You are on page 1of 29

Case Report

Efusi Pleura Dextra pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Oleh : Jeffri Sofian Leksana, S. Ked

Preceptor : dr. Andreas Infianto, MM, Sp.P

SMF. ILMU PENYAKIT DALAM RSUD JENDRAL AHMAD YANI METRO MEI 2012

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Umur Alamat Pekerjaan Agama Masuk RSUAY No. MR

: : : : : : :

Ny. S 34 tahun Tridatu, Lampung Timur Ibu Rumah Tangga Islam 2 Mei 2012 pukul 09.30 WIB 180386

II. ANAMNESIS (Allowanamnesa)

Keluhan Utama Keluhan Tambahan

: Sesak disertai mual dan muntah : Kaki dan perut membengkak

Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien datang ke RSUAY metro dengan keluahan sesak disertai mual dan muntah sejak 3 bulan lalu, pasien juga merasa kedua kaki dan perutnya semakin membengkak. Pasien tidak sakit kepala, tidak demam dan tidak nyeri perut. Pasien mengaku BAK normal tidak ada darah, tidak ada nyeri tetapi jumlahnya sedikit. BAB normal. Sesak muncul terus menerus tanpa adanya pemicu baik asap debu atau pun udara dingin, pasien juga mengaku tidak sedang

batuk. Keluarga maupun tetangga pasien tidak ada yang mengalami batuk lama. Pasien tidak pernah sesak pada malam hari, pasien juga

tidak perlu bantal tinggi sewaktu tidur. Nafsu makan menurun dan badan terasa lemah. Sekitar 4 tahun yang lalu pasien rutin mengkonsumsi jamu jamuan apa bila badannya terasa pegal -pegal. Pasien mulai berhenti mengkonsumsi jamu-jamuan tersebut setelah dirasa kaki dan

perutnya membengkak. Jamu ini tidak dibuat sendiri melainkan dibeli di warung jamu setempat. Sebelumnya pasien pernah berobat di RSUAM d an didiagnosa menderita sakit ginja l.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi, alergi, gastritis, stroke, dan Diabetes mellitus disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga Diabetes mellitus, penyakit jantung, asma disangkal. Riwayat darah tinggi pasien tidak mengetahui.

Riwayat Alergi Obat Tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present Tanggal 15 Mei 2012 Keadaan umum Kesadaran Tekanan Darah Nadi RR Suhu Keadaan gizi Berat badan Tinggi badan : Tampak sakit berat, pasien tampak gelisah : Apatis : 120/80 mmHg : 100 x/mnt : 28 x/mnt : 36,5 0C : Normal : 50 kg : 160 cm

Status Generalis Kepala Bentuk Rambut Mata : simetris : hitam, bergelombang, tidak mudah dicabut : Sklera kuning ( - ), konjungjiva anemis ( + ), konjungtiva

hiperemis ( - ), palpebra oedem, pupil isokor, refleks cahaya ( + / + ) Telinga Mulut : Simetris, liang lapang, sekret ( - ) : Bibir tidak pucat, tidak kering, gusi tidak berdarah, lidah

tidak nampak kotor. Leher Inspeksi Palpasi kelenjar tiroid : Simetris, tidak tampak benjolan, JVP tak tampak. : Trakea di tengah, tidak terdapat pembesaran KGB dan

Toraks Anterior Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Gerakan dada kanan tertinggal. : Fremitus vokal kanan melemah : Redup pada hemi thorak kanan mulai dari ICS 3 : Suara vesikuler normal, melemah pada hemi thorak kanan

suara nafas tambahan (-) Posterior Tidak dilakukan karena pasien tidak kooperatif

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Batas kanan Batas kiri Auskultasi : ICS 4, sternal kanan, : ICS 4, midklavikula kiri : Bunyi jantung murni, frekuensi normal, regular, bunyi : Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis tidak teraba

jantung tambahan (-)

Abdomen Inspeksi Palpasi : Perut cembung asimetris : Hepar dan lien sulit teraba, nyeri tekan ( - ),nyeri lepas ( -)

, distensi abdomen ( - ) Perkusi Auskultasi : redup, ballotement ( - / - ), shifting dullnes ( + )

: Bising usus (+)

Ektrimitas Edema tungkai (+/+), akral hangat, sianosis (-/-), clubbing finger (-/-), atrofi otot (-/-), turgor baik.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab, 5 Mei 2012 1. Hematologi WBC RBC HGB HCT MCV MCH MCHC RDW PLT MPV : 8,2 : 2,82 : 7,9 : 22,9 : 81 : 28 : 35,4 : 16,1 : 184 : 6,2 Normal Range (5.000-10.000/ uL) (4,37-5,63 jt/uL) (14,8-18 g/dL) (41-54 %) (80-92 Fl) (27-31 pg) (32-36 g/dL) (12,9-15,3 %) (150-450 rb/uL) (7,3-9,0 fL)

2. Tes Fungsi Ginjal Ureum Creatinin : 98 mg/dl : 6,4 mg/dl (17,0-43,0) (0,90-1,30)

RESUME

Pasien datang ke RSUAY metro dengan keluahan sesak disertai mual dan muntah sejak 3 bulan lalu, pasien juga merasa kedua kaki dan perutnya semakin membengkak. Pasien tidak sakit kepala, tidak demam dan tidak nyeri perut. Pasien mengaku BAK normal tidak ada darah, tidak ada nyeri tetapi jumlahnya sedikit. BAB normal. Sesak m uncul terus menerus tanpa adanya pemicu baik asap debu atau pun udara dingin, pasien juga mengaku tidak sedang batuk. Keluarga maupun tetangga pasien tidak ada yang mengalami batuk lama. Pasien tidak pernah sesak pada malam hari, pasien juga

tidak perlu bantal tinggi sewaktu tidur. Nafsu makan menurun dan badan terasa lemah. Sekitar 4 tahun yang lalu pasien rutin mengkonsumsi jamu jamuan apa bila badannya terasa pegal -pegal. Pasien mulai berhenti mengkonsumsi jamu-jamuan tersebut setelah dirasa kaki dan

perutnya membengkak. Jamu ini tidak dibuat sendiri melainkan dibeli di warung jamu setempat. Sebelumnya pasien pernah berobat di RSUAM dan didiagnosa menderita sakit ginjal. Diabetes mellitus, penyakit jantung, asma disangkal. Riwayat darah tinggi pasien tidak mengetahui Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran apatis pasien tampak gelisah dengan tekanan darah 120/80 mmHg. Nadi 100x per menit. Pernafasan 28x per menit Suhu 36.5C. Konjungtiva anemis +/+. Palpebra oedema, pada thorak: gerakan dada kanan tertinggal, fremitus vokal kanan melemah, perkusi redup pada hemi thorak kanan mulai dari ICS 3, suara vesikuler normal melemah pada hemi thorak kanan suara nafas tambahan (-) Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 7.9, Ht 22.9, RBC 2.82, Ureum 98 mg/dL, Creatinine 6.4 mg/dL

Diagnosa kerja 1. Gagal ginjal kronik 2. Anemia Diagnosa banding 1. Gagal ginjal akut Pemeriksaan Anjuran Foto Ro Thorak Cek ureum dan kreatinin per hari

Pengobatan O2 2-4 L/menit (bila sesak) IVFD RL asnet Ondansetron 2 x 8 mg IV Furosemid 1 x 1 ampul Transfusi PRC 2 kantong Asam Folat 3 x 1 mg Hemodialisa bila Hb 10

Prognosis Quo ad vitam Quo ad fungtionam Quo ad sanationam : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam

Follow Up Tanggal 3 Mei 2012 : S : sesak nafas, perut kembung, kaki bengkak O : Tekanan darah 100/60 RR 28x/mnt Hb 9,2 Ureum 98 Kreatinin 6,4 A : Dx: CRF Tanggal 4 Mei 2012 : USG Abdomen : Ascites, Chronik Renal Diseases bilateral Tanggal 5 Mei 2012 : S : Sesak, batuk, O : Tekanan Darah 120/80 RR 24x / mnt Ascites Albumin 2,49 pH urin 6,0 epitel ( + ) protein ( +++) A : Dx : CRF P : Transfusi Albumin Tanggal 7 Mei 2012 : S :Sesak nafas bertambah berat, mual O : tekanan darah 110/80 RR 24x/ mnt

Tanggal 9 Mei 2012 : S : sesak nafas, tidak nafsu makan O : tekanan darah 120/90 RR 24x/ mnt Shifting dullnes ( + ) Ascites ( + ) Albumin 2,77 Ureum 164 Kreatinin 2,77 A : Dx : CRF

Tanggal 11 Mei 2012 : Hemodialisa UF : 1 L QB / QD : 150 Lama HD : 2 jam Tekanan darah : 110/70

Tanggal 12 Mei 2012 : Foto Ro thorak Interpretasi foto: Sudut costofrenikus kanan dan kiri tumpul Besar jantung sulit dinilai krn batas jantung kanan tertutup perselubungan kesimpulan : efusi pleura kanan masif

10

Tanggal 14 mei 2012 Evakuasi cairan pleura sebanyak 1,6 liter yellowish clear Hasil analisa cairan pleura : Protein total cairan Protein total serum Ratio : 4,41 g/dl : 7,12 g/dl : 0,62

Aktivitas LDH cairan : 208 U/L Aktivitas LDH serum : 305 U/L Ratio Pewarnaan gram Jumlah sel MN PMN : 0,68 : Histoplasma Capsulatum : 1100 /UL : 32% : 68%

Kesimpulan : sifat cairan pleura adalah eksudat (e.c. histoplasmosis?)

Tanggal 15 mei 2012 S : sesak, gelisah, tidak bisa di ajak komunikasi O : Apatis tekanan darah 130/ 80 RR 28x/ mnt Creatinin 9,88 Ureum 210,5 A : Dx : Ensefalopati Uremikum

Tanggal 17 Mei 2012 Pasien APS

11

Diagnosis Akhir : 1. CRF 2. Efusi pleura dextra e.c. CRF 3. Anemia e.c. CRF 4. Ensefalopati Uremikum 5. Suspect histoplasmosis

Penatalaksanaan : 1. CRF : a. Pemberian deuretik (furosemid) b. Pemberian antiemetic (ondansentron) c. Hemodialisa 2. Efusi pleura dextra : a. Evakuasi cairan pleura b. Atasi penyakit yang mendasari (CRF) 3. Anemia e.c. CRF : a. Transfusi PRC b. Pemberian as. Folat 4. Ensefalopati Uremikum : a. Hemodialisa 5. Suspect histoplasmosis : a. Kultur mikroorganisme (agar dextrose Sabouraud dan agar infusi Otak jantung ditambah dengan darah domba5%). b. Pemberian anti jamur ( Amfoterisin B 0.5 mg - 1 mg/kg/hari selama 6 minggu)

12

TINJAUAN PUSTAKA
Efusi Pleura

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlahyang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan

pengeluaran cairan pleura. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalamrongga pleura sekitar 10 -200 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma,kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl (Dahlan,2007).. Etiolo gi te rjadin ya efu si pleura berm acam -m acam, ya itu: tuberk ulosis paru (merupakan penyebab yang palng sering di Indonesia), penyakit primer pada pleura, penyakit penyakit sistemik dan keganasan baik pada pleura maupun diluar pleura (Said, 2010).

PATOFISIOLOGI Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melaluikapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehinggaterjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi, tiap harinya diproduksi cairan kira-kira16,8 ml (pada orang dengan berat badan 70 kg). Kemampuan untuk reabsorpsinya dapatmeningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang(produksinya meningkat atau

reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura (Dahlan, 2007).

13

Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura parietal melalui sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleuravisceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial (Dahlan, 2007). Akumulasi cairan pleura dapat terjadi bila: 1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan

pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior. 2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis 3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairanmasuk ke dalam rongga pleura 4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasicairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura 5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada venauntuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongancairan limfe. Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Normalnya cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Proses penumpukan cairan bisa terjadi karena radang. Bila proses radang terjadi karena bakteri piogenik akan terbentuk nanah, sehingga terjadiemfisema/piothoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks.

14

Efusi plura merupakan adanya cairan di rongga pleura >15 ml, akibat: (1) ketidak seimbangan gaya starling, (2) abnormalitas struktur endotel dan mesotel, (3) drainase limfatik terganggu, (4) abnormalitas side of entery (defek diafragma) karena ascites melubangi diafragma ETIOLOGI A. Berdasarkan Jenis Cairan Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus berupaya untuk menemukan penyebabnya. Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenistransudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yangmempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan (Dahlan, Zul. 2007). Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein didalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tigakriteria berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini : 1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5 2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6 3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di dalam serum

a.Eksudat, disebabkan oleh (Mardjanis, 2010): 1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 1006000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi. 2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara

15

hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus,Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lainlain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura. 3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,

Kriptococcus, dll. Efusitimbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi. 4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focussubpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen danmenimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focussubpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnyamasuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yangdisebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dannyeri dada pleuritik. 5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yangtidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena : a. Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran kapiler. b. Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura, bronkhopulmonary,hillus atau mediastinum, menyebabkan

gangguan aliran balik sirkulasi. c. Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra pleural,sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam

16

cairan pleuracukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang

menggunakan jarum (needle biopsy). 6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paruatau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasusefusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik: a. Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura b. Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura c. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl d. Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah dari pada nilai pH bakteri Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja 7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma 8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik

b.Transudat , disebabkan oleh (Mardjanis, 2010): 1. Gangguan kardiovaskular Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnyaadalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalahakibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dadasehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura

17

parietalis. Di samping itu peningkatantekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleuradan aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat jugamenyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapaefusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi denganistirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadangkadangtorakosentesis diperlukan juga bila penderita amat sesak.

2. Hipoalbuminemia Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkandengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifattransudat. Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam.Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.

3. Hidrothoraks hepatic Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis. 4. Meigs Syndrom Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor

18

ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumor nya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus didiafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5. Dialisis Peritoneal Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateralataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadimelalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleuradengan cairan dialisat.

GEJALA EFUSI PLEURA Dari anamnesa didapatkan (M a t o n d a n g , 2 0 0 9 ) : 1. Sesak nafas 2. Rasa berat pada dada 3. Berat badan menurun pada neoplasma 4. Batuk berdarah pada karsinoma bronchus atau metastasis 5. Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema 6. Ascites pada sirosis hepatis Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit) : 1. Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal 2. Vokal fremitus menurun 3. Perkusi dull sampal flat 4. Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang 5. Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada treakhea PENGOBATAN EFUSI PLEURA 1. Pengobatan Kausal 2. Thorakosentesis 3. Water Sealed Drainage 4. Pleurodesis

19

PENCEGAHAN Lakukan pengobatan yang adekuat pada penyakit-penyakit dasarnya yang dapatmenimbulkan efusi pleura. Merujuk penderita ke rumah sakit yang lebih lengkap biladiagnosa kausal belum dapat ditegakkan (Sastroasmoro).

Gagal Ginjal Kronik Definisi Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti pada tabel 2.1 berikut: Tabel 1. Batasan penyakit ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: - Kelainan patologik - Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan 2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

(Sumber: Chonchol, 2005) Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. (Perazella, 2005) .

Etiologi Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak

sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis

20

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.

Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006). b. Diabetes melitus Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)

diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996). c. Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal

(Sidabutar,1998).

21

d. Ginjal polikistik Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau

material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).

Faktor risiko Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes

melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

Gambaran klinik Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006). a. Kelainan hemopoesis Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. b. Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah

22

masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. d. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost. e. Kelainan selaput serosa Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis. f. Kelainan neuropsikiatri Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK (ensefalopati uremikum). Kelainan mental ringan

23

atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

g. Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

Diagnosis Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional e. Meramalkan prognosis Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

Penatalaksanaan a. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006). 1) Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

24

2) Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. 3) Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. 4) Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik 1) Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L. 2) Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. 3) Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

25

4) Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. 6) Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi. 7) Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). 1) Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan ureum > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

26

2) Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

3) Transplantasi ginjal Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu: a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah b) Kualitas hidup normal kembali c) Masa hidup (survival rate) lebih lama d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

27

DAFTAR PUSTAKA

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2005.World HealthOrganization. Jakarta Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2005.World HealthOrganization. Jakarta Chonchol, M., Spiegel, D.M.. 2005. The Patient with Chronic Kidney Disease. In: Schrier, R.W., 6th ed. Manual of Nephrology. Lippincott Williams and Wilkins, 177-186. Philadelphia Dahlan, Zul. 2007. Ilmu Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Departemen IlmuPenyakit Dalam FK Universitas Indonesia. Hal 964974. Jakarta Perazella, M.A., 2005. Chronic Kidney Disease. In: Reilly, R.F, Jr., Perazella, M.A., ed. Nephrology In 30 Days. New York: McGraw Hill, 251-274. Roesli, R., 2008. Hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal di Indonesia. Dalam: Lubis, H.R., et al (eds). 2008. Hipertensi dan Ginjal. USU Press, 95-108. Medan Prodjosudjadi, W., 2006. Glomerulonefritis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi keempat. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 527-530. Jakarta Sukandar Enday. 2006. Gagal Ginjal Kronik dan Terminal. Dalam Nefrologi Klinik.Edisi III.Pusat Informasi Ilmiah (PII) FK UNPAD / RS Hasan Sadikin. hal 465 - 524. Bandung Waspadji, S., 1996. Gambaran Klinis Diabetes Melitus. Dalam: Noer, S., et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI, 586-589. Jakarta Sidabutar, R.P., Wiguno, P. 1998. Hipertensi Esensial. Dalam: Soeparman., et al. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI, 205-223. Jakarta Suhardjono.,Sidabutar, R.P., 1998. Penyakit Ginjal Keturunan dan Bawaan. Dalam: Soeparman., et al., Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI, 374-381. Jakarta

28

Matondang, Corry, Prof, dkk. 2009. Diagnosa Fisis pada Anak. CV Sagung Seto.Jakarta National Kidney Foundation, 2009. Chronic Kidney Disease. New york: National Kidney Foundation. Available from: http://www.kidney.org/kidneydisease/ckd/index.cfm#whatis Noer, M.S., 2006. Gagal Ginjal Kronik Pada Anak. Fakultas Kedokteran UNAIR. Available from: http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-mqb0gjpkb.pdf. Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 653-654. Jakarta Said, Mardjanis. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Penerbit IDAI. Hal 350-365.Jakarta Sari, Kartika, dkk. 2006. Buku Saku Pediatrica. Tosca Enterprise. Jogjakarta Sastroasmoro, Sudigdo, dr, SpA. 2007. Panduan P elayanan Medis Departemen IlmuKesehatan Anak. Jakarta Suwitra Ketut.2006.Penyakit Ginjal Kronik, Mekanisme Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I . Edisi IV. Pusat Penerbit Departemen Penyakit Dalam FK UI. Jakarta Suwitra, K., 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S. Edisi keempat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 570-573. Jakarta

29

You might also like