Manusia secara tetap berhubungan dengan beribu-ribu mikroorganisme.
Mikroba tidak hanya terdapat di lingkungan, tetapi juga menghuni tubuh manusia. Mikroba yang secara ilmiah menghuni tubuh manusia disebut flora normal atau mikrobiota (Waluyo, 2004). Mikrobiota normal tubuh manusia yang sehat perlu diketahui karena alasan- alasan berikut: 1. Diketahuinya hal ini dapat membantu menduga macam infeksi yang mungkin timbul setelah terjadinya kerusakan jaringan pada situs-situs yang khusus. 2. Hal ini memberikan petunjuk mengenai kemungkinan sumber dan pentingnya mikroorganisme yang teramati pada beberapa infeksi klinis. Sebagai contoh, Escherichia coli tidak berbahaya di dalam usus tetapi bila memasuki kandung kemih dapat menyebabkan sistitis, suatu peradangan pada selaput lender organ ini. 3. Hal ini dapat membuat kita menaruh perhatian lebih besar terhadap infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang merupakan mikrobiota normal atau asli pada inang manusia (Waluyo, 2004). Pada umumnya mikroba asli yang berada di dalam tubuh manusia adalah komensal: mereka memanfaatkan hubungan dengan inang, tetapi inangnya tidak terpengaruh. Mikroba komensal memperoleh makanannya dari sekresi dan produk- produk buangan tubuh manusia. Mikroorganisme asli lain mempunyai hubungan hubungan mutualisme dengan inangnya; yaitu, mereka memanfaatkan inangnya dan hidup bersama-sama (Waluyo, 2004). 1. Kulit Kulit manusia terlihat lebih mudah pecah atau rusak bila dibandingkan dengan kulit hewan, seperti badak, gajah, dan kura-kura. Namun, kulit manusia memiliki sifat sebagai pertahanan (barrier) yang sangat efektif terhadap infeksi. Dalam kenyataannya, tidak ada contoh bakteri yang telah ditemukan yang dapat menembus kulit utuh yang "telanjang", tanpa pelindung (Sylvia, 2005).
Kulit bersifat sedikit asam dengan pH 5 dan memiliki temperatur
kurang dari 37 derajat Celsius. Lapisan sel-sel yang mati akan membuat permukaan kulit secara konstan berganti sehingga bakteri yang berada di permukaan kulit tersebut akan juga dengan konstan terbuang dengan sel yang mati. Lubang-lubang yang alami terdapat di permukaan kulit, seperti pori, folikel rambut, atau kelenjar keringat, memberikan suatu lingkungan yang mendukung pertumbuhan bakteri. Namun, lubang-lubang tersebut secara alami dilindungi oleh lisosim (enzim yang dapat merusak peptidoglikan bakteri yang merupakan unsur utama pembentuk dinding sel bakteri gram- positif) dan lipida toksik (Sylvia, 2005).
Pelindung lain terhadap kolonisasi kulit oleh bakteri patogen adalah
mikroflora normal kulit. Mikroflora tersebut merupakan suatu kumpulan dari bakteri nonpatogen yang normal berkolonisasi pada setiap area kulit yang mampu mendukung pertumbuhan bakteri. Bakteri patogen yang akan menginfeksi kulit harus mampu bersaing dengan mikroflora normal yang ada untuk mendapatkan tempat kolonisasi dan nutrien untuk tumbuh dan berkembang. Mikroflora normal kulit terutama terdiri dari bakteri gram- positif. Adalah suatu hal yang belum diketahui dengan baik mengapa bakteri gram-positif terlihat mampu berkolonisasi pada permukaan kulit. Namun, hal tersebut merefleksikan suatu kemampuan superior untuk bertoleransi terhadap kondisi asam yang kering yang ditemukan pada permukaan kulit (Sylvia, 2005).
Walaupun ada pertahanan tersebut di atas, beberapa bakteri patogen
dapat berkolonisasi sementara pada kulit dan dapat mengambil manfaat dari luka yang ada pada permukaan kulit untuk memperoleh jalan masuk ke jaringan yang ada di bawah kulit. Di bawah kulit, mereka akan menghadapi sejumlah sel yang telah terspesifikasi yang disebut dengan skin-associated lymphoid tissue (SALT). Fungsi SALT adalah mencegah bakteri patogen tidak sampai ke area yang lebih jauh di bawah kulit dan mencegah mereka tidak sampai ke aliran darah. Relatif sedikit yang diketahui tentang sel-sel yang menyusun SALT. Salah satu tipe selnya adalah sel yang memaparkan antigen yang terspesialisasi yang membantu tipe sel yang lain, specialized skin- seeking lymphocyte, untuk memproduksi antibodi. Sel-sel limfosit tersebut juga memproduksi sitokin, protein yang merangsang sel-sel dari sistem imun dan memiliki sejumlah efek lain. Komponen SALT yang lain adalah keratinosit yang banyak terdapat pada lapisan epidemis dan bertanggung jawab untuk memelihara lingkungan mikrokulit yang bersifat asam. Keratinosit memproduksi sitokin dan juga mampu untuk ingesti dan membunuh bakteri (Sylvia, 2005).
Pentingnya pertahanan kulit ini diilustrasikan paling baik dengan
pengaruh luka bakar yang parah, yang akan mengeliminasi semua bentuk pertahanan kulit termasuk SALT. Seseorang yang mengalami luka bakar tingkat dua dan tiga yang ekstensif dan orang yang bertahan hidup dari trauma inisial yang berhubungan dengan luka bakar masih belum terbebas dari bahaya. Banyak korban luka bakar mati karena infeksi bakterial yang terjadi sebelum kulit terbakar mengalami penyembuhan. Hilangnya pertahanan kulit dan tereksposnya lapisan jaringan di bawah kulit yang basah dan kaya nutrien merupakan hal yang ideal untuk kolonisasi bakteri pada area yang terbakar. Penyebab yang paling umum pada infeksi kulit yang terbakar adalah Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus, dua spesies bakteri yang terdapat di mana-mana pada lingkungan rumah sakit. Kedua spesies juga dikenal resisten terhadap antibiotik. Antibiotik paling efektif bila aksi antibakterial mereka didukung dengan aktivitas pembunuhan oleh sistem imun. Efek kombinasi dari kerusakan SALT dan resistensi alami bakteri telah membuat infeksi luka bakar sulit untuk ditangani dengan efektif. Infeksi tersebut merupakan suatu penyebab utama kematian di antara penderita luka bakar. Bahkan, bila tidak bersifat fatal, infeksi bakterial pada jaringan yang terbakar meningkatkan jumlah kerusakan jaringan dan mencegah penyembuhan area kulit yang terbakar (Sylvia, 2005).
Kulit secara konstan berhubungan dengan bakteri dari udara atau
benda-benda, tetapi kebanyakan bakteri ini tidak tumbuh pada kulit karena kulit tidak sesuai untuk pertumbuhannya. Kulit mempunyai keragaman yang luas dalam hal struktur dan fungsi di berbagai situs tubuh. Perbedaan- perbedaan ini berfungsi sebagai faktor ekologis selektif, untuk menentukan tipe dan jumlah mikroorganisme yang terdapat pada setiap situs kulit (Irianto, 2006). Pada umumnya beberapa bakteri yang ada pada kulit tidak mampu bertahan hidup lama karena kulit mengeluarkan substansi bakterisida. Sebagai contoh, kelenjar keringat mengekskresikan lisozim, suatu enzim yang dapat menghancurkan dinding sel bakteri. Kelenjar lemak mengekskresikan lipid yang kompleks, yang mungkin diuraikan sebagian oleh beberapa bakteri; asam-asam lemak yang dihasilkannya sangat beracun bagi bakteri-bakteri lain (Irianto, 2006). Kebanyakan bakteri kulit dijumpai pada epitelium yang seakan-akan bersisik (lapisan luar epidermis), membentuk koloni pada permukaan sel-sel mati. Kebanyakan bakteri ini adalah spesies Staphylococcus (kebanyakan Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus) dan sianobakteri aerobik, atau difteroid. Jauh di dalam kelenjar lemak dijumpai bakteri-bakteri anaerobik lipofilik, seperti Propionibacterium acnes, penyebab jerawat. Jumlahnya tidak banyak dipengaruhi oleh pencucian (Irianto, 2006). Kulit normal umumnya tidak dapat ditumbuhi oleh mikroba. Lapisan kering keratin yang membentuk epidermis, sekresi kelenjar minyak dan garam basil presipitasi bersifat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, meskipun demikian terdapat mikroorganisme yang mampu tumbuh di kulit (normal flora) terutama pada kulit yang luka. Variasi normal flora pada kulit bergantung kepada daerah kulit (Irianto, 2006).
2. Saluran kemih kelamin
Pada orang sehat, ginjal, ureter (saluran dari ginjal ke kandung kemih), dan kandung kemih bebas dari mikroorganisme, namun bakteri pada umumnya dijumpai pada uretra (saluran dari kandung kemih ke luar) bagian bawah baik pada pria maupun wanita. Tetapi jumlahnya berkurang di dekat kandung kemih agaknya disebabkan oleh efek antibakterial yang dilancarkan oleh selaput lendir uretra dan seringnya epithelium terbilas oleh air seni. Ciri populasi ini berubah menurut variasi daur haid. Penghuni utama vagina dewasa ialah Lactobasillus yang toleran terhadap asam. Bakteri ini mengubah glikogen yang dihasilkan oleh epithelium vagina, dan di dalam proses tersebut menghasilkan asam. Penumpukan glikogen pada dinding vagina disebabkan oleh kegiatan indung telur; hal ini tidak dijumpai sebelum masa akil balig ataupun setelah menopause (berhenti haid). Sebagai akibat perombakan glikogen, maka pH di dalam vagina terpelihara pada sekitar 4,4 sampai 4,6. Mikroorganisme yang mampu berbiak pada pH rendah ini dijumpai di dalam vagina dan mencakup enterokokus, Candida albicans, dan sejumlah besar bakteri anaerobik (Irianto, 2006). Sistem urinary dan genital secara anatomis terletak berdekatan, suatu penyakit yang menginfeksi satu sistim akan mempengaruhi sistim yang lain khususnya pada laki-laki. Saluran urin bagian atas dan kantong urin steril dalam keadaan normal. Saluran uretra mengandung mikroorganisme seperti Streptococcus, Bacteriodes, Mycobacterium, Neisseria dan enterik. Sebagian besar mikroorganisme yang ditemukan pada urin merupakan kontaminasi dari flora normal yang terdapat pada kulit. Keberadaan bakteri dalam urine belum dapat disimpulkan sebagai penyakit saluran urine kecuali jumlah mikroorganisme di dalam urine melebihi 105 sel/ml (Dharma, 2007).
Analisis Mikroorganisme pada jamu
Jamu merupakan salah satu obat tradisional yang banyak digunakan oleh masyarakat. Jamu dapat dimanfaatkan mikroorganisme sebagai media pertumbuhan. Kita dapat menganalisa mikroorganisme yang terdapat di dalamnya secara kuantitatif yaitu dengan cara menghitung jumlah mikroorganisme yang terdapat di dalamnya. Sedangkan secara kualitatif dengan cara mengisolasi, memurnikannya dan identifikasi (Dharma, 2007). Jamu gendong merupakan salah satu jamu dalam bentuk cairan minum yang sangat digemari masyarakat. Jamu gendong dijual dalam botol dan diletakkan dalam keranjang yang digendong di punggung belakang menggunakan kain. Jamu ini dijajakan dari rumah ke rumah. Sampel jamu gendong diambil dari 20 pembuat jamu gendong dari 3 kabupaten dan 1 kotamadya di DIY. Sampel jamu gendong selanjutnya diuji angka lempeng total dan angka kapang / khamir total untuk mengetahui kontaminasi bakteri dan kapang/khamir. Dari hasil uji didapatkan bahwa hampir seluruh sampel jamu gendong terkontaminasi oleh bakteri dan kapang melebihi ambang batas konsumsi yang dipersyaratkan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 1992. Kontaminasi bakteri pada sampel jamu gendong sejumlah 2,34 x 103 CFU/ml hingga tak terhitung, dan kontaminasi kapang/khamir sejumlah 1,21 x 103 CFU/ml hingga tak terhitung (Sylvia, 2005). DAFTAR PUSTAKA
Irianto. 2006. Mikrobiologi. CV. Yrama Widya: Bandung.
Sylvia, T. 2005. Pengujian Cemaran Bakteri Dan Cemaran Kapang / Khamir Pada Produk Jamu Gendong Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta.
Waluyo. 2004. Mikrobiologi Umum. Universitas Muhammadiyah: Malang.