You are on page 1of 16

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan sebagai sumber pemasok bahan baku kayu untuk industri hasil hutan. Saat ini kebutuhan akan kayu di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, sedangkan hutan alam sudah tidak mampu lagi untuk memenuhinya. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bertujuan menjaga kelestarian hutan alam baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembangunan HTI di Indonesia pada umumnya diprioritaskan pada lahan yang tidak produktif, padang alang-alang atau hutan sekunder. Untuk itu diperlukan jenis pohon yang tidak menuntut tempat tumbuh dengan persyaratan yang tinggi, cepat tumbuh, memiliki daur yang singkat, nilai ekonomi tinggi serta dapat tumbuh pada kisaran daerah yang luas. Salah satu jenis yang dapat diandalkan adalah sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) yang dulu dikenal dengan nama Albizia falcataria (L) Fosberg. Sengon merupakan salah satu komoditas yang menjadi primadona bagi petani hutan rakyat. Hal ini didorong karena jenis ini memiliki beberapa kelebihan antara lain pertumbuhan yang cepat, persyaratan tumbuh mudah, pemanfaatannya beragam, dan jenis pengikat nitrogen. Prospek usaha penanaman kayu sengon sangat relevan jika dikaitkan dengan proyeksi ke depan pemerintah dalam penggunaan kayu untuk bahan bangunan. Selain diarahkan untuk pemenuhan ekspor, kayu sengon yang sudah disentuh dengan teknologi, juga akan diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan kayu bangunan dalam negeri menggantikan peran kayu hutan alam yang pada saat ini sudah mulai krisis dan sulit didapat. Upaya peningkatan produksi sengon menciptakan pola tanam sengon secara monokultur pada areal yang luas. Kondisi tersebut menimbulkan kondisi ekosistem yang tidak seimbang, sehingga ketersediaan makanan bagi hama dan penyakit cukup banyak.

Ketidakseimbangan ekosistem tersebut menyebabkan sering terjadi ledakan (outbreak) hama dan penyakit. Masalah yang paling umum dihadapi dalam pengusahaan hutan tanaman sengon adalah serangan hama penggerek batang Xystrocera festiva Thoms atau yang lebih sering dikenal sebagai uter-uter, boktor, wolwolan dan engkes-engkes. Sampai saat ini pengendalian hama boktor yang efektif dan efisien secara khusus masih belum ditemukan. Metode yang dilakukan adalah dengan cara menyayat kulit batang sengon dan membuang larva boktor yang ada didalamnya. Namun tindakan ini akan merusak proses fisiologis tanaman sengon sehingga dapat menurunkan kualitas dan harga kayu sengon. Salah satu faktor penyebab belum berhasilnya pengendalian hama boktor adalah kurangnya pengetahuan tentang serangga boktor, khususnya pada saat stadium larva (fase merusak) yang hidup di bawah kulit pohon sehingga sulit untuk dipelajari baik dari segi fisiologis maupun segi biologinya. Untuk mengatasinya maka dilakukan penelitian di laboratorium. Hama boktor dibiakkan dan diamati dengan menggunakan makanan buatan (artificial diet). Penelitian ini berguna untuk memperoleh informasi perilaku dan siklus hidup boktor. Unsur yang sangat dibutuhkan dalam pengamatan tanaman yang terserang hama saat kita berada dilapang yaitu ketelitian tanaman yang terkena serangan hama . Sehingga, nantinya kita dapat mengetahui seberapa parah tanaman yang terserang hama baik dipandang dari segi fisik maupun secara biologis, sehingga dapat dilakukan tindakan / usaha penanganan terhadap serangan hama pada tanaman tersebut.

Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan laporan Praktikum Dasar Perlindungan Hutan Sub Hama ini adalah untuk mengetahui morfologi hama kumbang boktor (Xystrocera fastiva

Pascoe) dan cara pengendaliannya terhadap komoditi tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen).

Kegunaan Penulisan 1. Salah satu syarat untuk mengikuti praktikal test di Laboratorium Dasar Perlindungan Hutan Sub Hama, Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. 2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman

Sistematika tanaman sengon ( Paraserianthes falcataria ), yaitu : Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Fabales : Fabaceae : Paraserianthes : Paraserianthes falcataria Pascoe

Menurut Atmosuseno (1994), berdasarkan catatan sejarah, sengon merupakan spesies asli dari kepulauan di sebelah timur Indonesia yakni Maluku dan Papua. Pada tahun 1870-an pohon ini disebarkan ke seluruh kawasan Asia Tenggara mulai dari Myanmar sampai Filipina. Habitat alami pohon sengon ditemukan di Kepulauan Maluku. Pada tahun 1871 pohon sengon mulai ditaman di Kebun Raya Bogor. Dari Kebun Raya Bogor pohon sengon disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Penyebaran pohon sengon secara luas disebabkan karena mudahnya pohon ini tumbuh dan menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Tidak mengherankan kalau pohon sengon saat ini sudah tersebar luas sampai ke Sri Lanka, India, Malaysia, Filipina dan Samoa. Sengon merupakan pohon yang termasuk anggota famili Fabaceae (dulu Mimosaceae) dan merupakan salah satu jenis pohon yang pertumbuhannya sangat cepat. Pertumbuhannya selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Mengingat pertumbuhannya yang cepat sengon dijuluki sebagai pohon ajaib (the miracle tree). Pada umur 6 tahun pohon sengon sudah dapat menghasilkan kayu bulat sebanyak 372 m3/ha

(Atmasuseno, 1994).

Pohon sengon berdaun majemuk, menyirip ganda, tangkai daun atau tangkai poros utama dengan satu atau lebih kelenjar dan anak daun kecil. Bunga bulir seluruhnya atau sebagian besar bercabang malai, berbulu halus, panjang kedudukan bunga 10 - 25 mm, kelopak bunga 2 - 2.5 mm, daun mahkota 5 -7 mm, berwarna putih, dibaliknya kuning muda, berbulu rapat dan berbuah polong (Ditjen Kehutanan, 1976). Pohon sengon dapat mencapai tinggi 40 m dengan tinggi batang bebas cabang 10 - 30 m dan diameter batang sampai 80 cm. Kulit luar barwarna putih

kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas (Martawijaya et al. ,1989).

Syarat Tumbuh

Jenis tanah yang baik dan cocok untuk pertumbuhan sengon adalah pada tanah regosol, aluvial dan latosol yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah sekitar pH 6-7. Sengon termasuk jenis tanaman tropis sehingga suhu yang tepat untuk pertumbuhannya sekitar 18-27 C. (Santoso,1992). Sengon dapat tumbuh mulai dari pantai sampai ketinggian tempat 1500 m dpl, bahkan pada tempat yang tingginya lebih dari 1600 m dpl pohon ini masih dapat tumbuh, tetapi elevasi optimalnya 0-800 m dpl dengan suhu rata-rata 22-29 C. Tumbuh dengan baik pada tempat-tempat yang beriklim basah sampai agak kering, yaitu yang mempunyai paling sedikit 15 hari hujan dan 4 bulan kering. Pohon ini dapat tumbuh di tanah-tanah kering maupun lembab. Meskipun dapat tumbuh di berbagai macam tanah, namun lebih cocok tumbuh pada tanah yang mengandung hara mineral yang cukup, struktur dan tekstur tanah yang baik (Jumar, 2000).

Iklim

Menurut Santoso (1992), sengon termasuk jenis tanaman tropis sehingga suhu yang cocok untuk pertumbuhannya yaitu 18-270C dengan kelembaban sekitar 50%-75%. Sedangkan menurut (Martawijaya et. al., 1989), iklim yang

paling optimal bagi pertumbuhan sengon ialah iklim basah sampai agak kering.

Tanah Menurut Santoso (1992), pada dasarnya tanaman sengon dapat tumbuh di tanah apa saja, baik di tanah tegalan atau pekarangan maupun tanah-tanah hutan yang baru dibuka. Dari pengamatan di lapangan, tanaman sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, alluvial, dan latosol dengan kemasaman tanah pada pH 6-7. Tanah yang dikehendaki adalah tanah bertekstur ringan, menengah atau padat yang bereaksi netral. Pada toleransi tertentu masih dapat tumbuh pada tanah dengan reaksi asam dan basa. Drainase tanah sedang sampai lembab. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sengon mempunyai daerah penyebaran dengan selang yang lebar. Dengan demikian boleh dikatakan hampir semua daerah di Indonesia dapat ditanami sengon (Trianna, 2011).

Biologi Hama

Hama utama tegakan sengon ini merupakan hama penggerek kulit dan batang, termasuk ke dalam : Filum Subfilum Kelas Subkelas Ordo Subordo Famili Subfamili Genus Spesies : Arthropoda : Mandibulata : Insecta : Pterygota : Coleoptera : Polyphaga : Cerambycidae : Cerambycinae : Xystrocera : Xystrocera festiva

Nama Ilmiah : Xystrocera festiva Pascoe Nama daerah : Boktor sengon, Wowolan, Uter-uter Telur berbentuk lonjong berukuran 2x1 mm, mula-mula berwarna hijaukuning dan setelah tua, warnanya kuning dan keras. Telur diletakkan

mengelompok, satu sama lain dilekatkan oleh perekat yang tidak berwarna. Kelompok-kelompok telur biasanya terdapat pada bekas patahan cabang atau retakan-retakan kulit bekas serangan (Natawiria, 1973). Menurut Rukmana (1997), letak telur dengan yang lain berkelompok dengan jumlah sekitar 41-237 butir. Stadium telur adalah 28-32 hari dengan ratarata 30 hari.

Gambar 1. Kelompok telur Xystrocera festiva

Larva yang baru menetas berbentuk silindris, berwarna putih kotor, kekuning-kuningan. Larva dewasa mempunyai panjang sampai 5,2 cm. Larva yang baru menetas secara berkelompok menggerek kulit batang hingga akhirnya mencapai bagian kayu. Serangan awal ditandai dengan terjadinya perubahan pada warna kulit batang dari putih keabuan menjadi merah kecoklatan. Warna tersebut disebabkan oleh adanya serbuk gerek yang berasal dari kulit batang. Sebagian besar kehidupan larva berlangsung pada kayu gubal.

Gambar 2. Ulat Xystrocera festiva dilihat dari atas Pupa berwarna putih kekuning-kuningan dengan ukuran 30x10 mm.

Kumbang X. festiva aktif pada waktu senja. Di laboratorium Entomologi Pusat Litbang Hutan Bogor, kumbang keluar mulai pukul 18.00 sedangkan di Malang kumbang keluar mulai pukul 16.00. Kumbang berwarna coklat kekuningkuningan agak mengkilap, di bagian pinggir dari elytra dan sekeliling pronotum

terdapat garis lebar yang berwarna hijau kebiruan yang mengkilap. Menurut Notoatmodjo (1963) waktu perkawinan dan bertelur terjadi beberapa jam setelah kumbang keluar. Waktu bertelur hanya terjadi dalam satu hari dan kebanyakan kumbang hanya bertelur sampai 2 kali dalam waktu 2-8 hari.

Gambar 3. Pupa X. festiva dilihat dari arah bawah (kiri) dan arah atas (kanan)

Kumbang X. festiva berwarna coklat kemerahan, sisi luar elitranya berwarna hijau kebiruan, memanjang dari muka ke belakang. Antena berwarna kehitaman, warna kaki tungkai menyerupai warna antena diselingi oleh warna coklat kekuningan pada femur dan tarsus. Pronotum dikelilingi oleh garis hijau kebiruan yang mengkilat, sehingga pada bagian dalam terdapat gambaran berbentuk jantung dan berwarna coklat kuning. Panjang tubuhnya sekitar 2,5 - 3,8 cm dan lebarnya 0,6 - 0,9 cm (Notoatmodjo, 1963).

Gambar 4. Kumbang betina Xystrocera festiva

Gejala Serangan

Umumnya serangan hama ini terjadi pada pohon yang telah berumur 3 tahun atau lebih, yang diameternya telah mencapai 10 cm atau lebih. Bagian pohon yang diserang kebanyakan berkisar pada ketinggian 0 5 meter, tetapi ada kalanya mencapai 15 meter dari atas permukaan tanah (Husaeni, et al.,1995). Fase hidup Xystrocera festiva yang paling merusak ialah fase larva. Larvalarva yang baru menetas akan segera memakan kulit bagian dalam dan bagian luar dari kayu gubal, membentuk saluran-saluran sedalam 0,5 mm ke arah bawah batang. Saluran gerek ini seluruhnya tertutup oleh ekskremen yang dihasilkan larva. Saluran gerek ini biasanya saling berhubungan (continue) dan arahnya tidak beraturan, biasanya vertikal. Semakin ke arah bawah saluran gerek ini semakin melebar karena ukuran larva yang memakannya semakin besar. Dari bagian batang yang rusak akan keluar cairan berwarna coklat atau hitam. Setiap saluran dicirikan oleh adanya suatu lubang dan serbuk gerek pada permukaan kulit; banyak serbuk gerek bervariasi tergantung pada umur dan banyaknya larva yang hidup bersama di dalam kulit. Serbuk gerek yang menempel pada permukaan kulit atau yang jatuh ke lantai hutan sering digunakan sebagai petunjuk adanya serangan hama ini (Husaeni, 2001).

Gambar 5. Serangan larva Xystocera festiva

Kerusakan berbentuk lubang-lubang yang mempunyai bermacam-macam ukuran dan bentuk. Lubang-lubang dapat dijumpai baik pada kayu batang dan

10

cabang yang masih hidup maupun pada balok-balok kayu kering. Tiap-tiap jenis penggerek kayu mempunyai karakteristik tertentu. Beberapa jenis serangga dewasanya hanya merusak pohon sehat, jenis lain merusak pohon merana. Serangga penggerek batang kayu termasuk dalam ordo Coleoptera, yang merusak pada stadium larva atau dewasa (Sumardi dan Widyastuti, 2004). Pengendalian

a. Pengendalian secara fisik/mekanik Notoatmodjo (1963) menganjurkan pengendalian boktor secara mekanis dengan sistim tebang-sakit dan cara pengeletekan (penyesetan) kulit batang pada tanaman yang terserang. Menurut Husaeni et al., (1997) pengendalian melalui penangkapan kumbang dengan perangkap lampu. Pengendalian secara

fisik/mekanik yang bisa diterapkan juga adalah pemusnahan kelompok telur boktor sengon. Serangan hama boktor pada tegakan sengon diawali dengan peletakan telur boktor oleh kumbang betinanya pada celah-celah kulit atau bagianbagian batang pohon yang luka. Bila kelompok telur ini dapat ditemukan dan dapat dimusnahkan, misalnya dengan cara dicongkel atau bagian yang ada telurnya diseset, maka kerusakan batang karena hama itu dapat dihindarkan.

b. Pengendalian secara kimiawi (Insektisida) Pengendalian X. festiva secara kimiawi selain biayanya mahal, secara teknis juga sukar untuk dilaksanakan. Menurut Nurhayati (2001), berdasarkan tingkat keampuhan (efikasi) insektisida Perfekthion 400 EC pada selang waktu 3 minggu setelah penyemprotan, terlihat bahwa konsentrasi insektisida yang sudah cukup efektif untuk pengendalian hama boktor sengon adalah 6 cc/l. Insektisida lain yang telah dicoba untuk memberantas boktor sengon adalah Dimecron 100 yang merupakan salah satu insektisida sistemik. Setiap pohon yang terserang disemprot dengan Dimecron 100 berkonsentrasi 0.5% dengan dosis 75 cc cairan semprot per pohon. Ternyata insektisida ini dapat mematikan larva yang berumur sampai 2 bulan tetapi tidak dapat mematikan larva yang berumur lebih tua dan larva-larva yang telah menggerek ke dalam kayu gubal.

11

c. Pengendalian secara hayati/biologis Musuh-musuh alami hama boktor ada yang menyerang telur, larva, pupa dan imago (kumbang). Musuh-musuh tersebut terdiri dari parasit, predator dan patogen. Bila hama boktor diserang musuh alami tersebut, maka populasi hama ini akan menurun. Dua cara pengendalian hayati hama boktor telah dikaji keampuhannya adalah dengan menggunakan parasit telur boktor dan jamur patogen larva (Trianna, 2011).

d. Pengendalian secara silvikultur

Menurut Natawiria (1973), serangan hama pada tegakan campuran akan lebih ringan dari pada tegakan murni. Perkembangbiakan dan penyebaran jasad perusak dalam suatu tegakan campuran sedikit banyak akan terhambat karena jumlah bahan makanan yang tersedia relatif sedikit dan mungkin juga dalam suatu tegakan campuran keseimbangan biologis diantara semua faktor pembentuk masyarakat hutan lebih mudah tercapai. Tetapi dari hasil survey selama tahun 1959 - 1961 di seluruh tegakan sengon di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan, ternyata tanaman murni maupun tanaman campuran (suren, jati, sonokeling, jabon, rasamala, dan puspa) dapat diserang hama boktor sengon dengan tidak berbeda nyata dalam tingkat serangannya. Pengendalian secara silvikultur yang dapat dilakukan menurut Husaeni (2001), diantaranya adalah dengan penanaman pohon resisten, pengaturan jarak tanam, pembuatan tanaman campuran, dan penjarangan. Dengan daur 8 tahun dan jarak tanam awal 3 x 2 m, tegakan sengon mengalami 4 kali penjarangan, yaitu pada umur 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun, dan 6 tahun. Pada setiap kali dilakukan penjarangan, maka pohon-pohon sengon yang mendapat serangan hama boktor harus ditebang, baik yang mengalami serangan awal (larva masih muda), serangan lanjut (larva sudah dewasa dan akan menggerek ke dalam kayu gubal), serangan pasif (larva telah berkepompong di dalam liang gerek). Setelah ditebang bagian batang pohon sengon yang masih mengalami serangan awal dan serangan lanjut harus dikupas kulitnya agar

12

larvanya tidak dapat terus hidup pada batang yang sudah ditebang. Bila yang ditebang telah mencapai serangan pasif, bagian batang yang diserang harus dibelah-belah agar kepompong atau kumbangnya dapat dimatikan . Pengendalian secara silvikultur belum menunjukkan hasil yang nyata karena adanya serangan hama ini tidak terpengaruh oleh ketinggian tempat, presipitasi dan topografi lapangan. Diversifikasi tegakan tidak berhasil baik dalam mengurangi serangan hama ini (Prajadinata dan Masano, 1989).

13

PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

Permasalahan

Fase hidup Xystrocera festiva yang paling merusak ialah fase larva. Larvalarva yang baru menetas akan segera memakan kulit bagian dalam dan bagian luar dari kayu gubal, membentuk saluran-saluran sedalam 0,5 mm ke arah bawah batang. Saluran gerek ini seluruhnya tertutup oleh ekskremen yang dihasilkan larva. Saluran gerek ini biasanya saling berhubungan (continue) dan arahnya tidak beraturan, biasanya vertikal. Semakin ke arah bawah saluran gerek ini semakin melebar karena ukuran larva yang memakannya semakin besar. Dari bagian batang yang rusak akan keluar cairan berwarna coklat atau hitam. Setiap saluran dicirikan oleh adanya suatu lubang dan serbuk gerek pada permukaan kulit; banyak serbuk gerek bervariasi tergantung pada umur dan banyaknya larva yang hidup bersama di dalam kulit. Serbuk gerek yang menempel pada permukaan kulit atau yang jatuh ke lantai hutan sering digunakan sebagai petunjuk adanya serangan hama ini. Serangan Xystrocera festiva pada tegakan sengon sudah terjadi sejak tegakan berumur 3 tahun, yaitu pada saat diameter batang sekitar 10-12 cm dan tinggi pohon mencapai 16 m. Letak serangan pada pohon adalah mulai dari pangkal batang sampai ketinggian lebih dari 10 m. Kerusakan yang ditimbulkan oleh larva ialah kerusakan kulit bagian dalam dan kayu gubal pohon inang. Akibatnya kulit akan mati, terkelupas dan jatuh. Bila tidak terjadi serangan berikutnya pertumbuhan pohon yang cepat akan dapat menyembuhkan luka-luka tersebut, dengan cara pembentukan kalus. Akan tetapi perusakan oleh hama ini sering terjadi berulang-ulang untuk beberapa tahun, sehingga banyak pohon yang mati atau patah. Kerusakan tersebut akan menurunkan volume dan kualitas kayu pertukangan yang dihasilkan

Pembahasan

Serangan hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe) yang menyerang batang kayu membuat kayu menjadi berlubang-lubang dan menyebabkan nilai jualnya pun akan semakin berkurang. Banyak akibat buruk yang disebabkan oleh

14

serangan hama ini terhadap pertumbuhan sengon (Paraserianthes falcataria). Untuk memperkecil dampak dari serangan hama ini maka perlu dilakukan beberapa tindakan pengendalian. Beberapa diantaranya adalah pengendalian secara fisik/mekanis, kimiawi, hayati/biologis dan secara silvikultur. Perlu adanya tindakan pengendalian secara silvikultur untuk mengatasi serangan hama boktor. Dengan cara menanam jenis sengon yang sangat resisten terhadap serangan larva boktor.
Pada umur 3 tahun tanaman sengon masih kecil diamaternya dengan diameter rata-rata sebesar 11.85 cm sehingga hama X. festiva belum berkembang dengan pesat. Tanaman yang berdiameter kecil belum banyak mendapatkan serangan X. festiva, hal ini diduga karena batang tanaman sengon masih terlalu kecil untuk bisa digerek oleh larva X. festiva dan dijadikan tempat berlindung sekaligus sumber makanannya. Pada tanaman tua, diameter pohonnya semakin besar sehingga ruang tempat hidup larva semakin luas dan persediaan makanan yang terkandung di dalam pohon semakin banyak sehingga serangga X. Festiva dapat berkembang dengan baik. Selain karena faktor diameter pohon, dengan semakin tua umur tegakan sengon maka tajuk pohon juga semakin rindang. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor yang mendukung X. festiva berkembang dengan baik. Faktor pemeliharaan juga memegang peranan penting sehubungan dengan peningkatan persentase serangan X. festiva. Dengan ditiadakannya kegiatan penjarangan sejak tahun 2002, penebangan terhadap pohon yang mengalami serangan X. festiva hanya dilakukan jika pohon tersebut terlihat secara kebetulan saja, sedangkan pohon lain yang terserang dan tidak terawasi dibiarkan saja sehingga larva yang ada akan menjadi dewasa dan menyerang pohon lain yang masih sehat. Pada tegakan umur 3 tahun pohon telah mendapatkan serangan X. festiva dan tidak dilakukan usaha pemberantasan sehingga dengan semakin meningkatnya umur pada tegakan yang bersangkutan semakin banyak pohon yang terserang X. festiva.

15

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pohon sengon merupakan tanaman fast growing, berbatang lurus, tidak berbanir, kulit berwarna kelabu keputih-putihan, licin, tidak mengelupas dan memiliki batang bebas cabang mencapi 20 m. 2. Serangga penggerek batang kayu termasuk dalam ordo Coleoptera, yang merusak pada stadium Fase hidup Xystrocera festiva yang paling merusak ialah
fase larva. Larva-larva yang baru menetas akan segera memakan kulit bagian dalam dan bagian luar dari kayu gubal, membentuk saluran-saluran sedalam 0,5 mm ke arah bawah batang. Larva-larva yang baru menetas akan segera

memakan kulit bagian dalam dan bagian luar dari kayu gubal, membentuk saluran-saluran sedalam 0,5 mm ke arah bawah batang. 3. Serangan hama ini terjadi pada pohon yang telah berumur 3 tahun atau lebih.

Saran

Menginggat dalam tegakan sengon seumur hama X. festiva menyerang pada semua kelas diameter maka dalam kegiatan penjarangan pohon terserang X. festiva yang berdiamater kecil dan berdiameter besar tetap harus ditebang. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan sumber infeksi X. festiva dari tegakan tinggal.

16

DAFTAR PUSTAKA

Atmasuseno, B. S. 1994. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Jakarta : Penebar Swadaya, Jakarta. Direktorat Jendral Kehutanan. 1976. Vademiccum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jendral Kehutanan Departemen Pertanian. Jakarta Husaeni et al., 1995. Studi pemberantasan hama boktor (Xystrocera festiva) pada tegakan sengon: Bio-ekologi boktor dan eksplorasi musuh alami boktor. Laporan penelitian. Fakutas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Husaeni, EA. 2001. Hama Hutan Indonesia. Diktat Kuliah. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. IPB: Bogor. Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Bogor Martawijaya et al., 1989. Atlas kayu Indonesia Volume II. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Natawiria D. 1972/1973. Hama dan penyakit Albizia falcataria (L) Forsbeg. Rimba Indonesia 17 (1 2). Notoatmodjo SS, 1963. Cara-cara mencegah serangan masal dari boktor Xystrocera festiva Pascoe pada tegakan Albizia falcataria. Laporan Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan Bogor, No. 92. Nurhayati ND. 2001. Pengujian efikasi insektisida sistemik Perfecthion 400 EC terhadap hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe) pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan.
Pradjadinata, S dan Masano. 1989. Teknik Penanaman Jeunjing [Albizia falcataria (L) Fosberg]. Badan Penelitian dan PengembanganKehutanan: Bogor.

Santoso, HB. 1992. Budidaya Sengon. Yogyakarta : Kanisius Sumardi dan S. Widyastuti. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Trianna, N. 2011. Studi pustaka hama sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

You might also like