinerja pada tahun berikutnya. d. Implementasi dan Permasalahan Konsep PBK sudah muncul pertama kali dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, walaupun hanya diungkapkan pada bagian penjelasan. Itu berarti semangat dan cita-cita untuk menerapkan PBK sudah dimulai sejak 9 tahun yang lalu. Semangat dan cita-cita itu kemudian ditegaskan di dalam PP Nomor 21 Tahun 2004. Akan tetapi sampai dengan Tahun Anggaran 2011 yang lalu, PBK masih belum diterapkan secara penuh. Saat ini penerapan PBK bisa dikatakan masih berada pada masa transisi. Implementasi PBK secara nyata dan komprehensif dimulai pada tahun 2009 dengan keluarnya Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara PPN/Kepala Bappennas dan Menteri Keuangan yang berisi Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran. SEB tersebut berisi 5 buah modul yang menjelaskan secara detail mengenai konsep dan langkah-langkah kerja sebagai wujud implementasi reformasi perencanaan dan penganggaran, khususnya penerapan PBK. Tahap-tahap implementasi PBK selengkapnya bisa dilihat pada diagram di bawah ini: Diagram 2. Siklus Implementasi PBK

Dari diagram tersebut tampak bahwa penerapan PBK merupakan sebuah siklus, yang terintegrasi dengan siklus perencanaan dan penganggaran. Siklus penerapan PBK sendiri terdiri dari 8 tahapan. Tahap pertama yaitu penetapan sasaran strategis telah dilaksanakan seiring dengan penyusunan Renstra KL (sebagai dokumen perencanaan periode 5 tahun), yang selanjutnya dituangkan dalam dokumen manajemen kinerja berbasis BSC (sebagai dokumen periode 1 tahun). Tahap penetapan outcome, program, output, dan kegiatan telah

dilaksanakan dengan adanya restrukturisasi program dan kegiatan seluruh Kementerian/Lembaga. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar struktur program dan kegiatan beserta indikator kinerjanya dapat digunakan sebagai alat ukur efektivitas pencapaian sasaran pembangunan, efisiensi belanja, dan akuntabilitas kinerja. Proses restrukturisasi program dan kegiatan ini telah dimulai pada tahun 2010 dan hasilnya mulai diterapkan pada TA 2011. Hasil dari restrukturisasi ini diantaranya adalah setiap unit eselon I di seluruh Kementerian/Lembaga mempunyai satu rumusan program yang unik sehingga tidak ada lagi sebuah program yang dilaksanakan oleh beberapa unit eselon I. Dengan diberlakukannya IKU program sistem dan IK manajemen kegiatan kinerja dilakukan berbasis dengan BSC, bisa

penetapan

memanfaatkan dokumen sumber dari sistem tersebut. IKU dan IKK dalam penerapan PBK adalah IKU yang telah dirumuskan dalam dokumen BSC (yang selanjutnya dituangkan dalam kontrak kinerja). Akan tetapi terdapat permasalahan dalam penetapan IKU dan IKK ini. IKU dan IKK dituangkan dalam Renja KL dan RKA-KL, yang harus disusun sebelum dimulainya Tahun Anggaran (TA). Sedangkan kontrak kinerja selama ini baru disusun pada awal TA berjalan. Sehingga IKU dan IKK yang digunakan mengacu pada kontrak kinerja TA sebelumnya. Permasalahan muncul ketika terdapat perubahan IKU dari tahun sebelumnya. Sementara dalam sistem perencanaan dan penganggaran sejauh ini tidak menyediakan prosedur revisi IKU dan IKK.

Tahap keempat yaitu penetapan standar biaya justru telah dimulai pada TA 2007. Dengan terbitnya PMK Nomor 96 Tahun 2006 tentang Standar Biaya Tahun 2007, standar biaya mulai digunakan dalam penyusunan RKA-KL. Standar biaya berlaku untuk 1 TA dan pada TA berikutnya akan ditetapkan standar biaya yang baru untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi perekonomian khususnya terkait inflasi. Tahap penghitungan kebutuhan anggaran sekaligus pengalokasiannya merupakan tahap yang membutuhkan perhitungan matematis dan detail tentang kebutuhan kebutuhan anggaran untuk membiayai pelaksanaan kegiatan selama 1 tahun yang akan datang. Tahap ini diawali dengan penetapan fokus prioritas, baik di tingkat nasional, tingkat KL, maupun tingkatan di bawahnya. Selanjutnya harus ditetapkan target yang akan dicapai oleh setiap unit selama satu TA. Dengan memperhatikan ketersediaan anggaran yang ada, seluruh program dan kegiatan beserta target-targetnya dituangkan dalam rincian pendanaan dengan mengacu pada standar biaya yang berlaku. pertanggungjawaban dilaksanakan Sedangkan tahap pelaksanaan dan dengan mengacu pada sistem

perbendaharaan dan pertanggungjawaban yang berlaku. Tahap terakhir yaitu pengukuran dan evaluasi kinerja hingga saat ini belum dilaksanakan. Selain karena implementasi PBK secara penuh baru dimulai pada TA 2011, pedoman sekaligus petunjuk teknis pelaksanaan pengukuran dan evaluasi kinerja baru ditetapkan pada akhir tahun 2011 dengan terbitnya PMK Nomor 249 Tahun 2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Atas Pelaksanaan RKA-KL. PMK ini mengatur secara rinci mengenai aspek apa saja yang akan dilakukan pengukuran dan evaluasi, termasuk tata cara perhitungan dan pengukurannya, serta kebutuhan data dan infrastruktur pendukung yang harus tersedia. Belum ada kepastian kapan ketentuan dalam PMK ini akan mulai diberlakukan. Di samping 8 tahap yang digambarkan dalam diagram, bentuk

implementasi lainnya adalah penggunaan format baru RKA-KL yang juga mulai diterapkan pada Tahun Anggaran 2011. Format baru ini dirancang

10

untuk dapat memfasilitasi penerapan PBK dengan memberikan informasi yang lebih jelas tentang perencanaan dan penganggaran. Format baru ini diharapkan dapat menyajikan informasi kinerja dan keterkaitan antara biaya, kegiatan, keluaran, program, dan hasil secara jelas. Salah satu perbedaan utama dalam format baru ini adalah penyederhanaan dokumen RKA-KL yang sebelumnya terdiri dari 13 formulir menjadi hanya 3 formulir saja. e. Peluang dan Tantangan Penerapan PBK memang diharapkan akan memberikan banyak manfaat sekaligus mengatasi berbagai persoalan yang ada dalam sistem perencanaan dan penganggaran yang sudah berlaku. Akan tetapi PBK baru akan memberikan dampak yang signifikan ketika diterapkan secara optimal dan konsisten. Di masa transisi sekarang ini masih terdapat beberapa permasalahan terkait penerapan PBK, diantaranya masih adanya anggapan bahwa anggaran merupakan jatah yang harus dihabiskan oleh setiap unit untuk melaksanakan kegiatannya selama satu TA. Persoalan lain adalah terkait perumusan indikator kinerja yang belum sepenuhnya dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan atau program. Akan tetapi dengan komitmen dan kontribusi semua pihak serta adanya dukungan perangkat peraturan yang komprehensif, diharapkan akan terus terjadi perbaikan dan kemajuan dalam penerapan PBK.

11

PENUTUP
REFORMASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undangundang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan produk undang-undang yang menjadi tonggak sejarah reformasi di bidang perencanaan dan penganggaran nasional. Satu hal baru yang sangat penting adalah diperkenalkannya sebuah pendekatan baru dan semangat untuk mengimplementasikannya dalam sistem perencanaan dan penganggaran. meliputi 3 hal yaitu: 1) Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting); 2) Penganggaran Terpadu (Unified Budget); dan 3) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework). Penerapan PBK berpedoman pada tiga prinsip utama sebagai berikut: Output and outcome oriented Let the manager manages Money follow function, function followed by structure tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan PBK adalah sebagai berikut: 1. Menunjukkan keterkaitan langsung antara pendanaan dan kinerja yang akan dicapai; 2. Meningkatkan kegiatan; 3. Meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran. efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan Pendekatan baru dimaksud

12

DAFTAR PUSTAKA

http://andy727.files.wordpress.com/2012/03/kerangka-pbk-kl1.jpg http://andy727.files.wordpress.com/2012/03/siklus-penerapan-pbk.jpg www.google.com

13

You might also like