You are on page 1of 37

REFERAT

Screening Cervical Cancer

Pembimbing: dr. Yuli Trisetiyono, Sp.OG Disusun oleh: Disusun Oleh : Handra Juanda 092.0221.218

Dhita Adriany WidjajaG1A210110 Dimas Rendika G1A211021

SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO 2012

HALAMAN PENGESAHAN Screening Cervical Cancer

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh : Handra Juanda 092.0221.218

Dhita Adriany WidjajaG1A210110 Dimas Rendika G1A211021

Telah dipresentasikan

Pada Tanggal :

Mei 2012

Menyetujui

dr. Yuli Trisetiyono, Sp.OG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma serviks uteri adalah kanker terbesar ketiga yang paling sering terjadi di dunia, dengan prevalensi sebesar 2,3 juta kasus dan insidensi sebesar 510.000 tiap tahun. Tiap tahunnya, 288.000 wanita meninggal akibat karsinoma serviks uteri, dan 80% nya terjadi di negara dengan tingkat sumberdaya kesehatan yang rendah. Hal ini sangat meresahkan, terutama karena karsinoma serviks uteri merupakan penyakit yang dapat dicegah.1,2 Human Papilloma Virus (HPV) adalah agent kausatif untuk karsinoma serviks uteri. Penularan virus ini biasanya melalui kontak seksual. Tipe HPV berisiko rendah seperti HPV-6 dan HPV-11 menyebabkan kutil pada alat genital (kondiloma akuminata), namun tipe HPV yang onkogenik atau berisiko tinggi seperti HPV-16 dan HPV-18 dapat menyebabkan perubahan selular (displasia) yang apabila tidak teridentifikasi melalui screening dan tidak diterapi, dapat berujung pada karsinoma serviks uteri. Pajanan terhadap virus dapat diminimalisir melalui vaksin, paling efektif jika diberikan pada wanita muda yang aktivitas seksualnya belum aktif sebagai pencegahan primer. Perubahan selular prekanker dapat diidentifikasi melalui screening.2 Program screening dan terapi yang terorganisir secara baik yang digunakan untuk memeriksa tanda-tanda prekanker dan menanganinya secara dini dapat mencegah karsinoma serviks secara efektif. Program ini pada umumnya berdasarkan pada kunjungan berulang, screening berdasarkan sitologi (Pap smear), yang diikuti dengan kolposkopi dan biopsi apabila terdapat indikasi medis. Hal tersebut tentu membutuhkan suatu pengorganisasian dan sistem manajemen yang canggih, termasuk secara aktif mengundang para wanita yang berisiko menderita karsinoma serviks untuk menjalani screening, menjamin kualitas sistem pengujian dan pengobatan, serta memonitor sistem perawatan dan follow-up secara teliti.
1

Negara-negara maju yang telah mengimplementasikan program ini selama 40 tahun teleh menunjukkan penurunan angka kejadian penyakit yang dramatis.3,4 Sebaliknya di negara-negara berkembang di mana 80% kasus karsinoma serviks di dunia terjadi, karsinoma serviks masih menjadi salah satu penyebab kematian utama pada wanita. Sistem screening dan pengobatan di negara-negara tersebut secara umum tidak terjangkau oleh semua kalangan atau bahkan tidak tersedia. Bahkan apabila program tersebut tersedia, hal itu kemungkinan tidak berjalan secara efektif karena pengaruh aspek pelatihan, pengontrolan kualitas, atau dari segi logistik.3,4 Secara umum, dapat disimpulkan bahwa ada 3 hal utama yang membedakan penanganan karsinoma serviks di negara maju dan negara berkembang. Pertama, bahwa beban peyakit yang ditimbulkan oleh karsinoma serviks di negara berkembang masih belum disadari sepenuhnya dan prioritasnya masih terkalahkan oleh masalah kesehatan lainnya, misalnya AIDS dan malaria, sehingga kebijakan kesehatan untuk implementasi program pencegahan yang efektif tidak tersedia. Kedua, kesehatan wanita dan peran penting wanita dalam berbagai sektor masih belum dianggap sebagai hal yang penting. Ketiga, pendekatan dan teknologi baru yang efektif untuk screening dan penanganan lesi prekanker pada kondisi sumberdaya yang terbatas belum dipahami dengan baik, dan untuk mengadakan program pencegahan karsinoma serviks yang efektif, biayanya tidak terjangkau.4 Laporan ini merangkum bukti-bukti terbaru tentang berbagai pilihan untuk screening yang meliputi sitologi serviks (pap smear), uji HPV, dan inspeksi visual asam asetat (IVA), serta pengobatan yang meliputi krioterapi, yang berfokus pada pendekatan yang tepat untuk kondisi dengan sarana dang prasarana yang terbatas.4

B. Tujuan Penulisan

Penulisan laporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi metoda dan teknik screening karsinoma serviks dalam upaya pencegahan karsinoma serviks yang tepat dan efektif untuk diaplikasikan di daerah atau negara dengan sumber daya yang terbatas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Serviks 1. Anatomi Serviks Serviks adalah bagian uterus yang terendah dan menonjol ke vagina bagian atas. Terbagi menjadi dua bagian, bagian atas disebut bagian supravaginal dan bagian bawah disebut bagian vaginal (portio). Serviks merupakan bagian yang terpisah dari badan uterus dan biasanya membentuk silinder, panjangnya 2,5-3 cm, mengarah ke belakang bawah. Bagian luar dari serviks pars vaginalis disebut ektoserviks dan berwarna merah muda. Di bagian tengah portio terdapat satu lubang yang disebut ostium uteri eksternum yang berbentuk bundar pada wanita yang belum pernah melahirkan dan berbentuk bulan sabit bagi wanita yang pernah melahirkan. Ostium uteri internum dan ostium uteri eksternum dihubungkan oleh kanalis servikalis yang dilapisi oleh epitel endoserviks. Biasanya panjang kanalis servikalis adalah 2,5 cm, berbentuk lonjong, lebarnya kira-kira 8 mm dan mempunyai lipatan mukosa yang memanjang. Serviks sendiri disusun oleh sedikit otot polos (terutama pada endoserviks), jaringan elastik, dan banyak jaringan ikat sehingga kanalis servikalis mudah dilebarkan dengan dilator. Jika terjadi infeksi pada kanalis servikalis, dapat terjadi perlekatan dan pembengkakan lipatanlipatan mukosa sehingga spekulum endoserviks sulit ataupun tidak mungkin dimasukkan sehingga tidak dapat dilakukan penilaian kanalis servikalis. Pembuluh darah serviks berada pada bagian kanan kirinya. Arteri terutama berasal dari cabang servikovaginalis arteri uterina, dari arteri vaginalis, dan secara langsung dari arteri uterina. Serviks diinervasi oleh susunan saraf otonom baik susunan saraf simpatis maupun saraf parasimpatis. Susunan saraf simpatis berasal dari daerah
4

T5-L2 yang mengirimkan serat-serat yang bersinaps pada satu atau beberapa pleksus yang terdapat pada dinding abdomen belakang atau di dalam pelvis sehingga yang sampai di serviks adalah serat post ganglionik. Serat parasimpatis berasal dari daerah S2-S4 dan bersinaps dalam pleksus dekat atau dinding uterus. Karena otot lebih banyak terdapat di sekitar ostium uteri internum, maka inervasi di daerah tersebut lebih banyak daripada di ostium uteri eksternum. Saraf sensorik serviks sangat erat hubungannya dengan saraf otonom dan memasuki susunan saraf pusat melalui daerah torakolumbal dan daerah sakral. Serat-serat dalam stroma terlihat berjalan sejajar dengan serat otot walaupun ujung-ujung saraf sensorik belum pernah ditemukan.5,6 2. Histologi Serviks Epitel Serviks terdiri dari dua macam epitel : bagian ektoserviks dilapisi oleh sel-sel yang sama dengan sel-sel pada vagina yaitu epitel skuamosa, berwarna merah muda dan tampak mengkilat. Bagian endoserviks atau kanalis servikalis dilapisi oleh epitel kolumner, yang berbentuk kolom atau lajur, tersusun selapis dan terlihat berwarna kemerahan. Batas kedua epitel tersebut disebut sambungan skuamokolumner (SSK). Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologik pada epitel serviks dimana epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa, proses ini disebut metaplasia. Metapalsia terjadi karena pH vagina yang rendah. Pada keadaan Ph vagina berada pada pH terendah pada saat pra pubertas dan pra menopause. Hal ini dikarenakan pada saat tersebut terjadi peningkatan esterogen. Peningkatan esterogen menyebabkan peningkatan glikogen di vagina yang kemudian diubah oleh bakteri lactobacillus dderlein. Pada proses metaplasia terjadi proliferasi sel-sel cadangan yang terletak di bawah sel epitel kolumnar endoserviks dan secara perlahan-lahan akan mengalami pematangan
5

menjadi epitel skuamosa.5 Jordan mengemukakan proses metaplasia sebagai berikut:7

Fase pertama Sel cadangan subkolumnar berproloferasi menjadi beberapa lapis, sel-sel belum berdiferensiasi dan proses ini biasanya dimulai dari puncak jonjot. Fase kedua Pembentukan beberapa lapis sel yang belum berdiferensiasi meluas ke bawah dan ke samping sehingga menjadi satu. Fase ketiga Penyatuan beberapa jonjot menjadi lengkap sehingga didapatkan daerah yang licin permukaannya.

Gambar 1. Anatomi dan Histologi Serviks

Fase berikutnya adalah fase pematangan atau maturasi, selsel akan mengalami pematangan dan stroma jonjot yang terdahulu akan menghilang, sehingga terbentuk epitel skuamosa metaplastik Akibat proses metaplasia ini secara morfogenetik terdapat dua
6

sambungan skumokolumnar. Pertama adalah SSK original dimana epitel skuamosanya asli yang menutupi portio vaginalis bertemu dengan epitel kolumner endoserviks. Pertemuan antara kedua epitel berbetas jelas. Kedua adalah SSK fungsional yang merupakan pertemuan epitel skuamosa metaplastik dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SSK tersebut disebut daerah transformasi. Pembentukan daerah transformasi ini sebenarnya tidak saja melalui proses metaplasia, tetapi juga melalui proses pembentukan langsung dari epitel skuamosa yang berhubungan langsung dengan epitel kolumnar. Pemeriksaan histopatologi, kolkoskopi, dan mikroskop elektron menunjukkan bahwa lidah-lidah epitel skuamosa asli tumbuh ke bawah dan menyusup di antara sel-sel epitel kolumnar. Sel-sel tersebut selanjutnya mengalami maturasi dan secara bertahap akan mengantikan sel-sel epitel kolumnar diantaranya.5 B. KANKER SERVIKS 1. Definisi Kanker serviks atau sering dikenal dengan kanker mulut rahim/kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada servik uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina).2 2. Epidemiologi Menurut Elit et al. (2011) di seluruh dunia setiap tahun ada 510.000 wanita terdiagnosa kanker serviks, dan 288.000nya meninggal akibat.2 Menurut Departemen kesehatan di Indonesia, kanker serviks menempati urutan pertama kanker pada wanita. Sebagian data menyebutkan juga kanker serviks sebagai urutan teratas dari 10 jenis kanker ginekologi. Setiap hari di Indonesia ada 40 orang wanita terdiagnosa dan 20 wanita meninggal karena kanker serviks. Karena
7

kanker

serviks

merupakan

penyakit

yang

telah

diketahui

penyebabnya dan telah diketahui perjalanan penyakitnya. Ditambah juga sudah ada metode deteksi dini kanker serviks dan adanya pencegahan dengan vaksinasi, seharusnya dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Banyaknya kasus kanker serviks di Indonesia salah satunya disebabkan pengetahuan tentang kanker servik yang kurang sehingga kesadaran masyarakat untuk deteksi dini pun masih rendah.8 3. Etiologi Penyebab terjadinya kelainan pada sel-sel serviks tidak diketahui secara pasti, tetapi diduga kuat hal ini disebabkan oleh HPV (Human Papilloma Virus) yang didukung oleh berbagai faktor risiko. HPV adalah anggota famili Papovirida, dengan diameter 55 m. Virus ini mempunyai kapsul isohedral yang telanjang dengan 72 kapsomer, serta mengandung DNA sirkuler dengan untaian ganda. Berat molekulnya 5 x 106 Dalton. HPV (Human Papilloma Virus) merupakan virus penyebab kutil genitalis (kondiloma akuminata) yang ditularkan melalui hubungan seksual. Varian yang sangat berbahaya adalah HPV tipe 16, 18, 45 dan 56.2 4. Faktor Risiko
a. Wanita banyak partner

Bila berganti-ganti pasangan, hal ini terkait dengan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak. Bila terlalu banyak dan tidak sesuai dengan kebutuhan, akan menjadi sel kanker.2
b. Wanita yang menikah pada usia muda.

Umumnya sel-sel mukosa akan matur setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita paling rawan menjalin hubungan seksual pada usia remaja, di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada
8

serviks si wanita. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel selalu berubah setiap saat, mati dan tumbuh lagi. Karena ada rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker.2
c. Multiparitas dan jarak persalinan terlalu dekat

Setiap

persalinan

akan

menimbulkan

perlukaan,

persalinan yang terlalu sering akan menyebabkan proses penyembuhan luka persalinan dengan perlukaan yang baru akibat persalinan berikutnya menjadi tidak seimbang. Hal ini menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri. Selain itu imunitas ibu yang multiparitas biasanya menurun akibat terlalu sering hamil.2 d. Wanita perokok Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.2 e. Golongan ekonomi lemah Umumnya pada golongan ekonomi lemah, higienitas pada organ genital kurang baik. Higienitas yang buruk ini menyebabkan rentan terhadap infeksi. Selain itu golongan ekonomi menengah ke bawah jug tidak mampu melakukan Pap

Smear untuk screening rutin kanker serviks, atau malas untuk datang melakukan screening.2

f. Kekurangan vitamin Zat-zat gizi seperti beta karoten, vitamin C, dan asam folat dapat memperbaiki atau memperkuat mukosa diserviks. Bila kekurangan ketiga zat gizi ini bisa menyebabkan kanker serviks, karena akan mempermudah rangsangan sel-sel mukosa tadi menjadi kanker. Beta karoten banyak terdapat dalam wortel, vitamin C terdapat dalam buah-buahan berwarna oranye, sedangkan asam folat terdapat dalam makanan hasil laut.2 g. Pemakaian kontrasepsi oral yang lama Pemakaian kontrasepsi oral dapat menurunkan jumlah kadar nutrien (vitamin C, B12,B6, asam folat, B2 dan Zinc) yang terlibat dalam imunitas, sehingga rentan terhadap infeksi. Salah satu mekanisme kerja dari hormon estrogen yang terkadung di dalam kontrasepsi oral adalah mengubah kelenjar serviks. Bila pemakaian kontrasepsi oral terlalu lama akan meningkatkan kadar estrogen, sehingga bisa terjadi perubahan sel pada serviks.2 h. Kebiasaan pembersihan vagina Bahan kimia pada antiseptik untuk vagina wanita akan menimbulkan iritasi pada serviks. Pada vagina terdapat kuman yang disebut Basillus Doderlain, penghasil asam laktat yang fungsinya menjaga kelembaban dan mempertahankan pH vagina. Apabila pH vagina tidak seimbang maka akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri, jamur, atau virus.2 5. Patogenesis Kanker serviks disebabkan oleh infeksi yang terus menerus dari human papillomavirus (HPV) tipe onkogenik yang berpotensi
10

menyebabkan kanker. Telah terbukti bahwa HPV merupakan sebab mutlak terjadinya kanker serviks. HPV adalah virus yang sangat umum. Virus ini berbasis DNA dan stabil secara genetis. Stabilitas genetik ini berarti infeksi akibat virus dapat dicegah melalui vaksinasi dalam jangka waktu yang panjang, tidak seperti virus influenza yang berbasis RNA yang kerap berubah sehingga membutuhkan vaksinasi secara teratur. Setiap wanita berisiko terhadap infeksi HPV onkogenik yang dapat mengakibatkan kanker serviks. Kurang lebih 100 tipe telah teridentifikasi. Empat puluh tipe tersebut menyerang wilayah genital. Dari 40 tipe tersebut, tipe 15 merupakan tipe onkogenik dan dapat menyebabkan kanker serviks atau lesi pra kanker pada permukaan serviks. Secara global, HPV tipe 16 bersamaan dengan tipe 18 dapat menyebabkan 70 % dari seluruh kejadian kanker serviks. Selain itu, tipe 45 dan 31 menduduki urutan ketiga dan keempat tipe HPV penyebab kanker serviks, sedangkan tipe 16,18,45 dan 31 secara bersamaan bertanggung jawab atas 80 % kejadian kanker serviks diseluruh dunia. Setiap wanita berisiko terkena infeksi HPV onkogenik yang dapat menyebabkan kanker serviks. HPV dapat dengan mudah ditularkan melalui aktivitas seksual meskipun demikian transmisi tidak tergantung dari adanya penetrasi namun cukup melalui sentuhan kulit diwilayah genital tersebut (skin to skin genital contact). Dengan demikian setiap wanita yang aktif secara seksual memiliki risiko untuk terkena kanker serviks. Diperkirakan bahwa 50 - 80 % wanita dapat terkena infeksi HPV sepanjang hidupnya dan 50% infeksi tersebut merupakan tipe onkogenik. Infeksi HPV tidak selalu berkembang menjadi kanker serviks. Sebagian besar infeksi HPV (antara 50-70 %) menghilang melalui respon imun alamiah, setelah beberapa bulan hingga dua tahun. Meskipun demikian, kanker serviks dapat berkembang apabila infeksi akibat HPV tipe onkogenik tidak menghilang.
11

Perkembangan dari infeksi HPV onkogenik menjadi kanker serviks dapat terjadi apabila terjadi infeksi yang menetap dari beberapa sel yang terdapat pada serviks (sel epitel pipih atau lonjong di zona transformasi serviks/ squamocolumner junction). Sel - sel ini sangat rentan terhadap infeksi HPV dan ketika terinfeksi akan berlipat ganda, berkembang melampaui batas yang wajar dan kehilangan genetiknya. Banyak faktor internal maupun external yang menyebabkan sel-sel tersebut kehilangan kemampuannya untuk memperbaiki abnormalitasnya. Faktor internal terutama keberadaan gen-gen yang berperan pada siklus sel telah menjadi pusat perhatian dalam hubungannya dengan proses terjadinya pertumbuhan tumor. Dalam hubungannya dengan pertumbuhan tumor, terdapat dua golongan gen yaitu kelompok pemicu terjadinya tumor disebut tumor oncogenes, seperti: gen c-myc dan gen ras dan kelompok penekan terjadinya tumor disebut tumor suppressor gene, seperti: gen p53 dan gen Rb. Hingga saat ini banyak peneliti sementara menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya kanker (50%) adalah adanya mutasi pada gen-gen tersebut. Protein c-myc (proto-oncogene) adalah protein yang disandi oleh gen c-myc dan transkripsi dan berfungsi sebagai protein inti sel untuk sel dalam siklus sel sehingga replikasi kemampuannya untuk memperbaiki abnormalitas

dikelompokkan dalam gen-gen pemicu terjadinya tumor. Gen ras adalah famili proto-oncogenes juga yang merupakan second major class dari GTP-binding proteins, dimana dalam banyak penelitian protein ini dipastikan berperan dalam mitogenic signal transduction pada siklus sel. Gen p53 adalah gen yang mengkode phosphoprotein inti sel seberat 53 kDa, dan bertindak sebagai negatif regulator dalam siklus sel, sehingga dikelompokkan dalam gen-gen penekan tumor. Gen Rb adalah gen yang ditemukan bertanggung jawab pada

12

tumor retina-mata (retinoblastoma) dan merupakan prototipe dari gen-gen penekan tumor. Kanker serviks yang disebabkan karena infeksi HPV disebabkan karena protein E6 dari HPV-16 and 18 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP), sehingga akan terjadi penurunan kadar protein p53 (wild type). Protein E7 (onco protein) akan mengikat gen pRb, sehingga akan berakibat sama seperti pada protein p53. Ikatan E6 dengan pRb tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein-pRb, sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc untuk terjadinya replikasi DNA dan menstimuli siklus sel. Perbedaan potensi berbagai tipe HPV terhadap karsinogenesis tergantung affinitas protein-E6 dalam mengikat gen p53 dan protein-E7 dalam mengikat gen Rb.2 6. Patofisiologi Ca serviks dapat menyebabkan nyeri pada pinggang, hal ini disebabkan karena jaringan neoplastik yang besar dapat menekan saraf-saraf di sekitar serviks. Salah satu sifat dari jaringan neoplastik adalah pembentukan pembuluh darah sendiri di sel yang mengalami keganasan. Pada Ca serviks, sel sel yang jauh dari pembuluh darah akan mengalami nekrosis karena tidak mendapatkan nutrisi yang cukup sehingga membuat jaringan tersebut rapuh. Ca serviks yang rapuh membuat jaringan tersebut rentan akan kontak mekanik, sehingga menyebabkan perdarahan setelah koitus (contact bleeding). Nekrosis jaringan yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan sel dan memberikan respons inflamasi tubuh. Kerusakan jaringan yang menyebabkan respons inflamasi menyebabkan dikeluarkannya mediator mediator inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin, dan lain lain. mediator ini akan menstimulasi reseptor nyeri, dihantarkan melalui medulla spinalis ke korteks serebri sehingga menghasilkan persepsi nyeri. Prostaglandin
13

yang merupakan pirogen endogen akan mempengaruhi termostat tubuh sehingga mengakibatkan demam.9

Gambar 2. Patofisologi pada Kanker Serviks 9

7. Klasifikasi Sistem staging untuk saat ini yang banyak digunakan adalah menurut International Federation of Gynecologic and Obstetrics (FIGO). Pembagian stadium karsinoma serviks menurut FIGO adalah:10 Karsinoma preinvasif :

Stadium 0

: Karsinoma in situ

Karsinoma invasif :

Stadium I. Kanker leher rahim hanya terdapat pada daerah leher rahim (serviks).
-

Stadium IA. Kanker invasive didiagnosis melalui mikroskopik (menggunakan mikroskop), dengan

14

penyebaran sel tumor mencapai lapisan stroma tidak lebih dari kedalaman 5 mm dan lebar 7 mm.
i. Stadium IA1. Invasi lapisan stroma sedalam 3

mm atau kurang dengan lebar 7 mm atau kurang.


ii. Stadim IA2. Invasi stroma antara 3- 5 mm

dalamnya dan dengan lebar 7 mm atau kurang.


-

Stadium IB. tumor yang terlihat hanya terdapat pada leher rahim atau dengan pemeriksaan mikroskop lebih dalam dari 5 mm dengan lebar 7 mm.
i. Stadium IB1. Tumor yang terlihat sepanjang 4

cm atau kurang.
ii. Stadium IB2. Tumor yang terlihat lebih panjang

dari 4 cm.

Stadium II. Kanker meluas keluar dari leher rahim namun tidak mencapai dinding panggul. Penyebaran melibatkan vagina 2/3 bagian atas.
-

Stadium IIA. Kanker tidak melibatkan jaringan penyambung (parametrium) sekitar rahim, namun melibatkan 2/3 bagian atas vagina

Stadium IIB. Kanker melibatkan parametrium namun tidak melibatkan dinding samping panggul

Stadium III. Kanker meluas sampai ke dinding samping panggul dan melibatkan 1/3 vagina bagian bawah. Stadium III mencakup kanker yang menghambat proses berkemih sehingga menyebabkan timbunan air seni di ginjal dan berakibat gangguan ginjal.
-

Stadium IIIA. Kanker melibatkan 1/3 bagian bawah vagina namun tidak meluas sampai dinding panggul Stadium IIIB. Kanker meluas sampai dinding samping vagina yang menyebabkan gangguan berkemih sehingga berakibat gangguan ginjal

15

Stadium IV. Tumor menyebar sampai ke kandung kemih atau rectum, atau meluas melampaui panggul.
-

Stadium IVA. Kanker menyebar ke kandung kemih atau rectum Stadium IVB. Kanker menyebar ke organ yang jauh

Sumber : The International Federation of Gynecology and Obstetrics


Gambar 3. Stadium Kanker Serviks berdasarkan klasifikasi FIGO

8. Diagnosis Diagnosis kanker serviks dapat ditegakan dengan cara pengenalan gejala dan tanda, pengenalan faktor-faktor risiko dan metode deteksi dini.3
16

a. Gejala dan tanda Pada awal penyakit umumnya tanpa gejala.

Keputihan, keputihan berbau busuk dari vagina. Umumnya cairan vagina seperti cairan cucian daging.

Contact bleeding Nyeri daerah panggul, infiltrasi tumor pada syaraf atau adanya radang panggul. Adanya perdarahan campur air seni atau lewat anus, dapat terjadi pada keadaan tumor telah menginfiltrasi kandung kemih atau rektum
b. Metode deteksi dini yaitu sebagai berikut:

Pemeriksaan IVA dilakukan dengan cara melihat langsung leher rahim yang telah dipulas dengan larutan asam asetat 35%. Jika tidak ada perubahan warna atau tidak muncul plak putih, maka hasil pemeriksaan dinyatakan negatif. Sebaliknya, jika leher rahim berubah warna menjadi merah dan timbul plak putih, maka dinyatkan positif lesi atau kelainan pra kanker. Jika pemeriksaan IVA positif maka dilakukan pemeriksaan pap smear. Sitologi/Pap Smear a) Keuntungan: murah dapat memeriksa bagian-bagian yang tidak terlihat. b) Kelemahan: tidak dapat menentukan dengan tepat lokalisasi. Koloskopi

17

a) Memeriksa dengan menggunakan alat untuk melihat serviks dengan lampu dan dibesarkan 10-40 kali. b) Keuntungan: dapat melihat jelas daerah yang

bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy. c) Kelemahan: hanya dapat memeiksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelianan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat. Kolpomikroskopi Melihat hapusan vagina (Pap Smear) dengan pembesaran sampai 200 kali Biopsi Dengan biopsi dapat ditemukan atau ditentukan jenis karsinomanya. 9. Penatalaksanaan Pengobatan utama kanker serviks adalah operasi, radioterapi, kemoterapi, atau gabungan dari dua dari tiga modalitas terapi di atas, bergantung dari pada luas atau stadium penyakit berdasarkan kriteria FIGO.11 a. Konisasi Merupakan tindakan terapi dan pencegahan pada karsinoma in situ. Dilakukan dengan cara mengangkat jaringan yang berisi selaput lendir serviks dan epitel gepeng dan kelenjarnya. Konisasi dilakukan bila hasil sitologi meragukan dan pada serviks tidak tampak kelainan-kelainan yang jelas. b. Operasi Operasi limfadektomi untuk stadium I dan II Operasi histerektomi vagina yang radikal
18

c. Irradiasi Dapat dipakai untuk semua stadium Dapat dipakai untuk wanita gemuk tua dan pada medical risk Tidak menyebabkan kematian seperti operasi. Dosis : Penyinaran ditujukan pada jaringan karsinoma yang terletak diserviks. Komplikasi Irradiasi : Kerentanan kandungan kencing Diarrhea Perdarahan rectal Fistula vesico atau rectovaginalis d. Kombinasi Irradiasi dan pembedahan, tidak dilakukan sebagai hal yang rutin, sebab radiasi menyebabkan bertambahnya vaskularisasi, odema. Sehingga tindakan operasi berikutnya dapat mengalami kesukaran dan sering menyebabkan fistula, disamping itu juga menambah penyebaran kesistem limfe dan peredaran darah. e. Cytostatika : Bleomycin, terapi terhadap karsinoma serviks yang radio resisten. 5 % dari karsinoma serviks adalah resisten terhadap radioterapi, diangap resisten bila 8-10 minggu post terapi keadaan masih tetap sama. 10. Pencegahan Masih tingginya angka kerjadian kanker serviks ini disebabkan belum berkembangnya program penapisan dini secara luas, sehingga pada umumnya penderita ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kanker serviks perlu upaya-upaya pencegahan. Pencegahan terdiri dari beberapa tahap:3 a. Pencegahan primer

19

Berupa usaha untuk mengurangi atau menghilangkan kontak dengan karsinogen untuk mencegah inisiasi dan promosi pada proses karsinogenesis. Dengan adanya perkembangan terkini terhadap vaksin inovatif untuk melindungi dari infeksi HPV onkogenik, vaksinasi melawan kanker serviks akan menjadi kenyataan. Terdapat vaksin yang menargetkan HPV 16 dan HPV 18 yang mampu mencegah 70 % kanker serviks.Beberapa model memprediksi bahwa vaksin bersamaan dengan screening akan mengurangi resiko kanker serviks dibandingkan hanya melakukan screening saja, dan secara signifikan akan mengurangi hasil screening abnormal yang membutuhkan tindakan lebih lanjut.Vaksinasi terbaik yang dapat dikembangkan untuk melawan kanker serviks adalah kombinasi vaksin yang dapat memberikan cakupan yang lebih luas terhadap tipe - tipe HPV onkogenik dan mampu memberikan perlindungan yang lebih panjang. Saat ini terdapat 2 jenis vaksin profilaksis yang sedang dikembangkan ,yaitu vaksin kuadrivalen Gardasil (untuk HPV tipe 6, 11, 16 dan 18) dan vaksin bivalen Cervarix (untuk HPV tipe 16 dan 18). Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan untuk memberikan vaksin kepada remaja wanita sebelum mereka memasuki masa pubertas. Dua jenis vaksin ini memberikan proteksi infeksi bagi dua jenis tipe HPV yang paling sering menyebabkan sebesar hampir 70% kasus karsinoma seviks, yaitu tipe 16 dan 18. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa vaksin ini bersifat imunogenik, aman, ditoleransi secara baik oleh tubuh, dang sangat efektif mencegah insidensi dan persistensi infeksi HPV, termasuk perkembangan lesi prekanker. Tiap 0,5 ml dosis Gardasil mengandung HPV tipe 6 dan tipe 18 masing 20g serta HPV tipe 11 dan tipe 16 masing20

masing 40g dengan aluminium hidroksifosfat sulfat amorf sebagai ajuvan. Vaksin ini diberikan secara serial sebanyak 3 kali dalam periode 6 bulan. Injeksi kedua setelah 2 bulan dan injeksi ketiga setelah 4 bulan. Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian tiga dosis ini dapat merangang pembentukan antibodi untuk mencegah infeksi yang bertahan selama 48 bulan setelah vaksinasi. Gardasil memiliki efektivitas sebesar 96% dalam mencegah pembentukan kondiloma pada alat kelamin dan sebesar 100% dalam perlindungan terhadap vulvar and vaginal intraepithelial neoplasia (grade 2-3). Tiap 0,5 ml dosis injeksi intramuscular Cervarix mengandung HPV tipe 16 dan tipe 18 masing 20g. Vaksin ini diberikan secara serial sebanyak 3 kali dalam periode 6 bulan. Injeksi kedua setelah 1 bulan dan injeksi ketiga setelah 5 bulan. Studi berkelanjutan menunjukkan bahwa lebih dari 98% serpositivitas terlihat untuk antibody HPV 16 atau 18. Penelitian lain selam 4,5 tahun menunjukkan efektivitas sebesar 91,6%. Vaksin ini tidak hanya mengontrol tipe HPV yang terkandung di dalamnya, namun juga mengontrol infeksi HPV tipe lain terutama yang terkait secara genetik, misalnya HPV tipe 45 (efektivitas vaksin 60%) dan tipe 31 dan 52 (efektivitas vaksin 32-36%).2 b. Pencegahan sekunder Berupa penapisan dan deteksi dini untuk menemukan kasus-kasus dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Memeriksakan diri secara teratur, minimal satu tahun sekali untuk dilakukan tes skrining terhadap kanker serviks (paps smear, tes IVA, Tes DNA HPV). c. Pencegahan tersier Pengobatan untuk mencegah komplikasi klinik dan kematian awal.
21

Deteksi dini lesi prakanker serviks merupakan bagian dari pencegahan sekunder kanker serviks, karena bila lesi prakanker diterapi sejak dini maka akan memberi kesembuhan lebih baik dibandingkan pada stadium lanjut.3 C. DETEKSI DINI KANKER SERVIKS Pencegahan sekunder untuk karsinoma serviks meliputi identifikasi wanita dengan cervical intraepithelial neoplasia (CIN) 2 atau 3 dan memberikan terapi untuk mencegah terjadinya kanker. Pilihan uji yang tersedia saat ini adalah pemeriksaan sitologi dengan pap smear, inspeksi visual asam asetat, dan tes untuk infeksi HPV. Strategi kesehatan masyarakat terbaik yang dapat diterapkan pada kondisi sumber daya yang terbatas meliputi dua hal, yaitu screening spesifik berdasarkan usia (paling sedikit sekali seumur hidup) serta follow-up berkelanjutan dan terapi untuk yang hasil screeningnya positif. Suatu percobaan dengan metode cluster acak yang diadakan di India menunjukkan peran screening bagi wanita berusia 30-59 tahun. Percobaan tersebut terdiri atas 4 kelompok, yaitu kelompok wanita yang menjalani pemeriksaan sitologi serviks, yang menjalani IVA, yang menjalani uji HPV DNA dan kelompok kontrol. Hasilnya, hanya kelompok dengan uji HPV yang menunjukkan penurunan jumlah karsinoma serviks dan penurunan jumlah kematian yang signifikan (HR 0,52; 95% CI 0,33-0,83). Selama 8 tahun, tidak ada penurunan signifikan dalam jumlah karsinoma serviks maupun jumlah kematian yang ditunjukkan oleh pemeriksaan sitologi maupun IVA. Kemungkinan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah dari pemeriksaan sitologi maupun pap smear membutuhkan frekuensi pemeriksaan yang lebih sering untuk menyingkirkan hasil negative palsu.2 Baik pemeriksaan sitologi dengan pap smear, IVA, maupun uji HPV DNA, memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing.. Tantangannya adalah memilih program screening yang paling sesuai untuk negara-negara dengan kondisi dan sarana prasarana yang terbatas, program yang cakupan areanya luas, berkualitas tinggi, dan system follow-upnya dapat diandalkan.4
1. Pemeriksaan sitologi (Pap smear) 22

Screening berbasis pemeriksaan sitologi memiliki beberapa keterbatasan, termasuk kebutuhan infrastruktur berupa laboratorium, spesialis yang terlatih untuk memproses dan melaporkan hasil pemeriksaan, system pengontrolan kualitas, serta system komunikasi untuk bagi pasien sehingga mereka dapat menerima terapi yang sesuai. Metode ini juga membutuhkan kunjungan pasien berulang sehingga sering berdampak pada banyaknya pasien yang tidak mendapat follow-up.2 Alasan Harus melakukan Pap smear :
a. Menikah pada usia muda (dibawah 20 tahun). b. Pernah melakukan senggama sebelum usia 20 tahun. c. Pernah melahirkan lebih dari 3 kali. d. Pemakaian alat kontrasepsi lebih dari 5 tahun, terutama IUD

atau kontrsepsi hormonal.


e. Mengalami perdarahan setiap hubungan seksual. f. Mengalami keputihan atau gatal pada vagina. g. Sudah menopause dan mengeluarkan darah pervagina. h. Berganti-ganti pasangan dalam senggama.

Persiapan Pemeriksaan Pap Smear a. Menghindari persetubuhan, penggunaan tampon, pil vagina, ataupun mandi berendam dalam bath tub, selama 24 jam sebelum pemeriksaan, untuk menghindari kontaminasi ke dalam vagina yang dapat mengacaukan hasil pemeriksaan. b. Tidak sedang menstruasi , karena darah dan sel dari dalam rahim dapat mengganggu keakuratan hasil pap smear. Cara pengambilan sampel Pap smear : a. Pemeriksaan ini dilakukan di atas kursi pemeriksaan khusus ginekologis. b. Sampel sel-sel diambil dari luar serviks dan dari liang serviks dengan melakukan usapan dengan spatula yang terbuat dari bahan kayu atau plastik.

23

c. Setelah usapan dilakukan, sebuah cytobrush (sikat kecil berbulu halus, untuk mengambil sel-sel serviks) dimasukkan untuk melakukan usapan dalam kanal serviks. d. Setelah itu, sel-sel diletakkan dalam object glass (kaca objek) dan disemprot dengan zat untuk memfiksasi, atau diletakkan dalam botol yang mengandung zat pengawet, kemudian dikirim ke laboratorium untuk diperiksa.

Gambar 4. Langkah-langkah Pap Smear

Ada 2 cara pemeriksaan Pap Smear:


a. Pemeriksaan Sitologi Konvensional

Keterbatasan pemeriksaan Sitologi Konvensional :


24

o Sampel tidak memadai karena sebagian sel tertinggal pada brus (sikat untuk pengambilan sampel), sehingga sampel tidak representatif dan tidak menggambarkan kondisi pasien sebenarnya o Subyektif dan bervariasi, dimana kualitas preparat yang dihasilkan tergantung pada operator yang membuat usapan pada kaca benda o Kemampuan deteksi terbatas (karena sebagian sel tidak terbawa dan preparat yang bertumpuk dan kabur karena kotoran/faktor pengganggu)
b. Pemeriksaan Sitologi Berbasis cairan atau Liquid

Merupakan

metode

baru

untuk

meningkatkan

keakuratan deteksi kelainan sel-sel leher rahim. Dengan metode ini, sampel (cara pengambilan sama seperti pengambilan untuk sampel sitologi biasa/Pap Smear) dimasukkan ke dalam cairan khusus sehingga sel atau faktor pengganggu lainnya dapat dieliminasi. Selanjutnya, sampel diproses dengan alat otomatis lalu dilekatkan pada kaca benda kemudian diwarnai lalu dilihat di bawah mikroskop oleh seorang dokter ahli Patologi Anatomi. Keungulan pemeriksaan sitologi berbasis cairan/Liquid : o Sampel memadai karena hampir 100 % sel yang terambil dimasukkan ke dalam cairan dalam tabung sampel o Proses terstandardisasi karena menggunakan prosesor otomatis, sehingga preparat (usapan sel pada kaca benda) representatif, lapisan sel tipis, serta bebas dari kotoran/pengganggu o Meningkatkan kemampuan/keakuratan deteksi awal adanya kelainan sel leher rahim o Sampel dapat digunakan untuk pemeriksaan HPVDNA
25

Gambar 5. Gambaran Pemeriksaan Sitologi Konvensional dan berbasis Cairan

Hasil Pap Smear


a. Hasil pap smear normal menunjukkan hasil negatif, yaitu

tidak adanya sel-sel serviks yang abnormal,


b. Sedangkan hasil pap smear abnormal dibagi menjadi 3 hasil

utama : Bukan kanker Kebanyakan hasilnya adalah infeksi kemudian pasien diminta untuk berobat dan melakukan kontrol ulang dalam 4-6 bulan untuk mengulang pap smear.

26

Prekanker Menunjukkan beberapa perubahan sel abnormal, biasanya dilaporkan sebagai sel atipik atau displasia serviks. Pasien akan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi. Kurang dari 5% hasil pap smear menemukan dysplasia serviks. Ganas ( kanker) Pasien langsung diminta berobat ke dokter.

Gambar 6. Skema Pemeriksaan Pap Smear 2. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Prosedur screening dengan inspeksi visual asam asetat memiliki banyak kelebihan, yaitu sebagai berikut: a. Inspeksi visual serviks dengan menggunakan asam asetat atau cairan Lugol untuk mewarnai lesi prekanker sehingga lesi tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang, sehingga identifikasi prekanker dapat dilakukan secara klinis.

27

b. Prosedur

tersebut

mengurangi

kebutuhan

adanya

laboratorium dan transportasi specimen, sehingga hanya membutuhkansedikit peralatan dan hasil tesnya dapat diketahui secara cepat oleh pasien. c. Hampir semua petugas pelayanan kesehatan (dokter, perawat dan bidan professional) bisa melakukan prosedur ini secara efektif, dengan syarat telah mendapatkan pelatihan dan supervise yang adekuat.
d. Sebagai uji screening, IVA menghasilkan hasil yang lebih

akurat dalam mengidentifikasi lesi prekanker dibandingkan sitologi serviks. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan IVA, dari wanita yang berisiko tinggi mengalami karsinoma serviks, 45-79% dia antaranya teridentifikasi adanya lesi prekanker, namun spesifitasnya lebih rendah dan terdapat risiko overtreatment. Sedangkan tingkat sensitivitas pemeriksaaan sitologi sebesar 47-62%.2,4 Namun sama seperti pemeriksaan sitologi, salah satu kekurangan pemeriksaan IVA adalah bahwa hasilnya sangat bergantung pada tingkat akurasi dari interpretasi individu. Oleh karena itu, pelatihan dan system pengontrolan kualitas merupakan hal yang sangat penting.4 IVA memiliki banyak kelebihan yang signifikan dibandingkan Pap smear untuk kondisi dengan sarana dan prasarana terbatas, terutama dari segi peningkatan jangkauan screening, perbaikan dalam perawatan dan follow up, serta kualitas program secara umum. Pemeriksaan IVA dengan tingkat kebutuhan personil, pelatihan, infrastruktur, dan peralatannya yang rendah, menjadikan sistem pelayanan kesehatan masyarakat dapat menyediakan program screening karsinoma serviks pada tempat yang terpencil dengan peralatan terbatas sehingga dapat meliputi cakupan area yang lebih luas. Selain itu, penyedia layanan kesehatan dapat mendiskusikan hasil pemeriksaan IVA dengan pasien secara langsung sehingga
28

memungkinkan untuk melakukan screening sekaligus pengobatan dalam satu kali kunjungan.Hal ini menjamin sistem follow up dapat dilaksanakan langsung di tempat dan mengurangi jumlah wanita yang tidak terobati karena mereka tidak dapat melakukan kunjungan berikutnya.4 Pada negara dengan sumber daya terbatas, metode IVA merupakan pilihan terbaik untuk screening karsinoma serviks. Syarat mengikuti tes IVA adalah :2 a. Sudah pernah melakukan hubungan seksual b. Tidak sedang datang bulan/haid c. Tidak sedang hamil d. 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual Klasifikasi IVA berdasarkan temuan klinis (SEE AND TRET,2007) a. Hasil tes Positif : DITEMUKAN Plak putih yang tebal atau epitel acetowhite, biasanya dekat SCJ b. Hasil Tes Negatif : Ditemukan pertemuan polos dan halus, berwarna merah jambu: ectropion, polyp,cervicitis, inflammantion, Nabothian cysts
c. Kanker : ditemukan secara klinis massa mirip kembang kol

atau bisul Orang-Orang yang dirujuk untuk kelanjutan Tes IVA bila Ditemukan: a. Diduga Kanker Cervix b. Lesi > 75% c. Lesi > 2 mm melebihi cryoprobe d. Lesi meluas sampai dinding vagina e. Hamil (> 20 minggu) Pelaksanaan IVA Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi. Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi. Terdapat sumber cahaya untuk melihat serviks
29

Spekulum vagina. Asam asetat (3-5%) Swab-lidi berkapas

Sarung tangan Dengan spekulum melihat serviks yang dipulas dengan asam asetat 3-5%. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white epithelum Dengan tampilnya porsio dan bercak putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan biopsi. Andaikata penemuan tes IVA positif oleh bidan, maka di beberapa negara bidan tersebut dapat langsung melakukan terapi dengan cryosergury. Hal ini tentu mengandung kelemahankelemahan dalam menyingkirkan lesi invasif.

Teknik Pengambilan Sampel

Kategori pemeriksaan IVA a. IVA negatif = Serviks normal. b. IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya (polip serviks). c. IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white epithelium

Gambar 7. Hasil Pemeriksaan IVA

30

Untuk mensukseskan pendeteksian dini Ca. Cervix ini sudah seharusnya setiap orang ikut berpartisipasi dalam pensosialisasian pelaksanaan program IVA srining test ini, dengan harapan setiap wanita mewaspadai akan kesehatan diri sendiri. Mencegah adalah tidakan bijaksana untuk kelaksungan hidup sehat, ini lebih baik daripada mengobati. 3. Uji HPV DNA Tes HPV DNA dapat mendeteksi adanya tipe virus HPV penyebab kanker pada sel serviks atau vagina yang mengindikasikan apakah wanita tersebut baru terinfeksi. Sebagian besar infeksi HPV dapat sembuh secara spontan dan tidak mengarah ke karsinoma serviks, hal yang banyak terjadi pada wanita remaja dan berumur 20 tahun. Namun apabila virus HPV penyebab kanker ditemukan pada wanita berusia 30 tahun, terdapat kemungkinan virus tersebut menetap dalam tubuh dan wanita tersebut berisiko tinggi untuk menderita karsinoma serviks, baik pada saat virus HPV dideteksi atau di masa mendatang.4

Gambar 7. Prosedur Uji HPV-DNA Walaupun sangat efektif, uji HPV yang selama ini digunakan tidak didesain untuk digunakan pada kondisi dengan sumber daya yang rendah. Uji HPV hanya digunakan secara terbatas di negara berpenghasilan perkapita rendah, karena membutuhkan infrastuktur
31

laboratorium, teknisi yang terlatih, dan fasilitas penyimpanan. yang biasanya ditemukan hanya di daerah perkotaan dengan sumber daya yang memadai. Selain itu, prosedur uji HPV membutuhkan waktu sekitar 4,5 jam, yang artinya hasil interpretasinya tidak akan langsung dapat diterima pasien dalam sekali kunjungan.4 Kelebihannya, uji HPV memberikan profil hasil tes yang lebih reprodusibel bagi wanita yang berisiko tinggi menderita lesi kanker atau prekanker. Apabila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan IVA, ujia HPV DNA memberikan hasil yang sangat menjanjikan.2 Suatu uji HPV yang sederhana, akurat, cepat, terjangkau dan dapat diterima secara luas akan berpotensi besar untuk mengurangi karsinoma serviks di negara-negara berkembang dan akan lebih hemat biaya pada kondisi dengan sumber daya terbatas. Suatu asosiasi yang dinamakan Program for Appropriate Technology in Health (PATH) telah meluncurkan suatu proyek yang diberi nama Screening Techologies to Advance Rapid Testing for Cervical Cancer Prevention Project (START Project), yang bertujuan untuk memajukan strategi pencegahan karsinoma serviks di negara-negara dengan sumber daya terbatas, dengan cara memfasilitasi pengembangan dan validasi format uji biokimia yang tepat, terjangkau, dan efektif untuk mendeteksi CIN dan karsinoma serviks tahap awal dengan deteksi HPV tipe onkogenik.4

32

BAB III KESIMPULAN


1. Karsinoma serviks masih menjadi salah satu penyebab kematian utama pada

wanita, yang seharusnya bisa dicegah.


2. Program screening dan terapi yang terorganisir secara baik, yang digunakan

untuk memeriksa tanda-tanda prekanker dan menanganinya secara dini dapat mencegah karsinoma serviks secara efektif.
3. Program screening meliputi sitologi serviks (pap smear), uji HPV DNA, dan

inspeksi visual asam asetat (IVA)


4. Pemeriksaan sitologi dengan pap smear, IVA, maupun uji HPV DNA,

memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing tergantung dari sarana prasarana serta sistem follow-upnya, tetapi menurut penelitian hanya
33

kelompok dengan uji HPV yang menunjukkan penurunan jumlah karsinoma serviks dan penurunan jumlah kematian yang signifikan.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Sanghvi, H., M. Lacoste and M. Mc Cormick (eds). 2006. Preventing Cervical

Cancer in Low-Resource Settings: from Research to Practice. Report of a conference in Bangkok, 4-7 December 2005. JHPIEGO: Baltimore.
2. Elit, L., W. Jimenez, J. Mc Alpine, P. Ghatage, D. Miller, and M. Plante. 2011.

SOGC-GOC-SCC Joint Policy Statement: Cervical Cancer Prevention in Low Resource Setting. Journal of Obstetrician and Gynaecologists of Canada. 33 (3): 272-279.
3. Bradley, L., M. Barone, C. Mahe, R. Lewis, and S. Luciani. 2005. Delivering

Cervical Cancer Prevention Services in Low-Resource Settings. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 89: S21-S29.
4. Cervical Cancer Action Coalition. 2007. New Options for Cervical Cancer

Screening and Treatment in Low Resource Settings. Issue Brief.


5. Burke L, Antonioli DA, Ducatman BS. 1991. The normal cervix. Dalam:

Colcoscopy text and atlas: Appleton & Lange; p.29-45


6. Ferenczy A. 1997. Anatomy and histology of the cervix. Dalam: Blaustein A,

ed, Pathology of the female genital tract, New York : Springer Vierlag Inc; p.10210
7. Jordan JA. 1976. Scanning electrons microscopy of the physiological epithelial.

Dalam: Jordan JA, Singer A, eds. The cervix. London: Wb Saunders; p.44-50
8. Diananda R. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Yogyakarta : Katahati 9. McCance, K. and S. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic Basis For

Disease In Adults And Children 5th Edition. St. Louis: Elsevier Mosby.
10. Hatch KD. Cervical Cancer. In: Berek JS, Hacker NV eds. Practical

Gynecologic Oncology, 2nd ed. Williams & Wilkins, Baltimore; 1994: p. 242-82. 11. Hacker NF. Cervical Cancer. In : Practical Gynecology Oncology. 3rd Ed. Berek and Hacker, Lippincott Williams and Wilkins. USA; 2000. p.3-38

35

You might also like